Anda di halaman 1dari 9

Nama : Muh.

Septian Aditya
Kelas : X TGB A

PELAJARAN KOMPETENSI KEJURUAN SMK NEGERI 3 PALU

Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang memproteksi pekerja,
perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja.
Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh perusahaan. K3
bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident).
Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus
dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah
pada masa yang akan datang.
Bagaimana K3 dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma
keselamatan, kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan kerja merupakan sarana
atau alat untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang tidak diduga yang disebabkan
oleh kelalaian kerja serta lingkungan kerja yang tidak kondusif. Konsep ini diharapkan
mampu menihilkan kecelakaan kerja sehingga mencegah terjadinya cacat atau kematian
terhadap pekerja, kemudian mencegah terjadinya kerusakan tempat dan peralatan kerja.
Konsep ini juga mencegah pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat sekitar tempat
kerja.Norma kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yang mampu menciptakan dan
memelihara derajat kesehatan kerja setinggi-tingginya.
K3 dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat kerja, misalnya
kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara, dan lain-lain yang dapat
menyebabkan kerusakan pada alat pendengaran, gangguan pernapasan, kerusakan paru-paru,
kebutaan, kerusakan jaringan tubuh akibat sinar ultraviolet, kanker kulit, kemandulan, dan
lain-lain. Norma kerja berkaitan dengan manajemen perusahaan. K3 dalam konteks ini
berkaitan dengan masalah pengaturan jam kerja, shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda,
pengaturan jam lembur, analisis dan pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal
tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa kecelakaan kerja.
Eksistensi K3 sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di Eropa, terutama
Inggris, Jerman dan Prancis serta revolusi industri di Amerika Serikat. Era ini ditandai
adanya pergeseran besar-besaran dalam penggunaan mesin-mesin produksi menggantikan
tenaga kerja manusia. Pekerja hanya berperan sebagai operator. Penggunaan mesin-mesin
menghasilkan barang-barang dalam jumlah berlipat ganda dibandingkan dengan yang
dikerjakan pekerja sebelumnya. Revolusi IndustriNamun, dampak penggunaan mesin-mesin
adalah pengangguran serta risiko kecelakaan dalam lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan
cacat fisik dan kematian bagi pekerja. Juga dapat menimbulkan kerugian material yang besar
bagi perusahaan. Revolusi industri juga ditandai oleh semakin banyak ditemukan senyawa-
senyawa kimia yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan fisik dan jiwa pekerja
(occupational accident) serta masyarakat dan lingkungan hidup.
Pada awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral dalam perusahaan. Pada era
in kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai kecelakaan atau resiko kerja (personal risk),
bukan tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan konsep common law
defence (CLD) yang terdiri atas contributing negligence (kontribusi kelalaian), fellow servant
rule (ketentuan kepegawaian), dan risk assumption (asumsi resiko) (Tono, Muhammad:
2002). Kemudian konsep ini berkembang menjadi employers liability yaitu K3 menjadi
tanggung jawab pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar
lingkungan kerja.Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak
pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak
Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang ditandai dengan penerbitan
Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910. Selanjutnya, pemerintah kolonial
Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan perlindungan bagi
keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara terpisah berdasarkan masing-masing
sektor ekonomi. Beberapa di antaranya yang menyangkut sektor perhubungan yang mengatur
lalu lintas perketaapian seperti tertuang dalam Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en
de Exploitate van Spoor en Tramwegen Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia
(Peraturan umum tentang pendirian dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas
umum Indonesia) dan Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940
(Ordonansi Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan
Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya. Kepedulian Tinggi Pada awal
zaman kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis dan menjadi bagian dari masalah
kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat dipahami karena Pemerintahan Indonesia masih
dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan keamanan nasional. Sementara itu,
pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai dirintis oleh pemerintah dan swasta nasional.
K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin ramainya
investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional (manufaktur). Perkembangan
tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk
pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang Keselamatan
Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU
Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang
dikelompokkan sebagai norma kerja.Setiap tempat kerja atau perusahaan harus melaksanakan
program K3. Tempat kerja dimaksud berdimensi sangat luas mencakup segala tempat kerja,
baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang
angkasa.
Pengaturan hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan sektor/bidang usaha.
Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU No. 14 Tahun 1992 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain sekor perhubungan di atas, regulasi
yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti pertambangan,
konstruksi, pertanian, industri manufaktur (pabrik), perikanan, dan lain-lain.Di era globalisasi
saat ini, pembangunan nasional sangat erat dengan perkembangan isu-isu global seperti hak-
hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh. Persaingan global tidak
hanya sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup kualitas pelayanan dan jasa. Banyak
perusahaan multinasional hanya mau berinvestasi di suatu negara jika negara bersangkutan
memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup. Juga kepekaan terhadap kaum
pekerja dan masyarakat miskin. Karena itu bukan mustahil jika ada perusahaan yang peduli
terhadap K3, menempatkan ini pada urutan pertama sebagai syarat investasi.
Diposkan oleh Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3) di 10:07 5 komentar

Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perkantoran

Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perkantoran


PENDAHULUAN
Di era golbalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di setiap
tempat kerja termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita perlu mengem-bangkan dan
meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka menekan serendah mungkin risiko
kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan
produktivitas dan efesiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja di sektor kesehatan tidak
terkecuali di Rumah Sakit maupun perkantoran, akan terpajan dengan resiko bahaya di
tempat kerjanya. Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat
tergantung jenis pekerjaannya.
Dari hasil penelitian di sarana kesehatan Rumah Sakit, sekitar 1.505 tenaga kerja wanita di
Rumah Sakit Paris mengalami gangguan muskuloskeletal (16%) di mana 47% dari gangguan
tersebut berupa nyeri di daerah tulang punggung dan pinggang. Dan dilaporkan juga pada
5.057 perawat wanita di 18 Rumah Sakit didapatkan 566 perawat wanita adanya hubungan
kausal antara pemajanan gas anestesi dengan gejala neoropsikologi antara lain berupa mual,
kelelahan, kesemutan, keram pada lengan dan tangan.
Di perkantoran, sebuah studi mengenai bangunan kantor modern di Singapura dilaporkan
bahwa 312 responden ditemukan 33% mengalami gejala Sick Building Syndrome (SBS).
Keluhan mereka umumnya cepat lelah 45%, hidung mampat 40%, sakit kepala 46%, kulit
kemerahan 16%, tenggorokan kering 43%, iritasi mata 37%, lemah 31%.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 mengenai
kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib diseleng-garakan pada setiap
tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar
bagi pekerja agar dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat
sekelilingnya, untuk memperoleh produktivitas kerja yang optimal, sejalan dengan program
perlindungan tenaga kerja.

HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN PELAKSANAAN K3 PERKANTORAN

Ada beberapa hal penting yang harus mendapatkan perhatian sehubungan dengan
pelaksanaan K3 perkantoran, yang pada dasarnya harus memperhatikan 2 (dua) hal yaitu
indoor dan outdoor, yang kalau diurai seperti dibawah ini :
Konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya
kebakaran serta kode pelaksanaannya.
jaringan elektrik dan komunikasi.
kualitas udara.
kualitas pencahayaan.
Kebisingan.
Display unit (tata ruang dan alat).
Hygiene dan sanitasi.
Psikososial.
Pemeliharaan.
Penggunaan Komputer.

PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI

Konstruksi gedung :
Disain arsitektur (aspek K3 diperhatikan mulai dari tahap perencanaan).
Seleksi material, misalnya tidak menggunakan bahan yang membahayakan seperti asbes dll.
Seleksi dekorasi disesuaikan dengan asas tujuannya misalnya penggunaan warna yang
disesuaikan dengan kebutuhan.
Tanda khusus dengan pewarnaan kontras/kode khusus untuk objek penting seperti
perlengkapan alat pemadam kebakaran, tangga, pintu darurat dll. (peta petunjuk pada setiap
ruangan/unit kerja/tempat yang strategis misalnya dekat lift dll, lampu darurat menuju exit
door).
Kualitas Udara :
Kontrol terhadap temperatur ruang dengan memasang termometer ruangan.
Kontrol terhadap polusi
Pemasangan "Exhaust Fan" (perlindungan terhadap kelembaban udara).
Pemasangan stiker, poster "dilarang merokok".
Sistim ventilasi dan pengaturan suhu udara dalam ruang (lokasi udara masuk, ekstraksi udara,
filtrasi, pembersihan dan pemeliharaan secara berkala filter AC) minimal setahun sekali,
kontrol mikrobiologi serta distribusi udara untuk pencegahan penyakit "Legionairre Diseases
".
Kontrol terhadap linkungan (kontrol di dalam/diluar kantor).
Misalnya untuk indoor: penumpukan barang-barang bekas yang menimbulkan debu, bau dll.
Outdoor: disain dan konstruksi tempat sampah yang memenuhi syarat kesehatan dan
keselamatan, dll.
Perencanaan jendela sehubungan dengan pergantian udara jika AC mati.
Pemasangan fan di dalam lift.
Kualitas Pencahayaan (penting mengenali jenis cahaya) :
Mengembangkan sistim pencahayaan yang sesuai dengan jenis pekerjaan untuk membantu
menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan aman. (secara berkala diukur dengan Luxs
Meter)
Membantu penampilan visual melalui kesesuaian warna, dekorasi dll.
Menegembangkan lingkungan visual yang tepat untuk kerja dengan kombinasi cahaya (agar
tidak terlalu cepat terjadinya kelelahan mata).
Perencanaan jendela sehubungan dengan pencahayaan dalam ruang.
Penggunaan tirai untuk pengaturan cahaya dengan memperhatikan warna yang digunakan.
Penggunaan lampu emergensi (emergency lamp) di setiap tangga.
Jaringan elektrik dan komunikasi (penting agar bahaya dapat dikenali) :
Internal
Over voltage
Hubungan pendek
Induksi
Arus berlebih
Korosif kabel
Kebocoran instalasi
Campuran gas eksplosif
Eksternal
Faktor mekanik.
Faktor fisik dan kimia.
Angin dan pencahayaan (cuaca)
Binatang pengerat bisa menyebabkan kerusakan sehingga terjadi hubungan pendek.
Manusia yang lengah terhadap risiko dan SOP.
Bencana alam atau buatan manusia.
Rekomendasi
Penggunaan central stabilizer untuk menghindari over/under voltage.
Penggunaan stop kontak yang sesuai dengan kebutuhan (tidak berlebihan) hal ini untuk
menghindari terjadinya hubungan pendek dan kelebihan beban.
Pengaturan tata letak jaringan instalasi listrik termasuk kabel yang sesuai dengan syarat
kesehatan dan keselamatan kerja.
Perlindungan terhadap kabel dengan menggunakan pipa pelindung.
Kontrol terhadap kebisingan :
Idealnya ruang rapat dilengkapi dengan dinding kedap suara.
Di depan pintu ruang rapat diberi tanda " harap tenang, ada rapat ".
Dinding isolator khusus untuk ruang genset.
Hak-hal lainnya sudah termasuk dalam perencanaan konstruksi gedung dan tata ruang.
Display unit (tata ruang dan letak) :
Petunjuk disain interior supaya dapat bekerja fleksibel, fit, luas untuk perubahan posisi,
pemeliharaan dan adaptasi.
Konsep disain dan dan letak furniture (1 orang/2 m).
Ratio ruang pekerja dan alat kerja mulai dari tahap perencanaan.
Perhatikan adanya bahaya radiasi, daerah gelombang elektromagnetik.
Ergonomik aspek antara manusia dengan lingkungan kerjanya.
Tempat untuk istirahat dan shalat.
Pantry dilengkapi dengan lemari dapur.
Ruang tempat penampungan arsip sementara.
Workshop station (bengkel kerja).
Hygiene dan Sanitasi :
Ruang kerja
Memelihara kebersihan ruang dan alat kerja serta alat penunjang kerja.
Secara periodik peralatan/penunjang kerja perlu di up grade.
Toilet/Kamar mandi
Disediakan tempat cuci tangan dan sabun cair.
Membuat petunjuk-petunjuk mengenai penggunaan closet duduk, larangan berupa gambar
dll.
Penyediaan bak sampah yang tertutup.
Lantai kamar mandi diusahakan tidak licin.
Kantin
Memperhatikan personal hygiene bagi pramusaji (penggunaan tutup kepala, celemek, sarung
tangan dll).
Penyediaan air mengalir dan sabun cair.
Lantai tetap terpelihara.
Penyediaan makanan yang sehat dan bergizi seimbang. Pengolahannya tidak menggunakan
minyak goreng secara berulang.
Penyediaan bak sampah yang tertutup.
Secara umum di setiap unit kerja dibuat poster yang berhubungan dengan pemeliharaan
kebersihan lingkungan kerja.
Psikososial
Petugas keamanan ditiap lantai.
Reporting system (komunikasi) ke satuan pengamanan.
Mencegah budaya kekerasan ditempat kerja yang disebabkan oleh :
Budaya nrimo.
Sistem pelaporan macet.
Ketakutan melaporkan.
Tidak tertarik/cuek dengan lingkungan sekitar.
Semua hal diatas dapat diatasi melalui pembinaan mental dan spiritual secara berkala
minimal sebulan sekali.
Penegakan disiplin ditempat kerja.
Olah raga di tempat kerja, sebelum memulai kerja.
Menggalakkan olah raga setiap jumat.
Pemeliharaan
Melakukan walk through survey tiap bulan/triwulan atau semester, dengan memperhitungkan
risiko berdasarkan faktor-faktor konsekuensi, pajanan dan kemungkinan terjadinya.
Melakukan corrective action apabila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Pelatihan tanggap darurat secara periodik bagi pegawai.
Pelatihan investigasi terhadap kemungkinan bahaya bom/kebakaran/demostrasi/ bencana
alam serta Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) bagi satuan pengaman.
Aspek K3 perkantoran (tentang penggunaan komputer)
Pergunakan komputer secara sehat, benar dan nyaman :
Hal-hal yang harus diperhatikan :
Memanfaatkan kesepuluh jari.
Istirahatkan mata dengan melihat kejauhan setiap 15-20 menit.
Istirahat 5-10 menit tiap satu jam kerja.
Lakukan peregangan.
Sudut lampu 45.
Hindari cahaya yang menyilaukan, cahaya datang harus dari belakang.
Sudut pandang 15, jarak layar dengan mata 30 50 cm.
Kursi ergonomis (adjusted chair).
jarak meja dengan paha 20 cm
Senam waktu istirahat.
Rekomendasi
Perlu membuat leaflet/poster yang berhubungan dengan penggunaan komputer disetiap unit
kerja.
Mengusulkan pada Pusat Promosi Kesehatan untuk membuat poster/leaflet.
Penggunaan komputer yang bebas radiasi (Liquor Crystal Display).

