Anda di halaman 1dari 8

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, upaya pelayanan kesehatan gigi di Indonesia seakan menghadapi beban ganda,
yakni di satu pihak, upaya kesehatan masyarakat masih menghadapi tingginya prevalensi penyakit
gigi dan mulut, dan di lain pihak, upaya kesehatan perseorangan masih belum memberikan
pelayanan yang berkualitas. Tingginya prevalensi penyakit gigi dan mulut di masyarakat
ditunjukkan dengan data dari berbagai penelitian yang menyatakan bahwa prevalensi karies gigi
adalah sebesar 90%-99% dan prevalensi penyakit periodontal sebesar 66%-96%, dengan
kecenderungan yang terus meningkat (Mulyani dan McIntyre, 2002; Situmorang, 2004; Sufiawati
dkk., 2002; Lely dan Indirawati, 2004).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang diselenggarakan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) menunjukkan bahwa prevalensi karies
penduduk Indonesia yang berusia dua belas tahun ke atas adalah sebesar 67,2%. Dari seluruh
populasi penduduk Indonesia, mereka yang sudah mengalami edentolus (hilang seluruh gigi)
adalah sebesar 1,6%. Dilihat dari indeks kariesnya, rata-rata DMFT (decayed, missing, filled teeth)
adalah sebesar 4,85 (Depkes RI, 2008a). Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),
prevalensi karies penduduk Provinsi DIY yang berusia dua belas tahun atau lebih adalah sebesar
78,9%, sedangkan penduduk yang sudah mengalami edentolus adalah sebesar 2,4%. Untuk karies
gigi, rata-rata DMFT di Provinsi DIY adalah sebesar 6,53 (Depkes RI, 2008b). Hasil Riskesdas
Tahun 2013 menunjukkan bahwa rata-rata DMFT secara nasional adalah sebesar 4,6, sedangkan
untuk Provinsi DIY, nilai rata-rata DMF-T adalah sebesar 5,9 (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan - Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Tingginya masalah dalam upaya kesehatan gigi perseorangan ditunjukkan oleh fakta bahwa
luaran klinis pelayanan kesehatan gigi dan mulut baik di puskesmas maupun di rumah sakit masih
rendah. Damayanti dan Pramono (1997) dalam penelitiannya yang membandingkan kualitas
perawatan saluran akar gigi dengan teknik mumifikasi antara perawatan di puskesmas dan di
praktek dokter gigi swasta, menunjukkan bahwa kegagalan yang terjadi di puskesmas adalah
sebesar 59%, dibandingkan dengan di praktek dokter gigi swasta yang hanya sebesar 22%.
Dwipayanti dkk. (2009) melaporkan bahwa kejadian komplikasi pascaodontektomi gigi molar
ketiga rahang bawah impaksi adalah sebesar 68,25%. Heryono dkk. (2012) dalam penelitiannya di
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, memperoleh hasil
frekuensi kejadian komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga sebesar 38,60%.

