Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sejak era reformasi di Indonesia dimulai pasca 1998, sistem pemilu di

Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Pada Pemilu masa Orde Baru,

masyarakat Indonesia hanya mengenal 3 (tiga) partai politik besar peserta Pemilu,

yaitu Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan.

Bahkan pada setiap Pemilu yang dilaksanakan di Indonesia masa Orde Baru tersebut

selalu dimenangkan partai politik pro-pemerintah, atau dapat dikatakan tanpa

mengadakan Pemilupun sudah diketahui pemenangnya. Tetapi Indonesia merupakan

negara demokrasi dimana Pemilihan Umum adalah ciri khas yang menandakan bahwa

negara tersebut adalah negara demokrasi.

Setelah era baru tersebut dimulai, Pemilu 1999 pun digelar dengan tujuan

menandakan bahwa rakyat Indonesia membutuhkan suasana politik yang baru setelah

Orde Baru, yaitu bukti dari reformasi tersebut. Pada Pemilu 1999 masih memiliki

kemiripan dengan Pemilu sebelumnya, hanya saja dimodifikasi sedikit dengan

mengikutsertakan 48 Partai Politik peserta Pemilu pada saat itu. Presiden terpilih pada

Pemilu 1999 adalah Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur. Masa

kepresidenan Gus Dur tidak bertahan lama dikarenakan tekanan dari berbagai pihak,

dan digantikan oleh Wakil Presiden pada saat itu Megawati Soekarno Putri.

Setelah masa kepemimpinan Megawati tersebut, kembali diselenggarakan

Pemilu 2004 yang menghasilkan sejarah baru, yaitu terpilihnya Susilo Bambang

Yudoyono atau akrab dipanggil SBY sebagai Presiden Republik Indonesia periode

Universitas Sumatera Utara


2004-2009. Pada Pemilu 2004 sistem pemilu kembali dimodernisasi dan dimodifikasi

demi menutupi kekurangan-kekurangan sistem pemilu sebelumnya.

Indonesia merupakan negara yang menggunakan sistem demokrasi dimana

rakyat memiliki peranan penting didalam urusan negara, atau demokrasi merupakan

kekuasaan rakyat berbentuk pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat ikut

mengambil bagian dalam pemerintahan. Oleh karena itu, kekuasaan para pemimpin

dan pejabat formal itu bukan muncul dari pribadinya, akan tetapi merupakan titipan

rakyat atau merupakan kekuasaan yang dilimpahkan rakyat kepada pemimpin dan

pribadi-pribadi penguasa. Rakyat membuat kontrak sosial lewat perwakilannya untuk

mendelegasikan kekuasaannya kepada pemerintah yang dipilih. Maka akan ada aturan

main yang berupa Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Hukum dan

sebagainya. Kemudian dibuat dan ditetapkan dengan maksud agar dengan sarana-

sarana kekuasaan titipan yang dilaksanakan oleh pejabat atau penguasa itu benar-

benar mulus lurus, benar dan jujur, demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dan

tidak dimanipulasikan demi kepentingan pribadi para pemimpin dan pejabat untuk

mengeruk keuntungan dan memperkaya diri. 1

Pembuatan kontrak sosial tersebut dilakukan melalui pemilu (pemilihan

umum) yakni sarana demokrasi yang daripadanya dapat ditentukan siapa yang berhak

menduduki kursi di lembaga politik negara, legislatif dan eksekutif. Melalui pemilu

rakyat memilih figur yang dapat dipercaya yang akan mengisi jabatan legislatif dan

jabatan eksekutif. Dalam pemilu, rakyat yang telah memenuhi persyaratan untuk

memilih, secara bebas dan rahasia, menjatuhkan pilihannya pada figur yang dinilai

sesuai dengan aspirasinya. 2

1
Kartini Kartono, Pendidikan Politik, Bandung: Mandar Maju, 1996, h.156-158
2
Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, 2007, h.173-174

Universitas Sumatera Utara


Dalam rangka pembagian kekuasaan negara (secara vertikal) dibentuk daerah-

daerah yang bersifat otonom dengan bentuk dan susunan pemerintahannya yang diatur

dalam undang-undang. Sehingga pemerintah pusat menyelenggarakan pemerintahan

nasional dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahan daerah, pembagian

kekuasaan daerah itu disebut dengan desentralisasi yang dipahami sebagai penyerahan

wewenang politik dan perundang-undangan untuk perencanaan, pengambilan

keputusan dan manajemen pemerintah (pusat) kepada unit-unit sub nasional (daerah/

wilayah) administrasi negara atau kepada kelompok-kelompok fungsional atau

organisasi non-pemerintahan swasta. 3 Dan otonomi daerah merupakan bagian sistem

politik yang diharapkan memberikan peluang bagi warga negara untuk lebih mampu

menyumbangkan daya kreativitasnya. 4

Gagasan otonomi daerah melekat pada pelaksanaan UU No.32 Tahun 2004

mengenai pemerintahan daerah yang sangat berkaitan dengan demokratisasi

kehidupan politik dan pemerintahan baik tingkat lokal maupun ditingkat nasional.

Agar demokrasi bisa terwujud maka daerah harus memiliki kewenangan yang luas

dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. 5 Sehingga muncul konsep

pembaruan kabupaten yang dirumuskan sebagai transformasi kabupaten yang hendak

menegaskan bahwa pembaruan bermakna sebagai tidak lagi bekerja dengan skema

dan watak yang lama, melainkan telah bekerja dengan skema dan watak yang baru.

Proses pembaruan haruslah dapat memberikan kepastian bahwa nasib rakyat akan

berubah menjadi lebih baik lagi. Pembaruan kabupaten juga berarti perombakan

menyeluruh yang dimulai dari paradigma seluruh elemen yang ada atau

mengorganisir seluruh sumber daya yang ada agar mengabdi pada kepentingan

3
Bambang Yudhoyono, Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h. 20
4
M.Arif Nasution, Nasionalisme dan Isu-Isu Lokal, Medan:USU Press, 2005, h. 63
5
Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten, Yogyakarta: Pembaruan, 2004, h. ix-x

Universitas Sumatera Utara


masyarakat.6 Didalam merealisasikan demokrasi ditingkat lokal dan implementasi

Undang-Undang No.32 Tahun 2004 ini diperlukan adanya pembaruan daerah dalam

hal ini adalah pemekaran Kabupaten Batubara.

Dari konsep otonomi daerah inilah kemudian digagas kembali tentang sistem

pemilu yang mulai mengenalkan sistem pemilihan Kepala Daerah Langsung.

Perubahan ini kemudian akan diatur sedemikian rupa sehingga Undang-Undang

No.32 Tahun 2004 disempurnakan menjadi Undang-Undang No.12 Tahun 2008

tentang Pemilihan Umum. Sebelum keluarnya UU No.12 Tahun 2008 sistem pemilu

di Indonesia belum mengenal adanya calon Kepala Daerah diluar partai politik.

Artinya Partai Politik masih menjadi kunci utama dalam penetu siapa Kepala Daerah

dan menjadi satu-satunya preferensi politik masyarakat.

Dengan keluarnya Undang-Undang No.12 Tahun 2008, maka opsi preferensi

politik masyarakat manjadi lebih luas dan beragam. Ini ditandai banyaknya calon

perseorangan yang maju mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah. Batu Bara menjadi

salah satu kabupaten yang dalam pemilu kepala daerahnya mengikut sertakan calon

perseorangan.

