Chapter I
Chapter I
PENDAHULUAN
Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Pada Pemilu masa Orde Baru,
masyarakat Indonesia hanya mengenal 3 (tiga) partai politik besar peserta Pemilu,
yaitu Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Bahkan pada setiap Pemilu yang dilaksanakan di Indonesia masa Orde Baru tersebut
negara demokrasi dimana Pemilihan Umum adalah ciri khas yang menandakan bahwa
Setelah era baru tersebut dimulai, Pemilu 1999 pun digelar dengan tujuan
menandakan bahwa rakyat Indonesia membutuhkan suasana politik yang baru setelah
Orde Baru, yaitu bukti dari reformasi tersebut. Pada Pemilu 1999 masih memiliki
mengikutsertakan 48 Partai Politik peserta Pemilu pada saat itu. Presiden terpilih pada
Pemilu 1999 adalah Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur. Masa
kepresidenan Gus Dur tidak bertahan lama dikarenakan tekanan dari berbagai pihak,
dan digantikan oleh Wakil Presiden pada saat itu Megawati Soekarno Putri.
Pemilu 2004 yang menghasilkan sejarah baru, yaitu terpilihnya Susilo Bambang
Yudoyono atau akrab dipanggil SBY sebagai Presiden Republik Indonesia periode
rakyat memiliki peranan penting didalam urusan negara, atau demokrasi merupakan
mengambil bagian dalam pemerintahan. Oleh karena itu, kekuasaan para pemimpin
dan pejabat formal itu bukan muncul dari pribadinya, akan tetapi merupakan titipan
rakyat atau merupakan kekuasaan yang dilimpahkan rakyat kepada pemimpin dan
mendelegasikan kekuasaannya kepada pemerintah yang dipilih. Maka akan ada aturan
sebagainya. Kemudian dibuat dan ditetapkan dengan maksud agar dengan sarana-
sarana kekuasaan titipan yang dilaksanakan oleh pejabat atau penguasa itu benar-
benar mulus lurus, benar dan jujur, demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dan
tidak dimanipulasikan demi kepentingan pribadi para pemimpin dan pejabat untuk
umum) yakni sarana demokrasi yang daripadanya dapat ditentukan siapa yang berhak
menduduki kursi di lembaga politik negara, legislatif dan eksekutif. Melalui pemilu
rakyat memilih figur yang dapat dipercaya yang akan mengisi jabatan legislatif dan
jabatan eksekutif. Dalam pemilu, rakyat yang telah memenuhi persyaratan untuk
memilih, secara bebas dan rahasia, menjatuhkan pilihannya pada figur yang dinilai
1
Kartini Kartono, Pendidikan Politik, Bandung: Mandar Maju, 1996, h.156-158
2
Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, 2007, h.173-174
daerah yang bersifat otonom dengan bentuk dan susunan pemerintahannya yang diatur
kekuasaan daerah itu disebut dengan desentralisasi yang dipahami sebagai penyerahan
keputusan dan manajemen pemerintah (pusat) kepada unit-unit sub nasional (daerah/
politik yang diharapkan memberikan peluang bagi warga negara untuk lebih mampu
kehidupan politik dan pemerintahan baik tingkat lokal maupun ditingkat nasional.
Agar demokrasi bisa terwujud maka daerah harus memiliki kewenangan yang luas
dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. 5 Sehingga muncul konsep
menegaskan bahwa pembaruan bermakna sebagai tidak lagi bekerja dengan skema
dan watak yang lama, melainkan telah bekerja dengan skema dan watak yang baru.
Proses pembaruan haruslah dapat memberikan kepastian bahwa nasib rakyat akan
berubah menjadi lebih baik lagi. Pembaruan kabupaten juga berarti perombakan
menyeluruh yang dimulai dari paradigma seluruh elemen yang ada atau
mengorganisir seluruh sumber daya yang ada agar mengabdi pada kepentingan
3
Bambang Yudhoyono, Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h. 20
4
M.Arif Nasution, Nasionalisme dan Isu-Isu Lokal, Medan:USU Press, 2005, h. 63
5
Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten, Yogyakarta: Pembaruan, 2004, h. ix-x
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 ini diperlukan adanya pembaruan daerah dalam
Dari konsep otonomi daerah inilah kemudian digagas kembali tentang sistem
tentang Pemilihan Umum. Sebelum keluarnya UU No.12 Tahun 2008 sistem pemilu
di Indonesia belum mengenal adanya calon Kepala Daerah diluar partai politik.
