Anda di halaman 1dari 6

Resume Buku

Judul : Melawan Liberalisme Pendidikan


Penulis : Darmaningtyas, Edi Subkhan, Fahmi Panimbang

Darmaningtyas, dkk menulis buku ini tidak hanya dengan gaya deskrptif-analisis. Dalam
buku Melawan Liberalisme Pendidikan juga dituliskan bagaimana konsep pendidikan,
globalisasi, dan neoliberalisme sehingga para pembaca yang kurang familiar dengan konsep
ini, dengan mudah dapat mengerti konsep-konsep tersebut. Dalam buku Melawan Liberalisasi
Pendidikan, Penulis tidak hanya membahas Pendidikan Tinggi saja, walaupun Pendidikan
Tinggi menjadi sorotan utama dalam Buku ini, tetapi juga membahas dari pendidikan dasar,
sehingga pembahasan liberalisasi pendidikan dapat dilihat lebih komprehensif. Penulis juga
memaparkan banyak data terkait bagaimana sejarah pendidikan di Indonesia mulai dari masa
Reforamasi hingga buku ini diterbitkan. Pemaparan data sangatlah penting dalam
menganalisa suatu isu yang ingin diteliti. Data-data terkait Biaya Pendidikan Universitas-
universitas, Peringkat Universitas di Indonesia, Beragam Besaran pungutan Uang Masuk
Sekolah, dan masih banyaklainnya tersaji dalam bentuk table sehingga tidak hanya penulis,
pembaca pun juga bisa menganalisa dengan memakai data-data tersebut.

RESUME

Permasalahan pendidikan nasional mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi
mengalami gejala kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi di tengah hiruk pikuknya suasana
krisis moneter di era zaman reformasi tahun 1998. Pemerintah justru mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No: 61 tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi sebagai badan
hukum. Masyarakat tahu-tahu berada dalam suatu perangkap yang membuat dirinya tidak
dapat mengakses pendidikan tinggi secara mudah dan tiba-tiba mereka hanya merasakan
bahwa uang sekolah dan kuliah menjadi sangat mahal dan tidak dapat terjangkau oleh
golongan menengah ke bawah. Gerakan ke arah kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan itu
tidak mudah terbaca oleh publik karena menumpang pada gerakan demokratisasi yang
diusung para aktivis yang pro demokrasi , sehingga kesannya baik dan menganggap bahwa
berkurangnya campur tangan pemerintah terhadap pendidikan dapat menumbuhkan otonomi,
dan kemandirian lembaga pendidikan. Tetapi Implikasi tersebut berdampak buruk karena
pendidikan tidak lagi ditempatkan sebagai hak dasar yang dimiliki warga dan negara wajib
memenuhinya, malah pendidikan dibuang ke pasar menjadi barang komoditas. Pendidikan
dibuang ke pasar itu bukan tanpa kesengajaan melainkan dilakukan dengan penuh kesadaran
oleh kaki tangan WTO (World Trade Organization) seperti Bank Dunia dan IMF (
International Monetary Fund). Mereka memanfaatkan momentum penjadwalan utang luar
negeri yang bersangkutan dan mengharuskan negara menerapkan kebijakan penyesuaian
struktural dari Washington seperti privatisasi, kebijakan moneter dan hukum-hukum usaha.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani pembentukan WTO dan GATS
pada tahun 2005, sehingga Indonesia harus tunduk pada ketentuan WTO/GATS dalam
meliberalisasi banyak sektor termasuk pendidikan. Setelah mendatangani GATS/WTO,
pemerintah mengeluarkan UU No: 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal dan kemudian
diikuti terbitnya Perpres No:76 Tahun 2007 dan Perpres No:77 Tahun 2007 yang menyatakan
bahwa pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing, maksimal
49%. Pada waktu bersamaan pemerintah membahas RUU BHP yang telah didorong sejak
akhir 2003. Yang mana UU No: 20 Tahunh 2003 sebagai kekuatan dari PP No: 61 th 1999.
RUU BHP mengalami pasang surut dan hingga akhirnya tahun 2008 mengalami perlawanan
sampai berlanjut di MK. Pada akhirnya RUU BHP tidak bisa menjadi UU BHP karena tidak
memiliki kekuatan mengikat sehingga tahun 2010 dibatalkan. Tak lama berselang paska
terkuburnya UU BHP telah muncul lagi dasar hukum pembentukan PTN berbadan hukum
yaitu UU No:12 Tahun 2012 yang pada saat ini sedang proses pengajuan MK.

