Anda di halaman 1dari 15

Ketatalaksanaan Pelayaran

Niaga dan Kepelabuhan


MAKALAH TENTANG PERKAPALAN
Transportasi Maritim Indonesia Bagian I PENDAHULUAN Pulau-pulau Indonesia hanya
bisa tersambung melalui laut-lut di antara pula...
Hukum Pengangkutan Angkutan Laut
ANGKUTAN LAUT A. PERTANGGUNGJAWABAN DALAM PENGANGKUTAN LAUT
1. Landasan Teori Yuridik Pihak lain yang tidak dapat l...
Shipping Document
Dokumen Kapal Secara kronologis diuraikan jenis-jenis dokumen muatan kapal yang
lazim digunakan dalam pengapalan muatan kapal Gener...
Freight Forwarder
Freight Forwarding Documentations Jenis Document dalam Freight Forwarder
DOKUMEN merupakan salah satu bagian dari usha freight fo...

MAKALAH TENTANG PERKAPALAN


Transportasi Maritim Indonesia

Bagian I
PENDAHULUAN

Pulau-pulau Indonesia hanya bisa tersambung melalui laut-lut di antara


pulau-pulaunya. Laut bukan pemisah, tetapi pemersatu berbagai pulau, daerah
dan kawasan Indonesia. Hanya melalui perhubungan antar-pulau, antar-pantai,
kesatuan Indonesia dapat terwujud. Pelayaran, yang menghubungkan pulau-
pulau, adalah urat nadi kehidupan sekaligus pemersatu bangsa dan negara
Indonesia. Sejarah kebesaran Sriwijaya atau Majapahit menjadi bukti nyata
bahwa kejayaan suatu negara di Nusantara hanya bisa dicapai melalui
keunggulan maritim. Karenanya, pembangunan industri pelayaran nasional
sebagai sektor strategis, perlu diprioritaskan agar dapat: meningkatkan daya
saing Indonesia di pasar global, karena nyaris seluruh komoditi untuk
perdagangan internasional diangkut dengan menggunakan sarana dan
prasarana transportasi maritim, dan menyeimbangkan pembangunan kawasan
(antara Kawasan Timur Indonesia dan Barat) demi kesatuan Indonesia, karena
daerah terpencil dan kurang berkembang (yang mayoritas berada di Kawasan
Timur Indonesia yang kaya sumberdaya alam) membutuhkan akses ke pasar
dan mendapat layanan, yang seringkali hanya bisa dilakukan dengan
transportasi maritim.
Pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan di
perairan, kepelabuhanan, serta keamanan dan keselamatannya. Secara garis
besar pelayaran dibagi menjadi dua, yaitu Pelayaran Niaga (yang terkait dengan
kegiatan komersial) dan Pelayaran Non-Niaga (yang terkait dengan kegiatan
non-komersial, seperti pemerintahan dan bela-negara).
Angkutan di Perairan (dalam makala ini disepadankan dengan
Transportasi Maritim) adalah kegiatan pengangkutan penumpang, dan atau
barang, dan atau hewan, melalui suatu wilayah perairan (laut, sungai dan danau,
penyeberangan) dan teritori tertentu (dalam negeri atau luar negeri), dengan
menggunakan kapal, untuk layanan khusus dan umum. Wilayah Perairan terbagi
menjadi :
1. Perairan laut: wilayah perairan laut
2. Perairan Sungai dan Danau : wilayah perairan pedalaman, yaitu: sungai, danau,
waduk, rawa, banjir, kanal dan terusan.
3. Perairan Penyeberangan: wilayah perairan yang memutuskan jaringan jalan
atau jalur kereta api. Angkutan penyeberangan berfungsi sebagai jembatan
bergerak, penghubung jalur.

Teritori Pelayaran terbagi menjadi:


1. Dalam Negeri: untuk angkutan domestik, dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain
di wilayah Indonesia;
2. Luar Negeri: untuk angkutan internasional (ekspor/impor), dari pelabuhan
Indonesia (yang terbuka untuk perdagangan luar negeri) ke pelabuhan luar
negeri, dan sebaliknya.
Angkutan Dalam Negeri diselenggarakan dengan kapal berbendera Indonesia,
dalam bentuk :
1. Angkutan Khusus, yang diselenggarakan hanya untuk melayani kepentingan
sendiri sebagai penunjang usaha pokok dan tidak melayani kepentingan umum,
di wilayah perairan laut, dan sungai dan danau, oleh perusahaan yang
memperoleh ijin operasi untuk hal tersebut.
2. Angkutan Umum, yang diselenggarakan untuk melayani kepentingan umum,
melalui : Pelayaran Rakyat, oleh perorangan atau badan hukum yang didirikan
khusus untuk usaha pelayaran, dan yang memiliki minimal satu kapal berbendera
Indonesia jenis tradisional (kapal layar, atau kapal layar motor tradisional atau
kapal motor berukuran minimal 7GT), beroperasi di wilayah perairan laut, dan
sungai dan danau, di dalam negeri.
Pelayaran Nasional, oleh badan hukum yang didirikan khusus untuk
usaha pelayaran, dan yang memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia
jenis non-tradisional, beroperasi di semua jenis wilayah perairan (laut, sungai dan
danau, penyeberangan) dan teritori (dalam negeri dan luar negeri). Pelayaran
Perintis yang diselenggarakan oleh pemerintah di semua wilayah perairan (laut,
sungai dan danau, penyeberangan) dalam negeri, untuk melayani daerah
terpencil (yang belum dilayani oleh jasa pelayaran yang beroperasi tetap dan
teratur atau yang moda transportasi lainnya belum memadai) atau daerah belum
berkembang (tingkat pendapatan sangat rendah), atau yang secara komersial
belum menguntungkan bagi angkutan laut
Angkutan Luar Negeri diselenggarakan dengan kapal berbendera
Indonesia dan asing, oleh: perusahaan pelayaran nasional yang memiliki minimal
satu kapal Berbendera Indonesia, berukuran 175 GT; perusahaan pelayaran
patungan, antara perusahana asing dengan perusahaan nasional yang memiliki
minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000 GT; dan perusahaan
pelayaran asing, yang harus diageni oleh perusahaan nasional dengan
kepemilikan minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000 GT untuk
pelayaran internasional atau minimal satu kapal berbendera Indonesia,
berukuran 175 GT untuk pelayaran lintas-batas)
Bagian II
TRANSPORTASI MARITIM DI INDONESIA

Usaha jasa angkutan memiliki beberapa bidang usaha penunjang, yaitu


kegiatan usaha yang menunjang kelancaran proses kegiatan angkutan, seperti
diuraikan di bawah :
1. Usaha bongkar muat barang, yaitu kegiatan usaha pembongkaran dan
pemuatan barang dan atau hewan dari dan ke kapal.
2. Usaha jasa pengurusan transportasi (freight forwarding), yaitu kegiatan usaha
untuk pengiriman dan penerimaan barang dan hewan melalui angkutan darat,
laut, udara.
3. Usaha ekspedisi muatan kapal laut, yaitu kegiatan usaha pengurusan dokumen
dan pekerjaan yang berkaitan dengan penerimaan dan penyerahan muatan yang
diangkut melalui laut.
4. Usaha angkutan di perairan pelabuhan, yaitu kegiatan usaha pemindahan
penumpang dan atau barang dan atau hewan dari dermaga ke kapal atau
sebaliknya dan dari kapal ke kapal, di perairan pelabuhan.
5. Usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau alat apung, yaitu kegiatan
usaha penyediaan dan penyewaan peralatan penunjang angkutan laut dan atau
alat apung untuk pelayanan kapal.
6. Usaha tally, yaitu kegiatan usaha penghitungan, pengukuran, penimbangan dan
pencatatan muatan untuk kepentingan pemilik muatan dan pengangkut.
7. Usaha depo peti kemas, yaitu kegiatan usaha penyimpanan, penumpukan,
pembersihan, perbaikan, dan kegiatan lain yang terkait dengan pengurusan peti
kemas.
A. Kronologi Ringkas Kebijakan Transportasi Maritim Indonesia
Pada tahun 1985 diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 yang bertujuan
meningkatkan ekspor nonmigas dan menekan biaya pelayaran dan pelabuhan.
Pelabuhan yang melayani perdagangan luar negeri ditingkatkan jumlahnya
secara drastis, dari hanya 4 menjadi 127. Untuk pertamakalinya pengusaha
pelayaran Indonesia harus berhadapan dengan pesaing seperti feeder
operator yang mampu menawarkan biaya lebih rendah. Liberasi berlanjut pada
tahun 1988 ketika pemerintah melonggarkan proteksi pasar domestik. Sejak itu,
pendirian perusahaan pelayaran tidak lagi disyaratkan memiliki kapal berbendera
Indonesia. Jenis ijin pelayaran dipangkas, dari lima menjadi hanya dua.
Perusahaan pelayaran memiliki fleksibilitas lebih besar dalam rute pelayaran dan
penggunaan kapal (bahkan penggunaan kapal berbendera asing untuk pelayaran
domestik). Secara de facto, prinsip cabotage tidak lagi diberlakukan.
Pada tahun itu pula diberlakukan keharusan men-scrap kapal tua dan
pengadaan kapal dari galangan dalam negeri. Undang-Undang Pelayaran Nomor
21 Tahun 1992, semakin memperkuat pelonggaran perlindungan tersebut.
Berdasarkan UU21/92 perusahaan asing dapat melakukan usaha patungan
dengan perusahaan pelayaran nasional untuk pelayaran domestik. Melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999, Pemerintah berupaya mengubah
kebijakan yang terlalu longgar, dengan menetapkan kebijakan sebagai berikut:
1. Perusahaan pelayaran nasional Indonesia harus memiliki minimal satu kapal
berbendera Indonesia, berukuran 175 GT.
2. Kapal berbendera asing diperbolehkan beroperasi pada pelayaran domestik
hanya dalam jangka waktu terbatas (3 bulan).
3. Agen perusahaan pelayaran asing kapal harus memiliki minimal satu kapal
berbendera Indonesia, berukuran 5,000 GT.
4. Di dalam perusahaan patungan, perusahaan nasional harus memiliki minimal
satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000 GT (berlipat dua dari syarat
deregulasi 1988 yang 2,500). Pengusaha agen kapal asing memprotes keras,
sehingga pemberlakuan ketentuan ini diundur hingga Oktober 2003.
5. Jaringan pelayaran domestik dibagi menjadi 3 jenis trayek, yaitu utama (main
route), pengumpan (feeder route) dan perintis (pioneer route). Jenis ijin operasi
pelayaran dibagi menurut jenis trayek tersebut dan jenis muatan (penumpang,
kargo umum, dan kontener).
Rangkaian regulasi dan deregulasi tersebut di atas menjadi salah satu
faktor terhadap kondisi dan masalah yang dihadapi sektor transportasi maritim
Indonesia, dari waktu ke waktu.
B. Profil Armada Transportasi Maritim Di Indonesia
Dari sisi besaran DWT, kapasitas kapal konvensional dan tanker
mendominasi armada pelayaran yang uzur (umur rata-rata kapal Indonesia 21
tahun, 2001, bandingkan dengan Malaysia yang 16 tahun, 2000, atau Singapura
yang 11 tahun, 2000). Meskipun demikian, justru pada kapasitas muatan dry-
bulk dan liquid-bulkpangsa pasar domestik armada nasional paling kecil. Pada
umumnya, kapal Indonesia mengangkut kargo umum, tapi sekitar setengah
muatan dry-bulk dan liquid-bulk diangkut oleh kapal asing atau kapal sewa
berbendera asing. Secara keseluruhan armada nasional meraup 50% pangsa
pasar domestik. Sekitar 80% liquid-bulk berasal dari P.T. Pertamina. Penumpang
angkutan laut bukan feri terutama dilayani oleh PT Pelni yang mengoperasikan
29 kapal (dalam lima tahun terakhir, PT Pelni menambah 10 kapal). Perusahaan
swasta juga membesarkan armada dari 430 (1997) menjadi 521 unit (2001).
Armada Pelayaran Rakyat, yang terdiri dari kapal kayu (misalnya jenis
Phinisi, seperti yang banyak berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa) membentuk
mekanisme industri transportasi laut yang unik. Kapal-kapal yang berukuran
relatif kecil (tapi sangat banyak) melayani pasar yang tidak diakses oleh kapal
berukuran besar, baik karena alasan finansial (kurang menguntungkan) atau fisik
(pelabuhan dangkal). Industri pelayaran rakyat berperan sangat penting dalam