Artinya Partai Politik masih menjadi kunci utama dalam penetu siapa Kepala Daerah
politik masyarakat manjadi lebih luas dan beragam. Ini ditandai banyaknya calon
perseorangan yang maju mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah. Batu Bara menjadi
salah satu kabupaten yang dalam pemilu kepala daerahnya mengikut sertakan calon
perseorangan.
6
Ibid.,h. 13
Dukungan untuk mencalonkan sebagai bakal calon itu menjadi atensi kita
dalam melihat gejala perubahan arah preferensi politik masyarakat. Preferensi politik
masyarakat mulai mengarah kepada kepekaan terhadap diri sendiri dalam memandang
siapa-siapa dan bagaimana figur calon pemimpin yang ada. Fenomena ini bisa diambil
baru pertama kali melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah Langsung dengan calon
menentukan pilihan calon dari partai politik ke calon perseorangan maka akan dilihat
Tabel I.3
masalah yang akan diteliti dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka
Dalam penelitian ini, peneliti perlu untuk memberi batasan masalah dalam
penelitian.
(Bupati).
3. Bagi FISIP USU, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
politik.
adalah pemerintah dan masyarakat, kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi dua
antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan,
politik. Perilaku politik merupakan salah satu dari perilaku secara umum karena
disamping perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi,
kemungkinan unit analisis, yakni aktor politik, agregasi politik dan tipologi
kepribadian politik. Adapun tipologi dalam kategori individu aktor politik meliputi
aktor politik (pemimpin), aktivis politik dan individu warga negara biasa. 9
Yang dimaksud dengan agregasi ialah individu aktor politik secara kolektif,
terhadap perilaku politik sering kali dijelaskan dari sudut pandang psikologi
7
Ramlan Surbakti.Op. Cit. Hal 167
8
Sudijono Sastroatmodjo. Perilaku Politik. Semarang. IKIP Semarang Press. 1995. Hal 2- 3
9
Ramlan Surbakti. Op. Cit. hal 169
individu aktor politik yang merupakan kombinasi ketiga pendekatan tersebut yang
yang bervariasi dan tidak mustahil terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya. Untuk
multidimensi. Hal itu berarti bahwa latar belakang dan faktor yang mendorong
masyarakat, pertama, perlu dipahami dalam konteks latar belakang historis. Sikap dan
masa lalu. Hal ini disebabkan bahwa budaya politik tidak merupakan kenyataan yang
statis dan tidak berkembang, tetapi justru sebaliknya merupakan sesuatu yang berubah
pertimbangan strategis bagi dunia internasional untuk mengadakan kerja sama dan
10
Sudijono Sastroatmodjo, Op.Cit., h. 12
11
Ibid., h. 17
pengambilan keputusan.
khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu, mencapai serta
memelihara stabilitas sistem politik. Berfungsinya budaya politik itu pada prinsipnya
ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa dan struktur politiknya.
