Anda di halaman 1dari 16

Gangguan mental organik

2.1 Definisi
Gangguan mental organik adalah gangguan mentak organik yang berkaitan dengan penyakit
atau gangguan sistemik atau otak yang dapat didiagnosis tersendiri (Rusdi Maslim, 2003;
22).
Gangguan Mental Organik (GMO) adalah suatu Gangguan patologi yang jelas, misalnya;
tumor otak, penyakit serebrovaskular, atau intoksikasi obat (Arif Mansjoer, 2001; 189).

2.2 Etiologi
Gangguan jiwa yang psikotik atau non psikotik yang disebabkan oleh gangguan fungsi
jaringan otak. Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyebab badaniah
yang terutama mengenai otak (WF. Maramis, 1995; 181).

2.3 Gambaran Utama


Menurut Rusdi Maslim (2001; 22), gangguan mental organik terbagi menjadi 3, yaitu:
1. Gangguan fungsi kognitif
Misalnya: Daya ingat (memory), daya pikir (Intellect), daya belajar (Learning).
2. Gangguan sensorium
Misalnya: Gangguan kesadaran (Consciousness) dan perhatian (Attention).
3. Sindrom dengan manifestasi yang menonjol dalam bidang;
1) Persepsi (halusinasi)
2) Isi pikir (waham/delusi)
3) Suasana perasaan dan emosi (depresi, gembira, cemas).

2.4 Klasifikasi Gangguan Mental Organik (GMO)


Menurut Arif Mansjoer (2003; 18), GMO dapat dibagi menjadi menjadi 4, yaitu;
1. Delirium
1) Delirium yang berhubungan dengan suatu kondisi medis lain
2) Delirium yang di indiuksi oleh zat
3) Delirium yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi
4) Delirium yang tidak diklasifikasikan di tempat lain.
2. Demensia
1) Demensia tipe Alzheimer
2) Demensia tipe vaskular
3) Demensia yang berhubungan dengan suatu kondisi medis lain (HIV, Parkinson, trauma
kepala, penyakit Huntington, penyakit Pick, penyakit Creatzfeldt-Jacob, kondisi medis lain)
4) Demensia yang di induksi oleh zat
5) Demensia yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi
6) Demensia yang tidak diklasifikasikan di tempat lain.
3. Gangguan Amnesia
1) Gangguan Amnesia yang berhubungan dengan kondisi medis lain
2) Gangguan Amnesia yang di induksi oleh zat.
4. Gangguan kognitif yang tidak diklasifikasikan di tempat lain.

2.4.1 Delirium
2.4.1.1 Definisi
Suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan kesadaran yang biasanya tampak
dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif (Arif Mansjoer, 2001; 189).
Status kebingungan akut yang ditandai dengan kewaspadaan, perhatian, dan konsentrasi
dengan awitan akut dan berlangsung singkat (berjam-jam hingga berhari-hari) (Barry. Guze,
MD, 1997; 165).
2.4.1.2 Etiologi (faktor penyebab)
Menurut Arif Mansjoer (2001; 190), delirium memunyai berbagai macam penyebab,
semuanya mempunyai pola gejala serupa putus obat maupun zat toksik, penyebab delirium
terbanyak terletak diluar sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmitter
yang dianggap berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta glutamat. Area yang terutama
terkena adalah formasio retikularis. Faktor predisposisi terjadinya delirium, antara lain;
1) Usia
2) Kerusakan otak
3) Riwayat delirium
4) ketergantungan alkohol
5) Diabetes
6) Kanker
7) Gangguan panca indera
8) Malnutrisi
Sementara itu menurut Barry Gue (1997; 167), menyatakan penyebab lain terjadinya
Delirium yaitu;
1) Gangguan sistemik
2) Disfungsi endokrinologis
3) Proses infeksi
4) Defisiensi nutrisional
5) Proses intrakranial
Perdarahan subaraknoid dan subdural, trauma, infeksi (meningitis dan ensefalitis), stroke,
sakit kepala, migrain, tumor, epilepsi (delirium dan pascaiktal) dan ensefalopati hipertensif.
6) Intoksikasi
Obat-obatan dan medikasi (khususnya antikolinergik), alkohol, racun (logam, bahan industri
dan karbon monoksida).
7) Penarikan diri karena obat
8) Masalah psikiatrik
9) Penyebab lainnya.

