Anda di halaman 1dari 8

JURNAL METAMORFOSA IV (1): 114-121 (2017)

JURNAL METAMORFOSA
Journal of Biological Sciences
ISSN: 2302-5697
http://ojs.unud.ac.id/index.php/metamorfosa

STUDI ANATOMI DAUN CANTIGI (Vaccinium korinchense Ridl.) PADA


ALTITUD BERBEDA DI GUNUNG TALANG

LEAF ANATOMY STUDY OF BILBERRY (Vaccinium korinchense Ridl.) AT ALTITUDE


GRADIENT ON THE TALANG MOUNTAIN

Alponsin*, Tesri Maideliza, Zozy Aneloi Noli


Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas
*
Email: alponsin@gmail.com

INTISARI

Studi tentang anatomi daun Bilberry (Vaccinium korinchense Rild.) pada gradien ketinggian di
Gunung Talang telah dilakukan pada bulan Oktober hingga Desember 2015. Tujuan penelitian ini adalah
untuk membandingkan ketebalan jaringan daun Bilbellry di berbagai gradien ketinggian. Sampel
dikumpulkan di Gunung Talang. Penelitian ini menggunakan metode survei dan purposive sampling
dengan lima gradien ketinggian 2.200-2.529 meter di atas permukaan laut. Preparat irisan daun dilakukan
di Laboratorium Struktur Perkembangan Tumbuhan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Andalas. Analisis data menggunakan uji Kruskal-Wallis. Hasil
menunjukkan bahwa ketebalan daun, palisade dan ketebalan jaringan spons adalah bervariasi antara 434-
685 m, 183-322 m dan 175-283 m pada berbagai ketinggian. Sementara ketebalan epidermis dan
ketebalan kutikula tidak berbeda secara signifikan, diantara tempat ketinggian.

Kata Kunci: Vaccinium korinchense, Gunung Talang, altitud, anatomi daun

ABSTRACT

The study about leaf anatomy of Bilberry (Vaccinium korinchense RILD.) at altitude gradient on
the Talang Mountain has been carried out in October to December 2015. The goal research is to compared
that leaf thick tissues Bilbellry at altitude gradient. The sample were collected at Talang Mountain. The
research used survey method and purpossive sampling with five altitude gradient (2200-2529 meter above
sea level). Leaf section was maked at the Plant Structures developments Laboratory, Department
Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Andalas University. Data analysis used Kruskal-
Wallis test. The results showed that leaf thickness, palisade and spongy thickness various between
altitudes is sequentially 434-685 m, 183-322 m and 175-283 m . While epidermis thickness and cuticle
thickness did not differ significantly between altitudes.

