Anda di halaman 1dari 8

Pertimbangan Endodontik: Pada pasien diabetes, dokter gigi harus memastikan

seberapa terkontrol kondisi tersebut. Jadwal pertemuan dengan dokter gigi harus
mempertimbangkan pentingnya konsistensi nutrisi dan menghindari pertemuan
yang bersamaan dengan jadwal makan atau menghindari waktu makan, khususnya
pada pasien yag mendapat insulin, sulfonilurea atau terapi megitinide oral karena
risiko hipoglikemia. Jika pertemuan nampaknya menyebabkan jadwal makan
tertunda atau terlewat,regimen diabetes mungkin harus dimodifikasi dengan
bantuan ahli diabetes pasien. Telah terbukti jelas bahwa hiposalivasi, gingivitis,
periodontitis dan keropos tulang periodontal berkaitan dengan DM, khususnya
jika tidak terkontrol dengan baik. Prosedur pembedahan pada pasien diabetes
yang terkontrol baik tidak memerlukan antibiotik profilaksis. Namun, jika
pembedahan diindikasikan pada pasien diabetes dengan kontrol yang buruk,
profilaksis antibiotik yang mengandung amoksisilin 500 mg dua kali sehari harus
dipertimbangkan karena fungsi neutrofil pada pasien diabetes berubah.

PERTIMBANGAN ENDODODONTIK PADA PASIEN DENGAN


KELAINAN PARU

Asma merupakan salah satu penyakit respirasi yang dikarakteristikan oleh


stenosis atau penyempitan bronkus perifer difusa yang reversibel, peningkatan
respon atau sensitivitas terhadap stimulus yang berbeda-beda dan sering juga
ditandai dengan bukti gangguan alergi dari tanda klinis atau uji laboratorium.
Harus dibedakan antara asma alergi dan non-alergi.

Perbandingan Endodontik: Penyedia layanan kesehatan oral harus mewaspadai


potensi produk dan bahan gigi yang memperburuk asma. Bahan-bahan ini
meliputi pasta gigi, sealant fisura, debu enamel gigi dan metakrilat metil. Baki
fluorida dan gulungan kapas juga dapat memicu kejadian asma.

Status imun pasien bergantung pada kadar obat imunosupresif yang diminum.
Hanya pasien-pasien asma berat yang mengkonsumsi kortikosteroid sistemik
dosis besar yang masuk dalam kategori ini. Kategori pasien yang sama juga
mungkin memiliki risiko supresi adrenal. Dokter harus mempertimbangkan
pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah komplikasi pasca operasi dan
terapi sulih kortikosteroid untuk mencegah krisis adrenal akut.

Isolator karet (rubber dam) sebaiknya digunakan dengan bijaksana untuk


menghindari kemungkinan kompromi atau agravasi respirasi. Posisi supinasi
berkepanjangan, aerosol sarat-bakteri dari plak atau lesi karies dan air nebulasi
ultrasonik juga bisa memicu asma dalam setting kedokteran gigi. Pada seragan
asma akut selama perawatan gigi, dokter harus menghentikan prosedur,
melepaskan semua alat intraoral dan menyingkirkan aspirasi benda asing serta
memulai protokol darurat untuk tatalaksana eksaserbasi asma akut.

Setelah Pengobatan Endodontik: Karena alergi, sebanyak 20% pasien dengan


asma mungkin mengalami eksaserbasi bronkokonstriksi yang parah setelah
menkonsumsi aspirin dan obat anti inflamasi non-steroid lainnya atau NSAID.
Sehingga, pilihan analgesik untuk pasien-pasien ini adalah acetaminophen.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan acetaminophen
harian atau mingguan jangka panjang berkaitan dengan asma yang lebih parah.
Meskipun ada alasan untuk menggunakannya secara hati-hati, acetaminophen
masih menjadi pilihan analgetik pada pasien asma.

