SEXUAL HOMICIDE
Disusun oleh:
No Nama NIM Universitas
1. Aulia Wiratama Putra 03012041 TRISAKTI
2. Prizilia Saimima 112016047 UKRIDA
3. Rico Christian P 1361050224 UKI
4. Luh Kadek Shastri U 1361050018 UKI
5. Hutri Mahardika 1361050273 UKI
Dosen Penguji:
dr.Wian Pisia Anggreliana, M.H., Sp.KF
Residen Pembimbing:
dr. Dadan Rusmanjaya
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RSUP DR. KARIADI SEMARANG
PERIODE 6 NOVEMBER 2017 - 2 DESEMBER 2017
LEMBAR PENGESAHAN
ii
KATA PENGANTAR
Pertama penulis mengucapkan puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yang
Maha Esa sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah journal reading
mengenai The Role Of 3DCT for The Evaluation of Chop Injuries In Clinical
Forensic Medicine, tepat pada waktunya. Adapun pembuatan makalah ini adalah
untuk melengkapi tugaskepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kedokteran Forensik di
RSUP Dokter Kariadi Semarang.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
penguji, dr. Wian Pisia Anggreliana, M.H., Sp.KF dan kepada residen
pembimbing, dr. Dadan R yang telah memberikan bimbingannya dalam proses
penyelesaian makalah ini dan dalam pelaksanaan kepaniteraan.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang
membacanya. Penulis memohon maaf apabila pada penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan. Untuk itu penulis sangat terbuka untuk kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca guna perbaikan makalah ini.
Penulis
iii
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kedokteran forensic terdiri dari 2 cabang ilmu yaitu ilmu patologi forensik
dan forensik klinis. Patologi forensik sudah menjadi cabang spesialistik
kedokteran sejak 1958, dan dikenal sebagai ilmu yang memanfaatkan orang mati
untuk kepentingan orang hidup (learn from the dead for the living). Patologi
forensik membuat mayat dan barang bukti diam lain (silent witness) menjadi
mampu berbicar dan bersaksi untuk kepentingan hukum. Patologi forensik
melakukan pemeriksaan mayat, baik bagian luar maupun melakukan autopsi, dan
kemudian melakukan pemeriksaan laboratorium penunjang. Tidak jarang
pekerjaannya didahului dengan pemeriksaan di tempat kejadian perkara, serta
mereview keterangan saksi dan riwayat penyakit. Dalam prakteknya, patologi
5
Sedangkan forensik klinik adalah bidang kedokteran forensik yang relatif baru
berkembang. Di Indonesia bahkan baru dalam tahap penerapan awal setelah
diperkenalkan sejak tahun 1998. Bidang ini melayani korban perkara kekerasan
fisik (termasuk penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga), pencederaan
diri, cedera non aksidental pada anak, perkosaan dan kejahatan seksual lainnya,
kelayakan diperiksa atau ditahan (fitness to be interviewed, fitness to be detained).
Forensik klinik adalah cabang ilmu kedokteran forensik yang mempergunakan
ilmu dan pengetahuan klinik dalam usaha untuk pembuktian ilmiah dengan
pencatatan, pengumpulan dan interpretasi bukti medis dari korban hidup agar
tetap asli, ilmiah dan diterima di pengadilan. Pelayanan forensic klinik bersifat
komprehensif dengan mempertimbangkan korban bukan saja sebagai barang bukti
tetapi juga dilihat sebagai pasien.
Sekitar 50-70% kasus yang terdapat di instalasi gawat darurat adalah kasus
perlukaan atau trauma. Luka-luka ini dapat terjadi akibat dari kecelakaan,
penganiayaan, bunuh diri, bencana, maupun terorisme. Luka pada trauma terjadi
sekitar 1,6 juta kasus setiap tahunnya. Salah satu luka yang disebabkan oleh
karena kekerasan benda tajam yaitu luka bacok. Luka bacok umumnya terjadi
pada daerah yang dapat terjangkau oleh tangan korban. Tempat yang lazim adalah
leher, dada sebelah kiri, pergelangan tangan, dan perut.