PENUTUP

Dalam pelaksanaan K3 perkantoran perlu memperhatikan 2(dua) hal penting yakni indoor
dan outdoor. Baik perhatian terhadap konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan
operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta kode pelaksanannya maupun terhadap
jaringan elektrik dan komunikasi, kualitas udara, kualitas pencahayaan, kebisingan, display
unit (tata ruang dan alat), hygiene dan sanitasi, psikososial, pemeliharaan maupun aspek lain
mengenai penggunaan komputer.
Hal diatas tidak hanya meningkatkan dari sisi kesehatan maupun sisi keselamatan
karyawan/pekerja dalam melakukan pekerjaan di tempat kerjanya.
Harapannya rekomendasi ini dapat dijadikan sebagai acuan ataupun perbandingan dalam
rangka meningkatkan pelaksanaan K3 khususnya di perkantoran
Diposkan oleh Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3) di 10:03 2 komentar

HSE

HSE

HSE (Health, Safety, Environment,) atau di beberapa perusahaan juga disebut EHS, HES,
SHE, K3LL (Keselamatan & Kesehatan Kerja dan Lindung Lingkungan) dan SSHE
(Security, Safety, Health, Environment). Semua itu adalah suatu Departemen atau bagian dari
Struktur Organisasi Perusahaan yang mempunyai fungsi pokok terhadap implementasi Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) mulai dari Perencanaan,
Pengorganisasian, Penerapan dan Pengawasan serta Pelaporannya. Sementara, di Perusahaan
yang mengeksploitasi Sumber Daya Alam ditambah dengan peran terhadap Lingkungan
(Lindungan Lingkungan).

Membicarakan HSE bukan sekedar mengetengahkan Issue seputar Hak dan Kewajiban, tetapi
juga berdasarkan Output, yaitu korelasinya terhadap Produktivitas Keryawan. Belum lagi
antisipasi kecelakaan kerja apabila terjadi Kasus karena kesalahan prosedur ataupun
kesalahan pekerja itu sendiri (naas).

Dasar Hukum
Ada minimal 53 dasar hukum tentang K3 dan puluhan dasar hukum tentang Lingkungan yang
ada di Indonesia. Tetapi, ada 4 dasar hukum yang sering menjadi acuan mengenai K3 yaitu:
Pertama, dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja,
disana terdapat Ruang Lingkup Pelaksanaan, Syarat Keselamatan Kerja, Pengawasan,
Pembinaan, Panitia Pembina K-3, Tentang Kecelakaan, Kewajiban dan Hak Tenaga Kerja,
Kewajiban Memasuki Tempat Kerja, Kewajiban Pengurus dan Ketentuan Penutup (Ancaman
Pidana). Inti dari UU ini adalah, Ruang lingkup pelaksanaan K-3 ditentukan oleh 3 unsur:
Adanya Tempat Kerja untuk keperluan suatu usaha,
Adanya Tenaga Kerja yang bekerja di sana
Adanya bahaya kerja di tempat itu.
Dalam Penjelasan UU No. 1 tahun 1970 pasal 1 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2918, tidak hanya bidang Usaha bermotif Ekonomi tetapi Usaha yang
bermotif sosial pun (usaha Rekreasi, Rumah Sakit, dll) yang menggunakan Instalasi Listrik
dan atau Mekanik, juga terdapat bahaya (potensi bahaya tersetrum, korsleting dan kebakaran
dari Listrik dan peralatan Mesin lainnya).
Kedua, UU No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning
Labour Inspection in Industry and Commerce (yang mana disahkan 19 Juli 1947). Saat ini,
telah 137 negara (lebih dari 70%) Anggota ILO meratifikasi (menyetujui dan memberikan
sanksi formal) ke dalam Undang-Undang, termasuk Indonesia (sumber: www.ILO.org). Ada
4 alasan Indonesia meratifikasi ILO Convention No. 81 ini, salah satunya adalah point 3 yaitu
baik UU No. 3 Tahun 1951 dan UU No. 1 Tahun 1970 keduanya secara eksplisit belum
mengatur Kemandirian profesi Pengawas Ketenagakerjaan serta Supervisi tingkat pusat (yang
diatur dalam pasal 4 dan pasal 6 Konvensi tersebut) sumber dari Tambahan Lembaran
Negara RI No. 4309.
Ketiga, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Paragraf 5 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86 ayat 1berbunyi: Setiap Pekerja/
Buruh mempunyai Hak untuk memperoleh perlindungan atas (a) Keselamatan dan Kesehatan
Kerja.
Aspek Ekonominya adalah Pasal 86 ayat 2: Untuk melindungi keselamatan Pekerja/ Buruh
guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
Sedangkan Kewajiban penerapannya ada dalam pasal 87: Setiap Perusahaan wajib
menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang terintegrasi dengan
Sistem Manajemen Perusahaan.
Keempat, Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996 tentang Sistem
Manajemen K3. Dalam Permenakertrans yang terdiri dari 10 bab dan 12 pasal ini, berfungsi
sebagai Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K-3 (SMK3), mirip OHSAS 18001 di
Amerika atau BS 8800 di Inggris.
Dasar-dasar Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3)

Pengertian

K3 adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapan guna mencegah kemungkinan terjadinya
kecelakaan dan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja.

Menurut America Society of safety and Engineering (ASSE) K3 diartikan sebagai bidang
kegiatan yang ditujukan untuk mencegah semua jenis kecelakaan yang ada kaitannya dengan
lingkungan dan situasi kerja.

Secara umum keselamatan kerja dapat dikatakan sebagai ilmu dan penerapannya yang
berkaitan dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan
tempat kerja dan lingkungan kerja serta cara melakukan pekerjaan guna menjamin
keselamatan tenaga kerja dan aset perusahaan agar terhindar dari kecelakaan dan kerugian
lainnya. Keselamatan kerja juga meliputi penyediaan APD, perawatan mesin dan pengaturan
jam kerja yang manusiawi.

Dalam K3 juga dikenal istilah Kesehatan Kerja, yaitu : suatu ilmu yang penerapannya untuk
meningkatkan kulitas hidup tenaga kerja melalui peningkatan kesehatan, pencegahan
Penyakit Akibat Kerja meliputi pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan pemberian makan
dan minum bergizi.

Istilah lainnya adalah Ergonomy yang merupakan keilmuan dan aplikasinya dalam hal sistem
dan desain kerja, keserasian manusia dan pekerjaannya, pencegahan kelelahan guna
tercapainya pelakasanaan pekerjaan secara baik.

Dalam pelaksanaannya K3 adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja
yang aman, sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan
atau bebas dari kecelakaan dan PAK yang pada akhirnya dapat meningkatkan sistem dan
produktifitas kerja.

Secara teoritis istilah-istilah bahaya yang sering ditemui dalam lingkungan kerja meliputi
beberapa hal sebagai berikut :
HAZARD (Sumber Bahaya), Suatu keadaan yang memungkinkan / dapat
menimbulkan kecelakaan, penyakit, kerusakan atau menghambat kemampuan pekerja
yang ada

DANGER (Tingkat Bahaya), Peluang bahaya sudah tampak (kondisi bahaya sudah
ada tetapi dapat dicegah dengan berbagai tindakan prventif.
RISK, prediksi tingkat keparahan bila terjadi bahaya dalam siklus tertentu
INCIDENT, Munculnya kejadian yang bahaya (kejadian yang tidak diinginkan, yang
dapat/telah mengadakan kontak dengan sumber energi yang melebihi ambang batas
badan/struktur
ACCIDENT, Kejadian bahaya yang disertai adanya korban dan atau kerugian
(manusia/benda)

Dalam K3 ada tiga norma yang selalu harus dipahami, yaitu :

1. Aturan berkaitan dengan keselamatan dan kesehtan kerja


2. Di terapkan untuk melindungi tenaga kerja
3. Resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja

Sasaran dari K3 adalah :

1. Menjamin keselamatan operator dan orang lain


2. Menjamin penggunaan peralatan aman dioperasikan
3. menjamin proses produksi aman dan lancar

Tapi dalam pelaksaannya banyak ditemui habatan dalam penerapan K3 dalam dunia pekerja,
hal ini terjadi karena beberapa faktor yaitu :

Dari sisi masyarakat pekerja

Tuntutan pekerja masih pada kebutuhan dasar (upah dan tunjangan


kesehatan/kesejahtraan)
K3 belum menjadi tuntutan pekerja

Dari sisi pengusaha

Pengusaha lebih menekankan penghematan biaya produksi dan meningkatkan


efisiensi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. dan K3 dipandang
sebagai beban dalam hal biaya operasional tambahan

Anda mungkin juga menyukai