UU BHP yang mengakibatkan praktik praktik privatisasi, liberalisasi pendidikan. Praktik


praktik tersebut antara lain :

1. Berubahnya status PTN menjadi PT BHMN


Liberalisasi tingkat perguruan tinggi, diawali dengan privatisasi 4 PTN terkemuka yaitu UI,
UGM, ITB dan IPB. Keempat PTN tersebut berubah statusnya menjadi PT BHMN tahun
2000. Ke 4 PTN tersebut dianggap sudah tua dan lama berdiri, terbesar dan siap matang
untuk di BHMN kan. Selain itu, ke 4 PTN tersebut memiliki subsidi terbesar, sehingga
dengan cara meng BHMN-kan, pengurangan subsidi pada ke 4 PTN tersebut dapat
menghemat biaya pengeluaran dari pemerintah, dan uangnya dapat dialihkan untuk
membayar utang negara. PT BHMN identik dengan biaya pendidikan yang mahal, karena
pendidikan tinggi dilepas di pasar, sehingga tidak dapat diakses oleh golongan tidak mampu,
sebutan halusnya BHMN adalah swastanisasi dan liberalisasi. Privatisasi tersebut membawa
perubahan persepsi masyaraakat terhadap keberadaan PTN yang bersangkutan. Sebelum di
privatisasi, masyarakat memberikan apresiasi kepada ke-4 PTN tersebut, tapi setelah di
privatisasi anggapan masyarakat berubah menjadi mengapresiasi PTN tersebut berdasarkan
ekonomi orang tua mahasiswa. Ciri ciri perubahan status PTN menjadi PT BHMN antara lain
:
a. Biaya kuliah semakin mahal
Salah satu dampak yang diraskan masyarakat setelah keempat PTN di swastanisasi dalam PT
BHMN adalah semakin mahalnya biaya kuliah. Biaya kuliah di keempat PTN tersebut yang
dulu rendah , tiba-tiba merangkak naik. Tapi berbagai macam bea masuk tersebut sekarang
telah dihapuskan sejak diperkenalkan UKT. UKT tersebut mengembalikan model PTN
sebelum berubah menjadi PT BHMN. Usaha untuk mencari masukan lebih banyak didapat
dari mahasiswa melalui seleksi masuk PT BHMN. Setelah berubah menjadi PTBHMN, selain
ada seleksi bersama, ada sleksi yang bersifat mandiri. Seleksi mandiri ini memungkinkan PT
BHMN dapat menerima calon maba dengan kemampuan rata rata tapi memiliki kemampuan
membayar cukup tinggi. Celakanya adalah fakultas kedokteran, di semua PT BHMN
menjadi fakultas mahal, padahal nantinya fakultas tersebut akan melahirkan calon calon
dokter yang bekerja untuk misi kemanusiaan. Seharusnya fakultas kedokteran menjadi
murah agar dapat diakses semua orang pintar baik kaya maupun miskin sehingga kelak dapat
meminimalisasi malpraktek maupun menjadikan orang sakit menjadi barang komoditas.
Jalur mandiri tersebut biasanya membutuhkan biaya pendaftaran dan pekuliahan mahal dari
jalur biasa, hal ini dapat berimbas pada perguruan tinggi swasta, ketika tidak lolos SNMPTN
dan kemudian masuk PT BHMN melalui mandiri, maka target penerimaan calon mahasiswa
di PTS berkurang. Selain itu, dampak dengan adanya jalur masuk yang membutuhkan biaya
mahal ditambah pungutan lainnya memberatkan calon mahasiswa ekonomi lemah.

Di UI pada tahun 2008 uang pangkalnya FK 70 jt dengan biaya persemester 35 jt, fakultas
teknik dengan uang pangkal 20 jt dengan biaya persemesternya 15 jt, FEB dengan uang
pangkalnya 26 jt dengan biaya persemesternya 25 jt. Di UGM terjadi praktik penjualan kursi
hingga berkisar 150-200 jt. Di ITB pernah menggegerkan dunia pendidkan tinggi dinegeri ini
ketika muncul pemberitaan pada tahun 2003 tentang adanaya kesediaan calon mahasiswa
baru masuk ITB dengam membayar 1 milyar, ini bukan isu tapi diakui pihak ITB. Di IPB
biaya jenjang diploma lebih besar dibandingkan jenjang sarjana reguler dengan biaya
program reguler masuk pertama 6 jt dan biaya selanjutnya 2,5 juta.
Fenomena mahalnya biaya pendidkan tidak hanya terjadi dikampus PTBHMN ,tetapi juga
mulai merambah di PTN non BHMN.
a. Buka Usaha Komersial
Fenomena swastanisasi keempat PTN, kemudian disusul dengan 3 PTN lainnya seperti USU,
UPI, dan UNAIR. PTN tersebut setelah berubah statusnya menjadi PT BHMN, banyak usaha
usaha yang mereka bangun akibat banyak investor yang bekerjasama. UI membuka usaha
melalui PT. Daya Makara yang bergerak dibidang jasa konsultasi dan kontraktor. Selain itu
juga, UI sedang merintis tempat penitipan anak yang dinamakan TPAM dengan biaya
penitipan 500 ribu per anak per bulan. Di IPB mendirikan unit usaha seperti PT. BLST, PT.
Indah Pesona Bogor, serta PT. Prima Kelola Agribisnis dan Agroindustri. Di ITB terdapat
unit usaha seperti PT.LAPI ITB bertindak sebagai holding, PT LAPI Ganeshatama
Consulting, PT LAPI Banyakrama (perdagangan), PT LAPI Divusi (teknologi informasi), PT
LAPI Fujitama Teknologi ( industri aditif untuk produk hilir migas), dan PT.LAPI Indowater
Rekayasa (air bersih). Di UGM terdapat usaha dibawah pengelolaan Gama Multi Usaha
Mandiri, antara lain : Radio Swaragama, pos waralaba, dan Gama Techno. Langkah lain
UGM yang semakin jelas dan berorientasi profit terlihat ketika meluncurkan reksa dana
UGM Fund dengan target dana kelolaan 2,5 triliun pada Juli 2009. Berdasarkan hal tersebut
membuat beberapa perguruan tinggi non BHMN berlomba-lomba membangun unit-unit
usaha dalam rangka menyongsong RUU BHP.
b. Obsesi mengglobal Universitas BHMN
PTBHMN berobsesi menjadi worldclass university, menjadi universitas riset bertaraf
internasional, dimana para pengelola BHMN seakan mengatakan bahwa uang masuk kuliah
mahal karena perguruan tinggi sebagai universitas riset bertaraf internasional. Obsesi untuk
go internasional sangat besar dengan jargon research university, tapi apabila dikatakan secara
jujur, jargon tersebut dijadikan bahan jualan yang dapat menimbulkan persepsi dan citra
positip dimata publik bahwa perguruan tinggi yang sudah memiliki program dual degree,
twinning program, research university dan lainnya lebih berkelas, ketimbang kampus kampus
lain yang tidak memiliki program tersebut. Obsesi tersebut didukung sepenuhnya oleh
pemerintah yang tidak pernah sadar bahwa pencitraan tersebut sebetulnya bagian dari bisnis
kapitalisme global saja untuk menjual jasa pendidikan mereka (negara-negara maju). Amat
disayangkan pula bila pemerintah dalam mendukung PT BHMN untuk menuju research
university didukung pendanaan yang cukup, sehingga membuat para pengelola PT BHMN
harus pontang-panting mencari sumber pendanaan sendiri. Oleh karena mereka tidak
memiliki pengalaman mencari sumber pendanan lain, maka yang paling mudah dijadikan
sasaran adalah mahasiswa. Menaikkan biaya kuliah mahasiswa jauh lebih mudah dilakukan
dan diperoleh kepastian besarnya pemasukan. Dengan begitu, perguruan tinggi terkemuka
yang sudah BHMN telah meninggalkan kewajiban utamanya untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memilih menghambakan diri untuk kepentingan kapitalisme global dengan
mencritrakan diri menjadi worldclass university.

Pemandangan kampus kampus BHMN sekilas kita akan melihat pemandangan yang ambigu
yaitu kampus BHMN yang dirancang menjadi universitas riset taraf internasional , tetapi
yang terlihat adalah kampus yang glamour, hedonis, dan elitis. Kesan bahwa kampus BHMN
itu sekarang khusus kelas menengah saja tidak dapat terelakkan lagi. Bila yang dimaksudkan
worldclass university adalah sebuah pengakuan terhadap mutu pendidikan tinggi nasional,
rasanya pengkauan tersebut sudah ada sejak dulu, meskipun bukan PTN berlabel
Internasional, buktinya banyak lulusan PTN kita sejak dulu dapat melanjutkan sekolah ke
luar negeri dan tanpa mengalamai hambatan apapun.
c. Jualan gelar
Program double degree merupakan program unggulan di beberapa perguruan tinggi di PT
BHMN. Program tersebut memberi keuntungan kepada mahaiswa yang memilih program
tersebut dengan mendapatkan 2 gelar yaitu gelar dari universitas negeri dan luar negeri yang
menjadi psangan kerja sama, mahasiswa yang memilih program ini juga dapat memiliki
banyak waktu untuk menyesuaikan diri sebelum mengikuti kuliah di universitas luar negeri.
Program double degree di terapkan pada ke-3 PT BHMN kecuali IPB, bagi mereka yang
terbiasa berpikir tentang substansi, bukan formalitas, penjualan program tersebut
mengesankan PT BHMN semakin tidak percaya dengan ide universitas riset internasional,
karena mengapa harus menjual dirinya dengan iming-iming mendapatkan gelar dua
sekaligus. Bagi pengelola maupun masyarakat tidak tahu, bahwa program tersebut
diasosiasikan menjadi bentuk pengakuan mutu pendidikan dalam negeri yang menjadi partner
bekerja sama
d. Jebakan Pada Ranking
Salah satu mode neoliberalisme yang berjalan dalam pendidikan tinggi adalah memanfaatkan
pemeringkatan kualitas pendidikan tinggi yang dilakukan lembaga-lembaga internasional dan
regional baik universitas negeri maupun swasta. Kriteria pemeringkatan dilihat dari kualitas
fakultas, kualitas tenaga pengajar, program-program internasional, aktivitas kampus, fasilitas
penunjang operasional, dan lainnya. Kampus-kampus yang memiliki fasilitas bagus, biaya
mahal,akan berada di peringkat teratas. Pemerintah beranggapan bahwa untuk meningkatkan
mutu pendidikan perlu adanya biaya mahal, tanpa mempertimbangkan kewajiban negara
untuk menyediakan layanan pendidikan bagi warga negara. Perangkingan sebetulnya amat
diperlukan bagi mereka yang menganut paham kompetisi. Dalam kompetisi tersebut selalu
ada menang kalah, ketika pendidikan kita terjebak pada perangkingan, sesungguhnya telah
mengarahkan sistem pendidikan tinggi kita ke paham persaingan. Tentu paham tersebut tidak
sesuai dengan ajaran nilai luhur bangsa kita yang mengajarkan gotong royong. Oleh karena
itulah, yang perlu diajarkan oleh perguruan tinggi kepada mahasiswa semestinya bukan
ideologi kompetisi tapi ideologi kerjasama.
e. Wajah baru organisasi dan kepemimpinan kampus
Wajah baru struktur organisasi kampus pada PT BHMN terdapat anggota baru seperti majelis
wali amanat dan dewan audit sesuai PP No: 152-155 Tahun 2000. Majelis wali amanat
tersebut bertugas untuk memberhentikan rektor sesuai pasal 24 dan pemilihan suara menteri
pendidikan sebesar 35% untuk memilih rektor dan 65% dibagi rata kepada setiap anggota
lainnya. Sehingga hal yang menarik dari wajah baru PT bhmn adalah salah satu syarat
menjadi rektor itu memiliki jiwa kewriusahaan, bukan intelektual. Kriteria jiwa
kewirausahaan sebagai syarat menjadi rektor inilah yang menjadikan arah dan praksis
pendidikan PT BHMN lebih komersial.

2. Manajemen Berbasis Sekolah dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional

Liberalisasi pendidikan ditingkat SD-SMA , ditandai dengan pelaksanaan MBS( Manajemen


Berbasis Sekolah) yang implementasinaya ditandai dengan adanya komite sekolah.
Penerapan MBS dalam pendidkan di Indonesia meniru dengan sistem di Amerika, Australia
yang menerapkan peran komite untuk mendorong terjadinya demokratisasi penyelenggaraan
pendidikan seperti pemilihan kepala sekolah, kurikulum, tata tertib, dimana peran komite
sekolah di Indonesia hanya berfungsi dalam pencarian dana, dan tidak melibatkan komite
mengenai kurikulum, pemilihan kepala sekolah. Komite sekolah dijadikan tameng bagi
pemerintah kota/kabupaten terhadap perbaikan layanan pendidikan. Setiap ada tuntutan
mengenai besaran pungutan dana selalu dimentahkan pemerintah kabupaten/kota bahwa itu
sudah keputusan komite sekolah. Keberadaan MBS mendapat payung hukum yang kuat
dalam UU No: 20 Th 2003 tentang Sisdiknas, dan PP No:48 th 2008 tentang Pendanaan
Pendidikan yang didalamnya mengatur peran masyarakat didalam pendanaan pendidikan.

Selain MBS, praktik liberalisasi pendidikan SD-SMA ditandai dengan adanya sekolah RSBI.
RSBI merupakan liberalisasi pendidikan yang tercermin dari Permendiknas No: 78 th 2009
tentang penyelenggaraan sekolah berstandar internasional. Pemerintah memberikan
kebebasan kepada RSBI sebagai rintisan dari SBI , ini jelas melanggar pasal 31 ayat 2
setiap warga negarab wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.tujuan SBI bukan untuk mencerdaskan bangsa tapi sekadar meingkatkan daya
saing bangsa. Hal tersebut karena isi dari uu 78/2009 mengacu pada standar yang berlaku
dinegara maju yang tergabung dalam OECD. Hal tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai
pancasila yag menekankan kerja sama, sehingga pada akhirnya konsep SBI diuji materi oleh
MK dan Mk mengabulkan bahwa RSBI sebagai rintisan SBI diberhentikan ditengah jalan.

3. Sekolah Berstandar ISO 9001:2000. Sebuah system manajemen mutu yang dalam nalar
industry, yakni untuk kepuasan pelanggan. Hal ini belum tentu sesuai dengan hakikat mutu
atau kualitas dalam terminology dunia pendidikan yang lebih substansial dan komplek
menyentuh materi yang diberikan pada siswa, konteks sosial, budaya, psikologis, dan bahkan
politis-ideologis. Mutu dalam pendidikan berbbicara mengenai pembentukan karakter murid,
pemahaman akan kehidupan, relasi sosial, dan pandangan dunianya selain menguasai mata
pelajaran itu sendiri.
Dampak dampak negatif neoliberalisasi pendidikan

1. Pendidikan dijadikan komoditas yang dijual dipasar negerinya sendiri, sehingga


pendidikan hanya akan dapat diakses oleh orang yang berduit saja
2. Dalam UU BHP menyelenggarakan pendidikan hanya sebatas tata kelola belaka
sehingga permasalahan budaya,seni,etika, dan humaniora terabaikan. Jika hal tersebut
terjadi akan mengakibatkan disorientasi pendidikan , terkikisnya nasionalisme,
disintegrasi sosial dan bangsa, lunturnya idealisme, krisis kemanusiaan, dan lain
lainnya

Anda mungkin juga menyukai