1
2

Odontektomi gigi molar ketiga impaksi adalah salah satu upaya kuratif spesialistik yang
dilakukan di rumah sakit, yang luaran klinisnya masih rendah. Gigi impaksi adalah gigi yang tidak
berhasil bererupsi hingga mencapai posisi fungsional yang seharusnya, dalam lengkung gigi, dalam
waktu tertentu (Obimakinde, 2009). Gigi molar ketiga merupakan satu-satunya jenis gigi yang
seluruh pertumbuhannya terjadi setelah kelahiran; dan satu-satunya gigi yang masih terus
mengalami proses pertumbuhan bahkan pada saat seseorang sudah berusia delapan belas tahun
seiring dengan bertambahnya usia, dan belum tentu selesai sempurna pada usia 22 tahun (Silvestri
dan Singh, 2003; Lopez dkk., 2013). Oleh karenanya, gigi molar ketiga menjadi gigi yang paling
sering mengalami impaksi dibandingkan dengan jenis gigi lainnya. Dilaporkan bahwa prevalensi
gigi molar ketiga rahang bawah impaksi adalah antara 9,5% 50%. Gigi molar ketiga rahang
bawah merupakan gigi yang paling sering mengalami impaksi, diikuti dengan gigi molar ketiga
rahang atas, gigi kaninus rahang atas, dan gigi kaninus rahang bawah (Obimakinde, 2009).
Odontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi merupakan tindakan yang termasuk
dalam kategori high volume, high cost, dan high risk. Dilaporkan bahwa odontektomi gigi molar
ketiga merupakan perawatan yang paling sering dilakukan oleh para dokter gigi spesialis bedah
mulut dan maksilofasial (Bui dkk., 2003). Hal ini disebabkan oleh karena diperkirakan sekitar 65%
populasi manusia mempunyai sedikitnya satu gigi molar ketiga impaksi pada usia 20 tahun
(Silvestri dan Singh, 2003). Di antara jumlah itu, antara 30%-60% akan menjalani odontektomi
(Dodson, 2010). Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 3,8 juta penduduk menjalani lima juta
perawatan odontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi setiap tahun (Friedman dan
Presson, 2010). Di Swedia, diperkirakan, di empat rumah sakit metropolitan, telah dilakukan lebih
dari 2.500 odontektomi gigi molar ketiga impaksi dalam setahun (Silvestri dan Singh, 2003). Di
Inggris, National Health Service (NHS) melaporkan bahwa odontektomi gigi molar ketiga
merupakan perawatan bedah urutan ke-8 dari seluruh tindakan bedah (Obimakinde, 2009).
Volume tindakan odontektomi yang tinggi tersebut mengakibatkan tingginya biaya
perawatan. Diperkirakan oleh the National Institute of Health di Inggris, total biaya yang
dikeluarkan untuk perawatan odontektomi gigi molar ketiga impaksi mencapai 12 juta
poundsterling setiap tahun (National Institute for Clinical Exellence/NICE, 2000). Di Amerika
Serikat, telah digunakan dana lebih dari 2 milyar dolar per tahun untuk biaya perawatan
odontektomi (Silvestri dan Singh, 2003). Angka ini akan meningkat jika dihitung juga kerugian
akibat hilangnya waktu kerja. Friedman dan Presson (2010) memperkirakan bahwa telah terjadi
kehilangan waktu kerja antara 16 hari kerja (dengan rata-rata = 2,7 hari) akibat terjadinya
komplikasi pascaodontektomi molar ketiga. Oleh karena itu telah terjadi kehilangan lebih dari 10
juta hari kerja sebagai akibat dilakukannya odontektomi gigi molar ketiga impaksi selama setahun.
Odontektomi gigi molar ketiga adalah tindakan yang high risk mengingat bahwa insidensi
terjadinya komplikasi yang tinggi. Bui dkk. (2003) dan Pitekova dkk. (2007) melaporkan bahwa
komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah berkisar antara 2,6%-30,9%.
3

Blondeau dan Daniel (2007) melaporkan insidensi terjadinya komplikasi adalah antara 0,5%-
68,4%. Di Indonesia, Dwipayanti dkk. (2009) melaporkan bahwa kejadian komplikasi
pascaondontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi adalah sebesar 68,25%.
Komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga sangat banyak ragamnya, diantaranya
adalah: nyeri, edema, trismus, dry socket, parestesi, infeksi, hematoma, perdarahan dan fraktur
tulang baik tulang alveolus maupun tulang mandibula (Bui dkk., 2003; Susarla dkk., 2003;
Dwipayanti dkk., 2007; Blondeau dan Daniel, 2007; Friedman dan Presson, 2010; Bello dkk.,
2011). Penelitian lain melaporkan terjadinya jenis komplikasi yang lain yakni terjadinya
penggeseran diskus temporomandibular (Threlfall dkk., 2004), terjadinya abses di rongga mata
(Sakkas dkk., 2005), dan terjadinya perforasi kolon disertai peritonitis akut, sebagai akibat
mengkonsumsi klindamisin dan diklofenak setelah menjalani odontektomi gigi molar ketiga
impaksi (Ervens dkk., 2004).
Dilihat dari jenis gigi impaksi yang dioperasi, gigi molar ketiga impaksi di rahang bawah
merupakan gigi yang paling penting, mengingat beberapa hal. Pertama, dalam pencabutan gigi
molar ketiga impaksi, rahang bawah lebih berisiko terjadi komplikasi dibandingkan dengan rahang
atas dengan odds-ratio (OR) sebesar 3,58. Kedua, komplikasi yang terjadi di rahang bawah,
jenisnya lebih banyak dan beragam. Ketiga, insidensi kejadian komplikasi di rahang bawah lebih
tinggi (Bui dkk., 2003). Keempat, prevalensi impaksi gigi molar ketiga di rahang bawah adalah
terbanyak dibandingkan dengan jenis gigi-geligi dan rahang yang lain (Obimakinde, 2009).
Kelima, tatalaksana odontektomi gigi molar ketiga impaksi rahang bawah pada umunya jauh lebih
rumit, dan tingkat kesulitannya lebih tinggi dibandingkan dengan odontektomi gigi molar ketiga
rahang atas (Scottish Intercollegiate Guidelines Network/SIGN, 1999).
Tingginya kejadian komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga tersebut memerlukan
upaya untuk menurunkannya. Upaya ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran yang dalam Paragraf 5 Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan
bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi
wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan
kendali mutu dan kendali biaya tadi, diperlukan suatu audit medis. Selain itu, dalam Paragraf 1,
Pasal 44, ayat (1) disebutkan bahwa para dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik
kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. Dan kemudian di
dalam Pasal 51 tentang kewajiban dokter atau dokter gigi, dalam butir a, disebutkan bahwa dokter
atau dokter gigi berkewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
Upaya peningkatan mutu klinis seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tersebut sesungguhnya telah dimulai pada tahun 1998 di Inggris, yang kini telah
menjadi gerakan global, yang diintroduksi dan diinisiasi oleh The National Health Service (NHS),
4

yang dikenal dengan clinical governance. Oleh NHS, clinical governance didefinisikan sebagai
(Dwiprahasto, 2001):
A framework through which NHS organisations are accountable for continously
improving the quality of their services and saveguarding high standards of care by
creating an environment in which exellence in clinical care will flourish.

Secara filosofis, clinical governance dapat dipandang sebagai suatu perubahan kultural dari
keseluruhan sistem pelayanan kesehatan menuju kearah pengembangan kemampuan organisasi
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang sustainable, bertanggungjawab, berfokus pada
pasien, dan terjamin kualitasnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa salah satu komponen
penting dalam konsep clinical governance adalah quality of care (Nicholls dkk, 2000).
Saat ini, clinical governance telah diimplementasikan di banyak negara, baik yang
diinisiasi oleh departemen kesehatan maupun oleh organisasi profesi di masing-masing negara
tersebut. Di Indonesia, clinical governance belum diimplementasikan secara meluas. Dengan
banyak dilaporkannya kejadian malpraktik, sudah saatnya konsep ini diimplementasikan di seluruh
unit pelayanan kesehatan, karena menurut Dwiprahasto (2001), selain melindungi pasien, clinical
governance juga akan melindungi petugas kesehatan.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam kerangka clinical governance,
beberapa upaya yang harus dilakukan di antaranya adalah: pendidikan berkelanjutan, peer review,
rujukan horizontal, dan implementasi clinical practice guidelines (CPG) (Poorterman dkk, 1998).
Dibandingkan dengan upaya-upaya lainnya, implementasi CPG merupakan suatu upaya
peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang penting dan strategis, karena langsung menyentuh
kepada proses pelayanan kesehatan kepada pasien. Oleh karena itu, implementasi CPG menjadi
salah satu indikator mutu penting dalam proses akreditasi, dan merupakan salah satu pilar penting
dalam clinical governance.
CPG diartikan sebagai statemen yang disusun secara sistematis yang digunakan untuk
membantu para klinisi dan para pasien dalam pengambilan keputusan dalam perawatan kesehatan
yang tepat dalam keadaan klinis yang spesifik (Sutherland dkk, 2001a). Implementasi CPG
dipandang sebagi upaya penting mengingat bahwa penelitian-penelitian di Amerika Serikat dan di
Belanda menunjukkan bahwa sekitar 20%-25% perawatan yang diberikan sebenarnya tidak
diperlukan atau sangat membahayakan pasien; dan sekitar 30%-40% pasien mendapatkan
perawatan yang tidak didasarkan atas hasil-hasil penelitian terbaru (Grol, 2001; Bonetti dkk.,
2006). Darling (2001) juga menyatakan bahwa hanya sekitar 15%-20% dari praktek medis yang
didasarkan atas data hasil penelitian ilmiah. Dalam penyakit keganasan hematologis, hanya
terdapat 24% pengobatan yang didasarkan atas hasil penelitian-penelitian randomized controlled
trial (RCT).
Seiring dengan hal itu, terdapat tuntutan untuk memberikan pelayanan yang berbasis bukti
hasil penelitian yang terbaik. Jika tuntutan tersebut digabungkan dengan dorongan politis untuk
5

meningkatkan kualitas perawatan kesehatan, maka akan menyebabkan CPG dipandang sebagai
suatu instrumen klinis penting dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan (Rycroft-
Malone, 2001). Di lain pihak, Berwick (2002) juga menyatakan bahwa implementasi CPG
merupakan salah satu sub-pilar untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Bahwa implementasi CPG akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, bukti-bukti
empirik masih belum konklusif (Darling, 2002; Editorial, 2004; Prior dkk., 2008; Alotaibi dkk.,
2014). Salah satu penelitian, menyatakan bahwa implementasi CPG tentang manajemen gigi molar
tiga bawah impaksi yang asimtomatik meningkatkan pengetahuan para dokter gigi tetapi tidak
meningkatkan keterampilan (skill) dalam pengambilan keputusan klinis (van der Sanden, 2006).
Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Prof. Soedomo Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Gadjah Mada (FKG UGM) merupakan rumah sakit pendidikan yang dimiliki dan dinaungi oleh FKG
UGM. Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kunjungan pasien di rumah sakit ini selama lima tahun
terakhir relatif stabil. Terjadi peningkatan jumlah pasien pada tahun 2012, sebesar 11% dibandingkan
dengan jumlah kunjungan pada tahun 2008. Untuk jumlah pasien di Klinik Bedah Mulut, telah terjadi
peningkatan sebesar 85% pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun 2008. Jumlah pasien
odontektomi relatif stabil, namun tindakan odontektomi di RSGM Prof. Soedomo cukup tinggi,
karena tindakan ini meliputi 12%-25% dari jumlah pasien di Klinik Bedah Mulut selama lima
tahun terakhir. Di RSGM Prof. Soedomo, belum pernah dilakukan suatu studi yang meneliti
frekuensi serta jenis komplikasi pascaodontektomi. Selain itu, di RSGM Prof. Soedomo, khususnya
di Klinik Bedah Mulut, belum pernah diimplementasikan suatu evidence-based CPG terutama
dalam perawatan odontektomi gigi molar ketiga impaksi.

Tabel 1. Jumlah Tindakan Odontektomi, Kunjungan di Klinik Bedah Mulut,


dan Kunjungan di RSGM Prof. Soedomo Tahun 2008 2012

Tahun
Kunjungan
2008 2009 2010 2011 2012

Odontektomi 1.082 808 946 910 985

Klinik Bedah Mulut 4.401 3.306 4.079 7.225 8.178

RSGM Prof. Soedomo 45.765 38.655 37.775 47.294 50.927


RSGM Prof. Soedomo (2012)

Dalam pengamatan luaran klinis tindakan odontektomi, komplikasi merupakan tracer


condition, yakni merupakan indikator yang sensitif dan spesifik. Komplikasi adalah indikator luaran
klinis yang merupakan resultante gabungan antara faktor internal pasien dan faktor eksternal (proses
6

klinis, operator, terapi obat, alat, dan infrastruktur), sedangkan adverse events lebih terkait dengan
faktor-faktor eksternal.
Berdasarkan uraian di atas, mendesak untuk dilakukannya penelitian untuk mengetahui
efektifitas implementasi CPG untuk meningkatkan luaran klinis tindakan odontektomi gigi molar ketiga
rahang bawah impaksi di RSGM Prof. Soedomo.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
Apakah implementasi CPG meningkatkan luaran klinis odontektomi gigi molar ketiga rahang
bawah impaksi di RSGM Prof. Soedomo?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum penelitian ini adalah:


Mengetahui efektifitas implementasi CPG dalam meningkatkan luaran klinis
odontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi di RSGM Prof. Soedomo.
2. Tujuan khusus penelitian ini adalah:
a. Mengetahui frekuensi dan jenis komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang
bawah impaksi di RSGM Prof. Soedomo.
b. Mengetahui efektifitas implementasi CPG untuk menurunkan frekuensi kejadian komplikasi
pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi di RSGM Prof. Soedomo.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :


1. Bagi profesi kedokteran gigi, hasil penelitian ini akan bisa digunakan sebagai pangkal tolak
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada umumnya dan kesehatan gigi pada
khususnya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004.
2. Bagi manajer pelayanan kesehatan, pengelola rumah sakit, dan para klinisi yang bekerja di
rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta, penelitian ini dapat digunakan sebagai suatu
informasi untuk melakukan intervensi manajerial yang evidence based, dalam rangka untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat melalui filosofi clinical governance.
3. Bagi para klinisi, hasil penelitian ini akan memberikan rekomendasi tentang faktor risiko
terjadinya komplikasi sehingga akan dapat digunakan sebagai upaya pengendalian terhadap
faktor-faktor tersebut untuk mencegah terjadinya komplikasi.
7

4. Bagi ilmu manajemen pelayanan kesehatan, hasil penelitian ini dapat dijadikan bukti
empirik tentang teori The Chain of Effect yang dikemukakan oleh Berwick (2002) khususnya
dalam aspek sistem mikro.

E. Keaslian Penelitian

Dari penelusuran terhadap kepustakaan yang dilakukan peneliti, terdapat beberapa


penelitian yang memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan ini. Di antaranya adalah:
1. Bahrami dkk. (2004) melakukan studi untuk membandingkan efektifitas empat metode
untuk mendiseminasi dental clinical practice guidelines untuk manajemen gigi molar ketiga
impaksi. Rancangan yang digunakan adalah cluster randomized controlled trial. Sejumlah 47
dokter gigi direkrut dalam penelitian ini, yang kemudian dialokasikan secara acak ke dalam
empat kelompok, yakni Kelompok Kontrol (11 dokter gigi), Kelompok Audit and Feedback
(12 dokter gigi), Kelompok Computer Aided Learning (11 dokter gigi), dan Kelompok Audit
and Feedback + Computer Aided Learning (13 dokter). Kesimpulan penelitian ini adalah
bahwa baik Audit and Feedback, Computer Aided Learning, dan kombinasinya tidak
meningkatkan kepatuhan para dokter gigi terhadap SIGN guidelines dalam manajemen gigi
molar tiga impacted.
2. van der Sanden dkk. (2005) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
efektifitas implementasi CPG dalam manajemen gigi molar ketiga rahang bawah impaksi.
Rancangan yang digunakan adalah cluster randomized controlled trial. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa CPG meningkatkan pengetahuan, tetapi tidak meningkatkan ketrampilan
dalam pengambilan keputusan klinis.
3. Prior dkk. (2008) melakukan sintesis terhadap 144 artikel, yang di dalamnya terdapat 33
systematic review. Tujuan kajian ini adalah untuk membandingkan efektifitas dari berbagai
jenis strategi implementasi clinical practice guidelines. Jenis intervensi yang paling efektif,
menurut hasil penelitian ini, adalah yang bersifat multifaset dan klinisi harus terlibat secara
aktif dalam proses implementasi.
4. Soheilipour dkk. (2009) melakukan penelitian untuk mengetahui kepatuhan terhadap CPG
oleh para dokter gigi dalam pemberian profilaksis antibiotika untuk pencegahan endokarditis
infektif di Inggris dan Iran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi CPG tidak
meningkatkan kepatuhan para dokter gigi dalam pemberian profilaksis antibiotika.
5. Spallek dkk. (2010) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi hambatan (barriers) bagi
para dokter gigi untuk mengimplementasi evidence-based CPG. Survei cross-sectional ini
dilakukan terhadap 43 dokter gigi di Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hambatan yang paling sering adalah: kesulitan untuk merubah kebiasaan praktik klinik yang
sekarang dilakukan, resistensi dan kritik dari kolega dokter gigi, kurangnya kepercayaan
8

terhadap bukti-bukti atau hasil penelitian. Hambatan lain yang serius adalah: kurang
tersedianya bukti-bukti terkini, kurang tersedianya jawaban yang jelas terhadap pertanyaan-
pertanyaan klinis, dan informasi yang kontradiktif dalam literatur ilmiah.
6. Alotaibi dkk. (2014) melakukan penelitian yang membandingkan praktik perawatan gigi
dan mulut oleh perawat terhadap pasien di unit perawatan intensif antara perawat yang
menggunakan dan tidak menggunakan CPG di sepuluh rumah sakit di Riyadh, Saudi Arabia.
Hasil penelitian terhadap 215 perawat di intensive care unit (ICU) menunjukkan bahwa
perawat yang menggunakan CPG mendapatkan skor praktik perawatan gigi dan mulut yang
lebih tinggi daripada perawat yang tidak menggunakan CPG.
Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini adalah orisinal dari beberapa
sudut pandang sebagai berikut:
1. Penelitian tentang tentang efektifitas implementasi dental clinical practice guidelines untuk
meningkatkan luaran klinis odontektomi gigi molar ketiga impaksi belum pernah dilakukan di
Indonesia.
2. Fokus penelitian ini adalah pada luaran klinis. Hal ini didasarkan bahwa tujuan utama
implementasi CPG adalah untuk meningkatkan luaran klinis (Darling, 2002; Rycroft-Malone,
2001). Penelitian sebelumnya berfokus pada aspek clinical care process yang berkaitan
dengan kepatuhan terhadap clinical practice guidelines, serta peningkatan pengetahuan klinisi
setelah mendapatkan intervensi CPG.
3. Metode implementasi CPG yang mengkombinasi lima komponen intervensi (workshop,
pemberian dokumen CPG, instruksi melaksanakan CPG, lembar pengingat, supervisi dan
bimbingan teknis) yang evidence based, merupakan metode implementasi yang orisinal, yang
belum pernah dilakukan sebelumnya.
4. Penelitian ini orisinal, karena metode implementasi yang digunakan adalah metode yang
mendayagunakan fungsi-fungsi manajerial yang telah ada di dalam struktur organisasi rumah
sakit, sehingga menghindari intervensi yang sifatnya artifisial. Hal ini akan menambah
sustainability dan validitas eksternal (generalizability) jika hasil penelitian ini akan digunakan
sebagai dasar kebijakan dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit.
5. Luaran klinis tindakan odontektomi gigi molar ketiga impaksi dipengaruhi oleh karakteristik
etnis pasien (ethnic specific). Oleh karena itu, penelitian ini orisinal dipandang dari subjek
etnik Indonesia.
6. Dari sisi metodologi, penelitian ini melibatkan dan sekaligus mengendalikan sebanyak
mungkin kovariat yang belum pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Oleh karena itu,
metode penelitian ini lebih rigorous dan lebih terpercaya daripada penelitian-penelitian
sebelumnya, dan dapat menghasil-kan persamaan (model) yang lebih presisi untuk
memprediksi kejadian komplikasi pascaodontektomi.

Anda mungkin juga menyukai