6
Ibid.,h. 13

Universitas Sumatera Utara


Tabel I.1

Daftar Nama Calon Pasangan Bupati dan Wakil Bupati

No Nama Pasangan Calon Bakal Calon Partai Pengusung

1. H. Ok. Saidin, SH, M.Hum Bupati PKS, Demokrat,


Bagus Joko Triono, SE Wakil Bupati PDK
2. Parlindungan Sinaga, SH Bupati Perseorangan
Muhammad Nur Ali, S.Ag Wakil Bupati
3. Ir. Yahdi Khoir Harahap, MBA Bupati GOLKAR, PAN
H. Surya, BSc Wakil Bupati
4. H. Janmat Sembiring, SE Bupati PPP
H.M. Syahiri. A.karim, S.Ag Wakil Bupati
5. OK. Arya Zulkarnain, SH, MM Bupati Perseorangan
Drs. H. Gong Matua Siregar Wakil Bupati
6. H. Abdul Wahid, Dr, SpPd Bupati PBR, PBB, Patriot
Drs. Jalaluddin Wakil Bupati
7. Dr. Januari Siregar, SH. M.Hum Bupati PDIP, PDS, PNBK,
Sri Kumala, SE Wakil Bupati PBSD, PPIB, PPD,
PNI Marhaen
8. Drs. Ibrahim Usman Bupati Peseorangan
H. Ahmad Yusro, SH Wakil Bupati
Sumber : KPU Kabupaten Batu Bara

Dukungan untuk mencalonkan sebagai bakal calon itu menjadi atensi kita

dalam melihat gejala perubahan arah preferensi politik masyarakat. Preferensi politik

masyarakat mulai mengarah kepada kepekaan terhadap diri sendiri dalam memandang

siapa-siapa dan bagaimana figur calon pemimpin yang ada. Fenomena ini bisa diambil

contoh di Kabupaten Batubara yang menjadi satu-satunya daerah pemekaran yang

baru pertama kali melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah Langsung dengan calon

perseorangan sebagai pemenangnya. Pasangan OK. Arya Zulkarnaen-Gong Matua

Siregar jauh mengungguli calon-calon yang merupakan representasi dari partai

politik. Ini dapat dilihat dari :

Universitas Sumatera Utara


Tabel I.2

Perolehan Hasil Suara Kabupaten dan Kecamatan Lima Puluh

No Nama Pasangan Calon Jumlah Suara Jumlah Suara


Kecamatan Lima Kabupaten
Puluh
1. H. Ok. Saidin, SH, M.Hum 4.183 13.958
Bagus Joko Triono, SE
2. Parlindungan Sinaga, SH 5.486 26.224
Muhammad Nur Ali, S.Ag
3. Ir. Yahdi Khoir Harahap, MBA 6.937 38.072
H. Surya, BSc
4. H. Janmat Sembiring, SE 809 5.433
H.M. Syahiri. A.karim, S.Ag
5. OK. Arya Zulkarnain, SH, MM 14.749 53.456
Drs. H. Gong Matua Siregar
6. H. Abdul Wahid, Dr, SpPd 190 1.672
Drs. Jalaluddin
7. Dr. Januari Siregar, SH. M.Hum 960 5.779
Sri Kumala, SE
8. Drs. Ibrahim Usman 4.291 15.483
H. Ahmad Yusro, SH
JUMLAH 160.077
Sumber : KPU Kabupaten Batu Bara

Jika dikerucutkan melihat fenomena preferensi politik masyarakat dalam

menentukan pilihan calon dari partai politik ke calon perseorangan maka akan dilihat

hasil yang lebih signifikan berdasarkan :

Tabel I.3

Perolehan hasil suara kabupaten dan kecamatan bagi Calon Perseorangan

No Nama pasangan Calon Jumlah Suara Jumlah Suara


Perseorangan Kecamatan Lima Puluh Kabupaten
1 Parlindungan Sinaga, SH 5.486 26.224
Muhammad Nur Ali, S.Ag
2 OK. Arya Zulkarnain, SH, 14.749 53.456
MM
Drs. H. Gong Matua Siregar
3 Drs. Ibrahim Usman 4.291 15.483
H. Ahmad Yusro, SH
JUMLAH 24.526 95.163

Universitas Sumatera Utara


Dari jumlah diatas dapat dilihat persentase jumlah pemilih yang memilih

pasangan calon perseorangan berjumlah 59,44%. Melihat kondisi yang telah

dipaparkan diatas maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian di

Kabupaten Batu Bara tepatnya di Kecamatan Lima Puluh mengenai : Preferensi

Politik Pemilih Terhadap Kemenangan Calon Perseorangan Dalam Pemilukada

Di Kabupaten Batubara Periode 2008 2013 di Kecamatan Lima Puluh.

I.2 Perumusan Masalah

Dalam rancangan penelitian ini, penulis perlu menegaskan dan merumuskan

masalah yang akan diteliti dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka

dapat dirumuskan yang menjadi perumusan masalah adalah: Faktor yang

menyebabkan Perubahan Preferensi Politik Pemilih Dalam Pemilukada Di

Kabupaten Batubara Periode 2008-2013 (Studi Kasus : Perilaku Politik Pemilih

di Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara)

I.2.1 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti perlu untuk memberi batasan masalah dalam

meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi politik masyarakat dalam

pemilihan kepala daerah sehingga dapat memilih calon perseorangan. Batasan

masalah diperlukan untuk lebih menspesifikkan lagi ruang lingkup permasalahan

penelitian.

Adapun pun yang menjadi batasan masalah adala sebagai berikut :

1. Yang menjadi lokasi penelitian adalah Kecamatan Lima Puluh yang

meliputi 27 desa/ kelurahan.

Universitas Sumatera Utara


2. Yang menjadi sampel adalah para pemilih yang menggunakan hak

suaranya dan yang memilih pasangan calon perseorangan O.K.Arya

Zulkarnaen, SH-Drs, H.Gong Matua Siregar.

I.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat perilaku pemilih masyarakat di Kecamatan Lima Puluh pada

Pemilihan Kepala Daerah (Bupati).

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat

dalam menentukan pilihan politiknya di dalam Pemilihan Kepala Daerah

(Bupati).

I.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan,

terutama dalam bidang kajian ilmu politik.

2. Bagi penulis, penelitian ini merupakan media untuk mengasah

kemampuan membuat karya ilmiah dan juga menambah pengetahuan

dalam menganalisis bagaimana proses undang-undang dapat dilahirkan.

3. Bagi FISIP USU, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

referensi yang dapat memperkaya bahan penelitian dalam bidang ilmu

politik.

Universitas Sumatera Utara


I.5 Landasan Teori

1.5.1 Perilaku Politik


Perilaku Politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan

proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Yang melakukan kegiatan

adalah pemerintah dan masyarakat, kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi dua

yaitu fungsi-fungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan fungsi-fungsi

politik yang dipegang oleh masyarakat.7

Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan

antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan,

pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku

politik. Perilaku politik merupakan salah satu dari perilaku secara umum karena

disamping perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi,

perilaku budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya. Perilaku politik merupakan

perilaku yang menyangkut persoalan politik. 8

Dalam melakukan kajian terhadap perilaku politik, dapat dipilih tiga

kemungkinan unit analisis, yakni aktor politik, agregasi politik dan tipologi

kepribadian politik. Adapun tipologi dalam kategori individu aktor politik meliputi

aktor politik (pemimpin), aktivis politik dan individu warga negara biasa. 9

Yang dimaksud dengan agregasi ialah individu aktor politik secara kolektif,

seperti kelompok kepentingan, birokrasi, partai politik, lembaga-lembaga

pemerintahan dan bangsa, sedangakan yang dipelajari dalam tipologi kepribadian

politik ialah tipe-tipe kepribadian pemimpin otoriter, machiavelis, demokrat. Kajian

terhadap perilaku politik sering kali dijelaskan dari sudut pandang psikologi

disamping pendekatan struktural fungsional dan struktural konflik. Berikut ini

7
Ramlan Surbakti.Op. Cit. Hal 167
8
Sudijono Sastroatmodjo. Perilaku Politik. Semarang. IKIP Semarang Press. 1995. Hal 2- 3
9
Ramlan Surbakti. Op. Cit. hal 169

Universitas Sumatera Utara


diuraikan sebuah model tentang faktor-faktor yang memperngaruhi perilaku politik

individu aktor politik yang merupakan kombinasi ketiga pendekatan tersebut yang

dikemukakan oleh M. Brester Smith (1968).

