Anda di halaman 1dari 24

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Lahan dan Analisis Tanah

Lahan yang digunakan untuk praktikum penanaman padi terletak di kelurahan Jatimulyo
Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur. Kecamatan Lowokwaru terletak
di posisi barat daya kota Malang yang merupakan lokasi dataran tinggi, dimana ketinggiannya
460 mdpl. Material dasar wilayah dataran tinggi batuannya terdiri dari alluvial kelabu bahan
induk dari endapan batuan sedimen, dengan tekstur tanahnya liat dan berpasir, konsistensi
teguh (lembab) plastis bila basah dan tanah akan mengeras bila kering. Memiliki
topografiyang datar sampai sedikit bergelombang di daerah dataran, daerah cekung dan
daerah aliran sungai.Berdasarkan pada curah hujan rata-rata tahunan temperatur, musim
hujan biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai Februari sedangkan musim kemarau pada
bulan Mei sampai September.Sedangkan curah hujan rata-rata di daerah dataran tinggi
antara 1000 1500 mm/th dengan keadaan angin di dataran tinggi rata-rata arah angin pada
bulan OktoberApril bertiup dari arah barat laut dan bersifat basah/ penghujan. Dan untuk
bulan AprilOktober bertiup dari arah tenggara angin bersifat kering atau kemarau
(Malangkota.go.id2017).
Kondisi iklim Kota Malang selama tahun 2006 tercatat rata-rata suhu udara berkisar
antara 22,2C 24,5C. Sedangkan suhu maksimum mencapai 32,3C dan suhu minimum
17,8C . Rata kelembaban udara berkisar 74% 82%. dengan kelembaban maksimum 97%
dan minimum mencapai 37%. Seperti umumnya daerah lain di Indonesia, Kota Malang
mengikuti perubahan putaran 2 iklim, musim hujan, dan musim kemarau. Dari hasil
pengamatan Stasiun Klimatologi Karangploso Curah hujan yang relatif tinggi terjadi pada
bulan Januari, Pebruari, Maret, April, dan Desember. Sedangkan pada bulan Juni, Agustus,
dan Nopember curah hujan relatif rendah.Perkiraan cuaca kota Malang menurut Rustamaji
(2017) cuaca umumnya berawan-hujan, angin umumnya datang dari arah tenggara hingga
selatan dengan kecepatan 0,5-40 km/jam, suhu berkisar antara 18C-30C dan kelembapan
udara berkisar antara 51-97 %.
Pada praktikum kali ini penanaman padi dibagi menjadi tiga jenis yaitu penanaman secara
kovensional, jajar legowo dan SRI. Kondisi lahan padi pada setiap jenis penanaman dapat
dilihat dari hasil pengamatan secara langsung menunjukkan bahwa pertumbuhan padi pada
lahan tersebut cukup maksimal, selain itu kebutuhan air juga terpenuhi dengan menggunakan
irigasi surface.Menurut Haby et al. (2004) tanaman padi dapat tumbuh baik pada kondisi
kejenuhan Al < 60%, pH tanah > 4,2, kalsium dapat ditukar (Ca-dd) > 2 cmol(+)/kg,
kejenuhanCa > 25%, kebutuhan unsur hara N, P, dan K terpenuhi, dan kondisi tanah
tergenang. Siswoputranto (2008)juga berpendapat bahwa tanah yang baik untuk
pertumbuhan tanaman padi adalah tanah sawah pada kedalaman 18-22 cm dengan
bertekstur liat berdebu. Untuk memaksimumkan efisiensi serapan hara pupuk dan
mengoptimalkan produktivitas, kandungan C-organik tanah sawah harus >1,5%. Menurut
Patti (2013) bahan organik sangat berhubungan erat dengan N, jika N tinggi maka bahan
organik pada tanah juga akan tinggi dan sebaliknya.
Analisa tanah bertujuan mengungkapkan khuluk (nature), sifat (properties) dan kelakuan
atau tabitat (behaviour) tanah sebagai salah satu anasir habitat (Notohadiprawiro, 2006). Data
hasil analisis laboratorium yang diguanakan untuk mengklasifikasikan status kesuburan tanah
sesuai dengan kriteria penilaian sifat tanah. Hasil analisa laboratorium tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut:

Tabel 1. Hasil analisis contoh tanah

Indikator Rata-Rata

H2O 6.09
pH 1:1
KCL 1N 5.59

C-Organik 1.66

N total 0.17

C/N 10.10

P. Bray1 20.71

K 0.42

Na 0.53

Ca NH4OAC 1N pH:7 14.16

Mg 1.70

KTK 34.69

JumlahBasa 16.81

KB 48.80

Pasir 10.20

Debu 42.60

Liat 47.20

Tekstur Liatberdebu
Dari tabel diatas dapat diketahui nilai indikator sifat tanah pada hasil analisis contoh tanah
praktikum TPT dengan lokasi tanah di lahan Kebun Griyashanta Tanah FP-UB. Hardjwigeno
dan Rayes (2005) menyatakan bahwa nilai pH optimum untuk padi sekitar 6.6. Pada pH 6.6,
pembebasan N organik menjadi NH4+ dan pembebasan P sukar larut oleh mikroorganisme
berlangsung cepat. Berdasarkan kriteria penilaian tanah menurut Hardjowigeno (2003),
kriteria pH tanahnya yaitu agak masam (6.09) dengan pengujian pH aktual (H2O) dan netral
(5.59) dengan pengujian pH potensial (KCl). Menurut Nora, Rauf, dan Elfiati (2015), pH tanah
yang rendah dapat diatasi dengan penggenangan tanah. Proses penggenangan tanah dapat
menaikkan pH mendekati netral atau bahkan netral (7) sehingga untuk pertumbuhan tanaman
padi memungkinkan hasil panen signifikan.
Perkiraan kebutuhan C-organik tanaman padi sawah untuk kriteria sangat sesuai
diperluukan 3% sedangkan rata-rata ketersediaan C-organik pada lahan yang di amati saat
penelitian hanya 1.66%, sehingga idealnya diperlukan penambahkan 1.34%. Berdasarkan
kriteria penilaian tanah menurut Hardjowigeno (2003) kriteria nilai C-organik pada tanah yang
diamati termasuk rendah. C-organik yang tergolong rendah memerlukan penambahan bahan
organik ke dalam tanah. Bahan organik tanah mengandung semua hara termasuk humus
yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman khususnya padi. Bahan organik memiliki
peranan kimia dalam menyediakan N, P dan S untuk tanaman (Nora et. al., 2015).
Rendahnya nilai C-organik tanah pada lahan akan sejalan dengan turunnya N total tanah
yang digunakan untuk pertumbuhan tanaman padi. Berdasarkan kriteria penilaian tanah
menurut Hardjowigeno (2003) nilai N total pada tanah yang diamati termasuk rendah (0.17%),
sedangkan perbandingan C/N termasuk sedang (10.10) dengan nilai P. Bray 1 yang sedang
(20.71). Hilangnya N dapat disebabakan oleh rekasi kimia dengan basa pada susana alkalis,
N tanah diserap oleh tanaman padi dan adanya pencucian oleh aliran permukaan (Santoso,
2011).
Penentuan susunan kation dalam tanah dapat dianalisis dengan berbagai pengekstrak
salah satunya yaitu dengan pengekstrak NH4OAc 1N pH:7. Nilai kandungan kation
berdasarkan kriteria penilaian tanah menurut Hardjowigeno (2003), yaitu: K-tukar yang
sedang (0.42); Na-tukar yang sedang (0.53); Ca-tukar yang tinggi (14.16); Mg-tukar yang
sedang (1.70); dan dengan nilai kapasitas tukar kation yang tinggi (34.69). Menurut Ariawan,
Thaha, dan Prahastuti (2016), kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan kemampuan tanah
untuk menahan kation-kation dan menukarkan kation-kation tersebut termasuk kation hara
tanaman. Tingginya nilai rata-rata KTK dalam tanah yang di amati menunjukkan kemampuan
tanah untuk menahan kation-kation dan mempertukarakn kation unsur hara sudah tinggi.
Sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan unsur hara. Hal itu yang menyebabkan nilai
kandungan kation dalam tanah yang diamati sudah sedang hingga tinggi.
Kejenuhan basa merupakan salah satu indikator kesuburan kimia tanah. Berdasarkan
kriteria penilaian tanah menurut Hardjowigeno (2003), nilai kejenuhan basa pada tanah yang
diamati sudah termasuk sedang (48.80%) dengan total jumlah basa 16.81 me/100g. Tanah
yang diamati mempunyai nilai kejenuhan basa yang sedang. Artinya tanah tersebut belum
terjadi pencucian tanah dan tidak menghambat penyerapan unsur hara oleh akar tanaman.
Faktor pembatas yang mempengaruhi pertumbuhan padi sawah salah satunya adalah
tekstur tanah. Tekstur yang bersifat permanen sehingga tidak dapat diperbaiki. Hasil analisa
laboratorium menjunjukkan perbandingan antara fraksi pasir, debu, dan liat, yaitu 10.20%,
42.60%, dan 47.20% dengan kelas tekstur yang termasuk liat berdebu. Berdasarkan kriteria
kelas teksur menurut Hermon (2012), tanah yang memiliki tekstur pasir berlempung dan
lempung liat berdebu tergolong pada kategori lahan yang (baik) untuk tanaman padi sawah.
Sehingga, lahan yang digunakan untuk kegiatan praktikum TPT belum cocok untuk ditanami
padi sawah.