perilaku politik dengan memahami budaya politik masyarakat yang dipandang penting
untuk memahami perilaku politik. Sehingga dapat diketahui bagaimana dan mengapa
mereka melakukan sesuatu, apa motivasi dan bagaimana pola tingkah laku tersebut
Agama telah memberikan nilai etika dan moral politik yang memberikan pengaruh
pedoman dan acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah yang dapat
mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya
proses politik dan partisipasi warga negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi
12
Ibid., h. 20-21
13
Ibid., h. 25
bersifat elemen spiritual dan psikologis. 14 Keyakinan mengacu kepada ideologi yaitu
keyakinan yang lebih rasional dan ada yang bersifat irasional atau mitos. 15 Ideologi
situasi masyarakat.16 Mitos merupakan keyakinan yang kurang jelas, kurang rasional
dan yang kurang teliti yang bersifat fabel tentang alam, dunia, manusia dan
masyarakat yang sudah diterima secara kuat. Pada abad 20, jurnalis perancis George
Sorel mengembangkan suatu paham bahwa salah satu cara yang efektif untuk
mempengaruhi suatu komunitas adalah memberikan citra-citra yang singkat dan tidak
rumit tentang suatu masa depan yang fiktif yang mempolaisir emosi-emosinya dan
politiknya, dan sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin rendah
Perilaku politik itu bergantung pada sifat struktur kepribadian yang dimilikinya,
apakah tergolong dalam fungsi penyesuaian diri atau dalam basis fungsional
14
Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1982, h.147
15
Ibid., h. 148
16
Ibid., h.150
17
Ibid., h.154
aktor politik secara langsung seperti keadaan keluarga, cuaca, keadaan ruang,
ancaman, suasana kelompok dan kehadiran orang lain. Lingkungan sosial politik
tersebut saling mempengaruhi dan berhubungan satu dengan yang lain dan bukannya
sebagai faktor yang berdiri sendiri. Melalui proses, pengalaman, sosialisasi dan
menyatakan bahwa kesadaran politik memusatkan kepada ideologi dan bukan mitos
rakyat dan ada lima faktor yang memainkan peranan penting untuk menentukan
pilihan rakyat dan sikap rakyat, yaitu: 1). Standar hidup, kondisi gaji atau tidak
didigaji, sense of social belonging, 2). Kelompok umur dan seks, 3). Tingkat
pendidikan, 4). Agama, dan 5). Simpati terhadap partai politik. Tiga faktor terakhir
bersifat ideologis, partai-partai didasarkan pada ideologi politik, kurang atau lebih
politik yang khusus adalah jawaban serentak kepada situasi kongkrit yang bangkit di
merupakan kesadaran politik. Semakin tinggi kesadaran politik maka semakin besar
pengaruhnya dan semakin kurang setiap sikap didiktekan oleh keadaan dari suatu
situasi khusus. Kesadaran politik adalah produk dari sejumlah faktor pendidikan,
18
Ibid., h.160
Para ahli ilmu politik menyebutkan bahwa tingkah laku individu dalam
pemungutan suara pada kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih
dan dengan demikian ikut serta dalam menentukan konsensus diantara anggota-
anggota kelompok itu dalam pemilihan seorang pejabat maupun keputusan yang
diusulkan. 19 Dengan demikian, konsep voting berkaitan dengan pemberian suara dari
Perilaku pemilih dan partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat
dipisahkan. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu
wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup suara,
dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk
memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan
rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan
pemilihan itu. 21
pertimbangan yang digunakan sebagai alasan oleh para pemilih dalam menjatuhkan
19
Harol. F. Gosnell, dalam Edwin R. A Salignan dan Alvin Johnson. Encyclopedia of Social Science.
Vol. 15. New York. The Macmillan Co. 1934. Hal 287
20
Samuel P. Hutington dan Joan Nelson. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta. Rineka
Cipta. 1990. Hal 16
21
Jack C. Plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin. Kamus Analisa Politik. Jakarta. C.V.
Rajawali Press. 1985. Hal 280
melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang didapat oleh individu
tersebut. 23
umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), agama dan semacamnya,
Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal seperti
mempunyai peranan besar dalam bentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang.
pemilih dan keluarga pemilih. Apakah preferensi politik ayah atau ibu akan
berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis dan
sebagainya. 24
22
Afan Gaffar. Javanese Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party System.
Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 1992. Hal 4- 9
23
Ramlan Surbakti. Op. Cit. Hal 187
24
A.Rahman Zainuddin, h.47-48
mempengaruhi dimana nilai-nilai agama selalu hadir didalam kehidupan privat dan
public dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih.