distribusi barang ke dan dari pelosok Indonesia. Armada pelayaran rakyat
mengangkut 1.6 juta penumpang (sekitar 8% penumpang bukan feri) dan 7.3 juta
MetricTon barang (sekitar 16% kargo umum). Tapi kekuatan armada ini
cenderung melemah, terlihat dari kapasitas 397,000 GRT pada tahun 1997
menjadi 306,000 GRT pada tahun 2001. (Sumber data: Stramindo, berdasarkan
statistik DitJenHubLa).
C. Masalah Transportasi Maritim Di Indonesia
Dalam periode 5 tahun (19962000) jumlah perusahaan pelayaran di
Indonesia meningkat, dari 1,156 menjadi 1,724 buah, atau bertambah 568
perusahaan (peningkatan rata-rata 10.5 % p.a). Sementara kekuatan armada
pelayaran nasional membesar, dari 6,156 menjadi 9,195 unit (peningkatan rata-
rata 11.3 % p.a). Tapi dari segi kapasitas daya angkut hanya naik sedikit, yaitu
dari 6,654,753 menjadi 7,715,438 DWT. Berarti kapasitas rata-rata perusahaan
pelayaran nasional menurun. Sepanjang periode tersebut, volume perdagangan
laut tumbuh 3 % p.a. Volume angkutan naik dari 379,776,945 ton (1996) menjadi
417,287,411 ton (2000), atau meningkat sebesar 51,653,131 ton dalam waktu
lima tahun, tapi tak semua pertumbuhan itu dapat dipenuhi oleh kapasitas
perusahaan pelayaran nasional (kapal berbendera Indonesia), bahkan untuk
pelayaran domestik (antar pelabuhan di Indonesia). Pada tahun 2000, jumlah
kapal asing yang mencapai 1,777 unit dengan kapasitas 5,122,307 DWT meraup
muatan domestik sebesar 17 juta ton atau sekitar 31%.
Walhasil, saat ini industri pelayaran Indonesia sangat buruk. Perusahaan
pelayaran nasional kalah bersaing di pasar pelayaran nasional dan internasional,
karena kelemahan di semua aspek, seperti ukuran, umur, teknologi, dan
kecepatan kapal. Di bidang muatan internasional (ekspor/impor) pangsa
perusahaan pelayaran nasional hanya sekitar 3 % to 5%, dengan kecenderungan
menurun (lihat Tabel di bawah). Proporsi ini sangat tidak seimbang dan tidak
sehat bagi pertumbuhan kekuatan armada pelayaran nasional.
Data tahun 2002 menunjukkan bahwa pelayaran armada nasional
Indonesia semakin terpuruk di pasar muatan domestik. Penguasaan pangsanya
menciut 19% menjadi hanya 50% (2000: 69%). Sementara untuk muatan
internasional tetap di kisaran 5%. Dari sisi finansial, Indonesia kehilangan
kesempatan meraih devisa sebesar US$10.4 milyar, hanya dari transportasi laut
untuk muatan ekspor/impor saja. Alih-alih memperoleh manfaat dari penerapan
prinsip cabotage (yang tidak ketat) industri pelayaran nasional Indonesia malah
sangat bergantung pada kapal sewa asing. Armada nasional pelayaran
Indonesia menghadapi banyak masalah, seperti: banyak kapal, terutama jenis
konvensional, menganggur karena waktu tunggu kargo yang berkepanjangan;
terjadi kelebihan kapasitas, yang kadang-kadang memicu perang harga yang
tidak sehat; terdapat cukup banyak kapal, tapi hanya sedikit yang mampu
memberikan pelayanan memuaskan; tingkat produktivitas armada dry
cargo sangat rendah, hanya 7,649 ton-miles/DWT atau sekitar 39.7%
dibandingkan armada sejenis di Jepang yang 19,230 ton-miles/DWT.
Pada tahun 2001 perusahaan pelayaran di Indonesia mencapai jumlah
3,078, atau berlipat 3.3 kali dari jumlah tahun 1998. Tapi dalam periode yang
sama, jumlah perusahaan yang memiliki kapal sendiri hanya berlipat 1.3 kali.
Perusahaan pemilik kapal yang menjadi anggota INSA (Indonesia National
Shipowner Association) pada tahun 2001 tercatat 914. Dari jumlah tersebut 82%
diantaranya adalah perusahaan yang mengoperasikan kurang dari 3 buah kapal,
dan hanya 4% yang mengoperasikan lebih dari 10 kapal. Hanya sekitar 80%
anggota INSA yang mengoperasikan kapal milik sendiri, sisanya
mengoperasikan kapal sewaan.
Hasil survai Stramindo di kalangan perusahaan pelayaran pada tahun
2002 menunjukkan bahwa persepsi bahwa pengembangan perusahaan
pelayaran terhambat karena lima faktor utama, yaitu: regulasi dan
pelaksanaannya; armada yang uzur kesulitan pendanaan untuk investasi operasi
pelabuhan yang kurang baik biaya siluman yang tinggi Survai Stramindo juga
menunjukkan adanya keinginan besar di kalangan perusahaan pelayaran
nasional untuk meremajakan kapal dan memperbesar kapasitas asramanya. Dari
sumber lain juga terindikasi adanya harapan untuk memperbesar pangsa pasar
domestik dan internasional bagi armada pelayaran nasional. Seperti terlihat dari
proyeksi INSA untuk memperbesar kapasitas armada pelayaran nasional hingga
tahun 2020 terealisasi Tapi keinginan atau harapan tersebut tidak mudah
diwujudkan, karena berbagai kendala dan persoalan yang sulit. Armada
pelayaran nasional Indonesia kurang mampu meningkatkan daya saing dan
bertumbuh karena beberapa faktor, yaitu pemilik kapal tidak mampu memperkuat
armada dengan pembiayaan sendiri; tingkat bunga yang tinggi dalam sistem
perbankan nasional; dan tidak ada subsidi; tidak ada kebijakan yang memihak
(seperti penerapan asas cabotage); sisa-sisa kebijakan yang tak menunjang,
misalnya keharusan men-scrap kapal tua (padahal secara teknis dan ekonomis
masih dapat dioperasikan) dan keharusan membeli kapal produksi dalam negeri
(padahal kapasitas pasokannya masih relatif terbatas) keterbatasan fasilitas dan
infrastruktur pelabuhan nasional (lebih pada muatan ekspor/impor);
ketaktersediaan jaringan informasi yang memadai.