Keywords: Vaccinium korinchense, Talang Mountain, altitude, leaf anatomy

114
JURNAL METAMORFOSA IV (1): 114-121 (2017) ISSN: 2302-5697

PENDAHULUAN Chartzoulakis et al. (2002). Selain itu Gunung


Talang aktif mengeluarkan gas sulfur melalui
Gunung Talang merupakan salah satu solfatra (PVMBA, 2007). Aktivitas solfatara
gunung berapi aktif yang terdapat di Sumatera menghasilkan gas sulfur berupa SO2 dan H2S
Barat dan secara administratif berada di yang akan mempengaruhi lingkungan, karena
Kecamatan Kota Anau, Kabupaten Solok. SO2 dapat menjadi penyebab kerusakan utama
Gunung ini memiliki ketinggian 2.597 m dpl pada kehidupan tumbuhan (Larcher, 1995).
(PVMBA, 2007). Di sekitar puncak gunung ini Tumbuhan Cantigi (Vaccinium korin
banyak ditemukan tumbuhan Vaccinium chense) juga merupakan salah satu tumbuhan
korinchense, yaitu spesies dari famili Ericaceae. pegunungan yang diduga melakukan adaptasi
Tumbuhan ini merupakan salah satu tumbuhan terhadap perubahan altitud terutama yang
endemik pulau Sumatera. Di daerah Sumatera terdapat di Gunung Talang. Oleh karena itu,
Barat tumbuhan ini dikenal dengan nama penelitian terhadap tumbuhan V. korinchense di
Cantigi (Backer, 1968; Syamsuardi, Tamin dan Gunung Talang dan adaptasi anatomi serta
Nurainas,2006). Patriyanus (1994) melaporkan fisiologinya menjadi menarik untuk dilakukan.
bahwa Cantigi ini dapat ditemukan pada daerah Tujuan dari penelitian ini adalah memban-
pegunungan atau pada ketinggian 1000-3500 m dingkan tebal jaringan daun (tebal daun, tebal
dpl seperti di Gunung Singgalang, Gunung epidermis, tebal kutikula, tebal palisade, dan
Marapi, dan Gunung Talang. tebal bunga karang) V. korinchense pada altitud
Pertambahan ketinggian tempat (altitud) berbeda di Gunung Talang.
dari atas permukaan laut pada pegunungan
berbanding lurus dengan cekaman lingkungan BAHAN DAN METODE
abiotik yang diterima oleh tumbuhan. Menurut
Vickeys (1984) dengan meningkatnya altitud Waktu dan Tempat Penelitian
untuk setiap 100 m dpl maka akan terjadi Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober
pengurangan suhu sebesar 0,6oC. Selain itu hingga Desember 2015. Pengambilan sampel
menurut Streb et al. (1998) dengan tumbuhan dilakukan di Gunung Talang, Solok,
meningkatnya ketinggian maka akan Sumatera Barat. Pembuatan preparat di lakukan
menyebabkan CO2 berkurang, peningkatan Laboratorium Struktur dan Perkembangan
intensitas cahaya matahari, radiasi UV-B dan Tumbuhan, Jurusan Biologi, Fakultas Matema-
kekeringan. Dalam menanggapi cekaman tika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
lingkungan abiotik tersebut tumbuhan perlu Andalas Padang.
melakukan adaptasi pada berbagai aspek seperti
perubahan fisiologis, anatomi dan perubahan Alat dan Bahan
morfologi (Whitmore, 1984). Alat-alat yang digunakan adalah gelas ukur
Salah satu organ pada tumbuhan yang 100 ml, kuvet, aluminium foil, tabung sentrifuge,
berperan dalam mengontrol proses fisiologi timbangan digital, aspirator, botol gelap, kaca
adalah daun. Menurut Whitten et al. (1984) objek, cover glass, mikroskop, balok, GPS
pertambahan altitud menyebabkan pengurangan (Global Positioning system), saringan Buchner,
atau pertambahan tebal daun. Kofidis and hot plate, kantong plastik 1 kg, wadah pewarna
Bosabalidis (2008) melaporkan bahwa pada (staining jars), bunset, aluminium foil, tisu,
tumbuhan Nepeta Nuda (Labiatae) mengalami kertas, kayu, jarum, kotak kertas, label, botol
perubahan ketebalan jaringan daun dengan film, kamera digital, pipet tetes, oven, botol vial,
perubahan altitud. silet dan Mikrotom, aplikasi komputer SPSS v19
Ketebalan jaringan daun bertambah dan ImageJ 1.49 (http://rsbweb.nih.gov/ij/).
dengan meningkatnya altitud (950-1480 m dpl) Bahan-bahan yang digunakan adalah daun
namun berkurang pada ketinggian 1760 m dpl. tumbuhan Vaccinium korinchense, lunak 460C-
Perubahan ketebalan daun tumbuhan avocado 480C, paraffin keras 560C-580C, minyak parafin,
pada altitud berbeda juga telah di laporkan oleh alkohol 70%, safranin 1%, tertier butyl alkohol