Ciri luka bacok yaitu luka biasanya besar, pinggir luka rata, sudut luka tajam,
hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan bagian
tubuh yang terkena bacokan, kadang-kadang pada tepi luka terdapat memar.
Untuk mendiagnosis luka bacok, selain dalam ilmu forensic klinis dapat juga
didiagnosis dengan menggunakan ilmu radiologi, salah satunya dengan 3DCT.
6
8
9
10
11
12
PERAN 3DCT DALAM EVALUASI LUKA BACOKAN PADA
PENGOBATAN FORENSIK KLINIS
Abstrak
13
beberapa waktu ke depan.
2016 Elsevier Ltd and Faculty of Forensic and Legal Medicine. All rights reserved.
1. Pendahuluan
Luka bacokan umumnya dijabarkan sebagai hasil akhir dari gaya yang
disebabkan benda tajam, khususnya alat berat yang memiliki mata pisau tajam
seperti kapak, kapak kecil/beliung, machete, sekop dan pisau daging. (1,2) Baling-
baling kapal laut, pesawat terbang atau forensik dapat juga menyebabkan luka
serupa bacokan. (1,3) Temuan yang tipikal dari luka bacokan adalah luka torehan
yang menganga dan dalam disertai cedera terhadap struktur tulang dibawahnya.
(1,2,3.4.5)
Tepian dari luka umumnya lurus dan tajam, namun seringkali terdapat
abrasi setidaknya pada satu sisi, dimana abrasi ini dapat dikaitkan dengan
ketebalan mata pisau dan/atau derajat ketumpulannya. (2) Jembatan dari jaringan
lembut pada kedalaman luka, kerusakan jaringan disekitarnya serta pada tepian
(2,6)
luka dapat pula ditemukan. Maka dari itu, kebanyakan luka bacokan
memperlihatkan kombinasi dari karakteristik gaya yang disebabkan benda tumpul
dan tajam. Gaya kausatif ini dapat pula dijabarkan sebagai gaya semi-tajam,
khususnya oleh beberapa penulis berkebangsaan Jerman. Analisis luka yang
komprehensif, termasuk penilaian akan bentuk total, jenis dari fraktur didasar
luka, serta karakteristik histologis, dapat memfasilitasi identifikasi dari jenis
senjata yang digunakan. Beberapa ketidakteraturan kecil dari bentuk mata pisau
dapat pula menyebabkan pola fraktur unik yang dapat membantu mengenali jenis
14rofession pemotong tertentu yang menyebabkan luka tersebut. Namun,
disamping mempertimbangkan jenis senjata yang dipakai, derajat keparahan serta
morfologi dari luka bacokan bergantung pula pada gaya yang diberikan kepada
(4,5,8,10)
senjata. Target yang paling umum dari serangan benda tajam merupakan
daerah kepala dan leher, hal ini menjelaskan hasil akhir yang fatal pada
kebanyakan kasus. Dalam kasus dimana gaya tangensial (gaya dimana arahnya
membentuk kurva menukik) diberikan kepada area batok kepala, adanya
pengulitan terhadap kulit kepala serta fragmentasi tulang yang berbentuk piringan
atau baji (wedge) dapat pula ditemukan. (2,4)
14
dari luka bacokan terkadang sulit untuk dinilai oleh patologis 15rofessi yang
terlibat dalam kasus-kasus semcaam ini. Maka dari itu, dalam beberapa tahun
belakangan ini, pencitraan medis dan rekonstruksi 3-dimensi dari trauma kranio-
serebral dan area aplikasi lain telah dianggap sebagai alat bantu yang penting dan
berharga oleh ahli 15rofessi. Dalam beberapa kasus, data radiologis klinis
merupakan satu-satunya sumber informasi yang dapat diandalkan mengenai
beberapa luka. (4,5,6)
Dalam artikel ini, kami melaporkan sebuah kasus langka dimana terdapat
pasien yang selamat dari trauma kepala parah dimana terdapat sebuah 15rofession
pemotong yang diduga digunakan sebagai senjata pelaku. Lebih lanjut, kasus ini
menunjukkan kemampuan dari rekonstruksi computed tomography 3-dimensi pra-
perawatan (3DCT) sebagai 15rofession yang dapat diandalkan dalam evaluasi luka
dan identifikasi senjata.
2. Laporan Kasus
2.1 Kronologis Kasus
Pada saat sedang tertidur, seorang pria 29 tahun diserang tetangganya oleh
kapak kecil/beliung. Sesaat kemudian pelaku meninggalkan TKP setelah yakin
bahwa ia telah membunuh korban, dan kemudian menyerahkan diri ke kantor
polisi terdekat. Sementara, si korban yang masih hidup dilarikan ke rumah
sakit pelayanan kesehatan tersier. Dokter unit gawat darurat yang menanganinya
melaporkan bahwa korban mengalami penurunan kesadaran, stabilitas sirkulasi
serta luka-luka yang parah pada area frontal dan midfacial. Setelah melakukan CT
scan darurat pada bagian kepala, luka-lukanya kemudian diberikan pembedahan
komprehensif serta rekonstruksi. Sejak penyerangan terjadi, pasien mengalami
rasa sakit yang permanen dan kemungkinan kehilangan indera penglihatannya
pada mata kanan.
Jaksa penuntut meminta laporan dari ahli forensik untuk mengevaluasi luka
yang dialami korban terkait jumlah luka yang dialami, aspek etiologisnya dan
ancamannya terhadap kehidupan. Hasil dari investigasi polisi serta rekam
medisnya kemudian diperbolehkan untuk dipakai dalam review ini.
15
2.2 Investigasi Medikolegal
16
radiologis klinis dan patologis forensik untuk menilai trauma kompleks yang
terjadi. Analisis citra 3DCT menunjukkan tak hanya pandangan yang jelas dari
kedua luka tersebut, namun juga sudut-sudut benturan benda tajam, dimana hal ini
dapat membantu membuat kesimpulan akan arah dari gaya mekanik yang
diberikan kepada si korban. Cedera frontal ini menyebabkan trauma yang
tangensial (sudutnya menukik) kepada area calvaria dengan disertai formasi
fragmen tulang yang berbentuk piringan, dimulai dari area frontal kiri atas dan
memanjang hingga ke area parietal kanan. Fraktur midfacial yang terjadi memiliki
konfigurasi serupa baji dan terdapat orientasi yang menurun/kemiringan terhadap
bidang (tulang) yang transversal/melintang.
3.DISKUSI
Pemeriksaan forensik dari korban yang selamat dari luka seperti ini
mewakili fenomena yang langka pada pengobatan 17rofessi klinis. Dalam kasus-
kasus post-mortem, patologis 17rofessi seringkali diminta untuk mengklarifikasi
jenis 17rofession pembunuh, jumlah benturan/serangan yang diberikan, serta arah
serta sudut dari benturan. Mekanismenya (baik bersifat disengaja maupun tidak
disengaja) dan keberadaan atau ketiadaan dari luka-luka yang mengancam jiwa
merupakan pertanyaan umum yang diberikan oleh pihak penyidik kepada
patologis forensik.
17
seringkali tidak cukup atau tidak menyertakan skala untuk ukuran (pengukuran
panjang luka, dsb). Maka dari itu, analisis 18rofessi-radiologis dari pencitraan CT
pra-perawatan standar, termasuk rekonstruksi 3-dimensi dari data (3DCT) akan
menyediakan informasi-informasi yang hilang serta membantu menarik
kesimpulan yang jelas. Dalam kasus yang dibahas diatas, 3DCT menampilkan
karakteristik tulang yang konsisten dengan dua luka bacokan yang disebabkan
oleh kapak beliung. Menurut pengalaman kami, interpretasi 18rofessiona dari
cedera-cedera semacam ini yang didasarkan hanya pada pencitraan CT 2-dimensi
saja lebih sulit bagi pihak radiologis dan patologis 18rofessi. Maka dari itu, kami
percaya bahwa 3DCT merupakan alat bantu yang sangat berharga untuk
mendukung evaluasi 18rofessiona dari (khususnya) luka bacok di area kranial.
Johnson dan kolega juga melaporkan sejumlah kasus luka bacokan yang
18
fatal ke kepala dan interpretasi cedera yang optimal menggunakan 3DCT pada
individu yang masih hidup pada saat kejadian perkara. Sebaliknya dalam kasus
yang kami tangani, penulis dihadapkan oleh korelasi antara citra CT dan foto dari
luka yang telah dijahit dan diambil pada 3-4 hari pasca-operasi. Namun, peran
3DCT dalam mendiagnosa kerusakan fraktur yang disebabkan luka bacok dapat
didemonstrasikan secara jelas. Lebih lanjut, penulis menekankan kebutuhan akan
menyelidiki serangkaian kasus yang lebih besar dengan disertai aplikasi dari
rekonstruksi yang dibantu 3DCT untuk mengevaluasi teknik ini lebih lanjut.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa dalam pengalaman kami akan
analisa kasus tunggal ini, hasil yang didapatkan serupa dengan laporan-laporan
yang telah ada sebelumnya. 3DCT menyediakan bukti-bukti yang umumnya tidak
tersedia, hal ini kemudian memfasilitasi penilaian/assessment professional yang
lebih optimal. Karena aplikasi 19rofessi dari 3DCT telah menunjukkan nilai yang
tak terhingga dalam evaluasi pasien yang selamat dari cedera wajah dan kepala
yang berpotensi fatal, signifikansi yang kian meningkat dari penggunaan teknik
ini dapat diperkirakan dalam beberapa waktu yang akan datang. Seperti yang juga
direkomendasikan oleh penulis lain, penilaian gabungan dari rekonstruksi 3DCT
oleh patologi forensik yang berpengalaman dengan disertai radiologis klinis yang
berpengalaman merupakan cara yang paling efektif dalam menghasilkan opini ahli
forensik dalam kasus-kasus tersebut. (10)
19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Traumatologi (dari bahasa Yunani Trauma "yang berarti luka" atau luka)
adalah studi tentang luka dan luka yang disebabkan oleh kecelakaan atau
kekerasan kepada seseorang, dan terapi bedah dan perbaikan kerusakan.
Traumatologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang trauma
atau perlukaan, cedera serta hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa),
yang kelainannya terjadi pada tubuh karena adanya diskontinuitas jaringan akibat
kekerasan yang menimbulkan jejas.
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Didalam
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan,
pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari
permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan yang menyebabkan luka,
dan kualifikasi luka.
Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP dan pasal 179 ayat (1) KUHAP
dijelaskan bahwa penyidik berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau bahkan ahli lainnya. Keterangan ahli
tersebut adalah Visum et Repertum, dimana didalamnya terdapat penjabaran
tentang keadaan korban, baik korban luka, keracunan, ataupun mati. Seorang
dokter perlu menguasai pengetahuan tentang mendeskripsikan luka. Visum et
Repertum harus dibuat sedemikian rupa, yaitu memenuhi persyaratan formal dan
material , sehingga dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah di sidang pengadilan.
20
tersebut dapat menimbulkan luka serta bagaimana dampak atau pengaruh luka
tersebut. Pengaruh luka pada tubuh dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan
disfungsi, dinyatakan sebagai penyakit. Dampak atau pengaruh luka pada tubuh
menjadi dasar penentuan berat ringannya luka. Secara hukum hal ini didasarkan
atas pengaruhnya terhadap kesehatan jasmani, kesehatan rohani, kelangsungan
hidup janin di dalam kandungan, estetika jasmani, pekerjaan jabatan atau
pekerjaan mata pencarian serta fungsi alat indera. Penentuan berat ringannya luka
tersebut dicantumkan dalam bagian kesimpulan visum et repertum.
Menurut KUHP berat ringannya luka atau kualifikasi luka tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Luka ringan :
Adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencariannya. Hukuman terhadap luka
ringan ini tercantum pada pasal 352 ayat 1 KUHP : kecuali yang tersebut pada
pasal 353 dan 356 maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam,
sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau pidanan denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Luka sedang :
Adalah luka yang menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencariannya untuk sementara waktu. Hukuman
dapat dijatuhkan berdasarkan pasal 351 ayat 1 KUHP : penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3. Luka berat :
Adalah sebagaimana tercantum di dalam pasal 90 KUHP, yaitu :
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak member harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
b. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian
c. Kehilangan salah satu panca indera
d. Mendapat cacat berat
21
e. Menderita sakit lumpuh
f. Terganggunya daya piker selama empat minggu lebih
g. Gugur atatu matinya kandungan seorang perempuan
Hukuman dapat dijatuhkan berdasarkan dalam KUHP pasal 351 ayat 2 dan
ayat 3, pasal 353, pasal 354, pasal 355.
3.2 Etiologi
1. Luka karena kekerasan mekanik (benda tajam, tumpul, dan senjata api).
2. Luka karena kekerasan fisik (arus listrik, petir, suhu)
3. Luka karena kekerasan kimiawi (asam, basa, logam berat)
Luka bacok ialah luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam
atau agak tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup
besar. Ciri luka bacok yaitu luka biasanya besar, pinggir luka rata, sudut luka
tajam, hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan
bagian tubuh yang terkena bacokan, kadang-kadang pada tepi luka terdapat
memar, abrasi. Contoh alat yang biasa digunakan adalah pedang, clurit, kapak,
baling-baling kapal dan Machete.
22
Gambar 1.1 :Luka Bacok (6)
Sumber: Dix J. Color Atlas of Forensic Pathology. New York. 2000
1. Jumlah luka.
2. Lokasi luka, meliputi:
a. Lokasi berdasarkan regio anatomiknya.
b. Lokasi berdasarkan garis koordinat atau berdasarkan bagian-bagian
tertentu dari tubuh.
23
punggung dapat dideskripsikan lokasinya berdasarkan garis khayal yang
menghubungkan ujung bawah tulang belikat kanan dan kiri.
24
hukum. Beberapa literature lebih suka menyebutnya yurisprudensi medis.
Kedokteran forensik ini sering disamakan dengan patologi forensik karena
keterlibatan penuh seorang dokter dengan aktivitas forensik yang hampir secara
khusus merupakan pusat bidang keahliannya. Ahli patologi forensik terutama
berkaitan dengan pemeriksaan post-mortem, yang mayoritas akan dekat dengan
jenazah, namun selain itu disiplin ilmu ini juga mencakup banyak masalah hukum
(misalnya, penentuan usia, penyerangan, pelanggaran hak-hak sipil, warisan,
pencurian, malapraktik, pelanggaran seksual, penyelundupan, keperawanan, dan
kelahiran atau kematian yang tidak wajar). Para pathologi forensik ini pada
nantinya akan memberikan keterangan atas sebuah hasil pemeriksaan kesehatan
serta diharapkan dapat menentukan identitas yang diperiksa, jenis luka yang
ditemukan, waktu, cara dan sebab kematian serta hal-hal khusus lainnya yang
berhubungan dengan kasus tertentu. 1,2,3
Dalam penerapannya, bidang forensik telah menggabungkan beberapa
subspesialisasi yang berbeda, seperti patologi forensik,yang meliputi pemeriksaan
manusia yang masih hidup dan sudah meninggal; toksikologi forensik; forensic
biologi molekuler ; dan psikiatri forensik. Namun, ada sebuah terobosan baru di
dunia forensik yaitu pencitraan postmortem yang dimasukkan ke dalam patologi
forensik. Pencitraan postmortem ini tentunya merupakan gabungan dari
subspesialis forensik patologi dan radiologi diagnostic. Ilmu ini juga dikenal
dengan sebutan radiologi forensik, namun dalam perjalanannya masing-masing
ahli patologi forensik dan ahli radilogi diagnostic akan berkerjasama dalam
mengungkap suatu kasus dikarenakan baik dari disiplin ilmu kedokteran forensik
maupun radiologi belum terdapat subspesialis radiologi forensik. Bidang radiologi
forensik ini biasanya meliputi pelaksanaan, interpretasi, dan expertise serta
prosedur radiologis yang ada hubungannya dengan pengadilan dan / atau hukum.
Sampai beberapa dekade yang lalu, radiologi bisa didefinisikan seperti cabang
ilmu kedokteran khusus yang menggunakan energi pancaran pengion dalam
diagnosis dan pengobatan penyakitnya. Modalitas yang bisa digunakan antara lain
mulai dari X-ray, USG, MRI, CT-scan, fluorosent imaging, dan radiologi
intervensi. 1,2,3
25
Dalam menerapkan praktik radiologi forensik, baik patologi forensik
maupun radiologi diagnostik harus diintegrasikan dan tidak dapat berjalan sendiri-
sendiri. Maka dari itu diperlukan komunikasi dan kerjasama yang baik antara
dokter patologi forensik dengan dokter radiologi untuk mengungkap sebuah
kasus, keduanya perlu mengetahui pencitraan kasus emergensi forensik termasuk
ilmu tentang perubahan-perubahan normal post-mortem, cara dan sebab kematian,
tanda radiologi khusus pada sebab kematian yang spesifik, dan mekanisme di
depan hukum serta jenis-jenis pertanyaan dari aparat penegak hukum, sehingga
kedepannya mungkin akan diperlukan subspesialis radiologi forensik untuk
mempelajari dan mengaplikasikan hal tersebut.1,2,3
26
KUHP Pasal 244
Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-
undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-
undang yang harus dipenuhinya, diancam dalam perkara pidana dengan
penjara paling lama Sembilan Bulan
27
pendekatan forensikdalam mendiagnosis masih belum dipahami dengan baik.
Berbeda dengan radiologi klinis, artefak gerak (detak jantung, respirasi) tidak ada
dan paparan radiasi terhadap jenazah tidak diperhitungkan. Lengan mayat harus
ditinggikan di atas kepala, serupa dengan pemeriksaan klinis, untuk meningkatkan
kualitas gambar dan mengurangi artefak streak. Dalam pengaturan tersebut, rigor
mortis, jika ada, harus hilangkan. Sementara jenazah dipindahkan dari brankar ke
sofa CT atau setelah rigor mortis telah rusak, patah tulang postmortem jarang
terjadi dan harus dikomunikasikan ke ahli patologi forensik sebagai cedera
postmortem iatrogenik. Selain itu radiologi klinis biasa menggunakan kontras
dalam pencitraannya dibandingkan dengan pemeriksaan postmortem yang tidak
meggunakan kontras. Meskipun postmortem computed tomography angiography
menawarkan hasil yang baik dalam mnggambarkan kelainan vaskuler atau bagian
yang sulit untuk dilakukan pembedahan, Teknik ini belum diadaptasi secara luas
dalam komunitas forensic. Pembahasan selanjutnya akan fokus dalam perbedaan
antara radiologi klinis dan pencitraan postmortem non kontras. Perubahan dasar
postmortem yang terjadi pada cadaver menyebabkan temuan klinis yang dapat
menggambarkan secara baik suatu keadaan patologisnya, namun masih terlihat
normal pada pencitraan postmortem. 1
28
29
BAB IV
JURNAL PEMBANDING
30
31
31
32
32
33
33
34
34
35
35
36
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
3.1. Simpulan
Kedokteran forensik telah diakui sebagai ilmu pengetahuan khusus atau
disiplin ilmu yang berhubungan dengan penerapan fakta dan pengetahuan medis
terhadap masalah hukum. Dalam penerapannya, bidang forensik telah
menggabungkan beberapa subspesialisasi yang berbeda, seperti patologi
forensik,yang meliputi pemeriksaan manusia yang masih hidup dan sudah
meninggal; toksikologi forensik; forensic biologi molekuler ; dan psikiatri
forensik. Ilmu ini juga dikenal dengan sebutan radiologi forensik, namun dalam
perjalanannya masing-masing ahli patologi forensik dan ahli radilogi diagnostic
akan berkerjasama dalam mengungkap suatu kasus dikarenakan baik dari disiplin
ilmu kedokteran forensik maupun radiologi belum terdapat subspesialis radiologi
forensik. Bidang radiologi forensik ini biasanya meliputi pelaksanaan,
interpretasi, dan expertise serta prosedur radiologis yang ada hubungannya
dengan pengadilan dan / atau hukum. Modalitas yang bisa digunakan antara lain
mulai dari X-ray, USG, MRI, CT-scan, fluorosent imaging, dan radiologi
intervensi.
Ruang lingkup radiologi forensik sama halnya dengan disiplin ilmu lain
yang bertumpu pada pelayanan, pendidikan, penelitian dan administrasi.
Pelayanan yang dapat diberikan dalam bidang radiologi forensik meliputi :
penentuan identitas, evaluasi cedera dan kematian (accidental, nonaccidental),
proses pengadilan tindak pidana, proses pengadilan tindak perdata, dan prosedur
administrasinya. Evaluasi kematian atau cedera nonaccidental meliputi cedera
tulang, peluru dan benda asing, trauma lain dan penyebab lainnya.
3.2. Saran
Untuk berikutnya dapat mengembangkan penelitian tentang radiologi forensik
serta penerapannya di Indonesia
36
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Brogdon BG. In: Brogdon BG, ed. Forensic radiology. Boca Raton,
FL: CRC, 1998
2. Flach PM, Thali MJ, Germerrot T. Times have changed! Forensic
radiology : A new challenge for radiology and forensic pathology.
American Journal of Roentgenology.2014.202:W325-W334
3. Lichtenstein J E. Forensic Radiology. Di unduh pada
www.arrs.org/publications/HRS/diagnosis/RCI_D_c26 pada 28 nov
2017 pk. 21.36 wibThe Virtopsy Project website. www.virtopsy.com.
Accessed November 1, 2017
4. Thali MJ, Yen K, Schweitzer W, et al. Otopsi virtual, a new imaging
horizon in forensic pathology: virtual autopsy by postmortem
multislice computed tomography (MSCT) and magnetic resonance
imaging (MRI)a feasibility study. J ForensicSci.2003; 48:386403
5. Thali MJ, Jackowski C, Oesterhelweg L, Ross SG, Dirnhofer R.
Virtopsythe Swiss virtual autopsy approach. Leg Med (Tokyo) 2007;
9:100104
6. East Midlands Forensic Pathology Unit. A brief history of forensic
radiology.website www2.le.ac.uk/departments/emfpu/imaging/brief-
history
7. Kitab KUHAP
8. Krogman, W. M. and Iscan, M.Y., The Human Skeleton in Forensic
Medicine, 2nd ed., Charles C Thomas, Springfield, IL, 1986, chap. 13.
9. Graham, C. B., Assessment of bone maturation methods and
pitfalls, Radiol. Clin. N. Am., 10, 185, 1972.
10. Girdany, B. R. and Golden, R., Centers of ossification of the skeleton,
Am. J. Roentgenol., 68, 922, 1952.
11. Keats, T. E, Atlas of Roentgenographic Measurement, 6th Mosby Year
Book, St. Louis, 1990, chap. 4B.
37
38
38