Dikalangan partai politik, agama dapat melahirkan dukungan politik dari pemilih atas
dasar kesamaan teologis, ideologis, solidaritas dan emosional. Fenomena partai yang
berbasis agama dianggap menjadi daya tarik kuat dalam preferensi politik.
penting. Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu yang sesuaidengan
agama yang dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting untuk
partai yang berbasis islam dan sebaliknya seorang non-muslim cenderung untuk
wilayah tertentu mempunyai loyalitas terhadap partai tertentu. Hal ini biasanya
berkaitan dengan status ekonomi seseorang (faktor kelas) terutama dihampir semua
negara industri. Namun penelitian yang dilakukan oleh Afan Gaffar menunjukkan
bahwa pengaruh kelas dalam perilaku pemilih di Indonesia tidak begitu dominan.
Tidak ada perbedaan kecenderungan perilaku politik antara mereka yang termasuk
kategori orang kaya/ orang miskin; antara yang memiliki tanah yang luas yang sedikit;
antara yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang dengan buruh tani, dan
sebagainya. 26
25
Dikutip dari Sulhardi, Political Psycology Socialization, and culture,
http://pangerankatak.blogspot.com/ 2008/04/governing-intoduction-to-political, 28 April 2008.
26
A.Rahman Zainuddin, Op.Cit., h.48-49
manusia dipelajari. Setiap tingkah laku dan aktivitas masyarakat dipengaruhi oleh akal
individu. Sedangkan ilmu politik mempelajari aspek tingkah laku masyarakat umum
diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial,
pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari
proses sosialisasi, artinya sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian dan
perilaku politik. Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, menurut Greenstein
ada 3 yakni:
sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh
27
Suhardi, Op.Cit.
seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan
Namun, sikap bukanlah sesuatu hal yang cepat terjadi, tetapi terbentuk melalui
proses yang panjang, yakni mulai dari lahir sampai dewasa. Pada tahap pertama,
informasi pembentukan sikap berkembang dari masa anak-anak. Pada fase ini,
keluarga merupakan tempat proses belajar. Anak-anak belajar dari orang tua
menganggap isu politik dan sebagainya. Pada tahap kedua, adalah bagaimana sikap
politik dibentuk pada saat dewasa ketika menghadapi situasi diluar keluarga. Tahap
Melalui proses sosialisasi ini individu dapat mengenali sistem politik yang
menungkatkan kualitas pemilih. Maka pendidikan politik disini berperan yang dapat
dapat memberikan hasil terbaik. Pilihan rasional muncul sebagai revolusi pendekatan
perilaku (behavioral approach) dalam ilmu politik pada tahun 1950-an dan 1960-an
metode empris. Pendekatan perilaku telah menjadi pendekatan dominan terhadap ilmu
produk dari kalkulasi untung rugi. 29 Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang
mungin muncul dari pilihan-pilihan yang ada. Kemudian, dari pilihan-pilihan tersebut,
individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya.
Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik
pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada
yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara. Sementara orientasi kandidat
label partainya. Meski demikian, ketertarikan para pemilih terhadap isu-isu yang
benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi
program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, perinsip,
pengetahuan dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor
melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan pertimbangan logis. 31
28
David Mars dan Gaerry Stoker. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung. Nusa Media. 2002.
Hal 76- 77
29
Ramlan Surbakti. Op. Cit. Hal 187
30
Asep Ridwan. Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia. Jurnal Demokrasi dan
Ham. Vol 4. No. 1. Jakarta. 2004. Hal 38- 39
31
Asep Ridwan. Ibid.
objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan empat konfigurasi pemilih: 32
1. Pemilih Rasional
faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik
atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau platform partai bisa
dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai dimasa lampau dan tawaran program untuk
menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. Pemilih tidak hanya melihat program
kerja partai yang berorientasi ke masa depan tetapi juga menganalisis apa saja yang
telah dilakukan oleh partai tersebut dimasa lampau. Kinerja partai atau calon
berkembang dimasyarakat.
Pemilih rasional memiliki ciri khas yaitu tidak begitu mementingkan ikatan
ideologi suatu partai politik atau calon yang diusungnya. Hal yang terpenting bagi
pemilih jenis ini adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh suatu partai maupun
2. Pemilih Kritis
Untuk menjadi pemilih kritis, seseorang melalui dua hal yaitu, pertama, jenis
pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada
partai mana mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan berpihak dan selanjutnya
mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau telah dilakukan. Kedua, bisa
terjadi sebaliknya dimana pemilih tertarik dahulu dengan program kerja yang
32
Firmanzah. Marketing Politik, Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
2007. Hal 134- 138
nilai- nilai dan paham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih
jenis ini adalah pemilih kritis artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara
3. Pemilih Tradisional
Jenis pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak
terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai suatu yang
kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk
memilih sebuah partai politik maupun seorang kontestan. Pemilih jenis ini sangat
mudah untuk dimobilisasi selama masa kampanye dan mereka memiliki loyalitas
sangat tinggi.
4. Pemilih Skeptis
Pemilih ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi terhadap
sebuah partai politik, pemilih ini juga tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi
suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemilu, mereka
berkeyakinan bahwa siapapun yang menjadi pemenang, hasilnya akan sama saja dan
tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi daerah, masyarakat maupun
negara.
dalam menentukan pilihan politiknya dalam pemilihan umum (pemilu), baik pemilu
perubahan baik ekonomi, politik dan social budaya, akan berpengaruh terhadap
cara pandang dan persepsi masyarakat akan sesuatu. Apa yang dikatakan bagus
menurut masyarakat saat ini, belum tentu bagus untuk masa yang akan datang.
Namun, hasil survey diatas setidaknya bisa dijadikan hipotesis yang perlu diuji
perubahan politik dimana preferensi politik mereka semakin independen. Hal ini tidak
terlepas dari hasil proses pembelajaran selama satu decade selama reformasi bergulir.
Terbukanya saluran komunikasi lewat banyaknya media yang tersedia, pada akhirnya
memberikan imbas kepada masyarakat untuk lebih terbuka dengan linngkunganya dan
tidak mudah untuk ditarik-tarik oleh beberapa kelompok untuk kepentingan tertentu33.
kepekaan terhadap diri sendiri dan lingkunganya sebagai hasil interaksi inderawi
dengan lingkungan yang ada. Masyarakat Indonesia saat ini seperti yang dikatakan
oleh teori behaviourismenya Ivan Pavlou. Dalam teori tersebut, Pavlou membuat
rumusan dengan apa yang dia sebut sebagai Classical Conditioning. Teori ini
(stimulus) yang tidak berkondisi atau bersyarat yang disebut dengan unconditioned
stimulus atau dapat juga dikatakan dengan rangsangan alamiah. Disisi lain, teori ini
Kedua proses tersebut (alamiah dan terkondisi) merupakan fenomena yang ada
33
Fatkhuri, MA, Pergeseran preferensi politik masyarakat,
http://bungfatur.multiply.com/journal/item/10/Perubahan_preferensi_politik
berbagai macam program tayangan di beberapa media seperti televisi, koran, majalah
dan lain sebagainya merupakan bentuk proses belajar secara alamiah yang dilakukan
banyak mencerna stimulus dari luar yang tanpa sadar dari proses tersebut telah
menghasilkan tambahan pengetahuan bagi mereka. Hal yang sama terjadi pada proses
pemberdayaan masyarakat baik yang dilakukan pemerintah, LSM, dan partai politik
merupakan contoh nyata proses pembelajaran secara terkondisi dan bersyarat. Dari
sini masyarakat akan banyak mendapatkan input sehingga berpengaruh terhadap cara
berfikir mereka.
positif dari transisi demokrasi di Indonesia. Ekses dari pendidikan baik secara alamiah
maupun tidak, bisa kita lihat dari realitas bahwa, saat ini masyarakat kita tidak
dilakukan oleh berbagai elemen terutama partai politik, yang pada saat sekarang
Dengan kata lain, masyarakat sudah mulai cerdas dan mandiri dalam
menentukan sikap dan pilihan politiknya. Masyarakat tidak mudah untuk dipengaruhi
apalagi dengan jargon-jargon yang tidak jelas jeluntrungnya. Apa yang dibutuhkan
masyarakat saat ini adalah bukan narasi besar, melainkan aksi-aksi nyata elit-elit
politik dalam rangka mendorong perubahan hidup masyarakat kearah yang lebih baik.
Masyarakat sudah capai dan jenuh dengan permainan elit. Mereka tidak lagi mau
kehidupan mereka sendiri. Inilah kenyataan yang harus di waspadai oleh partai-partai
politik saat ini. Partai-partai harus lebih berhati-hati dan cerdas dalam mempengaruhi
masyarakat. Karya nyata yang ditunjukkan oleh individu yang langsung berkarya
preferensi politik masyarakat. Masyarakat tidak lagi melihat individu itu sebagai
orang yang mempunyai catatan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Akan tetapi
masyarakat melihatnya bahwa individu itu adalah seorang figur yang telah
Begitupun sebaliknya, partai politik yang selama ini dengan tegas mengklaim
partainya orang kecil, pada kenyataanya dengan mudah di geser oleh partai yang
masyarakat tidak lagi doyan dengan dagangan janji, slogan dan semacamnya, akan
tetapi dedikasi elit terhadap keberpihakan orang kecillah yang menjadi tonggak
mengindikasikan bahwa preferensi politik masyarakat saat ini tidak lagi jatuh pada
mainstream ideologi dan kharisma. Perubahan pola pikir masyarakat dalam menilai
parpol atau individu/ calon tersebut semakin memperkuat argumen bahwa ideologi
dan kharisma tidak lagi sebagai faktor yang paling fundamental dalam proses
sistem dalam politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya
bagian yang merupakan sistem sekunder atau sub-sub sistem. Bagian tersebut adalah
regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pemilihan kepala daerah
yang berlaku bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan
adalah seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pemilihan kepala daerah
pemilihan kepala daerah baik politisi, administrasi atau pidana. Ketiga bagian ini
bertujuan memilih kepala daerah, setiap komponen yang terlibat dan kegiatan
Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas
yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat, berdampak kepada rakyat, dan
dirasakan oleh rakyat. Oleh karena itu, kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan
dengan mekanisme politik yaitu, melalui pemilihan yang melibatkan elemen politik,
yaitu rakyat dan partai politik. Pemilihan kepala daerah merupakan rekrutmen politik
yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala
daerah, baik Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, ataupun Walikota/
Wakil Walikota. Aktor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, partai
menjadi sistem kesatuan. Dalam undang-undang ini, kepala daerah diangkat dan
diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon-calon yang
diajukan oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat atas kepala daerah
terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara, yang
dapat diberhentikan oleh suatu keputusan dari DPRD, pemberhentian kepala daerah
34
Joko J. Priatmoko, Op.Cit., h. 200-203
35
Ibid, hal 61.
pokok pemerintahan di daerah. dengan berlandaskan pada UUD 1945 dan Pancasila
secara murni dan konsekuen, kekuasaan atau kewenangan daerah dibatasi dan
dikontrol oleh rezim Soeharto ketika itu, termasuk terhadap pemilihan kepala daerah.
kepala daerah diangkat oleh presiden dari calon yang memenuhi syarat, tata cara
seleksi calon yang dianggap patut diangkat oleh presiden dilakukan oleh DPRD.
Dengan demikian berarti kepala daerah bukanlah hasil pemilihan dari DPRD,
karena jumlah dukungan suara dalam pencalonan atau urutan pencalonan tidak
menghalangi presiden untuk mengangkat siapa saja diantara para calon itu. Aturan
atau bupati yang mampu bekerja sama dengan pemerintah pusat. Dalam beberapa
kasus, kepala daerah yang dipilih bukanlah pilihan nomor 1 yang diusulkan DPRD
setempat. Pada tahun 1985, kandidat nomor 1 gubernur Riau, Ismail Suko dikalahkan
oleh Imam Munandar yang merurpakan kandidat nomor 2. pada pemilihan bupati
Sukabumi, calon nomor 2 Ragam Santika juga akhirnya dipilih sebagai bupati. 36
tatanan Indonesia Baru maka ditetapkanlah UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi
daerah pada tanggal 7 Mei 1999. Undang-Undang ini menimbulkan perubahan pada
dengan daerah. Sebelumnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat
36
Ibid, hal 65.
perangkat daerah lainnya, dimana DPRD diluar pemerintah daerah yang berfungsi
Demikian juga dalam hal pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang pada masa-masa
sebelumnya sangat dicampur tangani oleh pemerintah. UU No.22 Tahun 1999 ini
mengisyaratkan tentang pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah hanya mengusulkan nama-nama calon kepala daerah dan
kemudian kepala daerah tersebut dipilih oleh presiden dari calon-calon tersebut.
Dalam sistem pemilihan kepala daerah, sesuai dengan undang-undang ini, sistem
rekrutmen kepala dareah yang terbuka serta demokratis juga dibarengi dengan praktik
politik uang. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa calon kepala daerah selalu
mengobral uang untuk membeli suara para anggota DPRD dalam pemilihan, serta
UU No.22 Tahun 1999 memang disusun dalam tempo singkat dan tidak
melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila UU No.
22 Tahun 1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga menimbulkan banyak kritik dan
No.32 tahun 2004. Undang-undang ini mengatur tentang pemilihan kepala daerah
secara langsung, hal ini dibuktikan dari 240 pasal yang ada, sebanyak 63 pasal
berbicara tentang pilkada langsung. Tepatnya mulai pasal 56 hingga pasal 119, secara
khusus berbicara tentang pilkada langsung. Lahirnya UU No.32 Tahun 2004 tidak
serta merta langsung menciptakan pilkada langsung, namun harus melalui proses,
kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau dari akumulasi perolehan
(kekurangan) UU No.32 Tahun 2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah
konsepsi undang-undang yang baru demi menciptakan sebuah tatanan yang lebih
demokratis lagi. Revisi UU No.32 Tahun 2004 melahirkan UU No.12 Tahun 2008.
UU No.12 Tahun 2008 ini tentang perubahan terhadap UU No.32 Tahun 2004
mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang-Undang
kepala daerah dipilih langsung dari partai politik atau gabungan partai politik,
sedangkan dalam undang-undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat
mencalonkan pasangan calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon
dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP. Berdasarkan hal diatas, maka peneliti
merasa tertarik untuk meneliti tentang lahirnya konstitusi yang mengatur tentang
otonomi daerah terutama dalam hal pemilihan kepala daerah langsung, yaitu yang
: Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut
pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan atau
Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut UU Pilkada No.32 Tahun 2004, setiap calon yang diusung oleh
sebuah Partai ataupun gabungan Partai harus memiliki jumlah kursi sebanyak 15% di
DPRD Kabupaten/ Kota. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan UU No.12 Tahun 2008
Pasal 59 (sebagai revisi UU No.32 Tahun 2004), maka proses pencalonan pasangan
calon tidak hanya dari jalur Partai Politik melainkan dapat juga melalui jalur
penduduk dengan bukti KTP. Dengan dibukanya jalur perseorangan ini, maka suasana
politik di kabupaten ini akan semakin memanas karena ada lebih delapan pasangan
calon (5 calon yang diusung partai politik dan 3 calon perseorangan) yang akan
Definisi konsep adalah kata- kata yang merupakan unsur- unsur umum abstrak
yang ditarik dari berbagai fenomena berbeda. 39 Dalam kaitannya dengan judul yang
diangkat yaitu perilaku pemilih di Kecamatan Lima Puluh pada pemilukada Batubara
39
Mary Grisez Kweit dan Robert W. Kwiet. Op.Cit. Hal 243
Perilaku pemilih ialah tingkah laku individu dalam pemungutan suara pada
bagi dirinya.