4.2 Parameter Pertumbuhan

4.2.1 Jumlah Anakan

Berikut adalah tabel data hasil pengamatan jumlah rata-rata anakan tanaman padi
pada perlakuan jajar legowo, konvensional, SRI dan transplater.

Rata-Rata Jumlah Anakan


No. Perlakuan
1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST

1. Jajar Legowo 5,6 14 25,6 59,7 88.6 125,2

2. Konvensional 3,2 8 12 36 45 67,3

3. SRI 8,9 24,6 31,4 67,2 129,5 148,8

4. Transplanter 2,4 6,7 22,2 31,3 40,7 47,9

Berdasarkan pada tabel pengamatan parameter jumlah anakan tanaman padi pada
perlakuan jajar legowo, konvensional, SRI dan transplanter menglami kenaikan pada setiap
minggunya. Pada perlakuan jajar legowo jumlah anakan terendah pada 1 mst yaitu 5,6
sedangkan tertinggi pada 6 mst yaitu 125,2. Pada perlakuan konvensional jumlah anakan
terendah pada 1 mst yaitu 3,2 dan jumlah anakan tertinggi pada 6 mst yaitu 67,3. Pada
perlakuan SRI jumlah anakan terendah pada 1 mst yaitu 8,9 dan jumlah anakan tertinggi pada
6 mst yaitu 148,8. Dan pada perlakuan transplanter juga didapatkan pada 1 mst jumlah nakan
terendah yaitu 2,4 dan jumlah anakan tertinggi pada 6 mst yaitu 47,9.
Rata-rata jumlah
No. perlakuan
anakan selama 6 MST

1 Jajar legowo 51,3

2 Konvensional 25,25

3 SRI 52,32

4 Transplanter 25,20

Berdasarkan data tabel yang ada dari perlakuan jajar legowo, konvensional, SRI dan
transplanter didapatkan data hasil rata-rata dari jumlah anakan tanaman padi terendah pada
perlakuan transplanter yaitu 25,20 sedangkan hasil rata-rata tertinggi dari jumlah anakan
tanaman padi pada perlakuan SRI yaitu sebesar 52,32.

4.2.2 Panjang Tanaman

Berdasarkan pada tabel pengamatan parameter panjang tanaman padi perlakuan jajar
legowo, konvensional, SRI dan transplanter pada tanaman sampel 1 sampai 10 mengalami
kenaikan yang signifikan. Panjang tanaman pada sampel 1 sampai 10 hampir sama.
Parameter pengamatan panjang tanaman yang terendah pada minggu pertama setelah tanam
yaitu pada sampel 2 dengan panjang tanamannya yaitu 17 cm pada perlakuan transplanter.
Sedangkan panjang tanaman yang paling panjang yaitu pada sampel 8 dengan panjang
tanaman 38 cm pada perlakuan SRI. Pada pengamatan minggu ke 2 setelah tanam yang
terendah pada tanaman sampel 5 yaitu 30 cm pada perlakuan transplanter. Sedangkan yang
paling panjang terdapat pada tanaman sampel 8 jajar legowo dan sampel 7 SRI yaitu 47 cm.
Pada minggu ke 3 panjang tanaman yang terendah pada sampel 2 pada perlakuan transplanter
yaitu 36 cm. Sedangkan yang paling panjang pada sampel 10 pada perlakuan transplanter
yaitu 58 cm. Pada minggu ke 4 panjang tanaman yang terendah pada sampel 2 pada perlakuan
transplanter yaitu 38 cm, sedangkan yang paling panjang pada sampel 10 pada perlakuan
transplanter yaitu 60 cm. Pada minggu ke 5 panjang tanaman yang terendah pada sampel 4
pada perlakuan konvensional yaitu 52 cm, sedangkan yang paling panjang pada sampel 9
perlakuan jajar legowo yaitu 77 cm. Pada mingu ke 6 panjang tanaman yang terendah pada
sampel 10 jajar legowo yaitu 59 cm, sedangkan yang paling panjang pada sampel 3 pada
perlakuan SRI yaitu 89 cm.
Tabel. Panjang rata-rata tanaman padi perlakuan jajar legowo, konvensional, SRI dan
transplanter

Rata-Rata Panjang Tanaman Padi (cm)


No. Perlakuan
1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST

1. Jajar Legowo 31,9 39,9 47,6 53,2 61,8 68,3

2. Konvensional 25,8 35,1 40,7 44,7 62,1 67,9

3. SRI 30,9 42,1 46,9 51,8 58,4 68,3

4. Transplanter 22,1 33,5 43,9 51,1 64 73,1

Dari data tabel pengamatan parameter panjang tanaman padi perlakuan jajar legowo,
konvensional, SRI dan transplanter, dari 10 sampeltanamandidapatkan jugahasilpanjang rata-
rata tertinggi dan terendah disetiap minggunya. Pada 1 MST didapatkan rata-rata terendah
22,1 cm dengan perlakuan transplanter dan tertinggi 31,9 cm dengan perlakuan jajar legowo.
Pada 2 MST didapatkan rata-rata terendah 33,5 cm dengan perlakuan tansplanter dan
tertinggi 42,1 dengan perlakuan SRI. Pada 3 MST didapatkan rata-rata terendah 43,9 cm
dengan perlakuan transplanter dan tertinggi 47,6 cm dengan perlakuan jajar legowo. Pada 4
MST didapatkan rata-rata terendah 51,1 cm dengan perlakuan transplanter dan tertinggi 53,2
cm dengan perlakuan jajar legowo. Pada 5 MST didapatkan rata-rata terendah 58,4 cm
dengan perlakuan SRI dan tertinggi 64 cm dengan perlakuan transplanter. Pada 6 MST
didapatkan rata-rata terendah 68,3 cm dengan perlakuan jajar legowo dan SRI serta data
teringgi 73,1 cm dengan tansplanter.

4.2.3 Jumlah Daun

Berikut adalah tabel data hasil pengamatan jumlah rata-rata daun tanaman padi pada
perlakuan jajar legowo, konvensional, SRI dan transplater.

Tabel. Jumlah rata-rata daun tanaman padi perlakuan jajar legowo, konvensional, SRI
dan transplanter

Jumlah Rata-Rata Daun Tanaman Padi


No. Perlakuan
1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST

1. Jajar Legowo 21.6 39.1 60.2 95.5 128.2 150.2

2. Konvensional 13.5 25 46.9 72.4 103.7 125.5

3. SRI 29 78.4 88.1 102.9 116.8 132.3


4. Transplanter 14.6 23.7 36.8 68.3 97.3 115.1

Berdasarkan pada tabel pengamatan parameter jumlah rata-rata daun tanaman padi
perlakuan jajar legowo, konvensional, SRI dan transplanter pada tanaman sampel 1 sampai
10 di hari pengamatan dari 1 mst hingga 6 mst mengalami kenaikan yang signifikan. Pada
perlakuan jajar legowo, rata-rata kenaikan jumlah daun sekitar 15-35 daun perminggunya.
Kenaikan tertinggi terdapat pada pengamatan di 4 mst, dimana kenaikan jumlah daunnya
sekitar 35 daun. Selanjutnya pada perlakuan konvensional, rata-rata kenaikan jumlah daun
sekitar 11-31 daun perminggunya. Kenaikan tertinggi pada perlakuan konvensional terdapat
pada pengamatan di 5 mst, dimana kenaikan jumlah daunnya sekitar 31 daun. Kemudian
pada perlakuan SRI, rata-rata kenaikan jumlah daun sekitar 9-49 daun. Kenaikin tertinggi
terdapat pada pengamatan di 2 mst yaitu sekitar 49 daun. Dan yang terakhir pada perlakuan
transplanter, rata-rata kenaikan jumlah daun sekitar 9-31 daun. Kenaikan tertinggi terdapat
pada pengamatan 4mst, dimana kenaikan jumlah daunnya sekitar 31 daun.

4.2.4 Jumlah Malai

Berikut adalah tabel data hasil pengamatan jumlah rata-rata malai tanaman padi pada
perlakuan jajar legowo, konvensional, SRI dan transplater.

Rata-Rata Jumlah Malai Tanaman Padi

No. Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7
MST MST MST MST MST MST MST

1. Jajar Legowo 0 0 0 0 0 0 0

2. Konvensional 0 0 0 0 0 0 0

3. SRI 0 0 0 0 0 0 0

4. Transplanter 0 0 0 0 0 0 0

Hasil dari pengamatan jumlah malai padi jajar legowo pada 1 MST menunjukkan rata-
rata 0, pada 2 MST rata-rata jumlah malai adalah 0, pada 3 MST rata-rata jumlah malai juga
menunjukkan angka 0, untuk 4 MST rata-rata jumlah malai juga menunjukkan angka 0, dan
pada 5 MST, 6 MST, dan 7 MST berturut-turut menunjukan rata-rata jumlah malai padi adalah
0 yang artinya jumlah malai tidak mengalami peningkatan atau penurunan sejak pengamatan
pertama sampai pengamatan terakhir. Jadi padi jajar legowo masih belum menghasilkan
malai karena tidak ada peningkatan untuk rata-rata jumlah malai pada setiap minggunya.
Hasil pengamatan dari jumlah malai padi konvensional pada 1 MST memiliki rata-rata
0, pada 2 MST rata-rata masih menunjukkan angka 0, pada pengamatan 3 MST rata-rata
jumlah malai juga masih menunjukkan angka 0. Berturut-turut pada pengamatan 4 MST, 5
MST, 6 MST, dan juga 7 MST rata-rata jumlah malai juga menunjukkan angka 0. Sama seperti
pada padi jajar legowo bahwa padi konvensional juga masih belum menghasilkan malai.

Hasil pegamatan padi SRI pada 1 MST rata-rata jumlah malai yang dimiliki adalah 0,
lalu pada pengamatan 2 MST rata-rata jumlah malai masih tetap 0, selanjutnya pada 3 MST
rata-rata jumlah malai juga masih menunjukkan angka 0, pada pengamatan 4 MST rata-rata
jumlah malai padi SRI masih tetap 0, dan pada pengamatan 5 MST, 6 MST, dan 7 MST juga
menunjukkan jumlah yang sama yaitu 0. Jadi pada padi SRI masih belum menghasilkan malai
hingga 7 MST seperti padi jajar legowo dan padi konvensional.

Hasil pengamatan pada padi transplanter menunjukkan rata-rata yang tidak berbeda
dengan padi-padi dengan perlakuan jajar legowo, konvensional, dan SRI. Rata-rata jumlah
malai padi transplanter pada 1 MST adalah 0, pada 2 MST rata-rata jumlah malai juga 0, pada
3 MST rata-rata jumlah malai masih tetap 0, pada pengamatan 4 MST rata-rata jumlah malai
juga tetap 0, dan pada pengamatan berikutnya yaitu 5 MST, 6 MST, dan juga 7 MST rata-rata
jumlah malai menunjukkan angka 0. Jadi pada padi jajar legowo, padi konvensional, padi SRI,
dan padi transplanter belum ada peningkatan maupun penurunan jumlah malai, yang artinya
padi pada semua perlakuan belum menghasilkan malai.

4.2.5 Jumlah Anakan Produktif

Anakan pada tanaman padi dibagi menjadi anakan produktif dan non produktif.
Anakan produktif dapat ditemukan ketika memasuki fase pembungaan pada padi. Anakan
produktif adalah parameter hasil produktif tanaman padi, semakin banyak jumlah anakan
maka semakin tinggi juga hasil produksinya (Wardana & Hariyati, 2016). Dari tabel hasil
pengamatan pertumbuhan anakan produktif tanaman padi dengan perlakuan konvensional,
jajar legowo, tranplater, dan SRI hingga 7 MST didapat hasil bahwa pada sampel 1 sampai
10 belum muncul anakan produktif padi. Hal ini disebabkan karena padi yang belum cukup
umur untuk mengeluarkan anakan produktif. Anakan produktif juga berhubungan erat dengan
munculnya malai, karena kondisi dimana anakan dapat membentuk malai disebut anakan
produktif.
Rata-Rata Jumlah Anakan Produktif Tanaman
Padi
No. Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7
MST MST MST MST MST MST MST

1. Jajar Legowo 0 0 0 0 0 0 0

2. Konvensional 0 0 0 0 0 0 0

3. SRI 0 0 0 0 0 0 0

4. Transplanter 0 0 0 0 0 0 0

Anakan tanaman padi akan mulai terbentuk ketika memasuki 10 HST dan
bermunculan ketika berumur 33 HST sampai 60 HST. Anakan produktif muncul ketika padi
memasuki fase pembentukkan malai atau generatif (Wardana & Hariyati, 2016), atau sekitar
60-90 HST. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi hasil anakan produktif. Pemberian
unsur hara yang seimbang memberikan hasil yang baik pada tanaman padi, unsur N dan P
sangat berpengaruh pada pertumbuhan anakan tanaman padi (Andriawan, 2010). Kondisi
cuaca dapat mempengaruhi pengoptimalan dalam penggunaan pupuk. Pada bulan Oktober -
November 2017 (pengamatan terakhir) telah memasuki musim penghujan dan frekuensi
curah hujan yang cukup tinggi yang turun setiap hari, hal ini menyebabkan unsur-unsur yang
diberikan melalui pupuk ikut bersama aliran air sehingga unsur hara yang ditambahkan tidak
dapat diserap dengan optimal oleh tanaman.
Penggunaan pupuk hayati dan pupuk anorganik juga dapat memberikan pengaruh
nyata terhadap jumlah anakan produktif. Akan tetapi pengurangan dosis pupuk anorganik
lebih dari 50% dapat mengurangi jumlah anakan produktif dalam satu rumpun. Dalam hal ini,
fungsi unsur hara P sangat berperan dalam pembentukan bunga, buah, dan biji termasuk
anakan produktif sehingga peran Bacillus sp. dalam melarutkan fosfat dan menghasilkan
hormon sitokinin untuk kebutuhan tanaman dapat membantu pembentukan malai,
pembentukan dan pengisian biji, serta anakan produktif (Salamone et. al. 2001 dalam
Noegraha, 2015).
Jarak tanam juga mempengaruhi jumlah anakan produksi pada tanaman padi.
Kerapatan tanaman dapat mempengaruhi pertumbuhan anakan produktif. Dengan jarak
tanam yang sesuai akan mendukung tanaman dalam mendapat nutrisi dan cahaya matahari
yang cukup untuk digunakan dalam kegiatan metabolisme pada tanaman padi, sehingga
rumpun tanaman termasuk anakan produktif tumbuh banyak (Ikhwani, et al,2013). Dari
keempat metode ini, SRI adalah metode yang menghasilkan jumlah anakan produktif yang
banyak karena perlakuan SRI menerapkan jarak tanam yang lebih lebar dan teratur dibading
perlakuan konvensional dan jajar legowo (Pratiwi S, 2016).

4.3 Keragaman Serangga Pada Komoditas Padi

Berdasarkan hasil pengamatan pada 4 lahan dengan 4 sistem tanam berbeda


ditemukan keragaman Serangga pada Komoditas Kopi. Berdasarkan hasil pengamatan di
lahan dengan sistem Konvensional terdapat 3 arthropoda pada 3 dari 10 tanaman sampel
yang diidentifikasi yaitu Kumbang Kubah Spot O (Epilachna sparsa), Belalang Kembara
(Locusta migratoria) dan Penggerek Batang Padi Putih (Scripophaga innotata). Kumbang
Kubah Spot O (Epilachna sparsa) sebagai serangga lain ditemukan ditanaman sampel 2,
Belalang Kembara (Locusta migratoria) sebagai hama tanaman padi ditemukan ditanaman
sampel 6 dan Penggerek Batang Padi Putih (Scripophaga innotata) sebagai hama tanaman
padi ditemukan ditanaman sampel 10 pada 6 MST.
Berdasarkan hasil pengamatan pada 6 MST (Minggu Setelah Tanam) dilahan cuaca
yang panas pada bulan Oktober menjadi peluang untuk hama melakukan peletakan telur
untuk berkembang biak. Menurut Sudarsono (2008) persentase peneluran belalang famili
Acridadae dipengaruhioleh lama periode kering dan intensitas curah hujan. Persentase
peneluran belalang semakin tinggipada tanah dengan intensitas curah hujan rendah,
sedangkan periode inkubasi telur tergantungpada lama periode kering. Namun waktu yang
diperlukan untuk menetas setelah terjadinya hujanyaitu 14 hingga 15 hari. Telur belalang L.
migratoria akan bertahan di dalam tanah dan akanmenetas sekitar dua minggu setelah
terjadinya hujan dengan intensitas yang sesuai. Hal inimenjelaskan fenomena alam mengapa
ledakan populasi belalang L. migratoria biasanya terjadisetelah musim kemarau. Sedangkan
Kumbang Kubah Spot O (Epilachna sparsa) tidak menyerang hama padi dan berperan
sebagai serangga lain karena berdasarkan pengamatan didekat lahan padi terdapat tanaman
Mentimun yang menjadi tanaman inangnya. Kumbang Kubah Spot O (Epilachna sparsa)
Hama yang menyerang tanaman mentimun (Sriwijaya dan Didiek, 2013). Berdasarkan hasil
pengamatan hama Penggerek Batang Padi Putih (Scripophaga innotata) berterbangan dari
satu tanaman ke tanaman lainnya. Penggerek batang padi menyerang pertanaman padi mulai
dari persemaian sampai waktu tanaman berbunga. Gejala yang ditimbulkan pada fase
vegetatif disebut sundep dan pada fase generatif disebut beluk (Yasin, M., A. Bastian, dan B.
Abdullah, 2008)
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan didapatkan data bahwa padi
dengan menggunakan teknologi jajar legowo berpotensi dihuni oleh serangga hama maupun
serangga yang tidak berpotensi sebaga hama, walaupun jajar legowo adalah suatu teknologi
yang dapat meningkatkan hasil produksi padi dengan meningkatkan jarak tipa tanaman
namun tidak dipungkiri teknologi jajar legowopun berada didaerah dengan lingkungan terbuka
tidak menggunakan lingkungan tertutup seperti glass house, sehingga dengan pengoptimalan
jarak tanampun tidak akan berpengaruh terhadap kehadiran dari setiap serangga baik
berpotensi sebagai hama maupun hanya serangga bisa dapat dengan bebas memasuki
daerah budidaya padi dengan teknologi jajar legowo. Adapun serangga yang ditemukan pada
sampel pertama, kedua, dan kelima pada tanaman padi dengan teknologi jajar legowo setelah
6 MST yaitu capung jarum dari famili Coenagrionidae, capung luncur dari famili Libellulidae,
lalat buah dari famili Drosophilidae tersebut memiliki potensi sebagai predator alami yang
menguntungkan bagi tanaman padi yaitu capung jarum dan capung luncur, sementara lalat
buah sebagai serangga netral pada tanaman padi.
Capung (Odonata: Libellulidae) mempunyai peranan penting pada ekosistem
persawahan. Capung dapat berfungsi sebagai serangga predator, baik dalam bentuk nimfa
maupun dewasa, dan memangsa berbagai jenis serangga serta organisme lain termasuk
serangga hama tanaman padi seperti, penggerek batang padi (Chilo sp), wereng coklat
(Nilaparvata lugens), walang sangit (Leptocorisa acuta) (Ansori, 2009). Lalat buah pada
tanaman padi merupakan serangga netral dikarenakan menurut Di Indonesia, lalat buah
sebagai hama telah diketahui sejak tahun 1920, dan telah dilaporkan menyerang mangga di
Pulau Jawa. Pada tahun 1938, lalat buah juga dilaporkan menyerang cabai, jambu, belimbing
dan sawo. Survei lalat buah di Indonesia yang dilakukan oleh Hardy pada tahun 1985
menemukan 66 spesies. Survei berikutnya yang dilakukan oleh Balai Karantina Pusat dari
tahun 1992 - 1994 menemukan sekitar 47 spesies, dan 20 spesies di antaranya merupakan
kompleks Bactrocera dorsalis (Hamzah, 2004)
Berdasarkan hasil pengamatan di lahan dengan sistem Transplanter terdapat 3
arthropoda pada 3 dari 10 tanaman sampel yang diidentifikasi yaitu Belalang Kembara
(Locusta migratoria)sebagai hama tanaman padi, Kumbang Lebah (Anthophila sp.) sebagai
musuh alami dan Nyamuk (Culicidae sp.) sebagai serangga lain. Belalang Kembara (Locusta
migratoria)ditemukan ditanaman sampel 1, Kumbang Lebah (Anthophila sp.) ditemukan di
tanaman sampel 3 dan Nyamuk (Culicidae sp.) ditemukan di tanaman sampel 5. Belalang
kembara ini menyerang tanaman padi sekitar umur 3-4 minggu. Belalang Kembara (Locusta
migratoria)akan mulai menyerang ketika Fase belalang pada saat menyerang tanaman padi
adalah pada saat fase imago dimana pada saat fase imago belalang mulai tumbuh dewasa
dan kebanyakan merusak daun padi (Kapsara dan Arief, 2016).Kumbang Lebah (Anthophila
sp.) memiliki peran sebagai musuh alami bagi hama padi dan sangat cocok tinggal di Sawah
Padi Dilihat dari perilakunya kumbang predator ini lebih menyukaiekosistem yang lembab
terutama pada tajuk tanaman padi dan pada pematang sawah.Nyamuk (Culicidae sp.)
memiliki peran sebagai serangga lain karena hanya memanfaatkan Sawah sebagai tempat
tinggal Nyamuk dan tidak menggangu pertumbuhan dan perkembangan padi. Lahan yang
labil dan kurang baik, sumber air bersih yang mana terdapat pada lahan rawa sangat ideal
untuk sarang nyamuk (Suryana, 2004).
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan didapatkan data bahwa
padi dengan menggunakan teknologi system rice of intensification (SRI) berpotensi dihuni
oleh serangga hama maupun serangga yang tidak berpotensi sebaga hama, walaupun SRI
adalah suatu teknologi yang dapat meningkatkan hasil produksi padi namun tidak dipungkiri
teknologi SRIpun berada didaerah dengan lingkungan terbuka tidak menggunakan lingkungan
tertutup seperti glass house, sehingga setiap serangga baik berpotensi sebagai hama
maupun hanya serangga bisa dapat dengan bebas memasuki daerah budidaya padi dengan
teknologi SRI. Adapun serangga yang ditemukan pada sampel pertama tanaman padi dengan
teknologi SRI setelah 6 MST yaitu laba laba dengan famili Salticidae. Laba laba tersebut
memiliki potensi sebagai predator alami yang menguntungkan bagi tanaman padi.
Menurut Untung (2006), Peranan arthropoda di alam diantaranya adalah sebagai
perombak bahan organik, penyerbuk pada tanaman, musuh alami hama dan sebagai perusak
tanaman. Salah satu arthropoda yang berguna dan penting adalah sebagai predator serangga
hama yaitu laba laba. Bahkan menurut pendapat Nyffeler dan Sunderland (2003) laba-laba
adalah predator polifagus terutama terhadap serangga yang dapat mengendalikan populasi
serangga dengan cara memburu serangga satu persatu.

4.4 Intensitas Penyakit

Bedasarkan hasil pengamatan dari 10 tanaman sampel, baik dari sistem tanam
Konvensional, Jajar Legowo, Tranplanter maupun SRI, tidak ditemukan adanya penyakit yang
menyerang tanaman padi, hal ini dapat disebabkan oleh adanya kegiatan pemupukan yang
berimbang. Penyakit pada tanaman padi seperti penyakit blas (Pyricularia grisea) dapat
berkembang dengan baik karena pemberian pupuk nitogen yang berlebihan. Menurut Sudir
et al (2014). Dosis pupuk Nitrogen berkorelasi positif terhadap intensitas serangan blas, jika
semakin tinggi dosis pemberian pupuk nitogen pada tanaman maka intensitas serangan
penyakit blas juga akan semakin tinggi. Maka dari itu, pemupukan yang berimbang sangat
diperlukan supaya tidak terjadi kelebihan unsur nitrogen yang bisa menyebabkan timbulnya
penyakit blas pada tanaman padi.
Tidak adanya penyakit pada semua sampel tanaman padi juga dapat dikarenakan
tidak adanya faktor yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit terutama dari faktor abiotik.
Faktor abiotik adalah faktor penyebab penyakit yang sifatnya tidak menular yang biasanya
disebabkan karena kondisi cuaca yang tidak menguntungkan, kondisi tanah yang kurang baik,
dan kerusakan karena mekanik atau zat-zat kimia (Semangun, 1994). Dalam hal ini, praktek
budidaya yang dilakukan dilapang bisa dikatakan sudah baik, mulai dari pengolahan lahan
hingga perawatan dan didukung oleh keadaan cuaca yang menguntungkan, sehingga
tanaman padi tidak ada yang terserang penyakit. Berikut ini adalah tabel hasil pengamatan
intensitas penyakit baik dari sistem tanam jajar legowo, konvensional, SRI, dan transplanter.

Itensitas Penyakit

No. Perlakuan

1 2 3 4 5 6
MST MST MST MST MST MST

1. Jajar legowo 0 0 0 0 0 0

2. Konvensional 0 0 0 0 0 0

3. SRI 0 0 0 0 0 0

4. Transplanter 0 0 0 0 0 0

4.5 Pembahasan Umum

4.5.1 Jumlah Anakan

a. Konvensional

40

35

30
MST 1
25 MST 2
JUMLAH

MST 3
20
MST 4
15 MST 5
MST 6
10
MST 7
5

0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
TANAMAN SAMPEL

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah anakan padi dengan
perlakuan konvesional terus meningat setiap minggunya . pada pengamatan 1 mst
rata-rata jumlah anakan dengan perlakuan konvesional adalah 3,2 anakan. pada
pengamatan berikutnya yaitu 2 mst rata-rata jumlah anakan daun bertambah menjadi
8 anakan. dan meningkat pesat pada 7 mst yaitu 29,3 anakan. pada pengamatan 7
mst rata-rata jumlah anakan daun meningkat banyak namun masih bernilai kecil jika
dibandingkan dengan perlakuan jajar legowo yaitu 101,7 anakan.
Jumlah anakan pada perlakuan konvensional selalu mengalami kenaikan
akan tetapi jumlah anakan masih sedikit jika dibandingkan dengan perlakuan Jajar
legowo dan SRI. Hal tersebut dikarenakan jarak tanam yang digunakan yaitu 20 x 20
cm. Semakin rapat populasi tanaman maka sedikit jumlah anakan dan jumlah panjang
malai per rumpunnya (Hayashi et al., 2006) dalam Ruminta, dkk (2017). Menurut
Sumardi dkk. (2007) menyatakan bahwa kepadatan populasi tanaman mempengaruhi
ruang tumbuh tanaman untuk menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan organ
tanaman secara optimal.
Jumlah anakan yang maksimal didukung dengan kesuburan tanah dan ruang
tumbuh yang optimal (Uphoff, 2003) dalam Ruminta, dkk (2017). Padi bersifat
merumpun melalui pembentukan anakan, maka penanaman dengan jarak tanam rapat
mengakibatkan ruang tumbuh yang terbatas dan mengurangi produksi anakan.
Anakan terbentuk dari umur 10 Hari Setelah Tanam (HST) dan maksimum pada umur
50-60 HST. Anakan yang mencapai batas maksimum akan berkurang karena
pertumbuhannya yang lemah tetapi bukan mati. Faktor yang menyebabkan
pertumbuhan menjadi lemah yaitu karena persaingan antar anakan, saling terlindung,
kekurangan nitrogen, dan jarak tanam.
b. Jajar legowo

140

120

100
MST 1
80 MST 2
JUMLAH

MST 3
60
MST 4
40 MST 5
MST6
20
MST 7
0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10

TANAMAN SAMPEL
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa jumlah anakan daun padi
dengan sistem jajar legowo mengalami peningkatan setiap minggunya dan dengan
perlakuan jajar legowo jumlah anakan lebih banyak dibandingkan perlakuan konvesional,
transplanter dan SRI . pada 1 mst rata-rata jumlah anakan daun dengan perlakuan jajar
legowo yaitu 21,6 anakan , berbeda dengan perlakuan konvesional yaitu 3,2 anakan ,
perlakuan transplanter 2,4 anakan dan dengan perlakuan SRI yaitu 8,9 anakan. pada
pengamatan 3 mst jumlah anakan daun meningkat menjadi 60,2 anakan dan terus
meningkat sampai pengamatan 7 mst yaitu 101,7 anakan .peningkatan jumlah anakan
daun paling banyak terjadi pada 7 mst yaitu 101,7 anakan.
Sistem tanam jajar legowo dengan perlakuan sistem jarak tanam ganda atau jajar
legowo rata-rata dapat menghasilkan jumlah anakan, luas daun, indeks luas daun, berat
kering total tanaman dan laju pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan
sistem jarak tanam yang lain. Hal ini dikarenakan rekayasa teknologi yang diaplikasikan
pada model jarak tanam ganda dimana diantara kelompok barisan terdapat lorong yang
luas dan memanjang sepanjang barisan. Teknologi ini memanfaatkan barisan pinggir
(border effect) sehingga tanaman padi mendapatkan cahaya matahari yang lebih banyak
dan mampu berfotosintesis optimal. Kemampuan tanaman dalam berfotosintesis akan
berpengaruh pada pertumbuhan tanaman yang lebih baik sehingga mampu menghasilkan
jumlah anakan yang lebih banyak.
c. Transplanter

45

40

35

30 MST 1
JUMLAH

25 MST 2

20 MST 3
MST 4
15
MST 5
10
MST 6
5 MST 7
0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10

TANAMAN SAMPEL
Berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah anakan daun padi dengan
sistem transplanter mengalami peningkatan setiap minggunya. pada pengamatan 1
mst rata-rata jumlah anakan daun padi dengan perlakuan transpalnter yaitu 2,4
anakan dan terus meningkat hingga pengamatan ke 7 mst yaitu 33,9 anakan.
pertambahan jumlah anakan daun paling banyak terjadi pada 7 mst dengan rata-rata
33,9 anakan .
Menurut Husana (2010), jumlah anakan akan maksimal apabila tanaman memiliki sifat
genetik yang baik di tambah dengan keadaan lingkungan yang menguntungkan atau sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selanjutnya di kemukakan bahwa jumlah
anakan maksimum juga di tentukan oleh jarak tanam, sebab jarak tanam menentukan radiasi
matahari, hara mineral serta budidaya tanaman itu sendiri. Namun faktor genetik dan juga
faktor lingkungan juga menentukan produktivitas padi tersebut.
Umur bibit juga mempengaruhi jumlah anakan yang akan dihasilkan, pada
perlakuan Transplanter umur bibit 14 hari setelah semai. Hasil penelitian Masdar
(2006) menunjukkan bahwa pemindahan bibit ke lapangan umur 7 hari setelah semai
jumlah anakan tanaman padi dapat mencapai 20,796 anakan, sedangkan pemindahan
bibit umur 21 hari setelah semai jumlah anakan hanya 17,172 anakan.
d. SRI

50
45
40
35
MST 1
30
JUMLAH

MST 2
25
MST 3
20
MST 4
15
MST 5
10
MST 6
5 MST 7
0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10
TANAMAN SAMPEL

Berdasarkan data diatas menunjujkan bahwa jumlah anakan padi dengan sistem SRI
mengalami peningkatan setiap minggunya dan jika dibandingkan dengan perlakuan
transplanter dan konvesional perlakuan padi dengan SRI memiliki jumlah anakan yang lebih
tinggi. pada 1 mst rata-rata jumlah anakan padi dengan sistem SRI adalah 8,9 anakan. pada
pengamatan 2 mst jumlah anakan daun bertambah menjadi 12,5 anakan dan terus mengalami
peningkatan sampai 7 mst yaitu 37,1 anakan . Jika dihitung dari jumlah bibit per lubang tanam
yaitu satu bibit untuk perlakuan SRI, maka perlakuan SRI sejatinya mempunyai jumlah anakan
yang lebih banyak. Selanjutnya secara konsisten pada pengamatan umur 3, 4, 5 , dan 6,7
MST perlakuan SRI menunjukkan peningkatan jumlah anakan secara signifikan dari awal
pengamatan. Respon peningkatan jumlah anakan pada perlakuan SRI dipengaruhi oleh jarak
tanam yang lebih lebar dibandingkan perlakuan yang lain. Pratiwi (2016) menyatakan bahwa
kerapatan tanaman berpengaruh pada pertumbuhan jumlah anakan dan anakan produktif..
Sejalan dengan pernyataan Ikhwani, et al. (2013), semakin rapat jarak tanam per satuan luas
maka akan menurunkan kualitas rumpun tanaman seperti jumlah anakan dan anakan
produktif yang lebih sedikit. Umur bibit yang lebih muda juga berpengaruh dalam
meningkatkan jumlah anakan, perlakuan SRI menggunakan umur bibit muda.
Menurut Uphoff (2009) dalam Ruminta, dkk (2017) bahwa pada sistem budidaya SRI,
tanaman padi mampu menghasilkan pertumbuhan akar yang lebih baik dan lebih sehat,
anakan lebih banyak dengan malai yang lebih lebat dan berat sehingga hasil panen menjadi
lebih tinggi. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Berkelaar (2010) dalam Mawardi,dkk
(2013), bahwa padi yang dihasilkan dengan budidaya SRI akan lebih baik dari pada budidaya
padi konvensional. Dalam budidaya SRI tanaman padi memiliki lebih banyak anakan, perkem-
bangan akar lebih besar dan jumlah butir per malai lebih banyak.
4.5.3 Jumlah Daun

a. Konvensional

Jumlah daun pada tanaman padi dengan sistem konvensionalmenghasilakan jumlah


daun yang selalu meningkat setiap minggunya pada sepuluh sampel tanaman yang diamati.
Perbedaan sisten tanaman memberikan pengaruh yang nyata pada beberapa umur
pengamatan, yaitu pada 1 MST dengan sistem tanam yang lain tanaman padi memiliki jumlah
daun lebih sedikit dan mulai mangalami peningkatan pada umur penamatan berikutnya.
Jumlah daun dapat dipengaruhi oleh sistem tanam yang digunakan yaitu jarak tanam
sehingga mempengaruhi pertumbuhan daun yang berakibat menghambat jumlah daun yang
tumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Nio (2010), bahwa pertumbuhan ditandai dengan
pertambahan organ tanaman yang tidak bisa kembali (irreversible). Dengan demikian
kandungan klorofil total daun dapat dipengaruhi oleh interaksi antara air dan cahaya matahari
sehingga hasil daun mendapatkan hasil atau jumlah sesuai dengan sistem yang digunakan.
b. Jajar Legowo

Chart Title
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10

MST 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6

Berdasarkan gambar grafik diatas dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah daun tiap
minggu tanaman padi pada perlakuan jajar legowo mengalami pertambahan setiap
minggunya. Pada pengamatan 1 mstrata-rata jumlah daun padi per tanaman perlakuan jajar
legowoyaitu 21,6 daun dan terus bertambah hingga pengamatan ke 6 mst yaitu 150,2 daun.
Pertambahan jumlah daun paling banyak terjadi pada 6 mst yaitu dengan rata-rata 150,2
daun.
Pada setiap sampel padi yang diamati setiap minggunya mengalami peningkatan
jumlah daun. Karena dengan sistem jajar legowo ini yaitu dengan pengaturan jarak tanam
jumlah unsur hara yang diperoleh tiap-tiap tanaman dapat terpenuhi dengan baik sehingga
jumlah daun yang diamati setiap minggu meningkat. Menurut Hakim dkk (2002) bahwa
tersedianya unsur hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang menyebabkan proses
metabolisme tanaman berjalan lancar sehingga pembentukan karbohidrat dan pati tidak
terhambat. Sistem tanam jajar legowo ini menjadikan semua tanaman atau lebih banyak
tanaman menjadi tanaman pinggir. Menurut Mujisihono et al., 2001 tanamanpinggir akan
memperoleh sinar matahari yang lebih banyak dan sirkulasi udara yang lebih baik, unsur hara
yang lebih merata, serta mempermudah pemeliharaan tanaman.
d. SRI

Chart Title
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 TS 5 TS 6 TS 7 TS 8 TS 9 TS 10

1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST

Pada pengamatan 1 mst rata-rata jumlah daun per tanamanperlakuan SRI, didapat rata-
rata jumlah daun 31,6. Pada pengamatan berikutnya yaitu 2 mst rata-rata bertambah menjadi
78,4 daun dan meningkat pesat pada 6 mst yaitu 83,8 daun.Pada pengamatan 6 mst rata-rata
jumlah daun meningkat banyak namun masih bernilai kecil jika dibandingkan dengan
perlakuan jajar legowo yaitu 150,2 daun.
Berdasarkan data pengamatan jumlah daun per tanaman, metode SRI menunjukan
peningkatan yang pesat disetiap minggunya. Hingga 6 mst setelah tanam sistem metode SRI
lebih banyak memiliki jumlah daun per tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian jarak
tanam di Indonesia dilaporkan Pratiwi et., al (2010), Jarak tanam lebar memberi peluang
varietas tanaman mengekspresikan potensi pertumbuhannya. Semakin rapat populasi
tanaman, semakin sedikit jumlah anakan dan jumlah panjang malai per rumpunnya. Pada
populasi rendah (jarak tanam lebar), keragaman rumpun padi besar, namun perluasannya
hasil dan komponen hasilnya lebih rendah dibandingkan jarak tanam yang lebih rapat.
4.5.4 Jumlah Malai

Jumlah malai merupakan salah satu indikator produksi tanaman padi. Jumlah malai
yang dihasilkan tanaman akan mempengaruhi bobot gabah kering panen dan produksi malai.
Pada pengamatan ini belum ditemukannya malai dikarenakan tanaman padi masih berumur
44 hari. Munculnya malai terjadi ketika fase generatif yang berumur sekitar 60-90 hari. Hal ini
sesuai dengan Litbang (2002), bahwa Pada pertanaman padi terdapat tiga fase pertumbuhan,
yaitu fase vegetatif (0-60 hari), fase generatif (60-90 hari), dan fase pemasakan (90-120 hari).
Belum ditemukannya malai dari semua sistem tanam padi yang telah diterapkan juga
dapat disebabkan karena akhir-akhir ini di Indonesia termasuk di Malang adalah lahan
penanaman padi sering terjadinya hujan. Karena bila terjadi hujan secara terus menerus
dengan intensitas yang tinggi maka suhu di daerah tersebut juga berubah-ubah. Menurut
Salisbury dan Ross, (2000), pertumbuhan tanaman padi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
makro antara lain: curah hujan, intensitas sinar matahari, suhu, dan kesuburan tanah. Curah
hujan dan suhu adalah kondisi lingkungan yang sangat dominan dalam menentukan dan
merancang pola tanam dan pascapanen terkait dengan budidaya tanaman padi sawah serta
dapat mempengaruhi proses pertumbuhan malai pada tanaman padi di sawah. Selain itu,
suhu tinggi memacu terjadinya respirasi pada tanaman padi yang tergolong tanaman C3.
Peningkatan suhu berpengaruh besar terhadap reaksi biokimia reduksi dan penambatan CO2,
suhu yang tinggi dapat menyebabkan denaturasi enzim dan terjadinya perombakan
fotosistem (Salisbury dan Ross, 2000).

Akibat intensitas hujan yang terjadi sangat tinggi di sekitar daerah lahan penanaman
padi ini bisa juga mengakibatkan cepat tercucinya tambahan unsur hara yang telah diberikan
pada tanaman padi, oleh karena itu kebutuhan unsur hara dari tanaman padi ini kurang
tercukupi. Maka dari itu tanaman padi kurang memiliki sumber energi untuk menuju fase
generatif seperti pembentukan malai. Suparyono dan Setyono (1993) menjelaskan bahwa
tanaman akan membentuk malai sesuai dengan potensi hasil jika jarak tanam yang digunakan
optimal, populasi tanaman tidak rapat, unsur hara tersedia serta pertumbuhan akar dan tajuk
tanaman tidak saling bersaing satu sama lainnya sehingga didapatkan jumlah anakan
produktif yang tinggi

Belum didapatkannya malai dari semua sistem tanam padi yang telah dilakukan bisa
saja disebabkan karena varietasnya yang kurang mendukung dari penanaman padi. Karena
setiap varietas juga berpengaruh terhadap komponen hasil. Menurut Hatta (2011), jumlah
anakan produktif, panjang malai, jumlah bulir per malai, dan hasil padi adalah beberapa
komponen hasil yang dipengaruhi oleh varietas. Maka dari itu lah sebaiknya perlu diketahui
dahulu varietas apa yang baik untuk ditanam sebelum melakukan penanaman.

Malai terlihat berupa kerucut berbulu putih panjang 1.0 1,5 mm. Pertama kali muncul
pada ruas buku utama (main Culom) kemudian pada anakan dengan pola tidak teratur. Dapat
terlihat dengan membelah batang. Saat malai terus berkembang bulir (spikelets) terilihat dan
dapat dibedakan. Malai muda meningkat dalam ukuran dan berkembang ke atas di dalam
pelepah daun bendera menyebabkan pelepah daun menggembung (bulge) yang disebut
bunting. Pada tahap bunting, ujung daun layu (menjadi tua dan mati) dan anakan non produktif
terlihat pada bagian dasar tanaman (Triwidyati, 2009).
4.5.5 Jumlah Anakan Produktif

Dari data pengamatan jumlah anakan produktif pada perlakuan konvensional, jajar
legowo, transplanter dan SRI belum didapatkan jumlah anakan yang muncul. Seperti
pernyataan Anggraini (2013), yaitu anakan produktif adalah anakan menghasilkan dimana
tahap inisiasi bunga/primordia merupakan tahap pembeda antara anakan produktif dengan
anakan biasa. Primordial tanaman padi dimulai pada umur 49-50 hari sesudah semai.

Jumlah anakan produktif dipengaruhi oleh ukuran ruang antar rumpun. Semakin luas
ruang antar rumpun, semakin banyak jumlah anakan produktif. Hal ini sesuai dengan
penelitian Masdar (2005) bahwa semakin lebar jarak tanam jumlah anakan produktif semakin
banyak dibandingkan jarak tanam yang lebih sempit. Tunas tertier tidak sepenuhnya bisa
tumbuh bugar sampai usia berbunga, hal ini dikarenakan tunas tersier yang pendek akan
kalah dalam persaingan antar anakan lainnya. Anakan yang relatif pendek dan posisi di
bagian dalam rumpun, akan mengalami kekalahan pada persaingan kontak untuk
mendapatkan cahaya matahari. Selain itu pada jarak tanam lebar, tanaman memiliki akses
hara dan air lebih banyak sehingga dukungan untuk perkembangannya terpenuhi. Menurut
Astri (2007) jarak tanam 30 cm x 30 cm adalah yang paling tinggi dalam menghasilkan jumlah
anakan produktif per rumpun.
Daftar Pustaka

Ansori, I. 2009. Kelimpahan dan Dinamika Populasi Odonata Berdasarkan Hubungannya


Dengan Fenologi Padi di Beberapa Persawahan Sekitar Bandung Jawa Barat. PMIPA
FKIP UNIB.Jurnal exacta.Vol.VII.No.2: 69-75.

Ariawan, I. M., Thaha, A. R., & Prahastuti, S. W. (2016). Pemetaan Status Hara Kalium
pada Tanah Sawah di Kecamatan Balinggi, Kabupaten Parigi Moutong Provinsi
Sulawesi Tengah. Jurnal Agrotekbis, 4 (1), 43-49.

Astri, D., Sugiyanti. 2007. Optimasi Jarak Tanam dan Umur Bibit Pada Padi sawah

Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagjo, dan A. Hidayat. 2003.


PetunjukTeknisEvaluasiLahanuntukKomoditasPertanian.BalaiPenelitian Tanah, Bogor.
154 hlm.

Hakim, N, Yusuf Napka, Sutomo Gandi, A.M. Lubis, M. Rusdi, Amin Diha, Go Bang Hong dan
H, Bailey. 2002. Dasar-dasar Ilmu Tanah.Universitas Lampung. Lampung.

Hamzah, A. 2004.Petunjuk Tteknis Surveilan Lalat Buah. Pusat teknik dan metoda karantina
hewan dan tumbuhan. Jakarta: Badan Karantina Pertanian.

Hardjowigeno, S. (2003). Ilmu Tanah. Jakarta: Akademia Pressindo.

Hardjowigeno, S., & Rayes, M. L. (2005). Tanah Sawah. Malang: Bayumedia.

Hasibuan, B. A. 2009. Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Hatta, M. 2011. Pengaruh tipe jarak tanam terhadap anakan, komponen hasil, dan hasil dua
varietas padi pada metode SRI. J. Floratek 6(2): 104 113

Herlinda, Siti., A. Rauf, S. Sosromarsono, U. Kartosuwondo, Siswadi & P. Hidayat. 2004.


Artropoda Predator Penghuni Ekosistem Persawahan di Daerah Cianjur, Jawa Barat.
Jurnal entomologi indonesia. 1 (1) : 1 15.

Hermon, D. (2012). Mitigasi Bencana Hidrometeorologi. Padang: UNP Press.

Husana, Y. 2010. Pengaruh Penggunaan Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Pad iSawah (Oryza sativa L.) Varietas IR 42 dengan Metode SRI (System of Rice
Intensification). Jurnal Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau. Vol
9 Hal 2-7.

Ikhwani, et al. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Penerapan Jarak Tanam Jajar
Legowo. IPTEK TanamanPangan. 8 (2): 7279.

Kapsara, Lina dan Arief Noor Akhmadi. 2016. Ekstrak daun mimba terhadap mortalitas hama
belalang kembara. Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi 1 (1) : 56 68.
Malangkota.go.id. 2017. Kecamatan Lowokwaru Kota Malang.
http://keclowokwaru.malangkota.go.id/gambaran-umum/. Diakses pada tanggal 21 Mei
2017.

Masdar. 2006. Pengaruh Jumlah Bibit Per Titik Tanam Dan Umur Bibit Terhadap
Pertumbuhan Reproduktif Tanaman Padi Pada Irigasi Tanpa Penggenangan. Jurnal
Dinamika Pertanian 21 (2) : 121-126.

Mawardi, Ketut Anom Wijaya dan Setiyono. 2013. Pertumbuhan dan Hasil Padi Metode
Konvensional dan SRI (System Of Rice Intensification) Pada Textur Tanah Yang
Berbeda. Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jember

Mujisihono, R. dan T. Santosa. 2001. Sistem Budidaya Teknologi Tanam Benih Langsung
(TABELA) dan Tanam Jajar Legowo (TAJARWO). Makalah Seminar Perekayasaan
Sistem Produksi Komoditas Padi dan Palawija. Diperta Provinsi D.I. Yogyakarta.

Nio, S.A. 2010. Kandungan klorofil total, klorofil a dan b sebagai indicator cekaman kekeringan
pada padi (Oryza sativa L.). Jurnal Ilmiah Sains 10: 86- 90

Nora, S., Rauf, A., & Elfiati, D. (2015). Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Lahan
Sawah di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli. Jurnal Pertanian Tropik, 2
(3), 348-350.

Notohadiprawiro, T. (2006). Asas dan Tujuan Analisa Tanah, Air dan Jaringan Tanaman
dalam Pertanian. Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada .

Nurlaili. 2011. Optimalisasi Cahaya Matahari pada Tanaman Padi (Oryza Sativa L.) System
of Rice Itensification (SRI) melalui pendekatan pengaturan jarak tanaman. AgronobiS,
3(5): 22-27.

Nyffeler M, Sunderland KD. 2003. Composition, abundance and pest control potential of spider
communities in agroecosystem: acomparison of European and US studies. Agric
Ecosyst Environ 95: 576-612.

Patti, P. S. 2013.Analisis Status Nitrogen Tanah Dalam Kaitannya Dengan Serapan N Oleh
Tanaman Padi Sawah Di Desa Waimital, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian
Barat. Jurnal Ilmu Budidaya Tanaman Vol 2 No.1 hal: 51-58.

Pratiwi, Sri Hariningsih. 2016. Pertumbuhan dan Hasil Padi (Oryza


sativa L.) Sawah pada Berbagai Metode Tanam dengan Pemberian Pupuk Organik.
Agrotech Science Journal Vol. 2 No. 2
Ruminta, Agus Wahyudin, dan Syaza Sakinah. 2017. Respon Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Padi Terhadap Jarak Tanam Pada Lahan Tadah Hujan Dengan
Menggunakan Pengairan Intermittent. Jurnal Agrin Vol. 21, No. 1: 46-58

Salisbury dan Ross. 2000. Photosynthesis 6th Edition. Cambridge University Press. London

Santoso, R. S. (2011). Hasil Padi Sawah yang Diaplikasiki Pupuk Organik. Jurnal
Agrivigor, 10 (3), 319-330.

Siswoputranto.2008.komoditi eksport Indonesia. Jakarta. gamedia.

Sriwijaya, Bambang dan Didiek haryanto. 2013. Kajian volume dan frekuensi penyiraman air
terhadap pertumbuhan dan hasil mentimun pada vertisol. Jurnal Agrisains 4 (7) : 77
88.

Sudarsono H. 2008. Pengaruh lama periode kering dan intensitas curah hujan terhadap
penetasan
belalang kembara Locusta migratoria manilensis Meyen. Jurnal HPT Tropika 8 (2): 117-
122.

Sumardi, Kasli, M. Kasim, A. Syarif, dan N. Akhir. 2007. Respon padi sawah pada teknik
budidaya secara aerobic dan pemberian bahan organik. Jurnal AktaAgrosia 10 (1): 65-
71.

Suparyono dan A. Setyono. 1993. Padi. Penebar Swadaya. Jakarta

Suryana, A. 2004. Peranan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Rawa


Mendukung Pembangnan Agribisnis Wilayah. Prosiding Seminar Lokakarya Hasil
Penelitian dan Pengkajian Teklnologi Pertanian Spesifik Lokasi, Palembang 28 9
Juni. Buku I. p1-22.

Untung K. 2006. Pengantar pengelolaan hama terpadu. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

Yasin, M., A. Bastian, dan B. Abdullah. 2008. Ketahanan beberapa galur padi beras merah
terhadap hama penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata Walker. Prosiding
Simposium Nasional Revitalisasi Penerapan PHTdalam Praktek Pertanian yang baik
Menuju Sistem Pertanian Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Fakultas
Pertanian Unpad, Perhimpunan Entomologi Indonesia, PEI Cabang Bandung. p.107-
110.

Anda mungkin juga menyukai