I.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik

Dalam masyarakat yang pluralis budayanya tinggi, seringkali terdapat kegiatan

yang bervariasi dan tidak mustahil terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya. Untuk

memahami perilaku politik diperlukan tinjauan dari sudut pandang yang

multidimensi. Hal itu berarti bahwa latar belakang dan faktor yang mendorong

perilaku politik tidak bersifat determinan, tetapi bersifat memberikan pengaruh. 10

Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik

masyarakat, pertama, perlu dipahami dalam konteks latar belakang historis. Sikap dan

perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh proses-proses dan peristiwa historis

masa lalu. Hal ini disebabkan bahwa budaya politik tidak merupakan kenyataan yang

statis dan tidak berkembang, tetapi justru sebaliknya merupakan sesuatu yang berubah

dan berkembang sepanjang masa. 11

Kedua, faktor kondisi geografis memberikan pengaruh dalam perilaku politik

masyarakat sebagai kawasan geostrategis, Indonesia memiliki kemungkinan sebagai

pusat perhatian dunia internasional. Wilayah geografis yang strategis merupakan

pertimbangan strategis bagi dunia internasional untuk mengadakan kerja sama dan

hubungan dalam berbagai kepentingan. Di pihak lain, faktor kemajemukan budaya

dan etnis merupakan hal yang rawan bagi terciptanya disintegrasi.

Oleh karena itulah kondisi geografis merupakan pertimbangan yang penting

dan mempengaruhi perilaku politik seperti pembuatan peraturan, perencanaan

kebijakan, pengambilan keputusan dan sebagainya. Kondisi ini juga mempengaruhi

10
Sudijono Sastroatmodjo, Op.Cit., h. 12
11
Ibid., h. 17

Universitas Sumatera Utara


perbedaan tingkat partisipasi politik masyarakat kesenjangan pemerataan

pembangunan, kesenjangan informasi, komunikasi dan teknologi mempengaruhi

proses sosialisasi politik, pendidikan politik dan komunikasi politik masyarakat.

Berdasarkan inilah aktor politik dituntut untuk mempertimbangkan kondisi dan

pengambilan keputusan.

Ketiga, faktor budaya politik memiliki pengaruh dalam perilaku politik

masyarakat. Budaya politik suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi

khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu, mencapai serta

memelihara stabilitas sistem politik. Berfungsinya budaya politik itu pada prinsipnya

ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa dan struktur politiknya.

Kemajuan budaya Indonesia mempengaruhi budaya budi bangsa. Berbagai budaya

daerah pada masyarakat Indonesia berimplikasi pada terciptanya sebuah bentuk

perilaku politik dengan memahami budaya politik masyarakat yang dipandang penting

untuk memahami perilaku politik. Sehingga dapat diketahui bagaimana dan mengapa

mereka melakukan sesuatu, apa motivasi dan bagaimana pola tingkah laku tersebut

menyelaraskan diri dengan sistem politik yang berlaku. 12

Keempat, perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh agama dan keyakinan.

Agama telah memberikan nilai etika dan moral politik yang memberikan pengaruh

bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan dan agama merupakan

pedoman dan acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah yang dapat

mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya

proses politik dan partisipasi warga negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi

rendahnya pemahaman agama seseorang. 13

12
Ibid., h. 20-21
13
Ibid., h. 25

Universitas Sumatera Utara


Kepercayaan, ideologi dan mitos merupakan citra-citra kolektif dan ide yang

bersifat elemen spiritual dan psikologis. 14 Keyakinan mengacu kepada ideologi yaitu

keyakinan yang lebih rasional dan ada yang bersifat irasional atau mitos. 15 Ideologi

merupakan keyakinan yang dirasionalisir dan disistematisir, yang mencerminkan

situasi masyarakat.16 Mitos merupakan keyakinan yang kurang jelas, kurang rasional

dan yang kurang teliti yang bersifat fabel tentang alam, dunia, manusia dan

masyarakat yang sudah diterima secara kuat. Pada abad 20, jurnalis perancis George

Sorel mengembangkan suatu paham bahwa salah satu cara yang efektif untuk

mempengaruhi suatu komunitas adalah memberikan citra-citra yang singkat dan tidak

rumit tentang suatu masa depan yang fiktif yang mempolaisir emosi-emosinya dan

bergerak menuju aksi. 17

Kelima, pendidikan dan komunikasi juga mempengaruhi perilaku politik

seseorang. Sistem politik yang cenderung sentralistis akan mempengaruhi perilaku

politik seseorang dalam mengatasi dan mengakomodasi berbagai kepentingan.

Semakin tinggi pendidikan masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesadaran

politiknya, dan sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin rendah

pula tingkat kesadaran politiknya. Komunikasi politik yang intens akan

mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam kegiatan politiknya.

Keenam, faktor kepribadian seseorang juga mempengaruhi perilaku politik.

Perilaku politik itu bergantung pada sifat struktur kepribadian yang dimilikinya,

apakah tergolong dalam fungsi penyesuaian diri atau dalam basis fungsional

eksternalisasi dan pertahanan diri.

14
Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1982, h.147
15
Ibid., h. 148
16
Ibid., h.150
17
Ibid., h.154

Universitas Sumatera Utara


Ketujuh, faktor lingkungan sosial politik. Faktor ini dapat mempengaruhi

aktor politik secara langsung seperti keadaan keluarga, cuaca, keadaan ruang,

ancaman, suasana kelompok dan kehadiran orang lain. Lingkungan sosial politik

tersebut saling mempengaruhi dan berhubungan satu dengan yang lain dan bukannya

sebagai faktor yang berdiri sendiri. Melalui proses, pengalaman, sosialisasi dan

sebgainya terbentuklah sikap dan perilaku politik seseorang.

Selain faktor-faktor tersebut, pendapat umum masyarakat di Prancis

menyatakan bahwa kesadaran politik memusatkan kepada ideologi dan bukan mitos

rakyat dan ada lima faktor yang memainkan peranan penting untuk menentukan

pilihan rakyat dan sikap rakyat, yaitu: 1). Standar hidup, kondisi gaji atau tidak

didigaji, sense of social belonging, 2). Kelompok umur dan seks, 3). Tingkat

pendidikan, 4). Agama, dan 5). Simpati terhadap partai politik. Tiga faktor terakhir

bersifat ideologis, partai-partai didasarkan pada ideologi politik, kurang atau lebih

terikat kepada doktrin-doktrin politik dan tingkat pendidikan mempengaruhi

kemungkinan saling pengertian.

Konsep kesadaran politik ini menunjukkan peranan ideologi. Setiap sikap

politik yang khusus adalah jawaban serentak kepada situasi kongkrit yang bangkit di

dalam masyarakat dan manifestasi dari visi keseluruhan tentang kekuasaan,

hubungannya dengan warga secara individual dan konflik dimana kekuasaan

merupakan kesadaran politik. Semakin tinggi kesadaran politik maka semakin besar

pengaruhnya dan semakin kurang setiap sikap didiktekan oleh keadaan dari suatu

situasi khusus. Kesadaran politik adalah produk dari sejumlah faktor pendidikan,

lingkungan, pengalaman dan semacamnya. 18

18
Ibid., h.160

Universitas Sumatera Utara


1.5.3 Perilaku Pemilih

Para ahli ilmu politik menyebutkan bahwa tingkah laku individu dalam

pemungutan suara pada kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih

(Voting Behavior). Menurut Harold F. Gosnell, Pemungutan suara adalah proses

dimana seorang anggota masyarakat dari suatu kelompok menyatakan pendapatnya

dan dengan demikian ikut serta dalam menentukan konsensus diantara anggota-

anggota kelompok itu dalam pemilihan seorang pejabat maupun keputusan yang

diusulkan. 19 Dengan demikian, konsep voting berkaitan dengan pemberian suara dari

seorang individu dalam rangka ikut berpartisipasi politik.