Situasi pelayaran nasional sangat pelik, karena ketergantungan pada
kapal sewa asing terjadi bersamaan dengan kelebihan kapasitas armada
domestik. Situasi bagai lingkaran tak berujung itu disebabkan lingkungan
investasi perkapalan yang tidak kondusif. Banyak perusahaan pelayaran ingin
meremajakan armadanya, tapi sulit memperoleh pinjaman dari pasar uang
domestik. Dan di sisi lain lebih mudah memperoleh pinjaman dari sumber-
sumber luar negeri. Beberapa perusahaan besar cenderung mendaftarkan
kapalnya di luar negeri (flagged-out). Tapi perusahaan kecil dan menengah tidak
mampu melakukannya, sehingga tak ada alternatif kecuali menggunakan kapal
berharga murah, tapi tua dan scrappy. Akibatnya terjadi ketergantungan yang
semakin besar pada kapal sewa asing dan pemerosotan produktivitas armada.
D. Masalah Investasi Transportasi Maritim
Di Indonesia terdapat dua kelompok besar penyelenggara transportasi
maritim, yaitu oleh Pemerintah (termasuk BUMN) dan swasta. Masing-masing
kelompok terbagi dua. Di pihak Pemerintah terbagi menjadi BUMN pelayaran
yang menyelenggarakan transportasi umum dan BUMN non-pelayaran yang
hanya menyelenggarakan pelayaran khusus untuk melayani kepentingan sendiri.
Pihak swasta terbagi menjadi perusahaan besar dan perusahaan kecil (termasuk
pelayaran rakyat). Ragam mekanisme penyaluran dana investasi pengadaan
kapal ternyata sejalan dengan pembagian tersebut. Masing-masing pihak di tiap-
tiap kelompok memiliki mekanisme pembiayaan tersendiri
E. Hambatan dalam Pendanaan Kapal
Dunia pelayaran Indonesia menghadapi banyak hambatan struktural dan
sistematis di bidang finansial, seperti dipaparkan di bawah.
a. Keterbatasan lingkup dan skala sumber dana: Official Development
Assitance (ODA): terkonsentrasi untuk investasi publik di berbagai sektor
pembangunan, kecuali pelayaran. Other Official Finance (OOF): kredit ekspor
dari Jepang sedang terjadwal-ulang. Foreign Direct Investment (FDI): sejauh ini
tidak ada Anggaran Pemerintah: hanya dialokasikan untuk pengadaan kapal
pelayaran perintis. Pinjaman Bank Asing: tersedia hanya untuk perusahaan
pelayaran besar (credit worthy) Pinjaman Bank Swasta Nasional: hanya
disediakan dalam jumlah sangat kecil (dalam kasus Bank Mandiri hanya 0.25%
dari jumlah total kredit tersalur)
b. Tingkat suku bunga pinjaman domestik 15-17% p.a. untuk jangka waktu
pinjaman 5 tahun.
c. Jangka waktu pinjaman yang hanya 5 tahun terlalu singkat untuk industri
pelayaran;
d. Saat ini, kapal yang dibeli tidak bisa dijadikan sebagai kolateral.
e. Tidak ada program kredit untuk kapal feeder termasuk pelayaran rakyat, kecuali
pinjaman jangka pendek berjumlah sangat kecil dari bank nasional. Program
kredit lunak untuk pelayaran rakyat akan dihentikan, program untuk dok dan
galangan kapal sudah dihapus.
f. Tidak ada kebijakan pendukung.
g. Prosedur peminjaman (appraisal, penyaluran, angsuran) kurang ringkas.
F. Masa Depan Transportasi Maritim
Proyeksi dalam Study on the Development of Domestic Sea
Transportation and Maritime Industry in the Republic of Indonesia (Stramindo)
JICA (2003) Gambaran suram tentang transportasi maritim Indonesia bagai
mendung yang menutupi matahari. Potensi yang ada sangat besar, sehingga
masa depan sebenarnya bisa lebih cerah. Terlihat dari hasil kajian Stramindo
yang memproyeksikan pembangunan transportasi maritim Indonesia untuk 20
tahun ke depan (20042024).
Stramindo memprediksi bahwa dalam periode 20 tahun ke depan (20042024),
volume dry cargo akan berlipat 2.8 kali, volume liquid cargo berlipat 1.4 kali, dan
secara keseluruhan volume angkutan domestik akan berlipat 2 kali. Jenis muatan
yang paling pesat pertumbuhannya adalah kargo kontener. Volumenya akan
berlipat 5.2 kali, dari 11 juta ton (2004) menjadi 59 juta ton (2024).
Pertumbuhan dry cargo sejalan dengan kecenderungan pertumbuhan ekonomi,
dan tidak terlalu bergantung pada ketersediaan sumberdaya alam. Tingkat
produksi minyak saat ini akan terhenti pada tahun 2006, seperti diperkirakan oleh
Pemerintah. Di masa 20 tahun ke depan, volume angkutan minyak akan
menurun, sekalipun konsumsi bertambah. Struktur logistik minyak akan berubah,
sebagian volume domestik minyak mentah akan diganti dengan impor minyak.
Sebagai akibatnya, pertumbuhan volume angkutan liquid-cargo (yang
didominasi minyak) tidak sepesat dry-cargo. Pertumbuhan volume penumpang
(transportasi maritim maupun udara) akan sejalan dengan pertumbuhan GDP.
Tapi GDP yang semakin tinggi hanya berpengaruh positif terhadap transportasi
udara, dan berpengaruh negatif terhadap transportasi laut. Karena itu diprediksi
proporsi laut-udara akan berubah dari 60-40 (2001) menjadi 51-49 (2024)
dengan tingkat pertumbuhan rendah 1.5 kali lipat. Proyeksi pertumbuhan volume
muatan barang dan penumpang domestik yang menggunakan transportasi
maritim
Pertumbuhan volume muatan domestik membutuhkan penambahan
kapasitas armada tranportasi maritim domestik. Tapi perkiraan penambahan
kapasitas dipengaruhi beberapa hal, antara lain pertumbuhan pangsa pasar, atau
tingkat produktivitas. Stramindo menargetkan perbaikan tingkat produktivitas
kapal dry-cargo, yaitu dari 7,649 ton-miles/DWT (2001) menjadi 10,000 ton-
miles/DWT (2024). Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai peningkatan dan
penyempurnaan di berbagai bidang, antara lain seperti: peningkatan volume
muatan, karena ekstensifikasi kontenerisasi; peningkatan kecepatan kapal,
karena penggunaan armada yang berumur lebih muda; penambahan jumlah hari
produktif (commissionable days), karena perbaikan manajemen kapal;
pemangkasan waktu tunggu di pelabuhan, karena perbaikan manajemen
pelabuhan dan sebagainya.
Disamping itu, Stramindo mengasumsikan pembesaran pangsa dari 60%
(2001) menjadi 86% (2014) dan 100% (2024). Target pangsa pasar armada
domestik ini bisa dicapai melalui kebijakan penerapan bertahap asas cabotage,
dengan tujuan membentuk armada yang berdayasaing tinggi. Berdasarkan data
tahun 2001, kapasitas armada nasional adalah 7.1 juta DWT/GT dengan umur
rata-rata 21 tahun. Pada akhir dasawarsa pertama, tahun 2014, kekuatan
armada nasional untuk pelayaran domestik bisa mencapai 86% besaran proyeksi
akhir, dengan penambahan kapasitas 3.4 juta DWT. Hal ini hanya bisa dicapai
dengan penerapan cabotage pada 7 komoditi terpilih (minyak bumi, minyak
sawit, batubara, pupuk, kayu, beras, dan karet). Selain tetap
mempertahankan cabotage seperti yang ada sekarang, dan penggantian kapal
tua. Pada akhir dasawarsa kedua, tahun 2024, jika modernisasi kapal dan
manajemen pelayaran berhasil dilakukan secara gradual dan penerapan
sepenuhnya prinsip cabotage, kapasitas armada pelayaran domestik akan
bertambah 3.2 juta DWT sehingga mencapai 13.1 juta DWT untuk kargo dan 0.7
juta GT untuk penumpang (atau 14.4 juta DWT/GT) dengan umur rata-rata 14
tahun Berdasarkan proyeksi kapasitas armada pelayaran tersebut di atas,
diperlukan investasi sebesar Rp 54.5 trilyun untuk pengadaan armada kapal
dalam periode 2004-2014, dan sebesar Rp 75,3 trilyun dalam periode berikutnya,
2015-2024. Pengadaan 4,617 kapal dalam periode selama 20 tahun
membutuhkan dana total sebesar Rp 130 trilyun (US$15.3 milyar), atau sama
dengan 8% GDP Indonesia tahun 2002.
Karena keterbatasan anggaran pemerintah, JICA merekomendasikan
agar Pemerintah Indonesia mencari pinjaman sebesar Rp 2.8 trilyun dari Official
Development Assistance (ODA) melalui program pembangunan pelayaran antar-
pulau (interinsuler), untuk memenuhi 10% investasi domestik dalam periode
2005-2009. Melalui investasi peremajaan dan modernisasi armada transportasi
maritim, diperkirakan ekonomi Indonesia akan menikmati multiplier-effect senilai
Rp 251.3 trilyun pada tahun 2024. Patut digarisbawahi, bahwa selain beberapa
asumsi dasar umum (misalnya pertumbuhan GDP), proyeksi tersebut di atas
disusun dengan mengandaikan keberhasilan pembenahan di beberapa bidang.
Pada dasarnya pembenahan tersebut bertujuan meningkatkan produktivitas dan
menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk industri pelayaran. Proyeksi di
atas akan berhenti hingga sebatas kertas, tanpa pembenahan yang disarankan.
Pada tahap awal, proyeksi dalam Study on Development of Domestic
Sea Transportation and Maritime Industry in the Republic of Indonesia ini dapat
dipergunakan untuk memaparkan potensi besar industri transportasi maritim,
yang disusun berdasarkan kondisi faktual saat ini.
Bagian III
KESIMPULAN
A. Umum
Industri pelayaran, bahkan transportasi maritim yang merupakan salah
satu bagiannya, memiliki banyak aspek yang saling terkait. Karena itu, upaya
peningkatan daya-saing pada aspek yang relevan perlu dilakukan secara
simultan. Berikut dipaparkan beberapa aspek yang relevan. Pembenahan
administrasi dan manajemen pemerintahan di laut, termasuk keselamatan dan
keamanan maritim serta perlindungan laut.
Pembenahan manajemen pelabuhan, untuk peningkatan efisiensi dan
produktivitas Pembangunan prasarana dan sarana penunjang pelayaran
Penetapan kebijakan pelayaran nasional dan rencana strategis pembangunan
perhubungan laut. Termasuk penerapan asas cabotage yang bertujuan tidak
sekedar sebagai pelindung industri pelayaran domestik, tetapi untuk peningkatan
daya-tawar dalam persaingan global yang sengit.
Modernisasi manajemen bisnis pelayaran Pembenahan sistem hukum
maritim dan penyesuaian materi peraturan perundangan dengan dinamika
perkembangan dunia kemaritiman Pembinaan dan penyiapan sumberdaya
secara memadai dan mencukupi Kerjasama yang lebih baik antara sektor publik
dan swasta Penciptaan iklim investasi yang kondusif untuk industri pelayaran
Beberapa masalah utama jangka menengah dapat diagendakan untuk ditangani,
seperti di bidang Pajak: pengurangan dan atau pembebasan Pajak Penghasilan
Badan dan awak kapal dan barang-barang kebutuhan perusahaan yang
menggunakan kapal berbendera Indonesia.
Pendanaan: pinjaman lunak jangka panjang untuk industri pelayaran,
fasilitas khusus keuangan untuk pengadaan kapal, dan kredit investasi untuk
perusahaan pelayaran penghasil devisa; Fasiltas perdagangan: ekspor dengan
C&F/CIF, imor dengan FOB Ratifikasi United Nations Convention on Mortgage
and Lien Kontrak jangka panjang antara pemilik kapal dengan pengguna jasa
Sosialisasi nilai strategis industri pelayaran Review terhadap jumlah pelabuhan
yang melayani perdagangan internasional (kini 141) Peningkatan fasilitas dan
layanan kepelabuhanan
B. Finansial
Industri transportasi maritim menghadapi situasi pelik, yaitu timbulnya
masalah ketergantungan pada kapal sewa asing dan kelebihan kapasitas
armada secara bersamaan. Pangkal kepelikan situasi tersebut berasal dari
lingkungan investasi perkapalan yang tidak kondusif. Perusahaan pelayaran
yang ingin meremajakan armadanya, sulit memperoleh dukungan dana. Jika
dibiarkan, kepelikan tersebut akan seperti spiral yang menyeret perusahaan
pelayaran ke arah keterpurukan yang semakin dalam.
Hanya ada satu prasyarat yang dibutuhkan, agar perusahaan pelayaran
nasional dapat keluar dari spiral tersebut, yaitu iklim investasi yang kondusif.
Kondusivitas tersebut diperlukan untuk memberdayakan perusahaan pelayaran,
sehingga perusahaan pelayaran tersebut dapat memiliki beberapa karakteristik
kemampuan dalam hal: mengakses sumber dana keuangan untuk pengadaan
kapal yang dibutuhkan menikmati laba bisnis yang stabil menghindari
pemerosotan asset kapal dalam jangka menengah dan panjang melakukan
reinvestasi pada armada yang lebih berdaya saing Perusahaan pelayaran akan
dapat melakukan modernisasi manajemen dan memiliki karakterisitik tersebut di
atas, hanya jika pemerintah mendorong penciptaan iklim investasi yang kondusif
untuk industri pelayaran dengan melakukan: penerapan skema pendanaan
strategis untuk beberapa area pembangunan armada pelayaran, menyediakan
sarana dan prasarana penunjang pelayaran, seperti pelabuhan dan galangan
kapal. Penggalian sumber dana dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
dipaparkan di bawah ini.
a. Pemanfaatan ODA menjadi beberapa skema dan bidang, seperti untuk:
pengadaan kapal berkualitas untuk dijadikan sebagai kapal tipe standard;
pembangunan kapal berkualitas seperti di atas, di galangan kapal dalam negeri;
skema Two-Step Loan (TSL) melalui bank (seperti Bank Mandiri) sebagai
pinjaman bagi perusahaaan besar, untuk pembelian kapal baru, atau
peningkatan mutu kapal, atau pembelian peralatan; skema TSL melalui bank
(seperti BRI) sebagai pinjaman bagi perusahaan kecil atau pelayaran rakyat
untuk pembelian kapal baru, atau peningkatan mutu kapal; dan pelayaran
perintis, dalam bentuk pendanaan program terkait bagi daerah yang disinggahi
kapal perintis, seperti konstruksi prasarana pedesaan, kredit usaha kecil, atau
pembangunan pedesaan.
b. Pemanfaatan pinjaman OOF (non-ODA), seperti dari Jepang, yang akan
tersedia seusai penjadwalan-ulang;
c. Perluasan akses terhadap dana bank luar negeri bagi perusahaan pelayaran
yang melayani angkutan luar negeri. Pembatasan ini perlu dilakukan karena
pinjaman dalam bentuk mata uang asing terlalu beresiko bagi perusahaan
pelayaran dengan angkutan domestik yang berpenghasilan rupiah.
d. Pemanfaatan dana bank nasional dengan cara menekan suku bunga,
menyederhanakan prosedur, dan memperbarui sistem penjaminan (untuk ini
dibutuhkan peraturan perundangan tentang mortgage).
e. Penetapan kebijakan pendanaan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan
transparansi.
Pembaharuan kebijakan finansial untuk industri transportasi maritim
Indonesia bukan hal yang berlebihan dibandingkan dengan kebijakan di
beberapa negara Asean. Negara-negara tersebut telah menetapkan kebijakan di
bidang registrasi kapal, pajak dan cukai, prinsip cabotage, dan dukungan fiskal
untuk pengembangan kekuatan armada pelayaran nasional masing-masing.
Sebagai contoh misalnya Filipina dan Singapura :
1. Di bidang registrasi kapal, Filipina dan Singapura memperluas skema registrasi
kapal hingga mencakup bare-boat charter ship dengan opsi beli.
2. Di bidang pendanaan kapal, Filipina telah menerapkan sistem two-step-
loan sejak 1995, dan menjalin kerjasama dengan Japan Bank for International
Cooperation (JBIC) dan Malaysia dalam pengelolaan shipping fund untuk
meningkatkan nilai strategis dan meremajakan umur armada pelayaran
domestiknya.
Bidang kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata
bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan
kelautan, dan jasa kelautan, merupakan andalan dalam menjawab tantangan
dan peluang tersebut. Pernyataan tersebut didasari bahwa potensi sumberdaya
kejautan yang besar yakni 75% wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) adalah laut dan selama ini telah memberikan sumbangan yang sangat
berarti bagi keberhasilan pembangunan nasional.
Sumbangan yang sangat berarti dari sumberdaya kelautan tersebut,
antara lain berupa penyediaan bahan kebutuhan dasar, peningkatan pendapatan
masyarakat, kesempatan kerja, perolehan devisa dan pembangunan daerah.
Dengan potensi wilayah laut yang sangat luas dan sumberdaya alam serta
sumberdaya manusia yang dimiliki Indonesia. kelautan sesungguhnya memiliki
keunggulan komparatif, keunggulan kooperatif dan keunggulan kompetitif untuk
menjadi sektor unggulan dalam kiprah pembangunan nasional dimasa depan.
Pembangunan kelautan selama tiga dasa warsa terakhir selalu
diposisikan sebagai pinggiran (peryphery) dalam pembangunan ekonomi
nasional. Dengan posisi semacam ini sektor kelautan dan perikanan bukan
menjadi arus utama (mainstream) dalam kebijakan pembangunan ekonomi
nasional. Kondisi ini menjadi menjadi ironis mengingat hampir 75 % wilayah
Indonesia merupakan lautan dengan potensi ekonomi yang sangat besar serta
berada pada posisi geo-politis yang penting yakni Lautan Pasifik dan Lautan
Hindia, yang merupakan kawasan paling dinamis dalam percaturan dunia baik
secara ekonomi dan potitik. Sehingga secara ekonomis-politis sangat logis jika
kelautan dijadikan tumpuan dalam perekonomian nasional.

STRUKTUR ORGANISASI DI DALAM KAPAL


Struktur organisasi kapal terdiri dari seorang Nakhoda selaku pimpinan umum di
atas kapal dan Anak Buah kapal yang terdiri dari para perwira kapal dan non
perwira/bawahan (subordinate crew). Struktur organisasi kapal diatas bukanlah struktur yang
baku, karena tiap kapal bisa berbeda struktur organisaninya tergantung jenis, fungsi dan
kondisi kapal tersebut. Selain jabatan-jabatan tersebut dalam contoh struktur organisasi kapal
diatas, masih banyak lagi jenis jabatan di kapal, diluar jabatan Nakhoda.
Misalnya di kapal pesiar ada jabatan-jabatan Bar-tender, cabin-boy, swimming-pool boy,
general purpose dan lain sebagainya. Dikapal lain misalnya terdapat jabatan juru listrik
(electrician), greaser dan lain sebagainya. Semua orang yang mempunyai jabatan di atas
kapal itu disebut Awak kapal, termasuk Nakhoda, tetapi Anak kapal atau Anak Buah Kapal
(ABK) adalah semua orang yang mempunyai jabatan diatas kapal kecuali jabatan Nakhoda.
Untuk kapal penangkap ikan masih ada jabatan lain yaitu Fishing master, Boy-boy
(pembuang umpan, untuk kapal penangkap pole and Line (cakalang), dlsb.
Nakhoda Kapal
UU. No.21 Th. 1992 dan juga pasal 341.b KUHD dengan tegas menyatakan bahwa Nakhoda
adalah pemimpin kapal, kemudian dengan menelaah pasal 341 KUHD dan pasal 1 ayat 12
UU. No.21 Th.1992, maka definisi dari Nakhoda adalah sebagai berikut:
Nakhoda kapal ialah seseorang yang sudah menanda tangani Perjanjian Kerja Laut (PKL)
dengan Pengusaha Kapal dimana dinyatakan sebagai Nakhoda, serta memenuhi syarat
sebagai Nakhoda dalam arti untuk memimpin kapal sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku Pasal 342 KUHD secara ekplisit menyatakan bahwa tanggung jawab atas
kapal hanya berada pada tangan Nakhoda, tidak ada yang lain. Jadi apapun yang terjadi diatas
kapal menjadi tanggung jawab Nakhoda, kecuali perbuatan kriminal.
Misalkan seorang Mualim sedang bertugas dianjungan sewaktu kapal mengalami
kekandasan. Meskipun pada saat itu Nakhoda tidak berada di anjungan, akibat kekandasan itu
tetap menjadi tanggung jawab Nakhoda. Contoh yang lain seorang Masinis sedang bertugas
di Kamar Mesin ketika tiba-tiba terjadi kebakaran dari kamar mesin. Maka akibat yang terjadi
karena kebakaran itu tetap menjadi tanggung jawab Nakhoda. Dengan demikian secara
ringkas tanggung jawab Nakhoda kapal dapat dirinci antara lain :
1. Memperlengkapi kapalnya dengan sempurna
2. Mengawaki kapalnya secara layak sesuai prosedur/aturan
3. Membuat kapalnya layak laut (seaworthy)
4. Bertanggung jawab atas keselamatan pelayaran
5. Bertanggung jawab atas keselamatan para pelayar yang ada diatas kapalnya
6. Mematuhi perintah Pengusaha kapal selama tidak menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Jabatan-jabatan Nakhoda diatas kapal yang diatur oleh peraturan dan perundang-
undangan yaitu :
1. Sebagai Pemegang Kewibawaan Umum di atas kapal. (pasal 384, 385 KUHD
serta pasal 55 UU. No. 21 Th. 1992).
2. Sebagai Pemimpin Kapal. (pasal 341 KUHD, pasal 55 UU. No. 21 Th. 1992
serta pasal 1/1 (c) STCW 1978).
3. Sebagai Penegak Hukum. (pasal 387, 388, 390, 394 (a) KUHD, serta pasal 55
No. 21 Th. 1992).
4. Sebagai Pegawai Pencatatan Sipil. (Reglemen Pencatatan Sipil bagi Kelahiran
dan Kematian, serta pasal 55 UU. No. 21. Th. 1992).
5. Sebagai Notaris. (pasal 947 dan 952 KUHPerdata, serta pasal 55 UU. No. 21,
Th. 1992).
1. Nakhoda sebagai Pemegang Kewibawaan Umum
Mengandung pengertian bahwa semua orang yang berada di atas kapal, tanpa kecuali
harus taat serta patuh kepada perintah-perintah Nakhoda demi terciptanya keamanan dan
ketertiban di atas kapal. Tidak ada suatu alasan apapun yang dapat dipakai oleh orang-orang
yang berada di atas kapal untuk menentang perintah Nakhoda sepanjang perintah itu tidak
menyimpang dari peraturan perundang-undangan. Setiap penentangan terhadap perintah
Nakhoda yang demikian itu merupakan pelanggaran hukum, sesuai dengan pasal 459 daN
460 KUH. Pidana, serta pasal 118 UU. No.21, Th. 1992. Jadi menentang perintah atasan bagi
awak kapal dianggap menentang perintah Nakhoda karena atasan itu bertindak untuk dan atas
nama Nakhoda.
2. Nakhoda sebagai Pemimpin Kapal
Nakhoda bertanggung jawab dalam membawa kapal berlayar dari pelabuhan satu ke
pelabuhan lain atau dari tempat satu ke tempat lain dengan selamat, aman sampai tujuan
terhadap penumpang dan segala muatannya.
3. Nakhoda sebagai Penegak Hukum
Nakhoda adalah sebagai penegak atau abdi hukum di atas kapal sehingga apabila diatas
kapal terjadi peristiwa pidana, maka Nakhoda berwenang bertindak selaku Polisi atau Jaksa.
Dalam kaitannya selaku penegak hukum, Nakhoda dapat mengambil tindakan antara lain :
1. Menahan/mengurung tersangka di atas kapal
2. Membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
3. Mengumpulkan bukti-bukti
4. Menyerahkan tersangka dan bukti-bukti serta Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada pihak
Polisi atau Jaksa di pelabuhan pertama yang disinggahi.
4. Nakhoda sebagai Pegawai Catatan Sipil
Apabila diatas kapal terjadi peristiwa-peristiwa seperti kelahiran dan kematian maka
Nakhoda berwenang bertindak selaku Pegawai Catatan Sipil. Tindakan-tindakan yang harus
dilakukan Nakhoda jika di dalam pelayaran terjadi kelahiran antara lain :
1. Membuat Berita Acara Kelahiran dengan 2 orang saksi (biasanya Perwira kapal)
2. Mencatat terjadinya kelahiran tersebut dalam Buku Harian Kapal
3. Menyerahkan Berita Acara Kelahiran tersebut pada Kantor Catatan Sipil di pelabuhan
pertama yang disinggahi.
Jikalau terjadi kematian :
1. Membuat Berita Acara Kematian dengan 2 orang saksi (biasanya Perwira kapal)
2. Mencatat terjadinya kematian tersebut dalam Buku Harian Kapal
3. Menyerahkan Berita Acara Kematian tersebut pada Kantor Catatan Sipil di pelabuhan
pertama yang disinggahi
4. Sebab-sebab kematian tidak boleh ditulis dalam Berita Acara
Kematian maupun Buku Harian Kapal, karena wewenang membuat visum ada pada tangan
dokter
Apabila kelahiran maupun kematian terjadi di luar negeri, Berita Acaranya diserahkan pada
Kantor Kedutaan Besar R.I. yang berada di negara yang bersangkutan.

Anak Buah Kapal (ABK)


1. Hak-hak Anak Buah Kapal
Hak Atas Upah
Hak Atas Tempat Tinggal dan Makan
Hak Atas Perawatan waktu sakit/kecelakaan
Hak Atas Cuti
Hak Atas Pengangkutan untuk dipulangkan
2. Kewajiban Anak Buah Kapal
Kewajiban-kewajiban Anak Buah Kapal antara lain :
Taat kepada perintah atasan, teristimewa terhadap perintah Nakhoda
Meninggalkan kapal (turun ke darat) harus dengan ijin Nakhoda atau yang mewakilinya
Tidak membawa barang dagangan, minum-minuman keras, dan senjata (api) di atas kapal
Melakukan tugas tambahan atau kerja lembur jika dianggap perlu oleh Nakhoda
Turut membantu menyelamatakan kapal, penumpang, dan muatannya, dalam kecelakaan
kapal
Berprilaku sopan, serta tidak mabuk-mabukan di kapal dalam rangka turut menciptakan
keamanan dan ketertiban diatas kapal
Peraturan Pengawakan Kapal
Dengan diberlakukannya Amandemen International Convention on Standard of
Training Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) 1995 sebagai
penyempurnaan STCW 1978, maka Menteri Perhubungan menetapkan peraturan dalam
bentuk Keputusan Menteri Perhubungan No.70 Th.1998 tanggal, 21 Oktober 1998 tentang
Pengawakan Kapal Niaga.
Pada BAB II Pasal 2 ayat (1) dan (2) bahwa pada setiap kapal niaga yang berlayar
harus diawaki dengan susunan terdiri dari : seorang Nakhoda, sejumlah perwira, sejumlah
rating. Susunan awak kapal didasarkan pada : daerah pelayaran, tonase kotor kapal (gross
tonnage/GT) dan ukuran tenaga penggerak kapal (kilowatt/KW). Pada pasal 8 menetapkan
dan memperjelas bahwa awak kapal yang mengawaki kapal niaga sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
bagi Nakhoda, Mualim atau Masinis harus memiliki sertifikat keahlian pelaut yang jenis dan
tingkat sertifikatnya sesuai dengan daerah pelayaran, tonase kotor dan ukuran tenaga
penggerak kapal dan memiliki sertifikat ketrampilan pelaut
bagi operator radio harus memiliki sertifikat keahlian pelaut bidang radio yang jenis dan
tingkat sertifikatnya sesuai dengan peralatan radio yang ada di kapal dan memiliki sertifikat
ketrampilan pelaut
bagi rating harus memiliki sertifikat keahlian pelaut dan sertifikat ketrampilan pelaut yang
jenis sertifikatnya sesuai dengan jenis tugas, ukuran dan jenis kapal serta tata susunan kapal.

Departemen Dek
Kapten/Nakhoda/Master adalah pimpinan dan penanggung jawab pelayaran
1. Mualim I/Chief Officer/Chief Mate bertugas pengatur muatan, persediaan air tawar dan
sebagai pengatur arah navigasi
2. Mualim 2/Second Officer/Second Mate bertugas membuat jalur/route peta pelayaran yg akan
di lakukan dan pengatur arah navigasi
3. Mualim 3/Third Officer/Third Mate bertugas sebagai pengatur, memeriksa, memelihara
semua alat alat keselamatan kapal dan juga bertugas sebagai pengatur arah navigasi.
4. Markonis/Radio Officer/Spark bertugas sebagai operator radio/komunikasi serta bertanggung
jawab menjaga keselamatan kapal dari marabahaya baik itu yg di timbulkan dari alam seperti
badai, ada kapal tenggelam, dll.
Departemen Mesin
1. KKM (Kepala Kamar Mesin)/Chief Engineer, pimpinan dan penanggung jawab atas semua
mesin yang ada di kapal baik itu mesin induk, mesin bantu, mesin pompa, mesin crane, mesin
sekoci, mesin kemudi, mesin freezer, dll.
2. Masinis 1/First Engineer bertanggung jawab atas mesin induk
3. Masinis 2/Second Engineer bertanggung jawab atas semua mesin bantu.
4. Masinis 3/Third Enginer bertanggung jawab atas semua mesin pompa.
5. Juru Listrik/Electrician bertanggung jawab atas semua mesin yang menggunakan tenaga
listrik dan seluruh tenaga cadangan.
6. Juru minyak/Oiler pembantu para Masinis/Engineer
Ratings atau bawahan
A. Bagian dek:
1. Boatswain atau Bosun atau Serang (Kepala kerja bawahan)
2. Able Bodied Seaman (AB) atau Jurumudi
3. Ordinary Seaman (OS) atau Kelasi atau Sailor
4. Pumpman atau Juru Pompa, khusus kapal-kapal tanker (kapal pengangkut cairan)
B. Bagian mesin:
1. Mandor (Kepala Kerja Oiler dan Wiper)
2. Fitter atau Juru Las
3. Oiler atau Juru Minyak
4. Wiper
C. Bagian Permakanan:
1. Juru masak/ cook bertanggung jawab atas segala makanan, baik itu memasak, pengaturan
menu makanan, dan persediaan makanan.
2. Mess boy / pembantu bertugas membantu Juru masak

Anda mungkin juga menyukai