PERTIMBANGAN ENDODONTIK PADA PASIEN DENGAN HIV


POSITIF

HIV merupakan infeksi retrovirus yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh
melalui kontak seksual intim dan rute parenteral. Setelah infeksi, enzim reverse
transcriptase memungkinkan virus untuk mengintegrasikan DNA nya sendiri ke
dalam genom sel yang terinfeksi dan bereplikasi melalui sintesis protein dan
ribosom sel yang terinfeksi. Awalnya serokonversi imun dengan produksi antibodi
antivirus terjadi diikuti dengan penurunan limfosit CD4+ yang signifikan dalam
periode waktu tahunan. Tatalaksana efektid dalam memncegah progresi infeksi
HIV dan AIDS adalah kombinasi obat antivirus yang dikenal dengan terapi anti-
retrovirus sangat aktif (HAART), yang secara signifikan memperpanjang usia dan
kualitas hidup orang yang terinfeksi HIV.
Interaksi Obat dan Terapi Anti-Retrovirus

Suatu tantangan signifikan dihadapi oleh pasien-pasien HIV-positif dan penyedia


layanan kesehatannya berpotensi menimbulkan interaksi efek samping obat.
Karena pasien-pasien dengan HIV-positif biasanya meggunakan regimen tiga atau
lebih obat dari setidaknya dua kelas berbeda, maka ada potensi munculnya efek
samping dan toksisitas.

Kadar terapi antiretrovirus HIV juga dapat dipengaruhi olh sifat farmakokinetik
tubuh. Mayoritas obat HIV yang ada di pasaran dimetabolisme oleh hepar melalui
sistem enzim sitokrom P45 (CYP450). Lebih spesifik lagi, isoenzim yang paling
banyak ada pada sistem CYP450, CYP3A4, memetabolisme setidaknya separih
obat antiretrovirus yang ada di pasaran. Karena obat-obat dimetabolisme melalui
jalur yang sama, kompetisi obat dalam mengikat isoenzime mungkin dapat terjadi.
Kompetisi ini selanjutnya menyebabkan peningkatan kadar obat dalam plasma,
menyebabkan toksisitas obat, efek smaping yang tidak diketahui dan
kemungkinan resisten kemudian. Namun, tidak semua interaksi obat memiliki
konsekuensi negatif. Beberapa inhibitor protease, seperti ritonavir, berfungsi
untuk meningkatkan kadar obat lainnya. Inhibitor protease ini dapat diberikan
dalam dosis yang lebih rendah, sehingga mengurangi metabolisme obat
antiretrovirus lainnya yang diberikan secara bersamaan.

Pertimbangan Endodontik: Dokter gigi harus sungguh-sungguh menyadari


potensi interaksi obat pada pasien yang positif HIV. Banyak obat yang biasa
diberikan atau diresepkan oleh dokter gigi yang dapat mengganggu metabolisme
obat antiretrovirus. Secara statistik, kemungkinan mengobati pasien dengan HIV
positif pada praktek dokter gigi meningkat karena infeksi baru HIV terus menerus
ada setiap tahunnya dan usia pasien HIV yang semakin panjang karena adanya
terapi antiretrovirus. Pasien dengan HIV positif dapat melakukan perawatan gigi
rutin atau pengobatan episodik untuk manifestasi oral dari HIV/AIDS, dan dokter
gigi harus mengetahui bagaimana merawat mereka dengan benar. Terdapat
kontroversi dalam literatur terkait kebutuhan pemberian antibiotik sebelum
melakukan tindakan prosedur gigi. Sebagian kecil pasien dengan penyakit HIV
tingkat lanjut mungkin membutuhkan modifikasi pengobatan seperti profilaksis
antibiotik atau transfusi darah untuk tindakan perawatan. Namun, saat ini tidak
ada data yang mendukung perlunya pemberian antibiotik rutin untuk mencegah
bakteremia atau septicemia akibat prosedur gigi. Disamping itu, dokter gigi
seharusnya mengetahui bahwa obat-obat yang dikonsumsi oleh pasien HIV,
mengerti potensi interaksi obat dengan obat yang mereka resepkan dan mampu
meresepkan obat lain dari kelompok obat berbeda jika diketahui ada kemungkinan
interaksi. Yang terakhir, dokter harus waspada mengenai risiko pekerjaan dalam
mengobati pasien ini, harus mengenal pedoman profilaksis pasca eksposur dari
CDC, mengimplementasikan tindakan preventif untuk mencegah paparan
pekerjaan dan menlakukan pelatihan risiko kerja untuk staff mereka.

PERTIMBANGAN ENDODONTIK PADA PASIEN HAMIL

Kehamilan merupakan keadaan fisiologis dinamis dengan beberapa perubahan


transien. Hal ini dapat menimbulkan berbagai tanda dan gejala klinis yang
mempengaruhi kesehatan, persepsi dan interaksi pasien dengan lingkungannya.
Praktisi gigi dengan pelatihan minimal mengenai kedokteran kehamilan mungkin
ragu untuk mengobati pasien yang hamil. Karena takut membahayakan ibu atau
janin, beberapa praktisi mungkin menunda pengobatan atau perawatan untuk
pasien hamil, dan secara tidak sengaja menyebabkan kerusakan. Pemahaman
mengenai perubahan fisiologis pasien, efek infeksi kronis atau penggunaan obat
terlarang dan alkohol, dan risiko atau bahaya dari obat-obatan penting untuk
memberikan saran pada pasien mengenai pilihannya terkait perawatan medis
untuk mereka.

Obat yang digunakan dalam endodontik: Untungnya banyak obat-obat dalam


armamentarium gigi dianggap aman baik bagi pasien hamil maupun janinnya.
Sebagian besar profesional gigi harus memiliki akses untuk referensi pengobatan,
jika muncul pertanyaan mengenai keamanan dan khasiat obat. Namun, jika
seorang profesional gigi ragu akan pilihan pengobatan giginya atau faktor risiko
untuk pasien hamil, dokter gigi harus merujuknya ke dokter kandungan.

Anestesi lokal merupakan obat yang paling sering digunakan oleh dokter gigi.
Lidokain dan prilokain termasuk dalam kategori B menurut FDA jika diberikan
dalam rentang terapeutik dan menjadi pilihan utama untuk anestesi lokal pada
pasien hamil yang tidak memiliki kontraindikasi seperti alergi. Bupivakain,
mepivakain dan artikain masuk dalam kategori C. Bupivakain pada studi hewan
menunjukkan kematian embrio dengan dosis diatas dosis terapeutik.

Disamping itu, penggunaan vasokonstriksi seperti epinefrin atau levonorderfrin,


tidak dikontraindikasikan jika ada dalam sediaan anestesi lokal. Meskipun masuk
dalam kategori C, vasokonstriktor ini jika digunakan dalam konsentrasi rendah
dalam anestesi lokal, tidak menyebabkan bahaya pada janin selama tindakan
pencegahan normal dilakukan. Tindakan pencegahan ini meliputi injeksi dalam
pembuluh darah dan menjaga dosis total pada atau dibawah dosis terapi yaitu 0,04
mg untuk epinefrin dan 0,2 mg untuk levonorderfin.

Seringkali, pilihan pengobatan terbaik untuk pasien ditujukan untuk mengatasi


rasa sakit dan infeksi pada sumbernya dengan cepat. Namun, ada kalanya infeksi
tidak dapat ditangani dengan cepat oleh perawatan gigi ivasif dan antibiotik
mungkin diperlukan. Banyak antibiotik yang menjadi lini pertama dokter gigi
tergolong dalam kategori B untuk risiko kehamilan menurut FDA. Obat-obat ini
meliputi kelompok penisilin, eritromisin (kecuali dalam bentuk ekolat),
azitromisin, klindamisin, metronidazol dan sefalosporin. Namun tetrasiklin,
minosiklin dan doksisiklin diberi peringkat D karena kemungkinan menjadi agen
chelating untuk tulang dan gigi. Oleh karena itu, tetrasiklin sebaiknya dihindari.

Ketika membahas nyeri, profesional gigi harus berhati-hati akan adanya pitfall
(jebakan). Tidak semua anti inflamasi non steroid aman untuk janin. Aspirin atau
diflusinal tidak direkomendasikan untuk wanita hamil. Aspirin dan diflusinal
keduanya berkaitan dengan kehamilan dan persalinan lewat waktu, anemia,
peningkatan risiko perdarahan dan penutupan duktus srteriosus prematur pada
jantung. Bahkan ibuprofen, ketoprofen, dan naproxen dikontraindikasikan pada
trimester ketiga kehamilan, karena obat tersebut masuk dalam kategori D, akibat
risikonya dalam memperpanjang kehamilan, meningkatkan risiko perdarahan
selama persalinan dan penutupan prematur duktus arteriosus. Namun, ketiga
analgesik ini masuk dalam kategori B jika diberikan dalam dua trimester pertama
kehamilan. Lini pertama pilihan obat anti inflamasi nonsteroid adalah
asetaminofen. Asetaminofen masuk dalam kategori B menurut FDA untuk ketiga
trimester kehamilan. Jika diperlukan obat nyeri yang lebih kuat, sebagian besar
ombinasi narkotik relatif aman untuk jangka pendek, terlepas dari risiko
penghambatan pertumbuhan janin atau ketergantungan janin jika diresepkan untuk
jangka waktu lama. Oxycodone mendapat rating B untuk pemakaian jangka
pendek, sedangkan meperidine, hydrocodone, propoksifen dan kodein masuk
dalam kategori C obat narkotik menurut FDA, meskupun obat tersebut relatif
aman untuk kontrol nyeri jangka pendek. Bagaimanapun juga, penggunaan
narkotik jangka panjang tidak disarankan karena dapat menimbulkan depresi atau
gejala withdrawal pada neonatus.

Untuk mengatasi kecemasan, metode non-farmasi lebih dipilih karena mengurangi


paparan janin terhadap obat. Sebagian besar benzodiazepin untuk anxiolytic harus
diberikan dengan sangat hati-hati dan dikonsultasikan dengan dokter karena
sebagian besar tergolong dalam kategori C atau D untuk risiko kehamilan.
Triazolam yang dikategorikan dalam kategori X merupakan kontraindikasi absolut
pada pasien hamil. Penggunaan nitrat oksida intranasal masih kontroversial karena
terdapat risiko penurunan aliran darah uterus atau efek teratogenik jika digunakan
dalam konsentrasi yang tinggi.

Pengobatan Endodontik: Banyak profesional gigi mungkin khawatir untuk


memberikan perawatan gigi pada pasien hamil karena takut membahayakan janin
secara tidak sengaja. Namun, beberapa prosedir gigi dikontraindikasikan pada
kehamilan tanpa komplikasi. Prosedur kebersihan gigi seperti profilaksis, scaling
dalam, atau root planning diperbolehkan pada semua trimester dalam kehamilan
normal. Profilaksis gigi dianjurkan untuk tida hanya meminimalkan bakteri
patogen periodontal namun juga memperkuat kebiasaan menjaga kebersihan
mulut pada pasien.

Jika karies gigi merupakan sumber nyeri atau infeksi akut pada wanita hamil,
seorang dokter gigi harus memberikan perawatan invasif terlepas dari fase
kehamilan pasien. Karies gigi juga merupakan sumber bakteri tambahan pada
pasien. Seperti yang disebutkan sebalumnya, anestesi lokal dapat digunakan pada
wanita hamil. Dismapin itu tidak ada kontraindikasi untuk penggunaan prosedur
diagnosis yang dianggap perlu, seperti radiograi, selama kehamilan, jika
mengikuti tindakan pencegahan yang aman normal. Tindakan pencegahan ini
meliputi kolimasi sinar, film berkecapatn tinggi, paparan yang terbatas dan
proteksi apron timah untuk pasien. Diperkirakan bahwa rata-rata pengambilan
film gigi penuh memberikan eksposur radiasi pad ajanin sebesar 1 x l0-1 rads, jauh
dibawah risiko tetragenik pada janin.

Serangan kegembiraan, kegelisahan atau ketakutan biasa terjadi selama


kehamilan. Jika dikombinasikan dengan ketakutan atau fobia akan tindakan
kedokteran gigi, wanita hamil dapat menunda atau menghindari perawatan gigi.
Anxietas dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, gangguan
gastrointestinal, hiperventilasi atau kram uterus. Seringkali konseling dan
penanganan penyebab ketakutan pasien dapat membantu meredakan gejala.

PERTIMBANGAN ENDODONTIK PADA PASIEN YANG MENJALANI


KEMOTERAPI KANKER DAN TERAPI RADIASI

Kanker yang dapat dioperasi dan tidak mempengaruhi rongga mulut memerlukan
sedikit modifikasi rencana perawatan. Sebelum pengobatan kanker, semua sumber
inflamasi dan infeksi yang mungkin berpotensi harus dieliminasi. Jika mungkin,
gigi yang tidak dapat dipulihkan dan yang memiliki prognosis periodontal jangka
panjang yang buruk sebaiknya diekstraksi lebih dari dua minggu sebelum terapi
radiasi. Gigi tidak vital yang simtomatis dapat diobati secara endodontik
setidaknya satu minggu sebelum memulai kemoterapi. Banyak pasien kanker
terpasang kateter yang mungkin rentan terhadap infeksi dan sementara Asosiasi
Jantung Amerika (AHA) kontroversial merekomendasikan profilaksis antibiotik
(Tabel 1).

Jika pasien telah mendapat kemoterapi, dokter gigi sebaiknya mengetahui kadar
trombosit dan sel darah putih pasien. Prosedur endodontik dapat dilakukan jika
jumlah neutrofil lebih dari 2.000 sel per mm kubik dan trombosit diatas 50.000
per mm kubik. Osteonekrosis pasca radiasi (PRON) akibat radiasi memicu
perubahan pada rahang, dapat timbul pada tulang yang terpapar radiasi dosis
tinggi dan dikarakteristikkan dengan eksposur tulang yang nyeri atau asimtomatis.
Protokol yang digunakan untuk mengurangi radionekrosis meliputi pemilihan
terapi endodontik selain ektraksi, prosedur bedah non truma, mempertimbangkan
penggunaan anestesi lokal selain lidokain yang tidak mengandung epinefrin atau
mengandung epinefrin dalam konsentrasi rendah dan antibiotik profilaksis serta
pemberian antibiotik selama minggu penyembuhan.

SIMPULAN

Persentase pasien dengan kompromi medis semakin meningkat dalam populasi


karena kemajuan medis yang cepat yang telah meningkatkan kelangsungan hidup
terkait sebagian besar penyakit. Meskipun pengobatan endodontik telah menjadi
pilihan pada pasien seperti itu, pasien semakin cepat dirujuk ke rumah sakit atau
pengobatan pasien ditunda sampai kondisi fisik optimal. Alasan utama untuk hal
itu adalah pelatihan yang kurang untuk kondisi seperti itu pada klinik gigi.

Saat ini, ahli endodontik sebaiknya memiliki pengetahuan mengenai penyakit


sistemik dan dapat memberikan standar pengobatan endodontik yang tinggi dan
sekaligus meminimalkan masalah yang mungkin berkaitan dengan kesehatan
umum pasien.

Anda mungkin juga menyukai