2. Calon Perseorangan
masyarakat yang mencalonkan diri dalam pemilukada atau dengan kata lain
individu ini tidak diusung oleh partai pemilu. Calon perseorangan harus
calon tidak hanya dari jalur Partai Politik melainkan dapat juga melalui jalur
independen (perseorangan).
3. Pemilukada
Pemilukada adalah Pemilihan umum langsung kepala daerah dan wakil kepala
tersebut dan didasarkan pada UU No.12 Tahun 2008 dan UU No.32 Tahun
40
Ibid.
diterapkan dan diperhatikan dalam usaha pengumpulan data dan analisis data. 41
Pembahasan langkah prosedural yang dapat digunakan untuk mencapai sarana dan
tujuan penelitian harus memasukkan pembenaran atas metode yang dipilih dan harus
memperlihatkan kesesuaian antara tujuan, metode, dan sumber daya yang tersedia.
perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu aspek fenomena
41
Dolet Unaradjan, Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial, PT. Grafindo, Jakarta, 2000., hal 1.
42
Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial, Formula Formula Kuantitatif dan Kualitatif, Surabaya,
Airlangga University Press, 2001., hal 48.
43
Drs. Mardalis, Metode Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 1995., hal 26.
Adapun yang menjadi lokasi pada penelitian ini adalah seluruh daerah
I.8.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk
hal ini populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang telah
memiliki hak suara (pemilih) didalam pemilihan kepala daerah pada Kecamatan Lima
Puluh yaitu berjumlah 85.052 orang. Jika diperkecil kembali menjadi lebih spesifik
berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) jumlah total pemilih yang menggunakan hak
I.8.3.2 Sampel
Sampel adalah sebahagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Dalam penelitian ini penulis menetapkan sampel dari 35.749
pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya menjadi 14.749 pemilih yang
memilih pasangan OK. Arya Zulkarnain, SH, MM-Drs. H. Gong Matua Siregar.
Bila populasi besar, maka peneliti tidak mungkin untuk meneliti semua yang ada
dipopulasi sehingga dalam hal ini dapat menggunakan sampel yang diambil dari
populasi itu. Untuk itu sampel diambil dari populasi harus betul-betul representatif
(mewakili). 45 Karena populasi yang bersifat heterogen atau tidak homogen, maka
44
Husein Umar, Metode Riset Bisnis, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, h. 65
45
Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Bandung: CV Alfabeta, 2006, h. 56
Beberapa peneliti menyatakan bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang dari
10%,46 disebabkan jumlah populasi cukup besar yaitu 14.749 orang maka adapun
rumus yang digunakan untuk menentukan dan pengambilan sampel adalah rumus
N
n=
N (d2) + 1
Dimana ;
N = Jumlah Populasi
d = Presisi
Maka,
14.749
n=
14.749 (0,1)2 + 1
14.749
n=
147,49 + 1
14.749
n=
148,49
menentukan responden yang akan dijadikan sampel penelitian adalah 99 orang dari
46
Masri Singarimbun,Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989, h.106
n1 x n
n=
N
dimana:
Populasi Penarikan
No Desa Sampel
Desa / Kelurahan Sampel
responden.
pustaka atau dokumen dari Kantor KPU Batu Bara dan Kantor
gambaran mengenai situasi atau kondisi yang terjadi dengan menggunakan analisa
kualitatif. Data-data yang telah dikumpul, baik data sekunder maupun data yang
diperoleh dari lapangan yang akan diekspolasi secara mendalam, selanjutnya akan
mempermudah isi dan skripsi ini, maka penulis membagi ke dalam 4 (empat) bab.
sistematika penulisan.
Puluh seperti sejarah, letak geografis, batas wilayah, dan mengenai demografis
penduduk.
Bab ini memuat penyajian data dan analisa data yang diperoleh dari
kuesioner yang telah diberikan kepada responden. Data tersebut disajikan dan
BAB IV : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang terkait dengan penelitian.