Anda di halaman 1dari 21

Media dan Propaganda Politik

Disusun Oleh

Anneila Firza Kadriyanti (0906491976)

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

1|Page

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Daftar Isi

Abstrak. ....................................................................................................... 3

Pendahuluan. ............................................................................................... 5

Konsep

Media dan Propaganda Politik. ...................................................... 5

Agenda Setting ............................................................................... 7

Analisis

Iklan Politik. ................................................................................... 9

Isi Berita. ...................................................................................... 12

Kepemilikan Media. ..................................................................... 14

Penutup

Kondisi Yang Terjadi di Masyarakat. .......................................... 16

Contoh Kasus. .............................................................................. 18

Referensi. ................................................................................................. 21

2|Page

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Abstrak

Pentingnya peran media massa terhadap kegiatan politik semakin tinggi. Di satu sisi,
media membutuhkan cerita yang layak dijual untuk menarik minat audiens. Dalam hal ini,
berita politik selalu menjual. Meskipun persoalan politik yang pelit dapat membuat jenuh
masyarakat, berita politik tetap diminati karena urusannya selalu menyangkut kepentingan
publik.

Di sisi lain, politikus dan partainya pun membutuhkan media sebagai corong untuk
memperkenalkan dirinya. Jika tidak ada media, maka politisi dan partai politik tidak dapat
menyebarkan tujuan politiknya yang dapat mempengaruhi publik.

Dalam hal ini, Penulis mencoba menjabarkan seperti apa relasi antara politik dan
penggunaan media, serta unsur-unsur apa saja yang dapat mempengaruhi relasi tersebut.

Kata kunci: Media massa dan politik, iklan politik, kepemilikan media

3|Page

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Abstract

The importance of mass medias roles to politics activities is getting higher. In one
side, media needs stories to sell, so they can attract peoples attention. Politics news always
sell. Eventhough politics problems can saturate people, it is still demanded, because politics
always connect with publics interest.

In another side, politicians and their parties need media as the medium to introduce
them. If there is no media, political activities can not move to spread their purpose, and they
can not influence people.

In this case, I try to spell out the relation between politics and the using of media, and
what elements between them that can influence the relation.

Keyword: Mass Media and Politics, Politics Advertisements, Media Owner

4|Page

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Pendahuluan

Media massa, rasanya tak bisa bertahan tanpa kehadiran perisitiwa politik. Kegiatan
berpolitik pun tak kan lengkap tanpa adanya media massa. Antara media dan politik saling
membutuhkan. Media menginginkan suatu berita yang pantas dijual ke pada khalayak, dan
berita politik biasanya selalu menjadi perhatian publik. Para pelaku politik perlu media untuk
melakukan propaganda untuk mengaktualisasi dirinya dalam membentuk citra yang baik di
mata publik.

Media massa biasanya selalu menempatkan berita politik dalam porsi yang lebih
banyak, misalnya di Harian Kompas yang memiliki Rubrik Politik dan Hukum dari halaman
2-5. Saat booming kasus Nazaruddin yang menyebutkan ketelibatan Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum dalam korupsi pembangunan pusat pelatihan olahraga di
Hambalang, Jawa Barat, sejumlah media massa menjadikan cerita ini sebagai headline.
Bahkan stasiun televisi berita seperti Metro TV dan TV One mengadakan segmen dialog dan
pernah membahas hanya mengenai kasus ini selama hampir satu jam.

Konsep

Media dan Propaganda Politik

Sejarah Pers Untuk Propaganda Politik di Indonesia

Media adalah sarana yang tepat untuk menanamkan suatu nilai pada masyarakat. Di
zaman sekarang ini, publik memiliki keleluasan untuk mengakses media, apakah itu koran
harian, radio, televisi, dan informasi di internet.

Propaganda berasal dari bahasa Latin, Propagare, yang artinya mengembangkan dan
memekarkan. Propaganda bertujuan utnuk menanamkan suatu pengaruh tertentu dalam
pemikiran seseorang dan dengan begitu orang tersebut tergerak perasaan dan pikirannya
untuk melakukan apa yang diinginkan oleh orang yang melakukan propaganda (propagandis).
Karena itulah propaganda dilakukan terus menerus dan berulang-ulang.

5|Page

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Media massa dapat menyebarkan informasi secara massif ke pada khalayak. Karena
itulah, apabila propaganda politik ditampilkan dalam media, maka pesan dan nilai yang
dibawa dalam propaganda tersebut akan segera tersampaikan.

