Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


HIV-AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut
menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah
terinfeksi berbagai macam penyakit lain. HIV merupakan penyebab penyakit AIDS
(Acquired Immune deficiency) dengan cara menyerang sel darah putih sehingga dapat
merusak sistem kekebalan tubuh manusia (Purwaningsih dkk tahun 2015). AIDS
merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang menyebabkan turunnya kekebalan
tubuh.Sebelum memasuki fase AIDS(acquired immunodeficiency syndrome), penderita
terlebih dulu dinyatakan sebagai HIV positif (Kemenkes RI, 2014).
Perkembangan HIV/AIDS berdasarkan data WHO pada tahun2007-2009 dapat
diketahui bahwa penyakit tersebut naik turun.Kasus HIV-AIDS merupakan fenomena
gunung es yaitu jumlah orang yang dilaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan
yang sebenarnya, hal ini terlihat dari jumlah kasus AIDS yang dilaporkan tiap tahunnya
sangat meningkat secara signifikan. Berdasarkan data United Nations Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS) WHO tahun 2016, perkiraan jumlah pengidap HIV pada semua
kelompok umur di dunia pada tahun 2010 sebanyak 33,3 juta dan meningkat menjadi
36,7 juta pada tahun 2015.Jumlah pengidap HIV baru pada tahun 2010 dilaporkan
sebanyak 2,2 juta penderita dan tahun 2015 sebanyak 2,1 penderita. Di Asia perkiraan
jumlah penderita HIV pada semua kelompok umur sebanyak 4,7 juta penderita pada
tahun 2010, dan tahun 2015 sebanyak 5,1 juta penderita. Jumlah penderita baru HIV di
Asia pada tahun 2010 sebanyak 1,1 juta penderita dan 960.000 penderita pada tahun
2015 (UNAIDS WHO, 2016). Setiap hari di dunia diperkirakan sekitar 2.000 anak
dibawah usia 15 tahun tertular HIV, dan sekitar 1.400 anak meninggal akibat HIV, serta
lebih dari 6000 orang usia produktif terinfeksi HIV (Purwaningsih, Mitsutarno &
Imamah 2015).
Epidemi AIDS di Indonesia sudah berlangsung hampir 20 tahun namun
diperkirakan masih akan berlangsung terus dan memberikan dampak yang tidak mudah
untuk diatasi (Nurbani, 2008). Hasil Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014 menyatakan
peningkatan data jumlah kasus HIV positif dari tahun 2005 sampai tahun 2014. Tahun
2005, jumlah kasus baru HIV postif adalah 859 kasus dan jumlah kasus baru HIV positif
pada tahun 2012, 2013 dan 2014 berturut-turut adalah 21.511, 29.039 dan 32.711 kasus.
Pada tahun 2015 penemuan kasus baru HIV menurun menjadi 30. 935. Pada tahun 2014
dan 2015 terjadi penurunan kasus AIDSmenjadi sebesar 7.875 kasus pada tahun 2014
dan 6.081 kasus pada tahun 2015.Diperkirakan hal tersebut terjadi karena jumlah
pelaporan kasus AIDS dari daerah masihrendah.Namun demikian, tren penemuan kasus
AIDS yang menurun tersebut sejalandengan penurunan penemuan kasus HIV. Secara
kumulatif, kasus AIDSsampai dengan tahun 2015 sebesar 77.112 kasus (Profil Kesehatan
Indonesia, 2015).
Jawa tengah merupakan provinsi penyumbang terbanyak kasus AIDS kelima
setelah Jawa Timur, papua, DKI Jakarta, dan Bali sampai dengan bulan Desember tahun
2016. Kasus AIDS di Jawa Tengah sebanyak 6.444 kasus, sedangkan kasus HIV
mencapai 16.867 kasus (Kemenkes, 2016).Jumlah kematian AIDS tahun 2015 sebanyak
172 kasus, lebih banyak dibandingkan kematian tahun 2014 sebanyak 163 kasus, dengan
kasuskematian AIDS tertinggi pada umur 25-49 tahun (Dinkes Jateng, 2015). Sragen
merupakan salah satu kabupaten di Jawa tengah yang menyumbang angka kesakitan HIV
yaitu sebanyak 20 orang pada tahun 2016.
Sesuai dengan komitmen global, Indonesia menetapkan target pada tahun 2030
penyakit HIV/AIDS sudah tidak lagi menjadi masalah kesehatan di tanah air. Target
Kemenkes dalam Sustainable Development Goals (SDGs) dalam hal pengendalian HIV
AIDS adalah pada tahun 2019 presentase angka kasus HIV yang diobati sebesar 55%.
Pada tahun 2013 sebanyak pasien 39.418 pasien AIDS dan berhasil menurunkan
kematian sampai 1,6 % sedangkan pada tahun 2014 yang menerima ARV sebanyak
43.104 orang dan berhasil menurunkan angka kematian sampai 0,04%.
Pengendalian penyakit menular di masyarakat melibatkan semua aspek yang
meliputi promotif, preventif, kuratif serta rehabilitatif harus mendapatkan perhatian
secara proporsional dan digunakan secara terpadu di dalam sistem
pengendaliannya.Pengendalian HIV/AIDS merupakan salah satu bagian dari program
pengendalian dan pemberantasan penyakit menular yang ada di Puskesmas. Program ini
bertujuan untuk menurunkan jumlah kasus baru HIV/AIDS, angka kematian akibat
penyakit HIV/AIDS serta menurunkan stigma dan diskriminasi pada penderita
HIV/AIDS sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS.
Strategi dan kegiatan pengendalian HIV/AIDS di kabupaten Sragen masih belum
menunjukkan hasil yang maksimal hal ini kemungkinan dikarenakan oleh keterlambatan
dalam diagnosis, kurang tepatnya tatalaksana, maupun terjadinya komplikasi pada
berbagai sistem organ sehingga diperlukannya suatu inovasi dalam strategi dan kegiatan
pengendalian HIV/AIDS.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Sragen?
2. Bagaimana permasalahan pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Sragen?
3. Bagaimana upaya peningkatan pengandalian penyakit HIV/AIDS yang dapat dilakukan di
Kabupaten Sragen?

C. Tujuan
1. Untuk menganalisis pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Sragen.
2. Untuk mengetahui permasalahan pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten
Sragen.
3. Untuk mengetahui upaya peningkatan pengendalian penyakit HIV/AIDS yang dapat
dilakukandi Kabupaten Sragen

D. Manfaat
1. Dapat menganalisis pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Sragen.
2. Dapat mengetahui permasalahan pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten
Sragen
3. Dapat mengetahui upaya peningkatan pengendalian penyakit HIV/AIDS yang dapat
dilakukan di Kabupaten Sragen.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi HIV/AIDS
HIV-AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human
immunodeficiency virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh.Infeksi tersebut
menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah
untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain, sebelum memasuki fase AIDS penderita
terlebih dulu dinyatakan sebagai HIV positif (Kemenkes RI, 2014). HIV(Human
Immunodeficiency Virus), adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
sehingga tubuh rentan terhadap berbagai penyakit, seperti TB, TORCH dan lain-lain.
Virus menyebabkan AIDS(acquired immunodeficiency syndrome)dengan cara meyerang
sel darah putih yang bernama CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh
manusia. Gejala-gejala timbul tergantung dari infeksi opurtunistik yang menyertainya.
HIV adalah virus penyebab AIDS yang menyerang sel darah putih manusia yang
merupakan bagian terpenting dari sistem kekebalan tubuh manusia.AIDS ditandai
dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh khususnya menyerang limfosit T CD4
Limfosit T helper. Saat jumlah T helper turun hingga dibawah 200 sel/mm 3 darah atau
mulai munculinfeksi penyerta. AIDS merupakan tahapakhir dari infeksi HIV.AIDS
adalah suatu sindroma atau kumpulan tanda/gejala penyakit yang terjadiakibat
tertular/terinfeksi virus HIV yang merusak sistem kekebalan tubuh, bukan karena
diturunkan atau dibawa sejak lahir.AIDS adalah tahap akhir dari infeksi virus HIV ketika
sistem kekebalan tubuh telah sangant rusak, sehingga tidak dapat melawan infeksi ringan
sekalipun dan pada akhirnya menyebabkan kematian.

B. Diagnosis dan Penularan HIV/AIDS


Untuk mendiagnosis seseorang dengan HIV perlu dilakukan tes, sebelum dan
sesudah tes diagnosis HIV akan dilaksankan konseling. Pelaksanaan konseling HIV
telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehtan RI (Permenkes) Nomor 74 Tahun 2014
mengenai Pedoman Pelaksanaan Konseling dan tes HIV. Permenkes tersebut,
menyebutkan bahwa terdapat dua macam pendektan yang dilakukan untuk konseling
dan tes HIVyaitu:
1. Konseling dan tes HIV atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan (KTIP),
merupakan tes HIV dan konseling yang dilakukan kepada seorang untuk kepentingan
kesehatan dan pengobatan berdasarkan inisiatif dari pemberi pelayann kesehatan;
2. Konseling dan tes HIV Sukarela (KTS)/Voluntarry Counceling Test (VCT),
merupakan proses konseling sukarela dan tes HIV atas inisiatifindividu yang
bersangkutan.
Pelayanan konseling dan tes HIV harus dapat dilaksanakan di setiap fasilitas
pelayanan kesehatan. Pelaksaannya, tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah
disepkati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (inform consent,
confidentiality, counseling, correct test result dan connections to, care,treatment
and prevention services) (Kemenkes RI, 2014):
a. Informed Consent, adalah persetujuan akan suatu tindakanpemeriksaan
laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengempu setelah
mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh
petugas kesehatan tentangtindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien/klien tersebut.
b. Condentiality adalah semua isi informasi atau konseling antara kliendan
petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan
diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/klien tersebut.
c. Counseling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien bertujuanuntuk
memberikan informasi yang jela dan dapat dimengerti klien atau pasien.
Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk
membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan
pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Layanan
konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV-AIDS, konseling pra-
konseling dan tes pasca tes yang berkualitas baik.
d. Correct test result, hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harusmengikuti
standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus
dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh
tenaga kesehatan yang memeriksa.
e. Connections to, care, treatment and prevention services, pasien/klienharus
dihubungkan atau dirujuk kelayanan pencegahan, perawatan, dukungan dan
pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan
terpantau.

Permenkes RI no. 74 tahun 2014 menjelaskan terdapat dua metode yang dapat
dilakukan dalam tes HIV, yaitu tes cepat (Rapid test) dan ELISA.Tes cepat harus
dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh pabriknya.Hasil tes cepat dapat ditunggu
oleh pasien.Tes cepat dapat dilaksanakan diluar laboratorium, tidak memerlukan
peralatan khusus dan dapat dilaksanakan di fasilitas kesehatan primer oleh paramedik
terlatih.Tes cepat tidak dianjurkan untuk jumlah pasien yang banyak.Diagnosis adanya
infeksi dengan HIV dapat ditegakkan di laboratorium dengan ditemukannya antibodi
yang khusus terhadap virus tersebut.Pemeriksaan untuk menemukan adanya antibody
tersebut menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Imunosorbent Assay).Hasil tes
ELISA positif maka dilakukan pengulangan. Jika masih tetap positif maka selanjutnya
dikonfirmasi dengan test yang lebih spesifik yaitu metode Western Blott. Pemilihan
antara menggunakan tes cepat HIV atau tes ELISA harus mempertimbangkan faktor
tatanan tempat pelaksaan tes HIV, biaya dan ketersediaan perangkat tes, reagen dan
peralatan; pengambilan sampel, transportasi, SDM serta kesediaan pasien untuk kembali
mengambil hasil.
Infeksi HIV/AIDS merupakan penyakit infeksi yang menular melalui cairan tubuh yang
mengandung virus HIV, yaitu air mani (semen), cairan vagina/serviks, dan darah. Tindakan
penularannya dapat melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual,
jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah, dan dari ibu yang terinfeksi
HIV ke bayi yang dilahirkannya (transmisi maternal-fetal). Secara global, ditemukan bahwa
proses penularan melalui hubungan seksual menempati urutan pertama, yaitu 70-80%, disusul
pada penggunaan obat suntik dengan jarum suntik bersamaan 5-10%. Infeksi perinatal juga
memiliki presentase tinggi yaitu 5-10% dan penularan melalui transfusi darah 3-5%.Besarnya
resiko ditentukan dari paparan dan derajat viremia dari sumber infeksi.
Penularan melalui ASI dari ibu yang terinfeksi ke bayinya juga dapat terjadi, namun
dengan resiko yang lebih kecil karena jumlah virus yang sangat sedikit dalam ASI. Ada beberapa
faktor yang dapat meningkatkan resiko penularan melalui ASI, yaitu: level virus yang bermakna
dalam ASI , adanya mastitis, kadar limfosit T CD4 ibu yang rendah, dan defisiensi vitamin A pada
ibu. Di negara berkembang, pemberian ASI dari ibu yang terifeksi masih menjadi pro dan kontra
karena walaupun menjadi jalur penularan , ASI merupakan sumber nutrisi utama pada bayi di
usia awal kehidupan dan memberi faktor-faktor antibodi yang penting.
Menurut Kemenkes RI dalam Laporan Triwulan HIV/AIDS (2014), faktor resiko penularan
infeksi HIV yang tercatat selama tahun 1987-2013 di Indonesia adalah antara lain melalui
hubungan heteroseksual sebanyak 62,5%, penasun atau pengguna obat-obatan terlarang
dengan jarum suntik sebanyak 16,1%, penularan melalui perinatal sebanyak 2,7%, dan
penularan pada homoseksual sebanyak 2,4%. Data epidemiologi menunjukan bahwa Papua
merupakan daerah di Indonesia dengan angka kejadian AIDS paling tinggi, diikuti Jawa Timur,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara,
dan Banten.
Kecenderungan penularan infeksi HIV di seluruh Indonesia hampir sama, kecuali untuk
Papua dimana mayoritas di akibatkan karena hubungan seksual beresiko tanpa kondom yang
dilakukan kepada pasangan tetap maupun tidak tetap. Selain itu, terbatasnya penggunaan obat
antiretroviral baik untuk pengobatan maupun pencegahan transmisi dari ibu ke janin
menambah situasi penyebaran infeksi HIV sehingga memperburuk situasi epidemi HIV di
Indonesia.

C. Fase dan Gejala Infeksi HIV-AIDS


Mekanisme utama infeksi HIV dimulai setelah virus masuk kedalam tubuh
pejamu.Setelah masuk kedalam tubuh pejamu, HIV menyerang sel darah putih (limfosit
Th) yang merupakan sumber kekebalan tubuh untuk menangkal berbagai penyakit
infeksi. HIV yang masuk di limfosit Th, virus memaksa limfosit Th untuk
memperbanyak dirinya, sehingga akhirnya menyebabkan kematian limfosit Th,
kematian limfosit Th itu membuat daya tahan tubuh berkurang, sehingga tubuh mudah
terserang infeksi dari luar (baik virus lain, bakteri, jamur atau parasit). Kondisi ini
menyebabkan kematian pada oang dengan HIV-AIDS.Virus HIV selain menyerang
limfosit Th, juga memasuki sel tubuh yang lain, organ yang sering terkena adalah otak
dan susunan saraf lainnya.Virus HIV diliputi oleh selubung protein pembungkus yang
sifatnya toksik (racun) terhadap sel, khususnya sel otak serta susunan saraf pusat dan
tepi lainnya, sehingga terjadilah kematian sel otak (Hidayat, 2008).
Gejala klinis penderita AIDS sulit diidentifikasi karena simtom yang ditujukan
pada umumnya bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati seperti rasa lelah
dan lesu, berat badan menurun secara drastis, demam yang sering dan berkeringat
diwaktu malam, kurang nafsu makan, bercak-bercak putih di lidah dan didalam mulut,
pembengkakan leher, radang paru-paru, kanker kulit. Manifestasi klinik utama dari
penderita AIDS pada umunya ada tiga hal antara lain tumor, infeksi oportunistik dan
manifestasi neurologi. Perjalanan infeksi HIV dapat dijelaskan dalam tiga fase, yaitu
(Nasronudin, 2009):
1. Fase infeksi akut (Sindroma Retroviral Akut)

Fase ini ditandai oleh proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion)
dalam jumlah yang besar. Replikasi virus dalam jumlah yang besar akan memicu
timbulnya sindroma infeksi mononucleosis akut yakni antara lain: demam,
limfadenopati, bercak pada kulit, faringitis, malaise, dan mual muntah yang timbul
sekitar 3-6 minggu setelah infeksi. Fase ini selanjutnya akan terjadi penurunan
jumlah sel limfosit T-CD4 dan kemudian terjadi respon imun yang mengakibatkan
3
kenaikan jumlah limfosit T. jumlah limfosit T pada fase ini masih diatss 500 sel/mm
dan kemudian akan mengalami penurunan setelah enam minggu terinfeksi HIV.
2. Fase infeksi laten

Fase infeksi laten terjadi ketika respon imun sudah dapat megendalikan jumlah virus
dalam darah, sebagian virus masih menetap didalam tubuh meskipun jarang
ditemukan dalam plasma. Virus terakumulasi didalam kelenjar limfe terperangkap
didalam sel dendritic folikuler dan masih terus mengadakan replikasi, sehingga
penurunan limfosit T-CD4 terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya
sedikit.Fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200
3
sel/mm . Jumlah virus yang bereplikasi setelah fase primer akan bereplikasi lagi
hingga mencapai set point tertentu yang akan memprediksi onset waktu terjadinya
penyakit AIDS. Jumlah virus kurang dari 1.000 kopi/ml darah, penyakit AIDS
kemungkinan akan terjadi dengan periode laten lebih dari 10 tahun. Sedangkan jika
jumah virus kurang dari 200 kopi/ml darah, infeksi HIV tidak akan mengarah pada
penyakit AIDS. Pasien sebagian besar dengan jumlah virus lebih dari 100.000
kopi/ml darah mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4 yang lebih cepat dan
mengalami perkembangan menjadi penyakit AIDS dalam kurun waktu kurang dari
10 tahun. Fase ini pasien umunya belum menunjukkan gejala klinis atau asimtomatis
dan fase laten berlangusng sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13 tahun) setelah infeksi HIV.

3. Fase infeksi kronis

Selama fase ini, didalam kelenjar limfa terus terjadi replikasi virus yang diikuti
dengan kerusakan dan kematian sel dendritic folikuler serta sel limfosit T-
CD4.Fungsi kelenjar sebagai perangkat virus menurun atau bahkan hilang dan virus
dicurahkan ke dalam darah.Respon imun tidk mampu mengatasi jumlah virion yang
3
sangat besar. Jumlah sel limfosit T-CD4 menurun hingga dibawah 200 sel/mm ,
jumlah virus meningkat dengan cepat sedangkan respon imun semakin tertekan
sehingga pasien semakin rentan terhadap berbagai macam infeksi sekunder yang
dapat disebabkan oleh virus, jamur, protozoa atau bakteri. Perjalanan infeksi semakin
progresif dan mendorong kearah AIDS, setelah menjadi AIDS pasien jarang bertahan
hidup lebih dari 2 tahun tanpa intervensi terapi.

D. Epidemiologi HIV/AIDS di Indonesia


Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan September 2014, HIV-
AIDS tersebar di 381 (76%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia.
Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus HIV-AIDS adalah Provinsi Bali,
sedangkan yang terakhir melaporkan adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011.
Sementara secara kumulatif sejak 1 Januari 1987 sampai dengan 30 September 2014
telah terjadi kasus HIV sebanyak 150.296 dan kasus AIDS sebanyak 55.799. Dari bulan
Juli sampai dengan September 2014 jumlah infeksi HIV yang baru dilaporkan sebanyak
7.335 kasus. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49
tahun sebesar 69,1%, diikuti kelompok umur 20-24 tahun sebesar17,2%, dan kelompok
umur diatas 50 tahun sebesar 5,5%. Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah
1berbanding1. Persentase faktor risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks berisiko
pada heteroseksual sebesar 57%, LSL (Lelaki Seks Lelaki) sebesar 15%, dan penggunaan
jarum suntik tidak steril pada penasun (pengguna narkoba suntik) sebesar 4% Berbagai
upaya penanggulangan sudah dilakukan oleh Pemerintah bekerja sama dengan berbagai
lembaga di dalam negeri dan luar negeri. Sebelum memasuki fase AIDS, penderita
terlebih dulu dinyatakan sebagai HIV positif. Jumlah HIV positif yang ada di masyarakat
dapat diketahui melalui 3 metode, yaitu pada layanan Voluntary, Counseling, and
Testing (VCT), sero survey, dan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP).

Berdasarkan estimasi WHO sebanyak 660.000 orang di Indonesia terinfeksi HIV


pada tahun 2014 yang meningkat sebesar 43%. Merupakan orang dewasa ( 15 tahun)
sebesar 0,5 %., homoseks sebesar 8,5%, pengguna narkoba injeksi 36,4%, dan pekerja
seks komersial 9%. Pada tahun 1999 di Indonesia terdapat 635 kasus HIV dan 183 kasus
baru AIDS. Mulai tahun 2000-2005 terjadi peningkatan kasus HIV dan AIDS secara
signifikan di Indonesia.Pada Tahun 2015 terjadi penurunan yaitu menjadi 24.791 kasus
dengan jumlah kumulatif infeksi HIV sebanyak 184.929. Sementarajumlah AIDS yang
dilaporkan tahun 2015 adalah 3127 dengan Jumlah kumulatif AIDS sebanyak 65.197
orang. dijumpai Setelah 3 tahun berturut-turut (2010-2012) cukup stabil,
perkembangan jumlah kasusbaru HIV positif pada tahun 2013 dan 2014 kembali
mengalami peningkatan secara signifikan.
Gambar 2.1 Diagram Kasus Baru Hiv Positif Sampai Tahun 2015

Insidensi adanya kecenderungan peningkatan penemuan kasus baru sampai tahun


2013. Namun pada tahun 2015 terjadi penurunan kasus AIDS menjadi sebesar 3.127
kasus. Diperkirakan hal tersebut terjadi karena jumlah pelaporan kasus AIDS dari daerah
masih rendah. Secara kumulatif, kasus AIDS sampai dengan tahun 2015 sebesar 68. 197
kasus.Terdiri dari 4600 kasus adalah anak-anak.

Gambar 2.2 Grafik Jumlah Kasus Baru AIDS sampai tahun 2014.

Pemetaan epidemi HIV di Indonesia dibagi menjadi lima kategori, yaitu<90 kasus,
90-206 kasus, 207-323 kasus, 324-440 kasus, dan >440 kasus.Berdasarkan gambar di
atas, sebanyak 15 provinsi di Indonesia memiliki jumlah kasus HIV > 440, meliputi
seluruh provinsi di Pulau Jawa, Bali dan Pulau Papua serta beberapa provinsi di
Sumatera (Sumatera Utara dan Riau), Kalimantan (Kalimantan Barat dan Kalimantan
Timur), dan satu provinsi di Sulawesi yaitu Sulawesi Selatan. Jumlah kasus HIV di
lima belas provinsi tersebut menyumbang hampir 90% dari seluruh jumlah kasus HIV di
Indonesia. Provinsi dengan jumlah HIV tertinggi yaitu DKI Jakarta (38.464), Jawa Timur
(24.104), dan Jawa Barat(17.075), Bali (1.824). Sebanyak empat provinsi memiliki
jumlah kasus HIV kurang dari 90 kasus yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat, Aceh, dan
Maluku Utara.

Gambar 2.3 Peta Epidemi HIV Di Indonesia Tahun 2014.

Bedasarkan data WHO populasi terbanyak pada daerah perkotaan. Angka kejadian
kasus AIDS atau AIDS Case Rate adalah jumlah kasus AIDS per 100.000 penduduk
dalam kurun waktu tertentu. AIDS Case Rate di Indonesia yang tertinggi adalah Jawa
Timur ( 13.043), Provinsi Papua (12.117 kasus), diikuti DKI Jakarta (8.007kasus),Bali
(4.813 kasus), dan Jawa Tengah (5.042 kasus). Pada provinsi Papua dan Papuan Barat,
terutama disebabkan oleh hubungan seksual yang tidak aman terutama pada rentang usia
antara 15-49 tahun.

Berdasarkan jenis kelamin, persentase kasus baru AIDS tahun 2015 pada kelompok
laki-laki 1,75 kali lebih besar dibandingkan pada kelompok perempuan Penderita AIDS
pada laki-laki sebesar 54% dan pada perempuan sebesar 31%. Sebesar 4% penderita
AIDS tidak diketahui jenis kelaminnya. Beberapa kasus baru AIDS dari Provinsi DKI
Jakarta dan Papua Barat tidak dilaporkan jenis kelaminnya.Pada penelitian berdasarkan
jenis kelamin memiliki pola yang hampir sama dalam 7 tahun terakhir.
Gambar

2.4 Diagram Kasus Baru AIDS Menurut Jenis Kelamin Di Indonesia


Tahun 2015

Gambaran kasus baru AIDS menurut kelompok umur menunjukkan bahwa Infeksi
HIV terbanyak ditemukan pada kelompok usia produktif 25-49 tahun pada 5 tahun
terakhir. Usia muda merupakan populasi dengan faktor resiko yang tinggi. Usia dewasa
muda yaitu pada usia 20-29 tahun sebesar 32% pada populasi yang terinfeksi HIV , 30-
39 tahun sebesar 29,4%, dan 40-49 tahun sebesar 11,8 %. Kelompok umur tersebut
masuk ke dalam kelompok usia produktif yang aktif secara seksual dan termasuk
kelompok umur yang menggunakan NAPZA suntik. Kelompok usia muda yang sedikit
berdasarkan tidak lazimnya seks sebelum pernikahan yang dilarang adat istiadat di
Indonesia. Berdasarkan data Behaviour Surveillance Surveys (BSS) pada 2004-2005
sebanyak 1% pelajar di Jakarta dan Surabaya memakai narkoba suntik, 23% pelajar di
Jakarta dan 9% pelajar di Surabaya pernah mencoba menggunakan narkoba suntik
dengan jaarum suntik bergantian, sehingga meningkatkan angka penularan HIV.
Sebanyak 40% pengguna narkoba suntik pada usia 15-24 tahun. Pada kota Jakarta dan
Surabayadidapati pekerja seks komersial dengan usia muda dibanding kota lain.
Gambar 2.5 Diagram Persentase Kasus Baru AIDS Menurut Kelompok
Umur Tahun 2015

HIV/AIDS dapat ditularkan melalui beberapa cara penularan, yaitu hubungan


seksual lawan jenis (heteroseksual), hubungan sejenis homoseksual/biseksual,
penggunaan alat suntik (penasun)/pengguna narkoba injeksi (IDU) secara bergantian,
transfusi darah, dan penularan dari ibu ke anak (perinatal). Kasus baru infeksi HIV di
Indonesia terutama pada golongan yanga beresiko , yaitu injecting drug users (IDUs),
female sexworkers (FSWs) dan klien, men who have sex with men. Berdasarkan data
Kemenkes tahun 2015 hubungan heteroseksual merupakan cara penularan dengan
persentase tertinggi pada kasus AIDS yaitu sebesar 64,5%, diikuti oleh penasun sebesar
12,4%, penularan melalui perinatal sebesar 3,5%, , homoseksual sebesar(2,7%).
Sedangkan penasun yang biasanya cara penularan tertinggi kedua, pada tahun 2014 turun
secara signifikan menjadi 3,3% dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 9,3% .
Prevalensi dari kebiasaan penyuntikan yang tidak aman jumlahnya lebih kecil
dibandingkan kebiasaan seks yang tidak aman, tetapi tidak menggambarkan prevalensi
dari penguna narkoba suntik terjadi penurunan jumlah penggunaan jarum suntik
bersama, dilaporkan sebanyak 87% pengguna narkoba suntik tidak menggunakan jarum
suntik bersama. Program Locations of Needle and Syringe Program (NSP) dan
Methadone Maintenance Therapy (MMT) yang dilakukan pemerintah meningkatkan dari
120 pada 2006 menjadi 194 and 74 pada 2011.
Gambar 2.6 Persentase Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko Di
Indonesia Tahun 2010-2015

Pasangan yang multipel, hubungan seksual yang terlalu sering, kebutuhan kondom,
rendahnya angka penggunaan kondom secara bersamaan meningkatkan resiko transmisi
dari HIV tidak hanya populasi beresiko, tetapi juga pada tetapijuga wanita sebagia
partner seksual atau pekerja seks komersial atau pengguna narkoba. Bersamaan dengan
peningkatan angka penularan melalui seks bebas maka dilakukan penyuluhan tentang
perilaku seks sehat dengan menggunakan kondom, tetapi terhambat oleh pandangan
agama tertentu pada daerah epidemi.Penyakit AIDS dilaporkan bersamaan dengan
penyakit penyerta. Pada tahun 2015 penyakit tuberkulosis, diikkuti kandidiasis dan diare
merupakan penyakit penyerta AIDS tertinggi masing-masing sebesar 275 kasus, 191
kasus, dan 187 kasus.
Menurut jenis pekerjaan pada tahun 2015, penderita AIDS kumulatif di Indonesia
paling banyak yang diketahui berasal dari kelompok ibu rumah tangga (sebesar 9.096
orang) diikui tenaga non-profesional (8.267 orang), dan wiraswasta (8.037 kasus).
Sementara sebanyak 21.434 orang tidak diketahui jenis pekerjaannya.
Gambar 2.7 Diagram Jumlah Kumulatif AIDS yang Dilaporkan
Menurut Jenis Pekerjaan.

Angka kematian atauCase Fatality Rate (CFR) adalah jumlah kematian (dalam
persen) dibandingkan jumlah kasus dalam suatu penyakit tertentu. CFR AIDS di
Indonesia pada tahun 2001 menunjukan penurunan yang signifikan kemudian naik
kembali sampai tahun 2004, selanjutnya sampai tahun 2015menunjukkan kecenderungan
menurun. Pada tahun 2015 CFR AIDS di Indonesia sebesar 0,67%. Sebanyak 22.000
orang meninggal disebabkan oleh tuberkulosis.

Gambar 2.8 Grafik Angka Kematian Akibat AIDS Yang Dilaporkan


Tahun 2000-2014.

Diagnosis HIV melalui beberapa test. Berdasarkan data geografis WHO tahun
2015 di Indonesia menggunakan 3-rapid test algorithm yang diprioritaskan pada
populasi yang memiliki faktor resiko, wanita hamil dan pasien yang telah memiliki
simptom. Tetapi hanya 6% dari wanita hamil di Indonesia yang teah melakukan tes HIV.
Pada tahun 2014 sebanyak 14.000 wanita hamil di Indonesia terinfeksi HIV dengan
<10% dari populasi tersebut sudah mendapat ARV sebagai pencegahan/Prevention
Mother to Children Transmission (PMTCT). Sementara untuk tes viral load di
rekomendasikan 6 bulan dan tiap tahun setelah diagnosis. Di Indonesia fasilitas
pelayanan kesehatan pelaporan Voluntary Counseling and Testing(VCT) meningkat 4
kali dari 156 di 27 provinsi pada tahun 2009 menjadi 500 di 33 provinsi pada tahun 2011.
Jumlah Orang dengan HIV AID (ODHA) yang masih menerima ARV sampai dengan
bulan September 2014 adalah 60.263 orang (sebesar 31% kasus HIV yang telah
terdiagnosis). Pemakain rejimennya adalah 96,68% (58.262 orang) menggunakan lini 1
dan 3,32% (2.001 orang) menggunakan lini 2.

E. Penanggulangan HIV AIDS di Indonesia

Penanggulangan adalah segala upaya yang meliputi pelayanan promotif, preventif,


diagnosis, kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan,
angka kematian, membatasi penularan serta penyebaran penyakit agar wabah tidak
meluas ke daerah lain serta mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya
(Permenkes, 2013). Upaya yang dilakukan meliputi penanggulangan HIV AIDS secara
secara komprehensif dan berkesinambungan yang terdiri atas promosi kesehatan,
pencegahan, diagnosis, pengobatan dan rehabilitasi terhadap individu, keluarga, dan
masyarakat.Penanggulangan HIV/AIDS diatur dalam undang undang yang bertujuan
untuk(Permenkes, 2013);

1. Menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru


2. Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang
berkaitan dengan AIDS
3. Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA
4. Meningkatkan kualitas hidup ODHA
5. Mengurangi dampak sosial ekonomi dari penyakit HIV dan AIDS pada individu,
keluarga dan masyarakat
Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang semuanya
menuju pada paradigm Zero new Infection, Zero AIDS-related death dan Zero
Discrimination.Empat pilar tersebut adalah (Pedoman ARV, Kemenkes, 2011) :

1. Pencegahan (prevention): yang meliputi pencegahan, penularan HIV melalui transmisi


seksual dan alat suntik, pencegahan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan,
pencegahan HIV dari ibu ke bayi (Prevention Mother to Child Transmission, PMTCT),
pencegahan dikalangan pelanggan penjaja seks, dan lain lain;
2. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi penguatan dan penegmbangan
layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, pengobatan
antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan pelatihan bagi ODHA. Program PDP
terutamaditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang
berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan kualitas hidup orang yang terinfeksi
HIV(berbagai stadium). Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan
pemberian terapi antiretroviral(ARV).
3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio ekonomi
4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) yang meliputi
program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah dengan penguatan kelembagaan dan
manajemen, manajemen program serta penyelarasan kebijakan dan lain lain.

Upaya penanggulangan HIV AIDS dituangkan oleh pemerintah dalam Peraturan


Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013, tentang Penanggulangan
HIV AIDS, meliputi penanggulangan HIV AIDS secara komprehensif dan
berkesinambungan yang terdiri dari promosi kesehatan, pencegahan, diagnosis,
pengobatan dan rehabilitasi terhadap individu, keluarga dan masyarakat.
1. Srategi yang digunakan dalam kegiatan penanggulangan HIV danAIDS meliputi
(Permenkes 21, 2013);
a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan
AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek
legal,organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya
manusia
b. Memprioritaskan komitmen nasional dan internasional
c. Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas
d. Meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau,
bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada
upaya preventif dan promotif
e. Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi,
daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan serta bermasalah
kesehatan
f. Meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS
g. Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang
merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS
h. Meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan
penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu
sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan
AIDS
i. Meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang akuntabel,
transparan, berdayaguna dan berhasil guna.

2. Kegiatan penanggulangan HIV AIDSdiaturdalamPermenkes 21 tahun 2013 meliputi


a. Kegiatan penanggulangan
b. Promosi keshatan
c. Pencegahan penularan HIV
d. Pemeriksaan diagnosis HIV
e. Pengobatan, perawatan dan dukungan
f. Rehabilitasi.
g. Kegiatan diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat.
h. Penyelenggaraan kegiatan dilakukan dalam bentuk layanan komprehensif dan
berkesinambungan.
i. Layanan komprehensif dan berkesinambungan merupakan upaya yang meliputi
semua bentuk layanan HIV dan AIDS yang dilakukan secara paripurna mulai dari
rumah, masyarakat sampai ke fasilitas pelayanan kesehatan.

F. Penatalaksanaan Pasien HIV/AIDS

Penanganan pada penderita HIV/AIDS di Indonesia berpedoman pada tata Laksana


Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral(Kemenkes, 2011), meliputi perawatan
(care), dukungan (support), dan pengobatan (treatment). Pasien sudah ditetapkan
positif HIV/AIDS maka langkah selanjutnya adalah menentukan stadium klinis
HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB dan infeksi oportunistik lainnya, pemeriksaan
CD4 untuk menentukan PPK (pengobatan pencegahan kotrimoksasol) dan
ARV.Pemberian PPK jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, identifikasi kepatuhan,
positive prevention dan konseling KB.Setelah langkah langkah tersebut pasien dibagi
menjadi tiga kelompok berdasarkan kesesuaian pemberian terapi ARV yaitu pasien
yang memenuhi syarat ARV, pasien belum memenuhi syarat ARV dan pasien ada
kendala kepatuhan (Kemenkes, 2011). Pasien yang memenuhi syarat pemberian ARV
bila tersedia pemeriksaan CD4 berdasarkan Kemenkes (2011) adalah:

1. Stadium III dan IV WHO, atau jumlah CD4 =350/mm


2. Jumlah CD4 > 350 - =500 /mm tanpa memandang stadium WHO
3. Pasien dengan koinfeksi TBC aktif tanpa memandang jumlah CD4 dan
stadiumWHO
4. Pasien dengan koinfeksi HBV dengan dasar penyakit liver kronis tanpa
memandang jumlah CD4 dan stadium WHO
5. Pada pasangan dengan HIV negatif dan HIV positif untuk mengurangi transmisi
penyakit menjadi pasangan yang tidak infektif
6. Wanita hamil dan menyusui dengan HIV.

Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTIs
(nucleoside reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTIs (non-
nucleosidereverse transcriptase inhibitors), misalnya zidovudin diberikan
bersamalamivudin dan nevirapin.2 NRTIs dan PIs (protease inhibitor) yang
diperkuatritonavir merupakan lini ke dua, sedangkan lini ketiga adalah gabungan
antara integrase inhibitor, generasi ke dua dari NNRTIs dan PIs. Pasien HIV/AIDS
yang memulai terapi dengan ARV, data diri lengkap mereka akan dimasukkan ke
dalam rekam medis dan register terapi ARV. Pasien datang ke klinik VCT tiap bulan
sekali dengan waktu yang sudah ditetapkan yang tertera pada rekam medis dan
diberikan persediaan obat ARV untuk persediaan bulan selanjutnya.Hasil tatalaksana
pada pasien HIV/AIDS dapat diklasifikasikan menjadi terapi ARV yang terkontrol,
berhenti terapi, rujuk keluar, meninggal dunia, lost followup, dan tidak diketahui
(Kemenkes, 2011).

Hasil pemberian terapi ARV secara signifikan memberikan hasil yang baik
bagipasien HIV/AIDS.Pemberian terapi ARV selama infeksi HIV akut memberikan
efek yang baik pada pasien seperti memperpendek durasi simptomatik infeksi,
mengurangi sel yang terinfeksi, menyediakan cadangan respon imun yang spesifik
dan menurunkan setpoint virus dalam jangka waktu yang lama.Beberapa studi
mengatakan bahwa terapi pada infeksi HIV akut dapat menurunkan viral load dan
meningkatkan respon spesifik sel T helper (Kemenkes, 2011).

Pemberian terapi ARV merupakan terapi seumur hidup karena HIV/AIDS


sampai sekarang belum dapat disembuhkan. Tujuan pemberian ARV adalah menjaga
viral load dibawah 50 kopi/ml, dikatakan gagal terapi jika viral load mencapai 1000
kopi/ml. Keberhasilan terapi ARV memerlukan kepatuhan terapi bagi pasien
HIV/AIDS. Kepatuhan pasien harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur
pada setiap kunjungan.Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidakpatuhan
pasien mengkonsumsi ARV (Kemenkes 2011).
G. Pencegahan penularan HIV-AIDS

Pencegahan penularan HIV telah dijelaskan dalam Permenkes Nomor 21 tahun


2013 tentang penangguangan HIV-AIDS. Pencegahan penularan HIV dapat dicapai
secara efektif dengan cara menerapkan pola hidup aman dan tidak berisiko. Pencegahan
penulatan HIV dapat dilakukan dengan upaya:

1.Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual


Upaya pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan melalui
upaya untuk:
a. Tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah (Abstinensia);
b. Setia dengan pasangan (Be Faithful)
c. Menggunakan kondom secara konsisten (Condom use)
d. Menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug)
e. Meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk mengobati IMS
sedini mungkin (Education)
f. Melakukan pencegahan lain, antara lain melalui sirkumsisi.
2. Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksualmeliputi:
a. Uji saring darah pendonor
b. Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang melukai tubuh
c. Pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik (penasun) yang
dilakukan dengan:
d. Program layanan alat suntik steril (LASS) dengan konseling perubahan perilaku
serta dukungan psikososial
e. Mendorong pengguna napza suntik khususnya pecandu opiate menjalani prigram
terapi rumatan
f. Mendorong pengguna napza suntik untuk melakukan pencegahan penularan
seksual
g. Layanan koseling dan tes HIV serta pencegahan/ Imunisasi hepatitis.
3. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya(PPIA)
a. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif
b. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV
c. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya
d. Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV
beserta anak dan keluarga.

H. SUFA (Strategic Use of ARV)

Sewindu terakhir, perkembangan terus dilakukan dalam upaya pengendalian


HIV/AIDS di Indonesia mulai dari pencegahan penularan dari jarum suntik disebut
Harm Reduction pada tahun 2006, pencegahan Penularan Melalui Transmisi Seksual
(PMTS) mulai tahun 2010, penguatan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA)
pda tahun 2011, pengembangan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB)di
tingkat Puskesmas pada tahun 2012, hingga Kemenkes RI meluncurkan inisiatif
penggunaan Antiretroviral (ARV) untuk pengobatan dan pencegahan atau dikenal
dengan Strategic Use of ARV (SUFA) pada pertengahan tahun 2013, dasar Kemenkes
RI dalam mengambil kebijakan ini adalah Treatment is prevention: HPTN 052 study
shows 96% reductionin transmission when HIV-positive partner starts treatmentearly
danWHO issues new HIV recommendations calling for earlier ARVinitiation.
Tujuandari SUFA meningkatkan cakupan tes HIV,meningkatkan cakupan ART
serta meningkatkan retensi terhadap ART. SUFA telah dilaksanakan di 13
Kabupaten/Kota dan akan SUFA adalah pemakaian ARV secara langsung begitu
diketahui HIV positif tanpa memandang nilai CD4, dikenal dengan Test and Treat.
Tujuan lain dari SUFA adalah mencegah penularan (menurunkan viral load) yang
dikenal dengan Treatment as Prevention (TasP). Implementasi SUFA menekankan
pada TOP, merupakan kepanjangan dari Temukan, Obati, dan Pertahankan.Temukan
yang positif memiliki arti menawarkan tes HIV kepada semua orang yang memiliki
perilaku berisiko, penawaran tes HIV rutin kepada ibu hamil, pasien TB, Hepatitis,
IMS, pasangan ODHA.Populasi kunci yang status HIV masih negatif, dilakukan tes
ulang minimal setiap 6 bulan selanjutnya adalah obati. Ditemukan, yaitu memberikan
pengobatan bagi mereka yang sudah memenuhi kriteria diantaranya memulai
pengobatan Antiretroviral (ARV) secara dini bila jumlah CD4 350 atau memulai
pengobatan ARV tanpa melihat jumlah CD4-nya pada ODHA dengan stadium klinis
AIDS 3 atau 4, ibu hamil, pasien TB, pasien Hepatitis dan populasi kunci yang HIV
(+). Obat ARV dapat berupa kombinasi beberapa obat atau obat Kombinasi Dosis
Tetap atau Fixed Dose Combination (KDT/FDC).Pertahankan yang diobati arrtinya,
memastikan pasien patuh minum obat seumur hidup dengan memberikan
pendampingan terutama pada awal pengobatan, serta memberikan dukungan yang
tepat dari keluarga, komunitas, kelompok dukungan sebaya dan layanan kesehatan.
BAB III
ANALISIS DATA

A. Profil Kesehatan Kabupaten Sragen


Sragen merupakan salah satu Kabupaten di Jawa tengah yang terletak di
perbatasan dengan Provinsi Jawa Timur. Dengan luas wilayah 941,55 km 2, Kabupaten
Sragen terbagi dalam 20 kecamatan, 8 kelurahan, dan 200 desa. Batas wilayah
Kabupaten Sragen adalah:
1. Sebelah timur : Kabupaten Ngawi, Jawa Timur
2. Sebelah barat : Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah
3. Sebelah selatan : Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah
4. Sebelah utara : Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah
Penduduk Kabupaten Sragen tahun 2016 sebanyak 902.956 jiwa dan
diproyeksikan pada tahun 2055 mencapai 1 juta jiwa dengan asumsi laju pertumbuhan
penduduk 0,53 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen, 2016).

Gambar 3.1 Peta Administrasi Kabupaten Sragen


Berdasarkan data profil kesehatan Kabupaten Sragen tahun 2016, sarana
kesehatan di Kabupaten Sragen memiliki 2 Rumah Sakit Umum, 1 Rumah Sakit Khusus
Ibu Anak, 6 Rumah Sakit Umum Swasta, 21 Puskesmas rawat inap dengan total tempat
tidur sebanyak 621, 4 Puskesmas non rawat inap, 25 Puskesmas keliling, dan 63
Puskesmas pembantu.

Tabel 3.1 Jumlah penduduk di wilayah Kabupaten Sragen


Rata-rata Kepadatan
Jumlah Jumlah
No Kecamatan jiwa/ rumah penduduk per
Penduduk rumah tangga
tangga km2
1 Kalijambe 48.320 15.283 3,2 1.029
2 Plupuh 47.041 15.936 3,0 973
3 Masaran 67.468 19.190 3,5 1.532
4 Kedawung 61.597 17.417 3,5 1.237
5 Sambirejo 38.198 9.915 3,9 789
6 Gondang 44.652 13.289 3,4 1.085
7 Sambungmacan 45.060 13.814 3,3 1.171
8 Ngrampal 36.992 12.173 3,0 1.075
9 Karangmalang 60.521 18.478 3,3 1.408
10 Sragen 67.706 18.851 3,6 2.483
11 Sidoharjo 52.622 17.460 3,0 1.147
12 Tanon 55.930 18.225 3,1 1.097
13 Gemolong 50.251 13.736 3,7 1.249
14 Miri 33.863 10.225 3,3 629
15 Sumberlawang 46.895 14.298 3,3 624
16 Mondokan 35.095 10.268 3,4 711
17 Sukodono 33.009 9.951 3,3 725
18 Gesi 22.228 6.080 3,7 562
19 Tangen 27.866 8.612 3,2 505
20 Jenar 27.643 9.156 3,0 432
JUMLAH 902.956 272.357 3,3

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, 2016.


Tabel di atas menunjukkan jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan
Sragen (67.706 jiwa) dan penduduk paling sedikit jumlahnya di Kecamatan Gesi (22.228
jiwa). Namun, berdasarkan kepadatannya Kecamatan Jenar paling lengang (432 jiwa per
km2) dan Kecamatan Sragen paling padat (2.483 jiwa per km2).

B. Data penderita HIV/AIDS di Kabupaten Sragen


Tabel 3.2 Data Penderita HIV AIDS Kabupaten Sragen tahun 2000 s.d Juli 2017

Tahun Infeksi HIV Kasus AIDS Total Kasus AIDS meninggal


Jumlah %
2000 0 1 1 1 100%
2001 0 2 2 2 100%
2002 0 0 0 0 0%
2003 0 0 0 0 0%
2004 0 0 0 0 0%
2005 2 1 3 2 67%
2006 0 2 2 2 100%
2007 2 3 5 3 60%
2008 1 3 4 3 75%
2009 3 3 6 3 50%
2010 3 13 16 4 25%
2011 2 25 27 12 44.44%
2012 14 18 32 12 37.50%
2013 29 29 58 9 15.52%
2014 40 60 100 11 11%
2015 53 120 173 12 6.94%
2016 99 64 163 11 6.75%
2017 59 65 124 13 10.48%
Jumlah 307 409 716 100 13.97%

Sumber : DKK Sragen, 2017

Secara umum kasus infeksi HIV dan AIDS di kabupaten Sragen meningkat sejak
tahun 2000. Dari data tersebut terlihat bahwa kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sragen
cenderung meningkat dalam 6 tahun terakhir dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Angka tertinggi untuk kasus HIV terjadi pada tahun 2016 yaitu sebanyak 99
kasus, disusul pada tahun 2015 sebanyak 53 kasus, dan tahun 2014 sebanyak 40 kasus.
Sedangkan 3 kasus tertinggi untuk kasus AIDS didapatkan pada tahun 2015 sebanyak
120 kasus, disusul tahun 2017 sebanyak 65 kasus, dan tahun 2016 sebanyak 64 kasus.
Namun, angka kematian pada penderita HIV/AIDS meningkat pada tahun 2017 sejumlah
13 orang.

Tabel 3.3 Jumlah Penderita HIV/AIDS berdasarkan jenis kelamin


Jenis Kelamin
TAHUN Jumlah
L P
2000 1 1
2001 1 1 2
2002 0
2003 0
2004 0 0
2005 1 3 4
2006 2 2
2007 4 4
2008 1 3 4
2009 2 4 6
2010 12 4 16
2011 16 11 27
2012 20 12 32
2013 24 34 58
2014 45 55 100
2015 90 83 173
2016 72 91 163
2017 48 39 87
JUMLAH 335 344 679
% 49.34 50.66 100

Menurut Data DKK Sragen tahun 2017 di atas jumlah penderita HIV/ AIDS
terbanyak pada kisaran usia 25 49 tahun. Sedangkan antara penderita laki laki dan
perempuan pada rentang usia tersebut lebih banyak perempuan. Jumlah penderita laki-laki
dan perempuan untuk kelompok usia 25 49 tahun masing-masing secara berurutan
adalah 21 orang dan 49 orang. Kemungkinan hal ini disebabkan karena wanita lebih sering
disasar untuk melakukan skrining HIV/AIDS, misalnya pada ibu hamil trimester satu.
Sedangkan laki-laki lebih banyak yang merantau sehingga sulit untuk melakukan skrining
di wilayah tempat tinggalnya.
TAHUN 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 >60 JUMLAH

2000 1 1

2001 1 1 2

2002 0

2003 0

2004 0

2005 1 1 2 4

2006 1 1 2

2007 1 2 1 4

2008 1 1 1 1 4

2009 2 1 3 6

2010 1 2 1 1 11 16

2011 1 0 4 9 3 3 2 5 27

2012 1 1 1 3 10 8 4 4 32

2013 3 1 9 10 13 9 9 2 2 58

2014 3 1 3 6 13 16 21 16 9 3 4 5 100

2015 3 2 13 21 25 27 27 18 10 10 17 173

2016 4 0 0 0 10 16 21 33 20 21 16 10 12 163

2017 2 1 0 2 5 8 10 16 15 12 9 3 4 87

JUMLAH 16 4 0 5 38 82 108 126 111 75 45 29 22 679

% 2.36 0.59 0.00 0.74 5.60 12.08 15.91 18.56 16.35 11.05 6.63 4.27 3.24 100.00
TAHUN Heteroseksual Homoseksual IDU Transfusi Perinatal Jumlah
2000 1 1
2001 2 2
2002 0
2003 0
2004 0 0
2005 4 4
2006 2 2
2007 4 4
2008 4 4
2009 6 6
2010 7 9 16
2011 26 1 27
2012 29 1 2 32
2013 53 3 1 1 58
2014 95 1 4 100
2015 166 5 2 173
2016 158 1 4 163
2017 84 3 87
JUMLAH 641 11 10 0 17 679
% 94.40 1.62 1.47 0.00 2.50 100.00

Tabel di atas menunjukkan penderita HIV/AIDS merupakan heteroseksual (94,40% dari total
seluruh penderita yang didata sejak tahun 2000). Kemungkinan hal ini disebabkan oleh
beberapa penderita mengaku sebagai heteroseksual karena malu, homoseksual masih menjadi
hal yang tabu di masyarakat sehingga mereka tidak mau menyebutkan orientasi seksualnya.
N t'
TAHU PS Wrs P.us Bur M IR So TNI/PO Kr Pet Tdk Pramu T Ana Lai
PNS ap dike Jumlah
N K wt aha uh hs T pir LRI yw ani bkrj gari KI k n2
i th
2000 1 1
2001 2 2
2002 0
2003 0
2004 0
2005 1 1 2 4
2006 2 2
2007 2 0 1 1 4
2008 1 1 2 4
2009 1 1 4 . 6
2010 3 4 1 8 16
2011 6 3 1 5 2 2 6 2 27
2012 19 1 6 1 2 2 1 32
2013 13 26 10 1 1 3 3 1 58
2014 22 39 1 18 1 1 6 1 1 5 5 100
2015 13 49 20 44 4 2 1 3 9 2 2 2 22 173
2016 21 30 20 42 6 4 19 11 2 1 4 3 163
2017 32 5 7 2 1 2 2 36 87
JUML 14
AH 70 203 0 59 2 4 15 10 2 32 40 13 37 0 0 4 14 35 679
10. 29. 8.6 0. 21. 2.2 4.7 5.8 1. 0.5 5.1
% 31 90 0.00 9 29 21 1 1.47 0.29 1 9 91 5.45 0.00 0.00 9 2.06 5 100

Tabel di atas menunjukkan jumlah kasus terbanyak terjadi pada wiraswasta dan ibu rumah tangga. Kemungkinan mereka adalah wanita yang tertular dari suaminya yang beraktivitas
di luar rumah. Mungkin juga wiraswasta dan ibu rumah tangga merupakan pekerjaan yang diaku-aku oleh penderita karena malu menyebutkan pekerjaan sesungguhnya (misalnya
seorang PSK mengaku sebagai wiraswasta ketika ditanya apa pekerjaannya)
C. Jumlah Kematian Penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Sragen
Tabel 3.4 Jumlah Kasus HIV/AIDS yang meninggal Dunia

Tahun Jumlah Kasus HIV/AIDS Kasus HIV/AIDS yang meninggal


2000 1 1
2001 2 2
2002 0 0
2003 0 0
2004 0 0
2005 3 2
2006 2 2
2007 5 3
2008 4 3
2009 6 3
2010 16 4
2011 27 12
2012 32 12
2013 58 9
2014 100 11
2015 173 12
2016 163 11
2017 87 10
Total 679 97

Sumber :
DKK, 2017

Berdasarkan data tersebut diatas diketahui bahwa kasus meninggal akibat


HIV/AIDS tertinggi berada di kisaran angka 9 12 orang antara tahun 2011
sampai 2017. Kasus kematian akibat HIV/AIDS dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, beberapa diantaranya adalah keterlambatan dalam diagnosis,
kurang tepatnya tatalaksana, maupun terjadinya komplikasi pada berbagai
sistem organ. Namun, jika dilihat dari persentasinya, jumlah ini menurun di
lima tahun terakhir. Hal ini menunjukkan penemuan kasus lebih banyak
sebelum pasien berada dalam stadium lanjut.

30
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Analisis Pengendalian Penyakit HIV AIDS di Kabupaten Sragen


Kasus infeksi HIV dan AIDS di kabupaten Sragen dari tahun 2000 sampai dengan
tahun 2015 cenderung meningkat. Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun 2000 sampai
dengan 2017 berjumlah 716 kasus. Pada tahun 2016 dan 2017 kasus HIV/AIDS terjadi
sedikit penurunan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pelaporan kasus AIDS yang
masih rendah. Tahun 2015 merupakan angka tertinggi untuk kasus HIV/AIDS disusul
dengan tahun 2016 dan tahun 2017. Kasus kematian akibat HIV/AIDS juga cenderung
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kasus kematian akibat HIV AIDS tertinggi
terjadi pada tahun 2011, 2012, dan 2015. Total kematian yang disebabkan oleh HIV/AIDS
dari tahun 2000 sampa dengan tahun 2017 berjumlah 100 jiwa. Kasus kematian akibat
HIV/AIDS disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah keterlambatan dalam
diagnosis, kurang tepatnya tatalaksana, maupun terjadinya komplikasi pada berbagai
sistem organ.
Berdasarkan data dari DKK Sragen pada tahun 2000 sampai dengan 2017
jumlah HIV AIDS pada perempuan sebanyak 344 jiwa dan laki-laki sebanyak 335
jiwa. Berdasarkan data tersebut kasus HIV/AIDS pada perempuan lebih tinggi
dibandingkan laki- laki. Hal ini berbeda dengan data nasional, menurut Depkes RI
2014 Pola penularan HIV berdasarkan jenis kelamin memiliki pola yang hampir
sama dalam 7 tahun terakhir yaitu lebih banyak terjadi pada kelompok laki-laki
dibandingkan kelompok perempuan dengan perbandingan kasus 59% : 41 %.
Pada Kabupaten Sragen jumlah HIV/AIDS perempuan lebih banyak dibanding
laki-laki kemungkinan dikarenakan terdapat bebrapa program yang mewajibkan
perempuan mengikuti test HIV/AIDS. Oleh karena itu perempuan lebih aktif
dalam tes HIV/AIDS sehingga yang dapat terdiagnosis lebih banyak dibandingkan
laki-laki yang kurang aktif dalam tes HIV/AIDS. HIV/AIDS pada perempuan
akan menimbulkan dampak yang sangat besar baik dari segi fisik, psikologis,
sosial maupun spiritual. Kondisi tersebut akan semakin berat apabila perempuan
tersebut dalam kondisi hamil, melahirkan, dan mempunyai bayi.

31
Pola penularan HIV/AIDS berdasarkan faktor risiko tidak mengalami
perubahan dalam lima tahun terakhir (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan faktor
risiko, infeksi HIV/AIDS di Kabupaten Sragen dominan pada heteroseksual
kemudian diikuti oleh perinatal, homoseksual dan IDU. Karena cara penularan
terbanyak adalah melalui heteroseksual hal ini dapat berdampak terjadinya
penularan pada perempuan sehingga perempuan menjadi kelompok yang paling
rentan tertular HIV dari pasangan atau suaminya.
Proporsi HIV/AIDS berdasarkan umur di Kabupaten Sragen, terbanyak
dilaporkan pada umur 35-39 tahun kemudian disusul oleh kelompok dengan umur
30-34 tahun, 25-29 tahun, 20-24 tahun, 0-4 tahun, 15-19 tahun dan 5-9 tahun.
Seagian besar kasus HIV/AIDS terjadi pada kelompok usia produktif yaitu pada
usia 20-34 tahun. Berdasarkan data nasional,
pola penularan HIV berdasarkan kelompok umur dalam 5 tahun terakhir tidak
banyak berubah. Infeksi HIV paling banyak terjadi pada kelompok usia produktif
25-49 tahun yaitu sebanyak 16.421 kasus, diikuti kelompok usia 20-24 tahun
dengan 3.587 kasus. Kejadian kasus AIDS di Indonesia berdasarkan kelompok
umur memiliki pola yang jelas. Kasus AIDS yang dilaporkan sejak tahun 1987
sampai September 2014 terbanyak pada kelompok usia 20-29 tahun (32,9%),
diikuti kelompok usia 30- 39 tahun (28,5%) dan 40-49 tahun (10,7%) (Kemenkes
RI, 2014). Usia produktif dan seksual aktif memungkinkan seseorang dapat
menularkan HIV/AIDS secara lebih mudah melalui hubungan seksual.
Berdasarkan jenis pekerjaan, penderita HIV/AIDS di Kabupaten Sragen
didominasi oleh wiraswasta sebanyak 29,90 % dan ibu rumah tangga sebanyak
21,21 %. Hal ini kemungkinan pada kelompok wiraswasta terjadi karena
mobilisasi penduduk. Mobilitas dapat membuat seseorang masuk ke dalam situasi
yang berisiko tinggi. Dikarenakan jauh dari keluarga dan masyarakat mereka
dimana norma-norma seksual dan sosial diterapkan dan dipatuhi pada tingkatan
yang berbeda, kini mereka harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru (Hugo,
2001). Kondisi ini seperti pada hasil penelitian komprehensif mengenai
perpindahan penduduk dengan HIV/AIDS di Kenya dengan menguji hipotesa
yang menyatakan bahwa bila dibandingkan dengan mereka yang bukan

32
pendatang, para pendatang lakilaki dan perempuan di daerah perkotaan dan
pedesaan nampaknya lebih cenderung terlihat dalam kegiatan-kegiatan seksual
yang dapat meningkatkan risiko mereka terjangkit HIV dan akhirnya berujung
pada AIDS (Theodore, 2005; Martha, 2007; Susan, 2006). Pada ibu rumah tangga,
kasus HIV/AIDS terjadi biasanya karena tertular oleh suaminya.

B. Permasalahan Pengendalian Penyakit HIV- AIDS di Kabupaten Sragen


HIV dan AIDS di Sragen masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Oleh karena
itu masyarakat terutama yang beresiko tinggi masih memiliki kesadaran yang rendah
untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Mereka merasa takut apabila didiagnosis
terkena HIV AIDS karena beban moral dan sosial yang harus ditanggung sangat berat
(dikucilkan dan bahkan bisa diusir dari kampung).
Komisi Penanggulangan AIDS Sragen berupaya meningkatkan angka penemuan
penderita HIV AIDS dengan cara mengajak LSM peduli AIDS untuk melakukan
pendampingan dan penjaringan pada warga masyarakat perumahan dan kelompok
resiko tinggi. Program yang selama ini berjalan masih kurang efektif karena tidak
tersedianya dana untuk transportasi dan operasional anggota LSM karena status
kepegawaian LSM yang bukan pegawai negeri, sehingga tidak dapat diambilkan dana dari
APBD untuk menambah motivasi kinerja melalui pendanaan.
Selama ini penemuan kasus HIV terbanyak dari skrining pemeriksaan ibu hamil
yang berarti suami dari ibu hamil yang terdeteksi HIV memiliki resiko tinggi untuk
terkena HIV, namun selama ini suami dari ibu tersebut sulit untuk diajak melakukan
pemeriksaan karena takut mengetahui dirinya terkena HIV.
C. Upaya Peningkatan Pengendalian Penyakit HIV- AIDS yang dapat dilakukan di
Kabupaten Sragen
Kabupaten Sragen memiliki berbagai program sebagai upaya untuk meningkatkan
pengendalian penyakit HIV AIDS. Permasalahan utama dalam pengendalian penyakit
HIV AIDS di Kabupaten Sragen bertitik berat pada sumber dana dan partisipasi
masyarakat yang kurang terutama masyarakat beresiko tinggi yang memerlukan
perhatian lebih. Terlepas dari permasalahan tersebut, DKK Sragen memiliki sumber daya
yang mumpuni sebagai kekuatan mengendalikan peningkatan angka HIV AIDS yang
tercermin dari beberapa program konkrit untuk meningkatkan pengendalian penyakit
HIV AIDS di Kabupaten Sragen.

33
Pencegahan Penularan Ibu ke Anak (PPIA) merupakan salah satu program
penanggulangan HIV AIDS yang telah dilaksanakan DKK Sragen. Penularan HIV dari
Ibu ke Anak dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan saat
menyusui, intervensinya dilakukan melalui 4 (empat) prong/kegiatan, yakni : a.
pencegahan penularan HIV pada perempuan usia produktif; b. pencegahan
kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif; c. pencegahan penularan
HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandung; dan d. pemberian
dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta anak
dan keluarganya. Sebagai salah satu faktor resiko penularan, PPIA telah rutin
dilakukan berupa penyuluhan dan deteksi dini HIV AIDS di kelas ibu hamil. PPIA
dapat dilakukan bersamaan dengan kunjungan ibu hamil untuk Ante Natal Care
(ANC) dan penyuluhan calon pengantin yang banyak dilakukan di desa desa di
Kabupaten Sragen. Hal ini akan lebih mengefisienkan waktu dan dana yang
diperlukan.
Partisipasi masyarakat merupakan aspek yang potensial untuk menunjang
penanggulangan HIV/AIDS, Oleh karena itu, sangat penting pemerintah
melakukan tindakan guna meningkatkan, memperbaiki dan partisipasi kesadaran
masyarakat. Tindakan yang dapat dilakukan berupa penyebaran informasi,
membuat program yang berhubungan dengan penanggulangan HIV/AIDS,
peningkatan kapasitas bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat (Misalnya :
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat yang ada di tingkat kelurahan) untuk
memberikan informasi yang tepat tentang HIV/AIDS pada warga. Kegiatan
seperti ini perlu dilakukan guna mencegah infeksi baru pada masyarakat luas serta
menurunkan stigma dan diskriminasi pada ODHA.
Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen memanfaatkan peran Kelompok Dukungan
Sebaya (KDS) dalam menanggulangi HIV AIDS. DKK Sragen akan memfasilitasi
pertemuan rutin antara KDS dengan ODHA setiap bulannya yang bertujuang sebagai
wadah untuk saling membantu dan bertukar pikiran. Layanan kesehatan berbasis
masyarakat lebih spesifik pada kegiatan kelompok dukungan sebaya atau
pendamping ODHA terbukti efektif untuk memperbaiki kualitas bagi ODHA.
Terlepas dari berbagai persoalan dalam memaknai pendampingan terhadap ODHA
yang terkadang justru menjadikan ketergantungan bagi ODHA dalam mengakses

34
layanan kesehatan, untuk melakukan perubahan sosial dibutuhkan keterlibatan
aktif penggerak masyarakat yang dapat memobilisasi masyarakat dan komunitas.
Peran penggerak masyarakat adalah (1) menjembatani kebutuhan masyarakat
dengan fasillitas layanan kesehatan, (2) melakukan penguatan (pengetahuan,
kapasitas) bagi kader kader untuk memberdayakan masyarakat di lingkungan
sekitarnya (terutama kelompok yang termarjinalkan) dan (3) melakukan
pengorganisasian kader masyarakat (terutama kelompok yang termarjinalkan)
untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat setempat.
Pelatihan para pendamping ODHA juga merupakan salah satu upaya DKK Sragen
untuk meningkatkan upaya pengendalian HIV AIDS. Para pendamping orang dengan
HIV AIDS (ODHA) diharapkan tak hanya mempunyai pengetahuan tapi juga
keterampilan dalam urusan mendampingiPeranan pendamping sangat penting
terutama untuk mengingatkan para ODHA agar tdk lupa minum obat dan
mengajarkan bagaimana cara hidup sehat terutama dalam berhubungan seks.
Kegiatan pelatihan ini bertujuan meningkatkan kapasitas pendamping sebaya
dalam mendampingi orang terinfeksi HIV. Tujuan lainnya adalah meningkatkan
keterampilan pendamping sebaya dalam mendampingi orang terinfeksi HIV.
Mereka juga diharapkan meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
sebagai pendamping sebaya dalam mendorong agar orang terinfeksi tidak putus
obat. Pelatihan yang dilakukan dapat bekerja sama dengan institusi ataupun
universitas yang dapat menyediakan jasa petugas pelayanan kesehatan sehingga
mendapatkan sumber daya manusia yang mencukupi.
Pelatihan yang dilakukan juga mencakup pelatihan tentang pemulasaraan
jenazah dengan HIV AIDS. Kasus penolakan terhadap jenazah orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) masih sering terjadi di masyarakat. Minimnya pengetahuan
masyarakat tentang HIV AIDS membuat mereka tidak berani melakukan proses
pemulasaran jenazah ODHA karena khawatir tertular penyakit tersebut. Maka dari
itu DKK Sragen memiliki program untuk melakukan pelatihan ke petugas
puskesmas, petugas rumah sakit, KDS maupun kader kesehatan di setiap desa di
Kabupaten Sragen untuk melakukan pemulasaraan jenazah yang mengidap HIV
AIDS. Terdapat penekanan terhadap pentingnya alat pelindung diri (APD) dalam
pemulasaraan jenazah ODHA. APD yang harus digunakan meliputi sarung tangan

35
(handscoone), celemek plastik (aprone), penutup kepala (hairnet), penutup hidung
(masker), kacamata dan sepatu bot. Selain pemenuhan APD bagi pemulasaraan
jenazah, prinsip pemulasaran jenazah ODHA yang perlu diperhatikan adalah
pengelolaan air limbah saat memandikan jenazah yang harus dilokalisir
sedemikian rupa. Perawatan jenazah penderita penyakit menular dilaksanakan
dengan selalu menerapkan kewaspadaan universal tanpa mengakibatkan tradisi
budaya dan agama yang dianut keluarganya. Setiap petugas kesehatan terutama
perawat harus dapat menasehati keluarga jenazah dan mengambil tindakan yang
sesuai agar penanganan jenazah tidak menambah risiko penularan penyakit seperti
halnya hepatitis-B, AIDS, kolera dsb. Tradisi yang berkaitan dengan perlakuan
terhadap jenazah tersebut dapat diizinkan dengan memperhatikan hal yang telah
disebut di atas, seperti misalnya mencium jenazah sebagai bagian dari upacara
penguburan.
Pentingnya APD dalam penanggulangan HIV AIDS juga mendapatkan perhatian
khusus dari DKK Sragen dimana terdapat penyediaan APD minimal satu buah di setiap
kecamatannya. Peralatan yang dirancang untuk melindungi pekerja dari kecelakaan atau
penyakit yang serius di tempat kerja, akibat kontak dengan potensi bahaya kimia,
radiologik, fisik, elektrik, mekanik atau potensi bahaya lainnya di tempat kerja. Selain
penutup muka, kacamata pengaman, topi keras dan sepatu keselamatan, APD mencakup
berbagai peralatan dan pakaian seperti kaca mata, baju pelindung, sarung tangan, rompi,
tutup telinga dan respirator.
Tingginya angka HIV AIDS di Kabupaten Sragen mendorong diadakannya kerja sama
lintas sektoral. DKK Sragen telah melakukan kerja sama dengan Dinas Pendidikan
Kabupaten Sragen untuk memasukkan pendidikan seks ke kurikulum Sekolah Menengah
Atas dimana salah satu implementasi nyatanya berupa penyuluhan pendidikan seks saat
Masa Orientasi Siswa (MOS). Kerja sama lainnya yang telah dilakukan adalah kerjasama
antara DKK Sragen dengan Komisi Penanggulangan AIDS yang diimplementasikan dalam
berbagai kegiatan yang ditujukan untuk perkembangan ODHA ke arah yang lebih baik.
Salah satu contoh nyata dari kerja sama ini adalah pertemuan rutin ODHA dan KDS
seperti yang telah dijelaskan di paragraf sebelumnya. Kerja sama antar sektor berguna
untuk memberi informasi tentang epidemi HIV/AIDS, menumbuhkan kepedulian lintas
sektor terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS, dan meningkatkan kerja sama lintas

36
sektor dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Tanpa kerja sama lintas sektor, upaya
penanggulangan HIV/AIDS tidak akan berhasil.
DKK Sragen juga telah memberikan ARV secara gratis kepada penderita HIV
dengan indikasi tertentu. ARV (Antiretroviral) adalah pengobatan antivirus yang
diberikan pada orang dengan HIV positif. Obat-obatan ini bukan untuk
menyembuhkan HIV tapi berfungsi untuk menekan aktivitas virus seminimal
mungkin. Hingga saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan HIV. Namun
diharapkan dengan pengobatan ARV / ART, ODHA (orang dengan hiv aids) akan
bisa hidup normal seperti orang lain dan memperpanjang usia harapan hidup. Lini
pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTIs (nucleoside
reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTIs (non-nucleosidereverse
transcriptase inhibitors), misalnya zidovudin diberikan bersamalamivudin dan
nevirapin.2 NRTIs dan PIs (protease inhibitor) yang diperkuatritonavir merupakan
lini ke dua, sedangkan lini ketiga adalah gabungan antara integrase inhibitor,
generasi ke dua dari NNRTIs dan PIs. Pasien HIV/AIDS yang memulai terapi
dengan ARV, data diri lengkap mereka akan dimasukkan ke dalam rekam medis
dan register terapi ARV.
Pemulangan penderita HIV AIDS ke daerah asal sesuai dengan KTP juga merupakan
salah satu sarana penanggulangan HIV AIDS yang dilakukan oleh DKK Sragen. Hal ini
merupakan salah satu alternatif pilihan ketika individu yang bersangkutan tidak dapat
ditanggulangi dengan cara yang sudah disebutkan di atas dengan harapan individu yang
bersangkutan mendapatkan penanggulangan yang layak dan sesuai di daerah asalnya.

37
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
HIV-AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
human immunodeficiency virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan
tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan
ketahanan tubuh sehingga sangat mudah terinfeksi berbagai macam penyakit
lain. Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sragen cenderung meningkat dalam 6
tahun terakhir dengan angka tertinggi untuk kasus HIV terjadi pada tahun
2016 yaitu sebanyak 99 kasus.
Tingginya angka kasus HIV/ AIDS di Kabupaten Sragen disebabkan oleh
berbagai macam faktor yang tersebar di bidang politik, ekonomi, dan sosial
budaya masyarakat setempat.Seks masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu,
sehingga akses terbatas terhadap informasi dan pelayanan kesehatan seksual
dan reproduksi masih kurang.Selain itu, ketakutan, stigma dan diskriminasi

38
terhadap ODHA (orang yang hidup dengan HIV/AIDS) masih menjadi
hambatan utama.
Pencegahan penularan HIV telah dijelaskan dalam Permenkes Nomor 21
tahun 2013 tentang penangguangan HIV-AIDS. Pencegahan penularan HIV
dapat dicapai secara efektif dengan cara menerapkan pola hidup aman dan
tidak berisiko. Pencegahan penularan HIV dibagi menjadi pencegahan
penularan HIV melalui hubungan seksual, hubungan non seksual, serta dari
ibu ke anaknya(PPIA).Selain itu juga dengan program penggunaan
Antiretroviral (ARV) untuk pengobatan dan pencegahan atau dikenal dengan
Strategic Use of ARV (SUFA).Penanganan pada penderita HIV/AIDS di
Indonesia berpedoman pada tata Laksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral(Kemenkes, 2011), meliputi perawatan (care), dukungan
(support), dan pengobatan (treatment).

B. Saran
1. Mengadakan kerja sama melalui pengajuan CSR kepada perusahaan-
perusahaan untuk pendanaan program penanggulangan HiV dan AIDS di
Kabupaten Sragen.
2. Memberikan dukungan psikososial terhadap ODHA dengan menbentuk
"Rumah Bersama" yang didalamnya berisi pembelajaran/edukasi sekaligus
praktik untuk para ODHA terkait menjaga diri agar meminimalisir
kemungkinan terjangkitnya infeksi oportunistik, meningkatkan motivasi
minum obat karena disediakan satu waktu yang bersama-sama minum obat
(misalnya setelah makan bersama), memberdayakan ODHA melalui
penggalian bakat-minat dan keterampilan sehingga masyarakat tidak
memandang para ODHA sebagai 'sampah masyarakat'.
3. Mengubah stigma masyarakat, bahwa ODHA adalah orang-orang yang
'nakal' sebelumnya sehingga tidak perlu diperhatikan, yaitu melalui
persebarluasan testimoni para ODHA mengenai cerita penyakitnya dan
keinginan mereka untuk sembuh. Dengan ini, diharapkan masyarakat dapat
mengubah pandangan mereka menjadi lebih peduli terhadap sesama.

39
4. Mengadakan kerja sama dengan pihak luar seperti kalangan tokoh
masyarakat, artis, dan pengusaha untuk membentuk suatu program amal
bagi ODHA dengan kegiatan-kegiatan menarik di tengah masyarakat serta
disisipi talkshow/penyampaian pesan-pesan agar mengubah stigma
masyarakat.
5. Membentuk klinik Rumatan Metadon untuk menjaring kasus dari pemakai
jarum suntik dan menekan risiko terjadinya HIV dan AIDS akibat
pemakaian jarum suntik bersama karena narkoba.
6. Membentuk klinik IMS untuk menjaring kasus penyakit menular seksual.

40
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI (2009). Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular


Seksual. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.

Ditjen PP dan PL Kemenkes RI.(2012). Laporan Situasi Perkembangan HIV


dan AIDS di Indonesia sampai Dengan Maret
2012.http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/SITUASI_AIDS_T
ERKINI.pdfdiakses tanggal 01Agustus 2017

Hidayat, A. , Azis, A., 2008, Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Salemba


Medika, Jakarta.

KeputusanMenteri Kesehatan RI Nomor 1507/MENKES/SK/X/2005. Tentang


Pedoman Pelayanan Konseling Dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela
(Voluntary Counselling And Testing).

KeputusanMenteri Kesehatan RI 241/MENKES/ SK/ IV/2006.Tentang Standar


Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi
Oportunistik.

KeputusanMenteri Kesehatan RI Nomor 1278/MENKES/SKM/XII/2009


Tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB
danHIV.

KeputusanMenteri Kesehatan RI, 2011. Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan


Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa. Jakarta: Ditjen PP PL

KementerianKesehatan RI (2013). Pedoman Nasional Monitoring Dan Evaluasi


Program Pengendalian HIV dan AIDS serta IMS (Draf). Jakarta: Ditjen
PP&PL, Kementerian Kesehatan RI

Kemenkes RI.2014. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI,


Infodatin : Situasi dan Analisis HIV AIDS. Jakarta : Kemenkes RI

Kemenkes, 2014.Sufa , Inovasi baru dalam Upaya pengendalian HIV/AIDS di


Indonesia. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI diakses dari
www.depkes.go.id/article/view/201408140001 tanggal 1 Agustus 2017

Sugiana, I.M., 2015. Analisis Kesiapan Layanan Puskesmas Sebagai Satelit


Antiretroviral Therapy bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di
Kabupaten Badung. Denpasar: Universitas Udayana. Tesis

41
Syamsul, R., 2015. Peran Dinas Kesehatan dalam Penanggulangan HIV/ AIDS
di Kabupaten Penajam Paser Utara. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 3(2),
2015: 812- 822

Hugo, G. 2001. Mobilitas penduduk dan HIV/AIDS di Indonesia.


Bangkok : UNDP South East Asia HIV and Development Project.
Theodore M. Hammett. 2005. HIV/AIDS and Other Infectious Diseases
Among Correctional Inmates: Transmission, Burden, and an Appropriate
Response. American Journal of Public Health, 96(6): 974-978

42

Anda mungkin juga menyukai