115
JURNAL METAMORFOSA IV (1): 114-121 (2017) ISSN: 2302-5697

(TBA), (FAA) Formaldehid acetic acid alkohol Pembuatan preparat anatomi sayatan trans-
(50 ml alkohol 96% : 5 ml asam asetat glasial : versal
10 ml formalin : 35 ml aquades), Hemalum-fast Preparasi anatomi sayatan transversal
green, Haupt Adhesive (1 g Gelatin : 100 ml air: mengikuti metode Sass (1958), daun dipotong
0,5 g Sodium benzoat : 15 gliserin), entelan, dengan ukuran 0,5 cm2 dan dimasukan dalam
formalin 4% dan larutan Johansen seri I-V larutan fiksatif (FAA). Bahan lalu diaspirasi
(Berlyn dan Miksche, 1976). menggunakan aspirator untuk mengeluarkan
udara dari jaringan. Kemudian didehidrasi untuk
Cara Kerja menarik air dengan menggunakan seri larutan
Pengkoleksian sampel di lapangan Johansen. Selanjutnya sampel diinfiltrasi yang
Sampel yang diambil adalah daun ke 4 didahului dengan memasukkan sampel ke dalam
sampai 6 dari pucuk. Penentuan ketinggian campuran TBA dan minyak parafin. Untuk
(altitude) menggunakan GPS. Koleksi untuk mengisi rongga jaringan dilanjut-kan dengan
sampel sayatan tranversal dimasukkan kedalam infiltrasi menggunakan parafin lunak dan keras.
kantong plastik kemudian diberi label. Dalam parafin keras sampel langsung ditanam
Pengkoleksian sampel dilakukan dengan hingga membentuk balok parafin. Balok parafin
metode Purpossive Sampling. Pengambilan yang berisi sampel ditampel pada balok kayu dan
sampel dilakukan pada beberapa lokasi dengan dimasukkan ke freezer. Sampel disayat dengan
ketinggian (altitude) yang berbeda dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan. Hasil
ketinggian 2000-2597 m dpl dengan 5 titik sayatan berupa pita parafin, ditempel pada objek
pengambilan (Gambar 1) dan 5 kali ulangan gelas yang telah diberikan zat perekat haupts
yaitu pada ketinggian 2100-2200 m dpl (K1), adhesive. Lalu ditetesi formalin 4%. Selanjutnya
ketinggian 2201-2300 m dpl (K2), ketinggian dikeringkan di atas papan pemanas dengan suhu
2301-2400 m dpl (K3), pada ketinggian 2401- maksimum 450C. Setelah kering sayatan
2500 m dpl (K4) dan ketinggian 2501-2597 m diwarnai, ditetesi entelan dan ditutup dengan
dpl (K5). cover glass. Diamati dengan mikroskop dan
difoto dengan kamera digital.

Gambar 1. Peta Lokasi Pengkoleksian Tumbuhan Cantigi ( Vaccinium korinchense RILD)


di Gunung Talang, Solok.

116
JURNAL METAMORFOSA IV (1): 114-121 (2017) ISSN: 2302-5697

Pengukuran tebal daun, jaringan palisade, HASIL DAN PEMBAHASAN


jaringan bunga karang, jaringan epidermis
dan jaringan kutikula Tebal Daun, Tebal Jaringan Palisade, Tebal
Pengukuran tebal daun, tebal jaringan Jaringan dan Bunga Karang
epidermis, tebal jaringan palisade, tebal jaringan Dari penelitian yang telah dilakuakan
bunga karang dan tebal kutikula dan pengukuran diperoleh tebal daun, tebal jaringan palisade dan
tebal jaringan ditentukan dengan analysis image tebal jaringan bunga karang daun V. korinchense
ImageJ v 1.49 (Kubnov, 1994; Albrechtov et yang tumbuh pada 5 strata altitud berbeda di
al.,2007). Gunung Talang di sajikan dalam Tabel 1. Berda-
sarkan uji kruskal wallis menunjukkan bahwa
Analisis Data perbedaan altitud memberikan pengaruh yang
Data tebal daun, tebal palisade, tebal berbeda nyata terhadap Tebal daun, tebal
bunga karang, tebal epidermis atas, tebal jaringan palisade dan tebal jaringan bunga
epidermis bawah, tebal kutikula atas, tebal karang daun V. korinchense. Pada Tabel 1
kutikula bawah, dianalisis dengan analisis diketahui bahwa daun tebal daun V. korinchense
Kruskal Wallis. Adanya keadaan yang paling tebal terdapat pada V. korinchense yang
menunjukkan beda nyata dilanjutkan dengan uji tumbuh di altitud 2529 m dpl (685 m) dan
jarak berganda Mann-Whitney pada taraf uji 5% altitud 2300 m dpl (677 m). Sedang tebal daun
dengan menggunakan aplikasi SPSS 19. V. korinchense (434 m) paling tipis adalah
tebal daun yang tumbuh pada altitud 2200 m dpl.

Tabel 1. Ketebalan Jaringan Daun Tumbuhan V. korinchense pada altitud berbeda di Gunung Talang
Jarak dari Tebal Tebal Bunga
Ketingian Tebal Daun
Solfatara palisade karang
(m dpl) (m sd)
(meter) (m sd) (m sd)
K1 (2200) 656 434 27 a 183 23 a 175 28 a
K2 (2300) 140 677 72 c 322 27 c 266 50 a
bc b
K3 (2342) 120 591 90 249 42 239 73 ab
ab ab
K4 (2483) 305 490 82 225 54 189 34 b
c bc
K5 (2529) 438 685 141 321 86 283 69 b
Keterangan : Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
pada uji lanjut Mann-Whitney pada taraf 5%.

Whitten et al., (1984) mengemukan bahwa mengemukan bahwa ketebalan pada epidermis
salah satu faktor lingkungan yang atas, epidermis bawah, jaringan palisade,
mempengaruhi tebal daun adalah altitud. jaringan bunga karang dan kutikula tumbuhan
Semakin tinggi altitud maka daun bertambah Fagus lucida yang terdapat pada altitud 1.260-
tebal. Dari hasil penelitian Fajrina (2014) 2020 m dpl meningkat seiring dengan
menemukan bahwa pada tumbuhan Anaphalis bertambahnya altitud.
yang tumbuh pada altitud 2.581 m dpl memiliki Pada penelitian ini ketebalan daun
daun yang lebih tebal dibandingkan dengan bervariasi atau naik turun antar altitud. Hal ini
tumbuhan Anaphalis yang ditemukan pada diduga adanya cekaman lingkungan abotik yang
altitud 2.477 m dpl dan susunan parenkim bunga berbeda antar altitud. Dari penelitian ini
karang juga dipengaruhi oleh altitud habitat ditemukan hal yang hampir sama dengan Lin et
suatu tumbuhan, pada tempat yang lebih tinggi al. (1999) tetapi pada altitud 2483 m dpl dan
tumbuhan cenderung memiliki jaringan bunga 2342 mdpl terjadi penurunan tebal daun hal ini
karang yang longgar dan banyak ruangan diduga disebabkan karena pengaruh polutan
diantara jaringan spons. Lin et al. (1999) yang dihasilkan oleh Solfatara Gunung Talang

117
JURNAL METAMORFOSA IV (1): 114-121 (2017) ISSN: 2302-5697

(Gambar. 4) yang menyebabkan jaringan pada dengan fiksasi C02 di udara, karena pada altitud
daun lebih tipis . Gostin (2009) menemukan yang tinggi maka terjadi pengurangan jumlah
bahwa ketebalan daun pada beberapa spesies atau pC02 (Bayton 1968). Hal ini di duga
tumbuhan famili Fabaceae yang terdapat pada menjadi penyebab perbedaan tebal palisade dan
daerah tercemar mengalami penurunan jika bunga karang V. korinchense antar altitud.
dibandingkan dengan daerah kontrol. Tebal daun Berdasarkan hasil uji regresi linier
pada tumbuhan Acassia yang terpapar dengan sederhana diketahui bahwa nilai korelasi antara
bahan pencemar memiliki tebal daun yang lebih altitud dengan tebal daun adalah R= 0,397 dan
tipis jika dibandingkan kontrol (Rushayati dan hubungan antara tebal daun dan altitud adalah
Maulana, 2005). Selain itu Treshow (1984) y=-492,211+0,452x. Hasil uji Ini menunjukkan
mengatakan berat kering daun, penurunan tebal bahwa altitud berkontribusi sebesar 39,7%
daun, ukuran sel, kehilangan daun dan cepatnya terhadap tebal daun dan sisanya dipengaruhi
penuaan menandakan adanya pencemaran asap faktor lainnya dan hubungan ini cukup kuat.
dan SO2. Pada penelitian ini jika dibandingkan Sehingga dapat dikatakan bahwa altitud 2200-
tebal daun pada altitud 2200 m dpl (434 m) 2529 m dpl cukup mempengaruhi tebal daun
lebih tipis dari tebal altitud 2529 m dpl (685 m) tumbuhan Cantigi (Gambar 2).
sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi
altitud maka ketebalan daun bertambah. Pada Tebal Kutikula dan Tebal Epidermis
altitud 2300 m dpl daun V. korinchense lebih Secara statistik, tebal lapisan kutikula daun
tebal karena pada ketinggian ini memiliki V.korinchense pada kelima altitud tidak menun-
lingkungan yang optimal atau cukup baik untuk jukan perbedaan yang nyata (>0,05). Pada
tumbuh. Gambar 3. terlihat bahwa tebal jaringan kutikula
Dari Tabel 1 diketahui daun palisade V. atas daun V. korinchense yang paling tebal
korinchense paling tebal terdapat pada tumbuhan dimiliki daun V. korinchense yang tumbuh pada
V. korinchense yang tumbuh di altitud 2300 m altitud 2483 m dpl yaitu 21 m. Ketebalan
dpl (322 m) dan altitud 2529 m dpl (321 m). kutikula bawah pada daun V. korinchense yang
Sedangkan ketebalan palisade V. korinchense tumbuh pada altitud 2300 m dpl, 2483 m dpl dan
(183 m) paling tipis adalah tebal palisade pada 2529 m dpl memiliki ketebalan yang sama yaitu
altitud 2200 m dpl. Pada Tabel 1 juga dapat 16 m. Sedangkan kutikula atas tertipis terdapat
diketahui bahwa daun bunga karang V. pada V.korinchense yang tumbuh pada altitud
korinchense paling tebal terdapat pada tumbuhan 2300 m dpl (16 m) dan kutikula bawah tertipis
V. korinchense yang tumbuh di altitud 2529 m diperoleh pada V. korinchense yang tumbuh pada
dpl (283 m) dan altitud 2300 m dpl (266 m). altitud 2200 m dpl (12 m).
Sedangkan ketebalan bunga karang V. Delucia and Berlyn (1983) melaporkan
korinchense (175 m) paling tipis adalah tebal bahwa pada tumbuhan Balsam Fir (Abias
bunga karang yang tumbuh pada altitud 2200 m balsamea) meningkat dengan meningkatnya
dpl. Pada penelitian ini ketebalan palisade dan altitud (732-1402 m dpl). Namun tidak berbeda
bunga karang (mesofil) V. korinchense bervariasi nyata antar altitud. Menurut Korner and Diemer
atau naik turun antar altitud. Hal ini diduga (1987) bahwa bertambahnya altitud maka akan
adanya cekaman lingkungan abotik yang terjadi pengurangan suhu, intesitas cahaya
berbeda antar altitud. tinggi, laju transpirasi tinggi, kekeringan dan
Streb et al. (1998) mengatakan bahwa pengurangan kandungan hara tanah. Sehingga
dengan meningkatnya ketinnggian maka akan tumbuhan akan beradaptasi terhadap cekaman
terjadi pengurangan nutrisi tanah seperti Fosfor lingkungan yang diterimanya. Pada penelitian ini
dan Nitrogen. Chabot and Hicks (1982) tebal kutikula pada tumbuhan antar ketinggian
menambahkan bahwa tumbuhan yang tumbuh tidak berbeda nyata V. korinchense. Dari Gambar
pada kondisi ini akan memiliki mesofil dan 3 dapat diketahui bahwa kutikula atas dan bawah
kutikula yang tebal. Selain itu peningkatan tebal pada ketinggian 2483 m dpl lebih tebal daripada
mesofil (palisade dan bunga karang) berkaitan ketinggian yang lain. Hal ini diduga karena

118
JURNAL METAMORFOSA IV (1): 114-121 (2017) ISSN: 2302-5697

adanya pengaruh gas sulfur yang dihasilkan oleh Menurut (Fahn 1991) kutikula merupakan
Solfatara gunung Talang sehingga menyebabkan terletak pada lapisan sebelah luar epidermis yang
kutikula ini menebal. Kutikula tebal merupakan terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan paling luar
adaptasi tumbuhan terhadap cekaman ling- yang hanya terdiri dari lapisan kutin (kutikula
kungan yang diterima dan untuk mengurai gas sejati) dan lapisan dalam (lapisan kutikular) yang
polutan yang akan terdifusi kedalam jaringan mengandung kutin serta bahan dinding sel
daun. Hal serupa dikemukan Weryszko et al. lainnya. Lapisan paling luar daun ini difungsikan
(2005) yang menyatakan kutikula pada Glycine untuk menjaga kelembaban daun sebab lapisan
max merupakan pertahanan pertama daun kutikula dapat mengontrol transpirasi atau
terhadap bahan-bahan pencemar yang masuk penguapan sehingga meminimalkan kehilangan
melalui daun karena letaknya yang berada di atas air. Selain menjaga kelembaban, kutikula juga
lapisan epidermis. Modifikasi tebal kutikula berfungsi menjadi pertahanan awal terhadap
merupakan respon untuk mengurangi transpirasi masuknya benda asing termasuk bahan
dan reaksi tumbuhan terhadap masuknya bahan pencemar dari udara ke dalam daun.
pencemar.

Gambar 2. Hubungan Antara Altitud Dengan Tebal Daun V. korinchense

Secara statistik, tebal lapisan epidermis lainnya yaitu 14 m. Pertambahan ketebalan


daun V. korinchense pada kelima altitud tidak epidermis atas beberapa tumbuhan dikotil pada
menunjukan perbedaan yang nyata (>0,05). Pada ketinggian berbeda menurut Jianjing et al.
Gambar. 3 terlihat bahwa tebal jaringan epider- (2012) disebab kan oleh tinnginya intensitas
mis atas dan bawah V.korinchense bervariasi cahaya pada daerah pegunungan dan sebagai
atau naik turun antar altitud. Epidermis atas daun proteksi dari radiasi sinar UV-B. Pada Gambar
V. korinchense yang paling tebal dimiliki daun V. 3 dapat diketahui bahwa epidermis bawah V.
korinchense yang tumbuh pada altitud 2300 m korinchense pada altitud 2200 m dpl lebih tebal
dpl, 2342 m dpl dan 2529 m dpl yaitu 34 m. daripada epidermis bawah altitud lainnya. Hal
Epidermis atas yang paling tipis diperoleh pada ini diduga untuk mengurai laju transpirasi dan
tumbuhan V. korinchense yang tumbuh pada kekeringan pada ketinggian ini. karena
altitud 2483 m dpl yaitu 26 m. Pada tumbuhan berkurangnya altitud maka akan terjadi
V.korinchense, ketebalan epidermis bawah penambahan suhu. Suhu yang tinggi akan
paling tebal terdapat pada V. korinchense yang mempercepat laju transpirasi sehingga untuk itu
tumbuh pada altitud 2200 m dpl sedangkan untuk tumbuhan ini meningkatkan ketebalan epidermis
V. korinchense yang tumbuh pada altitud 2300 m bawahnya. Selain itu tumbuhan ini memiliki
dpl dan 2483 m dpl memiliki epidermis bawah daun hipostomatik sehingga laju transpirasi lebih
yang paling tipis dibandingkan pada altitud tinggi pada sisi abaksial daun.