Sejak pers berkembang di Indonesia, propaganda politik sudah mulai diluncurkan di


negara ini. Dimulai dari harian Medan Prijaji milik Tirto Adi Suryo yang terbit di Medan.
Harian ini merupakan harian berbahasa Melayu yang isinya selalu mengkritik tentang
kekejaman kolonialisme Belanda. Akibatnya harian ini dibredel oleh pemerintah kolonial dan
Tirto Adi Suryo pun dibuang ke Pulau Bacan.

Setelah Boedi Oetomo lahir, organisasi-organisasi pergerakan lainnya pun mulai lahir.
Setiap organisasi mengelola surat kabar masing-masing, karena setiap pergerakan memiliki
dasar yang berbeda. Namun mereka menyadari bahwa untuk menyebarkan misinya, mereka
perlu media massa (saat itu masih berupa surat kabar).

Para pemimpin pada saat itu pun aktif menyuarakan pendapat mereka di media massa
dan tak jarang malah ikut berkecimpung di dunia jurnalistik. Sebut saja Sukarno, Mohammad
Hatta, Dr. Soetomo, Douwes Dekker (Setyabudhi), dan lainnya. Intinya mereka mengkritik
kebijakan pemerintahan Belanda dan memprovokasi rakyat untuk bergerak melawan
kolonialisme.

Setelah Indonesia merdeka dan partai-partai politik bermunculan pada tahun 1950,
masing-masing partai politik besar mempunyai surat kabar masing-masing yang
menyuarakan kepentingan partainya. Kebebasan pers pada masa itu digunakan untuk mencaci
maki dan menjatuhkan lawan politik dengan cara memfitnah.

Ketika Dekrit Presiden 1959 diterbitkan, setiap surat kabar diwajibkan untuk memiliki
Surat Izin Terbit dan diwajibkan lagi untuk memperpanjang pada 1960. Beberapa surat kabar
terpaksa menghentikan penerbitannya. Milik Partai Komunis Indonesia masih bertahan, dan
mereka merasa senang karena musuh-musuh mereka tersingkirkan.

Pada tahun 1967, dikenal sebuah konsep yang dinamakan Jurnalisme Pembangunan.
Konsep ini menegaskan bahwa sebaiknya pemberitaan jurnalistik menampilkan tentang
pembangunan-pembangunan yang telah dilakukan oleh negara, terutama oleh pemimpin

6|Page

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


negara. Sebagian kalangan menilai bahwa pers pada masa itu merupakan corong pemerintah
Orde Baru.

Masa Orde Baru, didengungkan tentang kebebasan pers yang bertanggung jawab.
Namun pada kenyataannya, adanya kewajiban untuk memiliki SIUPP malah memasung
kebebasan pers. Bahkan penguasa seringkali membredel media massa yang dinilai dapat
membahayakan kelangsungan negara.

Di era reformasi yang demokratis sekarang ini, kebebasan pers pun diberikan. Namun
kecenderungan pers saat ini justru mengarah ke tren kapitalistik seperti yang terjadi di
Amerika Serikat. Pemberitaan dan penayangan terhadap konten tertentu harus disesuaikan
dengan kepentingan pemilik modal untuk menjaga citranya agar tetap baik di depan publik.

Agenda Setting

Penelitian Paul Lazarsfeld pada 1940an menyimpulkan bahwa sebenarnya media


massa tidak memiliki pengaruh langsung ke pada audiensnya. Untuk mendapatkan informasi
mengenai politik dan pemerintahan, orang-orang cenderung mengandalkan referensi dari
kenalan pribadi mereka.

Namun ada orang yang dapat berperan sebagai opinion leader (pemimpin opini) yang
dapat menggiring persepsi khalayak untuk berpikiran sama dengannya. Si pemimpin ini lah
yang menggunakan media massa untuk memasok ide-ide mengenai pandangannya.

Akibat dari pandangan si pemimpin opini ini, maka media massa mengkonstruksi
keadaan seperti bentuk yang diinginkan oleh si pemimpin. Hal inilah yang disebut dengan
agenda setting. Semakin kuat kepribadian dan pengaruh si opinion leader, semakin dia dapat
menguasai pemberitaan di media massa sehingga dia dapat mempengaruhi kebijakan media
tersebut untuk menentukan informasi apa yang sebenarnya layak untuk diketahui dan
disiarkan ke pada publik.

Berbicara mengenai agenda setting selalu dikaitkan dengan framing (pembingkaian).


Framing adalah aspek dari realitas yang ditekankan dalam pesan media dan karenanya
mempengaruhi atau membentuk cara kita memandang realitas.