Perilaku pemilih dan partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat

dipisahkan. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu

wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup suara,

sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari

dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk

mempengaruhi hasil proses pemilihan. 20

Secara sederhana perilaku pemilih didefinisikan sebagai suatu studi yang

memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan

rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan

pemilihan itu. 21

Dalam menganalisis perilaku pemilih dan untuk menjelaskan pertimbangan-

pertimbangan yang digunakan sebagai alasan oleh para pemilih dalam menjatuhkan

pilihannya, dikenal dua macam pendekatan yaitu, Mahzab Columbia yang

19
Harol. F. Gosnell, dalam Edwin R. A Salignan dan Alvin Johnson. Encyclopedia of Social Science.
Vol. 15. New York. The Macmillan Co. 1934. Hal 287
20
Samuel P. Hutington dan Joan Nelson. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta. Rineka
Cipta. 1990. Hal 16
21
Jack C. Plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin. Kamus Analisa Politik. Jakarta. C.V.
Rajawali Press. 1985. Hal 280

Universitas Sumatera Utara


menggunakan pendekatan sosiologis dan Mahzab Michigan yang dikenal dengan
22
pendekatan Psikologis. Selain itu terdapat juga pendekatan rational choice yang

melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang didapat oleh individu

tersebut. 23

I.5.3.1 Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan

pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan

dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial ini misalnya berdasarkan

umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), agama dan semacamnya,

dianggap mempunyai peranan cukup menentukan dalam pentuk perilaku pemilih.

Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal seperti

keangggotaan seseorang didalam organisasi keagamaan, organisasi profesi,

kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun kelompok informal seperti

keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya. Ini merupakan

sesuatu vital dalam memahami perilaku politik, karena kelompok-kelompok ini

mempunyai peranan besar dalam bentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang.

Gerald Pomper memperinci pengaruh pengelompokan sosial dalam kajian voting

behavior kedalam 2 variabel yaitu predisposisi (kecendrungan) sosial ekonomi

pemilih dan keluarga pemilih. Apakah preferensi politik ayah atau ibu akan

berpengaruh pada preferensi politik anak, sedangkan predisposisi sosial ekonomi

berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis dan

sebagainya. 24

22
Afan Gaffar. Javanese Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party System.
Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 1992. Hal 4- 9
23
Ramlan Surbakti. Op. Cit. Hal 187
24
A.Rahman Zainuddin, h.47-48

Universitas Sumatera Utara


Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih nampaknya sangat

mempengaruhi dimana nilai-nilai agama selalu hadir didalam kehidupan privat dan

public dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih.

Dikalangan partai politik, agama dapat melahirkan dukungan politik dari pemilih atas

dasar kesamaan teologis, ideologis, solidaritas dan emosional. Fenomena partai yang

berbasis agama dianggap menjadi daya tarik kuat dalam preferensi politik.

Dalam literatur perilaku pemilih, aspek agama menjadi pengamatan yang

penting. Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu yang sesuaidengan

agama yang dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting untuk

sebahagian besar masyarakat. Misalnya seorang muslim cenderung untuk memilih

partai yang berbasis islam dan sebaliknya seorang non-muslim cenderung untuk

memilih partai non-muslim. 25

Aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku pemilih. Adanya

rasa kedaerahan mempunyai dukungan seseorang terhadap partai. Dibeberapa negara,

wilayah tertentu mempunyai loyalitas terhadap partai tertentu. Hal ini biasanya

berkaitan dengan status ekonomi seseorang (faktor kelas) terutama dihampir semua

negara industri. Namun penelitian yang dilakukan oleh Afan Gaffar menunjukkan

bahwa pengaruh kelas dalam perilaku pemilih di Indonesia tidak begitu dominan.

Tidak ada perbedaan kecenderungan perilaku politik antara mereka yang termasuk

kategori orang kaya/ orang miskin; antara yang memiliki tanah yang luas yang sedikit;

antara yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang dengan buruh tani, dan

sebagainya. 26

25
Dikutip dari Sulhardi, Political Psycology Socialization, and culture,
http://pangerankatak.blogspot.com/ 2008/04/governing-intoduction-to-political, 28 April 2008.
26
A.Rahman Zainuddin, Op.Cit., h.48-49

Universitas Sumatera Utara


I.5.3.2 Pendekatan Psikologis

Psikologi adalah ilmu sifat, dimana fungsi-fungsi dan fenomena pikiran

manusia dipelajari. Setiap tingkah laku dan aktivitas masyarakat dipengaruhi oleh akal

individu. Sedangkan ilmu politik mempelajari aspek tingkah laku masyarakat umum

sehingga ilmu politik berhubungan sangat dekat dengan psikologi. 27

Pendekatan ini muncul merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap

pendekatan sosiologis. Secara metodologis, pendekatan sosiologis dianggap sulit

diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial,

tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan ini menggunakan dan

mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk

memperjelaskan perilaku pemilih. Disini para pemilih menentukan pilihannya karena

pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari

proses sosialisasi, artinya sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian dan

merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya.

Pendekatan psikologis menganggap sikap sebagai variabel utama dalam menjelaskan

perilaku politik. Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, menurut Greenstein

ada 3 yakni:

1. Sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap objek

diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut.

2. Sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya seseorang bersikap tertentu

sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh

yang diseganinya atau kelompok panutan.

27
Suhardi, Op.Cit.

Universitas Sumatera Utara


3. Sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap

seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan

psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan dan eksternalisasi diri.

Namun, sikap bukanlah sesuatu hal yang cepat terjadi, tetapi terbentuk melalui

proses yang panjang, yakni mulai dari lahir sampai dewasa. Pada tahap pertama,

informasi pembentukan sikap berkembang dari masa anak-anak. Pada fase ini,

keluarga merupakan tempat proses belajar. Anak-anak belajar dari orang tua

menganggap isu politik dan sebagainya. Pada tahap kedua, adalah bagaimana sikap

politik dibentuk pada saat dewasa ketika menghadapi situasi diluar keluarga. Tahap

ketiga, bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-kelompok acuan seperti

pekerjaan, gereja, partai politik dan asosiasi lain.

Melalui proses sosialisasi ini individu dapat mengenali sistem politik yang

kemudian menentukan sifat persepsi politiknya serta reaksinya terhadap gejala-gejala

politik di dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah. Sosialisasi bertujuan

menungkatkan kualitas pemilih. Maka pendidikan politik disini berperan yang dapat

dilakukan dengan berbagai cara.

1.5.3.3 Pendekatan Rasional


Menurut Elster (1998:22), intisari pilihan rasional (Rational Choice Theory)

adalah tindakan apa yang dilakukan seseorang yang diyakininya berkemungkinan

dapat memberikan hasil terbaik. Pilihan rasional muncul sebagai revolusi pendekatan

perilaku (behavioral approach) dalam ilmu politik pada tahun 1950-an dan 1960-an

yang sebenarnya berusaha meneliti bagaimana individu berperilaku dan menggunakan

metode empris. Pendekatan perilaku telah menjadi pendekatan dominan terhadap ilmu

politik, setidaknya di Amerika Serikat. Namun pilihan rasional bersumber dari

Universitas Sumatera Utara


metodologi ilmu ekonomi, kebalikan dengan para behavioralis yang bersumber dari

sosiologi dan psikologi Barry (1970). 28

Kemudian, seiring perkembangannya, muncul pendekatan pilihan rasional

dalam menganalisa perilaku pemilih. Berdasarkan pendekatan ini, manusia

diasumsikan adalah seorang pemilih yang rasional. Kegiatan memilih merupakan

produk dari kalkulasi untung rugi. 29 Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang

mungin muncul dari pilihan-pilihan yang ada. Kemudian, dari pilihan-pilihan tersebut,

individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya.

Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik

pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada

pertanyaan: apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan

yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara. Sementara orientasi kandidat

mengacu kepada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan

label partainya. Meski demikian, ketertarikan para pemilih terhadap isu-isu yang

ditawarkan oleh partai atau pun kandidat bersifat situasional. 30

Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih

benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi

program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, perinsip,

pengetahuan dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor

kebetulan ataupun kebiasaan dan tidak semata-mata untuk kepentingan sendiri,

melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan pertimbangan logis. 31

28
David Mars dan Gaerry Stoker. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung. Nusa Media. 2002.
Hal 76- 77
29
Ramlan Surbakti. Op. Cit. Hal 187
30
Asep Ridwan. Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia. Jurnal Demokrasi dan
Ham. Vol 4. No. 1. Jakarta. 2004. Hal 38- 39
31
Asep Ridwan. Ibid.

Universitas Sumatera Utara


1.5.4 Konfigurasi Pemilih

Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih sebagai

objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan empat konfigurasi pemilih: 32

1. Pemilih Rasional

Dalam konfigurasi pertama terdapat pemilih rasional, dimana pemilih

memiliki orientasi tinggi pada policy-problem-solving dan beorientasi rendah untuk

faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik

atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau platform partai bisa

dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai dimasa lampau dan tawaran program untuk

menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. Pemilih tidak hanya melihat program

kerja partai yang berorientasi ke masa depan tetapi juga menganalisis apa saja yang

telah dilakukan oleh partai tersebut dimasa lampau. Kinerja partai atau calon

kontestan biasanya termanisfestasikan pada reputasi dan citra (image) yang

berkembang dimasyarakat.

Pemilih rasional memiliki ciri khas yaitu tidak begitu mementingkan ikatan

ideologi suatu partai politik atau calon yang diusungnya. Hal yang terpenting bagi

pemilih jenis ini adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh suatu partai maupun

calon yang diusungnya.

2. Pemilih Kritis

Untuk menjadi pemilih kritis, seseorang melalui dua hal yaitu, pertama, jenis

pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada

partai mana mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan berpihak dan selanjutnya

mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau telah dilakukan. Kedua, bisa

terjadi sebaliknya dimana pemilih tertarik dahulu dengan program kerja yang

32
Firmanzah. Marketing Politik, Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
2007. Hal 134- 138

Universitas Sumatera Utara


ditawarkan sebuah partai atau kontestan pemilu, baru kemudian mencoba memahami

nilai- nilai dan paham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih

jenis ini adalah pemilih kritis artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara

idiologi partai dengan kebijakan yang akan dibuat.

3. Pemilih Tradisional

Jenis pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak

terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai suatu yang

penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih jenis ini sangat mengutamakan

kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk

memilih sebuah partai politik maupun seorang kontestan. Pemilih jenis ini sangat

mudah untuk dimobilisasi selama masa kampanye dan mereka memiliki loyalitas

sangat tinggi.

4. Pemilih Skeptis

Pemilih ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi terhadap

sebuah partai politik, pemilih ini juga tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi

suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemilu, mereka

berkeyakinan bahwa siapapun yang menjadi pemenang, hasilnya akan sama saja dan

tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi daerah, masyarakat maupun

negara.

I.5.5 Preferensi Politik

Preferensi politik seringkali dikaitkan dengan perubahan perilaku pemilih

dalam menentukan pilihan politiknya dalam pemilihan umum (pemilu), baik pemilu

legislatif/ presiden maupun pemilukada. Preferensi politik masyarakat/ pemilih adalah

bagaimana pemilih menentukan pilihannya dengan berbagai pertimbangan sesuai

dengan nilai yang dibangunnya dalam menentukan standard penilaian terhadap

Universitas Sumatera Utara


seorang calon maupun partai politik. Seiring berjalannya waktu, dimana dinamika

perubahan baik ekonomi, politik dan social budaya, akan berpengaruh terhadap

kondisi psikologi seseorang. Bergesernya kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap

cara pandang dan persepsi masyarakat akan sesuatu. Apa yang dikatakan bagus

menurut masyarakat saat ini, belum tentu bagus untuk masa yang akan datang.

Namun, hasil survey diatas setidaknya bisa dijadikan hipotesis yang perlu diuji

kebenaranya. Hipotesis ini menunjukan bahwa masyarakat tengah mengalami

perubahan politik dimana preferensi politik mereka semakin independen. Hal ini tidak

terlepas dari hasil proses pembelajaran selama satu decade selama reformasi bergulir.

Terbukanya saluran komunikasi lewat banyaknya media yang tersedia, pada akhirnya

memberikan imbas kepada masyarakat untuk lebih terbuka dengan linngkunganya dan

tidak mudah untuk ditarik-tarik oleh beberapa kelompok untuk kepentingan tertentu33.

Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa mansyarakat mulai mempunyai

kepekaan terhadap diri sendiri dan lingkunganya sebagai hasil interaksi inderawi

dengan lingkungan yang ada. Masyarakat Indonesia saat ini seperti yang dikatakan

oleh teori behaviourismenya Ivan Pavlou. Dalam teori tersebut, Pavlou membuat

rumusan dengan apa yang dia sebut sebagai Classical Conditioning. Teori ini

mengatakan bahwa terjadinya perubahan perilaku dapat diakibatkan oleh rangsangan

(stimulus) yang tidak berkondisi atau bersyarat yang disebut dengan unconditioned

stimulus atau dapat juga dikatakan dengan rangsangan alamiah. Disisi lain, teori ini

juga mengatakan perubahan perilaku dapat pula diakibatkan oleh rangsangan

terkondisi atau bersyarat (conditioned stimulus).

Kedua proses tersebut (alamiah dan terkondisi) merupakan fenomena yang ada

33
Fatkhuri, MA, Pergeseran preferensi politik masyarakat,
http://bungfatur.multiply.com/journal/item/10/Perubahan_preferensi_politik

Universitas Sumatera Utara


dalam setiap kehidupan. Dalam kontek masyarakat Indonesia saat ini, adanya

berbagai macam program tayangan di beberapa media seperti televisi, koran, majalah

dan lain sebagainya merupakan bentuk proses belajar secara alamiah yang dilakukan

masyarakat. Dengan menggunakan indra penglihatan dan pendengaran, masyarakat

banyak mencerna stimulus dari luar yang tanpa sadar dari proses tersebut telah

menghasilkan tambahan pengetahuan bagi mereka. Hal yang sama terjadi pada proses

pembelajaran secara non alamiah. Menjamurnya berbagai macam program

pemberdayaan masyarakat baik yang dilakukan pemerintah, LSM, dan partai politik

merupakan contoh nyata proses pembelajaran secara terkondisi dan bersyarat. Dari

sini masyarakat akan banyak mendapatkan input sehingga berpengaruh terhadap cara

berfikir mereka.

Disadari ataupun tidak, hasil proses pembelajaran tersebut pada akhirnya

memperkokoh tiang independensi masyarakat. Dan tentu ini merupakan dampak

positif dari transisi demokrasi di Indonesia. Ekses dari pendidikan baik secara alamiah

maupun tidak, bisa kita lihat dari realitas bahwa, saat ini masyarakat kita tidak

gampang di ombang-ambingkan oleh berbagai macam bentuk proses pencitraan yang

dilakukan oleh berbagai elemen terutama partai politik, yang pada saat sekarang

sedang gencar-gencarnya membangun citra positif dimata rakyat menjelang pemilihan

legislatif dan presiden 2009.

Dengan kata lain, masyarakat sudah mulai cerdas dan mandiri dalam

menentukan sikap dan pilihan politiknya. Masyarakat tidak mudah untuk dipengaruhi

apalagi dengan jargon-jargon yang tidak jelas jeluntrungnya. Apa yang dibutuhkan

masyarakat saat ini adalah bukan narasi besar, melainkan aksi-aksi nyata elit-elit

politik dalam rangka mendorong perubahan hidup masyarakat kearah yang lebih baik.

Masyarakat sudah capai dan jenuh dengan permainan elit. Mereka tidak lagi mau

Universitas Sumatera Utara


dibodohi dengan janji-janji semu, yang pada akhirnya akan menghancurkan

kehidupan mereka sendiri. Inilah kenyataan yang harus di waspadai oleh partai-partai

politik saat ini. Partai-partai harus lebih berhati-hati dan cerdas dalam mempengaruhi

masyarakat. Karya nyata yang ditunjukkan oleh individu yang langsung berkarya

dalam kehidupan masyarakat lewat kerja-kerja yang populis seperti peningkatan/

usaha pertanian, dll ternyata memberikan dampak nyata terhadap perubahan

preferensi politik masyarakat. Masyarakat tidak lagi melihat individu itu sebagai

orang yang mempunyai catatan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Akan tetapi

masyarakat melihatnya bahwa individu itu adalah seorang figur yang telah

mencurahkan hidupnya bagi nasib kaum kecil di Indonesia.

Begitupun sebaliknya, partai politik yang selama ini dengan tegas mengklaim

partainya orang kecil, pada kenyataanya dengan mudah di geser oleh partai yang

mengusung calon yang berdedikasi tadi. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa

masyarakat tidak lagi doyan dengan dagangan janji, slogan dan semacamnya, akan

tetapi dedikasi elit terhadap keberpihakan orang kecillah yang menjadi tonggak

keberhasilan dalam mempengaruhi preferensi masyarakat. Kenyataan ini juga

mengindikasikan bahwa preferensi politik masyarakat saat ini tidak lagi jatuh pada

mainstream ideologi dan kharisma. Perubahan pola pikir masyarakat dalam menilai

parpol atau individu/ calon tersebut semakin memperkuat argumen bahwa ideologi

dan kharisma tidak lagi sebagai faktor yang paling fundamental dalam proses

mempengaruhi pilihan pemilih.

1.5.6 Pemilihan Umum Kepala Daerah

I.5.6.1 Perspektif Teoritis

David Easton, teoritisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan

sistem dalam politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya

Universitas Sumatera Utara


tiga sifat, yakni terdiri dari banyak bagian, bagian itu saling berinteraksi dan saling

tergantung dan mempunyai perbatasan yang memisahkannya dari lingkungannya yang

juga terdiri dari sistem-sistem lain.

Sebagai suatu sistem, sistem pemilihan kepala daerah mempunyai bagian-

bagian yang merupakan sistem sekunder atau sub-sub sistem. Bagian tersebut adalah

Electoral Regulation, Electoral Process, dan Electoral Law Enforcement. Electoral

regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pemilihan kepala daerah

yang berlaku bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan

pemilih dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process

adalah seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pemilihan kepala daerah

yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik bersifat legal maupun

teknikal. Electoral law enforcement adalah penegakan hukum terhadap aturan-aturan

pemilihan kepala daerah baik politisi, administrasi atau pidana. Ketiga bagian ini

dapat menjadi pedoman untuk melaksanakan proses pemilihan kepala daerah.

Sebagai suatu sistem, pemilihan kepala daerah memiliki ciri-ciri yakni

bertujuan memilih kepala daerah, setiap komponen yang terlibat dan kegiatan

mempunyai batas, terbuka, tersusun dari berbagai kegiatan yang merupakan

subsistem, masing-masing kegiatan saling terkait dan tergantung dalam suatu

rangkaian utuh, memiliki mekanisme kontrol, dan mempunyai kemampuan mengatur

dan meyesuaikan diri.

I.5.6.2 Perspektif Praktis

Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas

memimpin birokrasi menggerakkan jalannya roda pemerintahan yang berfungsi

sebagai perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan. Istilah jabatan publik

Universitas Sumatera Utara


mengandung arti bahwa kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan

yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat, berdampak kepada rakyat, dan

dirasakan oleh rakyat. Oleh karena itu, kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan

wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat.

Jabatan politik bermakna bahwa mekanisme rekrutmen kepala daerah dilakukan

dengan mekanisme politik yaitu, melalui pemilihan yang melibatkan elemen politik,

yaitu rakyat dan partai politik. Pemilihan kepala daerah merupakan rekrutmen politik

yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala

daerah, baik Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, ataupun Walikota/

Wakil Walikota. Aktor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, partai

politik dan calon kepala daerah. 34

I.5.6.3 Sejarah Pemilihan Umum Kepala Daerah Di Indonesia

Keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 berdampak pada

keluarnya Undang-Undang No.18/1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah.

dalam Undang-Undang No.18/1965, bertolak belakang dengan Undang-Undang

No.1/1957 karena perubahan format pemerintahan negara sebagai implikasi

perubahan konstitusi, sebelumnya sistem federasi (Republik Indonesia Serikat)

menjadi sistem kesatuan. Dalam undang-undang ini, kepala daerah diangkat dan

diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon-calon yang

diajukan oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat atas kepala daerah

semakin kuat. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah semakin

terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara, yang

pengaturannya berdasarkan peraturan pemerintah. 35 Seorang kepala daerah tidak

dapat diberhentikan oleh suatu keputusan dari DPRD, pemberhentian kepala daerah

34
Joko J. Priatmoko, Op.Cit., h. 200-203
35
Ibid, hal 61.

Universitas Sumatera Utara


merupakan kewenangan penuh presiden untuk gubernur dan menteri dalam negeri

untuk bupati atau walikota.

Pemerintahan Orde Baru menerbitkan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok-

pokok pemerintahan di daerah. dengan berlandaskan pada UUD 1945 dan Pancasila

secara murni dan konsekuen, kekuasaan atau kewenangan daerah dibatasi dan

dikontrol oleh rezim Soeharto ketika itu, termasuk terhadap pemilihan kepala daerah.

kepala daerah diangkat oleh presiden dari calon yang memenuhi syarat, tata cara

seleksi calon yang dianggap patut diangkat oleh presiden dilakukan oleh DPRD.

Dengan demikian berarti kepala daerah bukanlah hasil pemilihan dari DPRD,

karena jumlah dukungan suara dalam pencalonan atau urutan pencalonan tidak

menghalangi presiden untuk mengangkat siapa saja diantara para calon itu. Aturan

tersebut terkait dengan kepentingan pemerintah pusat untuk mendapatkan gubernur

atau bupati yang mampu bekerja sama dengan pemerintah pusat. Dalam beberapa

kasus, kepala daerah yang dipilih bukanlah pilihan nomor 1 yang diusulkan DPRD

setempat. Pada tahun 1985, kandidat nomor 1 gubernur Riau, Ismail Suko dikalahkan

oleh Imam Munandar yang merurpakan kandidat nomor 2. pada pemilihan bupati

Sukabumi, calon nomor 2 Ragam Santika juga akhirnya dipilih sebagai bupati. 36

Seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto, yang ingin mewujudkan suatu

tatanan Indonesia Baru maka ditetapkanlah UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi

daerah pada tanggal 7 Mei 1999. Undang-Undang ini menimbulkan perubahan pada

penyelengaraan pemerintahan di daerah. perubahannya tidak hanya mengenai

penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi juga hubungan antara pemerintah pusat

dengan daerah. Sebelumnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat

sentralistis, namun setelah UU ini diberlakukan, hubungannya bersifat desentralistis.

36
Ibid, hal 65.

Universitas Sumatera Utara


Menurut UU No.22 Tahun 1999, pemerintah dareah terdiri dari kepala daerah dan

perangkat daerah lainnya, dimana DPRD diluar pemerintah daerah yang berfungsi

sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan. 37

Demikian juga dalam hal pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang pada masa-masa

sebelumnya sangat dicampur tangani oleh pemerintah. UU No.22 Tahun 1999 ini

mengisyaratkan tentang pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. Berbeda dengan di masa-masa sebelumnya, yaitu Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah hanya mengusulkan nama-nama calon kepala daerah dan

kemudian kepala daerah tersebut dipilih oleh presiden dari calon-calon tersebut.

Dalam sistem pemilihan kepala daerah, sesuai dengan undang-undang ini, sistem

rekrutmen kepala dareah yang terbuka serta demokratis juga dibarengi dengan praktik

politik uang. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa calon kepala daerah selalu

mengobral uang untuk membeli suara para anggota DPRD dalam pemilihan, serta

untuk membiayai kelompok-kelompok sosial dalam rangka menciptakan opini publik.

UU No.22 Tahun 1999 memang disusun dalam tempo singkat dan tidak

melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila UU No.

22 Tahun 1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga menimbulkan banyak kritik dan

tuntutan revisi. 38 Untuk menggantikan UU No.2 Tahun 1999, ditetapkanlah UU

No.32 tahun 2004. Undang-undang ini mengatur tentang pemilihan kepala daerah

secara langsung, hal ini dibuktikan dari 240 pasal yang ada, sebanyak 63 pasal

berbicara tentang pilkada langsung. Tepatnya mulai pasal 56 hingga pasal 119, secara

khusus berbicara tentang pilkada langsung. Lahirnya UU No.32 Tahun 2004 tidak

serta merta langsung menciptakan pilkada langsung, namun harus melalui proses,

yaitu dilakukannya judicial review atas undang-undang tersebut, kemudian


37
Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia; Format Masa Depan Otonomi Menuju
Kemandirian Daerah, Averroes Press, Malang, 2005., hal 75.
38
Ibid., hal 97 98.

Universitas Sumatera Utara


pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

No.3/2005, yang pada akhirnya juga berimplikasi pada perubahan PP No.6/2005

tentang pedoman pelaksanaan pilkada langsung menjadi PP No.17/2005. Dengan

demikian, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung dimana calon

kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan

partai politik yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau dari akumulasi perolehan

suara sah pada pemilihan legislatif sebelumnya.

Pemilihan kepala daerah langsung yang termaktub dalam UU No.32 Tahun

2004 adalah sebuah proses demokratisasi di Indonesia. Perjalanan pembelajaran

demokrasi di Indonesia sebelum masa kemerdekaan sampai dengan saat ini.

Perjalanan demokrasi selanjutnya melahirkan sistem yang baru, ketidakpuasan

(kekurangan) UU No.32 Tahun 2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah

konsepsi undang-undang yang baru demi menciptakan sebuah tatanan yang lebih

demokratis lagi. Revisi UU No.32 Tahun 2004 melahirkan UU No.12 Tahun 2008.

UU No.12 Tahun 2008 ini tentang perubahan terhadap UU No.32 Tahun 2004

mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang-Undang

ini mengenai pemilihan kepala daerah. Dimana didalam undang-undang sebelumnya,

kepala daerah dipilih langsung dari partai politik atau gabungan partai politik,

sedangkan dalam undang-undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat

mencalonkan pasangan calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon

perseorangan yang dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan

dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP. Berdasarkan hal diatas, maka peneliti

merasa tertarik untuk meneliti tentang lahirnya konstitusi yang mengatur tentang

otonomi daerah terutama dalam hal pemilihan kepala daerah langsung, yaitu yang

tertulis di dalam UU No.12 Tahun 2008.

Universitas Sumatera Utara


I.5.6.4 Landasan Hukum Pemilukada

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005, Pasal 1 ayat 1 berbunyi

: Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut

pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan atau

Kabupaten/ Kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Menurut UU Pilkada No.32 Tahun 2004, setiap calon yang diusung oleh

sebuah Partai ataupun gabungan Partai harus memiliki jumlah kursi sebanyak 15% di

DPRD Kabupaten/ Kota. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan UU No.12 Tahun 2008

Pasal 59 (sebagai revisi UU No.32 Tahun 2004), maka proses pencalonan pasangan

calon tidak hanya dari jalur Partai Politik melainkan dapat juga melalui jalur

independen (perseorangan). Oleh sebab itu, berdasarkan Undang-undang itu maka

calon perseorangan harus mengumpulkan dukungan sebanyak 5% dari jumlah

penduduk dengan bukti KTP. Dengan dibukanya jalur perseorangan ini, maka suasana

politik di kabupaten ini akan semakin memanas karena ada lebih delapan pasangan

calon (5 calon yang diusung partai politik dan 3 calon perseorangan) yang akan

bertarung dalam Pemilukada Batubara 2008 ini.

1.6 Definisi Konsep

Definisi konsep adalah kata- kata yang merupakan unsur- unsur umum abstrak

yang ditarik dari berbagai fenomena berbeda. 39 Dalam kaitannya dengan judul yang

diangkat yaitu perilaku pemilih di Kecamatan Lima Puluh pada pemilukada Batubara

2008, maka yang menjadi konsep penelitian ialah:

39
Mary Grisez Kweit dan Robert W. Kwiet. Op.Cit. Hal 243

Universitas Sumatera Utara


1. Perilaku Pemilih

Perilaku pemilih ialah tingkah laku individu dalam pemungutan suara pada

kegiatan pemilu. Tingkah laku individu ini kemudian secara umum

dipengaruhi oleh tiga pendekatan yaitu:

a. Pendekatan sosiologis, pendekatan sosiologis dalam menganalisis

perilaku pemilih menyatakan bahwa preferensi politik termasuk

preferensi pemberian suara di kotak pemilihan merupakan produk dari

karakteristik sosial ekonomi di mana dia berada seperti profesi, kelas

sosial, agama dan seterusnya.

b. Pendekatan psikologis, pendekatan psikologis berasumsi bahwa

keputusan seorang individu dalam memberikan suara kepada kandidat

tertentu merupakan persoalan respons psikologis. Pendekatan

psikologis mensyaratkan adanya kecerdasan dan rasionalitas pemilih

dalam menentukan pilihannya. Pada pendekatan psikologis penekanan

lebih pada individu itu sendiri.

c. Pendekatan pilihan rasional, pendekatan pilihan rasional dalam

menganalisa perilaku pemilih merupakan produk dari kalkulasi untung

rugi. Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungin muncul

dari pilihan- pilihan yang ada. Kemudian, dari pilihan-pilihan tersebut,

individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar

bagi dirinya.

2. Calon Perseorangan

Calon perseorangan adalah individu yang berasal dari suatu kelompok

masyarakat yang mencalonkan diri dalam pemilukada atau dengan kata lain

individu ini tidak diusung oleh partai pemilu. Calon perseorangan harus

Universitas Sumatera Utara


terlebih dahulu memenuhi syarat untuk mencalonkan diri yaitu harus

mengumpulkan dukungan sebanyak 5% dari jumlah penduduk dengan bukti

KTP. Syarat ini berdasarkan ketentuan UU No.12 Tahun 2008 Pasal 59

(sebagai revisi UU No.32 Tahun 2004), maka proses pencalonan pasangan

calon tidak hanya dari jalur Partai Politik melainkan dapat juga melalui jalur

independen (perseorangan).

3. Pemilukada

Pemilukada adalah Pemilihan umum langsung kepala daerah dan wakil kepala

daerah, dilakukan secara langsung oleh masyarakat yang mendiami wilayah

tersebut dan didasarkan pada UU No.12 Tahun 2008 dan UU No.32 Tahun

2004 Tentang Pemerintahan Daerah dimana penyelenggaraan pemerintahan

daerah diarahkan agar mampu melahirkan kepemimpinan daerah yang efektif

dengan memperhatikan prinsip-demokrasi, persamaan, keadilan, dan kepastian

hukum dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.7 Definisi Operasional


Definisi operasional adalah penjelasan bagaimana variabel-variabel akan
diukur secara empiris. 40 Adapun yang menjadi definisi operasional pada penelitian ini
adalah:
1. Perilaku Pemilih
a. Pendekatan sosiologis dengan indikator; pendidikan, ras, agama,
pekerjaan,
b. Pendekatan psikologis dengan indikator; kedekatan emosional dengan
kandidat, keterlibatan dengan partai pendukung kandidat,
c. Pendekatan pilihan rasional dengan indikator; kepercayaan terhadap
visi dan misi yang ditawarkan kandidat, adanya unsur materi/ jabatan
yang diperoleh jika memilih kandidat, rekam jejak dari kandidat.