119
JURNAL METAMORFOSA IV (1): 114-121 (2017) ISSN: 2302-5697

Epidermis Atas Epiderms Bawah Kutikula atas Kutikula Bawah

40
35
30

tebal (m)
25
20
15
10
5
0
2200 2300 2342 2483 2529
Altitud (m dpl)

Gambar 3. Tebal epidermis dan kutikula daun V. korinchense pada altitud berbeda

Gambar 4. Tebal jaringan Daun V. korinchense: A-E: daun Vaccinium korinchense pada altitud 2200-
2529 m dpl; ka: kutikula atas, kb: kutikula bawah, ea: epidermis atas, eb:epidermis bawah, pl:palisade,
bk: bunga karang, td : tebal daun.

KESIMPULAN UCAPAN TERIMAKASIH

Semakin meningkatnya altitud tempat Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof.


lokasi pengkoleksian tebal daun, tebal palisade Dr. Erizal Muchtar, Dr. Resti Rahayu dan
dan tebal bunga karang tidak berbeda atau Suwirmen, M.S. atas segala saran dan
bervariasi antar altitud. Tebal kutikula dan masukannya dalam penelitian serta penulisan
epidermis daun Cantigi tidak berbeda nyata antar artikel ini.
altitud.

120
JURNAL METAMORFOSA IV (1): 114-121 (2017) ISSN: 2302-5697

DAFTAR PUSTAKA and carbon dioxide in herbaceous plants from


low and high altitude. Funct. Ecol. 1: 179-194.
Albrechtov. J., J Janek., and Z. Lhotkov. 2007. Kubnov. L. 1994. Recent stereological methods for
Novel effi cient methods for measuring measuring leaf anatomical characteristics:
mesophyll anatomical characteristics from estimation of the number and sizes of stomata
fresh thick sections using stereology and and mesophyll cells. J Exp Bot 45: 119127
confocal microscopy: application on acid Lin, F. S., F.J. Yun., Z. Kun., L. X. Jiao and C. K.
raintreated Norway spruce needles. J Exp Bot Ming. 1999. Anatomical Characterics of
58:14511461 Leaves and Wood Of Fagus Lucida and Their
Backer, A. C. and R. C. Bakhuizen van den Brink. Relationship to Ecological Factors in
1968. Flora of Java.Vol.IX. Wolters. N. V. P. Mountain Fanjingshan, Guihou, China. Acta
Noordhoff. Groningen. Netherland. Botanica Sinica. 41 (9) : 1002-1009.
Bayton, H. W. 1968. The ecology of an eln cloud Patriyanus, Z. 1993. Jenis-jenis ericaceae pada
forest in Puerto Rico. 2. The microclimate of beberapa daerah di Sumatera Barat. [Tesis].
Pico del Oeste. J. Arnold Arbor. 49: 419-430. Padang: Universitas Andalas
Berlyn, G.P and J.P.Miksche. 1976. Botanical Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Alam
Microtechnique and Cytochemistry. The Iowa (PVMBA), 2007. Deskripsi Talang.
State University Press. Ames. Iowa. http://www.vsi.esdm.go.id/. 27 april 2015.
Campbell, N.A, J.B. Reece, L.G. Mitchell. 2003. Rushayati, S.B. dan R. Y. Maulana. 2005. Respon
Biologi Jilid 1 (Terjemahan) Erlangga. Jakarta. Pertumbuhan Serta Anatomi Daun Kenari
Chabot, F.B. and D.J. Hicks. 1982. The ecology of (Canarium commune L) dan Akasia (Acacia
leaf life spans. Annu. Rev. Ecol. Syst. 13: 229- mangium Willd) Terhadap Emisi Gas
259. Kendaraan Bermotor. Media Konservasi.
Chartzoulakis. K., A. Patakas, G. Kodis A. 10(2): 71 76.
Bosabalidis, and A. Nastou. 2002. Water Sass, J.E. 1958. Botanical Microtechnique. 2nd
stress affects leaf anatomy, gas exchange, Edition. Iowa: Iowa State University Press.
waterrelations and growth of two avocado Streb, P., W. Shang, J. Feierabend and R. Bligny.
cultivars. Scientia Horticulturae. 95: 3950 1998. Divergent strategies of photoprotection
Delucia. E.H. and G. P. Berlyn. 1983. The effect of in high-mountain plants. Planta. 207:313324.
increasing elevation on leaf cuticle thickness Syamsuardi, R., Tamin dan Nurainas. 2006. Upaya
and cutikular transpiration in balsam fir. Meningkatkan Mutu Pembelajaran Mata
Can.J.Bot 62:2423-2431. Ajaran Taksonomi Tumbuhan Tingkat Tinggi
Fahn, A. 1991. Plant anatomy. 4th edition. pergamon dengan Media Interaktif Berbasis Komputer.
press England. Research Grant Proyek TPSDP Unand Padang
Fajrina, A. 2012. Analisis kemungkinan hybrid alami Tiwari S.P., P.Kumar, D. Yadav, and D. K. Chauhan.
anatar Anaphalis longifolia Blume exDC. 2013. Comparative morphological, epidermal,
Dengan A.javanica (DC)Sch.Bip. (Asteraceae) and anatomical studies of Pinus roxburghii
berdasarkan karakter anatomi dan molekuler. needles at different altitudes in the North-West
[Tesis]. Padang: Universitas Andalas Indian Himalayas. Turk J Bot 37: 65-73
Gostin, I.N. 2009. Air Pollution Effects on the Leaf Treshow M. 1970. Enviroment and Plant Response.
Structure of some Fabaceae Species. Not. Bot. New York: McGraw-Hill.
Hort. Agrobot. Cluj. 37 (2) : 57-63. Vickeys, M.L. 1984. Ecology of Tropical Planta.
JianJing, M., J Cheng Jun., H. Mei., Z. TingFang., Y. John Willey and Son. Toronto
XueDong, H.D Dong., Z. Hui and H. JinSheng. Weryszko CE, and Hwil M. 2005. Lead induced
2012. Comparative analyses of leaf anatomy of histological and ultrastructural changes in the
dicotyledonous species in Tibetan and Inner leaves of soybean [Glycine max (L) Merr]. Soil
Mongolian grasslands, Life Sciences 55(1): 68- Sci. Plant Nutr 51: 203 212.
79. Whitmore, T.C. 1984. Tropical rain forests of the Far
Kofidis.G.,and A.M.. Bosabalidis. 2008. Effects of East. 2nd ed. Clarendon Press, Oxford.
altitude and season on glandular hairs and leaf Whitten, A.J, S.J Damanik., J. Anwar and N. Hisyam.
structural traits of Nepeta nuda L. Botanical 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera.
Studies 49: 363-372. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Krner, Ch. and M. Diemer. 1987. In situ
photosynthetic responses to light, temperature

121

Anda mungkin juga menyukai