PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Sragen?
2. Bagaimana permasalahan pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Sragen?
3. Bagaimana upaya peningkatan pengandalian penyakit HIV/AIDS yang dapat dilakukan di
Kabupaten Sragen?
C. Tujuan
1. Untuk menganalisis pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Sragen.
2. Untuk mengetahui permasalahan pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten
Sragen.
3. Untuk mengetahui upaya peningkatan pengendalian penyakit HIV/AIDS yang dapat
dilakukandi Kabupaten Sragen
D. Manfaat
1. Dapat menganalisis pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Sragen.
2. Dapat mengetahui permasalahan pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten
Sragen
3. Dapat mengetahui upaya peningkatan pengendalian penyakit HIV/AIDS yang dapat
dilakukan di Kabupaten Sragen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi HIV/AIDS
HIV-AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human
immunodeficiency virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh.Infeksi tersebut
menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah
untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain, sebelum memasuki fase AIDS penderita
terlebih dulu dinyatakan sebagai HIV positif (Kemenkes RI, 2014). HIV(Human
Immunodeficiency Virus), adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
sehingga tubuh rentan terhadap berbagai penyakit, seperti TB, TORCH dan lain-lain.
Virus menyebabkan AIDS(acquired immunodeficiency syndrome)dengan cara meyerang
sel darah putih yang bernama CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh
manusia. Gejala-gejala timbul tergantung dari infeksi opurtunistik yang menyertainya.
HIV adalah virus penyebab AIDS yang menyerang sel darah putih manusia yang
merupakan bagian terpenting dari sistem kekebalan tubuh manusia.AIDS ditandai
dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh khususnya menyerang limfosit T CD4
Limfosit T helper. Saat jumlah T helper turun hingga dibawah 200 sel/mm 3 darah atau
mulai munculinfeksi penyerta. AIDS merupakan tahapakhir dari infeksi HIV.AIDS
adalah suatu sindroma atau kumpulan tanda/gejala penyakit yang terjadiakibat
tertular/terinfeksi virus HIV yang merusak sistem kekebalan tubuh, bukan karena
diturunkan atau dibawa sejak lahir.AIDS adalah tahap akhir dari infeksi virus HIV ketika
sistem kekebalan tubuh telah sangant rusak, sehingga tidak dapat melawan infeksi ringan
sekalipun dan pada akhirnya menyebabkan kematian.
Permenkes RI no. 74 tahun 2014 menjelaskan terdapat dua metode yang dapat
dilakukan dalam tes HIV, yaitu tes cepat (Rapid test) dan ELISA.Tes cepat harus
dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh pabriknya.Hasil tes cepat dapat ditunggu
oleh pasien.Tes cepat dapat dilaksanakan diluar laboratorium, tidak memerlukan
peralatan khusus dan dapat dilaksanakan di fasilitas kesehatan primer oleh paramedik
terlatih.Tes cepat tidak dianjurkan untuk jumlah pasien yang banyak.Diagnosis adanya
infeksi dengan HIV dapat ditegakkan di laboratorium dengan ditemukannya antibodi
yang khusus terhadap virus tersebut.Pemeriksaan untuk menemukan adanya antibody
tersebut menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Imunosorbent Assay).Hasil tes
ELISA positif maka dilakukan pengulangan. Jika masih tetap positif maka selanjutnya
dikonfirmasi dengan test yang lebih spesifik yaitu metode Western Blott. Pemilihan
antara menggunakan tes cepat HIV atau tes ELISA harus mempertimbangkan faktor
tatanan tempat pelaksaan tes HIV, biaya dan ketersediaan perangkat tes, reagen dan
peralatan; pengambilan sampel, transportasi, SDM serta kesediaan pasien untuk kembali
mengambil hasil.
Infeksi HIV/AIDS merupakan penyakit infeksi yang menular melalui cairan tubuh yang
mengandung virus HIV, yaitu air mani (semen), cairan vagina/serviks, dan darah. Tindakan
penularannya dapat melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual,
jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah, dan dari ibu yang terinfeksi
HIV ke bayi yang dilahirkannya (transmisi maternal-fetal). Secara global, ditemukan bahwa
proses penularan melalui hubungan seksual menempati urutan pertama, yaitu 70-80%, disusul
pada penggunaan obat suntik dengan jarum suntik bersamaan 5-10%. Infeksi perinatal juga
memiliki presentase tinggi yaitu 5-10% dan penularan melalui transfusi darah 3-5%.Besarnya
resiko ditentukan dari paparan dan derajat viremia dari sumber infeksi.
Penularan melalui ASI dari ibu yang terinfeksi ke bayinya juga dapat terjadi, namun
dengan resiko yang lebih kecil karena jumlah virus yang sangat sedikit dalam ASI. Ada beberapa
faktor yang dapat meningkatkan resiko penularan melalui ASI, yaitu: level virus yang bermakna
dalam ASI , adanya mastitis, kadar limfosit T CD4 ibu yang rendah, dan defisiensi vitamin A pada
ibu. Di negara berkembang, pemberian ASI dari ibu yang terifeksi masih menjadi pro dan kontra
karena walaupun menjadi jalur penularan , ASI merupakan sumber nutrisi utama pada bayi di
usia awal kehidupan dan memberi faktor-faktor antibodi yang penting.
Menurut Kemenkes RI dalam Laporan Triwulan HIV/AIDS (2014), faktor resiko penularan
infeksi HIV yang tercatat selama tahun 1987-2013 di Indonesia adalah antara lain melalui
hubungan heteroseksual sebanyak 62,5%, penasun atau pengguna obat-obatan terlarang
dengan jarum suntik sebanyak 16,1%, penularan melalui perinatal sebanyak 2,7%, dan
penularan pada homoseksual sebanyak 2,4%. Data epidemiologi menunjukan bahwa Papua
merupakan daerah di Indonesia dengan angka kejadian AIDS paling tinggi, diikuti Jawa Timur,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara,
dan Banten.
Kecenderungan penularan infeksi HIV di seluruh Indonesia hampir sama, kecuali untuk
Papua dimana mayoritas di akibatkan karena hubungan seksual beresiko tanpa kondom yang
dilakukan kepada pasangan tetap maupun tidak tetap. Selain itu, terbatasnya penggunaan obat
antiretroviral baik untuk pengobatan maupun pencegahan transmisi dari ibu ke janin
menambah situasi penyebaran infeksi HIV sehingga memperburuk situasi epidemi HIV di
Indonesia.
Fase ini ditandai oleh proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion)
dalam jumlah yang besar. Replikasi virus dalam jumlah yang besar akan memicu
timbulnya sindroma infeksi mononucleosis akut yakni antara lain: demam,
limfadenopati, bercak pada kulit, faringitis, malaise, dan mual muntah yang timbul
sekitar 3-6 minggu setelah infeksi. Fase ini selanjutnya akan terjadi penurunan
jumlah sel limfosit T-CD4 dan kemudian terjadi respon imun yang mengakibatkan
3
kenaikan jumlah limfosit T. jumlah limfosit T pada fase ini masih diatss 500 sel/mm
dan kemudian akan mengalami penurunan setelah enam minggu terinfeksi HIV.
2. Fase infeksi laten
Fase infeksi laten terjadi ketika respon imun sudah dapat megendalikan jumlah virus
dalam darah, sebagian virus masih menetap didalam tubuh meskipun jarang
ditemukan dalam plasma. Virus terakumulasi didalam kelenjar limfe terperangkap
didalam sel dendritic folikuler dan masih terus mengadakan replikasi, sehingga
penurunan limfosit T-CD4 terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya
sedikit.Fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200
3
sel/mm . Jumlah virus yang bereplikasi setelah fase primer akan bereplikasi lagi
hingga mencapai set point tertentu yang akan memprediksi onset waktu terjadinya
penyakit AIDS. Jumlah virus kurang dari 1.000 kopi/ml darah, penyakit AIDS
kemungkinan akan terjadi dengan periode laten lebih dari 10 tahun. Sedangkan jika
jumah virus kurang dari 200 kopi/ml darah, infeksi HIV tidak akan mengarah pada
penyakit AIDS. Pasien sebagian besar dengan jumlah virus lebih dari 100.000
kopi/ml darah mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4 yang lebih cepat dan
mengalami perkembangan menjadi penyakit AIDS dalam kurun waktu kurang dari
10 tahun. Fase ini pasien umunya belum menunjukkan gejala klinis atau asimtomatis
dan fase laten berlangusng sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13 tahun) setelah infeksi HIV.
Selama fase ini, didalam kelenjar limfa terus terjadi replikasi virus yang diikuti
dengan kerusakan dan kematian sel dendritic folikuler serta sel limfosit T-
CD4.Fungsi kelenjar sebagai perangkat virus menurun atau bahkan hilang dan virus
dicurahkan ke dalam darah.Respon imun tidk mampu mengatasi jumlah virion yang
3
sangat besar. Jumlah sel limfosit T-CD4 menurun hingga dibawah 200 sel/mm ,
jumlah virus meningkat dengan cepat sedangkan respon imun semakin tertekan
sehingga pasien semakin rentan terhadap berbagai macam infeksi sekunder yang
dapat disebabkan oleh virus, jamur, protozoa atau bakteri. Perjalanan infeksi semakin
progresif dan mendorong kearah AIDS, setelah menjadi AIDS pasien jarang bertahan
hidup lebih dari 2 tahun tanpa intervensi terapi.
Gambar 2.2 Grafik Jumlah Kasus Baru AIDS sampai tahun 2014.
Pemetaan epidemi HIV di Indonesia dibagi menjadi lima kategori, yaitu<90 kasus,
90-206 kasus, 207-323 kasus, 324-440 kasus, dan >440 kasus.Berdasarkan gambar di
atas, sebanyak 15 provinsi di Indonesia memiliki jumlah kasus HIV > 440, meliputi
seluruh provinsi di Pulau Jawa, Bali dan Pulau Papua serta beberapa provinsi di
Sumatera (Sumatera Utara dan Riau), Kalimantan (Kalimantan Barat dan Kalimantan
Timur), dan satu provinsi di Sulawesi yaitu Sulawesi Selatan. Jumlah kasus HIV di
lima belas provinsi tersebut menyumbang hampir 90% dari seluruh jumlah kasus HIV di
Indonesia. Provinsi dengan jumlah HIV tertinggi yaitu DKI Jakarta (38.464), Jawa Timur
(24.104), dan Jawa Barat(17.075), Bali (1.824). Sebanyak empat provinsi memiliki
jumlah kasus HIV kurang dari 90 kasus yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat, Aceh, dan
Maluku Utara.
Bedasarkan data WHO populasi terbanyak pada daerah perkotaan. Angka kejadian
kasus AIDS atau AIDS Case Rate adalah jumlah kasus AIDS per 100.000 penduduk
dalam kurun waktu tertentu. AIDS Case Rate di Indonesia yang tertinggi adalah Jawa
Timur ( 13.043), Provinsi Papua (12.117 kasus), diikuti DKI Jakarta (8.007kasus),Bali
(4.813 kasus), dan Jawa Tengah (5.042 kasus). Pada provinsi Papua dan Papuan Barat,
terutama disebabkan oleh hubungan seksual yang tidak aman terutama pada rentang usia
antara 15-49 tahun.
Berdasarkan jenis kelamin, persentase kasus baru AIDS tahun 2015 pada kelompok
laki-laki 1,75 kali lebih besar dibandingkan pada kelompok perempuan Penderita AIDS
pada laki-laki sebesar 54% dan pada perempuan sebesar 31%. Sebesar 4% penderita
AIDS tidak diketahui jenis kelaminnya. Beberapa kasus baru AIDS dari Provinsi DKI
Jakarta dan Papua Barat tidak dilaporkan jenis kelaminnya.Pada penelitian berdasarkan
jenis kelamin memiliki pola yang hampir sama dalam 7 tahun terakhir.
Gambar
Gambaran kasus baru AIDS menurut kelompok umur menunjukkan bahwa Infeksi
HIV terbanyak ditemukan pada kelompok usia produktif 25-49 tahun pada 5 tahun
terakhir. Usia muda merupakan populasi dengan faktor resiko yang tinggi. Usia dewasa
muda yaitu pada usia 20-29 tahun sebesar 32% pada populasi yang terinfeksi HIV , 30-
39 tahun sebesar 29,4%, dan 40-49 tahun sebesar 11,8 %. Kelompok umur tersebut
masuk ke dalam kelompok usia produktif yang aktif secara seksual dan termasuk
kelompok umur yang menggunakan NAPZA suntik. Kelompok usia muda yang sedikit
berdasarkan tidak lazimnya seks sebelum pernikahan yang dilarang adat istiadat di
Indonesia. Berdasarkan data Behaviour Surveillance Surveys (BSS) pada 2004-2005
sebanyak 1% pelajar di Jakarta dan Surabaya memakai narkoba suntik, 23% pelajar di
Jakarta dan 9% pelajar di Surabaya pernah mencoba menggunakan narkoba suntik
dengan jaarum suntik bergantian, sehingga meningkatkan angka penularan HIV.
Sebanyak 40% pengguna narkoba suntik pada usia 15-24 tahun. Pada kota Jakarta dan
Surabayadidapati pekerja seks komersial dengan usia muda dibanding kota lain.
Gambar 2.5 Diagram Persentase Kasus Baru AIDS Menurut Kelompok
Umur Tahun 2015
Pasangan yang multipel, hubungan seksual yang terlalu sering, kebutuhan kondom,
rendahnya angka penggunaan kondom secara bersamaan meningkatkan resiko transmisi
dari HIV tidak hanya populasi beresiko, tetapi juga pada tetapijuga wanita sebagia
partner seksual atau pekerja seks komersial atau pengguna narkoba. Bersamaan dengan
peningkatan angka penularan melalui seks bebas maka dilakukan penyuluhan tentang
perilaku seks sehat dengan menggunakan kondom, tetapi terhambat oleh pandangan
agama tertentu pada daerah epidemi.Penyakit AIDS dilaporkan bersamaan dengan
penyakit penyerta. Pada tahun 2015 penyakit tuberkulosis, diikkuti kandidiasis dan diare
merupakan penyakit penyerta AIDS tertinggi masing-masing sebesar 275 kasus, 191
kasus, dan 187 kasus.
Menurut jenis pekerjaan pada tahun 2015, penderita AIDS kumulatif di Indonesia
paling banyak yang diketahui berasal dari kelompok ibu rumah tangga (sebesar 9.096
orang) diikui tenaga non-profesional (8.267 orang), dan wiraswasta (8.037 kasus).
Sementara sebanyak 21.434 orang tidak diketahui jenis pekerjaannya.
Gambar 2.7 Diagram Jumlah Kumulatif AIDS yang Dilaporkan
Menurut Jenis Pekerjaan.
Angka kematian atauCase Fatality Rate (CFR) adalah jumlah kematian (dalam
persen) dibandingkan jumlah kasus dalam suatu penyakit tertentu. CFR AIDS di
Indonesia pada tahun 2001 menunjukan penurunan yang signifikan kemudian naik
kembali sampai tahun 2004, selanjutnya sampai tahun 2015menunjukkan kecenderungan
menurun. Pada tahun 2015 CFR AIDS di Indonesia sebesar 0,67%. Sebanyak 22.000
orang meninggal disebabkan oleh tuberkulosis.
Diagnosis HIV melalui beberapa test. Berdasarkan data geografis WHO tahun
2015 di Indonesia menggunakan 3-rapid test algorithm yang diprioritaskan pada
populasi yang memiliki faktor resiko, wanita hamil dan pasien yang telah memiliki
simptom. Tetapi hanya 6% dari wanita hamil di Indonesia yang teah melakukan tes HIV.
Pada tahun 2014 sebanyak 14.000 wanita hamil di Indonesia terinfeksi HIV dengan
<10% dari populasi tersebut sudah mendapat ARV sebagai pencegahan/Prevention
Mother to Children Transmission (PMTCT). Sementara untuk tes viral load di
rekomendasikan 6 bulan dan tiap tahun setelah diagnosis. Di Indonesia fasilitas
pelayanan kesehatan pelaporan Voluntary Counseling and Testing(VCT) meningkat 4
kali dari 156 di 27 provinsi pada tahun 2009 menjadi 500 di 33 provinsi pada tahun 2011.
Jumlah Orang dengan HIV AID (ODHA) yang masih menerima ARV sampai dengan
bulan September 2014 adalah 60.263 orang (sebesar 31% kasus HIV yang telah
terdiagnosis). Pemakain rejimennya adalah 96,68% (58.262 orang) menggunakan lini 1
dan 3,32% (2.001 orang) menggunakan lini 2.
Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTIs
(nucleoside reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTIs (non-
nucleosidereverse transcriptase inhibitors), misalnya zidovudin diberikan
bersamalamivudin dan nevirapin.2 NRTIs dan PIs (protease inhibitor) yang
diperkuatritonavir merupakan lini ke dua, sedangkan lini ketiga adalah gabungan
antara integrase inhibitor, generasi ke dua dari NNRTIs dan PIs. Pasien HIV/AIDS
yang memulai terapi dengan ARV, data diri lengkap mereka akan dimasukkan ke
dalam rekam medis dan register terapi ARV. Pasien datang ke klinik VCT tiap bulan
sekali dengan waktu yang sudah ditetapkan yang tertera pada rekam medis dan
diberikan persediaan obat ARV untuk persediaan bulan selanjutnya.Hasil tatalaksana
pada pasien HIV/AIDS dapat diklasifikasikan menjadi terapi ARV yang terkontrol,
berhenti terapi, rujuk keluar, meninggal dunia, lost followup, dan tidak diketahui
(Kemenkes, 2011).
Hasil pemberian terapi ARV secara signifikan memberikan hasil yang baik
bagipasien HIV/AIDS.Pemberian terapi ARV selama infeksi HIV akut memberikan
efek yang baik pada pasien seperti memperpendek durasi simptomatik infeksi,
mengurangi sel yang terinfeksi, menyediakan cadangan respon imun yang spesifik
dan menurunkan setpoint virus dalam jangka waktu yang lama.Beberapa studi
mengatakan bahwa terapi pada infeksi HIV akut dapat menurunkan viral load dan
meningkatkan respon spesifik sel T helper (Kemenkes, 2011).
Secara umum kasus infeksi HIV dan AIDS di kabupaten Sragen meningkat sejak
tahun 2000. Dari data tersebut terlihat bahwa kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sragen
cenderung meningkat dalam 6 tahun terakhir dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Angka tertinggi untuk kasus HIV terjadi pada tahun 2016 yaitu sebanyak 99
kasus, disusul pada tahun 2015 sebanyak 53 kasus, dan tahun 2014 sebanyak 40 kasus.
Sedangkan 3 kasus tertinggi untuk kasus AIDS didapatkan pada tahun 2015 sebanyak
120 kasus, disusul tahun 2017 sebanyak 65 kasus, dan tahun 2016 sebanyak 64 kasus.
Namun, angka kematian pada penderita HIV/AIDS meningkat pada tahun 2017 sejumlah
13 orang.
Menurut Data DKK Sragen tahun 2017 di atas jumlah penderita HIV/ AIDS
terbanyak pada kisaran usia 25 49 tahun. Sedangkan antara penderita laki laki dan
perempuan pada rentang usia tersebut lebih banyak perempuan. Jumlah penderita laki-laki
dan perempuan untuk kelompok usia 25 49 tahun masing-masing secara berurutan
adalah 21 orang dan 49 orang. Kemungkinan hal ini disebabkan karena wanita lebih sering
disasar untuk melakukan skrining HIV/AIDS, misalnya pada ibu hamil trimester satu.
Sedangkan laki-laki lebih banyak yang merantau sehingga sulit untuk melakukan skrining
di wilayah tempat tinggalnya.
TAHUN 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 >60 JUMLAH
2000 1 1
2001 1 1 2
2002 0
2003 0
2004 0
2005 1 1 2 4
2006 1 1 2
2007 1 2 1 4
2008 1 1 1 1 4
2009 2 1 3 6
2010 1 2 1 1 11 16
2011 1 0 4 9 3 3 2 5 27
2012 1 1 1 3 10 8 4 4 32
2013 3 1 9 10 13 9 9 2 2 58
2014 3 1 3 6 13 16 21 16 9 3 4 5 100
2015 3 2 13 21 25 27 27 18 10 10 17 173
2016 4 0 0 0 10 16 21 33 20 21 16 10 12 163
2017 2 1 0 2 5 8 10 16 15 12 9 3 4 87
% 2.36 0.59 0.00 0.74 5.60 12.08 15.91 18.56 16.35 11.05 6.63 4.27 3.24 100.00
TAHUN Heteroseksual Homoseksual IDU Transfusi Perinatal Jumlah
2000 1 1
2001 2 2
2002 0
2003 0
2004 0 0
2005 4 4
2006 2 2
2007 4 4
2008 4 4
2009 6 6
2010 7 9 16
2011 26 1 27
2012 29 1 2 32
2013 53 3 1 1 58
2014 95 1 4 100
2015 166 5 2 173
2016 158 1 4 163
2017 84 3 87
JUMLAH 641 11 10 0 17 679
% 94.40 1.62 1.47 0.00 2.50 100.00
Tabel di atas menunjukkan penderita HIV/AIDS merupakan heteroseksual (94,40% dari total
seluruh penderita yang didata sejak tahun 2000). Kemungkinan hal ini disebabkan oleh
beberapa penderita mengaku sebagai heteroseksual karena malu, homoseksual masih menjadi
hal yang tabu di masyarakat sehingga mereka tidak mau menyebutkan orientasi seksualnya.
N t'
TAHU PS Wrs P.us Bur M IR So TNI/PO Kr Pet Tdk Pramu T Ana Lai
PNS ap dike Jumlah
N K wt aha uh hs T pir LRI yw ani bkrj gari KI k n2
i th
2000 1 1
2001 2 2
2002 0
2003 0
2004 0
2005 1 1 2 4
2006 2 2
2007 2 0 1 1 4
2008 1 1 2 4
2009 1 1 4 . 6
2010 3 4 1 8 16
2011 6 3 1 5 2 2 6 2 27
2012 19 1 6 1 2 2 1 32
2013 13 26 10 1 1 3 3 1 58
2014 22 39 1 18 1 1 6 1 1 5 5 100
2015 13 49 20 44 4 2 1 3 9 2 2 2 22 173
2016 21 30 20 42 6 4 19 11 2 1 4 3 163
2017 32 5 7 2 1 2 2 36 87
JUML 14
AH 70 203 0 59 2 4 15 10 2 32 40 13 37 0 0 4 14 35 679
10. 29. 8.6 0. 21. 2.2 4.7 5.8 1. 0.5 5.1
% 31 90 0.00 9 29 21 1 1.47 0.29 1 9 91 5.45 0.00 0.00 9 2.06 5 100
Tabel di atas menunjukkan jumlah kasus terbanyak terjadi pada wiraswasta dan ibu rumah tangga. Kemungkinan mereka adalah wanita yang tertular dari suaminya yang beraktivitas
di luar rumah. Mungkin juga wiraswasta dan ibu rumah tangga merupakan pekerjaan yang diaku-aku oleh penderita karena malu menyebutkan pekerjaan sesungguhnya (misalnya
seorang PSK mengaku sebagai wiraswasta ketika ditanya apa pekerjaannya)
C. Jumlah Kematian Penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Sragen
Tabel 3.4 Jumlah Kasus HIV/AIDS yang meninggal Dunia
Sumber :
DKK, 2017
30
BAB IV
PEMBAHASAN
31
Pola penularan HIV/AIDS berdasarkan faktor risiko tidak mengalami
perubahan dalam lima tahun terakhir (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan faktor
risiko, infeksi HIV/AIDS di Kabupaten Sragen dominan pada heteroseksual
kemudian diikuti oleh perinatal, homoseksual dan IDU. Karena cara penularan
terbanyak adalah melalui heteroseksual hal ini dapat berdampak terjadinya
penularan pada perempuan sehingga perempuan menjadi kelompok yang paling
rentan tertular HIV dari pasangan atau suaminya.
Proporsi HIV/AIDS berdasarkan umur di Kabupaten Sragen, terbanyak
dilaporkan pada umur 35-39 tahun kemudian disusul oleh kelompok dengan umur
30-34 tahun, 25-29 tahun, 20-24 tahun, 0-4 tahun, 15-19 tahun dan 5-9 tahun.
Seagian besar kasus HIV/AIDS terjadi pada kelompok usia produktif yaitu pada
usia 20-34 tahun. Berdasarkan data nasional,
pola penularan HIV berdasarkan kelompok umur dalam 5 tahun terakhir tidak
banyak berubah. Infeksi HIV paling banyak terjadi pada kelompok usia produktif
25-49 tahun yaitu sebanyak 16.421 kasus, diikuti kelompok usia 20-24 tahun
dengan 3.587 kasus. Kejadian kasus AIDS di Indonesia berdasarkan kelompok
umur memiliki pola yang jelas. Kasus AIDS yang dilaporkan sejak tahun 1987
sampai September 2014 terbanyak pada kelompok usia 20-29 tahun (32,9%),
diikuti kelompok usia 30- 39 tahun (28,5%) dan 40-49 tahun (10,7%) (Kemenkes
RI, 2014). Usia produktif dan seksual aktif memungkinkan seseorang dapat
menularkan HIV/AIDS secara lebih mudah melalui hubungan seksual.
Berdasarkan jenis pekerjaan, penderita HIV/AIDS di Kabupaten Sragen
didominasi oleh wiraswasta sebanyak 29,90 % dan ibu rumah tangga sebanyak
21,21 %. Hal ini kemungkinan pada kelompok wiraswasta terjadi karena
mobilisasi penduduk. Mobilitas dapat membuat seseorang masuk ke dalam situasi
yang berisiko tinggi. Dikarenakan jauh dari keluarga dan masyarakat mereka
dimana norma-norma seksual dan sosial diterapkan dan dipatuhi pada tingkatan
yang berbeda, kini mereka harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru (Hugo,
2001). Kondisi ini seperti pada hasil penelitian komprehensif mengenai
perpindahan penduduk dengan HIV/AIDS di Kenya dengan menguji hipotesa
yang menyatakan bahwa bila dibandingkan dengan mereka yang bukan
32
pendatang, para pendatang lakilaki dan perempuan di daerah perkotaan dan
pedesaan nampaknya lebih cenderung terlihat dalam kegiatan-kegiatan seksual
yang dapat meningkatkan risiko mereka terjangkit HIV dan akhirnya berujung
pada AIDS (Theodore, 2005; Martha, 2007; Susan, 2006). Pada ibu rumah tangga,
kasus HIV/AIDS terjadi biasanya karena tertular oleh suaminya.
33
Pencegahan Penularan Ibu ke Anak (PPIA) merupakan salah satu program
penanggulangan HIV AIDS yang telah dilaksanakan DKK Sragen. Penularan HIV dari
Ibu ke Anak dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan saat
menyusui, intervensinya dilakukan melalui 4 (empat) prong/kegiatan, yakni : a.
pencegahan penularan HIV pada perempuan usia produktif; b. pencegahan
kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif; c. pencegahan penularan
HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandung; dan d. pemberian
dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta anak
dan keluarganya. Sebagai salah satu faktor resiko penularan, PPIA telah rutin
dilakukan berupa penyuluhan dan deteksi dini HIV AIDS di kelas ibu hamil. PPIA
dapat dilakukan bersamaan dengan kunjungan ibu hamil untuk Ante Natal Care
(ANC) dan penyuluhan calon pengantin yang banyak dilakukan di desa desa di
Kabupaten Sragen. Hal ini akan lebih mengefisienkan waktu dan dana yang
diperlukan.
Partisipasi masyarakat merupakan aspek yang potensial untuk menunjang
penanggulangan HIV/AIDS, Oleh karena itu, sangat penting pemerintah
melakukan tindakan guna meningkatkan, memperbaiki dan partisipasi kesadaran
masyarakat. Tindakan yang dapat dilakukan berupa penyebaran informasi,
membuat program yang berhubungan dengan penanggulangan HIV/AIDS,
peningkatan kapasitas bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat (Misalnya :
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat yang ada di tingkat kelurahan) untuk
memberikan informasi yang tepat tentang HIV/AIDS pada warga. Kegiatan
seperti ini perlu dilakukan guna mencegah infeksi baru pada masyarakat luas serta
menurunkan stigma dan diskriminasi pada ODHA.
Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen memanfaatkan peran Kelompok Dukungan
Sebaya (KDS) dalam menanggulangi HIV AIDS. DKK Sragen akan memfasilitasi
pertemuan rutin antara KDS dengan ODHA setiap bulannya yang bertujuang sebagai
wadah untuk saling membantu dan bertukar pikiran. Layanan kesehatan berbasis
masyarakat lebih spesifik pada kegiatan kelompok dukungan sebaya atau
pendamping ODHA terbukti efektif untuk memperbaiki kualitas bagi ODHA.
Terlepas dari berbagai persoalan dalam memaknai pendampingan terhadap ODHA
yang terkadang justru menjadikan ketergantungan bagi ODHA dalam mengakses
34
layanan kesehatan, untuk melakukan perubahan sosial dibutuhkan keterlibatan
aktif penggerak masyarakat yang dapat memobilisasi masyarakat dan komunitas.
Peran penggerak masyarakat adalah (1) menjembatani kebutuhan masyarakat
dengan fasillitas layanan kesehatan, (2) melakukan penguatan (pengetahuan,
kapasitas) bagi kader kader untuk memberdayakan masyarakat di lingkungan
sekitarnya (terutama kelompok yang termarjinalkan) dan (3) melakukan
pengorganisasian kader masyarakat (terutama kelompok yang termarjinalkan)
untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat setempat.
Pelatihan para pendamping ODHA juga merupakan salah satu upaya DKK Sragen
untuk meningkatkan upaya pengendalian HIV AIDS. Para pendamping orang dengan
HIV AIDS (ODHA) diharapkan tak hanya mempunyai pengetahuan tapi juga
keterampilan dalam urusan mendampingiPeranan pendamping sangat penting
terutama untuk mengingatkan para ODHA agar tdk lupa minum obat dan
mengajarkan bagaimana cara hidup sehat terutama dalam berhubungan seks.
Kegiatan pelatihan ini bertujuan meningkatkan kapasitas pendamping sebaya
dalam mendampingi orang terinfeksi HIV. Tujuan lainnya adalah meningkatkan
keterampilan pendamping sebaya dalam mendampingi orang terinfeksi HIV.
Mereka juga diharapkan meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
sebagai pendamping sebaya dalam mendorong agar orang terinfeksi tidak putus
obat. Pelatihan yang dilakukan dapat bekerja sama dengan institusi ataupun
universitas yang dapat menyediakan jasa petugas pelayanan kesehatan sehingga
mendapatkan sumber daya manusia yang mencukupi.
Pelatihan yang dilakukan juga mencakup pelatihan tentang pemulasaraan
jenazah dengan HIV AIDS. Kasus penolakan terhadap jenazah orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) masih sering terjadi di masyarakat. Minimnya pengetahuan
masyarakat tentang HIV AIDS membuat mereka tidak berani melakukan proses
pemulasaran jenazah ODHA karena khawatir tertular penyakit tersebut. Maka dari
itu DKK Sragen memiliki program untuk melakukan pelatihan ke petugas
puskesmas, petugas rumah sakit, KDS maupun kader kesehatan di setiap desa di
Kabupaten Sragen untuk melakukan pemulasaraan jenazah yang mengidap HIV
AIDS. Terdapat penekanan terhadap pentingnya alat pelindung diri (APD) dalam
pemulasaraan jenazah ODHA. APD yang harus digunakan meliputi sarung tangan
35
(handscoone), celemek plastik (aprone), penutup kepala (hairnet), penutup hidung
(masker), kacamata dan sepatu bot. Selain pemenuhan APD bagi pemulasaraan
jenazah, prinsip pemulasaran jenazah ODHA yang perlu diperhatikan adalah
pengelolaan air limbah saat memandikan jenazah yang harus dilokalisir
sedemikian rupa. Perawatan jenazah penderita penyakit menular dilaksanakan
dengan selalu menerapkan kewaspadaan universal tanpa mengakibatkan tradisi
budaya dan agama yang dianut keluarganya. Setiap petugas kesehatan terutama
perawat harus dapat menasehati keluarga jenazah dan mengambil tindakan yang
sesuai agar penanganan jenazah tidak menambah risiko penularan penyakit seperti
halnya hepatitis-B, AIDS, kolera dsb. Tradisi yang berkaitan dengan perlakuan
terhadap jenazah tersebut dapat diizinkan dengan memperhatikan hal yang telah
disebut di atas, seperti misalnya mencium jenazah sebagai bagian dari upacara
penguburan.
Pentingnya APD dalam penanggulangan HIV AIDS juga mendapatkan perhatian
khusus dari DKK Sragen dimana terdapat penyediaan APD minimal satu buah di setiap
kecamatannya. Peralatan yang dirancang untuk melindungi pekerja dari kecelakaan atau
penyakit yang serius di tempat kerja, akibat kontak dengan potensi bahaya kimia,
radiologik, fisik, elektrik, mekanik atau potensi bahaya lainnya di tempat kerja. Selain
penutup muka, kacamata pengaman, topi keras dan sepatu keselamatan, APD mencakup
berbagai peralatan dan pakaian seperti kaca mata, baju pelindung, sarung tangan, rompi,
tutup telinga dan respirator.
Tingginya angka HIV AIDS di Kabupaten Sragen mendorong diadakannya kerja sama
lintas sektoral. DKK Sragen telah melakukan kerja sama dengan Dinas Pendidikan
Kabupaten Sragen untuk memasukkan pendidikan seks ke kurikulum Sekolah Menengah
Atas dimana salah satu implementasi nyatanya berupa penyuluhan pendidikan seks saat
Masa Orientasi Siswa (MOS). Kerja sama lainnya yang telah dilakukan adalah kerjasama
antara DKK Sragen dengan Komisi Penanggulangan AIDS yang diimplementasikan dalam
berbagai kegiatan yang ditujukan untuk perkembangan ODHA ke arah yang lebih baik.
Salah satu contoh nyata dari kerja sama ini adalah pertemuan rutin ODHA dan KDS
seperti yang telah dijelaskan di paragraf sebelumnya. Kerja sama antar sektor berguna
untuk memberi informasi tentang epidemi HIV/AIDS, menumbuhkan kepedulian lintas
sektor terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS, dan meningkatkan kerja sama lintas
36
sektor dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Tanpa kerja sama lintas sektor, upaya
penanggulangan HIV/AIDS tidak akan berhasil.
DKK Sragen juga telah memberikan ARV secara gratis kepada penderita HIV
dengan indikasi tertentu. ARV (Antiretroviral) adalah pengobatan antivirus yang
diberikan pada orang dengan HIV positif. Obat-obatan ini bukan untuk
menyembuhkan HIV tapi berfungsi untuk menekan aktivitas virus seminimal
mungkin. Hingga saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan HIV. Namun
diharapkan dengan pengobatan ARV / ART, ODHA (orang dengan hiv aids) akan
bisa hidup normal seperti orang lain dan memperpanjang usia harapan hidup. Lini
pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTIs (nucleoside
reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTIs (non-nucleosidereverse
transcriptase inhibitors), misalnya zidovudin diberikan bersamalamivudin dan
nevirapin.2 NRTIs dan PIs (protease inhibitor) yang diperkuatritonavir merupakan
lini ke dua, sedangkan lini ketiga adalah gabungan antara integrase inhibitor,
generasi ke dua dari NNRTIs dan PIs. Pasien HIV/AIDS yang memulai terapi
dengan ARV, data diri lengkap mereka akan dimasukkan ke dalam rekam medis
dan register terapi ARV.
Pemulangan penderita HIV AIDS ke daerah asal sesuai dengan KTP juga merupakan
salah satu sarana penanggulangan HIV AIDS yang dilakukan oleh DKK Sragen. Hal ini
merupakan salah satu alternatif pilihan ketika individu yang bersangkutan tidak dapat
ditanggulangi dengan cara yang sudah disebutkan di atas dengan harapan individu yang
bersangkutan mendapatkan penanggulangan yang layak dan sesuai di daerah asalnya.
37
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
HIV-AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
human immunodeficiency virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan
tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan
ketahanan tubuh sehingga sangat mudah terinfeksi berbagai macam penyakit
lain. Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sragen cenderung meningkat dalam 6
tahun terakhir dengan angka tertinggi untuk kasus HIV terjadi pada tahun
2016 yaitu sebanyak 99 kasus.
Tingginya angka kasus HIV/ AIDS di Kabupaten Sragen disebabkan oleh
berbagai macam faktor yang tersebar di bidang politik, ekonomi, dan sosial
budaya masyarakat setempat.Seks masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu,
sehingga akses terbatas terhadap informasi dan pelayanan kesehatan seksual
dan reproduksi masih kurang.Selain itu, ketakutan, stigma dan diskriminasi
38
terhadap ODHA (orang yang hidup dengan HIV/AIDS) masih menjadi
hambatan utama.
Pencegahan penularan HIV telah dijelaskan dalam Permenkes Nomor 21
tahun 2013 tentang penangguangan HIV-AIDS. Pencegahan penularan HIV
dapat dicapai secara efektif dengan cara menerapkan pola hidup aman dan
tidak berisiko. Pencegahan penularan HIV dibagi menjadi pencegahan
penularan HIV melalui hubungan seksual, hubungan non seksual, serta dari
ibu ke anaknya(PPIA).Selain itu juga dengan program penggunaan
Antiretroviral (ARV) untuk pengobatan dan pencegahan atau dikenal dengan
Strategic Use of ARV (SUFA).Penanganan pada penderita HIV/AIDS di
Indonesia berpedoman pada tata Laksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral(Kemenkes, 2011), meliputi perawatan (care), dukungan
(support), dan pengobatan (treatment).
B. Saran
1. Mengadakan kerja sama melalui pengajuan CSR kepada perusahaan-
perusahaan untuk pendanaan program penanggulangan HiV dan AIDS di
Kabupaten Sragen.
2. Memberikan dukungan psikososial terhadap ODHA dengan menbentuk
"Rumah Bersama" yang didalamnya berisi pembelajaran/edukasi sekaligus
praktik untuk para ODHA terkait menjaga diri agar meminimalisir
kemungkinan terjangkitnya infeksi oportunistik, meningkatkan motivasi
minum obat karena disediakan satu waktu yang bersama-sama minum obat
(misalnya setelah makan bersama), memberdayakan ODHA melalui
penggalian bakat-minat dan keterampilan sehingga masyarakat tidak
memandang para ODHA sebagai 'sampah masyarakat'.
3. Mengubah stigma masyarakat, bahwa ODHA adalah orang-orang yang
'nakal' sebelumnya sehingga tidak perlu diperhatikan, yaitu melalui
persebarluasan testimoni para ODHA mengenai cerita penyakitnya dan
keinginan mereka untuk sembuh. Dengan ini, diharapkan masyarakat dapat
mengubah pandangan mereka menjadi lebih peduli terhadap sesama.
39
4. Mengadakan kerja sama dengan pihak luar seperti kalangan tokoh
masyarakat, artis, dan pengusaha untuk membentuk suatu program amal
bagi ODHA dengan kegiatan-kegiatan menarik di tengah masyarakat serta
disisipi talkshow/penyampaian pesan-pesan agar mengubah stigma
masyarakat.
5. Membentuk klinik Rumatan Metadon untuk menjaring kasus dari pemakai
jarum suntik dan menekan risiko terjadinya HIV dan AIDS akibat
pemakaian jarum suntik bersama karena narkoba.
6. Membentuk klinik IMS untuk menjaring kasus penyakit menular seksual.
40
DAFTAR PUSTAKA
41
Syamsul, R., 2015. Peran Dinas Kesehatan dalam Penanggulangan HIV/ AIDS
di Kabupaten Penajam Paser Utara. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 3(2),
2015: 812- 822
42