40
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


2. Calon Perseorangan
Calon perseorangan yang mengikuti Pemilukada Batubara 2008 adalah :
1. Parlindungan Sinaga, SH (Bupati)
Muhammad Nur Ali, S.A.g (Wakil bupati)
2. OK. Arya Zulkarnaen, SH, MM (Bupati)
Drs. H. Gong Matua Siregar (Wakil Bupati)
3. Drs. Ibrahim Usman (Bupati)
H. Ahmad Yusro, SH (Wakil Bupati)

I.8 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian adalah semua asas, peraturan, teknik-teknik yang perlu

diterapkan dan diperhatikan dalam usaha pengumpulan data dan analisis data. 41

Pembahasan langkah prosedural yang dapat digunakan untuk mencapai sarana dan

tujuan penelitian harus memasukkan pembenaran atas metode yang dipilih dan harus

memperlihatkan kesesuaian antara tujuan, metode, dan sumber daya yang tersedia.

Oleh sebab itu, peneliti menggunakan metodologi penelitian sebagai berikut:

I.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Dengan tujuan

untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel

yang timbul didalam masyarakat yang menjadi objek penelitian. 42

Penelitian deskriptif memiliki dua tujuan, antara lain: Pertama, mengetahui

perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu aspek fenomena

tertentu. Kedua, untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu. 43

41
Dolet Unaradjan, Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial, PT. Grafindo, Jakarta, 2000., hal 1.
42
Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial, Formula Formula Kuantitatif dan Kualitatif, Surabaya,
Airlangga University Press, 2001., hal 48.
43
Drs. Mardalis, Metode Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 1995., hal 26.

Universitas Sumatera Utara


I.8.2 Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi pada penelitian ini adalah seluruh daerah

Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara.

I.8.3 Populasi Dan Sampel

I.8.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan ditetapkan kesimpulannya. Populasi mempunyai lambang (N). 44 Dalam

hal ini populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang telah

memiliki hak suara (pemilih) didalam pemilihan kepala daerah pada Kecamatan Lima

Puluh yaitu berjumlah 85.052 orang. Jika diperkecil kembali menjadi lebih spesifik

berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) jumlah total pemilih yang menggunakan hak

suaranya adalah 35.749 dari 27 Desa/ Kelurahan.

I.8.3.2 Sampel

Sampel adalah sebahagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut. Dalam penelitian ini penulis menetapkan sampel dari 35.749

pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya menjadi 14.749 pemilih yang

memilih pasangan OK. Arya Zulkarnain, SH, MM-Drs. H. Gong Matua Siregar.

Bila populasi besar, maka peneliti tidak mungkin untuk meneliti semua yang ada

dipopulasi sehingga dalam hal ini dapat menggunakan sampel yang diambil dari

populasi itu. Untuk itu sampel diambil dari populasi harus betul-betul representatif

(mewakili). 45 Karena populasi yang bersifat heterogen atau tidak homogen, maka

pada teknik penarikan sampel menggunakan Teknik Proportionate Stratified Random

44
Husein Umar, Metode Riset Bisnis, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, h. 65
45
Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Bandung: CV Alfabeta, 2006, h. 56

Universitas Sumatera Utara


Sampling yakni populasi yang mempunyai anggota atau unsur yang tidak homogen

dan berstrata secara proporsional.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang dari

10%,46 disebabkan jumlah populasi cukup besar yaitu 14.749 orang maka adapun

rumus yang digunakan untuk menentukan dan pengambilan sampel adalah rumus

yang dikemukakan oleh Taro Yamane,

N
n=
N (d2) + 1

Dimana ;

n = Jumlah besarnya sampel

N = Jumlah Populasi

d = Presisi

Maka,

14.749
n=
14.749 (0,1)2 + 1

14.749
n=
147,49 + 1

14.749
n=
148,49

n= 99,32 digenapkan menjadi 99 Sampel

Maka jumlah sampel penelitian ini adalah 99 orang. Sedangkan untuk

menentukan responden yang akan dijadikan sampel penelitian adalah 99 orang dari

46
Masri Singarimbun,Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989, h.106

Universitas Sumatera Utara


desa, Penulis menggunakan teknik sampling acak proporsional dan sampelnya

dinamakan sampel acak proporsional. Dengan rumus sebagai berikut:

n1 x n
n=
N

dimana:

n1 = jumlah populasi tiap Desa / Kelurahan

n = jumlah sampel pada populasi awal

N = jumlah populasi keseluruhan

Contoh penentuan sampel Desa / Kelurahan adalah sebagai berikut:

Populasi Penarikan
No Desa Sampel
Desa / Kelurahan Sampel

1. Mangkai Baru 412 412 x 99 3


14.749
2. Mangkai Lama 458 458 x 99 3
14.749
3. Lima Puluh Kota 807 807 x 99 5
14.749
4. Perkebunan Dolok 128 128 x 99 1
14.749
5. Sumber Padi 521 521 x 99 3
14.749
6. Perkebunan Limau Manis 76 76 x 99 1
14.749
7. Antara 373 373 x 99 3
14.749
8. Perkebunan Kwala Gunung 64 64 x 99 0
14.749
9. Kwala Gunung 329 392 x 99 3
14.749
10. Cahaya Pardomuan 57 57 x 99 0
14.749
11. Simpang Dolok 421 421 x 99 3
14.749
12. Empat Negeri 565 565 x 99 4
14.749
13. Perkebunan Lima Puluh 341 341 x 99 2
14.749

Universitas Sumatera Utara


14. Sumber Makmur 217 217 x 99 1
14.749
15. Perkebunan Tanah Gambus 747 747 x 99 5
14.749
16. Perkebunan Itam Ulu 364 364 x 99 2
14.749
17. Lubuk Besar 420 420 x 99 3
14.749
18. Pulau Sejuk 460 460x 99 3
14.749
19. Air Hitam 735 735x 99 5
14.749
20. Guntung 786 786x 99 5
14.749
21. Pematang Panjang 847 847 x 99 6
14.749
22. Bulan Bulan 1415 1415 x 99 9
14.749
23. Perupuk 1447 1447x 99 10
14.749
24. Gambus Laut 865 865 x 99 6
14.749
25. Lubuk Cuik 505 505 x 99 3
14.749
26. Tanah Itam Ilir 257 257 x 99 2
14.749
27. Simpang Gambus 1132 1.132 x 99 8
14.749
Total 14.749 Jumlah 99

Universitas Sumatera Utara


I.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, data yang diperlukan oleh peneliti adalah:

1. Dengan menggunakan data primer yakni melalui penyebaran

angket atau kuesioner dan wawancara dengan pedoman daftar

pertanyaan terstruktur yang ditujukan kepada masing-masing

responden.

2. Dengan menggunakan data sekunder yakni melakukan studi

pustaka atau dokumen dari Kantor KPU Batu Bara dan Kantor

Kecamatan Lima Puluh.

I.8.5 Teknik Analisis Data

Penelitian ini bersifat kuantitatif format deskriptif dengan tujuan memberi

gambaran mengenai situasi atau kondisi yang terjadi dengan menggunakan analisa

kualitatif. Data-data yang telah dikumpul, baik data sekunder maupun data yang

diperoleh dari lapangan yang akan diekspolasi secara mendalam, selanjutnya akan

menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

I.9 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini menggambarkan susunan dan dijabarkan tetapi

rencana penulisan atau bentuk fisik hasil penelitian. Sehingga dapat

mempermudah isi dan skripsi ini, maka penulis membagi ke dalam 4 (empat) bab.

Untuk itu disusun sistematika sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metodologi penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini membahas mengenai gambaran secara umum Kecamatan Lima

Puluh seperti sejarah, letak geografis, batas wilayah, dan mengenai demografis

penduduk.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini memuat penyajian data dan analisa data yang diperoleh dari

kuesioner yang telah diberikan kepada responden. Data tersebut disajikan dan

dianalisa sesuai dengan karakteristik responden dan faktor-faktor yang

mempengaruhi preferensi politik pemilih.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang terkait dengan penelitian.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai