Anda di halaman 1dari 2

Belajar Humanis dari Pengelolaan Perumahan di Singapura

Kompas.com - 14/05/2012, 16:13 WIB

Oleh: Novia Valentina

KOMPAS.com - Permasalahan pemukiman kumuh perkotaan, khususnya pada daerah rawan


bencana dan bantaran sungai, muncul akibat manajemen kepemilikan lahan yang belum
berjalan dengan baik. Lahan sebagai komoditas yang jumlahnya terbatas dengan permintaan
terus meningkat menyebabkan naiknya harga tanah dari hari ke hari.

Makin mahalnya harga tanah itulah penyebab 29,89 juta rakyat Indonesia yang berada di
bawah garis kemiskinan sangat memiliki akses terbatas terhadap lahan sebagai tempat
tinggal. Dampaknya, banyak terjadi pengkavelingan lahan ilegal oleh masyarakat kelas
bawah, khususnya di daerah rawan bencana dan sepanjang bantaran sungai yang memang
belum mempunyai kepemilikan lahan secara jelas. Padahal, kawasan semacam ini mestinya
berfungsi sebagai area resapan air sebagai pengontrol kestabilan lingkungan. Bahkan,
beberapa pihak yang belum beruntung, seringkali terpaksa memanfaatkan lahan publik
seperti kolong jembatan atau fly over sebagai tempat tinggal.

Housing and Development Board

Permasalahan pemanfaatan lahan bantaran sungai dewasa ini dapat dikatakan menjadi lebih
kompleks. Perebutan lahan tak hanya terjadi di kalangan masyarakat yang "tak mampu",
melainkan juga menjadi rebutan developer berskala besar.

Memang, keunikan view bantaran sungai dianggap menjadi suatu nilai tambah yang tidak
ditemukan di tempat lain. Di sisi lain, banyak lahan-lahan kosong di pusat kota yang lebih
layak dijadikan tempat tinggal tetapi belum dimanfaatkan, dan hanya menjadi obyek empuk
para spekulan lahan. Hal ini mengindikasikan, bahwa kontrol harga lahan dan manajemen
kepemilikan lahan di Indonesia belum berjalan sebagaimana seharusnya.

Sedikit berbeda dengan kepemilikan lahan di Indonesia, di Negeri Jiran atau Malaysia dan
Singapura, lahan sepenuhnya dimiliki oleh kerajaan dan negara. Dengan demikian, kerajaan
dan negara mempunyai fungsi kontrol sepenuhnya terhadap penggunaan lahan. Adapun
kepemilikan lahan dan pemenuhan perumahan rakyat di Singapura diatur oleh HDB atau
Housing and Development Board.

HDB didirikan pada 1960, yaitu di tengah krisis perumahan yang banyak ditemukan
perumahan kumuh di sudut-sudut kota di Singapura. Hingga saat ini, HDB telah mampu
memfasilitasi 82% dari total penduduk sebesar 3.7 juta jiwa dengan 80% hak milik dan 2%
hak sewa.
Pembangunan perumahan tersebut dilakukan dengan subsidi kepada penduduk yang
berpenghasilan tak lebih dari SGD 8000. Semakin banyak jumlah kamar diinginkan, maka
semakin rendah subsidi diberikan. Kebijakan ini dilatarbelakangi pemahaman, bahwa
semakin banyak jumlah kamar yang diinginkan diterjemahkan sebagai makin tingginya daya
beli penduduk sehingga subsidi yang diberikan semakin kecil.

Menyoal penyediaan perumahan, HDB merancang skema kepemilikan perumahan yang


disesuaikan dengan tahapan kehidupan penduduk. Seorang single, ketika berkeluarga,
mungkin masih membutuhkan perumahan kecil sederhana dengan sistem sewa bersama
pasangannya. Kemudian, ketika pasangan itu punya anak, maka dibutuhkan rumah dengan
hak milik sedikit lebih besar. Selanjutnya, ketika anak-anak mereka tumbuh besar dan
berkeluarga, sepasang suami istri akan membutuhkan rumah kecil dengan akses menuju
sarana kesehatan lebih baik.

Fase dalam kehidupan manusia itulah yang dijadikan bahan perhitungan kebutuhan
perumahan di Singapura. Dengan demikian, perumahan yang disediakan HDB
diklasifikasikan menjadi tiga kelas yang diperuntukkan bagi single, family, dan elderly
citizen dengan fasilitas telah disesuaikan dengan calon pemilik.

Sebutlah misalnya flat, yang diperuntukkan bagi keluarga dibangun dekat dengan sarana
pendidikan seperti sekolah dasar dan dekat dengan kantor untuk membantu memudahkan
kegiatan pemiliknya, sedangkan studio apartment diperuntukkan bagi penduduk lanjut usia
yang difasilitasi dengan akses besar pada komunitas sosial, sarana kesehatan, dan sarana
olahraga seperti jogging track.

Berbagai macam perumahan yang disediakan HDB itu sudah dilengkapi dengan fasilitas
resell flat dengan harga tinggi. Hal ini memudahkan masyarakat berpindah rumah sesuai
kebutuhan dan kemampuan ekonominya masing-masing. Kiranya, pendekatan inilah yang
belum diadopsi oleh Indonesia.

Di Indonesia, perumahan dibangun disesuaikan dengan jumlah keluarga tanpa


memperhitungkan usia dan fase kehidupan penduduk. Dampaknya, pembangunan sarana dan
prasarana pendukung menjadi boros, tidak optimal, dan tidak tepat sasaran, karena segala
macam fasilitas dituntut untuk ada dalam setiap kawasan pemukiman yang ada.

Untuk itu, perlu disusun strategi tentang bagaimana pasar perumahan di Indonesia
menindaklanjuti hal tersebut. Kedua hal itu mestinya menjadi perhatian utama pemerintah
dalam mengusahakan perumahan yang layak bagi penduduk, yakni manajemen kepemilikan
lahan dalam rangka mengontrol kesenjangan harga lahan dan pembangunan perumahan yang
berorientasi pada kebutuhan penduduk.

Anda mungkin juga menyukai