7|Page

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Walter Lippmann dalam bukunya Public Opinion (1922) menyatakan, media
bertanggung jawab dalam membentuk persepsi publik mengenai realita yang terjadi di dunia
ini. Media memproyeksikan pada khalayak tentang suatu hal dan hal itulah yang dianggap
benar oleh masyarakat. Media kembali menguatkan apa yang telah terkonstruksikan dalam
benak masyarakat sehingga hal itu tampak nyata di mata publik.

Melalui agenda setting, media mengatur agar propaganda politik dapat ditampilkan
dan ditanamkan ke dalam benak masyarakat. Media mengatur waktu yang pas kapan
propaganda akan dilancarkan. Akibatnya publik terpengaruh dan melakukan sesuai dengan
apa yang telah diharapkan oleh media.

8|Page

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Analisis

Dalam menyebarluaskan propaganda politik, institusi politik (partai politik, politisi)


memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki untuk menanamkan pengaruh-pengaruh
tertentu ke pada masyarakat. Karena kewenangan yang mereka miliki, maka mereka bisa
menentukan apa yang seharusnya diketahui oleh masyarakat.

Penyebaran propaganda politik di media massa memiliki keterbatasan space dan


waktu. Tentu akan sangat berbeda penyajiannya apabila propaganda dilakukan dalam acara
pidato atau seminar di lapangan terbuka. Dalam seminar, si orator bisa menjabarkan poin-
poin yang ingin dia sampaikan dalam waktu yang agak panjang. Namun di media massa,
isinya harus dikemas dalam waktu yang sesingkat mungkin (bahkan bisa jadi kurang dari 30
detik).

Karena itu, poin yang harus disampaikan di media massa harus dikemas secara kreatif
yang dapat membangkitkan keinginantahuan khalayak dan menarik minat mereka sehingga
mereka mengingatnya. Walau disajikan dalam waktu yang singkat, namun media massa
memiliki kelebihan dapat menjangkau tataran masyarakat yang sangat luas, karena hampir
semua orang memiliki sarana mengakses media massa, terutama televisi.

Pada pembahasan kali ini, penulis akan melihat cara penyebaran propaganda politik di
media melalui dua hal, yakni dari segi konten dan kepemilikan modal.

Konten

a. Iklan Politik

Iklan merupakan salah satu bentuk untuk mengenalkan, mempromosikan, atau


menawarkan sesuatu di media massa. Sama hal nya dalam iklan politik. Iklan politik
menampilkan tentang figur yang merepresentasikan suatu partai politik tertentu, menjabarkan
tentang visi misi dan isu utama yang mereka angkat, serta mempersuasi khalayak yang
nantinya dapat mempengaruhi mereka pada saat pemilihan umum.

Yasraf Amir Piliang dalam pengantarnya di buku Iklan Politik dalam Realitas
Media menyatakan, iklan politik adalah bentuk dari narsisme politik. Dia mendefinisikan

9|Pag e

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


narsisme politik sebagai bentuk pemujaan diri berlebihan para elit politik, dan ini merupakan
artifisialisme politik karena para elit tersebut berusaha membangun citra sebaik dan
sesempurna mungkin. Padahal karakter mereka yang sebenarnya tidak selalu (bahkan
bertolak belakang) seperti yang mereka sebutkan dalam iklan.

Dalam iklan politik, para politikus memanfaatkan tayangan visual, terutama di televisi
(TV), untuk membujuk, mengangkat popularitas, mengedepankan informasi, mengesankan
pencerdasan. Jeffrey Scheuer dalam bukunya The Bite Society: Television and the American
Dream menyatakan, televisi berwatak kapitalistik cenderung menolak kompleksitas demi
merayakan simplisitas.

Iklan politik, terutama di TV, tidak pernah mau menampilkan hal yang merepotkan,
misalnya dengan menampilkan konten yang bersifat akademik dan ilmiah sehingga isinya
menjadi serius. Iklan TV lebih suka menampilkan tayangan yang mudah, instan, menggoda,
provokatif, dan segera.

Akibatnya timbullah simplifikasi politik yang cenderung mengabaikan kompleksitas


konteks, logika formal, dan sebab akibat suatu persoalan. Simplifikasi politik dapat disebut
juga politik anti nalar.