2.4.1.3 Manifestasi Klinis


Gejala utama pada penyakit delirium adalah kesadaran yang menurun. Gejala-gejala lain
adalah penderita tidak mampu mengenal orang dan berkomunikasi dengan baik, ada yang
bingung atau cemas, gelisah dan panik, ada pasien yang terutama berhalusinasi dan ada yang
hanya berbicara komat-kamit dan inkoherent. Pasien delirium yang berhubungan dengan
sindrom putus obat merupakan jenis hiperaktif yang dapat dikaitkan dengan tanda-tanda
otonom, seperti flushing, berkeringat, takikardi, dilatasi pupil, nausca, mundan dan
hipertermi. Orientasi waktu seringkali hilang, sedangkan orientasi tempat dan orang mungkin
terganggu pada kasus yang berat. Pasien seringh mengalami Abromalitas dalam berbahasa,
seperti pembicaraan yang bertele-tele, tidak relevan dan inkoheren (Arif Mansjoer, 2001;
190).
Fungsi kognitif lain yang mungkin terganggu adalah daya ingat dan fungsi kognitif umum.
Pasien mungkin tidak mampu membedakan rangsang sensorik dan mengintegrasikannya
sehingga sering merasa terganggu dengan rangsang yang tidak sesuai atau timbul agitasi,
gejala yang sering tampak adalah marah, mengamuk dan ketakutan yang tidak beralasan,
pasien selalu mengalami gangguan tidur sehingga tampak mengamuk sepanjang hari dan
tertidur dimana saja (Arif Mansjoer, 2001; 190).
Delirium biasanya hilang bila penyakit badaniah yang menyebabkannya sudah sembuh,
mungkin sampai kira-kira 1 bulan sesudahnya. Jika disebabkan oleh proses langsung
menyerang otak, bila proses itu sembuh, maka gejala-gejalanya tergantung pada besarnya
kerusakan yang ditinggalkan (gejala neurologik/gangguan mental dengan gejala utama
gangguan intelegensi). Biasanya delirium muncul tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari)
faktor penyebabnya telah dapat diketahui dan dihilangkan, walaupun delirium biasanya
terjadi mendadak, gejala-gejala prodnormal mungkin telah terjadi beberapa hari sebelumnya.
Prognosa tergantung pada dapat atau tidak dapat kembalinya penyakit yang menyebabkannya
dan kemampuan otak untuk menahan pengaruh penyakit itu (WF. Maramis, 1995; 182).

2.4.1.4 Penalaksanaan
Menurut Maramis (1995; 182), pengobatan etiologik harus sedini-dininya dan disamping ini
faal otak dibantu agar tidak terjadi kerusakan otak yang tetap. Peredaran darah harus
diperhatikan (nadi, jantung, tekanan darah), bila perlu diberi stimulansia. Pemberian cairan
harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi.
1) Penderita harus dijaga terus, lebih-lebih ia sangat gelisah, sebab ia berbahaya untuk diri
sendiri (jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan sebagainya) ataupun untuk orang lain.
2) Dicoba menenangkan penderita dengan kata-kata (biarpun kesadarannya menurun) atau
dengan kompres es, penderita mungkin menjadi lebih tenang bila ia melihat orang tua, barang
yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar jangan terlalu gelap, penderita tidak tahan terlalu
di isolasi. Terhadap gejala-gejala psikiatrik, bila sangat mengganggu dapat diberi neroleptika,
terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.
3) Bila kondisi ini merupakan foksisitas antikolinergik digunakan fisostigmin salisilat 1-2 mg
IV atau im. (dosis 15-30 menit)
4) Dilakukannya terapi untuk memberi dorongan perbaikan fisik sensorik dan lingkungan
5) Untuk gejala-gejala psikosis digunakan haloperidol 2-10 ms
6) Insomnia diobati dengan benzodiazepin.
Sementara itu menurut Arif Mansjoer (2000; 191), bila kondisi ini merupakan toksisitas anti
kolinergik, digunakan fisostigmin salisilat 1-2 mg, iv atau im dengan pengulangan dosis
setiap 15-30 menit. Selain itu, perlu dilakukan terapi untuk memberi dorongan perbaikan
pada fisik, sensorik, dan lingkungan. Untuk mengatasi gejala psikosis digunakan haloperidol
2-10 mg im, yang dapat diulang setiap 1 jam. Insomnia sebaiknya diobati dengan
benzodiazepin yang mempunyai waktu terapi pendek.
Pengobatan tergantung pada penyakitnya:
1. Infeksi diatasi dengan antibiotik.
2. Demam diatasi dengan obat penurun panas.
3. Kelainan kadar garam dan mineral dalam darah diatasi dengan pengaturan kadar ciran dan
garam dalam darah.

2.4.2 Demensia
2.4.2.1 Definisi
Suatu sindrom akibat penyakit/gangguan otak yang biasanya bersifat kronik-progresif,
dimana terdapat gangguan fungsi luhur kortikel yang multiple (Rusdi Maslim, 2003; 22).
Sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran,
gangguan fungsi kognitif antara lain pada intelegensi, belajar dan daya ingat, bahasa,
pemecahan masalah, orientasi, persepsi, perhatian dan konsentrasi, penyesuaian dan
kemampuan bersosialisasi (Arif Mansjoer, 2001; 191).

2.4.2.2 Etiologi
Sebagian besar disebabkan oleh penyakit alzheimer dan vaskular. Penyebab lain adalah
penyakit pick, creutzfeldt-jacob, huntington, parkinson, HIV dan trauma kepala (Arif
Mansjoer. 2000; 191).
Penyebab kedua tersering dari demensia adalah serangan stroke yang berturut-turut.
Demensia juga bisa terjadi setelah seseorang mengalami cedera otak atau cardiac arrest.
(http://medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=698).
Sementara itu menurut Barry Guze (1997; 195-196), beberapa penyebab terjadinya Demensia
diantaranya adalah;
1. Demensia karena Al-zheimer (AD)
Merupakan penyebab tunggal paling lazim untuk demensia, mencakup hampir 55% dari
semua kasus
1) Temuan histopatologik umum
(1) Mikroskopik, otak atropik dengan pelebaran sulkus, konvules kortikel yang menciut dan
ventrikel yang membesar.
(2) Temuan histopatologik termasuk kekacauan neuro psikologik, plaksenilis, degenerasi
granulovakuoler dan kehilangan neural.
2) Faktor etiologik
(1) Faktor genetik
Pada 20% kasus, penyakit ini diwariskan sebagai dominan autosomal pada 50% sisanya,
tampaknya terdapatnya peningkatan insidens familial.
(2) Aluminium
Pada model hewan, aluminium ditemukan menyebabkan demensia degenarif neurofibriler,
juga pada pasien yang terkena AD, telah dideteksi adanya peningkatan konsentrasi aluminium
otak.
(3) Faktor lain
Walaupun data masih langka telah diperkirakan adanya etiologi virus dan auto imun.
2. Demensia infark majemuk
Keadaan ini mencakup 10% hingga 15% demensia, karena intervensi yang pada waktunya
dapat mempunyai dampak terhadap perjalanan penyakit ini, maka penting dikenali
manifestasi klinisnya.
3. Sindrom ekstrapiramidal
1) Penyakit Parkinson
Penyakit Parkinson timbul sebagai akibat kehilangan sel pengandung dopamin dalam lintasan
nigrostriatal dan tegmentum ventral. Secara klinis ditandai dengan bradikinesia tremor,
rigiditas, ekspresi wajah yang berkurang dan berjalan dengan kaki diseret. Demensia
berkorelasi buruk dengan tremor pada gangguan ini tetapi tampaknya bervariasi menurut
beratnya bradikinesia yang ada.
2) Penyakit Huntington
Penyakit Hungtinton diwariskan sebagai suatu gangguan dominan autosomal. Demensia
subkortikal merupakan manifestasi lazim dari penyakit ini yang ditandai dengan gangguan
gerakan koreiform dan perjalan penyakit yang progresif lambat. Biasanya diikuti dengan
demensia Huntington, tetapi dapat mendahului timbulnya gangguan gerakan atau terdapat
sendiri sebagai satu-satunya manifestasi dari penyakit ini.
3) Kelumpuhan Supranuklear Progresif
Kelumpuhan supranuklear progresi ditandai dengan demensia subkortikal ringan,
kelumpuhan tatapan supranuklear, kekakuan aksial dan kelumpuhan pseudobulber (afek yang
tak semestinya dalam derajat dan atau arah, disfagia dan disartria). Pada fase awal dan
pertengahan kadang-kadang ditemukan depresi.
4) Penyebab Infeksi
(1) Penyakit Jacob-Creutzfeldt
Keadaan ini merupakan suatu infeksi virus progresif cepat dari susunan saraf pusat yang
biasanya berpuncak dengan kematian dalam 6 bulan sejak mulai terinfeksi.
(2) Kompleks Demensia Sindrom Imunodefisiensi didapat (AID)
Menurut Artno, Demensia terkait HIV. http//spiritia.or.id.1999. Istilah demensia terkait HIV
( HIV Associated Dementia-HAD) mencakup spektrum luas perwujudan psikiatri dan
neurologi dari infeksi HIV pada SSP, HAD mencakup berbagai derajat gejala kognitif, motor
dan perilaku.

5) Defisiensi nutrisional
Defisiensi vitamin yang paling lazim menimbulkan demensia B12, folat dan niasin, defisiensi
tianin menimbulkan amnesia dalam konteks sindrom wernicke, korsakoff dengan sedikit
gangguan intelektual.
6) Kelainan endokrinologik
Keadaan endokrinologik berikut dapat meliputi demensia dalam gambaran klinisnya,
hipotroidisme, hipertiroidisme, hipopara tiroidisme, hiperpara tiroidisme, penyakit addison
dan penyakit custing.
7) Gangguan elektrolit
8) Hipoksia
Anoreksia, gangguan jantung dan fungsi pernapasan.
9) Demensia dialisis dan uremia
10) Ensefalopati uremik kronik
11) Obat-obatan, logam dan paparan kimiawi industri
12) Ensefalopatii hepatik
13) Porikiria
14) Demensia pseudo
15) Demensia hidrosefalik
16) Demensia traumatik dan neoplastik
17) Demensia terkait penyakit mielin
18) Penyusunan diagnostik demensia
Dalam salah satu website dengan alamat http://www.idijakbar.com mengklasifikasikan
beberapa penyebab terjadinya demensia diantaranya:
1) Menurut umur
(1) Demensia senilis (> 65 tahun)
(2) Demensia prasenalis (< 65 tahun)
2) Menurut perjalanan penyakit
(1) Reversibel
(2) Ireversibel

3) Menurut kerusakan struktur otak


(1) Tipe Al-Zheimer
(2) Tipe non Alzheimer
(3) Demensia vaskular
(4) Demensia jisim lewy
(5) Demensia lobus frontal-temporal
(6) Demensia terkait HIV
(7) Morbus parkinson
(8) Morbus huntington
(9) Morbus pick
(10) Morbus jacob creutzfeldt
(11) Sindrom gerstmann
(12) Priondisease
(13) Priondisease
(14) Palsi supranuklear progresif
(15) Multiple sklerosis
(16) Neurosifilis
(17) Tipe campuiran
4) Menurut sifat-klinis
(1) Demensia proprius
(2) Pseudo-demensia

2.4.2.3 Manifestasi Klinis


Demensia biasanya dimulai secara perlahan dan makin lama makin parah, sehingga keadaan
ini pada mulanya tidak disadari. Terjadi penurunan dalam ingatan, kemampuan untuk
mengenali orang, tempat dan benda. Penderita memiliki kesulitan dalam menemukan dan
menggunakan kata yang tepat dan dalam pemikiran abstrak dan sering terjadi perubahan
kepribadian.
(http://medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=698)
Menurut Arif Mansjoer (2001; 191) tanda dan gejala dari Demensia yaitu:
1. Pada stadium awal, pasien menunjukkan kesulitan untuk mempertahankan kinerja mental
fatig dan cenderung gagal bila diberi suatu tugas baru atau kompleks.
2. Orientasi, daya ingat, persepsi dan fungsi intelektual pasien memburuk
3. Pasien tampak introvert dan kurang peduli terhadap akibat tingkah lakunya
4. Diperkirakan 20-30% pasien tipe Alzheimer mengalami halusinasi dan 30-40%
mempunyai gejala waham, terutama waham curiga dan tidak sistematik
5. Terdapat depresi dan ansietas pada sebagian besar pasien. Pasien dapat mengalami afasia,
apraksia dan agnosia
6. Kejang.

2.4.2.4 Penatalaksanaan
Demensia dapat disembuhkan bila tidak terlambat. Secara umum, terapi pada demensia
adalah perawatan medis yang mendukung, memberi dukungan emosional pada pasien dan
keluarganya, serta farmakoterapi untuk gejala yang spesifik. Terapi simtomatik meliputi diet,
latihan fisik yang sesuai, terapi rekreasional dan aktivitas, serta penanganan terhadap
masalah-masalah lain.
Sebagai farmakoterapi, benzodiazepin diberikan untuk ansietas dan insomnia, anti depresan
untuk depresi, serta anpsikotik untuk gejala waham dan halusinasi (Arif Mansjoer, 2001;
192).
Sementara itu takrin telah digantikan oleh donepezil, yang menyebabkan lebih sedikit efek
samping dan memperlambat perkembangan penyakit alzheimer selama 1 tahun atau lebih.
Ibuprofen juga bisa memperlambat perjalanan penyakit ini. Obat ini paling baik jika
diberikan pada stadiun dini.
(http://medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=698)

2.4.2.5 Klasifikasi Demensia


Menurut WF. Maramis (1997; 192) Demensia terbagi menjadi:
1. Demensia senilis
Adalah perubahan fisik akan mental yang terjadi pada orang lanjut usia disertai dengan energi
yang berkurang, reaksi terhadap kejadian sekitarnya menjadi lambat, daya kreatif dan inisiatif
berangsur-angsur menyempit dan pelan-pelan menarik diri, seakan-akan kepribadiannya
terbungkus.
1) Gejala
Biasanya sesudah umur 60 tahun baru timbul gejala-gejala yang jelas untuk membuat
diagnosis demensia klinis. Penyakit jasmaniah atau gangguan emosi yang hebat mempercepat
kemunduran mental.
2) Gejala jasmaniah
Kulit menjadi tipis, atrofis dan keriput, berat badan mengurang, atrofi pada otot-otot, jalannya
menjadi tidak stabil, suara kasar dan bicaranya menjadi pelan, tremor pada tangan dan kepala.
3) Gejala psikologik
Sering hanya terdapat tanda kemunduran mental umum (demensia simplek).
4) Pencegahan
Pertahankan perasaan aman dan harga diri, perhatikanlah dan cobalah memuaskan kebutuhan
rasa kasih sayang, rasa masuk hitungan, rasa tercapainya sesuatu dan rasa perlu dibenarkan
serta dihargai.

2. Demensia prasenilis
Seperti namanya telah menjelaskan maka pada gangguan ini gejala utamanya ialah demensia
sebelum masa senil, akan dibicarakan dua macam demensia prasenilis, yaitu penyakit
Alzheimer dan penyakit pick.
1) Morbus Alzheimer
Penyakit alzheimer ini biasanya timbul antara umur 50-60 tahun. Terdapat degeneratif
korteks yang difus pada otak dilapisan-lapisan luar, terutama di daerah frontal dan temporal.
Atrofi otak ini dapat dilihat pada pnemo-ensefalogram: sistema ventrikel membesar serta
banyak hawa diruang subarakhroidal (giri mengecil dan sulkus-sulkus melebar).
Penyakit ini mulai pelan-pelan sekali, tidak ada ciri-ciri yang khas pada gangguan inteligensi
atau pada kelainan perilaku. Terdapat disorientasi, gangguan ingatan, emosi yang labil,
kekeliruann mengenai hitungan dan mengenai pembicaraan sehari-hari. Terjadi afasi sering
juga terdapat perseverasi, pembicaraan logoklonia dan bila sudah berat maka penderita tidak
dapat dimengerti lagi, ada yang menjadi gelisah dan hiperaktif.
2) Morbus Pick
Pick dari prahara pertama kali mengumumkan hal-hal tentang penyakit yang jarang ini pada
tahun 1892. secara patologis ciri khas ialah atrofi dan gliosis di daerah-daerah asosiatif.
Daerah motorik, sensorik dan daerah proyeksi secara relatif tidak banyak berubah yang
terganggu ialah daerah korteks yang secara filogenptik lebih muda yang penting buat fungsi
asosiasi yang lebih tinggi, sebab itu yang terutama terganggu ialah pembicaraan dan proses
berpikir.
Penyakit ini mungkin herediter diperkirakan bahwa terdapat faktor menjadi tua dari sel-sel
ganglion yang tertentu, yaitu yang genetis paling muda. Lobus frontalis menjadi demikian
atrofis sehingga kadang-kadang kelihatan seperti ditekan oleh suatu lingkaran. Biasanya
terjadi pada umur 45-60 tahun yang termuda pernah diberikan ialah 31 tahun.
Dalam waktu satu tahun terjadi demensia yang jelas. Ada yang eforia, ada yang menjadi
susah dan curiga, sering terdapat gejala-gejala fokal seperti afasia, apraxia, alexia, agrafia,
tetapi gejala-gejala ini sering diselubungi oleh demensia umum. Ciri afasia yang penting pada
penyakit ini ialah terjadinya secara pelan-pelan (tidak mendadak seperti pada gangguan
pembuluh darah otak).

2.4.3 Amnesia
2.4.3.1 Definisi
Amnesia (dari bahasa Yunani) adalah kondisi harganya daya ingat.
(http://Wikipedia.org/wiki/Amnesia/2008).
Amnesia adalah suatu gangguan daya ingat yang ditandai adanya gangguan kemampuan
mempelajari hal-hal baru atau mengingat hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya serta
menimbulkan hambatan pada fungsi sosial dan pekerjaan (Arif Mansjoer, 2001; 192).

2.4.3.2 Etiologi
Gangguan ini sangat sering terjadi pada orang dewasa muda, lebih sering terjadi pada orang
yang telah terlibat didalam peperangan, kecelakaan atau bencana alam .
(http://medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=698).
Penyebab amnesia bervariasi mulai dari fisiologis sampai kerusakan otak. Kerusakan otak
disebabkan karena trauma atau kecelakaan, tumor, stroke, maupun pembengkakan otak.
(http://www.emedicine.com/neuro/tropic380.html).
Penyebab amnesia dapat berupa organik dan fungsional. Penyebab organik dapat berupa
kerusakan otak akibat trauma, penyakit atau penggunaan obat-obatan (biasanya yang bersifat
sedatif). Penyebab fungsional adalah faktor psikologis, seperti halnya mekanisme pertahanan
ego.
(http://www.emedicine.com/neuro/tropic380.html).
Sementara itu menurut Arif Mansjoer (2001; 192), gangguan pada daya ingat umumnya
diakibatkan kerusakan struktur neuroanatomi tertentu, pada satu atau dua lebih hemister,
namun lebih mudah timbul bila yang terkena hemister kiri. Gangguan amnesia dapat
disebabkan banyak hal, antara lain;
1. Gangguan sistemik
1) Defisiensi tramin (sindrom korsakoff)
2) Hipoglikemia.
2. Gangguan otak primer
1) Kejang, trauma kepala, tumor otak
2) Penyakit serebrovaskular, ensevolitis karena virus herpes simpleks
3) Hipoksia, sklerosis multipel
4) Amnesia transien global
5) Tindakan bedah otak, terapi syok listrik.
3. Obat-obatan: alkohol, neurotoksin, benzodiazepin dan sejenisnya

2.4.3.3 Klasifikasi Amnesia


Menurut website dengan alamat http://www.emidicine.com/neuro /topic 380.htmi, amnesia
terbagi menjadi:
1. Anterograde
Ketidakmampuan untuk mengingat kejadian-kejadian setelah terjadinya trauma atau penyakit
setelah terjadinya trauma atau penyakit yang menyebabkan amnesia.
2. Retrograde
Ketidakmampuan untuk mengingat kejadian-kejadian sebelum terjadinya trauma.

3. Amnesia lakunar
Ketidakmampuan mengingat kejadian tertentu.
4. Amnesia emosional
Hilangnya ingatan karena trauma psikologis. Biasanya bersifat sementara.
5. Sindrom korsakoff
Hilangnya ingatan karena alkoholisme kronik.
6. Amnesia posthipnotik
Hilangnya ingatan setelah keadaan hipnotik atau informasi yang disimpan pada memori
jangka panjang.
7. Transient global amnesia
Merupakan kehilangan sementara seluruh memori secara khusus disertai anterograde amnesia
dan juga retrograde amnesia ringan.

2.4.3.4 Manifestasi Klinis


Gambaran yang sangat umum pada amnesia dissociative adalah kehilangan ingatan. Segera
setelah terjadi amnesia, seseorang bisa kelihatan bingung. Kebanyakan orang dengan amnesia
dissociative setidaknya depresi atau sangat menderita karena amnesia mereka.
(http://www.emedicine.com/neuro/tropic380.html)
Gejala utamanya adalah ketidak mampuan mempelajari ha-hal baru (amnesia anterograde)
atau mengingat hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya (amnesia retrograde). Daya ingat
jangka pendek biasanya terganggu, bahkan pada kasus yang berat, orientasi tempat dan waktu
juga terganggu. Namun, orientasi orang jarang terganggu. Daya ingat jangka panjang yang
meliputi pengalaman masa kecil tidak terganggu. Daya ingat segera masih baik. Gejala
penyerta lainnya antara lain perubahan kepribadian, apatis, kurang inisitif, agitasi dan
kebingungan. Pasien tidak mempunyai tilikan diri yang baik terhadap penyakitnya (Arif
Mansjoer, 2001; 192-193).

2.4.3.5 Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Dapat timbul secara segera seperti pada trauma dan penyakit cerebrovaskular dapat juga
timbul secara bertahap pada kekurangan nutrisi dan tumor otak. Durasinya dapat singkat,
kurang dari sebulan (amnesia transien) atau lebih dari sebulan (amnesia peristen) (Arif
Mansjoer, 2001; 193).

2.4.3.6 Penatalaksanaan
Terutama ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, pendekatan bersifat suportif yang
berkaitan dengan waktu dan tempat akan sangat membantu pasien dan mengurangi rasa
cemasnya, setelah episode amnesia teratasi, beberapa jenis psikoterapi (kognitif,
psikodinamika atau suporatif) mungkin dapat membantu pasien (Arif Mansjoer, 2001; 193).
Untuk mempercepat pemulihan amnesia biasanya diberikan terapi atau obat-obatan yang
meningkatkan fungsi otak. Diluar terapi dan obat-obatan, cara yang paling ampuh adalah
menyediakan kondisi yang memberi rasa aman bagi penderita. Kebanyakan penderita
amnesia justru sembuh bukan diruang praktek, namun ketika menjalani kehidupan secara
normal (http://id.wikipedia.org/wiki.amnesia).
Dokter memulai pengobatan dengan membantu orang tersebut untuk merasa aman dan
terjamin. Jika ingatan yang hilang tidak secara spontan teringat, atau jika kebutuhan untuk
mengingat ingatan tersebut mendesak, teknik mengingat kembali sering kali berhasil.
Menggunakan hipnotis atau wawancara yang diawali dengan obat (wawancara dilakukan
setelah orang tersebut tenang dengan obat secara infus seperti amobarbital atau midazolam),
dokter menanyakan orang yang amnesia mengenai masa lalunya
(http://medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=3095)

2.4.4 Gangguan Akibat Alkohol dan Obat/Zat


Konsep ketergantungan obat meliputi ketergantungan perilaku dan ketergantungan fisik.
Ketergantungan perilaku menekankan pada aktifitas mencari-cari zat sedangkan
ketergantungan fisik menekankan efek fisiologis dari penggunaan zat berulang.
Kekurangan zat ditandai oleh sekurangnya satu gejala spesifik yang menyatakan bahwa
penggunaan zat telah mempengaruhi kehidupan seseorang (Arif Mensjoer, 2001; 193)
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah
terjadi masalah (stuart &s udden, 1995, diunduh dari
http://kuliahbidan.wordpress.com/2008/11/07/asuahan-keperawatan-klien-dengan-sindrom-
putus-zat-napza)

2.4.4.1 Etiologi
Ketergantungan zat disebabkan oleh pemakaian zat dalam pola yang berlebihan secara
umum, perilaku mencari obat dapat dilihat pada gambar:

Gambar 2.1 Alur ketergantungan zat

Dalam website dengan alamat


http://kuliahbidan.wordpress.com/2008/11/07/asuhan-keperawatan-klien-dengan-sindrom-
putus-zat-napza, menyebutkan proses terjadinya masalah penyalahgunaan dan
ketergantungan zat memfokuskan pada zat yang sering disalahgunakan individu : opiat,
amfetamin,canabis dan alkohol.
1. Rentang respon kimiawi
Perlu diingat bahwa pada rentang respon tidak semua individu yang menggunakan zat akan
menjadi penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hanya individu yang menggunakan zat
berlebihan dapat mengakibatkan penyalahgunaan dan ketergantungan zat.
Penyalahgunaan zat merujuk pada penggunaan zat secara terus-menerus bahkan sampai
setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering
dianggap sebagai penyakit. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat.
Toleransi berarti bahwa memerlukan peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang
diharapkan (Stuart & sundeen, 1995, Stuart & laraia, 1998, diunduh dari http://kuliah
bidan.wordpress.com/2008/11/07/asuhan-keperawatan-klien-dengan-sindrom-putus-zat-
napza).
2. Perilaku
3. Faktor penyebab
Faktor penyebab pada klien penyalahgunaan dan ketergantungan napza meliputi :
1) Faktor biologic
(1) Kecenderungan keluarga, terutama penyalahgunaan narkoba.
(2) Perubahan metabolisme alkohol yang mengakibatkan respon fisiologik yang tidak
nyaman.
2) Faktor psikologic
(1) Tipe kepribadian ketergantungan.
(2) Harga diri rendah biasanya sering berhybyngan dengan penganiayaan waktu masa kanak-
kanak.
(3) Perilaku maladaptif yang dipelajari secara berlebihan.
(4) Mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit.
(5) Sifat keluarga, termasuk tidak stabil, tidak ada contoh peran yang positif, kurang percaya
diri, tidak mampu memperlakukan anak sebagai individu, dan orang tua yang adiksi.
3) Faktor sosiokultural
(1) Ketersediaan dan penerimaan sosial terhadap pengguna obat.
(2) Ambivalens sosial tentang penggunaan dan penyalahgunaan berbagai zat seperti
tembakau, alkohol dan mariyuana.
(3) Sikap, nilai, norma dan sanksi cultur.
(4) Kemiskinan dengan keluarga yang tidak stabil.

2.4.4.2 Manifestasi Klinis


Pada dasarnya terdapat dua konsep ketergantungan zat, yaitu ketergantungan perilaku dan
ketergantungan fisik. Ketergantungan perilaku diperlihatkan dengan aktifitas mencari zat.
Ketergantungan fisik diperlihatkan dari efek fisik dari episode multipel penggunaan zat (Arif
Mansjoer, 2001; 195).

2.4.4.3 Penatalaksanaan
Pendekatan pengobatan untuk penyalahgunaan zat bervariasi menurut zat, pola
penyalahgunaan, tersedianya sistem pendukung dan ciri individual pasien. Tujuan utama
pengobatan adalah abstinensi zat serta mencapai kesehatan fisik psikiatrik dan psikososial.
Pendekatan pengobatan awal dapat dilakukan dengan rawat inap atau rawat jalan.
Pengiobatan rawat inap diindikasikan pada adanya gejala medis atau psikiatrik yang parah,
suatu riwayat gagalnya pengobatan rawat jalan, tidak adanya dukungan psikosoasial atau
riwayat penggunaan zat yang parah atau berlangsung lama.
Pada beberapa kasus penggunaan obat psikotropik mungkin diindikasikan untuk menghalangi
pasien menggunakan zat yang disalahgunakan, untuk menurunkan efek putus zat, atau untuk
mengobati suatu perkiraan gangguan psikiatrik dasar. Kadang-kadang psikoterapi diperlukan.
(Arif Mansjoer, 2000; 195).

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai