Anda di halaman 1dari 38

JOURNAL READING

ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

SEXUAL HOMICIDE

Disusun oleh:
No Nama NIM Universitas
1. Aulia Wiratama Putra 03012041 TRISAKTI
2. Prizilia Saimima 112016047 UKRIDA
3. Rico Christian P 1361050224 UKI
4. Luh Kadek Shastri U 1361050018 UKI
5. Hutri Mahardika 1361050273 UKI

Dosen Penguji:
dr.Wian Pisia Anggreliana, M.H., Sp.KF

Residen Pembimbing:
dr. Dadan Rusmanjaya

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RSUP DR. KARIADI SEMARANG
PERIODE 6 NOVEMBER 2017 - 2 DESEMBER 2017
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah Journal Reading yang berjudul:


THE ROLE OF 3DCT FOR THE EVALUATION OF CHOP INJURIES IN
CLINICAL FORENSIC MEDICINE

Yang disusun oleh:

1. Aulia Wiratama Putra 03012041 TRISAKTI


2. Prizillia Saimima 112016047 UKRIDA
3. Rico Christian P 1361050224 UKI
4. Luh Kadek Shastri U 1361050018 UKI
5. Hutri Mahardika 1361050273 UKI

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:


dr.Wian Pisia Anggreliana, M.H., Sp.KF

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik
Rumah Sakit Umum Pusat DR. Kariadi Semarang
Periode 6 November 2017 2 Desember 2017

Semarang, 22 November 2017


Dosen Penguji, Residen Pembimbing,

dr.Wian Pisia Anggreliana, M.H., Sp.KF dr. Dadan Rusmanjaya

ii
KATA PENGANTAR

Pertama penulis mengucapkan puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yang
Maha Esa sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah journal reading
mengenai The Role Of 3DCT for The Evaluation of Chop Injuries In Clinical
Forensic Medicine, tepat pada waktunya. Adapun pembuatan makalah ini adalah
untuk melengkapi tugaskepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kedokteran Forensik di
RSUP Dokter Kariadi Semarang.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
penguji, dr. Wian Pisia Anggreliana, M.H., Sp.KF dan kepada residen
pembimbing, dr. Dadan R yang telah memberikan bimbingannya dalam proses
penyelesaian makalah ini dan dalam pelaksanaan kepaniteraan.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang
membacanya. Penulis memohon maaf apabila pada penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan. Untuk itu penulis sangat terbuka untuk kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca guna perbaikan makalah ini.

Semarang, 22 November 2017

Penulis

iii
4

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Ilmu kedokteran forensik adalah salah satu cabang spesialistik ilmu


kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran untuk membantu penegakan
hukum dan pemecahan masalah masalah di bidang hukum. Memang pada
mulanya ilmu kedokteran forensik hanya diperuntukan bagi kepentingan
peradilan, namun dalam perkembangannya juga dimanfaatkan dibidang bidang
yang bukan untuk peradilan.

Ruang lingkup kedokteran forensik berkembang dari waktu ke waktu. Dari


semula hanya pada kematian korban kejahatan, kematian tak diharapkan/ tak
diduga, mayat tak dikenal, hingga para korban kejahatan yang masih hidup, atau
bahkan kerangka, jaringan, dan bahan biologis yang diduga berasal dari manusia.
Jenis perkaranya pum meluas dari pembunuhan, penganiayaan, kejahatan seksual,
kekerasan dalam rumah tangga, child abuse and neglect, perselisihan pada
perceraian, anak yang mencari ayah (paternity testing), hingga ke pelangggaran
hak asasi manusia. Apabila Ilmu Kedokteran Forensik yang digunakan utuk
menangani korban mati disebut sebagai patologi forensik, maka yang menangani
korban hidup ataupun tersangka pelaku disebut sebagai kedokteran forensik klinik
(clinical forensic medicine, atau di beberapa negara disebut police surgeon).

Kedokteran forensic terdiri dari 2 cabang ilmu yaitu ilmu patologi forensik
dan forensik klinis. Patologi forensik sudah menjadi cabang spesialistik
kedokteran sejak 1958, dan dikenal sebagai ilmu yang memanfaatkan orang mati
untuk kepentingan orang hidup (learn from the dead for the living). Patologi
forensik membuat mayat dan barang bukti diam lain (silent witness) menjadi
mampu berbicar dan bersaksi untuk kepentingan hukum. Patologi forensik
melakukan pemeriksaan mayat, baik bagian luar maupun melakukan autopsi, dan
kemudian melakukan pemeriksaan laboratorium penunjang. Tidak jarang
pekerjaannya didahului dengan pemeriksaan di tempat kejadian perkara, serta
mereview keterangan saksi dan riwayat penyakit. Dalam prakteknya, patologi
5

forensik bekerjasama dengan ilmu ilmu forensik lainnya, dalam mengungkap


tindak pidana, seperti entomologi, toksikologi, antropologi, balistik, odontologi,
serologi, forensik molekular (DNA) dan lain lain.

Sedangkan forensik klinik adalah bidang kedokteran forensik yang relatif baru
berkembang. Di Indonesia bahkan baru dalam tahap penerapan awal setelah
diperkenalkan sejak tahun 1998. Bidang ini melayani korban perkara kekerasan
fisik (termasuk penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga), pencederaan
diri, cedera non aksidental pada anak, perkosaan dan kejahatan seksual lainnya,
kelayakan diperiksa atau ditahan (fitness to be interviewed, fitness to be detained).
Forensik klinik adalah cabang ilmu kedokteran forensik yang mempergunakan
ilmu dan pengetahuan klinik dalam usaha untuk pembuktian ilmiah dengan
pencatatan, pengumpulan dan interpretasi bukti medis dari korban hidup agar
tetap asli, ilmiah dan diterima di pengadilan. Pelayanan forensic klinik bersifat
komprehensif dengan mempertimbangkan korban bukan saja sebagai barang bukti
tetapi juga dilihat sebagai pasien.

Sekitar 50-70% kasus yang terdapat di instalasi gawat darurat adalah kasus
perlukaan atau trauma. Luka-luka ini dapat terjadi akibat dari kecelakaan,
penganiayaan, bunuh diri, bencana, maupun terorisme. Luka pada trauma terjadi
sekitar 1,6 juta kasus setiap tahunnya. Salah satu luka yang disebabkan oleh
karena kekerasan benda tajam yaitu luka bacok. Luka bacok umumnya terjadi
pada daerah yang dapat terjangkau oleh tangan korban. Tempat yang lazim adalah
leher, dada sebelah kiri, pergelangan tangan, dan perut.

Ciri luka bacok yaitu luka biasanya besar, pinggir luka rata, sudut luka tajam,
hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan bagian
tubuh yang terkena bacokan, kadang-kadang pada tepi luka terdapat memar.
Untuk mendiagnosis luka bacok, selain dalam ilmu forensic klinis dapat juga
didiagnosis dengan menggunakan ilmu radiologi, salah satunya dengan 3DCT.
6

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas mengenai journal reading denganreview studi
kasus dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang modern terhadap luka
bacok.

1.3 Rumusan Masalah


a. Mengetahui proses dan kegunaan 3DCT dalam evaluasi luka bacok pada
pengobatan forensic klinis
b. Mengetahui adakah peran penting antara kegunaan 3DCT dalam forensic
klinis
c. Mengetahui cara mengidentifikasi luka bacok pada 3DCT
.

1.4 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui manfaat kegunaan 3DCT dalam
ilmu forensik
1.5 Manfaat
a. Dapat digunakan untuk menambang pengetahuan ilmu kedokteran fornsik
terutama kegunaaan 3DCT dalam evaluasi luka bacok pada pengobatan
forensic klinis
b. Dapat memberikan informasi yang bermanfaat tentang pengetahuan
kegunaan 3DCT dalam luka bacok
.
7
BAB II
ISI JURNAL

8
9
10
11
12
PERAN 3DCT DALAM EVALUASI LUKA BACOKAN PADA
PENGOBATAN FORENSIK KLINIS

Abstrak

Dikarenakan serangan kapak ke kepala manusia seringkali menyebabkan


cedera yang fatal, pemeriksaan 13rofessi dari orang yang selamat dari luka
bacokan pada area kranial adalah fenomena yang langka dalam penanganan kasus
forensik. Disamping evaluasi dari rekam jejak klinis, foto dan pemeriksaan fisik
Medico-legal; analisis dan rekonstruksi tiga-dimensi dari data CT pra-perawatan
(3DCT) harus dipertimbangkan sebagai aspek penting dan tak tergantikan dalam
penilaian terhadap kasus-kasus tersebut; hal ini disebabkan beberapa karakteristik
dari trauma luka bacokan seringkali terselubung atau berubah-ubah apabila
diberikan penanganan klinis. Dalam artikel ini, peran dari 3DCT dalam evaluasi
luka bacokan pada pengobatan forensik klinis didemonstrasikan lewat sebuah
laporan kasus ilustratif dari seorang pria muda yang dilukai oleh kapak kecil
(hatchet/kapak beliung), dimana 3DCT menyediakan kemungkinan-kemungkinan
tambahan dalam menyuplai informasi yang hilang, seperti jumlah 13rofessi dari
serangan kapak serta identifikasi terhadap senjata yang digunakan. Lebih lanjut,
3DCT dapat memfasilitasi demonstrasi di ranah pengadilan dan dapat lebih
mudah dipahami oleh masyarakat yang awam medis. Kami menyimpulkan bahwa
3DCT memiliki nilai yang khusus dalam evaluasi terhadap pasien yang selamat
dari cedera wajah dan kepala yang berpotensi fatal. Maka dari itu, signifikansi
yang semakin tinggi dari penggunaan teknik ini dapat diperkirakan dalam

13
beberapa waktu ke depan.

2016 Elsevier Ltd and Faculty of Forensic and Legal Medicine. All rights reserved.

1. Pendahuluan
Luka bacokan umumnya dijabarkan sebagai hasil akhir dari gaya yang
disebabkan benda tajam, khususnya alat berat yang memiliki mata pisau tajam
seperti kapak, kapak kecil/beliung, machete, sekop dan pisau daging. (1,2) Baling-
baling kapal laut, pesawat terbang atau forensik dapat juga menyebabkan luka
serupa bacokan. (1,3) Temuan yang tipikal dari luka bacokan adalah luka torehan
yang menganga dan dalam disertai cedera terhadap struktur tulang dibawahnya.
(1,2,3.4.5)
Tepian dari luka umumnya lurus dan tajam, namun seringkali terdapat
abrasi setidaknya pada satu sisi, dimana abrasi ini dapat dikaitkan dengan
ketebalan mata pisau dan/atau derajat ketumpulannya. (2) Jembatan dari jaringan
lembut pada kedalaman luka, kerusakan jaringan disekitarnya serta pada tepian
(2,6)
luka dapat pula ditemukan. Maka dari itu, kebanyakan luka bacokan
memperlihatkan kombinasi dari karakteristik gaya yang disebabkan benda tumpul
dan tajam. Gaya kausatif ini dapat pula dijabarkan sebagai gaya semi-tajam,
khususnya oleh beberapa penulis berkebangsaan Jerman. Analisis luka yang
komprehensif, termasuk penilaian akan bentuk total, jenis dari fraktur didasar
luka, serta karakteristik histologis, dapat memfasilitasi identifikasi dari jenis
senjata yang digunakan. Beberapa ketidakteraturan kecil dari bentuk mata pisau
dapat pula menyebabkan pola fraktur unik yang dapat membantu mengenali jenis
14rofession pemotong tertentu yang menyebabkan luka tersebut. Namun,
disamping mempertimbangkan jenis senjata yang dipakai, derajat keparahan serta
morfologi dari luka bacokan bergantung pula pada gaya yang diberikan kepada
(4,5,8,10)
senjata. Target yang paling umum dari serangan benda tajam merupakan
daerah kepala dan leher, hal ini menjelaskan hasil akhir yang fatal pada
kebanyakan kasus. Dalam kasus dimana gaya tangensial (gaya dimana arahnya
membentuk kurva menukik) diberikan kepada area batok kepala, adanya
pengulitan terhadap kulit kepala serta fragmentasi tulang yang berbentuk piringan
atau baji (wedge) dapat pula ditemukan. (2,4)

Berbanding terbalik terhadap situasi di ruang otopsi, karakteristik-karakteristik

14
dari luka bacokan terkadang sulit untuk dinilai oleh patologis 15rofessi yang
terlibat dalam kasus-kasus semcaam ini. Maka dari itu, dalam beberapa tahun
belakangan ini, pencitraan medis dan rekonstruksi 3-dimensi dari trauma kranio-
serebral dan area aplikasi lain telah dianggap sebagai alat bantu yang penting dan
berharga oleh ahli 15rofessi. Dalam beberapa kasus, data radiologis klinis
merupakan satu-satunya sumber informasi yang dapat diandalkan mengenai
beberapa luka. (4,5,6)

Dalam artikel ini, kami melaporkan sebuah kasus langka dimana terdapat
pasien yang selamat dari trauma kepala parah dimana terdapat sebuah 15rofession
pemotong yang diduga digunakan sebagai senjata pelaku. Lebih lanjut, kasus ini
menunjukkan kemampuan dari rekonstruksi computed tomography 3-dimensi pra-
perawatan (3DCT) sebagai 15rofession yang dapat diandalkan dalam evaluasi luka
dan identifikasi senjata.

2. Laporan Kasus
2.1 Kronologis Kasus
Pada saat sedang tertidur, seorang pria 29 tahun diserang tetangganya oleh
kapak kecil/beliung. Sesaat kemudian pelaku meninggalkan TKP setelah yakin
bahwa ia telah membunuh korban, dan kemudian menyerahkan diri ke kantor
polisi terdekat. Sementara, si korban yang masih hidup dilarikan ke rumah
sakit pelayanan kesehatan tersier. Dokter unit gawat darurat yang menanganinya
melaporkan bahwa korban mengalami penurunan kesadaran, stabilitas sirkulasi
serta luka-luka yang parah pada area frontal dan midfacial. Setelah melakukan CT
scan darurat pada bagian kepala, luka-lukanya kemudian diberikan pembedahan
komprehensif serta rekonstruksi. Sejak penyerangan terjadi, pasien mengalami
rasa sakit yang permanen dan kemungkinan kehilangan indera penglihatannya
pada mata kanan.

Jaksa penuntut meminta laporan dari ahli forensik untuk mengevaluasi luka
yang dialami korban terkait jumlah luka yang dialami, aspek etiologisnya dan
ancamannya terhadap kehidupan. Hasil dari investigasi polisi serta rekam
medisnya kemudian diperbolehkan untuk dipakai dalam review ini.

15
2.2 Investigasi Medikolegal

Aspek mediko legal pemeriksaan fisik selama 2 hari setelah operasi


pembedahan mengungkapkan bahwa terdapat luka sepanjang 30 sentimeter
berbentuk semi-lunar (menyerupai bulan sabit) yang sudah dijahit pada area
kening bagian atas dan luka lurus sepanjang 12 sentimeter pada area kelopak mata
bagian atas dan hidung bagian atas. Pada awal peradilan belum jelas apakah kedua
luka ini merupakan hasil satu kali serangan atas korban atau salah satunya (pada
bagian mata) merupakan luka perpanjangan atau hasil dari kesalahan prosedur
pembedahan.

Kemudian rekam jejak medis menyertakan serangkaian foto pra-perawatan


dari luka di kepala yang menunjukkan kedua luka yang berdarah dan menganga.
Tepian luka tertutup sebagian oleh darah. Pada beberapa bagian, tepian dari luka
tersebut terlihat seperti hasil dari sayatan. Abrasi pada sekitar luka atau jembatan
jaringan lunak pada kedalaman luka tidak dapat dikenali pada foto ini.

2.3 Penyidikan Forensik-Radiologis

Menggunakan rekonstruksi axial, coronal dan sagittal, CT scan trauma


standar dengan 40 baris multi-detector computed tomography (MDCT;
SOMATOM Sensation 40 buatan Siemens), mengungkapkan dua zona luka utama.

1) Trauma kranioserebral yang menyertakan fraktur pada bagian frontal kiri


tengkorak, hematoma epidural, gelembung udara yang terperangkap dan
terbelahnya calvarium antara lapisan internal dan eksternal.

2) Fraktur midfacial kompleks disertai fragmentasi dari rongga hidung, sinus


paranasal dan kedua orbit, perpindahan bola mata secara latero-ventral (latero-
ventral displacement) serta keberadaan udara yang terperangkap.

Karena kerumitan dari cedera yang dialami pasien, alokasi menyeluruh


dan jelas dari dua zona luka yang ditemukan pada hasil pencitraan standar 2-
dimensi dianggap tidak memuaskan, begitu pula dengan foto pra-operasi dari
kedua luka tersebut, serta keadaan dari luka pasca-penanganan medis. Maka dari
3DCT memainkan peranannya untuk menyediakan pandangan tambahan kepada

16
radiologis klinis dan patologis forensik untuk menilai trauma kompleks yang
terjadi. Analisis citra 3DCT menunjukkan tak hanya pandangan yang jelas dari
kedua luka tersebut, namun juga sudut-sudut benturan benda tajam, dimana hal ini
dapat membantu membuat kesimpulan akan arah dari gaya mekanik yang
diberikan kepada si korban. Cedera frontal ini menyebabkan trauma yang
tangensial (sudutnya menukik) kepada area calvaria dengan disertai formasi
fragmen tulang yang berbentuk piringan, dimulai dari area frontal kiri atas dan
memanjang hingga ke area parietal kanan. Fraktur midfacial yang terjadi memiliki
konfigurasi serupa baji dan terdapat orientasi yang menurun/kemiringan terhadap
bidang (tulang) yang transversal/melintang.

2.4 Kesimpulan Medikolegal

Kesimpulan yang ditarik oleh ahli 17rofessiona menyatakan bahwa dua


hasil foto pra-perawatan dapat dianggap konsisten dengan setidaknya dua luka
bacokan yang disebabkan oleh senjata seperti kampak, dimana sebuah kapak kecil
ditemukan pada TKP. Kemungkinan besar, apabila tidak diberikan penanganan
medis secara cukup, kondisi ini dapat berujung kematian.

3.DISKUSI

Pemeriksaan forensik dari korban yang selamat dari luka seperti ini
mewakili fenomena yang langka pada pengobatan 17rofessi klinis. Dalam kasus-
kasus post-mortem, patologis 17rofessi seringkali diminta untuk mengklarifikasi
jenis 17rofession pembunuh, jumlah benturan/serangan yang diberikan, serta arah
serta sudut dari benturan. Mekanismenya (baik bersifat disengaja maupun tidak
disengaja) dan keberadaan atau ketiadaan dari luka-luka yang mengancam jiwa
merupakan pertanyaan umum yang diberikan oleh pihak penyidik kepada
patologis forensik.

Dalam pengobatan forensik klinis, karakteristik yang disebutkan diatas


mengenai trauma luka bacok seringkali tertutupi atau berubah seiring dengan
pemberian penanganan klinis. Fotografi pra-penanganan yang sesuai dengan
tuntutan dari penyidikan pun tergolong jarang, dan apabila terdapat foto-foto
yang dianggap mencukupi sejumlah kriteria tersebut, resolusi serta kualitasnya

17
seringkali tidak cukup atau tidak menyertakan skala untuk ukuran (pengukuran
panjang luka, dsb). Maka dari itu, analisis 18rofessi-radiologis dari pencitraan CT
pra-perawatan standar, termasuk rekonstruksi 3-dimensi dari data (3DCT) akan
menyediakan informasi-informasi yang hilang serta membantu menarik
kesimpulan yang jelas. Dalam kasus yang dibahas diatas, 3DCT menampilkan
karakteristik tulang yang konsisten dengan dua luka bacokan yang disebabkan
oleh kapak beliung. Menurut pengalaman kami, interpretasi 18rofessiona dari
cedera-cedera semacam ini yang didasarkan hanya pada pencitraan CT 2-dimensi
saja lebih sulit bagi pihak radiologis dan patologis 18rofessi. Maka dari itu, kami
percaya bahwa 3DCT merupakan alat bantu yang sangat berharga untuk
mendukung evaluasi 18rofessiona dari (khususnya) luka bacok di area kranial.

Dengan menerapkan 18 rofessional 18 rofessi klasik kkepada korban yang


selamat, Grassberger dan kolega menyatakan bahwa 3DCT dalam kasus trauma
kepala parah memiliki beberapa kelebihan, khususnya kepada patologis 18rofessi
yang mengevaluasi kasus-kasus tersebut. Penulis khususnya menekankan
penampilan pola fraktur yang serupa pada proses otopsi, kemungkinan akan
pengukuran dimensi luka yang akurat, kemungkinan dalam melakukan reka ulang
kejadian perkara, serta kemungkinan penyocokan 18rofession yang dipakai
pelaku. Lebih lanjut, trauma kompleks pada area wajah atau kranial dapat
divisualisasikan secara lebih mudah dalam laporan ahli atau didemonstrasikan dan
dijelaskan di depan hakim, yang secara langsung juga memfasilitasi pemahaman
dari khalayak yang awam medis. Beberapa penulis juga menjelaskan potensi
berharga dari 3DCT dalam proses mengidentifikasi yang bertanggung jawab akan
luka terkait, bahkan dalam kasus dimana terdapat penggunaan jenis senjata yang
tidak lazim.

Dengan mempertimbangkan pencitraan forensik dari luka yang disebabkan


kapak beliung, Ampanozi dan kolega melaporkan bahwa dalam kasus post-
mortem yang menjalani prosedur CT scan dan MRI sebelum otopsi, penggunaan
3DCT sebaliknya dapat menunjukkan karakteristik dari trauma yang disebabkan
luka bacokan pada pengujian awal.

Johnson dan kolega juga melaporkan sejumlah kasus luka bacokan yang

18
fatal ke kepala dan interpretasi cedera yang optimal menggunakan 3DCT pada
individu yang masih hidup pada saat kejadian perkara. Sebaliknya dalam kasus
yang kami tangani, penulis dihadapkan oleh korelasi antara citra CT dan foto dari
luka yang telah dijahit dan diambil pada 3-4 hari pasca-operasi. Namun, peran
3DCT dalam mendiagnosa kerusakan fraktur yang disebabkan luka bacok dapat
didemonstrasikan secara jelas. Lebih lanjut, penulis menekankan kebutuhan akan
menyelidiki serangkaian kasus yang lebih besar dengan disertai aplikasi dari
rekonstruksi yang dibantu 3DCT untuk mengevaluasi teknik ini lebih lanjut.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa dalam pengalaman kami akan
analisa kasus tunggal ini, hasil yang didapatkan serupa dengan laporan-laporan
yang telah ada sebelumnya. 3DCT menyediakan bukti-bukti yang umumnya tidak
tersedia, hal ini kemudian memfasilitasi penilaian/assessment professional yang
lebih optimal. Karena aplikasi 19rofessi dari 3DCT telah menunjukkan nilai yang
tak terhingga dalam evaluasi pasien yang selamat dari cedera wajah dan kepala
yang berpotensi fatal, signifikansi yang kian meningkat dari penggunaan teknik
ini dapat diperkirakan dalam beberapa waktu yang akan datang. Seperti yang juga
direkomendasikan oleh penulis lain, penilaian gabungan dari rekonstruksi 3DCT
oleh patologi forensik yang berpengalaman dengan disertai radiologis klinis yang
berpengalaman merupakan cara yang paling efektif dalam menghasilkan opini ahli
forensik dalam kasus-kasus tersebut. (10)

19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Traumatologi (dari bahasa Yunani Trauma "yang berarti luka" atau luka)
adalah studi tentang luka dan luka yang disebabkan oleh kecelakaan atau
kekerasan kepada seseorang, dan terapi bedah dan perbaikan kerusakan.
Traumatologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang trauma
atau perlukaan, cedera serta hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa),
yang kelainannya terjadi pada tubuh karena adanya diskontinuitas jaringan akibat
kekerasan yang menimbulkan jejas.

Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Didalam
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan,
pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari
permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan yang menyebabkan luka,
dan kualifikasi luka.

Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP dan pasal 179 ayat (1) KUHAP
dijelaskan bahwa penyidik berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau bahkan ahli lainnya. Keterangan ahli
tersebut adalah Visum et Repertum, dimana didalamnya terdapat penjabaran
tentang keadaan korban, baik korban luka, keracunan, ataupun mati. Seorang
dokter perlu menguasai pengetahuan tentang mendeskripsikan luka. Visum et
Repertum harus dibuat sedemikian rupa, yaitu memenuhi persyaratan formal dan
material , sehingga dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah di sidang pengadilan.

Dokter sebagai warga Negara bahkan kebanyakan adalah pegawai negeri


maka berdasarkan pasal 108 KUHAP mempunyai kewajiban melaporkan kepada
yang berwenang bila mengetahui adanya tindak pidana. Dokter yang merupakan
bagian dari sumber daya rumah sakit yang harus dilindungi oleh rumah sakit.
Pemeriksaan pada korban hidup dalam hal korban tindak pidana
penganiayaan atau kelalaian orang lain makan bantuan dokter diperlukan untuk
membuktikan ada luka atau tidak, benda penyebab luka, bagaimana cara benda

20
tersebut dapat menimbulkan luka serta bagaimana dampak atau pengaruh luka
tersebut. Pengaruh luka pada tubuh dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan
disfungsi, dinyatakan sebagai penyakit. Dampak atau pengaruh luka pada tubuh
menjadi dasar penentuan berat ringannya luka. Secara hukum hal ini didasarkan
atas pengaruhnya terhadap kesehatan jasmani, kesehatan rohani, kelangsungan
hidup janin di dalam kandungan, estetika jasmani, pekerjaan jabatan atau
pekerjaan mata pencarian serta fungsi alat indera. Penentuan berat ringannya luka
tersebut dicantumkan dalam bagian kesimpulan visum et repertum.
Menurut KUHP berat ringannya luka atau kualifikasi luka tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Luka ringan :
Adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencariannya. Hukuman terhadap luka
ringan ini tercantum pada pasal 352 ayat 1 KUHP : kecuali yang tersebut pada
pasal 353 dan 356 maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam,
sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau pidanan denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Luka sedang :
Adalah luka yang menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencariannya untuk sementara waktu. Hukuman
dapat dijatuhkan berdasarkan pasal 351 ayat 1 KUHP : penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3. Luka berat :
Adalah sebagaimana tercantum di dalam pasal 90 KUHP, yaitu :
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak member harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
b. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian
c. Kehilangan salah satu panca indera
d. Mendapat cacat berat

21
e. Menderita sakit lumpuh
f. Terganggunya daya piker selama empat minggu lebih
g. Gugur atatu matinya kandungan seorang perempuan

Hukuman dapat dijatuhkan berdasarkan dalam KUHP pasal 351 ayat 2 dan
ayat 3, pasal 353, pasal 354, pasal 355.

3.2 Etiologi
1. Luka karena kekerasan mekanik (benda tajam, tumpul, dan senjata api).
2. Luka karena kekerasan fisik (arus listrik, petir, suhu)
3. Luka karena kekerasan kimiawi (asam, basa, logam berat)

3.3 Traumatology Luka Bacok

Luka bacok ialah luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam
atau agak tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup
besar. Ciri luka bacok yaitu luka biasanya besar, pinggir luka rata, sudut luka
tajam, hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan
bagian tubuh yang terkena bacokan, kadang-kadang pada tepi luka terdapat
memar, abrasi. Contoh alat yang biasa digunakan adalah pedang, clurit, kapak,
baling-baling kapal dan Machete.

22
Gambar 1.1 :Luka Bacok (6)
Sumber: Dix J. Color Atlas of Forensic Pathology. New York. 2000

3.4 Deskripsi Luka

1. Jumlah luka.
2. Lokasi luka, meliputi:
a. Lokasi berdasarkan regio anatomiknya.
b. Lokasi berdasarkan garis koordinat atau berdasarkan bagian-bagian
tertentu dari tubuh.

Menentukan lokasi berdasarkan garis koordinat dilakukan untuk luka pada


regio yang luas seperti di dada, perut, penggung. Koordinat tubuh dibagi dengan
menggunakan garis khayal yang membagi tubuh menjadi dua yaitu kanan dan kiri,
garis khayal mendatar yang melewati puting susu, garis khayal mendatar yang
melewati pusat, dan garis khayal mendatar yang melewati ujung tumit. Pada kasus
luka tembak harus selalu diukur jarak luka dari garis khayal mendatar yang
melewati kedua ujung tumit untuk kepentingan rekonstruksi. Untuk luka di bagian

23
punggung dapat dideskripsikan lokasinya berdasarkan garis khayal yang
menghubungkan ujung bawah tulang belikat kanan dan kiri.

3. Bentuk luka, meliputi :


a. Bentuk sebelum dirapatkan
b. Bentuk setelah dirapatkan
4. Ukuran luka, meliputi sebelum dan sesudah dirapatkan ditulis dalam
bentuk panjang x lebar x tinggi dalam satuan sentimeter atau milimeter.
5. Sifat-sifat luka, meliputi :
a. Daerah pada garis batas luka, meliputi :
- Batas (tegas atau tidak tegas)
- Tepi (rata atau tidak rata)
- Sudut luka (runcing atau tumpul)
b. Daerah di dalam garis batas luka, meliputi:
- Jembatan jaringan (ada atau tidak ada)
- Tebing (ada atau tidak ada, jika ada terdiri dari apa)
- Dasar luka
c. Daerah di sekitar garis batas luka, meliputi :
- Memar (ada atau tidak)
- Lecet (ada atau tidak)
- Tatoase (ada atau tidak)

4.Definisi Radiologi Forensik


Forensik berasal dari Bahasa Latin forens yang berarti dari atau termasuk
dalam forum, umum, setara dengan forum, dapat juga berarti argumentative,
retorika, termasuk debat atau diskusi. Namun secara modern forensik diartikan
sebagai berkaitan dengan, terhubung dengan atau digunakan di pengadilan
peradilan atau diskusi dan debat public, dengan demikian ilmu forensik meliputi
penerapan pengetahuan ilmiah dan / atau teknis khusus untuk permasalahan sipil
dan hukum pidana, terutama dalam proses peradilan. Sedangkan kedokteran
forensik telah diakui sebagai ilmu pengetahuan khusus atau disiplin ilmu yang
berhubungan dengan penerapan fakta dan pengetahuan medis terhadap masalah

24
hukum. Beberapa literature lebih suka menyebutnya yurisprudensi medis.
Kedokteran forensik ini sering disamakan dengan patologi forensik karena
keterlibatan penuh seorang dokter dengan aktivitas forensik yang hampir secara
khusus merupakan pusat bidang keahliannya. Ahli patologi forensik terutama
berkaitan dengan pemeriksaan post-mortem, yang mayoritas akan dekat dengan
jenazah, namun selain itu disiplin ilmu ini juga mencakup banyak masalah hukum
(misalnya, penentuan usia, penyerangan, pelanggaran hak-hak sipil, warisan,
pencurian, malapraktik, pelanggaran seksual, penyelundupan, keperawanan, dan
kelahiran atau kematian yang tidak wajar). Para pathologi forensik ini pada
nantinya akan memberikan keterangan atas sebuah hasil pemeriksaan kesehatan
serta diharapkan dapat menentukan identitas yang diperiksa, jenis luka yang
ditemukan, waktu, cara dan sebab kematian serta hal-hal khusus lainnya yang
berhubungan dengan kasus tertentu. 1,2,3
Dalam penerapannya, bidang forensik telah menggabungkan beberapa
subspesialisasi yang berbeda, seperti patologi forensik,yang meliputi pemeriksaan
manusia yang masih hidup dan sudah meninggal; toksikologi forensik; forensic
biologi molekuler ; dan psikiatri forensik. Namun, ada sebuah terobosan baru di
dunia forensik yaitu pencitraan postmortem yang dimasukkan ke dalam patologi
forensik. Pencitraan postmortem ini tentunya merupakan gabungan dari
subspesialis forensik patologi dan radiologi diagnostic. Ilmu ini juga dikenal
dengan sebutan radiologi forensik, namun dalam perjalanannya masing-masing
ahli patologi forensik dan ahli radilogi diagnostic akan berkerjasama dalam
mengungkap suatu kasus dikarenakan baik dari disiplin ilmu kedokteran forensik
maupun radiologi belum terdapat subspesialis radiologi forensik. Bidang radiologi
forensik ini biasanya meliputi pelaksanaan, interpretasi, dan expertise serta
prosedur radiologis yang ada hubungannya dengan pengadilan dan / atau hukum.
Sampai beberapa dekade yang lalu, radiologi bisa didefinisikan seperti cabang
ilmu kedokteran khusus yang menggunakan energi pancaran pengion dalam
diagnosis dan pengobatan penyakitnya. Modalitas yang bisa digunakan antara lain
mulai dari X-ray, USG, MRI, CT-scan, fluorosent imaging, dan radiologi
intervensi. 1,2,3

25
Dalam menerapkan praktik radiologi forensik, baik patologi forensik
maupun radiologi diagnostik harus diintegrasikan dan tidak dapat berjalan sendiri-
sendiri. Maka dari itu diperlukan komunikasi dan kerjasama yang baik antara
dokter patologi forensik dengan dokter radiologi untuk mengungkap sebuah
kasus, keduanya perlu mengetahui pencitraan kasus emergensi forensik termasuk
ilmu tentang perubahan-perubahan normal post-mortem, cara dan sebab kematian,
tanda radiologi khusus pada sebab kematian yang spesifik, dan mekanisme di
depan hukum serta jenis-jenis pertanyaan dari aparat penegak hukum, sehingga
kedepannya mungkin akan diperlukan subspesialis radiologi forensik untuk
mempelajari dan mengaplikasikan hal tersebut.1,2,3

5.Peran Radiolog Forensik dalam Peradilan


5.1.Peran Radiologis sebagai Saksi Ahli
Dasar Hukum

a. Pembuatan Visum et Repertum8


Pasal 133 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi
cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
b. Permintaan sebagai Saksi Ahli8
KUHAP Pasal 179 (1)
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan

26
KUHP Pasal 244
Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-
undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-
undang yang harus dipenuhinya, diancam dalam perkara pidana dengan
penjara paling lama Sembilan Bulan

6.Perbedaan radiologi klinis dan radiologi forensic

Dunia kedokteran sekarang ini sangat bergantung pada pencitraan


radiologi dalam Pratik klinis sehari hari. Akurasi dalam diagnosis imagin sangat
penting dalam menentukan terapi yang efektif untuk sebuah keadaan patologi
yang parah. Pencitraan cross sectional berkembang pesat beberapa decade
terakhir, sebagai contoh seperti pengembangan dalam berbagai jenis modalitas
seperti computed tomografi (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI).
Bahkan, pencitraan cross sectional juga telah berevolusi dalam bidangg
kedokteran forensic, tidak hanya untuk keperluan diagnostic, tetapi juga untuk
dokumentasi seperti yang bisa diterima di pengadilan dan juga dapat
menggambarkan hubungan anatomi yang kompleks pada orang awam dalam
bentuk 3D dan bloodless. 1

Dengan masih berlangsungnya adaptasi pencitraaan cross sectional pada


patologi forensic, subspesialis radiologi yang dulunnya hampi terlantar kini
menjadi topik yang hangat, yaitu forensic radiologi. Radiologi klinis cenderung
salah dalam menangapi temuan pada pencitraan postmortem. Radiologi klinis
yang tidak mempunyai pengalaman dalam pencitraan postmortem akan dengan
mudah terjebak dan akan menyadari bahwa pencitraan postmortem dan radiologi
klinis sangat berbeda. Ppemeriksa haus memperhitungkan luasnya perubahaan
postmortem yang diakibatkan dari gravitasi, autolysis, edema, pemecahan darah
dan koagulasi atau pembentukan gas.1

Pada awal permulaan dari pencitraan cross sectional postmortem, keadaan


organ mayat dengan efek sedimentasi dari darah, pembentukan gas yang
disebabakan oleh dekomposisi, perubahan suhu tubuh,dan khususnya perbedaan

27
pendekatan forensikdalam mendiagnosis masih belum dipahami dengan baik.
Berbeda dengan radiologi klinis, artefak gerak (detak jantung, respirasi) tidak ada
dan paparan radiasi terhadap jenazah tidak diperhitungkan. Lengan mayat harus
ditinggikan di atas kepala, serupa dengan pemeriksaan klinis, untuk meningkatkan
kualitas gambar dan mengurangi artefak streak. Dalam pengaturan tersebut, rigor
mortis, jika ada, harus hilangkan. Sementara jenazah dipindahkan dari brankar ke
sofa CT atau setelah rigor mortis telah rusak, patah tulang postmortem jarang
terjadi dan harus dikomunikasikan ke ahli patologi forensik sebagai cedera
postmortem iatrogenik. Selain itu radiologi klinis biasa menggunakan kontras
dalam pencitraannya dibandingkan dengan pemeriksaan postmortem yang tidak
meggunakan kontras. Meskipun postmortem computed tomography angiography
menawarkan hasil yang baik dalam mnggambarkan kelainan vaskuler atau bagian
yang sulit untuk dilakukan pembedahan, Teknik ini belum diadaptasi secara luas
dalam komunitas forensic. Pembahasan selanjutnya akan fokus dalam perbedaan
antara radiologi klinis dan pencitraan postmortem non kontras. Perubahan dasar
postmortem yang terjadi pada cadaver menyebabkan temuan klinis yang dapat
menggambarkan secara baik suatu keadaan patologisnya, namun masih terlihat
normal pada pencitraan postmortem. 1

Tabel. 2 Perbandingan antara radiologi klinis dan forensik

Radiologi klinis Radiologi forensic

Motion artifacts (jantung, paru, Non motion related artifacs


instetinal)

Volume scan yang kecil karena Whole body scan


pertimbangan terhadap proteksi radiasi

Agen kontras enteral Tidak layak

Fase kontras dinamis Unenhanced imaging

28
29
BAB IV

JURNAL PEMBANDING

30
31

31
32

32
33

33
34

34
35

35
36

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

3.1. Simpulan
Kedokteran forensik telah diakui sebagai ilmu pengetahuan khusus atau
disiplin ilmu yang berhubungan dengan penerapan fakta dan pengetahuan medis
terhadap masalah hukum. Dalam penerapannya, bidang forensik telah
menggabungkan beberapa subspesialisasi yang berbeda, seperti patologi
forensik,yang meliputi pemeriksaan manusia yang masih hidup dan sudah
meninggal; toksikologi forensik; forensic biologi molekuler ; dan psikiatri
forensik. Ilmu ini juga dikenal dengan sebutan radiologi forensik, namun dalam
perjalanannya masing-masing ahli patologi forensik dan ahli radilogi diagnostic
akan berkerjasama dalam mengungkap suatu kasus dikarenakan baik dari disiplin
ilmu kedokteran forensik maupun radiologi belum terdapat subspesialis radiologi
forensik. Bidang radiologi forensik ini biasanya meliputi pelaksanaan,
interpretasi, dan expertise serta prosedur radiologis yang ada hubungannya
dengan pengadilan dan / atau hukum. Modalitas yang bisa digunakan antara lain
mulai dari X-ray, USG, MRI, CT-scan, fluorosent imaging, dan radiologi
intervensi.
Ruang lingkup radiologi forensik sama halnya dengan disiplin ilmu lain
yang bertumpu pada pelayanan, pendidikan, penelitian dan administrasi.
Pelayanan yang dapat diberikan dalam bidang radiologi forensik meliputi :
penentuan identitas, evaluasi cedera dan kematian (accidental, nonaccidental),
proses pengadilan tindak pidana, proses pengadilan tindak perdata, dan prosedur
administrasinya. Evaluasi kematian atau cedera nonaccidental meliputi cedera
tulang, peluru dan benda asing, trauma lain dan penyebab lainnya.

3.2. Saran
Untuk berikutnya dapat mengembangkan penelitian tentang radiologi forensik
serta penerapannya di Indonesia

36
37

DAFTAR PUSTAKA
1. Brogdon BG. In: Brogdon BG, ed. Forensic radiology. Boca Raton,
FL: CRC, 1998
2. Flach PM, Thali MJ, Germerrot T. Times have changed! Forensic
radiology : A new challenge for radiology and forensic pathology.
American Journal of Roentgenology.2014.202:W325-W334
3. Lichtenstein J E. Forensic Radiology. Di unduh pada
www.arrs.org/publications/HRS/diagnosis/RCI_D_c26 pada 28 nov
2017 pk. 21.36 wibThe Virtopsy Project website. www.virtopsy.com.
Accessed November 1, 2017
4. Thali MJ, Yen K, Schweitzer W, et al. Otopsi virtual, a new imaging
horizon in forensic pathology: virtual autopsy by postmortem
multislice computed tomography (MSCT) and magnetic resonance
imaging (MRI)a feasibility study. J ForensicSci.2003; 48:386403
5. Thali MJ, Jackowski C, Oesterhelweg L, Ross SG, Dirnhofer R.
Virtopsythe Swiss virtual autopsy approach. Leg Med (Tokyo) 2007;
9:100104
6. East Midlands Forensic Pathology Unit. A brief history of forensic
radiology.website www2.le.ac.uk/departments/emfpu/imaging/brief-
history
7. Kitab KUHAP
8. Krogman, W. M. and Iscan, M.Y., The Human Skeleton in Forensic
Medicine, 2nd ed., Charles C Thomas, Springfield, IL, 1986, chap. 13.
9. Graham, C. B., Assessment of bone maturation methods and
pitfalls, Radiol. Clin. N. Am., 10, 185, 1972.
10. Girdany, B. R. and Golden, R., Centers of ossification of the skeleton,
Am. J. Roentgenol., 68, 922, 1952.
11. Keats, T. E, Atlas of Roentgenographic Measurement, 6th Mosby Year
Book, St. Louis, 1990, chap. 4B.

37
38

38

Anda mungkin juga menyukai