Anda di halaman 1dari 8

Nama : Berliana Agustin

NIM : 04011281520131
Kelas : Alpha 2015

Laporan Tutorial Skenario A Blok 22

Congenital Talipes Equino Varus

Klasifikasi
Terdapat banyak klasifikasi CTEV, belum ada yang digunakan secara universal. Pembagian yang
sering digunakan adalah postural atau posisional, serta fixed/rigid. Club foot postural atau posisional bukan
merupakan club foot sebenarnya. Sedangkan club foot jenis fixed atau rigid dapat digolongkan menjadi jenis
fleksibel (dapat dikoreksi tanpa operasi) atau resisten (membutuhkan terapi operatif, walaupun hal ini tidak
sepenuhnya benar - Ponseti). Beberapa jenis klasifi kasi lain yang dapat ditemukan, antara lain, adalah
klasifi kasi menurut Pirani, Goldner, DiMiglio, Hospital for Joint Diseases (HJD), dan Walker.
Untuk menilai suatu CTEV sangatlah subyektif dan berdasarkan keparahan deformitas dan
fleksibilitas kaki pasien, namun ada juga yang menggolongkannya berdasarkan pemeriksaan radiologis.
Klasifikasi diperlukan untuk membantu menentukan prognosis dan juga mengevaluasi keberhasilan terapi.
Ada beberapa system skoring dan klasifikasi yang dipakai di berbagai Negara, namun system
klasifikasi dari Dimeglio dan Pirani yang paling banyak digunakan. Keduanya memberikan nilai
berdasarkan pemeriksaan fisik.
Dimeglio pada tahun 1991 membagi CTEV menjadi empat kategori berdasarkan pergerakan sendi
dan kemampuan untuk mereduksi deformitas:
1. Soft foot; dapat disebut juga sebagai postural foot dan dikoreksi dengan standard casting atau
fisioterapi.
2. Soft > Stiff foot; terdapat pada 33% kasus. Biasanya lebih dari 50% kasus dapat dikoreksi, namun
bila lebih dari 7 atau 8 tidak didapatkan koreksi maka tindakan operatif harus dilakukan.
3. Stiff > Soft foot; terdapat pada 61% kasus. Kurang dari 50% kasus terkoreksi dan setelah casting
dan fisioterapi, kategori ini akan dilakukan tindakan operatif.
4. Stiff foot; merupakan kategori paling parah, sering kali bilateral dan memerlukan tindakan koreksi
secara operatif.
Klasifikasi Dimeglio
Contoh Foto Klinis Pemeriksaan CTEV
Setiap komponen mayor dari clubfoot (equinus, heel cavus, medial, roatasi calcaneopedal block,
forefoot adduction) dikategorikan dari I IV. Poin tambahan ditambahkan untuk deep posterior dan medial
creases, cavus dan kondisi oto yang buruk.
Sistem klaifikasi Pirani memiliki suatu skala perhitungan yang sederhana, yang terdiri dari tiga
variable pada hindfoot dan tiga pada midfoot. Setiap variable dapat menerima nilai nol, setengah, dan satu
poin.
Beberapa jenis klasifikasi yang dapat ditemukan antara lain :
1. Typical Clubfoot
Ini merupakan jenis Clubfoot yang klasik hanya menderita kaki pengkor saja yang sering
ditemukan. Umumnya dapat dikoreksi dengan lima casting dan manajemen dari Ponseti
mengatakan hasil jangka panjangnya baik dan sempurna. Yang dimasukkan jenis clubfoot ini
diantaranya:
a. Positional Clubfoot Sangat jarang ditemukan, sangat fleksibel dan diduga akibat jepitan
intrauterin. Pada umumnya koreksi dapat dicapai dengan satu atau dua kali pengegipan.
b. Delayed treated clubfoot ditemukan pada anak berusia 6 bulan atau lebih.
c. Recurrent typical clubfoot dapat terjadi baik pada kasus yang awalnya ditangani dengan metode
Ponseti maupun dengan metode lain. Relaps lebih jarang terjadi dengan metode Ponseti dan
umumnya diakibatkan pelepasan brace yang terlalu dini. Rekurensi supinasi dan equinus paling
sering terjadi. Awalnya bersifat dinamik namun dengan berjalannya waktu menjadi fixed.
d. Alternatively treated typical clubfoot termasuk kaki pengkor yang ditangani secara operatif atau
pengegipan dengan metode non-Ponseti.

2. Atypical Clubfoot
Clubfoot jenis ini biasanya diartikan sebagai penyakit lain. Dengan ponsenti manajemen
maslah yang timbul biasanya sulit dikoreksi. Yang dimasukkan dalam kategori ini antara lain:
a. Rigid atau Resistant atypical clubfoot dapat kurus atau gemuk. Kasus dengan kaki yang gemuk
lebih sulit ditangani. Kaki tersebut umumnya kaku, pendek, gemuk dengan lekukan kulit yang
dalam pada telapak kaki dan dibagian belakang pergelangan kaki, terdapat pemendekan
metatarsal pertama dengan hiperekstensi sendi metatarsophalangeal. Deformitas ini terjadi pada
bayi yang menderita kaki pengkor saja tanpa disertai kelainan yang lain.
b. Syndromic clubfoot Selain kaki pengkor ditemukan juga kelainan kongenital lain. Jadi kaki
pengkor merupakan bagian dari suatu sindroma. Metode Ponseti tetap merupakan standar
penanganan, tetapi mungkin lebih sulit dengan hasil kurang dapat diramalkan. Hasil akhir
penanganan lebih ditentukan oleh kondisi yang mendasarinya daripada kaki pengkor nya sendiri.
c. Tetralogic clubfoot -- seperti pada congenital tarsal synchondrosis.
d. Neurogenic clubfoot -- berhubungan dengan kelainan neurologi seperti meningomyelocele.
e. Acquired clubfoot -- seperti pada Streeter dysplasia.

Faktor Risiko
Mechanical factor in utero
Penekanan dari uterus. Baik penekanan dari luar (trauma) atau tekanan lain (kembar,
oligohidramnion)
Neuromuscular defect
Terjadinya fibrosis dan pemendekan dari otot posterior medial tungkai terutama otot betis seperti M.
Tibialis posterior.
Primary germ plasm defect
Kelainan genetik, sekitar 10% yang dimulai sebelum minggu 7
Arrested Fetal Development (pengaruh di sekitar rahim)
Heredity
Kombinasi antara Heredity dengan lingkungan

Komplikasi
Infeksi (jarang)
Kekakuan dan keterbatasan gerak: kekakuan yang muncul awal berhubungan dengan hasil yang
kurang baik.
Nekrosis avaskular talus: sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus muncul pada teknik
kombinasi pelepasan medial dan lateral.
Overkoreksi yang mungkin karena:
Pelepasan ligamen interoseum dari persendian subtalus

Analisis Masalah
a. Apa saja obat yang dapat mempengaruhi kelainan pada kehamilan?
Exposure to vasoconstrictive medications was previously postulated to induce vascular
disruption in developing fetuses. Although pseudoephedrine, phenylephrine, and albuterol each have
-adrenergic properties that cause vasoconstriction, there was little evidence of associations between
exposure to these agents and greater risk of clubfoot. The nonsteroidal antiinflammatory drugs
ibuprofen, salicylates, and naproxen, on the other hand, may be vasoactive in the developing fetus as
a result of prostaglandin inhibition, and the modest (albeit unstable) associations observed for the use
of those medications may provide some evidence in support of a vascular disruption pathogenesis.
These medications could also affect foot development through other pathways. On the other hand, it
is worth noting that another class of analgesicsopioidsis not considered to be vasoactive but was
more strongly associated with clubfoot risk. The possibility of confounding by indication is a
relevant concern, because the nonsteroidal antiinflammatory drugs and opioids noted above were
used largely for pain. The observed null odds ratio for acetaminophen (the drug most commonly used
for pain) could be considered evidence against such confounding. However, pain is not likely to be 1
entity, with widely varying causes and severity.
Another postulated pathogenetic pathway is that clubfoot is a sequela to a primary central
nervous system (CNS) abnormality. In cases with well-characterized CNS abnormalities, such as
neural tube defects and caudal dysplasia, clubfoot is common, suggesting that other clubfoot
occurrences could be secondary to abnormal innervation. Drugs that affect the CNS include opioids,
promethazine, other antihistamines, ondansetron, marijuana, and selective serotonin reuptake
inhibitors, which were, for the most part, associated with slightly higher risks of clubfoot.
In contrast, odds ratios for the over-the-counter antihistaminesdiphenhydramine,
loratadine, and cetirizinethat also affect the CNS were not elevated for any use in LMs 24, but
the use of diphenhydramine for 14 or more days was associated with a very slightly higher odds ratio
of 1.33. The Collaborative Perinatal Study reported higher relative risks for clubfoot and the
antihistamines pheniramine, diphenhydramine, and doxylamine. We speculate as to whether the
observed pattern of higher odds ratios for CNS-active drugs supports abnormal neurulation as the
primary defect in clubfoot.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4133556/
b. Mengapa kelainan hanya terjadi pada kaki?
Hal ini berkaitan dengan mekanisme terjadinya kelainan akibat kebocoran amnion pada masa
pertumbuhan ekstremitas, dimana posisi kepala berada di atas, dan ekstremitas inferior berada di
bawah. Kebocoran amnion, atau kelainan amniotik tinggi pada bagian bawah sehingga clubfoot
hanya terjadi pada kaki.

c. Apa pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada kasus?


1. Foto Polos
Pemeriksaan radiologi dini tidaklah informatif dibandingkan dengan pemeriksaan fisik,
dikarenakan hanya akan tampak ossification center pada tulang tarsal, calcaneus, dan metatarsal.
Setelah usia 3 atau 4 bulan, tulang-tulang tersebut telah cukup terosifikasi, dan pemeriksaan
radiologi dapat dilakukan dengan proyeksi film anteroposterior dan lateral dengan stress
dorsofleksi (Baruah et al, 2013).
Pada proyeksi AP diukur sudut talocalcaneal (30-50o ) dan talo-metatarsal I (0- 10o ),
sedangkan pada proyeksi lateral diukur sudut talocalcaneal (30-50o ) dan tibiocalcaneal (10-20o
). Sudut-sudut tersebut akan menghilang/berkurang pada CTEV, sehingga dapat memprediksi
keparahan dan respon terhadap intervensi yang akan diberikan (Nordin, 2001).

2. CT Scan
Beberapa artikel mengenai kegunaan CT scan pada elevasi di CTEV telah dipublikasikan.
Kerugian dari CT scan termasuk risiko radiasi ionisasi, kurangnya osifikasi pada tulang tarsal,
suseptibilitas dari artifak gambar dan gerakan, dan dibutuhkannya peralatan yang mahal dan
aplikasi software untuk rekonstruksi multiplanar. Di sisi lain, deformitas 3 dimensi yang
kompleks ini dapat dinilai dengan lebih baik dengan rekonstruksi 3 dimensi jika dibandingkan
dengan radiografi 2 dimensi. Penggunaan CT dalam evaluasi artikulasi talus pada trauma dan
koalisi tarsal telah digunakan secara luas.
3. MRI
Saat ini MRI tidak dilakukan untuk pemeriksaan radiologi CTEV, dan terbatasnya
pengalaman penggunaan MRI telah dipublikasikan dalam literature. Penggunaan MRI terbatas
karena berbagai kerugian, diantaranya:dibutuhkan alat khusus dan sedasi pasien, besarnya
pengeluaran untuk software yang digunakan, hilangnya sinyal yang disebabkan oleh efek
feromagnetik dari alat fiksasi, dan waktu tambahan yang dibutuhkan untuk transfer data dan
postprocessing. Di sisi lain, keuntungan dari MRI jika dibandingkan dengan foto polos dan CT
adalah kapabilitas imaging multiplanar dan penggambaran yang sangat baik untuk nucleus
osifikasi, kartilago anlage (primordium) serta struktur jaringan lunak disekitarnya.
4. Ultrasonografi (USG)
Telah dilakukan beberapa penelitian mengenai temuan USG pada kaki normal ataupun
CTEV, meskipun kegunaan klinis dari modalitas ini tidak umum digunakan. Kekurangan terbesar
dari USG adalah ketidakmampuan gelombang suara untuk menembus seluruh tulang, terutama
jika terdapat bekas luka post operasi. Keuntungan ultrasonografi termasuk tidak ada / kurangnya
radiasi pengion, tidak membutuhkan obat sedative, kemampuannya untuk menggambarkan
bagian tulang yang tidak terosifikasi, dan kapasitasnya dalam hal imaging dynamics.
5. Angiografi
Angiogram dapat menunjukkan abnormalitas ukuran dan distribusi pembuluh darah kecil pada
CTEV, tapi temuan ini masih terbatas dalam kegunaannya secara klinis.

Anda mungkin juga menyukai