Iklan politik yang ditampilkan di media cetak dan media elektronik umumnya hanya
menampilkan konsep hard sell. Ini merupakan konsep yang paling tepat untuk mendongkrak
popularitas elemen sebuah partai atau untuk mengedepankan citra politik yang baik. Tokoh
politik dalam iklan tersebut digambarkan sebagai sosok rendah hati yang menyatu dengan
rakyat, menyebut diri bagian dari wong cilik, memiliki pendidikan yang tinggi dan
intelektualitas berkualitas, ramah, santun, dan murah senyum.

Dalam iklan politik juga menawarkan janji surga. Mereka memaparkan visi misi
yang mampu menarik minat rakyat agar kelah memilih mereka saat pemilihan umum.
Padahal sebenarnya janji-janji itu bersifat muluk dan sulit untuk diejawantahkan. Kampanye
dalam iklan politik hanya berupa janji kosong.

Sikap demikian ini hanya berupa tebar pesona politik semata. Karena itu, timbul
kesenjangan antara cara mengemas iklan dan isinya (partai politik dan tokohnya) karena yang
paling utama adalah pembangunan citra.
10 | P a g e

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Iklan politik yang baik dilihat dari pencapaian sasarannya. Bila sasarannya adalah
popularitas, maka iklan politik harus membuat partai politik atau politikus itu terkenal. Bila
sasarannya untuk membangun image, berarti harus ada gambaran image tertentu yang
diciptakan agar terbangun di benak calon pemilih. Hasil akhirnya, kampanye iklan politik
yang baik adalah yang bisa menarik simpati pemilih sesuai dengan pesan yang disampaikan
kampanye iklan.

Proses semacam ini yang hanya mengutamakan popularitas semata, seperti kontes
pemilihan idol yang mengedepankan wajah. Iklan politik hanya semacam upaya untuk
mengenalkan diri. Karena itu visi dan misi yang tertera dalam iklan politik cenderung hanya
sekedar janji manis untuk menarik perhatian masyarakat.

Namun saat ini publik sudah lebih pintar dan cerdas dalam memilih. Masyarakat tidak
lagi mau terpengaruh dan termakan janji politik saja. Rakyat lebih melihat tindakan nyata
yang telah dilakukan oleh si tokoh politik atau pencapaian yang telah dilakukan partai untuk
mensejahterakan rakyat.

Karena itu untuk merebut simpati dan hati rakyat, tidak dilakukan cara instan untuk
memperkenalkan diri seperti yang sering terjadi dalam kampanye iklan politik. Tunjukkan
kerja nyata yang telah dihasilkan selama beberapa waktu tertentu untuk membuktikan pada
rakyat bahwa partai politik atau si tokoh politik tersebut memang benar-benar berbuat untuk
rakyat.

Salah satu figur politik yang paling menonjol saat ini adalah Gubernur DKI Jakarta
Joko Widodo, atau yang akrab disapa Jokowi. Gubernur yang satu ini merupakan salah satu
sosok fenomenal dalam dunia politi Indonesia, karena segala tindak tanduknya tidak seperti
para politisi pada umumnya.

Jokowi langsung terjun ke masyarakat, mendengarkan segala keluhan rakyat, bahkan


mengeluarkan dana pribadi untuk penyediaan logistik rakyat. Salah satunya dengan
mendatangkan beras sebanyak 50 ton dari Solo untuk korban banjir Jakarta.

Sikap Jokowi ini pada umumnya dilakukan para politisi menjelang pemilihan umum
dengan tujuan untuk menarik simpati massa. Setelah terpilih, kebanyakan para politisi
tersebut jarang mendekati konstituennya kembali. Namun yang dilakukan Jokowi adalah
11 | P a g e

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


blusukan hampir setiap hari, bahkan di saat dia telah terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta
(sebelumnya Jokowi adalah Walikota Solo).

Karena sosoknya yang fenomenal, dalam sekejap Jokowi telah menjadi kesayangan
media (media darling) yang segala aktivitas dan pernyataannya selalu menjadi headline
sejumlah media nasional. Tak heran jika banyak orang bersimpati pada Jokowi dan namanya
pun disebut-sebut sebagai salah satu calon presiden potensial pada pemilihan umum 2014
mendatang.

Tanpa harus beriklan untuk membuat citranya lebih baik, Jokowi telah menjadi sosok
yang diidamkan untuk memimpin Indonesia ke depannya. Jika Jokowi kelak mencalonkan
diri menjadi presiden, bisa jadi dia menang. Karena para rational voters pastinya memilih
orang yang telah menunjukkan pengabdiannya pada masyarakat secara nyata, bukan hanya
melalui iklan kampanye.

Salah satu contoh lain yang diamati penulis adalah ketika Partai Nasdem menjadi
satu-satunya partai politik baru yang lolos verifikasi partai politik untuk pemilihan umum
2014. Kelolosan partai ini tidak lepas dari pengaruh masif iklan yang dipasang di sejumlah
media terbesar nasional, yakni MNC Media Group milik Harry Tanoe dan Media Group
milik Surya Paloh.

Menurut penulis, keputusan Surya Paloh menggandeng Harry Tanoe sangat tepat.
Propaganda Partai Nasdem melalui iklan politik dapat dilancarkan di stasiun televisi swasta
yang sebagian besar dimiliki oleh MNC Media Group.

Dengan menguasai media, maka politisi akan semakin mudah melancarkan


propagandanya karena dia memiliki banyak jaringan untuk memperkenalkan program-
program, visi dan misinya, serta memperbaiki citranya.

b. Isi Berita

Hakikat berita adalah menyampaikan kepada publik apa yang harus mereka ketahui.
Informasi yang diberikan harus berdasarkan fakta, akurat, dapat diverifikasi, cover both sides,
serta jujur. Berita juga umumnya ditampilkan secara serius. Karena sifatnya itulah, tayangan

12 | P a g e

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


yang dibuat dalam bentuk berita memiliki kredibilitas lebih tinggi dibandingkan dengan
bentuk lain, seperti talk show yang sifatnya lebih ringan.
Pers dikategorikan sebagai the fourth estate oleh Edmund Burke. Ketika
ketidakseimbangan terjadi di antara tiga cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif), pers harus mampu hadir sebagai penengah yang tidak memihak golongan atau
kepentingan manapun. Tugas pers adalah memainkan peran sebagai pengawas pemerintah
(watchdog), sehingga antara pers dan pemerintah tidak boleh saling mencampuri kekuasaan.
Walaupun seharusnya media bebas dari bias politik, namun umumnya para reporter
tidak bisa melepaskan bias personal mereka dalam meliput kegiatan politik. Reporter
cenderung untuk membuat berita jenis tertentu dan melupakan berita lainnya.
Ada beberapa liputan politik yang menarik untuk disimak:
Liputan Kepresidenan. Segala hal yang menyangkut tentang presiden selalu menjadi
berita yang menarik dan layak jual. Tiap kali presiden mengadakan konferensi pers,
sidang kabinet, atau membuat statement mengenai suatu isu tertentu, kegiatan ini
kerap kali diliput secara LIVE di stasiun televisi dan menjadi breaking news. Tidak
hanya untuk media elektronik televisi, koran harian pun turut meliput apa yang terjadi
di dengan presiden dalam bentuk feature ringan. Contohnya di Harian Kompas yang
memiliki artikel dengan kicker SISI LAIN ISTANA yang selalu menceritakan tentang
kegiatan presiden selama di istana, saat berkunjung ke luar daerah, atau sekedar
menceritakan keanehan tentang salah satu ruang di istana.
Konflik. Konflik selalu menjadi unsur berita yang layak jual, karena biasanya di mana
ada konflik, pasti akan menghasilkan suatu perubahan besar signifikan yang
berdampak besar pada masyarakat. Konflik selalu menghasilkan isu besar yang
menyebabkan masyarakat kembali meredefinisi nilai-nilai mereka.
Skandal. Jenis liputan ini kebanyakan menyajikan sensasionalisme yang mengundang
keingintahuan khalayak. Apalagi bila yang terkena skandal adalah politikus politik
kondang. Berita skandal dapat mengakibatkan persoalan pemerintah rasanya jadi tidak
penting. Contohnya saat politisi Partai Demokrat Angelina Sondakh (Angie)
digosipkan terlibat asmara dengan salah satu penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), padahal pada saat itu Angie tengah diperiksa terkait dugaan yang dituduhkan
Nazaruddin padanya atas kasus korupsi dana Wisma Atlet Palembang.

13 | P a g e

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Jajak pendapat. Dalam kampanye politik, media selalu ingin menampilkan jajak
pendapat yang menampilkan pernyataan-pernyatan dari berbagai pihak mengenai
suatu isu yang saat itu sedang ramai dibahas. Terkadang hal ini menyebabkan isu lain
yang sebenarnya jauh lebih substantif malah kurang dibahas.
Keringkasan. Karena adanya keterbatasan space dan waktu, seringkali berita
ditampilkan secara singkat sehingga terkadang hasilnya kurang mendalam dan
dangkal. Untuk berita politik, ini merupakan masalah karena apabila politik dibahas
dengan cara yang dangkal, substansi tidak akan tersampaikan dengan baik. Namun
keringkasan ini merupakan cara untuk menjangkau orang-orang yang makin sibuk dan
cenderung abai untuk memikirkan politik dan pemerintahan.

Dalam menyebarkan propaganda politik di isi berita, media menampilkannya dengan


menggunakan kata-kata yang provokatif dan cenderung memihak (berat sebelah pada suatu
kepentingan tertentu). Berita itu pun akhirnya terkesan merupakan opini reporter. Padahal
dalam isi berita, kesan subjektifitas reporter harus ditiadakan.
Walaupun secara etis hal semacam itu tidak diperbolehkan, namun semua kembali
pada kebijakan media tempat dia bekerja. Bila konten provokatif memang menjadi kebijakan
editorial media tersebut, tidak ada pihak yang bisa menggugat kecuali caranya sudah
berlebihan dengan melanggar ranah hukum dan mengganggu ketertiban serta kenyamanan
umum.
Konten berita yang provokatif memang merupakan sarana propaganda yang tepat
untuk menyisipkan agenda politik, menjatuhkan pihak lawan sekaligus menanamkan
pengaruh ke pada khalayak. Apalagi apabila penyajiannya dilakukan secara berulang kali.
Lama kelamaan publik akan terpengaruh dan berpikir sama dengan apa yang disampaikan
oleh berita tersebut.

Kepemilikan Media

Media adalah sebuah korporasi. Karena itu media bekerja dan berjalan selayaknya
sebuah perusahaan. Pemilik media adalah orang yang memiliki perusahaan media dan berhak
untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang akan berjalan.

14 | P a g e

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Biasanya setiap perusahaan media memiliki editorial policy yang mencerminkan visi
misi si pemilik media, sekaligus merupakan identitas yang akan menjadi ciri khas perusahaan
itu nantinya. Setiap kebijakan yang diambil haruslah sesuai dengan editorial policy yang
telah diketahui semua kalangan, termasuk publik.

Kepemilikan media terdiri dari dua jenis. Pertama adalah media yang dimiliki oleh
pemerintah. Operasionalisasinya dibayarkan oleh/dari pemerintah. Yang kedua adalah media
yang dimiliki oleh swasta

Ketika berbicara tentang kepemilikan media, biasanya kita harus melihat dulu siapa
sebenarnya yang memodali kegiatan yang ada di media tersebut. Karena bisa saja si pemilik
media hanya menjalankan kegiatan operasional perusahaan media, sedangkan yang memberi
modal agar kegiatan di perusahaan media tersebut dapat berjalan malah berasal dari pihak
luar, misalnya konsumen, pengusaha swasta, atau pemerintah.

Dalam pembahasan sebelumnya mengenai agenda setting, seorang pemimpin opini


dapat mempengaruhi apa yang akan disampaikan media pada khalayak. Pemilik media pun
bisa melakukan hal yang sama dengan memanfaatkan posisinya untuk memperoleh perhatian,
simpati, dan kesetiaan masyarakat. Bahkan si pemilik dapat menggunakan medianya untuk
memperkuat kredibilitasnya sendiri dan menjatuhkan lawan yang tidak dia sukai.

Pemilik media swasta saat ini pun sepertinya sulit untuk lepas dari kegiatan berpolitik,
bahkan menjadi kader partai politik. Dengan berpolitik, mereka mendapatkan kekuasaan dan
akses yang legal dan legitimate. Dan melalui media yang mereka miliki, mereka memiliki
keleluasaan untuk melakukan propaganda politik.

15 | P a g e

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


III. Penutup

Kondisi Yang Terjadi di Masyarakat

Media massa selalu berupaya untuk menampilkan konten-konten yang mereka rasa
perlu untuk diketahui publik. Media terlihat cenderung mengabaikan kondisi bahwa sekarang
masyarakat sudah cerdas, sehingga sebenarnya bukan media lagi yang menetapkan apa yang
seharusnya diketahui publik, namun publik lah yang memutuskan apa yang penting buat diri
mereka.

Media massa yang sering menampilkan provokasi justru membuat masyarakat jenuh
dengan isi tayangannya. Publik justru beranggapan, media bukanlah lagi sarana yang tepat
untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan mereka. Media massa malah digunakan sebagai
corong oleh sebagian golongan tertentu untuk mencapai tujuan mereka.

Kejenuhan ini malah menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap media


massa. Alih-alih menggunakan media untuk menyuarakan keinginan mereka, masyarakat
malah bergerak sendiri dengan menjalankan civil society movement.

Namun menurut pendapat penulis, gerakan sipil hanya terjadi pada masyarakat
kalangan menengah ke atas, karena kalangan ini mendapat cukup pendidikan. Untuk
kalangan bawah, mereka cenderung tidak peduli dengan perkembangan politik yang terjadi
saat ini. Golongan seperti mereka adalah kalangan yang rentan termakan propaganda politik
di media massa dan tidak berpikir panjang. Mereka mudah sekali termakan janji-janji
kampanye politik.

Dan memang dalam mencitrakan dan menciptakan sebuah image yang baik, partai
politik atau politisi selalu menggambarkan dirinya dekat dengan kalangan bawah dan
merupakan sosok penolong yang akan hadir untuk mereka. Terkadang kalangan bawah tidak
menyadari kalau mereka sebenarnya hanya dimanfaatkan.

Ditambah lagi di tahun 2013 yang merupakan tahun politik ini, semua partai politik
dan politisi berlomba-lomba untuk merebut simpati rakyat. Dikhawatirkan iklan politik
terselubung akan dimunculkan di media-media, apalagi jika politisi tersebut sekaligus

16 | P a g e

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


merupakan pemilik media. Maka bisa jadi si politisi menggunakan media miliknya sebagai
corong mengkampanyekan diri dan partainya.

Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Idy Muzzayad, seperti yang dikutip dalam
Harian Kompas edisi Jumat, 11 Februari 2013 mengatakan, iklan bisa disebut kampanye
terselubung jika memuat salah satu visi-misi, program, dan ajakan. Iklan tersebut ditayangkan
sebelum 16 Maret 2014, seperti yang diatur UU No.8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD.

Sanksi bisa dikenakan pada media massa yang melanggar berupa teguran tertulis,
pengurangan durasi, denda, tidak mendapat perpanjangan izin siaran, bahkan pencabutan hak
siar. Karena itulah Dewan Pers beserta Komisi Penyiaran Indonesia diharapkan mampu
menjadi pengawas yang tegas bila pelanggaran seperti ini dilakukan.

17 | P a g e

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Contoh Kasus 01

Artikel Harian Media Indonesia, edisi Sabtu, 31 Desember 2011

Dicari Capres yang Siap Bela Rakyatnya

Analisis:

Dari judulnya saja, menurut saya sudah semacam propaganda politik. Judulnya
mengesankan bahwa selama ini sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden
RI bukanlah sosok yang dianggap membela kepentingan rakyatnya. Dan jangan sampai
kesalahan SBY ini terulang lagi kepada bakal calon presiden (capres) selanjutnya.

Sejak beberapa bulan terakhir di 2011, telah mencuat beberapa nama bakal capres
dari beberapa partai politik tertentu yang akan diusung sebagai presiden pada Pemilu 2014.
Kesan yang saya dapat saat membaca artikel ini adalah, Media Indonesia berpendapat bahwa
nama calon yang beredar saat ini bukanlah calon yang baik yang memenuhi criteria sebagai
capres RI 2014 nanti.

Dari pemilihan kata-kata pada lead dan kutipan narasumber (yang di-highlight),
tampak jelas bila ada propaganda politik yang diluncurkan untuk menjatuhkan para bakal
capres RI. Namun kesan yang ditunjukkan tidak menunjukkan bahwa pihak Media Indonesia
yang ingin menjatuhkan. Karena itu dengan cerdas di artikel ini ditulis pendapat narasumber.

Yang saya lihat dalam artikel ini, para narasumber berusaha menjadi opinion leader
yang menggiring pikiran pembaca untuk berpikir sama dengannya. Dan yang saya juga
sedikit berspekulasi mengenai artikel ini.

Pemilik Media Indonesia adalah Surya Paloh yang juga (tidak) aktif mengurusi Partai
Nasdem. Target Nasdem adalah Pemilu 2014 karena partai ini sudah lulus verifikasi partai
politik di KPU. Walau tidak secara eksplisit dinyatakan bahwa calon dari Partai Nasdem
adalah yang terbaik, namun pelan-pelan sepertinya Media Indonesia ingin menanamkan
pemahaman bahwa calon-calon dari parpol tertentu belum mumpuni menjadi presiden.

18 | P a g e

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Contoh Kasus 02

Iklan Aburizal Bakrie di Koran Kompas, edisi Kamis, 12 Januari 2012

Bersama Bangkitkan Usaha Kecil Dari Aceh Hingga Papua

Analisis:

Di iklan ini menampilkan sosok Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang
terlihat sangat peduli dengan para pengusaha kecil. Ada foto-foto para pengusaha tersebut
dan dilengkapi testimoni salah satu dari mereka yang berisi pujian tentang Aburizal.

Dari iklan ini, Golkar dan Aburizal ingin membangun sebuah brand image bahwa dia
peduli dengan para pengusaha kecil. Ditambah lagi Aburizal yang backgroundnya adalah
seorang pengusaha. Ini memberikan semacam kedekatan emosional kepada para pengusaha
kecil tersebut bahwa Aburizal memang peduli dengan pengusaha dan karena kesamaan itu,
mereka bisa merasa bahwa Aburizal akan membela kepentingan mereka karena sama-sama
berasal dari kalangan yang sama.

Karena itu, bisa saja tertanam dalam benak para pengusaha lain di Indonesia, agar
nanti semua kepentingan mereka terjamin, pilih saja Aburizal dan Partai Golkar saat Pemilu
2014. Sudah santer terdengar bila Aburizal akan diusung menjadi capres 2014. Karena itu
dari sekarang, dia harus mulai membangun citranya agar dikenal berbagai kalangan. Dan dia
harus membangun kesan bahwa dia dan Golkar peduli dengan rakyat kecil.

19 | P a g e

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Contoh Kasus 03

Perang Antara TV One dan Metro TV

Sepertinya sejak Surya Paloh dan Aburizal Bakrie pecah kongsi di Partai Golkar
karena sama-sama bersaing dalam pemilihan ketua umum partai, media massa milik mereka
pun terlihat saling serang.

Setiap kali isu Lumpur Lapindo mencuat, Metro TV selalu mengangkat topik itu
dengan sangat dalam, bahkan sampai mengadakan sesi dialog interaktif. Anchor nya pun
menggunakan kata yang sedikit menuntut, seperti menyebutkan bahwa ini merupakan kasus
lama yang tidak bisa diselesaikan atau yang lainnya.

Sebaliknya di saat Metro TV membahas kasus ini secara mendalam, TV One bahkan
tidak menyinggung-nyinggungnya sama sekali. TV One malah mengangkat masalah lain
yang saat itu kurang hot bagi masyarakat.

Dan sepanjang pengamatan penulis, belum pernah melihat ada iklan Partai Golkar di
Metro TV, dan tidak ada iklan Partai Nasdem di TV One.

Meskipun Aburizal adalah pemilik TV One, tapi sepertinya Aburizal mencoba tidak
terlalu sering menggunakan medianya untuk menonjolkan diri. Yang penting di TV One tidak
ada pemberitaan jelek mengenai dirinya, keluarganya, dan Bakrie Group.

Sementara di Metro TV, Surya Paloh memanfaatkan medianya untuk menonjolkan


citra dirinya. Semua kegiatan ormas Nasdem dan Partai Nasdem selalu menjadi breaking
news dan punya sesi liputan khusus yang ditampilkan di Metro TV.

20 | P a g e

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013


Referensi:

McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2011

Vivian, John. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana, 2008

Tinarbuko, Sumbo. Iklan Politik Dalam Realitas Media. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra,
Maret 2009

Mulyana, Deddy. Komunikasi Massa: Kontroversi, Teori, dan Aplikasi. Bandung: Widya
Padjajaran, 1 Agustus 2008

Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Adya
Bakti, 2003

Kusumaningrat, Hikmat; Purnama Kusumaningrat. Jurnalistik: Teori & Praktik. Bandung:


PT Remaja Rosdakarya, Februari 2009

Bryant, Jennings; Susan Thompson. Fundamentals of Media Effects. New York: The
McGraw-Hill Companies, 2002

Sastropoetro, R.A. Santoso. Propaganda: Salah Satu Bentuk Komunikasi Massa. Bandung:
Penerbit Alumni, 1991

http://belajar-komunikasi.blogspot.com/2011/02/media-sebagai-alat-propaganda-politik.html

Makalah: Propaganda Politik melalui Berita di Media Massa dalam Pemilihan Umum
Indonesia Tahun 1987 pada Masa Orde Baru oleh Reni Oktari

http://megapolitan.kompas.com/read/2013/01/18/20113848/Jokowi.Borong.Beras.dari.Solo.u
ntuk.Bantuan.Pengungsi

Harian Kompas Edisi Jumat, 1 Februari 2013

21 | P a g e

Media dan ..., Anneila Firza Kadriyanti, FIB UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai