Anda di halaman 1dari 143

MANAJEMEN HUTAN

Prof. Dr. Ir. Supratman, MP.


Prof. Dr. Ir. Syamsu Alam, MS.

Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan


Fakultas Kehutanan - Universitas Hasanuddin
Kata Pengantar

Mata Kuliah Manajemen Hutan merupakan salah satu mata kuliah yang wajib
diikuti oleh seluruh mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, baik
mahasiswa pada Program Studi Manajemen Hutan maupun pada Program Studi
Teknologi Hasil Hutan. Rata-rata jumlah mahasiswa yang ikut pada kuliah ini adalah
120 sampai 150 orang. Untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan pembelajaran serta
untuk mempermudah mengorganisir pelaksanaan perkuliahan dengan metode Student
Center Learning (SCL), sejak dua tahun terakhir ini, mahasiswa dibagi menjadi dua
kelas sehingga rata-rata jumlah mahasiswa pada setiap kelas adalah 60 75 orang.

Pembagian kelas tersebut membawa konsekwensi penyajian materi perkuliahan


yang mungkin dapat berbeda antara satu kelas dengan kelas yang lainnya apabila
dilakukan oleh dosen yang berbeda, terutama apabila jadwal kelas tersebut paralel
sehingga tidak memungkinkan satu orang dosen melaksanakan kuliah di dalam dua
kelas yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan
Buku Ajar yang menjadi pegangan bagi anggota tim pengajar dan mahasiswa di dalam
pelaksanakan kuliah.

Buku Ajar ini dihimpun dari Hand Out yang terserak yang selama ini telah
digunakan oleh tim pengajar pada setiap kali perkuliahan. Hand Out tersebut diedit,
ditambah, ataupun dikurangi materinya kemudian distrukturkan menjadi Bab-Bab
sesuai dengan Garis-Garis Besar Rancangan Pembelajaran (GBRP) yang telah
disusun sebelumnya, menghasilkan Buku Ajar yang anda baca pada saat ini.

Ide untuk menulis Buku Ajar ini sejatinya telah lama dipikirkan, namun tidak
dapat diwujudkan. Tuntutan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran serta adanya
dukungan yang kuat dari Pimpinan Fakultas Kehutanan, dan pimpinan universitas pada
saat ini telah memicu semangat tim pengajar untuk mewujudkan ide yang terpendam
tersebut. Atas dukungan ini, kami ucapkan terima kasih.

Harapan kami, semoga kehadiran Buku Ajar ini dapat melengkapi pustaka
mahasiswa dan menjadi pemicu bagi penulis untuk menyusun Buku Ajar yang lebih
berkualitas.

Tamalanrea, Agustus 2009

Tim Penulis

i
Deskripsi Singkat :

Mata kuliah ini membahas pengertian dan ruang lingkup


manajemen hutan, beberapa konsep dasar untuk
pengelolaan hutan lestari, preskripsi pengelolaan hutan,
konsep pengaturan hutan, dan analisis keputusan di dalam
manajemen hutan.

Tujuan Umum :
1. Memahami konsep-konsep dasar pengelolaan hutan
2. Mampu meningkatkan produktivitas dan dan nilai eknomi
sumberdaya hutan
3. Mampu menata unit-unit pengelolaan hutan sesuai
dengan karakteristik sumberdaya hutan

Tujuan Khusus
1. Memahami kaidah-kaidah ilmiah pengelolaan hutan
2. Mampu mengembangkan manfaat dan jasa sumberdaya
hutan
3. Mampu merencanakan, menganalisis, dan melaksanakan
pengelolaan hutan sesuai prinsip-prinsip bisnis dan
prinsip-prinsip kelestarian

ii
DAFTAR ISI

Halaman

Bab I Pendahuluan

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Manajemen Hutan................ 1


Tujuan dan Fungsi Manajemen Hutan....................................
B. 3
Aspek-aspek Teknis, Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan dalam
C. Manajemen Hutan.................................................................. 4

BaB II Sejarah Pengelolaan Hutan

A. Penambangan Kayu (Timber extraction)............................... 8

B. Pengelolaan Kebun Kayu........................................................ 10

C. Pengelolaan Sumberdaya Hutan............................................. 13

D. Pengelolaan Ekosistem Hutan................................................ 16

E. Evaluasi Pengelolaan Hutan............................................ 17


Kehutanan Masyarakat (Community Forestry): Konsep
F. Pengelolaan Hutan Mutakhir ................................................. 18

G. Pertanyaan dan Tugas............................................................ 22

BAB III Review Teori Dasar Pengelolaan Hutan

A. Konsep Tegakan dan Hutan.................................................... 24

B. Konsep Silviks, Silvikultur, dan Struktur Tegakan................... 29

C. Konsep Riap (Increment)........................................................ 31

D. Konsep Hutan Normal............................................................ 36

E. Konsep Rotasi......................................................................... 40

F. Konsep Kelestarian ................................................................ 46

iii
BAB IV Preskripsi Pengelolaan Hutan

A. Pengertian Preskripsi Pengelolaan Hutan............................. 51


Elemen-elemen Dasar Membangun Preskripsi Pengelolaan
B. Hutan..................................................................................... 53

C. Beberapa Pengertian.............................................................. 58

BAB V Unit Pengelolaan Hutan

A. Hirarki Wilayah Pengelolaan Hutan ...................................... 61

B. Unit Manajemen Hutan.......................................................... 63

C. Organisasi Unit Manajemen Hutan......................................... 66


Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai Suatu
D. Unit Manajemen Hutan.......................................................... 69
Desain Unit Pengelolaan Kehutanan Berbasis Masyarakat:
E. Contoh Kasus.......................................................................... 77

BAB VI Pengaturan Hasil Hutan

A. Dasar-Dasar Pengaturan Hasil Hutan...................................... 107

B. Metode Pengaturan Hutan Seumur........................................ 108

BAB VII Analisis Keputusan Manajemen Hutan

A. Kerangka Kerja untuk Membuat Keputusan ......................... 127

B. Pernyataan Masalah dan Penulisan Persamaan..................... 128

C. Identifikasi Masalah................................................................ 130

iv
BAB
I
PENDAHULUAN

Pokok Bahasan : Pendahuluan


Tujuan Umum : Memahami pengertian dan ruang lingkup
manajemen hutan

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab I, mahasiswa/i


mampu menjelaskan: (1) pengertian dan
ruang lingkup manajemen hutan, (2) tujuan
dan fungsi manajemen hutan, (3) aspek-
aspek teknis, sosial, ekonomi, dan
lingkungan manejemen hutan
.

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Manajemen Hutan


Manajemen dapat diartikan sebagai seni, ilmu, dan proses untuk
mencapai tujuan yang telah dirumuskan melalui kegiatan dengan orang lain.
Manajemen Hutan, dalam pandangan luas, adalah integrasi faktor-faktor biologi,
sosial, ekonomi, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan
pengelolaan hutan. Setiap sesuatu mempengaruhi sesuatu yang lain dalam
pengelolaan hutan, oleh karena itu, seseorang harus mengetahui segala sesuatu
untuk membuat keputusan. Hal ini mungkin benar, tetapi hanya pada tingkatan
tertentu. Pandangan yang luas tersebut tidak diadopsi pada mata kuliah ini
sebab kebutuhan pengetahuan tersebut tidak mungkin dicapai dan karena
keputusan manajemen hutan tidak dibuat segera saat ini, tetapi melalui proses
yang panjang.
Pada hirarki yang lebih rendah, manajemen hutan didefisikan sebagai
seluruh keputusan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan

1|Buku Ajar Manajemen Hutan


hutan secara berkelanjutan. Pengertian ini lebih banyak berfokus pada
pengetahuan yang digunakan secara langsung untuk mengelola suatu areal
hutan. Hal ini berarti bahwa personal manajemen adalah bagian dari manajemen
hutan karena manajemen hutan menggunakan orang, mechanical enggineering
adalah juga bagian dari manajemen hutan karena dalam manajemen hutan
menggunakan mesin-mesin. Kadang-kadang interaksi sosial juga termasuk
bagian dari manajemen hutan. Pengertian yang kedua ini juga tidak diadopsi
pada mata kuliah ini karena pengetahuan yang dibutuhkan untuk pengambilan
keputusan tersebut tidak mesti dikuasai oleh manajer hutan, akan tetapi dapat
saja diperoleh melalui tenaga ahli yang dipekerjakan atau disewa sebagai
konsultan.
Secara historis, manajemen hutan pada dasarnya terkait dengan aspek
biologi dan aspek silvikultur dari hutan. Defenisi ini diturunkan dari filosofi biologi
sebagai aspek dasarnya. Kadang-kadang defenisi manajemen hutan juga
mencakup pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), inventarisasi, dan aspek-
aspek kehutanan yang lain. Hal ini semua merupakan bagian integral dari
manajemen hutan. Namun demikian, sebagai suatu profesi, ilmu manajemen
hutan telah berkembang menjadi suatu bidang yang terpisah dari aspek-aspek
tersebut di atas.
Materi Mata Kuliah Manajemen Hutan yang ditulis di dalam buku ajar ini
membatasi kajiannya pada dua hal yaitu: (1) mengkaji kaidah-kaidah ilmiah
pengelolaan hutan, dan (2) mengkaji aspek-aspek teknis membangun dan
mengelola unit-unit pengelolaan hutan. Oleh karena itu, pengertian manajemen
hutan yang diadopsi pada mata kuliah ini adalah aplikasi prinsip-prinsip ilmiah
dan teknis kehutanan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip bisnis dan
sosial untuk mencapai satu atau beberapa tujuan. Aspek-aspek Sosial, Bisnis,
dan Teknis dalam Mengelola Hutan, disajikan pada Tabel 1.

2|Buku Ajar Manajemen Hutan


Tabel 1. Aspek-Aspek Sosial, Bisnis, dan Teknis dalam Mengelola Hutan
No. Aspek Sosial dan Bisnis Aspek Teknis
1. Ekonomi Silvika dan Silvikultur
2. Organisasi dan Administrasi Inventarisasi
3. Keuangan Logging
4. Akuntansi Teknologi Kayu
5. Statistik Patrhology
6. Pemasaran Entomology
7. Hukum Bisnis Perlindungan Hutan
8. Perburuhan Wildlife
9. Real Estate Rekreasi Hutan
10. Ilmu social dan Politik Civil Enginering

Tidak seorangpun yang bisa menguasai semua bidang ilmu tersebut di


atas, dan hal ini menggambarkan bahwa manajemen hutan dalam
pelaksanaannya bersifat kolektif. Seorang manajer hutan perlu memiliki
pengetahuan dasar dan aplikasi dari semua bidang ilmu di atas dan
menguasainya sebisa mungkin.

B. Tujuan dan Fungsi Manajemen Hutan

1. Tujuan Manajemen Hutan

Hutan dikelola untuk tujuan serbaguna, dengan tujuan akhir adalah untuk
mendapatkan nilai manfaat bersih total yang paling tinggi. Pengelolaan hutan
untuk tujuan produksi kayu, harus memperhatikan dan mendukung (compatible)
tujuan lain, seperti DAS, wildlife, rekreasi, dll. Pada beberapa kasus,
penggunaan kawasan hutan bertentangan (incompatible) dengan tujuan
pengelolaan yang lain seperti pengelolaan areal penggembalaan di dalam
kawasan hutan terkadang tidak compatible dengan pengelolaan hutan untuk
tujuan produksi kayu. Hal ini mengharuskan pengelola hutan membuat
keputusan tentang prioritas penggunaan lahan hutan. Manajemen hutan
membutuhkan pengkajian dan aplikasi teknik-teknik analisis untuk membantu
memilih alternatif manajemen yang memberikan kontribusi terbaik bagi
pencapaian tujuan pengelolaan hutan.

3|Buku Ajar Manajemen Hutan


Tujuan pengelolaan hutan sangat tergantung pada tujuan pemilik hutan
dan situasi ekonomi yang ada pada wilayah dimana hutan tersebut berada. Pada
kawasan hutan negara, tujuan pengelolaan hutan sangat ditentukan oleh faktor
politik dan tingkat kepentingan terhadap areal hutan. Tingkat kepentingan
tersebut terkadang tidak dapat diukur dalam satuan ukuran nilai uang.
Pengelolaan hutan negara biasanya lebih banyak difokuskan pada perlindungan
tata air yang dibayar dengan kelestarian supply air, dan dikeola dengan tujuan
serba guna. Sedangkan hutan milik dikelola dengan tujuan untuk menghasilkan
barang dan jasa yang biasanya terfokus pada total produksi dan total benefit
yang dapat diperoleh dari lahan hutan tersebut.
2. Fungsi Manajemen Hutan

Pengelolaan hutan lestari harus mencakup beberapa fungsi yaitu fungsi


teknis, komersil, finansial, personial, fungsi administrasi, dan fungsi
kepemimpinan. Fungsi teknis dalam manajemen hutan diarahkan untuk
mencapai tujuan teknis, fungsi komersiil untuk mencapai tujuan ekonomi
(berkaitan dengan pasar), fungsi finansiil untuk mencapai tujuan finansial
(berkaitan dengan biaya dan pendapatan), fungsi personil berkaitan dengan
kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia (SDM), fungsi administrasi
merupakan fungsi penunjang, berkaitan dengan pengembangan, dan fungsi
kepemimpinan berkaitan dengan unsur-unsur manajemen (POAC).

C. Aspek-aspek Teknis, Sosial, Ekonomi, dan


Lingkungan dalam Manajemen Hutan
Untuk merlaksanakan fungsi-fungsi tersebut di lapangan, seorang
manajer hutan harus memperhatikan aspek-aspek teknis, sosial, ekonomi, dan
lingkungan, sebagai berikut:
1. Aspek Teknis
Kegiatan manajemen hutan pada dasarnya berkaitan dengan
pemanfaatan hutan sebagai sumberdaya alam dan sebagai suatu ekosistem.
Kegiatan manajemen hutan akan dan harus berkaitan dengan kegiatan-kegiatan
teknis yaitu, penanaman, pemeliharaan, perlinduingan hutan, pemanenan hutan,

4|Buku Ajar Manajemen Hutan


pengolahan hasil hutan (industri pengolahan hasil hutan, dan pemasaran hasil
hutan. Untuk dapat mewujudkan aspek-aspek tersebut di atas dalam
pelaksanaan kegiatan manajemen hutan secara operasional di lapangan
diperlukan penguasaan pengetahuan teknis kehutanan.

2. Aspek Sosial Ekonomi

Kegiatan manajemen hutan pada dasarnya adalah kegiatan pengusahaan


hutan. Oleh karena itu, aspek-aspek perusahaan yaitu aspek ekonomi dan aspek
keuangan sangat erat hubungannya dengan manajemen hutan.
Untuk dapat melaksanakan dan mewujudkan aspek teknis manajemen
hutan, dibutuhkan investasi (SDM, peralatan dan teknologi) dan analisis-analisis
ekonomi dan finansial. Hal ini terutama karena manajemen hutan berkaitan
dengan dimensi waktu yang panjang untuk dapat menghasilkan produk serta
harus bertumpu pada prinsip kelestarian sebagai prinsip dasar pengelolaan
hutan. Untuk dapat mewujudkan manajemen hutan lestari diperlukan adanya
perencanaan yang efisien dan rasional.

3. Aspek Lingkungan

Pengelolaan hutan disamping memanfaatkan hutan sebagai sumberdaya


alam, harus pula memperhatikan sisi lain dari hutan yaitu sebagai Ekosistem
(ekosistem hutan).
Secara operasional, pengelolaan hutan akan memanfaatkan ekosistem
hutan. Ini berarti bahwa dalam manajemen hutan harus diperhatikan pula
pengaruh pemanfaatan tersebut terhadap komponen ekosistem hutan yang
terdiri dari tanah-biologi hutan-iklim/lingkungan.
Pengelolaan hutan utamanya hutan alam tropis lembab (tropical rain
forest) yang kaya akan jenis penyusun tegakannya, harus diperhatikan pula
adanya keanekaragaman hayati didalamnya dalam perspektif jangka panjang.

5|Buku Ajar Manajemen Hutan


Latihan Soal-soal:
1. Jelaskan pengertian dan ruang lingkup mata kuliah manajemen hutan
2. Jelaskan tujuan dan fungsi manajemen hutan
3. Jelaskan aspek-aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan manejemen
hutan

Rujukan:

Davis, K.P. 1978. Forest Management (Valuation and Regulatino). Mc. Graw-Hill,
Inc. Manila.

Junus. M. 1984. Dasar Umum Ilmu Kehutanan. Buku I. Badan Kerjasama


Perguruan Tinggi Indonesia Timur. LEPHAS

Leuschener. W. A. 1984. Introduction to Forest Resource Management. Joh


Wiley and Sons. Inc.

Lawrence. S. D., K.N. Johnson. 1987. Forest Managament. Mc. Graw-Hill. Inc.

Soedirman. S. 1997. Buku Ajar Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan,


Universitas Mulawarman. Samarinda

6|Buku Ajar Manajemen Hutan


BAB
II

SEJARAH PENGELOLAAN HUTAN


Wilayah
Pengelolaan
Provinsi

Wilayah
Pengelolaan
Kabupaten
Pokok Bahasan : Sejarah Pengelolaan Hutan
Unit
Tujuan Umum : Memahami sejarah pengelolaan hutan Pengelolaan

nasional dan dunia

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab I, mahasiswa/i Kriteria Kelembagaan


mampu: (1) menjelaskan perkembangan
sejarah pengelolaan hutan, (2) mengevaluasi
sejarah pengelolaan hutan, dan (3)
menjelaskan konsep pengelolaan hutan
mutakhir.

Secara garis besar, bentuk pengusahaan hutan yang pernah dilakukan,


khususnya di negara- negara maju, dari dulu sampai sekarang dapat dibedakan
menjadi tiga atau empat macam (Simon, 1999), yaitu: (1) penambangan kayu,
(2) pengelolaan hutan tanaman, (3) pengelolaan sumberdaya hutan, dan (4)
pengelolaan ekosistem hutan.
Penambangan kayu dan pengelolaan hutan tanaman tergolong pada
strategi kehutanan konvensional, sedangkan pengelolaan sumberdaya hutan
dan pengelolaan ekosistem hutan termasuk dalam strategi kehutanan sosial.
Perbedaan pokok antara kedua strategi pengelolaan hutan tersebut terletak pada
tujuan pengelolaan dan system perencanaan yang digunakan, dengan segala
konsekuensi dan implikasinya.

7|Buku Ajar Manajemen Hutan


Pengelolaan hutan berarti pemanfaatan fungsi hutan untuk memenuhi
kebutuhan manusia secara maksimal. Pada waktu masyarakat manusia belum
mengenal hubungan komersil secara luas, hutan hanya dimanfaatkan sebagai
tempat untuk mengambil bahan makanan, nabati ataupun hewani, atau tempat
mengambil kayu untuk membuat rumah tempat tinggal dan untuk sumber
energy. Hutan juga sering ditebang untuk memperluas tempat pemukiman, lahan
pertanian, atau mengamankan wilayah dari gangguan binatang buas.

A. Penambangan Kayu (Timber extraction)

1. Penambangan kayu di Lembah Eufrat dan Tigris

Penambangan kayu di daerah ini sudah dimulai dilakukan sekitar tahun


2000 SM, yaitu pada masa kerajaan Babylonia. Karena sudah berlangsung
lama, maka sangat sedikit informasi yang tersedia untuk melukiskan lebih
mendalam tentang penambangan kayu di Babylonia ini beserta kerusakan hutan
yang ditimbulkannya.
Salah satu cirri kejayaan suatu negara adalah tingginya intensitas
perdagangan yang dilakukan masyarakat negara tersebut, termasuk
perdagangan kayu. Secara konvensional, kayu diperlukan untuk bahan
konstruksi rumah, alat-alat pertanian dan alat transportasi darat maupun air.
Karena tidak diikuti dengan usaha permudaan kembali, maka timber
extraction di Mesopotamia ini berakhir dengan kehancuran hutan. Bahkan begitu
beratnya tingkat kerusakan hutan tersebut , daerah yang semula terkenal
dengan kesuburannya itu akhirnya sebagian berubah menjadi padang rumput,
bahkan padang pasir sampai sekarang.
2. Penambangan Kayu di Eropa Tengah dan Barat
Penambangan kayu di daerah ini mulai dilakukan sekitar abad ke-3, yaitu
pada waktu kekaisaran Romawi mulai mengembangkan wilayah jajahannya ke
seluruh Eropa Tengah dan Barat. Negara yang paling banyak mengalami
kegiatan ini, dan oleh karena itu juga paling besar menerima dampak negative,
adalah Jerman. Jalan raya yang menghubungkan Roma-Frankfurt sekarang ini
adalah jalan yang dulu digunakan untuk kepentingan mengontrol daerah jajahan

8|Buku Ajar Manajemen Hutan


itu oleh Romawi, di sepanjang jalan ini relatif lebih banyak jumlah kota atau
pusat pemukiman, yang dulu merupakan pusat-pusat kegiatan penebangan kayu
dan pos-pos untuk mengontrol daerah jajahan.
Perkembangan pengelolaan hutan yang sangat berarti sehubungan
dengan kerusakan hutan akibat penambangan kayu di Eropa Tengah dan Barat
adalah diumumkannnya Undang-Undang Kehutanan di Perancis, terkenal
dengan Ordonance de Melun , pada tahun 1376 oleh raja LUIS XIV
(OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999).
Untuk mendukung kegiatan pengelolaan hutan yang baik, seperti yang
dikehendaki oleh jiwa Undang-Undang itu, kemudian Perancis mendirikan
sekolah kehutanan. Di sini barangkali pengeruh Universitas Al Hambra di
Cordoba memang ada, karena banyak pula pemuda Perancis yang kemudian
ikut menuntut ilmu ke Spanyol.
Setelah Ordonance de Melun pada 482 Kerajaan Inggris juga
mengeluarkan Forest Act , yang kemudian disempurnakan lagi pada Tahun
1543 (OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999). Pada periode berikutnya,
pendidikan kehutanan lebih berkembang di Jerman. Akademi kehutanan di
Tarrant dikenal sebagai sekolah tinggi kehutanan yang pertama di dunia. Oleh
karena itu, secara konsepsional Jerman juga tampil menjadi negara yang
berhasil memperbaiki kerusakan hutan akibat penambangan kayu di Eropa.
Masalah ini akan dibahas lagi dalam paragraf-paragraf selanjutnya.
3. Penambangan Kayu di Indonesia
Penambangan kayu di Eropa dilakukan oleh pemerintah kolonial. Hal ini
terulang lagi di Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika latin sampai masa
perang dunia II. Bnagsa-bangsa Eropa banyak yang keluar dari tanah airnya
mencari tanah jajahan, seperti Inggris, Spanyol Italia, bahkan juga bangsa-
bangsa kecil seperti Belanda, Belgia dan Portugal.
Di negara jajahan itu, para penjajah menguras sumberdaya apa saja yang
dapat dijual dengan memperoleh kekayaan, termasuk hutan. Itu pulalah yang
dilakukan Belanda di Indonesia. Oleh karena itu, penjajah bangsa Belanda juga
sangat giat melakukan penambangan kayu.

9|Buku Ajar Manajemen Hutan


B. Pengelolaan Kebun Kayu
Kerusakan hutan akibat Timber extraction kemudian mulai dipikirkan
benar-benar agar tidak berkepanjangan. Bahkan, kerusakan hutan telah
menyadarkan orang Jerman akan perlunya permudaan kembali kawasan hutan
bekas tebangan agar produksi kayu dapat lestari. Oleh karena itu, salah satu
hikmah yang dirumuskan Jerman dari tragedy kerusakan hutan itu adalah
munculnya istilah kelestarian hasil, yang konon sudah mulai dikenal pada abad
ke-9.
Istilah kelestarian hasil telah mendorong perlu adanya pengaturan
tebangan yang baik sehingga jumlah hasil kayu yang dipungut setiap tahun tidak
terlalu bervariasi. Dari sini, selanjutnya rimbawan Jerman berhasil menemukan
berbagai macam metode pengaturan hasil yang dipergunakan untuk mengatur
etat tebangan. Adanya metode permudaan dan metode pengaturan hasil ini,
setelah jangka waktu yang cukup panjang, membentuk elemen-elemen
pengelolaan hutan modern yang berlandaskan pada kelestarian hasil hutan
(sustained yield principles). Berdasarkan semua pengalaman tersebut, maka
pada tahun 1816 HEINRICH VON COTTA dapat menyelesaikan sebuah buku
yang berjudul Anweisung zum Waldbau (petunjuk silvikultur). Dlam tulisannya,
COTTA menjelaskan secara sistematik metode pengaturan hasil yang sudah
dipraktekkan secara luas di Jerman sejak beberapa abad terakhir. Oleh karena
itu, selanjutnya dikenal ada metode COTTA atau metode Periodik Blok, yang
nama aslinya adalah Periodic Yields with A Regeneration Block method.
Beberapa waktu sebelumnya GEORG LUDWIG HARTIG, guru COTTA,
telah menulis buku yang menerangkan perlunya pembagian wilayah sebagai
dasar penyusunan organisasi lapangan untuk menyelenggarakan pengelolaan
hutan yang efisien. Dalam tulisan HARTIG itu, juga ditekankan perlunya
pembuatan hutan monokultur dengan system silvikultur tebang habis dengan
permudaan buatan. Walaupun ide HARTIG tentang hutan monokultur itu segera
ditentang pada ekolog dan rimbawan konservasionis, misalnya KARL HAYER
(MANAN, 1988 dalam SIMON, 1999), karena alas an perkembangan hama dan

10 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
penyakit tetapi para praktisi kehutanan lebih menyukai metode HARTIG karena
monokultur lebih mudah dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Nampaknya,
monokultur juga akan menghasilkan kayu lebih tinggi karena jumlah pohon
komersial yang ditanam perhektar lebih baik.
Pada awal abd ke-18, yaitu pada tahun 1710, seorang ahli kehutanan
Jerman lainnya, HANS CARL VON CARLOWITZ, menulis buku dengan judul
Silvicultura economika (ekonomi silvikultur). Di dalam buku ini, CARLOWITZ
menerangkan keuntungan yang diperoleh dari penanaman hutan satu jenis
(monokultur) untuk mewujudkan apa yang dinamakan Sustained yield forestry.
Gagasan CARLOWITZ inilah yang dielaborasi lebih lanjut oleh HARTIG dan
muridnya COTTA.
Gagasan hutan tanaman monokultur dengan 1 daur itu menjadi lebih
kokoh lagi setelah pada tahun 1849 FAUSTMAN menulis rumus daur dinansial.
Dengan dirumuskannya system pengelolaan hutan seperti itu, seolah-olah
Jerman telah memproklamirkan system pengelolaan kebun kayu, yang kelak
menjadi acuan pembangunan hutan di seluruh dunia. Selanjutnya, semua
kegiatan teknik kehutanan mulai dari pembuatan tanaman pemeliharaan sampai
pemanenan dengan segala kelengkapannya terus mengalami kemajuan. Paling
tidak selama lebih dari dua abad, yaitu abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-
20, Jerman memang menjadi kiblat ilmu kehutanan seluruh negara di dunia
(PELUSO, 1993). Di Indonesia, system Jerman diterapkan untuk membangun
hutan jati yang rusak akibat timber extraction selama masa VOC dan awal
pemerintahan Hindia Belanda.
Ciri-ciri system pengelolaan hutan dari Jerman tersebut adalah:
Pada umumnya merupakan hutan tanaman monokultur dengan system
silvikultur tebang habis dan permudaan buatan.
Karena monokultur, maka untuk kesederhanaan dalam perencanaan
digunakan konsep Kelas Perusahaan (Planning unit) yang sekaligus berlaku
sebagai alat pengendali kelestarian hasil.

11 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Satuan kelas perusahaan adalah unit perencanaan yang dinamakan Bagian
Hutan, yang untuk hutan jati di Jawa luasnya berkisar antara 4.000 6.000
ha.
Untuk pengaturan hasil digunakan konsep daur tunggal. Pada mulanya daur
tunggal itu ditetapkan dengan criteria teknik, tetapi kemudian diganti dengan
daur financial setelah FAUSTMANN menemukan rumus perhitungan yang
monumental pada tahun 1949.
Konsep pengelolaan hutan yang dimaksudkan itu berkembang pesat
sejak abad ke-17, terutama karena beberapa keuntungan yang secara teoritik
memang cukup memberi harapan, yaitu:
Perencanaannya sederhana dan oleh karena itu mudah dan murah.
Pelaksanaan pengelolaan juga lebih mudah dan biaya yang murah sehingga
diharapkan diperoleh keuntungan uang yang tinggi.
Konsep kelas perusahaan menguntungkan bagi pengadaan bahan baku
industry yang pada waktu itu di Jerman masih terbatas menggunakan jenis
tertentu saja.
Walaupun konsep yang ditentukan dengan lebih memperhatikan
kepentingan ekonomi itu sejak awal sudah ditentang oleh ekolog dan kaum
konservasionis, tetapi sebagaimana lazimnya, pertimbangan ekonomi hampir
selalu diunggulkan karena jangkauan waktunya hanya untuk jangka pendek,
dibanding dengan pertimbangan lingkungan yang relatif lebih abstrak dan
bersifat jangka panjang. Kekurangan-kekurangan system tersebut:
Tegakan monokultur rentan terhadap gangguan hama dan penyakit karena
keragaman hayati menjadi sangat miskin sehingga ekosistem hutan tidak lagi
stabil.
Fungsi perlindungan terhadap lingkungan berkurang banyak karena
pembangunan hutan hanya ditekankan pada produktivitas kayu yang setinggi
mungkin.
Tidak dapat memaksimumkan produktivitas kawasan hutan karena system
pengelolaan seragam untuk areal yang relative luas (satu kelas perusahaan),

12 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
tanpa memperhatikan ragam sifat fisik wilayah, pengaruh social ekonomi
masyarakat, dan potensi pasar.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan masyarakat, termasuk di
negara sedang berkembang yang dulu merupakan Negara jajahan bangsa-
bangsa Eropa, kekurangan hutan tanaman monokultur semakin dapat dipahami
secara luas. Di lain pihak, kemajuan teknologi yang selalu menyertai
pembangunan di mana pun, justru menuntut peran hutan sebagai pelindung
ekosistem dan lingkungan hidup. Di samping itu juga dituntut agar fungsi hutan
untuk menjadi sumberdaya yang selalu menyajikan berbagai macam keperluan
masyarakat, seperti yang diberikan oleh hutan alam klimaks, dapat diwujudkan
kembali.

C. Pengelolaan Sumberdaya Hutan


Pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu berkembang pesat di
negara-negara maju, khususnya Eropa Barat dan Amerika Utara, sepanjang
abad ke-18 dan 19. Sistem pengelolaan kebun kayu itu, yang menempatkan
kelesatarian hasil sebagai landasannya, dikenal sebagai sistem pengelolaan
hutan modern. Di Jawa, system tersebut juga dapat dilaksanakan dengan sukses
untuk membuat hutan tanaman jati. Landasan politis ini telah digariskan oleh
DAENDELS tahun 1811, persiapannya dirumuskan Tim MOLLIER yang mulai
bekerja pada tahun 1849, sedangkan pelaksanaan operasionalnya baru berjalan
mulai tahun 1898 setelah usulan BRUINSMA tentang organisasi territorial yang
dinamakan vesterij diterima oleh pemerintah pada tahun 1892 (LUGT, 1933
dalam SIMON, 1999).
Pada waktu sistem Timber Management itu dirumuskan, keadaan social
ekonomi masyarakat di Pulau Jawa masih jauh berbeda dengan keadaan
sekarang. Perubahan keadaan social-ekonomi maupun kemajuan iptek tersebut
menyebabkan konsep kebun kayu yang disusun pada akhir abad ke-19 itu tidak
lagi sinkron (gayut) dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pada akhir abad
ke-20 ini. Selama dekade 1950-an pengelolaan kebun kayu mulai menghadapi
masalah-masalah baru yang berkaitan dengan masalah-masalah social-ekonomi

13 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
masyarakat di sekitar hutan. Dari kondisi lambatnya perkembangan penanganan
masalah tersebut sehingga timbul gangguan keamanan yang menyebabkan
terjadinya kerusakan hutan. Hal tersebut berdampak di seluruh dunia termasuk
pulau Jawa yang telah dibangun dengan sukses selama periode 1898-1942
(periode timber management pertama).
Pada Kongres Kehutanan Dunia V denga tema Multiple Use of Forest
Land dan Kongres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978 dengan tema Forest for
People, yang rimbawan telah menyadarinya dan memberi reaksi yang tepat
terhadap perubahan tersebut. Sayangnya aplikasi konsep baru itu di lapangan
sangat lambat sehingga selama periode itu, bahkan sampai sekarang, laju
kerusakan hutan tersebut meningkat.
Dengan lahirnya istilah social forestry (kehutanan sosial) pada Kongres
Kehutanan Dunia VIII tahun 1978, maka pengelolaan kebun kayu yang semula
dianggap sebagai bentuk pengelolaan hutan modern telah berubah menjadi
strategi pengelolaan hutan modern telah berubah menjadi strategi pengelolaan
kehutanan konvensional (conventional forestry). Dalam strategi pengelolaan
hutan yang baru ini ada tiga perbedaan yang penting dibanding dengan sistem
konvensional (kebun kayu), yaitu:
Tujuan pengelolaan hutan tidak hanya untuk menghasilkan kayu
pertukangan, melainkan untuk memanfaatkan sumberdaya kawasan hutan
bagi semua jenis hasil hutan yang dapat dihasilkan di tempat yang bervariasi
menurut lokasi.
Orientasi pengelolaan hutan berubah dari kepentingan untuk memperoleh
keuntungan financial bagi perusahaan ke kepentingan dan kebutuhan
masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal di dalam dan kawasan hutan.
Berbeda dengan pengelolaan kebun kayu yang berskala luas dengan konsep
kelas perusahaan untuk satu bagian hutan sebagai unit, dalam strategi
kehutanan social bentuk pengelolaan hutan beragam sesuai dengan sifat fisik
wilayah mikro dan pengaruh sosial (management regiems), untuk
memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan. Satuan wilayah
mikro yang diambil di sini adalah unit kegiatan tahunan, khususnya pekerjaan

14 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
tanaman, yang pada hutan jati di jawa dapat diidentikkan dengan petak
(compartment) dengan luas sekitar 30-40 ha saja.
Karena tujuan pengelolaan hutan tidak lagi hanya menghasilkan kayu
pertukangan, melainkan hasil apa saja yang tersedia di tempat dan sesuai
dengan kondisi fisik wilayah maupun tuntunan sosial-ekonomi masyarakat, maka
bentuk pengelolaan hutan ini dinamakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan
(Forest Resource Management).
Bagi forest resource management, konsep timber management dengan
kelas perusahaan monokultur, dan daur tunggal akan membatasi upaya
mencapai produktivitas maksimumnkarena konsep yang lama itu sama sekali
tidak fleksibel, tidak dapat menyesuaikan dengan kondisi mikro. Oleh karena itu,
yang cocok adalah konsep management regimes, polikutur, daur ganda dan
satuan regime dalam petak. Dengan demikian, perubahan dari timber
management ke forest resource management benar-benar memerlukan
perubahan dalam semua aspek perencanaan maupun pelaksanaan pengelolaan.
Tujuan penerapan sistem pengelolaan yang beragam dalam bentuk berbagai
regimes adalah untuk memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan
disesuaikan dengan kondisi tanah dan lahan serta faktor lingkungan setempat
yang mempengaruhinya. Kalau konsep kelas perusahaan dibandingkan dengan
konsep Management Regimes, masing-masing mempunyai keuntungan dan
kelemahan.
Keuntungan konsep Management regimes:
Karena polikultur, tegakan lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit;
Tegakan polikultur berpengaruh lebih baik terhadap lingkungan, termasuk
aspek hidro-orologi dan kehidupan satwa;
Hasil yang diperoleh dari hutan akan semakin beragam (diversifikasi)
sehingga menguntungkan konsumen maupun produsen.
Kekurangan konsep Management regimes:
Perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lebih sulit. Setiap daerah
memerlukan rencana tersendiri disesuaikan dengan kondisi tersebut;

15 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Karena titik (1) di atas, maka diperlukan kualifkasi tenaga perencana maupun
pengelola yang lebih baik;
Kalau rencana dan pelaksanaan pengelolaan di lapangan kurang
professional, keuntungan perusahaan justru menurun.
Keuntungan dan kelemahan konsep Kelas perusahaan merupakan
kebalikan dari konsep Management Regimes tersebut.

D. Pengelolaan Ekosistem Hutan


Sesuai kodratnya, peranan pohon yang paling utama adalah untuk
menjaga ekosistem permukaan planet bumi ini. Oleh karena itu, dengan
semakin banyaknya jumlah penduduk serta produk teknologi, fungsi lindung
akan menjadi lebih penting dibanding dengan fungsi ekonomi yang diharapkan
dari hutan. Dalam kondisi seperti ini, tidak mustahil bahwa fungsi ekonomi akan
berubah menjadi hasil sampingan (side products), sedang hasil utama yang
diharapkan dari hutan adalah fungsi perlindungan lingkungan. Pada tahap ini,
bentuk pengelolaan hutan akan berubah menjadi tingkatan yang sangat
kompleks, yaitu Pengelolaan Ekosistem Hutan (Forest Ecosystem Management).
Dikaitkan dengan masukan (input) yang diperlukan dan keluaran (output)
yang dihasilkan, maka ilmu yang diperlukan untuk membangun sistem
pengelolaan ekosistem hutan benar-benar masih amat jauh dari yang sekarang
tersedia. Namun demikian, bukan berarti bahwa konsep ini belum dapat dimulai
sampai sekarang, karena fenomena-fenomena yang terdapat di lapangan dapat
dikaji dan ditiru untuk model awal. Alternatif lain untuk menyusun rekayasa
system pengelolaan ekosistem hutan adalah dengan mengembangkan sedikit
demi sedikit konsep pengelolaan sumberdaya hutan, dengan menggeser titik
berat keluaran dari fungsi ekonomi ke fungsi perlindungan lingkungan.
Dalam pengelolaan ekosistem hutan, kepentingan lingkungan hidup lebih
diutamakan, sedangkan keuntungan finansial dipandang sebagai hasil
sampingan saja. Oleh karena itu, untuk merancang pengelolaan ekosistem
hutan diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat lengkap. Inilah

16 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
kendala utama yang dihadapi oleh perencana yang pada umumnya hanya
berbekal ilmu teknik kehutanan saja.

E. Evaluasi Pengelolaan Hutan


Seperti yang terjadi sejak dulu kala pertentangan tentang peranan hutan
antar kepentingan selalu dimenangkan oleh kepentingan ekonomi. Puncak
perkembangan yang terlahir itu adalah lahirnya badan-badan internasional
seperti ITTO (International Timber Tride Organization). Di samping terjadinya
aksi boikot oleh masyarakat dan LSM di Negara maju terhadap penjualan kayu
yang ditebang dari hutan alam, ITTO lalu membuat aturan-aturan utuk
membatasi laju pengrusakan hutan oleh para pengusaha perkayuan, sambil
mendorong perbaikan sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan di negara-
negara sedang berkembang, khususnya yang memiliki hutan alam tropika.
Namun begitu jauh sebenarnya baik LSM maupun ITTO belum memiliki
konsep yang bersifat operasional untuk memperbaiki pelaksanaan pengelolaan
hutan oleh negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu, aturan-aturan
itu hanya cenderung memberi tekanan kepada negara-negara pemilik hutan
tropika agar yang bersangkutan mencari sendiri jalan pemecahan untuk
memperbaiki system pengelolaan hutan yang harus dilaksanakan. Hal ini
disebabkan karena elemen ilmu yang diperlukan untuk memperbaiki sistem
pengelolaan hutan tropika yang sebagian besar telah rusak karena penebangan
untuk memenuhi permintaan bahan baku industry perkayuan milik atau menjadi
kebutuhan Negara maju itu sebenarnya belum tersedia.
Agar supaya di kemudian hari dilaksanakan penilaian yang obyektif
tentang rencana dan pelaksanaan suatu pengelolaan hutan, maka dipikirkan
adanya landasan teori objektif pula. Pada dasarnya tujuan pengelolaan hutan
harus mengacu pada bagaimana perumusannya untuk memaksimumkan
manfaat yang disediakan oleh hutan. Begitu pula aplikasinya harus tidak
menyimpang dari rencana yang selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip
agro-ekosistem tentang produktivitas, stabilitas, kelestarian dan keadilan.

17 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
F. Kehutanan Masyarakat (Community Forestry):
Konsep Pengelolaan Hutan Mutakhir
Konsep pemikiran kehutanan masyarakat berkembang setelah kebijakan
industrialisasi kehutanan yang bersifat ekonomi-sentrik gagal. Hal ini ditandai
dengan tingginya laju degradasi hutan dan kemiskinan masyarakat di dalam dan
disekitar hutan. Kegagalan kebijakan industrialisasi kehutanan mendorong
terjadinya pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, yaitu: dari state
based forest management ke community based forest management, dari timber
oriented ke forest ecosystem management, dari big scale business ke small
owner scale business, dari eksploitasi ke rehabilitasi dan konservasi, dari
pendekatan sektoral ke pendekatan regional (sistem), dan dari sistem
pengelolaan yang seragam ke sistem pengelolaan spesifik berdasarkan potensi
lokal (Alam, 2003).
Kehutanan masyarakat (community forestry) adalah sistem pengelolaan
hutan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat diberi wewenang
merencanakan dan merumuskan sendiri apa yang mereka kehendaki.
Sedangkan pihak lain menfasilitasi rakyat untuk dapat menumbuhkan bibit,
menanam, mengelola, dan melindungi sumberdaya hutan milik mereka, agar
rakyat memperoleh keuntungan maksimum dari sumberdaya hutan dan
mengelolanya secara berkelanjutan (FAO, 1995).
Desmond F. D. (1996), mengemukakan bahwa kehutanan masyarakat
adalah pengendalian dan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, yang terpadu dengan system
pertanian masyarakat. Definisi Desmond F. D. ini lebih radikal dibanding dengan
definisi FAO (1995) karena menghilangkan pernyataan perlunya pihak lain
memberikan advis dan input needed kepada masyarakat lokal. Namun demikian,
kedua definisi tersebut mempunyai kesamaan yaitu tidak mempersoalkan status
lahan (kawasan hutan atau bukan kawasan hutan), tetapi menekankan kepada
siapa pengelolanya. Hal inilah yang membedakan konsep kehutanan masyarakat
(community forestry) dengan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang
digalakkan pemerintah Indonesia.

18 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Konsep hutan kemasyarakatan (forest community) atau disingkat HKm
pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah pada tahun 1995 dengan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995, kemudian direvisi dengan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998,
kemudian direvisi lagi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No. 865/Kpts-II/1999, dan revisi terakhir adalah Keputusan Menteri
Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001. Intisari konsep kehutanan masyarakat dari
beberapa keputusan menteri tersebut adalah membangun sistem pengelolaan
hutan negara yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa
mengganggu fungsi pokok hutannya.
Kebijakan terakhir pemerintah yang terkait dengan konsep kehutanan
masyarakat adalah Program Social Forestry. Di dalam Peraturan Menteri
Kehutanan No: PP.01/Menhut-11/2004 dijelaskan pengertian Social Forestry
adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara atau
hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai
pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan
mewujudkan kelestarian hutan. Program Social Forestry, dengan demikian, pada
dasarnya berintikan kepada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa
di dalam dan di sekitar hutan melalui suatu sistem pengelolaan hutan yang
menempatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama, mitra kerja, dan sebagai
pihak yang harus mendapat bagian kesejahteraan yang memadai dari kegiatan
pengelolaan hutan. Program Social Forestry mengedepankan partisipasi
masyarakat desa sebagai unsur utama dalam pengelolaan hutan.
Social Forestry mengandung makna yaitu rangkaian kegiatan
pengembangan dan pengurusan hutan negara dan hutan hak yang dilakukan
sendiri oleh pemiliknya/masyarakat dengan fasilitasi dari semua stakeholder
terkait, serta memperhatikan prinsip-prinsip pengusahaan hutan. Forestry
mengandung makna sebagai suatu tatanan sistem, sedangkan kata social
mempunyai dimensi yang bermacam-macam, yaitu (Kartasubrata, J., 2003):
1. sosial dalam artian konsep perhutanan sosial mendukung integrasi ekonomi,
ekologi, dan kelestarian.

19 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
2. sosial dalam hal keterpaduan dalam masyarakat. Fungsi kunci yang
berhubungan dengan sumberdaya hutan seperti pengambilan keputusan,
pengawasan, pengelolaan, investasi, dan pemanfaatan hasil tidak
terkonsentrasi di tangan institusi pemerintah dan pemegang konsesi
(swasta) saja, akan tetapi terdistribusi ke masyarakat.
3. sosial dalam hal ditetapkan secara sosial, yang berarti situasional dan
dinamis.
4. sosial dalam hal suatu bentuk kehutanan yang menjadi acuan masyarakat
secara politis, sosial, institusional, dan ekonomis.
Pada dasarnya istilah kehutanan masyarakat (community forestry) dan
social forestry jika dikaitkan dengan latar belakang permasalahannya
menunjukkan kesamaan maksud yaitu, (Alam, 2003):
1. menggeser paradigma pembangunan kehutanan dari atas dan tersentralisasi
menuju pembangunan kehutanan yang mengutamakan kontrol dan
keputusan dari masyarakat lokal.
2. Mengubah sikap dan keterampilan rimbawan dari pelindung hutan terhadap
gangguan manusia menjadi bekerja bersama masyarakat.
Campbel (1997) dalam Suhardjito, dkk. (2000) mengusulkan 20 langkah
pergeseran yang diperlukan untuk menerapkan konsep kehutanan masyarakat,
sepeti disajikan pada Tabel 2.

20 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tabel 2. Pergeseran yang Diperlukan untuk Menerapkan Konsep Kehutanan
Masyarakat

dari menuju
A. Sikap Dan Orientasi
1. Pengendalian Dukungan/Fasilitasi
2. Penerima Manfaat Mitra
3. Pengguna Pengelola
4. Pembuatan keputusan unilateral Partisipatif
5.Orientasi Penerimaan Orientasi sumberdaya
6. Keuntungan nasional Orientasi keadilan local
7. Diarahkan oleh rencana Proses belajar/evolusi
B. Institusional Dan Adninistratif
8. Sentralisasi Desentralisasi
9. Manajemen (Perencanaan, pelaksanaan, Kemitraan
monitoring) oleh pemerintah
10. Top down Partisipatif/negosiatif
11. Orientasi target Orientasi proses
12. Anggaran kaku untuk rencana kerja besar Anggaran fleksibel
13. Aturan-aturan untuk menghukum Penyelesaian konflik
C.Metode Manajemen
14. Kaku Fleksibel
15. Tujuan Tunggal Tujuan Ganda
16. Keseragaman Keanekaragaman
17. Produk tunggal Produk beragam
18. Silvikultur tunggal Silvikultur spesifik local
19. Tanaman Regenerasi alam
20. Tenaga kerja/buruh/ pengumpul Manajer/pelaksana/pemroses/
pemasar
Sumber: Suhardjito, dkk. (2000)

Implementasi konsep kehutanan masyarakat di lapangan dijumpai dalam


beberapa istilah yang merupakan varian dari konsep dasar kehutanan
masyarakat, antara lain (Suhardjito, dkk., 2000):
1. Collaborative Forest Management, adalah: pengelolaan kawasan hutan
tertentu dengan pola kemitraan yang melibatkan berbagai stakeholders
(pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal). Para stakeholders
mengembangkan kesepakatan-kesepakatan yang menjelaskan peran,
tanggung jawab, dan dan hak-haknya dalam mengelola sumberdaya hutan.
Kesepakatan-kesepakatan tersebut paling tidak meliputi, (1) kejelasan
kawasan hutan dan tata batasnya, (2) lingkup pemanfaatan dan pemanenan
hutan, (3) penetapan dan pengakuan atas peran, tanggung jawab, dan hak

21 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
masing-masing stakeholders, (4) prosedur pengambilan keputusan dan
menyelesaikan konflik, (5) membuat rencana pengelolaan yang detail dan
utuh.
2. Co-management, sama dengan Collaborative Forest Management, hanya
berbeda dalam model partisipasinya, dimana dalam Co-management bentuk
partisipasinya sampai pada proses-proses politik dan proses pengambilan
keputusan.
3. Joint Forest Management (JFM), adalah: kerangka manajemen hutan yang
mendorong kemitraan antara Departemen Kehutanan dengan kelembagaan
lokal dan anggota masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan untuk
mengembangkan pola yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab
terhadap sumberdaya hutan yang dikelola. Di India, JFM memberikan akses
penuh hasil hutan bukan kayu kepada masyarakat, dan 20 - 50% bagi hasil
untuk kayu pada saat panen.
Untuk menghindari terjadinya kerancuan definisi, maka perlu adanya
suatu rumusan dasar yang menjadi penciri dari konsep kehutanan masyarakat
yaitu, (Suhardjito, dkk., 2000):
1. Masyarakat lokal mampu mengambil peran utama dalam pengelolaan hutan,
dengan cara-cara yang cocok dan sesuai dengan tujuan serta nilai-nilai lokal.
2. Masyarakat lokal mempunyai hak-hak yang sah dalam mengelola
sumberdaya hutan.
3. Pengelolaan hutan mengkaitkan secara simultan tujuan-tujuan lingkungan,
ekonomi, dan sosial.
4. Kemitraan dan pengembilan keputusan oleh masyarakat lokal merupakan
ciri minimum dari kehutanan masyarakat.

G. Pertanyaan dan Tugas


1. Jelaskan perkemangan sejarah pengelolaan hutan
2. Jelaskan konsep pengelolaan hutan mutakhir
3. Jelaskan satu bentuk pengelolaan hutan yang anda ketahui

22 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Rujukan:
Simon. 1993; Hutan Jati dan Kemakmuran: Problematika dan Strategi
Pemecahannya. Aditya Media. Yogyakarta.

Simon, 1995; Pengelolaan Hutan Kolaboratif

FKKM, 1998.

23 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BAB
III
REVIEW TEORI DASAR
Wilayah
Pengelolaan
1. Perencanaan
Kehutanan

PENGELOLAAN HUTAN
Provinsi 2. Pengelolaan
Pengurusan 3. Litbang, Diklat
Luh
Wilayah 4. Pengawasan
Pengelolaan
Kabupaten
1. Tata hutan
2. Pemanfaatan
Unit 3. Rehabilitasi
Pengelolaan Pengelolaan
4. Perlindungan
5. Konservasi

Pokok Bahasan : Review TeoriKawasan


Dasar ada Hak
Pengelolaan Hutan IUPHHK
Kriteria Kelembagaan Kawasan tdk ada Hak Ijin Lain

Tujuan Umum : Memahami dasar-dasar teori yang


Kawasan Konflik

berkaitan dengan system pengelolaan hutan


lestari

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab III, mahasiswa/i


mampu menjelaskan: (1) konsep hutan
seumur, hutan tidak seumur, hutan normal,
riap, rotasi, dan konsep kelestarian.

Untuk dapat mengelola hutan dengan baik, diperlukan dasar-dasar teori


yang berkaitan dengan system pengelolaan hutan. Dasar-dasar teori yang
dimaksud mencakup teori tentang pengelolaan hutan pada umumnya dan
elemen-elemen dasar pengelolaan hutan.

A. Konsep Tegakan dan Hutan


Berikut ini akan dikemukakan beberapa konsep dasar yang terkait dengan
tegakan dan hutan:
1. Tegakan (Stand) adalah kesatuan pohon-pohon atau tumbuhan lain yang
menempati suatu areal tertentu dan yang memiliki komposisi jenis (species),
umur, dan kondisi yang cukup seragam untuk dapat dibedakan dari hutan

24 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
atau kelompok tumbuhan lain di sebelah atau sekitar areal tersebut. Tegakan
merupakan unit dasar suatu perlakuan silvikultur.
2. Tegakan tidak Seumur (Even-aged stand) adalah tegakan yang terdiri dari
pohon-pohon yang berumur sama atau paling tidak berada dalam kelas umur
yang sama. Smith (1962) menyebutkan bahwa suatu tegakan dianggap
seumur kalau perbedaan umur antara pohon-pohon yang paling tuadan yang
paling muda tidak melebihi 20% panjang daur (rotasi).
Sebenarnya dalam hutan yang dipermudakan secara alamsukar sekali
dijumpai tegakan yang terdiri dari pohon-pohon yang berumur sama. Oleh
karena itu mungkin lebih tepat kalau kita katakana bahwa tegakanseumur
adalah tegakan yang terdiri dari pohon-pohon dengan perbedaan umur
antara pohon yang paling muda dan yang paling tua yang diperbolehkan
adalah 10 sampai 20 tahun. Namun demikian, apabila tegakan tersebut tidak
akan ditebang sebelum berumur 100 200 tahun, maka perbedaan umur
yang diperbolehkan mencapai 25% dari umur daur atau rotasi.
3. Tegakan tidak Seumur (Uneven-aged stand) adalah tegakan yang terdiri dari
pohon-pohon dengan perbedaan umur antara pohon yang paling tua dengan
pohon yang paling muda paling sedikit sebesar tiga kelas umur. Jadi dalam
tegakan tidak seumur terdapat paling sedikit tiga kelas umur.
4. Kelas umur (age class) adalah salah satu dari rangkaian selang (interrval)
waktu yang menyusun rentangan umur (life span) pohon hutan. Jadi
rentangan umur pohon hutan dibagi ke dalam beb erapa selang waktu . Di
Indonesia, biasanya panjang selang waktu tanaman hutan adalah 5 atau 10
tahun. Untuk jenis pohon yang rumbuh cepat panjang selang waktu hanya 1
tahun.
Biasanya tiap jenis pohon ditetapkan panjang selang waktui yang sama.
Untuk Albizia falcataria panjang selang waktu ditetapkan 1 tahun, Pinus
merkusii 5 tahun, Tectona grandis yang tumbuh lebih lama 10 tahun.
5. Hutan Seumur (Even-aged Forest) adalah hutan yang terdiri atas tegakan-
tegakan seumur, meskipun perbedaan umur yang sangat besar (lebih dari

25 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
rotasi) antara pohon-pohon dalam suatu tegakan dengan pohon-pohon dalam
tegakan lainnya.
Contoh: Suatu hutan terdiri dari 4 tegakan yaitu A, B, C, dan D. Tiap tegakan
tersebutadalah tegakan seumur. Kemudian kita perhatikan bahwa
padategakan A terdapat pohopohon yang berumur 60 tahun dan pada
tegakan C terdapat pohon-pohon yang berumur 10 tahun. Kalau diketahui
pula bahwa hutantersebut mempunyairotasi 80 tahun, apakah hutantersebut
masihdapat dikatakan hutan seumur?
Jawabannya adalah benar hutan tersebut adalah hutan seumur. Hal ini
disebabkan karena tiap tegakan dalam hutan tersebut adalah tegakan
seumur, meskipun perbedan umur antara pohon dalam suatu tegakan
dengan pohon dalam tegakan yang lain melebihi rotasi.
6. Hutan Tidak Seumur (Uneven-aged Forest) adalah hutan yang terdiri dari
tegakan-tegakan tidak seumur.
Contoh: Suatu hutan terdiri dari tegakan-tegakan A, B, C, dan D. Hutan
tersebut dapat dikatakan tidak seumur kalau tegakan A tidak seumur,
tegakan B tidak seumur, tegakan C tidak seumur, dan tegakan D tidak
seumur.
7. Dinamika Tegakan. Dinamika suatu tegakan didasarkan atas prinsip-prinsip
ekologi yang telah memberikan sumbangan kepada sifat dasar dari tegakan
tersebut, seperti suksesi, kompetisi, toleransi,dan konsep zona optimum.
Faktor-faktor inilah yang secara lansung mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan dari tegakan yang dibangun. Pertumbuhan tersebut akan
mempengaruhi pertumbuhan tinggi, diameter, dan volume dari tegakan yang
telah dibangun. Faktor-faktor tersebut selanjutnya akan mempengaruhi
apakah tegakan itu tegakan seumur atau tegakan tidak seumur. Tegakan
seumur dan tegakan tidak seumur inilah yang menentukan sistem silvikultur
yang akan dibangun.
Berikut ini, diuraikan secara singkat tentang prinsip-prinsip ekologi yang telah
memberikan sumbangan kepada sifat dasar dari tegakan, yaitu:
a. Suksesi Hutan

26 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Suksesi tumbuhan adalah pergantian suatu komunitas tanaman pada suatu
areal oleh komunitas tanaman lain. Suksesi primer mulai dari permukaan
bumi yang tidak ditumbuhi tanaman, kemudian terjadi perkembangan
pergantian ke arah yang lebih maju, dan akhirnya mencapai tahap ekspresi
ekologi yang paling tinggi yang disebut klimaks. Apabila perjalanan suksesi
tadi mundur akibat adanya ganguan seperti api, penebangan oleh peladang
berpindah, maka penyembuhan ke arah tahap sebelum datangnya
gangguan disebut suksesi sekunder. Suksesi primer terjadi karena adanya
pergantian sekelompok spesies oleh yang lainnya yang disebabkan oleh
perkembangan dalam ekosistem itu sendiri, sedangkan suksesi sekunder
terjadi karena pengaruh kekuatan luar yang meruah ekosistem seperti
pengrusakan hutan, dan lain-lain.
Rimbawan pada umumnya mengelola tegakan yang sedang berada dalam
perkembangan suksesi sekunder. Malahan banyak spesies pohon-pohon
membentuk komponen-komponen tahap perkembanmgan di bawah
klimaks, danseringkali usaha utama rimbawan adalah menghalangi
tendensi dari suatu komunitas maju ke arah spesies-spesies pembentuk
klimaks. Setiap wilayah hutan memiliki ciri-ciri komunitas pohon-pohonan
tertentu, dan rimbawan menggunakan praktek-praktek silvikultur untuk
mempertahankan suatu tahap perkembangan dalam rentetan perjalanan
suksesi sehingga tujuan pengelolaan hutandapat dipenuhi.

b. Kompetisi

Kompetisi adalah suatu proses yang bergerak maju karena setiap spesies
memiliki kemampuan yangberbeda dalam suatu lingkungan tertentu, dan
spesies yang kurang mampu mengadakan penyesuaian akan hilang dari
persaingan.
Agar sukses dalam persaingan, suatu spesies harus memiliki sumber biji
yang cukup, tempat perkecambahan biji yang cocok, keadaan pertumbuhan
yang cukup, dan tidak memiliki kelemahan utama dalam terhadap serangan
penyakit, hama, dan binatang yangdapat merintangi kelansungan hidupnya.

27 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Dalam proses kompetisi ini, suatu spesies dapat menempatkan dirinya
sebagai spesies yang dominan dan bahkan suatu spesies dapat
menggantikan spesies lainya sehingga terdapat suatu proses saling ganti
mengganti antarberbagai spesies.
c. Toleransi
Suksesi bergerak maju karena spesies yang menyerang lebih mampu
bersaing dalam lingkungan yang sedang berubah.
Toleransi dalam kehutanan diartikan sebagai kapasitas relatif suatu pohon
untuk bersaing dalam keadaan cahaya yang rendah dan persaingan akar
yang tinggi. Pohon-pohon yang toleran memperbanyak diri dan membentuk
lapisan tanah bawah tajuk dari pohon-pohon yang kurang toleran dan
bahkan di bawah naungannya sendiri. Pohon-pohon yang tidak toleran
memperbanyak diri dengan sukses hanya pada daerah-daerah terbuka
dimana terdapat tajuk yang terbuka lebar. Tentunya terdapat spesies yang
sangat toleran, toleran, tingkat menengah, tidak toleran, dan sangat tidak
toleran. Pengetahunamengenai toleransi dan implikasinya terhadap
persaingan dan pertumbuhan adalah suatu hal yang mendasar untuk
memperoleh sistim silvikultur yang baik dan mendasar pula bagi setiap
keputusan kita dalam pengelolan hutan.

d. Zone Optimum

Zone optimum adalah tempat dimana suatu spesies tertentu sering dijumpai
pada berbagai macam tanah dan tempat tumbuh (site). Pada tempat
tumbuh yang paling baik, spesies tersebut mencapai ukuran, umur, dan
berbagai sifat baik yang maksimum. Ukuran, umur, dan sifat-sifat baik
tersebut menurun pada zone-zone yang lebih dingin atau lebih panas. Pada
zone optimum tersebut spesies yangbersangkutan paling mudah
memperbanyak diri. Suatu spesies yang toleran kemungkinan besar akan
membentuk suatu klimaks pada zone optimumnya.

28 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
B. Konsep Silviks, Silvikultur, dan Struktur Tegakan
Silviks adalah studi sejarah hidup dan ciri-ciri umum pohon-pohon hutan
dan tegakan-tegakan dengan memberikan perhatian utama terhadap faktor-
faktor lingkungan sekitarnya.
Silvikultur adalah ilmu dan seni dalam usaha menanam, menumbuhkan,
memelihara, memungut hasil, dan melaksanakan permudaan hutan berdasarkan
pengetahuan silviks dalam pengelolaan hutan. Dengan kata lain, silvikultur
adalah ilmu dan seni penerapan silviks dalam manajemen hutan.
Struktur tegakan adalah susunan tegakan berdasarkan umur, kelas
diameter, tajuk, dan kelas pohon lainnya. Dinamika tegakan dituntun oleh
prinsip-prinsip ekologi yang memberikan sifat dasar dari tegakan seperti,
suksesi, kompetisi, toleransi, dan konsep zona optimum.
Preskripsi silvikultur seyogyanya diberikan setelah kita mengetahui
dinamika tegakan serta tipe hutan yang akan dikelola. Terdapat beberapa
pandangan pakar tentang sistem silvikultur dalam hubungannya dengan
pengelolaan hutan, yaitu:
Sistem silvikultur hendaknya dibuat dimana sistem itu akan digunakan, tidak
dirakit dan dibawa dari hutan lain (David, M. Smith, 1986)
Dalam pengelolaan hutan kita tidak dapat menggunakan satu macam sistem
silvikultur karena di dalam hutan terdapat fluktuasi (Hendrikson dan K.
Sanojea, 1975).
Penggunaan sistem silvikultur yang sederhana memang enak, tetapi jangan
sampai hutan alam diganti dengan tegakan sederhana hanya karena tegakan
pengganti itu mudah dimengerti (David M Smith, 1986).
Secara umum, sistem silvikultur dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Sistem Silvikultur Tebang Habis

Keuntungan:
Operasi pembalakan terkonsentrasi di areal kecil, tetapi volume kayu besar
Kerusakan akibat pembalakan terhadap tegakan mudah dicegah
Kerusakan pohon akibat tumbang oleh angin dihindari

29 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tanaman baru terdiri jenis intoleran, bebas persaingan dengan tegakan tua
Metode sederhana, praktis, dan mudah
Tegakan seumur, murni, dan teratur, tumbuh cepat
Pelaksanaan dengan tumpangsari dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat di sekitar hutan
Kerugian:
Memusnahkan penutup tanah, iklim mikro berubah, lahan terbuka, gulma
tumbuh meluas
Perlindungan terhadap erosi berkurang, juga tanah mudah lonsor terutama
pada lapangan miring
Secara estetika kurang baik pemandangannya
Bahaya kebakaran meningkat karena angin dan panas terik
Tidak semua jenis dan ukuran pohon laku dijual
Hutan baru yang seumur dan murni kurang resistent terhadap penyakit,
hama, dan kebakaran
Terbentuk humus yang susunanya didominasi oleh unsur tertentu
Unit cost penanaman per ha lebih mahal

b. Sistem Silvikultur Tebang Pilih

Keuntungan:

Perlindungan terhadap tempat tumbuh dan permudaan


Terjadi penutupan tajuk vertikal
Perlindungan terhadap hama dan penyakit
Secara estetika lebih baik
Permudaan alam jenis toleran dipermudah
Penyesuaian dengan situasi pasar kayu
Tegakan tak seumur lebih baik bagi habitat satwa
Menjamin kelestarian produksi pada kawasan kecil
Penjarangan dapat dilakukan simultan dengan pemanenan
Unit cost permudaan per ha lebih murah

30 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Kerugian:
Produksi kecil, tetapi areal penebangan luas sehingga pengangkutan mahal
Kerusakan terhadap tegakan sisa
Memusnahkan sumber plasma nutfah/genetika yang baik
Bentuk pohon kurang baik karena ruang tumbuh luas pada umur tua
Permudaan jenis toleran lebih banyak dari pada intoleran
Memerlukan kecakapan profesional tinggi dari pelaksana
Tertutup terhadap penggembalaan ternak
Kurang menyerap tenaga kerja dalam operasinya
Permudaan alam lebih sulit diatur, demikian pula tindakan
pemeliharaan/pembebasan.
Peran silvikultur dalam pengelolaan hutan adalah adanya keuntungan-
keuntungan yang diperoleh dengan tercapainya tujuan-tujuan praktek silvikultur.
Praktek silvikultur tersebut berupa:

Pengendalian komposisi tegakan


Pengendalian kerapatan tegakan
Pembangunan areal yang tidak produktif
Perlindungan hutan
Pengendalian rotasi dan siklus tebang
Tercapainya efisiensi kerja
Perlindungan tanah dan manfaat tidak lansung hutan

C. Konsep Riap (Increment)


Riap adalah pertambahan diameter, bidang dasar (basal area), tinggi,
volume, mutu, atau nilai suatu pohon atau tegakan selama jangka waktu tertentu.
Riap kasar (Gross increment) menunjukkan nilai yang belum dikurangi dengan
suatu factor yang disebabkan oleh mortalitas atau kemunduran mutu. Sedang
riap netto adalah nilai yang diperoleh setelah pengurangan factor tersebut. Di
Indonesia, riap biasanya dinyatakan dalam m3/ha/tahun.

31 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Riap merupakan tulang punggung ilmu manajemen hutan, yang bertujuan
untuk menghasilkan kayu. Tanpa informasi tentang riap, suatu rencana
pengelolaan hutan tidak lebih dari sekedar petunjuk untuk menghadapi
pekerjaan-pekerjaan di lapangan, dan bukan merupakan suatu rencana yang
harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan pengelolaan.
Biasanya riap dipakai untuk menyatakan pertambahan volume pohon atau
tegakan per satuan waktu tertentu, menyatakan pertambahan nilai tegakan,
menyatakan pertambahan diameter atau tinggi pohon setiap tahun. Pada
bagian ini, pembicaraan akan dibatasi pada riap pohon dan riap tegakan.

1. Riap Individu Pohon

Untuk individu pohon akan dibahas riap diameter, riap tinggi, dan riap
volume.
Riap diameter biasanya diwakili oleh riap diameter stinggi dada. Riap
diameter merupakan salah satu komponen yang penting dalam menentukan riap
volume. Alat yang paling banyak dipakai untuk mengukur riap diameter adalah
bor riap. Tetapi alat ini hanya efektif untuk mengukur riap pohon yang
mempunyai lingkaran tahun yang jelas. Sebagian besar jenis pohon yang
berasal dari hutan tropika basah tidak mempunyai lingkaran tahun yang nyata
dan pembentukan lingkaran pertumbuhan tidak berkaitandengan siklus tahunan.
Riap diameter tiap tahun dapat dikur dari lebar antara lingkaran tahun tertentu.
Lingkaran tahun dapat dipakai juga untuk menghitung umur pohon.
Riap Tinggi juga mempunyai peranan dalam perhitungan ripa volume,
terutama untuk tegakan yang masih muda. Ada empat cara untuk menentukan
riap tinggi, yaitu:
a. Menaksir atau mengukur panjang ruas tahunan. Cara ini hanya dapat dipakai
untuk spesies tertentu saja terutama spesies dari daerah temperate dan
boreal.
b. Analisis tinggi (height analysis) terhadap pohon yang ditebang. Dengan
menghitung lingkaran tahun pada penampang lintang pohon untuk berbagai
ketinggian, akan dapat diketahui pertambahan tinggi selama periode waktu

32 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
tertentu. Cara ini dapat dilakukan untuk semua spesies yang mempunyai
lingkaran tahun.
c. Mengukur pertambahan tinggi pohon selama periode waktu tertentu.
Pengukuran tinggi dapat menggunakan hypsometer. Cara ini dapat dilakukan
untuk semua jenis pohon, tetapi memerlukan waktu yang lama untuk
menunggu sampai pada pengukuran yang kedua.
d. Menentukan riap tinggi dengan kurva tinggi. Kurva tinggi untuk semua spesies
bergantung pada umur. Sampai umur tertentu, pohon sudah tidak lagi tumbuh
meninggi, dan sejak itu volume pohon hanya dipengaruhi oleh riap diameter.
Riap volume pohon adalah pertambahan volume selama jangka waktu
tertentu. Dalam teori, riap volume dapat ditentukan secara tepat dengan
mengurangi volume pada akhir periode (B) dengan volume pohon tersebut pada
awal peroide (A).

2. Riap Tegakan

Riap volume suatu tegakan bergantung pada kepadatan (jumlah) pohon


yang menyusun tegakan tersebut (degree of stocking), jenisnya, dan kesuburan
tanahnya. Riap volume suatu pohon dapat dilihat dari kecepatan tumbuh
diameter, yang setiap jenis, biasanya mempunyai nilai (rate) yang berbeda-beda.
Untuk semua jenis pada waktu muda mempunyai kecepatan tumbuh diameter
yang tinggi. Kemudian, semakin tua semakin menurun, sampai akhirnya
berhenti. Untuk hutan tanaman, biasanya pertumbuhan diameter mengikuti
bentuk hurup S (sigmoid), karena pada mulanya tumbuh agak lambat, kemudian
cepat, lalu menurun. Lambatnya pertumbuhan diameter pada waktu muda
disebabkan oleh perlakuan terhadap tanaman yang rapat, untuk menghindari
percabangan yang berlebihan dan penjarangan yang belum memberi hasil
(tending thinnings).
Kalau suatu tegakan tidak meriap lagi, maka dikatakan hutan tersebut
sudah mencapai klimaks. Jadi mulai saat itu dan seterusnya riap tegakan sudah
sama dengan nol. Riap volume suatu tegakan selama satu daur dapat dibedakan
atas: riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment = MAI), riap rata-rata

33 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
periodik (Periodic Annual Inbcrement) = PAI), dan riap rata-rata berjalan (Current
Annual Increment = CAI).
Contoh: Suatu hutan tanaman pada umur 40 tahun, hutan tersebut mempunyai
volume 120 m3/ha, maka sampai umur 40 tahun, hutan tersebut mempunyai MAI
= 120/40 = 3 m3/ha/tahun. Kalau pada umur 14 tahun, tanaman mempunyai
volume 45 m3/ha, dan pada umur 15 tahun menjadi 49 m 3/ha, maka CAI hutan
pada umur 15 tahun adalah 49 m 3/ha 45 m3/ha = 4 m3/ha/tahun. Bila pada
umur 20 tahun, volume tegakan itu menjadi 66,5 m 3/ha, maka PAI tegakan
antara umur 15 sampai 20 tahun adalah (66,5 49)/5 = 3,5 m3/ha/tahun.

Volume (m3/ha)

MAI

CAI

R maksimum Umur (th)

Gambar 1. Penentuan Panjang Rotasi Berdasarkan Riap Tegakan

Titik potong antar grafik MAI dan CAI merupakan umur sewaktu tegakan
mencapai riap volume maksimal. Dalam penentuan daur, umur tersebut
ditetapkan sebagai daur volume maksimal.

34 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tugas: Uraikan proses/cara perhitungan angka-angka yang tertera pada kolom 5 s/d kolom 11. Kemudian Gambarkan
Kurva MAI dan CAI berdasarkan hasil perhitungan tersebut. Apa kesimpulan yang saudara dapatkan dari hasil
perhitungan dan kurva tersebut?

Volume MAI CAI


Main Thinngi Total
Total (1) (2) (3) (1) (2) (3)
Age (a) crop. ngs production
V + T V+T V V+T-V V+T-(V-T) V-V
V T V+T V + T
a a a 10 10 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
30 500 500 500 17 17 17
40 1700 60 1760 1760 44 44 42 126 126 120
50 3670 360 4030 4090 82 81 73 233 227 197
260 224 203
60 5700 570 6270 6690 111 104 95
326 269 226
70 7960 1000 8960 9950 142 128 114
368 268 239
80 10350 1290 11640 13630 170 145 129
363 234 220
90 12550 1430 13980 17260 192 155 139
310 167 174
100 14290 1360 15650 20360 204 156 143 255 99 149
110 15780 860 16640 22710 206 151 143 192 121
120 16990 710 17700 24630 205 147 142

35 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
D. Konsep Hutan Normal
Bersamaan dengan perkembangan konsep kelestarian, sepanjang abad
19 berkembang pula konsep hutan normal, yang kemudian menjadi salah satu
instrument untuk melaksanakan pengelolaan hutan.
Lahirnya konsep hutan normal tidak lepas dari harapan setelah
pelaksanaan system pengaturan hasil yang paling sederhana yaitu metode
annual coupe atau vak-werk (Belanda). Dari sistem pengaturan hasil ini
dibayangkan akan terbentuk hutan dengan susunan umur yang teratur.
Hutan normal dapat didefinisikan sebagai hutan yang dapat mencapai dan
menjaga derajat kesempurnaan hutan untuk memenuhi ketentuan sesuai dengan
tujuan pengelolaan. Secara ideal, hutan normal merupakan tegakan dengan
persebaran kelas umur yang merata dan riap yang maksimal. Tebangan tahunan
atau priodik pada hakekatnya harus sama dengan riap untuk jangka waktu yang
bersangkutan. Dengan demikian, hasil kayu yang maksimal dapat diperoleh
sepanjang waktu tanpa membahayakan hasil di masa datang, dan oleh karena
itu kelestarian hasil hutan dapat dipertahankan.
Misalkan kelas perusahaan kayu pertukangan dengan luas 500 ha
dikelola dengan rotasi 25 tahun. Dengan metode annual coupe, di seluruh
kawasan hutan tersebut akan dibuat 25 petak kerja diberi batas dan nomor
permanen mulai dari petak 1 sampai 25. Secara skematis pembagian kawasan
hutan ke dalam petak-petak kerja tersebut dilukiskan pada Gambar 2.
Setiap tahun akan dilakukan tebangan pada petak kerja secara berurutan,
kemudian diikuti dengan permudaan kembali pada tahun berikutnya. Kalau
penebangan dimulai pada tahun 2003, maka pada tahun 2028 di seluruh
kawasan hutan telah terbentuk hutan-hutan seumur pada setiap petak. Umur
tegakan di seluruh kawasan hutan bervariasi dari 1 sampai 25 tahun. Angka-
angka yang tertulis di setiap petak kerja pada Gambar 2 menunjukkan umur
tegakan di petak yang bersangkutan setelah pelaksanaan tebangan seluas 1
daur.
Susunan tegakan seperti itu, yang terdiri atas berbagai umur yang komplit dari
satu tahun sampai umur masak tebang dan luas masing-masing juga sama,
36 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dapat dilukiskan dalam bagan koordinat yang menghubungkan antara umur dan
volume tegakan tiap kelas umur. Lukisan ini digambarkan pada Gambar 3 . Tiap
petak dalam Gambar 3 menunjukkan volume tegakan yang dibentuk setelah satu
tahun. Oleh karena itu tegakan yang baru berumur satu tahun dilukiskan oleh
satu kotak, dan seterusnya sampai tegakan yang berumur 25 tahun dilukiskan
oleh 25 kotak pula.

Tahun 2003-2028

1 2 3 4 5
10 9 8 7 6
11 12 13 14 15
20 19 18 17 16
21 22 23 24 25

Tahun 2029-2054

25 24 23 22 21
16 17 18 19 20
15 14 13 12 11
6 7 8 9 10
5 4 3 2 1

Gambar 2. Pembagian Kawasan Hutan Pada Hutan Normal

Dengan melihat susunan kelas umur seperti di atas, maka hutan normal
dapat didefinisikan sebagai tegakan yang mempunyai susunan kelas umur yang
merata, mulai kelas umur 1 sampai akhir daur, dalam keadaan penuh dan
mempunyai kondisi pertumbuhan yang maksimal. Setiap kelompok umur
tegakan mempunyai luas atau potensi pertumbuhan normal yang sama sehingga
tebangan tahunan selalu menghasilkan kayu yang maksimal dan sama
volumenya.
Hutan normal merupakan hutan yang tertata penuh (fully regulated), dan
potensi kayunya juga dalam keadaan normal. Disini terkandung pengertian

37 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
bahwa semua individu pohon di dalam hutan normal tersebut dalam keadaan
pertumbuhan yang baik dan sehat. Semua pohon memperoleh ruang tumbuh
yang optimal, tidak ada yang dalam keadaan tertekan. Hutan dengan potensi
kayu yang normal berarti mempunyai kepadatan tegakan maksimal, sesuai
dengan tujuan pengelolaan, keadaan tempat tumbuh dan variable hutan lainnya.
Hutan normal akan menjaga pertumbuhan tegakan di masa datang
dengan sebaran kelas umur atau kelas diameter pohon serta riap yang sesuai
dengan tujuan pengelolaan. Oleh karena itu, kriteria yang menentukan
pengertian hutan normal adalah: (1) tendon tegakan normal, (2) sebaran kelas
umur normal, dan (3) riap tegakan normal.
Untuk mencapai hutan normal, diperlukan pemilihan yang tepat tentang
system pengaturan hasil dan teknik silvikultur yang akan dipakai. Perlakuan
silvikultur untuk memelihara tegakan harus direncanakan pada waktu yang tepat
dan dengan cara yang memadai, sehingga setiap tempat tumbuh atau kelompok
hutan akan dalam keadaan penuh oleh jenis yang cocok dengan kondisi tempat
tumbuh tersebut. Tegakan akan dijarangi secara periodik utuk memberikan
ruang tumbuh yang optimal bagi tegakan tinggal, dan untuk mencapai riap yang
maksimal sesuai dengan dimensi kayu atau umur yang diperlukan oleh tujuan
pengelolaan tertentu.
Dalam kenyataan, hutan normal yang ideal seperti itu sebenarnya tidak
pernah dapat dicapai, walaupun dengan biaya yang mahal dan usaha yang
maksimal sekalipun. Oleh karena itu, hutan normal sebagai alat untuk mencapai
keuntungan yang optimal tidak lagi dipegang teguh secara kaku. Untuk
menghindari ketidak luwesan konsep hutan normal tersebut, Davis (1966)
memperkenalkan istilah yang lebih fleksibel, yaitu hutan dalam keadaan tendon
penuh (full-stocked forest). Suatu table hasil dapat dibuat untuk melukiskan
perkembangan volume standar suatu tegakan yang dalam keadaan penuh.
Bukan volume maksimal sebagaimana pendapat umum selama ini.

38 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Volume (m3/ha)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Umur

Gambar 3. Susunan Kelas Umur Tegakan Hutan Normal

Untuk system pengelolaan hutan yang lebih intensif, istilah yang dipakai
adalah hutan yang tertata penuh (fully-regulated forest) . Dalam hal ini, hutan
dengan tendon penuh diharapkan dapat dicapai pada suatu waktu tertentu,
khususnya pada akhir daur. Selama jangka waktu satu daur tersebut, hutan
39 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dapat dikelola dengan teratur untuk memperoleh manfaat hutan yang maksimal
sesuai dengan kebutuhan dan keadaan setempat.

E. Konsep Rotasi

1. Pengertian
Rotasi adalah jangka waktu dalam tahun yang diperlukan oleh suatu jenis
tanaman untuk mencapai umur masak tebang, dihitung sejak jenis tersebut
ditanam. Nampak dari definisi tersebut bahwa konsep rotasi dipakai untuk
pengelolaan hutan dengan tujuan menghasilkan kayu dari tegakan seumur.
Untuk tegakan tidak seumur, istilah yang dipakai untuk arti yang sama dengan
rotasi adalah siklustebangan (cutting cycle). Istilah yang bersifat umum untuk
mengganti dua istilah tersebut adalah daur.

2. Macam-Macam Daur
Dalam pengelolaan hutan seumur, menentukan panjang rotasi
mempunyai peranan yang sangat penting karena berpengaruh terhadap efisiensi
dan efektifitas tujuan pengelolaan. Pada buku-buku teks kehutanan klassik,
selalu disebutkan ada enam macam kriteria untuk menentukan panjang rotasi,
yang kemudian menunjukkan nama daur yang bersangkutan, yaitu:
a. Daur Fisik, yaitu daur yang berimpitan dengan kemampuan suatu jenis untuk
dapat bertahan hidup secara alami. Kadang-kadang juga diartikan atau
disamakan dengan waktu sampai suatu jenis masih mampu untuk
menghasilkan biji yang dapat tumbuh menjadi anakan yang sehat.
Definisi tersebut menunjukkan bahwa daur fisik sama sekali tidak berkaitan
dengan masalah ekonomi. Daur fisik jenis pohon hutan umumnya sangat
panjang dan karena itu tidak mempunyai nilai praktis. Jelasnya, daur yang
dipakai untuk suatu jenis tertentu tidak lebi panjang dari daur fisiknya.
b. Daur Silviukultur, yaitu jangka waktu yang diperlukan oleh suatu jenis pohon
utuk mulai dapat melakukan permudaan kembali dengan baik. Apabila jenis
tersebut biasa melakukan permudaan dengan biji, maka daur silvikultur

40 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
berarti jangka waktu yang diperlukan oleh jenis tersebut untuk mulai
menghasilkan biji yang dapat digunakan untuk permudaan kembali. Jadi
kebalikan dari daur fisik, maka daur silvikultur merupakan batas terendah
yang digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan daur suatu jenis
pohon. Daur suatu jenis tidak boleh lebih pendek dari daur silvikulturnya.
Bagaimana bila cara permudaan dengan kultur jaringan? Maka praktis daur
silvikultur menjadi tidak mempunyai arti lagi.
c. Daur Teknik, yaitu umur pada waktu suatu jenis yang diusahakan sudah dapat
menghasilkan kayu yang dapat digunakan untuk tujuan tertentu. Jadi
bergantung pada tujuan pengusahaannya, jenis daur ini dapat panjang atau
pendek. Misalnya, daur untuk kayu bakar dan pulp pada umumnya pendek,
tetapi daur untuk kayu pertukangan seringkali amat panjang.
d. Daur Volume Maksimum, yaitu umur tegakan dimana hasil kayu tahunan
mencapai volume yang tertinggi. Disini tidak hanya dihitung hasil dari
tebangan akhir saja tetapi juga termasuk seluruh hasil penjarangan yang
pernah dilakukan sampai umur tersebut. Daur hasil kayu maksimum ini
merupakan konsep daur yang paling penting yang mempunyai nilai praktis,
dan paling banyak dipakai di lapangan. Panjang daur volume maksimum
tercapai pada saat umur tegakan dimana terjadi perpotongan antara kurva
riap rata-rata tahunan (MAI) dan CAI (lihat Gambar 1).
e. Daur pendapatan maksimum, juga dinamakan daur rente hutan maksimum
(the highest forest rental). Pada umur tersebut suatu hutan tanaman akan
menghasilkan pendapatan bersih maksimum. Rara-rata pendapatan bersih
tahunan dapat dihitung dengan rumus:

FR = Yr + Tr C r.a
r

Dimana: FR = rata-rata pendapatan tahunan bersih (Rp/ha/tahun)


Yr = Nilai hasil tebangan akhir pada umur daur (Rp/ha)
Tr = Nilai hasil penjarangan sampai akhir daur (Rp/ha)
C = biaya pembuatan tanaman (Rp/ha)
r = panjang rotasi (tahun)
a = biaya administrasi rata-rata (Rp/ha/tahun)

41 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Karena dasar perhitungannya adalah hasil kayu, maka panjang daur ini
hampir sama dengan panjang daur volume maksimum. Bedanya adalah variasi
harga kayu.
Contoh: Perhitungan Rata-rata Pendapatan Tahunan bersih (Annual Forest
Rent), dari Tegakan Seumur Pinus dengan site Indeks 100.

Biaya Nila Bersih Forest


Umur Nilai Tegakan
Pembangunan Tegakan Rent
(th) Kotor ($)
Hutan ($)* ($/acre) ($/acre)
20 22 40 -18 -0,9
30 174 53 121 4,0
40 510 66 444 11,1
50 721 79 642 12,8
60 834 92 742 12,4
70 918 105 813 11,6
80 993 118 875 10,9

Keterangan: Biaya pembangunan hutan terdiri atas biaya pembangunan pada


tahun pertama sebesar $ 14/acre, dan biaya pemeliharaan sebesar
$1,3/acre/tahun

f. Daur keuntungan maksimum disebut juga daur financial, yaitu umur tebangan
hutan tanaman yang dapat menghasilkan keuntungan tertinggi dalam nilai
uang. Di kehutanan, keuntungan dapat dilihat dari dua sudut pandang yang
berbeda, yaitu dari nilai harapan lahan (Land /expectation Value = LEV) dan
dari hasil finansial.
Nilai harapan lahan adalah nilai yang didasarkan pada pendapatan bersih
yang dapat diperoleh dari suatu lahan, dihitung pada tingkat bunga tertentu.
Di Kehutanan, pendapatan tidak diperoleh pada setiap tahun, melainkan
secara periodik pada tahun-tahun tertentu. Oleh karena itu, pendapatan untuk
waktu yang akan datang perlu didiskon pada tahun perhitungan. Rumus
untuk perhitungan ini, pertama kali dikemukakan oleh Faustman pada tahun
1849. Rumus tersebut adalah sebagai berikut:

42 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
r-a r-a r r-a r-a r
Yr + Ta (1 + i) + Tb (1 + i) + I [ (1 + i) 1] C (1 + i) Sa (1 + i) e [ (1 + i) 1]
i i
LEV =
r
(1 + i) 1

dimana:

LEV = nilai harapan lahan


Yr = pendapatan pada umur rotasi (Rp/ha)
Ta, Tb, dst = nilai bersih penjarangan pada tahun ke-a, tahun ke-b, dst.
I = Pendapatan tahunan yang diperoleh dari perumputan, perburuan, dll.
C = Biaya pembangunan hutan pada tahun ke-a
Sa, Sb, dst = Biaya pemeliharaan pada tahun ke-a, tahun ke-b, dst.
e = Biaya tahunan, seperti pajak, administrasi, dll.
r = panjang rotasi
i = suku bunga

Rumus Faustman tersebut di atas, sekarang banyak dimodifikasi,


sehingga lahir rumus baru yang dapat disebut rumus Neo- Faustman, seperti
rumus tanah kosong, rumus biaya pemeliharaan tegakan terkecil, dan rumus
nilai jual maksimum.

43 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Contoh: Perhitungan LEV dari Tegakan Seumur Pinus dengan site Indeks 100, Suku bunga 3% (Davis, 1966, halaman
239).

Biaya Pembangunan
Biaya Tahunan ($)
Tegakan ($)
Biaya Pendapatan Pendapatan Nilai
Umur Nilai Biaya Nilai Biaya
Total pada Total pada Bersih pada Harapan
Tegakan pada umur Tahunan
Tahun Biaya Umur Umur Umur Lahan
(th) rotasi pada umur
Pertama Tahunan Rotasi ($) Rotasi ($) Rotasi ($) (LEV)
(setelah rotasi (setelah
dikompound) dikompound)
(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i)
(h)
(d) (1 + i )r 1 --------------
(a) (1 + i)r-1 (c) + (e) (g) (f)
i (1 + i)r 1

20 14 24.55 1.3 34.93 59 22 37 46


30 14 32,99 1.3 61.85 95 174 79 55
40 14 44.34 1.3 98.02 142 510 368 163
50 14 59.59 1.3 146.64 206 721 515 152
60 14 80.08 1.3 211.97 292 834 542 111
70 14 107.62 1.3 299.77 407 918 511 74
80 14 144.63 1.3 417.77 562 993 431 45

44 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
3. Menentukan Daur
Sebelum menentukan panjang daur yang akan dipakai untuk suatu kelas
perusahaan, perlu ditetapkan terlebih dahulu jenis daur mana yang akan dianut.
Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan tujuan pengelolaan. Secara garis besar,
pertimbangan-pertimbanan memilih tipe daur dalam hubungannya dengan tujuan
pengelolaan adalah sebagai berikut:
Bila tujuan pengelolaan lebih mengutamakan perolehan manfaat non-
ekonomi dari hutan (mengatur supply jasa hutan) seperti, satwa liar, rekreasi,
dan lain-lain semacam itu, maka daur silvikultur dan daur fisik akan lebih baik.
Bila tujuan pengelolaan dititikberatkan untuk menghasilkan kayu, baik kayu
pertukangan maupun kayu bakar, daur teknik dan daur volume maksimum
akan merupakan alternatif yang paling tepat.
Untuk tujuan pengelolaan yang mengutamakan keuntungan dalam nilai uang
(untuk mengatur pengembalian uang), digunakan rotasi pendapatan
maksimum atau daur finansial.
Disamping tujuan pengelolaan, panjang daur juga ditentukan oleh faktor-
faktor antara lain: besarnya riap atau percepatan pertumbuhan pohon penyusun
tegakan, tujuan akhir penggunaan kayu, kondisi tapak hutan, dan jenis pohon
yang ditanam.
Davis (1966) mengklasifikasi beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
panjang daur ke dalam dua kelompok yaitu faktor fisik dan faktor financial, yaitu,
Jenis produk apa yang diperlukan atau yang dapat dijual dengan keuntungan
tertinggi (aspek demand).
Produktifitas hutan, atau apa yang dapat ditanam (aspek supply).
Dalam klasifikasi tersebut, biaya maupun penghasilan dimasukkan ke
dalam dua kelompok itu (fisik dan finansial) yang harus diintegrasikan yang
kemudian daur ditentukan sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan. Dalam hal
ini, tiga faktor yang harus diperhatikan, yaitu:

45 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
nilai produk, berkaitan dengan ukuran dan kualitas yang menguntungkan
untuk dijual, (tapi nilai di sini terlepas dari nilai financial) dan pada umur
berapa akan diperoleh nilai tertinggi pada suatu tujuan pengelolaan tertentu.
Faktor hutan, yang mencakup: physical produvtivity (site indeks), pathological
factors, entomological factor, silvicultural factor.
Pandangan ekonomi, yaitu keberartian waktu (terkait dengan aspek financial).

F. Konsep Kelestarian

1. Karakterisitik Sumberdaya Hutan


Hutan pada dasarnya mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lain, yaitu hutan sebagai sumberdaya alam dan hutan sebagai
suatu ekosistem. Hutan sebagai sumberdaya alam, dengan karakteristik, dapat
diperbaharui, mempunyai fungsi manfaat serbaguna (multi use resources),
bergam antara satu tempat dengan tempat lainnya (divers), potensial (berukuran
besar, sebagai populasi). Sedangkan hutan sebagai ekosistem, dengan
karaktersitik, sangat kompleks, bersifat labil (mudah terpengaruh oleh peruahan),
dan beragam (divers). Dengan demikian, dalam memanfaatkan hutan untuk
memenuhi kebutuhan manusia dan pembangunan, maka karakteristik atau sifat
hutan sebagai sumberdaya alam dan ekosistem harus menjadi pertimbangan
utama secara proporsional.
Pertumbuhan penduduk yang pesat, menyebabkan kebutuhan terhadap
lahan dan hasil hutan juga meningkat. Peningkatan ini tidak hanya dalam jumlah
(kuantitasnya), tetapi juga dalam jenisnya serta kualitasnya. Untuk dapat
memenuhi meningkatnya kebutuhan akan hasil-manfaat tersebut, maka
intensifikasi dan cara-cara pemanfaatan hutan juga harus ditingkatkan. Dalam
waktu yang bersamaan terdapat perkembangan global yang menyertainya.

2. Konsep Kelestarian
Pada kondisi seperti diuraikan di atas, dengan mempertimbangkan sifat-
sifat hutan (sebagai SDA dan sebagai ekosistem) maka dikembangkan suatu

46 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
prinsip dasar dalam pemanfaatan hutan yang dikenal sebagai Prinsip Kelestarian
(Sustainable Principle). Berdasarkan perkembangannya, dikenal dua prinsip
kelestarian, yaitu: prinsip hasil (yield principle), dan prinsip manajemen
(management principle).

1. Prinsip Hasil (yield principle)

Prinsip ini dikembangkan untuk pertama kalinya dalam pengelolaan hutan


di Jerman, dimana dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan akan hasil dan
manfaat hutan yang terus meningkat, maka hasil-manfaat hutan merupakan
dasar utama pengelolaan hutan. Dengan demikian, prinsip hasil adalah prinsip
dalam pengelolaan hutan yang mendasarkan pada pertimbangan hasil yang
diperoleh dari hutan sebagai dasar utamanya.
Dalam sejarah pengetrapannya, terdapat beberapa bentuk prinsip hasil,
yaitu:
a. Prinsip hasil yang lestari (sustainable yield principle)
Pengelolaan hutan dengan prinsip hasil lestari mengupayakan hasil (yield)
yang diperoleh dari hutan kurang lebih sama dari waktu ke waktu (tahun ke
tahun atau rotasi ke rotasi). Prinsip ini dapat dicapai apabila terdapat
keseimbangan antara riap (increment) dari tegakan hutan dengan
pemanenannya (harvesting). Keseimbangan ini merupakan persyaratan
minimal yang harus dipenuhi untuk mewujudkan kelestarian hasil.
Dengan demikian, masukan yang sangat penting dan mendasar untuk
mewujudkan tercapainya prinsip kelestarian hasil adalah besarnya riap. Riap
adalah besarnya pertambahan tumbuh dimensi pohon-tegakan (diameter,
tinggi, volume) menurut ruang dan waktu. Satuan yang sering digunakan
dalam menyatakan riap adalah m3/ha/tahun. Terdapat banyak cara untuk
mengukur besarnya riap tegakan, salah satu yang sering dipergunakan
adalah dengan melakukan pengamatan-pengukuran secara berurutan
(continuous forest measurement) pada plot permanent (Petak Ukur
Permanen = PUP).

47 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Sehubungan dengan riap tegakan sebagai masukan yang mendasar dalam
mewujudkan kelestarian hasil, maka setiap HPH diharuskan membuat PUP di
areal bekas tebangan. Dengan mengetahui riap tegakan tinggal, maka dapat
ditentukan besarnya jangka waktu rotasi tebangan (cutting cycle) dan
besarnya jatah tebang tahunan (JTT = AAC) pada rotasi kedua.

b. Prinsip hasil yang selalu meningkat (progressive yield principle)

Disamping hasil yang diperoleh dari hutan (utamanya kayu) berlangsung


kurang lebih sama dari waktu ke waktu, pengelola hutan berupaya lebih lanjut
untuk meningkatkan hasil yang diperoleh dari hutan dari waktu ke waktu. Jadi
bersifat progressif.
Dengan demikian, prinsip hasil yang selalu meningkat adalah prinsip
pengelolaan hutan yang mengupayakan hasil yang akan diperoleh dari hutan
akan terus meningkat dari waktu ke waktu (tahun ke tahun, rotasi ke rotasi).
Prinsip ini dapat dicapai dengan meningkatkan potensi tegakan per satuan
luasnya, atau dengan kata lain riap tegakan harus ditingkatkan per satuan
luas per satuan waktu, melalui:
1) Penerapan teknik silvikultur yang tepat, misalnya melalui penjarangan
(thinning) yang tepat, pemupukan, dll.
2) Pemilihan bibit unggul melalui program-program kultur jaringan (tissue
culture), pemuliaan pohon (tree improvement), dan rekayasa teknologi
biologi (biotechnology).

c. Prinsip hasil yang maksimal (maximum yield principle)

Dengan semakin meningkatnya kebutuhan terhadap hasil hutan, maka upaya


untuk mendapatkan hasil secara progressif masih belum dapat memenuhi
kebutuhan tersebut. Pada saat yang bersamaan teknologi pemanfaatan hasil
hutan juga mengalami peningkatan, yang ditopang dengan berkembangnya
IPTEKS pemanfaatan hasil hutan.
Melalui teknologi pemanfatan hasil hutan, yaitu memproses-mengolah hasil
hutan menjadi produk jadi atau setengah jadi, diharapkan nilai dari hasil
48 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
hutan akan meningkat dan maksimal. Dengan demikian, prinsip hasil
maksimal adalah prinsip pengelolaan hutan yang mengupayakan
diperolehnya nilai maksimal dari sumberdaya hutan.
Untuk mendapatkan nilai maksimal tersebut, beberapa upaya yang dapat
dilakukan adalah:

1) industrialisasi pengolahan hasil hutan untuk mendapatkan nilai


tambah (value added).
2) Intensifikasi pemanfaatan hasil hutan sehingga diperoleh volume
hasil hutan yang lebih besar (memperkecil volume limbah)
3) Diversifikasi pemanfaatan hasil hutan
Dengan demikian, prinsip ini menekankan pada peningkatan nilai
dibanding peningkatan produksi hasil hutan.

2. Prinsip Manajemen Hutan Lestari (Sustainabel Forest Management)

Pengelolaan hutan seyogyanya tidak hanya mempertimbangkan


kelestarian hasil tetapi harus pula mempertimbangkan dampak dari
pemanfatan hasil tersebut. Oleh karenanya, pengelolaan hutan mempunyai
dimensi yang lebih luas (multidimentional principle).
Berbeda dengan prinsip kelestarian hasil, prinsip pengelolaan hutan
secaralestari perlu dan harus mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih luas,
yaitu:
a. Kelestarian sumberdaya hutan (resource security)
b. Kelestarian produksi (cointinuity of production)
c. Kelestarian lingkungan (environment)
d. Kelestarian keanekaragaman hayati (biodiversity)
e. Kelestarian sosekbud masyarakaty (socio-economic and culute)

Dengan demikian, pada prinsip manajemen, aspek kelestarian hasil


merupakan salah satu bagian saja dari kegiatan pengelolaan hutan. Untuk

49 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
mewujudkan kelestarian pemanfaatan hutan, semua aspek di atas harus
dipertimbangkan secara komprehensif.

3.6 Bahan Disuksi


3.7 Bacaan/Rujukan: Davis, K.P. 1978; Lawrence. S. D., K.N. Johnson. 1987;
Leuschener. W. A. 1984; Junus. M. 1984; Jerram. M.R.K. 1980.
3.8 Latihan Soal-Soal

50 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BAB
IV
Wilayah 1. Perencanaan
Pengelolaan Kehutanan
Provinsi 2. Pengelolaan

PRESKRIPSI PENGELOLAAN HUTAN


Pengurusan 3. Litbang, Diklat
Luh
Wilayah 4. Pengawasan
Pengelolaan
Kabupaten
1. Tata hutan
2. Pemanfaatan
Unit 3. Rehabilitasi
Pengelolaan Pengelolaan
4. Perlindungan
5. Konservasi
Pokok Bahasan : Preskripsi Pengelolaan Hutan
Kawasan ada Hak
Tujuan Umum : Menganalisis
Kriteria Kelembagaan preskripsi
Kawasan pengelolaan hutan.
tdk ada Hak
IUPHHK
Ijin Lain

Kawasan Konflik
Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab IV, mahasiswa/i
mampu: (1) menjelaskan tiga elemen dasar
membangun preskripsi pengelolaan hutan,
(2) membangun, menilai, dan
mengaplikasikan preskripsi-preskripsi
pengelolaan pada suatu tegakan

A. Pengertian Preskripsi Pengelolaan Hutan


Preskripsi pengelolaan hutan adalah seperangkat kegiatan yang
diimplementasikan pada suatu tegakan untuk mencapai hasil tertentu yang
diinginkan. Penanaman, penjarangan, permudaan, pemanenan, pemupukan,
dan lain-lain adalah contoh kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan struktur
vegetasi dan hasil kayu yang diinginkan.
Membangun, menilai, dan mengaplikasikan preskripsi-preskripsi pada
suatu tegakan adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh professional
kehutanan dimana pada aktivitas tersebut teori-teori dan prinsip-prinsip
pengelolaan hutan diaplikasikan dalam dunia nyata.

51 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Pengembangan preskripsi telah dilakukan dalam perencanaan
pengelolaan hutan saat ini. Preksripsi tertentu yang diterapkan pada suatu tipe
lahan bersama-sama dengan prediksi hasil secara kuantitatif dan perkiraan hasil
yang lain apabila preskripsi tersebut diimplementasikan merupakan building
block dari model perencanaan dan skedul pembangunan hutan moderen yang
sebenarnya. Perumusan preskripsi perlu mengintegrasikan strategi klassifikasi
lahan, pengetahuan dasar dan aplikasi silvikultur, teknik-teknik prediksi
pertumbuhan, nilai-nilai ekonomi, dan terknik analisis pengambilan keputusan
dari ahli ekonomi manajemen.
Contoh: Terdapat penggergajian kayu kecil, tegakan campuran pinus pada
tanah yang peka erosi, kelerengan kurang dari 30%, site indeks lebih besar dari
100, dan basal area lebih besar dari 200 ft 2 per acre, eksploitasi menggunakan
traktor, melakukan penjarangan komersial untuk menurunkan basal area menjadi
140 ft2 per acre, rotasi 30 tahun, melakukan regenerasi dengan jenis Dougles-fir.
Prediksi hasil dari kegiatan regenerasi ini adalah 15.000 board feet (Mbd ft) sawn
timber dan 600 ft3 kayu pulp hasil penjarangan, 34 Mbd ft sawn timber dan 1.200
ft3 kayu pulp dari hasil tebangan akhir pada tegakan yang ada saat ini, dan 64
Mbd ft pada tebangan akhir dari hasil regenerasi.
Preskripsi pengelolaan hutan yang baik harus berpedoman pada empat
hal yaitu:
1. Keutuhan dan kelanjutan ekologi.
Preskripsi pengelolaan hutan harus mepertimbagkan berbagai fungsi
lingkungan maupun jasa-jasa yang diberikan oleh hutan antara lain,
pemeliharaan keanekaragaman hayati hutan, perlindungan daerah aliran
sungai, pemeliharaan fungsi daur ulang zat hara yang penting, perlindungan
iklim mikro dan iklim setempat, dan lain-lain.
2. Penggunaan produk dan jasa hutan oleh manusia secara berkelanjutan dan
adil.
Preskripsi pengelolaan hutan mempertimbangkan ciri-ciri ekologi, faktor-
faktor sosial dan demografi, serta potensi ekonomi pada setiap unit
manajemen. Biaya-biaya dan manfaat-manfaat ekonomi baik perlindungan
52 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
maupun produksi hutan sama-sama dipikul masyarakat setempat, sektor
swasta, dan pemerintah.
3. Pengelolaan terpadu pada skala yang tepat.
Hutan dikelola dalam suatu kerangka perencanaan wilayah, pengambilan
keputusan dan pengelolaan yang memperhitungkan permukiman manusia di
sekitarnya, tanah-tanah pertanian, dan berbagai macam kegiatan ekonomi.
Pertimbangan-pertimbangan ekologi dan sosial menentukan ukuran wilayah
pengelolaan. Pemerintah, masyarakat, swasta, dan kepentingan-kepentingan
lain bersama-sama merumuskan pilihan-pilihan pengelolaan untuk memenuhi
kebutuhan manusia secara berkelanjutan baik pada kawasan hutan maupun
pada lahan-lahan masyarakat dan mengatasi masalah-masalah penggunaan
lahan.
4. Keikutsertaan yang adil dan bijaksana oleh semua pihak yang
berkepentingan.

Memberikan kewenangan dan hak atas informasi dan partisipasi kepada


semua pihak yang berkepentingan dalam proses perumusan keputusan-
keputusan pengelolaan dan kebijakan kehutanan.

B. Elemen-elemen Dasar Membangun Preskripsi Pengelolaan Hutan

Pernyataan pada uraian Bagian A menggambarkan tiga elemen esensial


dari preskripsi pada suatu lahan hutan, yaitu:
1. Klasifikasi Lahan (Land type Classification)
Klassifikasi lahan menggambarkan paket atau tipe-tipe lahan menurut lokasi,
potensi tegakan, kerapatan, jenis, tanah, kelerengan, dan atribut-atribut lahan
yang lain.
Disini kita membuat keputusan tentang keseragaman (homogenitas) dan
keberagaman (heterogenitas) lahan/wilayah.
Mengklasifikasi lahan ke dalam unit-unit pengelolaan yang homogen
memungkinkan kita untuk menggeneralisir hasil antara areal yang diamati

53 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dan dipelajari dengan areal yang tidak diamati tetapi mempunyai kondisi yang
sama dengan areal yang diamati.
Untuk mendapatkan areal yang homogen perlu mempertimbangkan tidak
hanya karakteristik fisik dan vegetasi, tetapi juga karakteristik pembangunan
Contoh: Areal hutan seluas 1000 acre, dengan karakteristik sebagai berikut:
a. Karakteristik fisik:

1) kelerengan (2 kelas), yaitu:


moderate (0 30%)
curam (> 30%)

2) wilayah DAS (2 kelas)


Elk creek
Fish creek

b. araktersitik vegetasi

1) Penutupan lahan (3 kelas)


soft woods
hard woods
Grasses

2) Potensi tegakan (2 kelas)


diameter rata-rata < 14 inci
diameter rata-rata > 1 inci

c. Karakteristik pembangunan
1) Jarak dari jalan raya (2 kelas)
< 200 ft dari jalan
> 200 ft dari jalan

Karakteristik tersebut dapat dilihat pada Gambar 4, 5 dan Gambar 6.

54 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
55 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Dengan karakteristik tersebut di atas:

a. Berapa unit manajemen homogen yang dapat anda bangun? Untuk


menjawab pertanyaan ini, anda harus melakukan overlay Gambar 4, Gambar
5, dan Gambar 6. Hasilnya disajikan pada Gambar 7.

56 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
b. Dari sejumlah unit manajemen homogen yang anda dapatkan pada soal a,
berapa unit manajemen yang secara aktual dapat dikelola? Kenapa?
c. Bagaimana preskripsi pengelolaan unit manajemen yang anda telah bangun?

2. Skedule kegiatan (Management activity schedule)


Skedule kegiatan menggambarkan tata waktu (timing), metode, dan kondisi-
kondisi terhadap vegetasi dan sumberdaya yang lain yang akan dimanipulasi
atau diperlakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan, mencakup: aturan-
aturan eksploitasi (logging rules), schedule penjarangan dan pemanenan
hasil (timber thinning and harvest schedule), dan teknik regenerasi
(regeneration technique for the next tree crop).
3. Prediksi Pertumbuhan dan Hasil (Quantitiative growth and yield projection),
Hal ini menggambarkan secara numeric berapa banyak kayu yang
diharapkan dari penebangan komersial khususnya volume yang akan
ditebang pada penjarangan dan tebangan akhir dari tegakan yang ada
sekarang dan tegakan berikutnya dari hasil regenerasi.

57 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Pernyataan preksripsi tersebut di atas dapat dibuat lebih detail, akan
tetapi ketiga elemen preskripsi di atas diperlukan untuk mengelola dan
merencanakan sebuah hutan dengan berbagai cara kuantitiatif yang masuk
akal. Setiap elemen mempunyai keputusan pengelolaan (decision management)
yang sesuai yang harus dibuat pada awal perencanaan, yaitu:

a. Bagaimana mengorganisir dan mengklassifikasi hutan menurut karakteristik


vegetasi, fisik, dan karaktersitik pembangunan ke dalam tipe-tipe tegakan
atau manajemen unit?
b. Berapa banyak dan alternative preskripsi pengelolaan apa yang dapat
dipertimbangkan pada setiap tipe/paket tegakan tertentu?
c. Metode dan data empirik apa yang dapat digunakan untuk membuat prediksi
kuantitatif terhadap pertumbuhan dan hasil?
Pedoman untuk menjawab pertanyaan ini pada akhirnya akan tergantung
pada tujuan pemilik hutan dan jumlah waktu, dana, dan detail analisis yang
dicurahkan untuk merencanakan dan mengelola hutan tersebut. Sebagai contoh,
jika pemilik adalah spekulan tanah, dengan tujuan murni adalah tujuan financial
dan tidak mau mengorbankan waktu dan uang pada pengelolaan dan
perencanaan, maka sangat sedikit preskripsi dan kelas-kelas tegakan yang
akan diterapkan. Namun demikian, pada kasus dimana perencanaan sangat
intensif dan tujuan yang ingin dicapai adalah multiple-output, seperti pada
pengelolaan hutan lindung, maka diperlukan klasifikasi lahan yang detail, banyak
pilihan preskripsi untuk setiap kelas, dan prediksi kuantitatif terhadap berbagai
macam output.

C. Beberapa Pengertian

1. Hutan adalah seperangkat lahan yuang mempunyai atau dapat mempunyai


vegetasi pohon dan dikelola sebagai suatu kesatuan untuk mencapai tujuan
pemilik (Synonyms: Ownership, management unit, planning unit).

58 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
2. Karakteristik fisik adalah seperangkat atribut yang digunakan untuk
mencirikan aspek-aspek fisik alami yang permanent dari lahan hutan, yang
meliputi, topografi, tanah, iklim, hydrology, tipe habitat.
3. Karakteristik Vegetasi adalah seperangkat atribut yang digunakan untuk
mencirikan pohon dan vegetasi lainnya yang tumbuh pada lahan hutan
meliputi, tinggi, umur, basal area, volume, diameter rata-rata, distribusi
diameter, kerapatan tajuk, jenis, tipe penutupan, tipe komunitas.
4. Karakteristik pembangunan adalah seperangkat atribut yang digunakan untuk
mencirikan organisasi, pembangunan, dan aksesibilitas lahan hutan untuk
digunakan manusia, meliputi kepemilikan, jalan, bangunan, batas wilayah
administrasi, dan batas-batas fisik.
5. Tipe tegakan (stand type) adalah lahan hutan yang mempunyai kombinasi
dan rentang atribut fisik, vegetasi, dan karakterstik pembangunan yang sama
yang dipilih untuk mengklasifikasi hutan ke dalam tipe-tipe yang homogen
(Synonim: land type, site type, condition class, forest type, analysis area).
6. Tegakan (Stand) adalah lahan yang secara geografis berdekatan,
mempunyai tipe tegakan yang sama, dan lebih besar dari pada ukuran lahan
minimum (Synonim: homogenous land unit, capability unit, ecological land
unit, logging unit).
7. Management Unit adalah lahan yang berdekatan secara geografis, yang
terdiri atas satu atau lebih tipe tegakan dan biasanyadibatasi dengan batas-
batas DAS, kepemilikan, atau batas-batas wilayah administrasi dengan tujuan
untuk menempatkan dan menerapkan preskripsi-preskripsi. Sebuah
manajemen unit biasanya lebih besar dari suatu tegakan (stand) dan dicirikan
secara khusus oleh adanya banyak tipe tegakan dan tegakan individu.
(Synonim: heterogenous planning unit, allocation and scheduling zone,
administrative area).
8. Standand atand-type prescription adalah suatu schedule aktivitas (treatmen
budidaya, pemanenan, atau kegiatan-kegiatan yang lain) yang
diimplementasikan padasautu tegakan atau tipe tegakan untuk mencapai
hasil tertentu yang diinginkan. Penanaman, penjarangan, permudaan,
59 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
pemanenan, pemupukan, dll adalah aktivitas khusus yang dilakukan untuk
mencapai struktur vegetasi dan hasil kayu yang diinginkan.
9. Management unit prescription adalah tambahan terhadap preskripsi untuk
tipe tegakan individu, suatu preskripsi manajemen unit mempertimbangkan
keutuhan (integrity) spasial dari manajemen unit. Dia dapat menskedule
lokasi dan rangkain pembangunan jalan, kelompok tegakan yang akan
ditebang, dan strategi keruangan (spatial strategy) dan aktivitas untuk
melindungi atau meningkatkan air, wildlife, amenity, dan nilai-nilai lain dalam
manajemen unit.

Rujukan: Lawrence. S. D., K.N. Johnson. 1987.

Latihan Soal-Soal

60 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BAB
V
Wilayah 1. Perencanaan
Pengelolaan Kehutanan
Provinsi 2. Pengelolaan

UNIT PENGELOLAAN HUTAN


Pengurusan 3. Litbang, Diklat
Luh
Wilayah 4. Pengawasan
Pengelolaan
Kabupaten
1. Tata hutan
2. Pemanfaatan
Unit 3. Rehabilitasi
Pengelolaan Pengelolaan
4. Perlindungan
5. Konservasi

Pokok Bahasan : Unit Pengelolaan Hutan


Kawasan ada Hak
IUPHHK
Tujuan Umum : Memahami pengorganisasian kawasan Ijin Lain
Kriteria Kelembagaan Kawasan tdk ada Hak

hutan menjadiKawasan
unit-unit pengelolaan hutan
Konflik

lestari.

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab V, mahasiswa/i


mampu: (1) menjelaskan pentingnya
kawasan hutan diorganisir menjadi unit-unit
pengelolaan, (2) membangun unit-unit
pengelolaan hutan terkecil dan efisien sesuai
karakteristik sumberdaya hutan

A. Hirarki Wilayah Pengelolaan Hutan


Ada dua kegiatan mendasar dalam pembangunan hutan dan kehutanan
yaitu, kegiatan pengurusan (bestuur) dan kegiatan pengelolaan (beheer). UU No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberi uraian pokok mengenai kegiatan
pengurusan pada Pasal 10 dan uraian pokok mengenai kegiatan pengelolaan
pada Pasal 21. Pasal 10 ayat (2) menyebutkan empat kegiatan pengurusan
hutan yaitu: perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan
pengembangan pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan,
pengawasan. Sedangkan Pasal 21 menyebutkan empat kegiatan pengelolaan,
yaitu, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan

61 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
perlindungan hutan dan konservasi alam.
Undang-Undang No. 41/1999 membagi hirarki wilayah pengelolaan hutan
menjadi tiga, yaitu wilayah provinsi, wilayah kabupaten/kota, dan unit
pengelolaan. Wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi adalah seluruh
kawasan hutan dalam wilayah tingkat provinsi yang dapat dikelola secara lestari.
Wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota yaitu seluruh kawasan hutan
dalam wilayah tingkat kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari.
Sedangkan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil pada
hamparan lahan hutan sebagai wadah kegiatan pengelolaan hutan sesuai fungsi
pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
Wilayah pengelolaan hutan provinsi dan kabupaten/kota merupakan
wilayah pengurusan hutan, sedangkan wilayah unit pengelolaan hutan
merupakan wadah kegiatan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan:
(1) perencanaan pengelolaan, (2) pengorganisasian, (3) pelaksanaan
pengelolaan, dan (4) pengendalian dan pengawasan. Dengan demikian, wilayah
provinsi dan kabupaten/kota merupakan infrastruktur untuk memberikan
pelayanan terhadap unit pengeloaan sebagai struktur, sedangkan pemerintah
mempunyai posisi sebagai suprastruktur yang memberikan pelayanan baik
kepada infrastruktur maupun struktur dalam pengelolaan hutan.
Dilihat dari sisi kelembagaan, terdapat lima tingkatan kelembagaan
kehutanan yaitu, tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota, tingkat
unit pengelolaan, serta tingkat pemanfaatan (manajemen tegakan/standing
stock.

62 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
B. Unit Manajemen Hutan

1. Konsep Dasar

Sumberdaya hutan dituntut untuk memikul banyak fungsi yaitu fungsi

ekologi, fungsi ekonomi, dan fungsi sosial. Oleh karena sifatnya yang sensitif

terhadap perlakuan, maka sebidang lahan kawasan hutan tidak akan mampu

memikul semua fungsi tersebut secara simultan. Hal ini menyebabkan kawasan

hutan harus dibagi menjadi unit-unit manajemen yaitu, unit manajemen hutan

konservasi untuk misi ekologi, unit manajemen hutan tanaman untuk misi

ekonomi, dan unit manajemen hutan produksi untuk misi ekologi dan ekonomi.

Berdasarkan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan utama membentuk

unit manajemen, terdapat beberapa pengertian unit manajemen sebagai berikut:

a. Davis (1966). Unit manajemen hutan atau unit kelestarian hasil adalah suatu
unit pengelolaan untuk menghasilkan produksi hasil hutan secara lestari
dengan tujuan pencapaian keseimbangan antara pertumbuhan dan
pemungutan hasil setiap tahun atau setiap periode tertentu. Unit manajemen
dalam pengertian ini berfokus pada pengelolaan unit-unit tegakan untuk
menghasilkan kayu secara lestari.
b. Davis dan Johnson (1987). Unit manajemen hutan adalah areal hutan
dengan luasan tertentu yang terdiri atas sejumlah unit-unit lahan homogen
yang dikelola untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu. Unit-unit
lahan homogen penyusun unit manajemen tersebut diklasifikasi berdasarkan
karakteristik fisik (seperti kelerengan, daerah aliran sungai), karakteristik
vegetasi (seperti penutupan, potensi hasil hutan), dan karakterisitik
pembangunan (seperti aksesibilitas wilayah). Unit manajemen dalam
pengertian ini berfokus pada pengelolaan unit-unit lahan yang homogen
secara terintegrasi untuk tujuan tertentu.

63 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
c. Noordwik V. M, dkk, (2003). Unit manajemen adalah unit-unit usaha yang
terdapat pada suatu wilayah yang dikelola secara terintegrasi dengan unit-
unit usaha yang ada di luar wilayah sebagai suatu unit pengelolaan. Luas
suatu unit manajemen tergantung kepada kondisi spesifik wilayah, karakter
sumberdaya di dalam dan di luar wilayah unit manajemen, serta pola-pola
aliran lateral relatif (patterns of lateral flow relatif) antara unit-unit usaha yang
ada di dalam unit manajemen Lingkup unit manajemen dalam pengertian ini
lebih luas yakni mengintegrasikan wilayah.
d. Mosher (1986) juga memandang unit manajemen dari sisi wilayah
pelayanan, yaitu keterkaitan unit-unit usahatani dari suatu wilayah dengan
wilayah lain dalam hal penyediaan pelayanan pasar hasil usahatani dan
pasar faktor-faktor poduksi serta pelayanan lainnya yang tekait dengan
usahatani. Konsep lokalitas usahatani dan distrik usahatani yang dikemukaan
oleh Mosher adalah konsep unit manajemen, dengan fokus pada wilayah
pelayanan. Dalam hal ini, suatu unit manajemen dibangun berdasarkan
hubungan-hubungan fungsional antara satu wilayah desa dengan pusat-
pusat pelayanan di wilayah lainnya yang menyediakan fasilitas-fasilitas
usahatani dan pasar produksi usahatani.
e. Clutter, dkk. (1983). Unit manajemen atau disebut sebagai cutting unit yaitu
unit-unit pengelolaan hutan yang terkecil sebagai wadah untuk melaksanakan
preskripsi pengelolaan. Kondisi biofisik setiap unit manajemen yang berbeda-
beda menyebabkan intensitas pengelolaan setiap unit manajemen juga
berbeda. Bentuk pengelolaan pada setiap unit manajemen disebut
management regime. Pada pengelolaan hutan tanaman jati di Jawa, istilah
cutting unit disebut petak.
f. Christaller (1933). Membagun unit menajamen berdasarkan pendekatan
efisiensi biaya untuk mendapatkan pelayanan (produsen-konsumen). Dalam
hal ini Christaller membagi dua wilayah unit manajemen yaitu range dan
threshold. Range adalah wilayah unit manajemen dimana konsumen
berhadapan dengan biaya transpor yang tinggi untuk mendapatkan
pelayanan pada suatu tempat. Sedangkan threshold adalah wilayah unit
64 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
manajemen dimana produsen hanya mendapatkan keuntungan normal untuk
menutupi biaya operasonalnya untuk memberikan pelayanan.
g. Unit manajemen dalam konsep hutan kemasyarakatan adalah wilayah
pengelolaan hutan kemasyarakatan yang ditetapkan berdasarkan
pertimbangan ketergantungan masyarakat setempat terhadap kawasan hutan
di sekitarnya dan potensi hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat
setempat. Wilayah pengelolaan ini terdiri atas sejumlah unit-unit lokasi
sebagai unit usaha yang dikelola oleh kelompok masyarakat (Departemen
Kehutanan, 2001).
h. Unit manajemen dalam konsep social forestry adalah Areal Kerja Social
Forestry (AKSF) yang ditata secara mikro menjadi blok-blok dengan
mempertimbangkan aturan-aturan dan arahan-arahan tentang penataan
ruang seperti RTRWP, RTRWK, dan TGHK/Padu Serasi serta peta
penunjukan kawasan. Blok-blok tersebut menjadi dasar untuk
mengembangkan usaha-usaha yang berhubungan dengan pemanfaatan
hutan/lahan secara optimal dan lestari (Departemen Kehutanan, 2003).
Berdasarkan uraian pengetian unit manajemen di atas, dapat disimpulkan
bahwa suatu unit manajemen hutan mencakup tiga kesatuan yaitu, kesatuan
areal/wilayah, kesatuan pekerjaaan, dan kesatuan organisasi.

2. Tujuan Pembangunan Unit Manajemen Hutan


Pembangunan unit manajemen bertujuan untuk menata hutan, agar di

dalamnya dapat dilakukan usaha yang berbentuk perusahaan yang memenuhi

persyaratan kekekalan hutan dan kekekalan perusahaan.

a. Azas Kekekalan Hutan


Hutan merupakan kekayaan alam yang berbentuk dan terbentuk sebagai
masyarakat (tumbuhan dan hewan). Masyarakat hutan tidak terbentuk sekali
jadi, melainkan melalui evolusi yang panjang, dimulai dari pelapukan batuan
sampai mencapai masyarakat hutan klimaks yang seimbang. Masyarakat yang
klimaks ini bersifat kekal, kalau ada sebagian yang mati atau rusak segera akan
65 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
ditutup oleh pertumbuhan berikutnya. Sifat kekal dari bentuk hutan klimaks
merupakan pedoman pokok dari perusahaan hutan. Hal ini didorong oleh sifat
yang khas bagi perusahaan hutan yaitu rentabilitasnya rendah dan jangka waktu
usahanya panjang.
b. Azas Kekekalan Perusahaan Hutan
Peniruan kekekalan hutan alam di dalam hutan tanaman belum memenuhi
persyaratan kekekalan hutan, karena perusahaan hutan bukan hanya terdiri atas
penanaman dan penebangan saja, tetapi juga mencakup pemeliharaan,
pengamaman, pengangkutan, pasar, jalan angkutan, dan lain-lain. Semua
aktifitas tersebut terkait dengan modal dan waktu yang memiliki nilai ekonomi.
Hal ini menuntut adanya hasil yang optimal untuk setiap aktivitas pengelolaan
hutan.

C. Organisasi Unit Manajemen Hutan


Pelaksanaan berbagai kegiatan pengelolaan hutan mengharuskan
pembentukan organisasi administratif yang eksis di lapangan (on-the ground
administrative organisation) dan pembagian unit manajemen hutan ke dalam
unit-unit kerja (workable units). Tangung jawab organisasi tersebut adalah:
melaksanakan tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan di
lapangan.
melaksanakan berbagai sistem pengaturan, skedule penebangan dan
kegiatan pengelolaan lainnya (seperti identifikasi tegakan dan areal yang
ditebang atau perlakuan-perlakuan lainnya yang diperlukan) secara efektif.
Mengukur kinerja dan mengevaluasinya untuk menjadi masukan pada
kegiatan pengelolaan di masa datang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan organisasi hutan adalah:
Establishment and maintenance of land ownershif
Future acquisition plans
Scope and character of work to be done
Work load and supervision
Marketing area

66 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Topography
Character of the forest
Inventory and record keeping needs
Suatu unit manajemen hutan dapat dibagi menjadi unit-unit kerja
(workable units) sebagai berikut .
1. Working circle
Working circle merupakan unit utama dari pengelolaan hutan, yang
memiliki batas-batas yang jelas, yang biasanya batas-batas tersebut didasarkan
pada topografi, luasan yang cukup untuk menyediakan produk hasil hutan secara
lestari untuk mensuplai permintaan hasil hutan dari industri atau masyarakat.
Working circle merupakan suatu unit perencanaan (regulatory planning
unit). Wilayah suatu working circle biasanya overlapping dengan wilayah
administrasi pemerintahah, yaitu bisa mencakup beberapa wilayah administrasi
kecamatan.
Perusahaan-perusahaan besar dapat membagi working circle mejadi
sejumlah operating unit, dimana setiap operating unit tersebut dikelola untuk
tujuan kelestarian.
Luas satu working circle tergantung ketersediaan tenaga kerja di
lapangan. Apabila tenaga kerja tersebar luas, maka unitnya luas, demikian pula
sebailiknya.
2. Administratif working circle
Administratif working circle adalah suatu areal yang terdiri atas satu atau
lebih kepemilikan yang dikelola sebaga suatu unit dibawah satu perencanaan
pengelolaan.

3. Economic working circle


Economic working circle adalah suatu areal hutan yang mensuplay pusat
pasar atau pusat industri tetapi tidak perlu dibawah satu kepemilikan atau satu
unit manajement.
4. Working Group

67 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Working group sekelompok unit-unit pengelolaan hutan yang mempunyai
manajemen silvikultur dan rotasi yang sama
5. Block
Blok adalah divisi/bagian administratif utama dari hutan, biasanya
didasarkan pada topografi dan di dalamnya terdapat petak-petak dan areal
tebangan. Blok biasanya merupakan unit-unit administrasi pengelolaan atau
kelompok-kelompok unit. Kadang-kadang, blok ditunjukkan dengan homogenitas
geografi atau kesatuan unit-unit operasi (operating entity).
Di dalam working circle terdapat satu atau lebih blok, tergantung
kebutuhan dan keadaan di lapangan.
6. Compartment and logging chance
Adalah unit organisasi atau bagian kecil dari areal hutan untuk tujuan
orientasi, administrasi, dan operasi silvikultur, dan memiliki batas-batas tertentu
baik batas alam maupun batas buatan.
Compartment (Petak) merupakan unit dasar di dalam blok. Ukuran petak
sangat bervariasi dari 5 acre sampai ratusan acre tergantung kondisi lapangan.
Kebutuhan atas petak tegantung intensitas praktek pengelolaan. Petak
dibutuhkan untuk pengelolaan hutan intensif.
Logging Chance (petak tebangan) adalah petak dimana akan dilakukan
penabangan. Petak tebangan ditentukan oleh kombinasi faktor topogafi dan
transportasi serta cukup untuk mengidentifikasi areal di dalam blok atau unit
pengelolaan lain yang lebih besar.
7. Stand or subcompartment
Stand atau sib compartment adalah bagian dari petak yang membutuhkan
perlakuan yang berbeda dengan bagian lainnya di dalam petak tersebut, dan
berdasarkan pada karakteristik tegakan. Perlakuan silvikultur diterapkan pada
sub compartment atau tegakan

68 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
D. Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai
Suatu Unit Manajemen Hutan

1. Masalah Pengelolaan Hutan

Pengurusan kehutanan sesuai dengan Undang-undang No 41/1999


tentang Kehutanan terdiri dari kegiatan-kegiatan perencanaan kehutanan ,
pengelolaan, penelitian dan pengembangan, Diklat dan penyuluhan, serta
pengawasan. Dari keseluruhan kegiatan tersebut, implementasi kegiatan
perencanaan di lapangan masih cukup lemah, sehingga menyebabkan lemahnya
kontrol penyelenggaraan kehutanan secara keseluruhan. Kegiatan perencanaan
tersebut meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan
kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan
rencana kehutanan.

Lemahnya kegiatan perencanaan tersebut antara lain berupa lemahnya


implementasi pembentukan wilayah pengelolaan hutan dalam bentuk Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai wadah kegiatan pengelolaan hutan yang
terdiri dari tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan
hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan,
perlindungan hutan dan konservasi alam. Akibat kondisi tersebut, dalam
pengelolaan hutan produksi, kegiatan pemanfaatan hutan lebih dominan
daripada kegiatan rehabilitasi, sehingga kerusakan hutan produksi terus-
menerus meningkat.

Permasalahan pembangunan kehutanan seperti maraknya illegal logging,


luasnya kawasan hutan yang tidak dibebani hak (tidak ada pengelola), buruknya
kinerja pemegang IUPHHK, perambahan/konflik kawasan dan sebagainya yang
menyebabkan terdegradasinya hutan, sampai saat ini masih terus berlangsung
meskipun telah banyak upaya-upaya yang telah dilakukan. Hal tersebut
ditengarai disebabkan karena upaya-upaya yang dilakukan tersebut masih
terbatas pada upaya penyelesaian terhadap gejala masalah (simptomatik) yang

69 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
bersifat parsial dan belum menjangkau pada penyelesaian masalah yang
mendasar (fundamental).

Salah satu masalah mendasar yang sampai saat ini masih belum
terselesaikan adalah masalah kelembagaan, yang antara lain belum
terbentuknya Unit Pengelolaan Hutan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH) baik pada kawasan hutan produksi, lindung maupun konservasi,
khususnya di luar P. Jawa.

Dalam jangka menengah dan panjang, investasi yang kini telah dijalankan
oleh Departemen Kehutanan berupa gerakan rehabilitasi hutan dan lahan
maupun investasi swasta dalam pembangunan hutan tanaman dalam suatu
kesatuan wilayah tertentu, seharusnya perlu disinkronkan guna menjadi berbagai
bentuk kelas perusahaan untuk memenuhi aneka ragam kebutuhan bahan baku
industri hasil hutan. Sinkronisasi saat ini belum dapat diwujudkan karena KPH
sebagai unit perencanaan (planning unit) dan sebagai unit menajemen
(management unit) belum dapat diwujudkan secara riil di tingkat tapak.

Berdasarkan uraian di atas, maka pembentukan KPH merupakan upaya


untuk mewujudkan kondisi pemungkin (enabling conditions) dicapainya
pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan, dan oleh karena itu perlu
diupayakan percepatan pembentukan KPH di tingkat tapak dengan kejelasan
tujuan, wilayah kelola dan institusi pengelolanya, sehingga laju degradasi hutan
dapat di perkecil.

Tekad untuk membangun KPH tersebut telah dimandatkan di dalam UU


No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang lebih lanjut ditegaskan kembali di
dalam PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, yang
pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 230/Kpts-
II/2003 tentang Pembentukan KPHP yang secara teknis diatur melalui keputusan
Kepala Badan Planologi Kehutanan No. SK.14/VII-PW/2004 tentang Pedoman
Pelaksanaan KPHP.

70 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Pembentukan KPHP (dalam pengertian disain) telah dan sedang dalam
proses pelaksanaan dengan mengacu pada prosedur pembentukan KPHP
berdasarkan peraturan perundangan tersebut di atas, yang meliputi tahapan :

a. Penyusunan Rancang Bangun KPHP, yang dilaksanakan oleh Gubernur;


b. Arahan Pencadangan, yang diberikan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan
rancang bangun yang diajukan oleh Gubernur;
c. Pembentukan, yang harus disusun oleh Bupati berdasarkan Arahan dari
Menteri Kehutanan yang selanjutnya Gubernur mengusulkan penetapannya
kepada Menteri Kehutanan;
d. Penetapan, Menteri menetapkan KPHP berdasarkan usulan pembentukan
dari Gubernur.
Tahap berikutnya setelah proses Penetapan KPHP adalah pembentukan
institusi pengelola unit KPHP, sehingga akan terbangun wujud riil KPHP di
tingkat tapak yang antara lain meliputi penetapan wilayah pengelolaan dan
institusi pengelola/kelembagaan serta jenis aktifitasnya.

Untuk dapat mewujudkan pembangunan KPHP tersebut diperlukan


mobilisasi sumberdaya, yang penganggarannya dapat didukung melalui APBN,
APBD maupun sumber lain. Mobilisasi ini akan sangat tergantung dari
kehendak para pihak/ stakeholders (pemerintah, pemerintah pusat, masyarakat,
dunia usaha dsb) untuk menempatkan pembangunan KPH ini pada posisi yang
memiliki urgensi tinggi. Adapun tahapan mobilisasi tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut (Hariadi K, 2005) :

71 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
SOSIALISASI / ANGGARAN STANDAR
KONSEP KPHP : AUDIENSI DENGAN NON OPERATING
LEMBAGA DONOR PEMERINTAH PROSEDUR
Dileniasi KPHP
Kesepahaman di
tingkat prinsip 2
Legalitas KPHP PENGAITAN
SEBAGAI DENGAN USULAN ,
STRATEGI PROGRAM - PENETAPAN , MONITORING
MULAI MASALAH PEMECAHAN KEGIATAN DAN DAN
LAPANGAN : MASALAH SETIAP UNIT PEMBIAYAAN EVALUASI
Rehabilitasi Hutan KELEMBA - KERJA / KEGIATAN
dan Lahan GAAN LEMBAGA
Pengelolaan DAS
Perhutanan Sosial
Pengembangan IDENTIFIKASI
Hutan Alam
SOLUSI MASALAH
Pengembangan LAPANGAN
Hutan Tanaman
Kelembagaan
Konservasi
Kawasan Kebijakan

Gambar 8. Langkah Mobilisasi

2. Paradigma Pembangunan

Pemanfaatan hutan alam di Indonesia secara besar-besaran dimulai


dengan pemberian ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di luar P Jawa.
Pemegang ijin HPH di dalam pelaksanaan kegiatannya menggunakan azas
kelestarian sustained yield yang berorientasi pada kelestarian hasil hutan kayu,
yang kurang memperhatikan keberadaan masyarakat di dalam dan disekitar
hutan. Paradigma timber based management yang melandasi pelaksanaan
operasional HPH tersebut ternyata dalam perkembangannya tidak lagi mampu
menjawab tuntutan kelestarian yang menghendaki keseimbangan antara
kelestarian fungsi produksi/ekonomi, ekologi dan sosial. Kondisi tersebut
mendorong terjadi perubahan paradigma dari timber based management
menjadi resources based management. Dengan demikian pembangunan KPH
harus juga berlandaskan pada paradigma resources based management.

Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan Pemerintah dan


atau Pemerintah Daerah, yang dalam kondisi tertentu dapat dilimpahkan kepada

72 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, baik berbentuk Perum, Perjan,
maupun Persero yang pembinaannya di bawah Menteri. (Penjelasan pasal 21
UU 41).

Wilayah pengelolaan hutan provinsi dan kabupaten/kota merupakan


wilayah pengurusan hutan di provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup
kegiatan-kegiatan:

a. perencanaan kehutanan;
b. pengelolaan hutan;
c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan
kehutanan;
d. pengawasan. (Penjelasan pasal 26 ayat 2 PP 44).
Unit Pengelolaan Hutan merupakan kesatuan pengelolaan hutan terkecil
pada hamparan lahan hutan sebagai wadah kegiatan pengelolaan hutan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Penjelasan pasal 28 ayat 1 PP 44).

Pasal 32 PP 44 mengatur bahwa pada setiap Unit Pengelolaan Hutan


dibentuk institusi pengelola yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pengelolaan hutan yang meliputi:

a. perencanaan pengelolaan;
b. pengorganisasian;
c. pelaksanaan pengelolaan; dan
d. pengendalian dan pengawasan.
Berdasarkan Kepmenhut No 230/2003 pasal 8 ayat 5, kriteria
kelembagaan pembentukan KPHP meliputi pemantapan, penataan atau
peningkatan kelembagaan pada kawasan hutan produksi yang:

a. telah dibebani hak diatasnya;


b. tidak dibebani hak; dan atau
c. ada konflik di dalam kawasan hutan produksi, baik telah dibebani hak
maupun tidak dibebani hak.
Selanjutnya pada ayat 7 pasal 12 Kepmenhut No 230/2003 ditetapkan
standar pembentukan kelembagaan diatur melalui pemantapan kelembagaan,

73 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
penataan kelembagaan, peningkatan kelembagaan atau pembentukan
kelembagaan sebagai berikut:

a. Bagi kawasan hutan produksi yang telah dibebani hak/izin di atasnya,


ditempuh dengan menetapkan pemegang hak/izin sebagai inti KPHP dan
melakukan pemantapan kelembagaan dengan kelembagaan pemegang
hak/izin yang sudah ada;
b. Bagi kawasan hutan produksi yang tidak ada hak/izin diatasnya, ditempuh
dengan melakukan penataan atau pembentukan kelembagaan baru sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;
c. Bagai kawasan hutan produksi yang ada konflik diatasnya dilakukan dengan
peningkatan kelembagaan pada hutan produksi yang ada hak/izin diatasnya
atau pembentukan/penataan kelembagaan baru pada hutan produksi yang
tidak dibebani hak untuk mencari solusi konflik dalam kerangka pengelolaan
hutan produksi lestari.

74 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Posisi pengurusan dan pengelolaan hutan berdasarkan peraturan
perundangan dapat digambarkan sebagai berikut :

Wilayah 1. Perencanaan
Pengelolaan Kehutanan
Provinsi 2. Pengelolaan
Pengurusan 3. Litbang, Diklat
Luh
Wilayah 4. Pengawasan
Pengelolaan
Kabupaten
1. Tata hutan
2. Pemanfaatan
Unit 3. Rehabilitasi
Pengelolaan Pengelolaan
4. Perlindungan
5. Konservasi

Kawasan ada Hak


IUPHHK
Kriteria Kelembagaan Kawasan tdk ada Hak Ijin Lain

Kawasan Konflik

Ganbar 9. Posisi Pengurusan dan Pengelolaan Hutan

Untuk dapat melaksanakan mandat pengelolaan sesuai dengan peraturan


perundangan yang berlaku yang berlandaskan pada paradigma resources
based management, maka diperlukan pembangunan/penyempurnaan
kelembagaan pengelolaan hutan yang berintikan pada pembangunan
kelembagaan KPH. Pembangunan kelembagaan tersebut dapat melalui
pemantapan kelembagaan, penataan kelembagaan, peningkatan kelembagaan
atau pembentukan kelembagaan.

Sebagai konsekuensi dari kewenangan pemerintah dan atau pemerintah


daerah dalam pengelolaan hutan, maka organisasi KPH seharusnya memenuhi
prinsip-prinsip sebagai berikut :

Organisasi KPH merupakan organisasi Pemerintah atau Pemerintah Provinsi,


atau Pemerintah Kabupaten/Kota;
Organisasi KPH merupakan unit organisasi yang diisi oleh personal yang
memiliki kompetensi di bidang pengelolaan hutan yang memadai untuk
melaksanakan kegiatan tata hutan dan perencanaan hutan, pemanfaatan
hutan, rehabilitasi dan reklamasi, perlindungan hutan dan konservasi alam;

75 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Organisasi KPH ditetapkan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Provinsi
dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan;
Organisasi KPH dipimpin oleh Kepala KPH yang bertangungjawab atas :
pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
penyelenggaraan pengelolaan hutan.

Dalam melaksanakan tanggung jawab, Kepala KPH berkewajiban :


menjabarkan kebijakan nasional, provinsi dan kabupaten/kota untuk
diimplementasikan di lapangan;
melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian;
melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan
pengelolaan hutan
membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan
pengelolaan hutan
Untuk dapat mewujudkan bentuk riil KPH di tingkat tapak maka diperlukan
upaya penguatan kapasitas organisasi KPH, yang antara lain sebagai berikut:

Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota :


membiayai inisiasi pembangunan KPH dan infrastrukturnya seperti
lembaga diklat, sertifikasi SDM, pengelolaan konflik, keamanan hutan,
pemberantasan illegal loging, dengan dana APBN dan APBD
menggunakan KPH sebagai penguatan sistem pengurusan hutan untuk
mewujudkan integrasi program kehutanan nasional, provinsi dan
kabupaten.
melaksanakan pengendalian terhadap KPH sesuai dengan kewenangan
masing-masing
menetapkan sistem penilaian kinerja sebagai dasar evaluasi kinerja
organisasi KPH sesuai kewenangan masing-masing.
Penilaian kinerja KPH dilaksanakan oleh Pemerintah atau lembaga
independen yang ditunjuk.

76 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Agar organisasi KPH dapat berjalan sesuai dengan tujuan
pembentukannya, maka diperlukan dukungan sumberdaya manusia (SDM).
Untuk itu diperlukan adanya kebijakan SDM (SDM Policy) untuk tingkat
Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota guna memenuhi kebutuhan SDM
organisasi KPH. Kejelasan dan ketersediaan sumber anggaran untuk
membiayai kegiatan organisasi KPH perlu dirancang sejak awal
pembentukannya.

Penting untuk diperhatikan, guna mendukung percepatan pembangunan


KPH khususnya di kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak/izin di
atasnya, diperlukan adanya komitmen dari semua pihak untuk
mengkonvergensikan kegiatan dan koherensi program pembangunan kehutanan
ke dalam wilayah pengelolaan KPHP yang akan dibangun. Konvergensi
kegiatan dan koherensi program tersebut harus dimulai dari tahapan
perencanaan maupun pelaksanaan baik di tingkat pusat maupun daerah.

E. Desain Unit Pengelolaan Kehutanan Berbasis


Masyarakat: Contoh Kasus
Desain unit pengelolaan yang dibahas pada bagian ini adalah hasil
penelitian disertasi penulis dengan kasus pada pengelolaan hutan kemiri rakyat
di Kabupaten Maros. Desain unit pengelolaan dalam hal ini tidak hanya
mempertimbangkan faktor homogenitas wilayah fisik, tetapi juga
mempertimbangkan homogenitas wilayah ekonomi, dan homogenitas wilayah
sosial. Dalam hal ini yang dipertimbangkan adalah struktur wilayah pengelolaan
hutan, struktur wilayah pedesaan, analisis keterkaitan struktur tersebut dengan
degradasi hutan. Struktur kelembagaan unit pengelolaan hutan disrumuskan
berdasarkan hasil analisis struktural menggunakan metode Interpretative
Structural Modelling (ISM).
1. Analisis Wilayah dan Pengelolaan Hutan Kabupaten Maros
Struktur wilayah pengelolaan hutan Kabupten Maros tidak efektif dan
efisien untuk mengelola sumberdaya hutan secara lestari. Konflik antara

77 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
masyarakat setempat yang mengklaim hak-haknya atas tanah dan sumberdaya
hutan dengan pemerintah meningkat secara konsisten sejak 10 tahun terakhir.
Ketidakpastian penguasaan dan kepemilikan atas tanaman masyarakat di dalam
kawasan hutan menyumbang kepada degradasi hutan dan lahan serta pada
banyak kejadian menyebabkan terjadinya kekerasan. Akar permasalahan
tersebut adalah ketidakpastian aturan main yang ditetapkan oleh institusi
kehutanan sampai pada tingkat lapangan. Institusi kehutanan mengklaim
kewenangan atas kawasan hutan, tetapi tidak mampu menunjukkan
kemampuannya mengelola kawasan hutan yang luas tersebut serta tidak mampu
menyediakan jaminan penguasaan serta pengelolaan yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
Degradasi hutan Kabupaten Maros menunjukkan kecenderungan terus
terjadi. Degradasi kawasan hutan pada saat ini telah mencapai 34,2%. Hal ini
menunjukkan perlunya mengelola faktor-faktor yang terkait untuk menanggulangi
degradasi hutan.
Struktur wilayah pedesaan hutan Kabupaten Maros 53,8% termasuk
kategori desa relatif tertinggal, sektor kehutanan merupakan sektor unggulan di
beberapa desa yang saling terkait dengan sektor unggulan lainnya di wilayah
pedesaan, serta adanya keterkaitan ekonomi antar wilayah desa yang
membentuk hirarki wilayah pasar.
Berdasarkan hasil analisis-analisis tersebut di atas, maka untuk
mengelola sumberdaya hutan secara lestari di Kabupten Maros perlu dibangun
unit pengelolaan hutan sebagai suatu struktur yang akan melaksanakan
infrastruktur yang dibangun oleh institusi kehutanan Kabupaten Maros serta
melaksanakan pengelolaan hutan di lapangan. Sebagai suatu struktur, maka unit
pengelolaan tersebut berfungsi memberikan pelayanan publik kehutanan kepada
unit-unit usaha kehutanan masyarakat. Struktur tersebut harus pula dikelola
secara mandiri, sehingga selain berfungsi sebagai unit pelayanan publik
kehutanan, stuktur juga harus mengelola sumberdaya hutan di wilayahnya
sebagai suatu unit usaha yang terintegrasi dengan unit-unit usaha kehutanan
masyarakat.
78 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Pembangunan unit pengelolaan kehutanan masyarakat diarahkan untuk
membangun aglomerasi ekonomi antara unit usaha kehutanan masyarakat
dengan struktur unit pengelolaan hutan sehingga diperoleh keuntungan ekonomi
karena kedua unit tersebut didekatkan secara spasial. Aglomerasi ini diharapkan
mengembangkan unit usaha kehutanan masyarakat dan membangun jaringan
diantara desa-desa dalam wilayah unit pengelolaan sebagai suatu wilayah
fungsional.
Tujuan pembangunan unit pengelolaan hutan adalah memberikan
pelayanan publik kehutanan kepada masyarakat dan mengelola sumberdaya
hutan di wilayah Kabupaten Maros secara sehat yaitu sumberdaya hutan mampu
berfungsi optimal, prospektif yaitu produktifitas dan kualitas produk tinggi, efisien
yaitu biaya pengelolaan yang murah, kompetitif yaitu mampu berkompetisi
dengan sektor lain, dan lestari yaitu hutan, masyarakat, dan pemerintah.
2. Desain Unit Pengelolaan Hutan
Desain unit pengelolaan hutan berbasis masyarakat mencakup aspek-
aspek, wilayah pengelolaan, preskripsi pengelolaan, aspek ekonomi, dan
kelembagaan pengelolaan. Wilayah contoh adalah wilayah pengemangan
kehutanan Camara yang mencakup tiga kecamatan yaitu Kecamatan Camba,
Mallawa, dan Kecmatan Cenrana.
a. Wilayah Pengelolaan
Wilayah pengelolaan hutan dibangun berdasarkan pendekatan
homogenitas fisik, homogenitas wilayah administrasi, dan homogenitas wilayah
fungsional yaitu keterkaitan ekonomi antar wilayah desa. Kerangka desain
wilayah pengelolaan disajikan pada Gambar 10.
1) Unit Pengelolaan
Wilayah unit pengelolaan mencakup seluruh kawasan hutan di wilayah
Camara seluas 32.181 ha, terdiri atas hutan lindung seluas 13.164 ha, hutan
produksi terbatas seluas 5.534 ha, hutan produksi seluas 6.441 ha, dan hutan
konservasi seluas 7.042 ha. Wilayah unit pengelolaan dapat pula mencakup
areal di luar kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat sebagai unit-unit
usaha hutan rakyat. Wilayah unit pengelolaan mengikat secara ekonomi, ekologi,
79 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dan sosial seluruh desa dalam wilayah Camara dalam hal pengurusan dan
pengelolaan sumberdaya hutan.
Berdasarkan hasil analisis hirarki wilayah pedesaan hutan, serta
keterkaitan ekonomi antar desa-desa dalam wilayah Camara, maka Desa
Cempaniga Kecamatan Camba merupakan pusat pertumbuhan wilayah Camara.
Oleh karena itu, Desa Cempaniga akan dipilih sebagai pusat wilayah unit
pengelolaan hutan wilayah Camara.

80 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Kawasan Hutan Struktur Wilayah
dan Lahan Unit Pengelolaan
Wilayah
Administrasi
Wilayah Wilayah Unit Analisis Wilayah Pasar
Pengembangan Pengelolaan Analisis Lokasi
Kehutanan
Struktur Wilayah
Pengelolaan Hutan
(UU No. 41/1999)

Wilayah
Wilayah Analisis Wilayah Pasar
Administrasi
Analisis Lokasi
Sosial Ekonomi Sub Unit
Masyarakat Pengelolaan Permintaan Total
Spasial

Wilayah
Blok
Administrasi
Kelestarian Analisis Lokasi
Sosial Ekonomi
Desa
Masyarakat

Wilayah
Unit
Administrasi Analisis Kelompok
Kelestarian
Kelompok Lahan Usaha Masyarakat
Dusun
Homogen

Unit Lahan Unit


Homogen Pemanfaatan Unit Usaha Keluarga

Gambar 10. Kerangka Desain Wilayah Unit Pengelolaan Kehutanan Masyarakat

81 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
2) Sub Unit Pengelolaan
Untuk efisiensi dan efektifitas operasional unit pengelolaan, maka wilayah
unit pengelolaan dibagi menjadi beberapa wilayah sub unit pengelolaan.
Pembagian wilayah sub unit pengelolaan didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut:
a) Wilayah pasar secara spasial, mengacu kepada hasil analisis keterkaitan
ekonomi antar wilayah desa hutan.
b) Permintaan total spasial, dalam hal ini jumlah penduduk dan luas wilayah
pelayanan.
c) Biaya transportasi untuk mendapatkan pelayanan publik kehutanan.
d) Jenis dan aktivitas produksi unit-unit usaha kehutanan, hal ini terkait dengan
sektor unggulan desa hasil analisis spesialisasi wilayah desa.
e) Radius antara pusat pelayanan dengan desa-desa yang dilayani, hal ini
terkait dengan efisiensi pelayanan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka wilayah pengelolaan
Camara dibagi menjadi 4 wilayah sub unit pengelolaan, yaitu:
a) Wilayah Sub Unit Pengelolaan Tellumpanuae. Pusat wilayah sub unit ini
adalah Desa Tellumpanuae, yang akan melayani Desa-Desa: Tellumpanuae,
Baruage, Samaenre, Uludaya, dan Desa Bentenge.
b) Wilayah Sub Unit Pengelolaan Sabila. Pusat wilayah sub unit ini adalah Desa
Sabila, yang akan melayani Desa-Desa: Sabila, Gattarang Matinggi, Wanua
Waru, Batu Putih, Padaelo, dan Desa Mattampapole.
c) Wilayah Sub Unit Pengelolaan Cempaniga. Pusat wilayah sub unit ini adalah
Desa Cempaniga, yang akan melayani Desa-Desa: Cempaniga, Timpuseng,
Pattanyamang, Pattiro Deceng, Mario Pulana, Cenrana, Sawaru, dan Desa
Benteng.
d) Wilayah Sub Unit Pengelolaan Limampoccoe. Pusat wilayah sub unit ini
adalah Desa Limampoccoe, yang akan melayani Desa-Desa: Limampoccoe,
Labuaja, Rompegading, Baji Pamai, Lebbotengngae, Cenrana Baru, dan
Desa Laiya.

82 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Setiap wilayah sub unit pengelolaan tersebut mengikat secara ekonomi,
ekologi, dan sosial desa-desa dalam wilayahnya dalam hal pengurusan dan
pengelolaan hutan. Setiap wilayah sub unit pengelolaan diharapkan akan
berkembang menjadi suatu wilayah aglomerasi yang saling terintegrasi dengan
wilayah sub unit pengelolaan lainnya. Integrasi tersebut diharapkan wilayah sub
unit pengelolaan berkembang lebih luas dan kompleks yang pada saatnya nanti
akan membentuk jaringan, hirarki, dan sistem wilayah pengurusan dan
pengelolaan sumberdaya hutan yang efisien. Integrasi wilayah pengelolaan
tersebut meliputi, integrasi unit usaha (integrated farming), integrasi wilayah
pelayanan (authority), integrasi wilayah ekosistem DAS (ecosystem), dan
integrasi wilayah desa (region administration).
Karaktersitik masing-masing wilayah sub unit pengelolaan disajikan pada
Tabel 3, sedangkan sebaran wilayah unit pengelolaan disajikan pada Gambar
11.
Tabel 3. Karaktersitik Wilayah Sub Unit Pengelolaan Hutan Wilayah Unit
Pengelolaan Camara
Wilayah Luas Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsinya
Jum. Jumlah (%) Jum. Rasio
Sub Unit Wil.
Pengelolaan
Desa
(ha)
HL HPT HP HK (ha) Hutan KK HP/ KK
Tellumpanuae 5 10.902 3.780 0 246 2.059 6.085 55,8 869 0,3
Sabila 6 12.689 317 1.570 2.106 4.835 8.828 82,0 1.559 2,5
Cempaniga 8 14.536 1.396 1.613 2.259 0 5.268 36,2 3.786 1,0
Limampoccoe 7 18.097 7.671 2.351 1.830 148 12.000 66,3 3.509 1,2
Total 26 56.224 13.164 5.534 6.441 7.042 32.181 57,2 9.723 1,2

Data pada Tabel 3 menunjukkan rasio hutan produksi (HP dan HPT)
dengan jumlah kepala keluarga (KK) antara 0,3 sampai 2,5. Rasio ini
menunjukkan luas maksimal hutan produksi yang dapat dikelola oleh setiap KK
pada masing-masing wilayah sub unit pengelolaan, apabila diasumsikan bahwa
pengelolaan hutan oleh masyarakat dibatasi pada kawasan hutan produksi saja.
Implikasi perbedaan rasio tersebut adalah penerapan preskripsi pengelolaan
yang berbeda pada setiap wilayah sub unit pengelolaan.

83 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Gambar 11. Peta Sebaran Wilayah Unit Pengelolaan Hutan dan Wilayah Sub
Unit Pengelolaan Hutan

84 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
3) Blok Kelestarian Desa
Sumberdaya hutan yang ada pada desa-desa dalam wilayah sub unit
pengelolaan dikelola sebagai satu blok kelestarian. Dengan demikian, terdapat
26 blok kelestarian dalam wilayah unit pengelolaan hutan Camara.
4) Unit Kelestarian Dusun
Blok kelestarian desa dibagi menjadi beberapa unit kelestarian (petak
permanen) dengan pendekatan wilayah administrasi dusun/kampung.
Pendekatan wilayah administrasi dusun dalam menetapkan unit kelestarian,
berdasarkan pertimbangan bahwa wilayah dusun memiliki homogenitas yang
paling tinggi, yaitu homogenitas fisik, homogenitas ekonomi (unit usaha), dan
homogenitas sosial. Unit kelestarian dusun berfungsi sebagai unit administrasi
wilayah pengelolaan hutan terkecil yang memonitor kegiatan pengelolaan hutan
pada petak-petak permanen yang ada di dalam unit kelestarian.
Implikasi apabila dusun dikelola sebagai suatu unit kelestarian adalah
wilayah dusun yang saat ini termasuk kawasan hutan seperti Dusun Balanglohe
(semuawilayahnya termasuk kawasan hutan), Dusun Takehatu (80% wilayahnya
termasuk kawasan hutan), Dusun Mamappang (50% wilayahnya termasuk
kawasan hutan), Dusun Maddenge (terdapat 35 KK bermukim di dalam kawasan
hutan) dan wilayah dusun lainnya yang berada di dalam kawasan hutan tidak
perlu dienclave, akan tetapi ditata sedemikian rupa sehingga wilayah dusun
tersebut dapat mendukung fungsi kawasan hutan dimana dusun tersebut berada.
Kebijakan enclave yang selama ini dilakukan terhadap wilayah desa yang
termasuk dalam kawasan hutan melemahkan kewenangan institusi kehutanan
untuk menata wilayah tersebut dalam mendukung fungsi kawasan hutan. Hal ini
disebabkan karena kebijakan enclave merubah status kawasan hutan menjadi
bukan kawasan hutan sehingga wilayah tersebut tidak dapat dituntut untuk
berfungsi hutan, meskipun kondisi fisik wilayah tersebut secara teknis
seharusnya berfungsi hutan.

85 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
5) Unit Pemanfaatan

Unit kelestarian dusun dibagi menjadi unit-unit pemanfaatan atau unit


perlakuan yaitu unit-unit lahan homogen yang dapat menerima satu macam
perlakuan, mudah dikenal, dan tempatnya jelas. Unit pemanfaatan atau unit
perlakuan tersebut adalah kelompok lahan homogen yang dikelola oleh 10
kelompok tani, dan setiap kelompok tani terdiri atas 10 orang petani. Oleh karena
itu, unit pemanfaatan adalah unit usaha yang dikelola oleh kelompok tani. Selain
dikelola oleh kelompok tani, unit pemanfaatan juga dapat dikelola oleh lembaga
unit pengelolaan sebagai suatu unit usaha komersial. Luas satu unit
pemanfaatan adalah 200 ha. Desain pengelolaan masing-masing unit
pemanfaatan tergantung pada material tegakan (misalnya tegakan kemiri,
tegakan jati, kebun, ladang, dll), dan fungsi kawasan hutan.
b. Preskripsi Pengelolaan
Preskripsi pengelolaan adalah sejumlah kegiatan yang akan
diimplementasikan pada wilayah unit pengelolaan hutan untuk mencapai hasil
tertentu yang diinginkan. Kerangka desain preskripsi pengelolaan disajikan pada
Gambar 12.

86 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Preskripsi Pengelolaan

Kawasan Hutan
dan Lahan
Kondisi Klasifikasi
Penggunaan Management
Regime Lahan
Lahan oleh
Masyarakat
Lansekap Wilayah

Permintaan Lahan
Degradasi Hutan
Pengangguran
Analisis Sosial
Preskripsi Preskripsi
Ekonomi
pengelolaan hutan Silvikultur
oleh masyarakat
Produktivitas
Lahan

Gambar 12. Kerangka Desain Preskripsi Pengelolaan

Preskripsi pengelolaan hutan di wilayah unit pengelolaan Camara


diarahkan untuk mengatasi masalah struktur wilayah pedesaan seperti degradasi
hutan, permintaan lahan usahatani masyarakat, pengangguran, meningkatkan
produktifitas dan nilai lahan hutan, dan menghasilkan pangan untuk masyarakat
di sekitar hutan. Preskripsi pengelolaan meliputi klasifikasi lahan dan preskripsi
silvikultur.

87 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
1) Klasifikasi Lahan

Berdasarkan hasil analisis tata guna lahan, pengamatan lapangan, dan


diskusi dengan masyarakat desa-desa hutan, maka lahan kawasan hutan
diklasifikasi untuk mengadaptasikan struktur tataguna lahan paduserasi dengan
struktur penggunaan lahan oleh masyarakat.
Kawasan hutan diklasifikasi secara vertikal dan secara horisontal.
Klasifikasi lahan secara vertikal adalah membagi kawasan hutan menjadi tiga
regime yaitu, 1/3 bagian regime puncak, 1/3 bagian regime tengah, dan 1/3
bagian regime bawah. Pembagian secara vertikal menjadi 3 regime ini sesuai
dengan lanskap wilayah yang telah dibangun oleh masyarakat, serta mengacu
kepada UU N0. 41/1999 pasal 18 yang menyatakan bahwa pemerintah
menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan
penutupan hutan untuk setiap Daerah Aliran Sungai (DAS) minimal 30% dari
luas DAS dengan sebaran yang proporsional guna optimalisasi manfaat
lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
Klasifikasi lahan secara horisontal membagi kawasan hutan menjadi tiga
regime yaitu regime intensif, regime setengah intensif, dan regime tidak intensif.
Istilah regime intensif dan tidak intensif terkait dengan intensitas pengelolaan unit
usaha pada setiap regime. Luas wilayah masing-masing regime ditentukan oleh
faktor-faktor lanskap wilayah desa, jumlah penduduk, jarak permukiman dengan
kawasan hutan, dan fungsi kawasan hutan. Klassifikasi lahan tersebut secara
sederhana disajikan pada Gambar 13.

88 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Regim
Atas
Regime
Tengah
Regim
Bawah

Regime Regime Regime


Intensif Setengah Tidak
Intensif Intensif
= Pusat Pemukiman

Gambar 13. Klasifikasi Lahan Unit Pengelolaan Hutan

Klasifikasi lahan seperti pada Gambar 13 menunjukkan adanya regime-


regime pengelolaan (management regime) yang bersifat spesifik lokal sesuai
struktur wilayah pedesaan hutan. Contoh klasifikasi lahan yang dapat dijumpai
pada wilayah pedesaan hutan disajikan pada Gambar 14.

89 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Hutan Permanen
Kebun Intensif

Hutan Kemiri
Pemukiman

Sawah

Gambar 14. Contoh Klasifikasi Lahan Pada Unit Pengelolan Hutan

Klasifikasi lahan seperti pada Gambar 14 dapat dijumpai antara lain di


Desa Sawaru, Pattiro Deceng, Cenrana, Timpuseng, Limampoccoe, Mario
Pulana, Tellumpanuae, dan Desa Rompegading. Klasifikasi lainnya adalah
permukiman masyarakat langsung berbatasan dengan kawasan hutan seperti
dijumpai di Desa Benteng, Pattiro Deeceng, Barugae, Bentenge, Cenrana,
Labuaja, dan lain-lain. Klasifikasi lahan seperti diuraikan di atas telah
dipraktekkan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan faktor fisik lahan
seperti, kelerengan, ketinggian dari muka laut, kesuburan lahan, dan
ketersediaan air. Klasifikasi tersebut, saat ini cenderung mengalami perubahan
seiring dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat seperti, jumlah
penduduk yang meningkat berdampak kepada permintaan lahan yang juga
meningkat, aksesibilitas yang meningkat, kemampuan teknologi berusahatani
yang meningkat. Dampak perubahan tersebut secara nyata dapat dilihat dari
degradasi hutan akibat konversi kawasan hutan menjadi kebun atau ladang.

90 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
2) Preskripsi Silvikultur
Hasil analisis hubungan struktur wilayah pedesaan dengan tingkat
degradasi hutan ditemukan bahwa desa-desa dengan spesialisasi wilayah
adalah sektor kehutanan mengalami degradasi rendah, sedangkan desa-desa
dengan spesialisasi wilayah adalah sektor ladang mengalami degradasi hutan
tinggi. Oleh karena itu, preskripsi silvikultur hutan diarahkan untuk merubah
struktur pola penggunaan lahan ladang menjadi struktur pola penggunaan lahan
hutan.
Preskripsi silvikultur untuk merubah struktur tersebut harus bersifat
sequential system memproduksi tanaman pangan, hasil hutan bukan kayu, dan
hasil hutan kayu. Preskripsi pola perladangan masyarakat membangun hutan
kemiri adalah contoh preskripsi yang dapat merubah struktur tersebut di atas.
Pola perladangan masyarakat membangun hutan kemiri dimulai dengan
kegiatan tumpangsari selama tiga tahun pertama dengan areal tumpangsari
seluas 0,25 ha. Pembatasan luas areal tumpangsari tersebut menyesuaikan
dengan kemampuan petani membuka lahan dan alokasi waktu yang tersedia.
Pada tahun ke empat kegiatan tumpangsari berpindah pada areal lain
dengan luas yang sama yaitu 0,25 ha. Dengan masa tumpangsari selama 3
tahun dan dengan luas areal yang layak untuk menghidupi setiap KK petani rata-
rata seluas 2,0 ha, maka setiap KK memerlukan areal berladang berpindah
sebanyak 8 areal, yang akan dikelola secara berotasi selama jangka waktu 24
tahun. Siklus pemanfaatan lahan pola tumpangsari disajikan pada Gambar 15.

91 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Areal VI
(0,25 ha)
Tumpangsari
Areal VII tahun 16-18 Areal IV
(0,25 ha) (0,25 ha)
Tumpangsari Tumpangsari
Areal V tahun 10-12 Areal III
tahun 19-21
(0,25 ha) (0,25 ha)
Tumpangsari Tumpangsari
Areal VIII tahun 13-15 Areal II tahun 7 - 9
(0,25 ha) (0,25 ha)
Tumpangsari Tumpangsari
Areal I tahun 4 - 6
tahun 22-24
(0,25 ha)
Tumpangsari
tahun 1-3

Gambar 15. Siklus Pemanfaatan Lahan Pola Tumpangsari

Areal I dikelola secara tumpangsari dengan pohon kemiri selama 3 tahun


pertama, jarak tanam 5 x 5 m atau sebanyak 100 pohon kemiri padasetiap areal
ladang tumpangsari. Pada tahun ke 4, kegiatan tumpangsari berpindah ke Areal
II selama 3 tahun. Pada tahun ke 7 kegiatan tumpangsari berpindah ke Areal III
selama 3 tahun. Dengan demikain, areal seluas 2 ha/KK akan dikelola secara
tumpangsari selama 24 tahun. Apabila tanaman tahunan yang ditanam adalah
kemiri, maka pada tahun ke 5 kemiri pada areal I sudah mulai berbuah, pada
tahun ke 6 kemiri pada Areal II mulai berbuah, dan setersunya sehingga seluruh
areal sudah berbuah pada tahun 26. Usia produktif berbuah pohon kemiri
adalah 15 sampai 25 tahun. Oleh karena itu, sejak tahun ke 26, proses
regenerasi pola tumpangsari dapat dilakukan kembali pada Areal I, secara
berotasi seperti pada periode I. Demikainlah seterusnya, petani mengelola lahan
hutan kemiri seluas 2 ha secara berotasi.
3) Rotasi
Faktor jenis tanaman dan luas areal yang dikelola oleh setiap KK mejadi
pertimbangan dalam menentukan panjang rotasi. Untuk jenis tanaman kemiri
dengan luas areal kelola 2,0 ha/KK dapat mengikuti rotasi seperti pada Gambar

92 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
40, sedangkan untuk jenis tanaman yang lain seperti jati, mahoni, akasia,
menyesuaikan dengan rotasi masing-masing jenis.
Struktur wilayah pedesaan yang berbeda-beda juga dipertimbangkan
dalam menentukan panjang rotasi. Desa-desa dengan tekanan penduduk yang
tinggi, maka rotasi pengelolaan dapat dipersingkat, yaitu sesuai kondisi
kesuburan lahan untuk dapat dikelola kembali sebagai areal ladang tumpangsari.
Dalam hal ini, rotasi pengelolaan tidak mengikuti rotasi teknis atau rotasi
ekonomi dari tanaman pohon akan tetapi menyesuaikan masa bera lahan.
Sedangkan pada desa-desa dengan tekanan penduduk rendah, maka rotasi
pengelolaan hutan dapat mengikuti daur ekonomi tanaman pohon.
Penentuan rotasi yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan masyarakat
terhadap lahan usahatani disebut rotasi sosial. Makna kata sosial adalah
situasional dan dinamis sesuai kondisi spesifik wilayah pedesaan hutan, namun
tetap mendukung integrasi ekonomi, ekologi dan kelestarian. Hasil wawancara
dengan responden diketahui rotasi ladang yang ideal untuk hutan kemiri adalah
10 - 20 tahun. Oleh karena itu, dengan pola tumpangsari seperti pada Gambar
15 dan rotasi 10 tahun, maka luas lahan tumpangsari yang dikelola oleh setiap
Kepala Keluarga petani minimal 0,75 ha/KK.

c. Aspek Ekonomi Unit Pengelolaan Hutan

Dari segi ekonomi, preskripsi silvikultur yang digunakan akan memberikan


keuntungan bagi masyarakat dan kelembagaan unit pengelolaan. Keuntungan
ekonomi bagi masyarakat diperoleh dari kegiatan dalam sequential system
pembangunan hutan kemiri yaitu kegiatan tumpangsari, pemanenan buah kemiri,
dan pemanenan kayu kemiri pada akhir daur. Keuntungan ekonomi bagi
lembaga unit pengelolaan diperoleh dari kegiatan pelayanan publik yang
diberikan seperti fasilitasi pemasaran, penyediaan faktor-faktor produksi, dan
keuntungan dari unit usaha komersial yang dikelola oleh lembaga unit
pengelelolaan. Seluruh pendapatan yang dihasilkan dari sequential system
perladangan dan pendapatan yang diperoleh oleh lembaga unit pengelolaan
hutan dihitung sebagai pendapatan sektor kehutanan.

93 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Hasil pengamatan lapangan dan wawancara dengan responden
menunjukkan sequential system pembangunan hutan kemiri seperti disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tahun 1 sampai dengan tahun 24
dalam sequential system pembangunan hutan kemiri terjadi pergiliran areal
tanam dari areal I sampai areal VIII dengan pola perladangan berpindah. Setiap
areal tumpangsari dikelola secara intensif selama 3 tahun.
Pendapatan masyarakat dari sequential system pembangunan hutan
kemiri terdiri atas hasil tanaman tumpangsari yang diperoleh setiap tahun
sepanjang rotasi, panen buah kemiri mulai pada tahun 5 yang akan diperoleh
terus menerus secara berotasi, dan panen kayu kemiri mulai pada tahun 25 yang
juga akan diperoleh terus menerus secara berotasi.

94 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tabel 4. Kegiatan dalam Sequential System Pembangunan Hutan Kemiri untuk
Satu Rotasi 24 tahun

No. Kegiatan Waktu (tahun ke)

1. Pembukaan lahan, penanaman tanaman 1


tumpangsari dan pohon kemiri pada areal I
2. Penanaman tanaman tumpangsari pada areal I 2-3
3. Pembukaan lahan, penanaman tanaman 4
tumpangsari dan pohon kemiri pada areal
tumpangsari pada areal II
4. Penanaman tanaman tumpangsari pada areal II 5-6
5. Pembukaan lahan, penanaman tanaman 7
tumpangsari dan pohon kemiri pada areal
tumpangsari pada areal III
6. Penanaman tanaman tumpangsari pada areal III 8-9
Pembukaan lahan, penanaman tanaman 10
tumpangsari dan pohon kemiri pada areal
tumpangsari pada areal IV
Penanaman tanaman tumpangsari pada areal IV 11 - 12
Pembukaan lahan, penanaman tanaman 13
tumpangsari dan pohon kemiri pada areal
tumpangsari pada areal V
Penanaman tanaman tumpangsari pada areal V 14 - 15
Pembukaan lahan, penanaman tanaman 16
tumpangsari dan pohon kemiri pada areal
tumpangsari pada areal VI
Penanaman tanaman tumpangsari pada areal VI 17 - 18
Pembukaan lahan, penanaman tanaman 19
tumpangsari dan pohon kemiri pada areal
tumpangsari pada areal VII
Penanaman tanaman tumpangsari pada areal VII 20 - 21
Pembukaan lahan, penanaman tanaman 22
tumpangsari dan pohon kemiri pada areal
tumpangsari pada areal VIII
Penanaman tanaman tumpangsari pada areal VIII 23 - 24
Pemeliharaan pohon kemiri 1 - 24
Pemanenan buah kemiri 5 - 24
Pemanenan kayu kemiri 25 akhir daur

95 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Hasil penelitian diperoleh nilai pendapatan tumpangsari pola berladang
berpindah rata-rata sebesar Rp. 1.725.631/tahun dengan luas areal perladangan
rata-rata 0,5 ha. Mengacu pada nilai pendapatan tersebut, maka dengan areal
tumpangsari seluas 0,25 ha, petani akan mendapatkan pendapatan dari
tanaman tumpangsari rata-rata sebesar Rp. 862.815,-/tahun. Hasil penelitian
didapatkan pula bahwa umur produkrif pohon kemiri untuk memproduksi buah
kemiri adalah 15 25 tahun, dengan produksi rata-rata sebesar 1 kg/pohon,
sedangkan pada umur 5 14 tahun, produksi buah kemiri rata-rata sebesar 0,5
kg/pohon. Produksi buah kemiri pada areal tumpangsari seluas 0,25 ha selama
satu rotasi disajikan pada Tabel 6.

96 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tabel 6. Produksi Buah Kemiri pada Areal Tumpangari Pola Perladangan Berpindahl Luas 0,25 ha, Jarak Tanam 5x5 m

Areal Produksi Kemiri Menurut Tahun (kg)


Tumpangsari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Areal I V V V V 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Areal II V V V V V V V 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 100 100 100 100 100 100 100

Areal III V V V V V V V V V V 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 100 100 100 100

Areal IV V V V V V V V V V V V V V 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 100

Areal V V V V V V V V V V V V V V V V V 50 50 50 50 50 50 50 50

Areal VI V V V V V V V V V V V V V V V V V V V 50 50 50 50 50

Areal VII V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V 50 50

Areal VIII V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V

Jumlah - - - - 50 50 50 100 100 100 150 150 150 200 250 250 300 350 350 400 450 450 500 550

Keterangan V = Produksi tanaman tumpangsari

97 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tabel 6 menunjukkan produksi buah kemiri selama satu rotasi
perladangan antara 50 kg sampai 550 kg. Harga buah kemiri pada saat
penelitian rata-rata sebesar Rp. 7000,-/kg, yang berarti bahwa pendapatan
masyarakat dari buah kemiri selama satu rotasi rata-rata sebesar Rp. 350.000,-
sampai Rp. 3.850.000,
Pada setiap akhir rotasi, masyarakat akan memperoleh pendapatan dari
kayu kemiri hasil tebangan untuk persiapan lahan pada regenerasi rotasi
berikutnya. Kayu kemiri dijual oleh masyarakat dalam bentuk kayu bantalan
dengan harga (dimuat di pinggir jalan) sebesar Rp. 300.000,-/m3 atau dalam
bentuk pohon berdiri, dengan harga rata-rata sebesar Rp. 40.000,-/pohon. Cara
penjualan yang banyak dipilih oleh masyarakat adalah menjual pohon berdiri,
karena harga yang diterima merupakan pendapatan bersih petani. Biaya
penebangan dan penyaradan ke pinggir jalan desa ditanggung oleh pembeli.
Besarnya pendapatan dari kayu kemiri adalah sebesar Rp. 4000.000,-/tahun,
dimulai pada tahun 25 yang akan diperoleh secara berotasi.
Nilai pendapatan dalam sequential system kegiatan pembangunan hutan
kemiri disajikan pada Tabel 7, dan secara grafis disajikan pada Gambar 16.

98 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tabel 7. Nilai Pendapatan pada Sequential System Kegiatan Pembangunan
Hutan Kemiri

Nilai Pendapatan (Rp)


Tahun Total (Rp)
Tumpangsari Buah Kemiri Kayu Kemiri
1 862.815 0 0 862.815
2 862.815 0 0 862.815
3 862.815 0 0 862.815
4 862.815 0 0 862.815
5 862.815 350.000 0 863.165
6 862.815 350.000 0 863.165
7 862.815 350.000 0 863.165
8 862.815 700.000 0 1.562.815
9 862.815 700.000 0 1.562.815
10 862.815 700.000 0 1.562.815
11 862.815 1.050.000 0 1.912.815
12 862.815 1.050.000 0 1.912.815
13 862.815 1.050.000 0 1.912.815
14 862.815 1.400.000 0 2.262.815
15 862.815 1.750.000 0 2.612.815
16 862.815 1.750.000 0 2.612.815
17 862.815 2.100.000 0 2.962.815
18 862.815 2.450.000 0 3.312.815
19 862.815 2.450.000 0 3.312.815
20 862.815 2.800.000 0 3.662.815
21 862.815 3.150.000 0 4.012.815
22 862.815 3.150.000 0 4.012.815
23 862.815 3.500.000 0 4.362.815
24 862.815 3.850.000 0 4.712.815
25 862.815 2.800.000 4.000.000 7.662.815

99 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
9000000
8000000
7000000
Pendapatan (Rp)
6000000
5000000 Tahun
4000000 Pendapatan
3000000
2000000
1000000
0
1 4 7 10 13 16 19 22 25
Tahun

Gambar 16. Pendapatan dalam Sequential System Pengelolaan Hutan Kemiri

Tabel 7 dan Gambar 16 menjelaskan secara lebih informatif tentang nilai


pendapatan dalam sequential system pembangunan hutan kemiri yang berasal
dari tanaman tumpangsari, buah kemiri, dan kayu kemiri yang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Tabel tersebut menunjukkan pendapatan yang
bersifat berkesinambungan yang diperoleh petani dari pengelolaan hutan kemiri.
Pada tahun 25, kegiatan tumpangsari kembali dilakukan pada areal I, dan pada
saat yang sama, tegakan kemiri sebanyak 100 pohon yang dibangun pada tahun
1 ditebang, dan pada saat yang sama pula produksi buah kemiri dari petak I
tidak diperoleh lagi. Nilai pendapatan dari hasil penebangan pohon kemiri
tersebut adalah sebesar Rp. 4.000.000,-/tahun.
d. Kelembagaan
Kelembagaan unit pengelolaan hutan merupakan struktur yang akan
melaksanakan infrastruktur pengurusan dan pengelolaan hutan yang telah
dibangun oleh pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten
Maros, dengan tetap memperhatikan kelembagaan masyarakat lokal. Sebagai
struktur, kelembagaan unit pengelolaan hutan akan memberikan pelayanan
publik kehutanan kepada masyarakat di wilayahnya dan melakukan kegiatan
pengelolaan hutan secara mandiri yang terintegrasi dengan unit-unit usaha
kehutanan masyarakat. Oleh karena itu, kelembagaan unit pengelolaan adalah

100 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
pemangku wilayah yang bertanggung jawab atas pengelolaan sumberdaya hutan
di wilayah Camara. Wilayah pelayanan unit pengelolaan ini disebut wilayah
pelayanan mikroforestry. Kerangka desain kelembagaan unit pengelolaan
kehutanan masyarakat disajikan pada Gambar 17.

Desain Kelembagaan

UU No. 41/1999
PP No. 44/2004 Struktur Analisis Lokasi
Wilayah Kelembagaan Analisis Struktural
Administrasi Unit Analisis sosial
Wilayah Pengelolaan Ekonomi
Kehutanan
Pengembangan Analisis
Hutan Masyarakat
Kelembagaan
Wilayah Pasar
Fungsional

Gambar 17. Kerangka Desain Kelembagaan Unit Pengelolaan Kehutanan


Masyarakat
Mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004, Pasal 32 ayat
(2) lembaga unit pengeloaan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pengelolaan hutan yang meliputi, (1) perencanaan pengelolaan, (2)
pengorganisasian, (3) pelaksanaan pengelolaan, serta (4) pengendalian dan
pengawasan. Sebagai konsekwensi dari tanggung jawab tersebut dan dengan
mempertimbangkan struktur wilayah pedesaan hutan di wilayah Camara, maka
perlu dikembangkan struktur kelembagaan pada unit pengelolaan hutan.
Berdasarkan hasil analisis struktur wilayah pedesaan, struktur wilayah
pengelolaan hutan, dan hasil analisis model struktural pengelolaan hutan kemiri
maka struktur kelembagaan unit pengelolan kehutanan masyarakat terdiri atas,
Kepala Unit Pengelolaan yang berkedudukan di Cempaniga, dibantu oleh
tenaga-tenaga teknis yang berkedudukan di wilayah sub unit pengelolaan, blok
kelestarian desa, dan unit kelestarian dusun. Fungsi masing-masing struktur
tersebut diuraikan sebagai berikut:

101 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
1) Kepala Unit Pengelolaan (KUP)

Kepala Unit Pengelolaan (KUP) adalah penanggungjawab operasional


pengelolaan hutan pada tingkat unit pengelolaan yang merupakan
perpanjangan tangan dari kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Maros. Secara umum fungsi KUP adalah:
a) Melaksanakan administrasi pelayanan publik kehutanan dan pengelolaan
hutan pada tingkat wilayah unit pengelolaan.
b) Penangung jawab teknis operasional seluruh kegiatan pengelolaan hutan
pada wilayah unit pengelolaan.
c) Melaksanakan kebijakan pengembangan usaha kehutanan sesuai yang telah
digariskan oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan.
d) Menetapkan kebijakan sesuai pedoman dan petunjuk teknis yang telah dibuat
oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan.
e) Menyiapkan rencana jangka panjang, jangka menengah, dan rencana kerja
unit pengelolaan dengan persetujuan Kepala Dinas Kehutanan dan
Perkebunan.
f) Melakukan kerjasama usaha dengan badan usaha lain yang saling
menguntungkan untuk berkembangnya unit pengelolaan dan unit usaha
kehutanan masyarakat dengan persetujuan Kepala Dinas Kehutanan dan
Perkebunan.
g) Menfasilitasi pembentukan, penguatan, dan pengembangan usaha komersial
dan kelompok usaha kehutanan masyarakat.
h) Mengkoordinir, mengarahkan, dan memberikan petunjuk teknis kepada para
kepala sub unit pengelolaan dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan
hutan di lapangan.
i) Mengelola unit usaha komersial yang terintegrasi dengan unit usaha
kehutanan masyarakat.
2) Kepala Sub Unit Pengelolaan (KSUP)
Kepala Sub Unit Pengelolaan (KSUP) adalah unit pelaksana teknis
pengelolaan hutan yang berada pada wilayah sub unit pengelolaan dan
bertanggungjawab terhadap kegiatan pengelolan hutan yang ada dalam

102 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
wilayah sub unit pengelolaan. KSUP menfasilitasi kegiatan administratif dan
operasional kegiatan pengelolaan hutan pada tingkat sub unit pengelolaan
sesuai kebijakan pengelolaan yang digariskan KUP.
Tugas pokok KSUP adalah membangun proses pengelolaan hutan
berbasiskan masyarakat sesuai karakteristik lokal desa (ekonomi, sosial
budaya, dan potensi biofisik). Untuk membangun proses tersebut, maka fungsi
KSUP adalah sebagai berikut:
a) Menfasilitasi tata guna hutan di wilayah sub unit pengelolaan secara
partisipatif sebagai prakondisi untuk menciptakan kepastian status dan hak
terhadap kawasan hutan yang akan dimanfaatkan berdasarkan keadaan
potensi dan keadaan kawasan hutan yang sebenarnya di lapangan.
b) Menfasilitasi pembangunan bisnis berbsis kehutanan, menyangkut sub
sistem pengadaan dan distribusi input (sarana produksi), pengembangan
kegiatan produksi (budidaya), pengolahan hasil, pemasaran hasil, serta
kegiatan-kegiatan pendukung seperti penelitian, pelatihan, penyuluhan, dan
lain-lain.
c) Memberi rekomendasi perizinan usaha sebagai salah satu syarat
memperoleh izin usaha dari institusi kehutanan kabupaten Maros.
d) Melaksanakan fungsi administrasi terhadap pelaksanaan sub unit
pengelolaan dalam wilayah administrasinya, antara lain menyangkut
pembukuan (registrasi), jenis dan jumlah unit usaha yang ada pada sub unit
pengelolaan, dan lain-lain.
e) Penanggung jawab teknis operasional seluruh kegiatan pengelolaan hutan
pada tingkat wilayah sub unit pengelolaan.
f) Melakukan koordinasi dengan pemerintah kecamatan dan pemerintah desa
dalam hal sinkronisasi pengeloaan areal sub unit pengelolaan dengan
tataguna lahan tingkat kecamatan/desa.
g) Melakukan koordinasi dan konsultasi kepada Mandor Blok Kelestarian Desa
dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan.
h) Mengelola unit usaha komersial yang terintegrsi dengan unit usaha
kehutanan masyarakat.

103 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
3) Mandor Blok Kelestarian Desa (MBKD)
Berdasarkan desain wilayah unit pengelolaan, wilayah desa ditetapkan
sebagai satu blok kelestarian yang terdiri atas unit-unit kelestarian dusun. Oleh
karena peran kepala desa sangat strategis dalam pengelolan hutan, maka
mandor blok kelestarian seyogyanya adalah kepala desa. Fungsi kepala desa
sebagai mandor blok kelestarian adalah:
a) Memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dan kelompok usaha
kehutanan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan di tingkat unit
kelestarian dusun.
b) Melaksanakan kegiatan teknis pengawasan dalam wilayah yang ditugaskan
kepadanya
c) Membantu KSUP mengelola sumberdaya hutan di desa.
d) Membantu KSUP untuk mengembangkan unit usaha komersial dan
kelompok usaha kehutanan masyarakat pada unit-unit kelestarian dusun.
e) Melakukan pengawasan pengelolaan hutan oleh kelompok usaha
kehutanan masyarakat atau tenaga kerja yang bekerja pada kegiatan
pengelolaan hutan di areal unit usaha komersial.
f) Menfasilitasi pembentukan dan operasionalisasi kelompok usaha komersial
pada unit kelesarian dusun
g) Menfasilitasi pembentukan kelompok usaha kehutanan masyarakat pada
unit kelestarian dusun termasuk fasilitasi pembuatan, (1) aturan internal
kelompok untuk penyelesaian konflik, (2) aturan-aturan menyangkut
pengelolan areal, (3) perencanaan lokasi unit usaha kehutanan masyarakat.
h) Kelompok tani diluar areal unit usaha komersial dapat melakukan
kerjasama dengan mandor dalam hal fasilitasi penyediaan sarana produksi
dan pemasaran hasil. Kerjasama ini dimaksudkan untuk meningkatkan
keberdayaan petani pada wilayah unit pengelolaan.
4) Unit Kelestarian Dusun
Unit kelestarian dusun terdiri atas kelompok-kelompok usaha kehutanan
masyarakat. Ketua kelompok pada unit kelestarian dusun bertanggung jawab
kepada mandor blok kelestarian desa dalam hal pengelolaan hutan pada unit

104 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
kelestarian dusun. Kelompok usaha kehutanan masyarakat, melakukan
pengelolaan unit-unit usaha secara kolektif di dalam dan di luar kawasan hutan,
bekerjasama dengan kelembagaan unit pengelolaan. Kelompok usaha
kehutanan masyarakat berkewajiban melakukan pengamanan swadaya
terhadap areal pada unit kelestarian dusun.
5) Unit Usaha Komersial
Unit usaha komersial adalah unit usaha yang dikelola oleh unit pengelolaan.
Unit usaha tersebut dapat berupa kegiatan pemanfaatan hasil hutan,
rehabilitasi, pemasaran hasil unit-unit usaha masyarakat, penyediaan sarana
produksi, dan usaha lainnya.

6) Lembaga Pendukung
Merupakan lembaga independen yang dapat mendukung atau menjadi
mitra dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan. Lembaga pendukung
tersebut terdiri atas, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, LSM, Lembaga
Keuangan, dan Dunia Usaha. Lembaga pendukung terutama diperlukan dalam
kegiatan penyiapan dan pendampingan masyarakat, peningkatan SDM,
permodalan dan pemasaran, pengembangan usaha masyarakat serta
penerapan teknologi.
e. Keunggulan Desain Unit Pengelolaan Kehutanan Masyarakat
Desain unit pengelolaan kehutanan masyarakat memiliki keunggulan
dibanding konsep unit pengelolaan hutan yang dipraktekkan pada pengelolaan
hutan selama ini seperti unit pengelolaan HPH dan HTI. Kunggulan tersebut
meliputi:
1) Wilayah unit pengelolaan kehutanan masyarakat mengintegrasikan konsep
wilayah homogen, konsep wilayah administrasi, dan konsep wilayah
fungsional sehingga pengelolaan menjadi lebih efektif dan efisien.
2) Wilayah unit pengelolaan tidak terbatas pada sutau fungsi kawasan hutan
tetapi mencakup seluruh kawasan hutan yang berada di dalam wilayah
integrasi tersebut pada ponit (a).
3) Pengelolaan kawasan hutan dapat pula diintegrasikan dengan lahan di luar
kawasan hutan yang berpotensi untuk dikelola sebagai hutan rakyat.

105 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
4) Kelembagaan unit pengelolaan hutan terstruktur sampai pada level wilayah
administrasi dusun sehingga memudahkan pengawasan.
5) Pengelolaan unit pengelolaan mengacu kepada model struktural pengelolaan
hutan yang dipraktekkan oleh masyarakat sehingga lebih mudah diterima
oleh masyarakat.
6) Menerapkan konsep rotasi sosial yang fleksibel sesuai kondisi spesifik
wilayah pedesaan hutan, namun tetap mendukung integrasi ekonomi,
ekologi, dan kelestarian.
7) Pembangunan unit pengelolaan hutan yang berfokus pada membangun
wilayah dan kelembagaan pengelola dapat menciptakan kepastian
masyarakat berusaha di dalam kawasan hutan serta meningkatkan peran
sektor kehutanan dalam perekonomian wilayah.

Rujukan: Davis, K.P. 1978, Beberapa Kebijakan pemerintah yang terkait dengan
Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)

Latihan Soal-Soal

106 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BAB
VI
Wilayah 1. Perencanaan
Pengelolaan Kehutanan
Provinsi 2. Pengelolaan

PENGATURAN HASIL HUTAN


Pengurusan 3. Litbang, Diklat
Luh
Wilayah 4. Pengawasan
Pengelolaan
Kabupaten
1. Tata hutan
2. Pemanfaatan
Unit 3. Rehabilitasi
Pengelolaan Pengelolaan
4. Perlindungan
5. Konservasi

Pokok Bahasan : PengaturanKawasan


Hasil Hutan
ada Hak
IUPHHK
Kriteria Kelembagaan Kawasan tdk ada Hak
Tujuan Umum : Memahami dasar-dasar dan metode Ijin Lain

Kawasan Konflik
pengaturan hutan.

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab VI, mahasiswa/i


mampu: (1) menjelaskan dasar-dasar
pengaturan hutan, (2) menggunakan
metode-metode pengaturan pada hutan
seumur dan hutan tidak seumur.

A. Dasar-Dasar Pengaturan Hasil Hutan


Pengusahaan hutan mempunyai beberapa sifat yang khas, yang
membedakannya dengan jenis perusahaan atau bentuk pemanfaatan lahan
yang lain. Salah satu sifat khas pengusahaan hutan adalah waktu yang sangat
panjang untuk mencapai saat pemanenan. Di lain pihak, pengelolaan hutan
selalu didasarkan pada asas kelestarian sumberdaya, yakni pemungutan hasil
hutan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mengurangi potensi
hasil di lapangan. Kedua hal tersebut mendorong perlunya pengaturan hasil
hutan, agar kegiatan pemungutan hasil dapat dilakukan secara terus menerus
tetapi tidak menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya hutan, bahkan
sedapat mungkin membantu meningkatnya kualitas hutan. Oleh karena itu,

107 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
teori pengaturan hasil hutan juga sudah lahir sejak kegiatan pengelolaan hutan
yang berlandaskan asas kelestarian dimulai. Beberapa penulis sepakat bahwa
dikeluarkannya Ordonansi Hutan oleh Raja Louis XIV di Perancis tahun 1669,
merupakan cikal bakal lahirnya pengelolaan hutan yang menganut asas
kelestarian.
Pengaturan hasil hutan diperlukan untuk menghitung volume kayu yang
boleh ditebang pada setiap tahun, agar jumlah tebangan selama periode
tertentu sama dengan jumlah riap dari seluruh tegakan. Dengan demikian,
pengaturan hasil merupakan bagian kegiatan pengelolaan hutan yang perlu
mendapat perhatian. Pertanyaannya adalah bagaimana menentukan besarnya
tebangan tahunan agar kelestarian hutan dapat terjamin?
Dalam menghitung besarnya tebangan tahunan (Allowable Annual Cut =
ACC, atau Jatah Tebangan Tahunan = JTT) diperlukan beberapa masukan
(input), antara lain, besarnya potensi tegakan hutan (growing stock), besarnya
riap tegakan (increment), luas areal yang dikelola secara efektif, tujuan
pengelolan hutan, panjang rotasi, dan sistem silvikultur yang diterapkan
(tebang habis atau tebang pilih).

B. Metode Pengaturan Hutan Seumur

Suatu hutan dikatakan memiliki aturan seumur apabila hutan tersebut


memiliki penyebaran umur luas areal yang ideal, dimana setiap umur memiliki
suatu areal dalam rotasi. Hutan seumur yang teratur ini adalah suatu hutan
teoritis, hutan model yang memiliki volume tegakan dan pertumbuhan yang
optimal. Hutan model ini memiliki ciri-ciri:
Luas areal atau volume yang sama dipanen setiap tahun
Investasi minimum pada hutan yang sedang tumbuh untuk mendapatkan
hasil optimal, tidak ada kelebihan volume kayu yang sedang tumbuh
(growing stock) yang dipertahankan

108 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Distribusi umur dan keadan yang paling besar dalam rotasi sehingga resiko
kehilangan karena api, serangga dan lain-ain dapat ditekan sampai
semaksimal mungkin.
Adapun kegunaan konsep hutan model yang teratur tersebut adalah
sebagai berikut:

Sederhana, mudah dipahami, mudah dimengerti


Suatu acuan untuk dibandingkan dan dihubungkan dengan hutan-hutan
sebenarnya termasuk distribusi umur dan areal
Hubungan yang tepat antara stok tumbuh, pertumbuhan, volume tegakan,
areal tebangan dapat digunakan pada hutan yang sebenarnya.

Dengan demikian, diperlukan modifikasi-modifikasi agar hubungan


tersebut dapat dipraktekkan dalam dunia nyata. Semua tindakan beserta
akibat-akibatnya dapat diperhatikan secara mudah. Akibat-akibat suatu usul
program dapat dilihat.
Metode untuk melaksanakan tebangan pada hutan-hutan yang memiliki
sistim atau aturan tegakan seumur adalah sebagai berikut:

a. Metode Berdasarkan Luas

Adalah suatu metode untuk menentukan panen tahunan atau panen


berkala dari suatu hutan berdasarkan alokasi areal. Hal ini dapat diperlihatkan
oleh rumus sebagai berikut:

Areal Tebangan Tahunan = Areal hutan total


rotasi

Dengan demikian, terdapat areal tebangan tahunan yang sama jumlahnya


dengan banyaknya tahun dalam rotasi. Setiap tahun hanya akan ditebang
hutan yang terletak pada petak tertentu. Tebangan pada tahun-tahun
berikutnya akan dilakukan secara berurutan sehingga pada akhir daur seluruh
petak yang ada telah mengalami satu kali penebangan.
Contoh:

109 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Kawasan hutan seluas 3.200 ha, dengan daur 20 tahun, akan dibagi menjadi
20 petak yang masing-masing luasnya 3.200/20 = 160 ha. Setiap petak akan
diberi nomor urut, yang merupakan tanda tentang kapan petak tersebut
ditebang.
Hasil-hasil yang diperoleh dari aturan luas ini antara lain:

Jika aturan luas ini diteruskan untuk suatu rotasi, maka kita akan dapatkan
distribusi umur luas areal yang sempurna pada rotasi kedua tanpa
memperdulikan keadaan sekarang.
Kita memiliki program penebangan yang jelas dan sederhana. Karena kita
menebang luas areal yang sama setiap tahun, maka kita dapat menentukan
waktu dan tempat penebangan untuk seluruh masa rotasi.
Hasil tahunan dapat melonjak tidak beraturan pada rotasi sekarang, namun
hal ini akan teratur pada rotasi kedua.

b. Metode Berdasarkan Volume

Adalah suatu metode untuk menentukan panen tahunan atau panen


berkala dari suatu hutan berdasarkan volume. Dengan cara ini, kita
menentukan volume kayu yang akan ditebang, kemudian menebang
secukupnya setiap tahun sampai volume yang diinginkan tercapai. Hal ini
berarti, luas areal tebangan tahuan berbeda-beda, tergantung pada variasi
kesuburan tanah dan kerapatan tegakan. Untuk itu, dilakukan klasifikasi
kesuburan tanah antara subur, sedang, dan kurus atau klasifikasi kerapatan
tegakan antara rapat, sedang, dan jarang. Agar diperoleh satuan yang
mempunyai potensi volume kayu yang sama, maka ditentukan luas ekivalen
dengan standar kawasan hutan yang mempunyai kesuburan/kerapatan
sedang. Penentuan luas ekuivalen tersebut didasarkan pada hasil normal untuk
masing-masing kelas kesuburan/kerapatan tegakan.
Contoh:
Areal hutan seluas 100.000 ha dikelola dengan rotasi tebang sepanjang 50
tahun. Dari hasil inventarisasi foto udara diperoleh informasi bahwa 40% areal
tersebut berkerapatan tinggi dengan potensi 50 m 3/ha. Sedangkan 40% lainnya

110 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
mempunyai kerapatan tegakan sedang dengan potensi sebesar 30 m 3/ha, dan
sisanya 20% berupa tegakan dengan kerapatan jarang dengan potensi
sebesas 20 m3/ha.

a) Berapa etat tebangan luas masing-masing apabila menggunakan aturan


luas dan menggunakan aturan volume
b) Buat analisis hasil tebangan tahunan.
Jawab:
a) Etat tebangan :
1) Menggunakan aturan luas:
Etat tebangan tahunan = luas areal
Rotasi
= 100.000 ha
50 tahun
= 2.000 ha/tahun

2) Menggunakan aturan volume


Karena kerapatandan potensi hutan tidak sama, maka perlu dilaksanakan
penyetaraan terlebih dahulu ke dalam salah satu tingkat kerapatan atau
potensinya. Misalnya dilakukan penyetaraan ke dalam kerapatan tiggi (potensi
50 m3/ha), maka hasil penyetaraannya adalahsebagai berikut:

Kerapatan tinggi = 50/50 x 40.000 ha = 40.000 ha


Kerapatan sedang = 30/50 x 40.000 ha = 24.000 ha
Kerapatan jarang = 20/50 x 20.000 ha = 8.000 ha
Total hasil penyetaraan = 72.000 ha

Dengan demikian, etat tebangan tahunan untuk masing-masing kelas kerapatan


adalah sebagai berikut:

Kerapatan tinggi = 1/50 x 72.000 ha = 1.440 ha/tahun


Kerapatan sedang = 5/3 x 1.440 ha = 2.400 ha/tahun
Kerapatan jarang = 5/2 x 1.440 ha = 3.600 ha/tahun

Sehigga diperoleh hasil perhitungan etat yang tidak sama luas untuk masing-
masing kelas kerapatan tegakan. Tegakan dengan kerapatan tinggi ditebang

111 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dengan luasan yang tekrecil, dan terus meningkat dengan semaki kecilnya
tingkat kerapatan tegakan.
b) Analisis hasil tebangan tahunan:
1) Menggunakan aturan luas

Dengan luas tebangan tahunan sebesar 2000 ha/tahun untuk semua kelas
kerapatan, maka akan diperoleh hasil tebangan tahunan sebagai berikut:
Kerapatan tinggi = 2000 ha/tahun x 50 m3/ha
= 100.000 m3/tahun
Selama = (40.000 : 2000) tahun
= 20 tahun

Kerapatan sedang = 2000 ha/tahun x 30 m3/ha


= 60.000 m3/tahun
Selama = (40.000 : 2000) tahun
= 20 tahun

Kerapatan jarang = 2000 ha/tahun x 20 m3/ha


= 40.000 m3/tahun
Selama = (20.000 : 2000) tahun
= 10 tahun

2) Menggunakan aturan volume

Dengan luasan tebangan yang berbeda, maka dapat diperoleh hasil panenan
sebagai berikut:

Kerapatan tinggi = 1.440 ha/tahun x 50 m3/ha


= 72.000 m3/tahun
Selama = (40.000 : 1.440) tahun
= 28 tahun

Kerapatan sedang = 2.400 ha/tahun x 30 m3/ha


= 72.000 m3/tahun
Selama = (40.000 : 2.400) tahun
= 17 tahun

Kerapatan jarang = 3.600 ha/tahun x 20 m3/ha


= 72.000 m3/tahun
Selama = (20.000 : 3.600) tahun
= 5 tahun

112 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Hasil-hasil yang diperoleh dari pengaturan volume adalah:

Apabila terdapat ketidakteraturan distribusi umur luas areal di dalam


hutan sekarang, maka ketidakaturan tersebut akan diteruskan dan mungkin
diperbesar pada rotasi berikutnya
Areal yang akan ditebang tidak dapat diketahui dan ditentukan terlebih
dahulukarena volume tegakan berubah-ubah
Volume yang ditebang setiap tahun adalah tetap sehingga hal ini dapat
menunjukkan adanya kekekalan hasil paling sedikit pada tahun itu
Cara ini tidak memungkinkan adanya penyesuaian terhadap fluktuasi
permintaan pasar
Sejumlah volume akan dikorbankan karena beberapategakan sebelum
periode pertumbuhannya yang paling baik dan tegakan-tegakan lainnya
sudah terlampau tua.

c. Metode Berdasarkan Volume dan Riap

Dengan pembuatan luas petak yang berbeda-beda menurut aras


kesuburan/kerapatannya, ternyata belum dapat diperoleh volume tebangan
yang sama pada setiap tahun. Hal ini disebabkan oleh karena faktor kerapatan
sulit diperhitungkan karena sifatnya dapat berubah dalam jangka waktu yang
lebih singkat. Disamping itu, menurut pengalaman, penebangan hutan alam
telah mulai melahirkan tegakan seumur atau hampir sama umur. Dengan
demikian, akan dijumpai tegakan muda, tegakan berumur sedang, dan tegakan
tua. Potensi aktual tegakan mudah tentu lebih kecil dibanding tegakan berumur
sedang ataupun tegakan tua, tetapi di lain pihak, tegakan muda mempunyai
laju pertumbuhan (riap) yang lebih besar dibanding dengan tegakan sedang
dan tegakan tua. Dari sini lahirlah metode pengaturan hasil hutan yang
didasarkan pada volume dan riap tegakan.
Contoh klassik tentang metode pengaturan hasil berdasarkan volume dan
riap tegakan ini adalah rumus Von Manthel. Disini, dengan bertambahnya
umur, volume tandon tegakan diasumsikan berkembang secara uniform

113 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
menurut garis lurus. Volume tandon tegakan di seluruh kawasan hutan
produktif dapat dinyatakan dengan luas segi tiga, dengan alas berupa panjang
daur dan tinggi berupa volume tegakan pada akhir daur. Secara umum, rumus
untuk menghitung volume tegakan menurut metode Von Manthel adalah
sebagai berikut:

2 x GS
JTT = -----------
r

dimana:

JTT = Jatah Tebang Tahunan (m3)


GS = Volume tandon tumbuh (actual growing stock)
r = Panjang rotasi (tahun)

Rumus tersebut dapat pula ditulis menjadi:

GS = JTT x r x 0,5

yaitu sesuai dengan rumus luas segi tiga yang merupakan perkalian antara alas
dengan setengah tinggi..
Contoh:

Areal hutan seluas 600 ha, rotasi 40 tahun, dengan distribusi umur-areal yang
tidak teratur sebagai berikut:

Total
Luas Potensi % Luas
Kelas Umur Volume
(ha) (m3/ha) Areal
(m3)
1 10 195 - 32,5 -
21 30 45 2.950 7,5 132.750
31 40 210 3.520 35,0 739.200
41 - 50 150 3.850 25,0 577.500
Jumlah 600 100,0 1.449.450

Schlagel (1971), berdasarkan hasil penelitiannya mendapatkan Tabel


Hasil sebagai berikut:

114 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Umur Hasil
(tahun) (m3/ha)
20 2.570
25 2.950
30 3.270
35 3.520
40 3.700
45 3.850
50 3.980
55 4.080
60 4.170

Hitung jatah tebangan tahunan dengan menggunakan rumus Von Mantels,


sebagai berikut:
Yr x R
GS = ------------
2

2 GS
atau Yr = ----------
R
Dimana: GS = Growing Stock
Yr = hasil yang diperoleh pada umur rotasi
R = panjangrotasi

Dengan menggunakan rumus di atas, maka jatah tebang tahunan dapat


diestimasi sebagai berikut:
2 (1.449.450)
JTT = --------------------
40
= 72.472 m3

Agar target tebangan dapat terpenuhi (tidak terlambat atau terlalu cepat
menebang) maka perlu dibuat tabel pengaturan volume (volume regulation table)
sebagai berikut:

115 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Volume
Areal
Perkiraan Umur Umur Hasil Total yang Lama
Umur dalam
Lama Permulaan Akhir Jangkauan Rata- Tersedia Berlangsung
Sekarang Kelas
Penebangan Menebang Menebang Hasil (m3/ha) rata untuk Penebangan
(tahun) Umur
(tahun) (tahun) (tahun) (m3/ha) Ditebang (tahun)
(ha)
(m3)
41 - 50 10 50 51 3.980 4.000 3.990 150 598.500 8,3
8 50 49 3954 - 3.980 3.967 150 595.050 8
31 - 40 14 48 53 3.928 4.040 3.984 210 836.640 11,5
12 48 51 3.928 4.000 3.964 210 832.440 12
21 - 30 3 50 44 3.820 - 3.980 3.900 45 175.500 3
1 - 10 13 33 37 3.420 3.592 3.506 195 683.670 9,4
9 33 33 3.420 3.420 195 666.920 9

Lama waktu penebangan = 8 + 12 + 3 + 9 = 32 tahun


Umur pohon termudah yang ditebang adalah 33 tahun
Umur pohon tertua yang ditebang adalah 51 tahun

116 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Akan tetapi rumus Von Mantel tersebut hanya benar untuk panjang daur
tertentu saja (lihat Gambar 4), yaitu pada waktu luas bidang (a) persis sama
dengan luas bidang (b), karena grafik perkembangan CAI sebenarnya tidak
mengikuti garis lurus, melainkan membentuk sigmoid

Volume

CAI

r
Gambar 18.

Untuk mengoreksi kesalahan tersebut, Flurry mengitung suatu konstanta


yang menggantikan eksponen tinggi segi tiga yang dalam rumus di atas
besarnya sama dengan setengah. Konstanta Flurry dihitung dengan rumus:

c = V1 + V2 + + Vr/2
Vr x r

dimana:

c = konstanta Flurry

117 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Vn= volume tegakan (m3/ha) pada umur n, dengan n berkisar antara 1 tahun
sampai akhir daur
Vr= volume tegakan (m3/ha) pada akhir daur
r = panjang daur (tahun)

Metode pengaturan hasil hutan berdasarkan growing stock sebenarnya


hanya memberi gambaran kasar tentang taksiran volume tegakan. Rumus Von
Monthel mengabaikan sebaran kelas umur dan riap masing-masing. Padahal,
sebaran dari tegakan dan riap masing-masing kelas umur tersebut sangat
berpengaruh terhadap tebangan tahunan.
Pengaturan hasil hutan berdasarkan tandon tegakan dan riap, juga dibuat
rumus oleh Heyer (Austria) sebagai berikut:

JTT = ia + GS NG
P

dimana:

JTT = Jatah tebang Tahunan (m3)


Ia = riap tahunan (m3)
GS = tandon tegakan lapangan (m3)
NG = tegakan yang diharapkan, diperoleh dari tabel
tegakan atau data empirik
P = jangka waktu perencanan (tahun)

d. Kombinasi Luas dan Volume

Pengaturan hasil berdasarkan kombinasi luas dan volume dapat


melengkapi kebaikan masing-masing. Oleh karena itu, dapat memecahkan
sebagian besar masalah yang dihadapi dalam pengaturan hasil.
2. Pengaturan Hutan Tidak Seumur
Hutan tidak seumur terdiri atas tegakan-tegakan yang memiliki pohon-
pohon yang berbeda umur pada tiap tegakan atau pada tegakan-tegakan
tersebut terdapat tiga atau lebih kelas umur yang tercampur pada setiap
tegakan. Metode silvikultur yang akan melestariakn sifat-sifat hutan tidak
seumur adalah tebang seleksi atau tebang pilih.

118 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Suatu hutan dikatakan memiki aturan tidak seumur apabila terdapat
distribusi umur yang ideal dalam setiap tegakan. Di dalam hutan yang
demikian, jumlah areal tebangan tahunan adalah sama dengan banyaknya
tahun dalam siklus tebangan. Banyaknya variasi umur pohon-pohon dalam
suatu areal tebangan tahunan adalah sama dengan siklus tebang.
Umur dari pohon-pohon pada setiap areal penebangan tahunan berbeda-
beda satu sama lain sebanyak jumlah tahun dalam siklus tebangan. Jelas
bahwa jumlah pohon-pohon muda akan lebih banyak dari pohon-pohon tua
pada setiap areal tebangan tahunan.
Pohon-pohon secara sendiri-sendiri atau kelompok pohon-pohon diseleksi
dan ditandai pada suatu tegakan tidak seumur pada interval-interval siklus
tebangan. Pohon-pohon yang ditandai untuk ditebang didalam tegakan tidak
seumur adalah: jenis pohon yang tidak dikehendaki, pohon rusak atau
pertumbuhan tidak memadai, jenis pohon yang diinginkan dan telah masak
tebang, dan pohon-pohon yang menghalangi atau merintangi pertumbuhan
spesies yang lebih baik.
Jumlah pohon-pohon pada setiap kelas diameter dalam suatu tegakan
dapat dilukis dengan kurva De Liocourt. Kurva ini digambar dari Hukum De
Liocourt yang menyatakan bahwa perbandingan (ratio) q antara jumlah
pohon-pohon di dalam kelas-kelas diameter yang berdekatan didalam suatu
tegakan tidak seumur adalah suatu bilangan tetap. Dengan demikian, kurva
De Liocourt ini berbentuk J terbalik sebagai berikut:

119 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
N

Kelas Diameter

Rumus dari Hukum De Liocourt adalahsebagai berikut:

y = k e-ax

dimana:

y = jumlah pohon per kelas diameter


k = suatu konstanta dari suatu distribusi kelasdiameter
yang khas
e = 2,71828183
x = kelas diamter

Hubungan yang terdapat pada kurva di atas dipergunakan sebagai


petunjuk untuk menentukan distribusi jumlah dan besarnya pohon-pohon yang
diinginkan dalam tegakan tidak seumur. Selama interval siklus penebangan,
pertumbuhan pohon-pohon dalam tegakan tidak seumur menggeser kurva
tersebut di atas ke kanan seperti terlihat pada Gambar berikut:

120 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
N

Kelas Diameter

Penebangan pada setiap interval siklus tebangan bertujuan


mengembalikan kurva yang baru terbentuk kepada posisinya semula.
Dalam praktek, terdapat dua macam cara yang umum digunakan sebagai
petunjuk penebangan pada setiap interval tebangan sehingga keadaan atau
sifat-sifat tegakan tidak seumur dapat dipertahankan. Kedua cara tersebut
adalah Metode Stok Tumbuh Tersisa dan Metode Pertumbuhan.
a. Metode Stok Tumbuh Tersisa (The Residual Growing Stock Method)

Hal utama yang harus diperhatikan dalam metode ini adalah stok tumbuh
yang harus ditinggalkan pada saat penebangan. Stok tumbuh tersisa
seharusnya memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
Tersebar merata pada seluruh kelas diameter yang diinginkan
Terdiri atas spesies-spesies yang diinginkan
Spesies-spesies yang diinginkan tersebut di atas sedang tumbuh dengan
baik

121 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Stok tumbuh tersisa tersebut menggunakan dengan penuh ruang tumbuh
selama interval siklus penebangan (sampai penebangan berikutnya).

Penebangan pada suatu interval siklus tebangan dapat dilihat pada kurva
De Liocourt berikut:

Penebangan pada suatu interval siklus tebangan

Kelas Diameter

Pendekatan berdasarkan stok tumbuh tersisa tidak memberikan indikasi


mengenai distribusi penebangan diantara berbagai spesies pohon.
Metode ini biasanya dipakai dalam pengelolaan hutan yang masih
ekstensif. Misalnya hutan alam yang belum tertata, terdiri atas banyak jenis
yang tidak semuanya komersial. Dalam hal ini hanya pohon dengan dimater
tertentu yang ditebang, karena pohon-pohon yang berdiameter kecil belum laku
dijual. Pohon-pohon yang kecil diharapkan akan menyusun tegakan yang akan
ditebang pada rotasi berikutnya, dengan syarat pohon-pohon tersebut tidak
mengalami kerusakan pada waktu dilakukan penebangan pada rotasi pertama.
Besarnya Jatah Tebangan Tahunan dirumuskan sebagai berikut:

122 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
JTT = Growing stock pada saat ini growing stock sisa yang diinginkan
Petunjuk untuk menentukan besarnya growing stok sisa yang diinginkan
pada setiap kelas diameter pada setiap tipe hutan dapat diperoleh dari data
hasil penelitian. Sebagai contoh adalah table petunjuk Arbogast untuk kayu
daun lebar sebagai berikut:

Kelas Kelas Kelas


Basal Area Basal Area Basal Area
Diameter Diameter Diameter
Sisa (fit2) Sisa (fit2) Sisa (fit2)
(inci) (inci) (inci)
4 2,7 11 4,0 18 4,3
5 2,9 12 3,9 19 5,9
6 2,9 13 4,6 20 4,4
7 3,2 14 5,3 21 4,8
8 3,1 15 4,9 22 5,3
9 3,5 16 5,6 23 2,9
10 3,8 17 4,7 24 + 3,1
85,8

Contoh:
Diketahui data potensi hutan sebagai berikut, dengan panjang rotasi 80 tahun,
dan siklus tebang 10 tahun.

Kelas Luas Kelas Luas


Jumlah Volume Jumlah Volume
Diameter Bidang Diameter Bidang
Pohon (ft3) Pohon (ft3)
(inci) Dasar (inci) Dasar
4 35,9 3,1 - 15 4,1 5,0 106
5 29,9 4,1 - 16 3,5 4,9 103
6 21,9 4,4 90 17 4,2 6,6 139
7 12,6 3,4 71 18 4,0 7,1 149
8 13,4 4,7 98 19 3,0 5,9 124
9 12,6 5,5 117 20 2,9 6,3 133
10 10,9 5,9 125 21 2,1 5,1 106
11 7,2 4,8 100 22 2,3 6,1 127
12 6,3 5,0 104 23 1,9 5,5 115
13 5,5 5,1 107 24 + 2,9 9,1 191
14 5,0 5,4 112 Jumlah 192,1 113,0 2,217

123 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Berdasarkandata tersebut di atas, besarnya JTT dapat ditentukan dengan
bantuan tabel berikut:

Data Aktual Hutan JTT per Acre


Rata
Luas Volume Bidang
Luas
Bidang Rata- Dasar Sisa Bidang Volume
Kelompok Jumlah Bidang Volume Jumlah
3 Dasar rata per (Petunjuk Dasar Tebangan
Diameter Pohon Dasar (ft ) 2 Pohon 3
2 per Bidang Arbogast) (ft ) (ft )
(ft )
Pohon Dasar
2
(ft )
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
46 87,7 11,6 90 0,132 7,8 8,5 3,1 23,5 24
79 39,6 13,6 286 0,352 21,0 9,8 3,8 10,8 80
10 12 29,4 15,7 329 0,643 20,0 11,7 4,0 6,2 80
13 15 14,6 15,5 325 1,062 21,0 14,8 0,7 0,7 15
16 18 11,7 18,6 391 1,590 21,0 14,6 4,0 1,5 84
19 21 8,0 17,3 363 2,162 21,0 15,1 2,2 1,0 21
22 + 7,1 20,7 433 2,916 21,0 11,3 9,4 3,2 67
Jumlah 192,1 113,0 2.217 - - 85,8 27,2 47,9 371

Kadang-kadang prosedure di atas dipersingkat dengan menggunakan


pendekatan tebangan total (total cut approach) sebagai berikut:

Luas bidang dasar per acre pada saat ini = 113,0 ft2
Luas bidang dasar sisa yang diingikan = 85,8 ft2
Luas bidang dasar yang akan ditebang per acre = 27,2 ft2
Volume yang akan ditebang per acre dapat diestimasi sebagai berikut:
27,2
------ x 2.217 = 534 ft2
113,0

Pendekatan ini tidak memberikan indikasi distribusi diameter pohon yang akan
ditebang.
b. Metode Pertumbuhan
Karena kelestarian dapat berarti tebangan tahunan harus sama dengan
riap tahunan, maka volume kayu yang ditebang dapat dihitung dari
pertumbuhan (riap berjalan) untuk seluruh kawasan hutan produktif. Inilah
landasan metode pertumbuhan.

124 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Metode ini kurang menentu dan memerlukan banyak pertimbangan
subyektif dari pengelola hutan dan orang yang memberi tanda bagi kayu yang
akan ditebang. Secara konsepsional, metode ini sangat sederhana, yaitu:
Volume yang ditebang = pertumbuhan x faktor f
Faktor f dapat sama dengan 1, lebih besar dari 1, atau kurang dari 1.

Hal-hal yang diperhatikan dalam metode ini adalah sebagai berikut:

Hubungan antara stok tumbuh pada saat ini dengan stok tumbuh yang
dikehendaki. Apabila stok tumbuh sekarang terlalu rendah maka faktor f
seharusnya dikurangi untuk membentuk stok tumbuh. Apabila stok tumbuh
sekarang terlalu tinggi maka faktor f seharusnya ditambah untuk
mengeluarkan stok tumbuh yang berlebihan.
Penyebaran ukuran pohon dalam tegakan. Konsentrasi pohon-pohon dalam
suatu batas ukuran diameter yang sempit menunjukkan suatu kecenderungan
ke arah tegakan seumur. Dalam keadaan demikian, kita harus memilih
secara hati-hati dan cermat data pertumbuhan sebelum faktor f dipakai.
Kondisi tegakan. Apabila banyak sekali pohon-pohonan yang masak tebang
maka faktor f seharusnya ditambah.

Metode pengaturan hasil yang menggunakan pertumbuhan sebagai dasar


penentuan JTT telah berkembang, seiring dengan berkembangnya rumus-
rumus untuk menaksir pertumbuhan (riap berjalan) seperti Paulson,
Hundershagen, Meyer, dan Grosenbaugh. Sebagai contoh akan dikemukakan
dua rumus dari latar belakang perkembangan yang berbeda, yaitu rumus
Hundershagen (Jerman) yang diciptakan pada abad ke 19, dan rumus Meyer
(Amerika Serikat) yang diciptakan pada tahun 1952.

Rumus Hundershagen:

JTT = GS x (NY/NG
dimana:

JTT = Jatah Tebang Tahunan (m3)


GS = Tandon tumbuh (Actual Growing stock) (m3)

125 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
NY = Riap atau hasil kayu menurut tabel normal (m3/ha)
NG = Tandon tumbuh (Growing stock) menurut tabel normal (m3/ha)

Rumus Meyer:

Vn = Vo (1 + It) a x (1 + Im)n - 1
Im
dimana:

Vn = volume growing stok yang diharapkan di masa datang


Vo = volume growing stok sekarang
It = compound rate untuk riap dan ingrowth seluruh
tegakan
Im = compound rate untuk riap dan tegakan yang
komersial untk ditebang
A = volume tebangan tahunan
N = jumlah tahun yang dipakai dalam periode penaksiran

Rujukan: Davis, K.P. 1978, Lawrence. S. D., K.N. Johnson. 1987; Departemen
Kehutanan Republik Indonesia. 1997; Leuschener. W. A. 1984.

Latihan Soal-Soal

126 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BAB
VII

Wilayah 1. Perencanaan
Pengelolaan Kehutanan
Provinsi 2. Pengelolaan

ANALISIS KEPUTUSAN
Pengurusan 3. Litbang, Diklat
Luh
Wilayah 4. Pengawasan
Pengelolaan
Kabupaten
MANAJEMEN HUTAN 1.
2.
Tata hutan
Pemanfaatan
Unit 3. Rehabilitasi
Pengelolaan Pengelolaan
4. Perlindungan
5. Konservasi

Kawasan ada Hak


IUPHHK
Kriteria Kelembagaan
Pokok Bahasan : AnalisisKawasan tdk ada Hak
Keputusan Manajemen Hutan Ijin Lain

Kawasan Konflik

Tujuan Umum : Memahami dasar-dasar pengambilan


keputusan manejemen hutan

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab VII, mahasiswa/i


mampu: (1) menjelaskan kerangka kerja
untuk membuat keputusan, (2) merumuskan
masalah pengelolaan hutan.

A. Kerangka Kerja untuk Membuat Keputusan


Peran pokok bagi seorang manajer hutan adalah membuat keputusan,
memilih berbagai rangkaian alterntif kegiatan. Namun demikian, prasyarat
untuk memilih adalah manajer tersebut harus memiliki persepsi bahwa setiap
situasi dan issu-issu membutuhkan suatu keputusan. Situasi suatu masalah
dapat bersifat jelas nyata seperti industri penggergajian butuh bahan baku
kayu, populasi rusa menurun, atau seseorang memiliki perkara hukum untuk
menghentikan penggunaan herbisida dalam proses regenerasi hutan. Masalah
dapat pula bersifat tidak jelas atau tidak kentara seperti, tingkat suku bunga
investasi pembangunan hutan meningkat, kekurangan logs ukuran tertentu
kemungkinan terjadi pada 10 tahun ke depan, dan lain-lain. Menyadari
127 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
masalah-masalah tersebut adalah tidak susah, dibutuhkan antisipasi dan
respon untuk membuat masalah tersebut menjadi jelas. Pemahaman oleh
manajer hutan atas masalah-masalah penting tersebut akan menyebabkan
pengelolaan hutan yang efektif.
Kebebasan menentukan persepsi atas situasi suatu masalah akan
menjadi dasar untuk membuat keputusan yang bijaksana. Untuk mendetailkan
suatu masalah dibutuhkan kuantifikasi dan artikulasi terhadap tujuan pemilik
lahan hutan dan faktor-faktor pembatas terhadap aktivitas manajer hutan. Tak
kalah pentingya pula bahwa penentuan alternatif solusi terhadap suatu
masalah membutuhkan identifikasi terhadap pilihan-pilihan rasional yang ada.
Biasanya, manajer yang sukses adalah manajer yang telah
mengidentifikasi dengan benar hal-hal yang terkait dengan tujuan-tujuan, issu-
issu, dan keterbatasan sumberdaya. Kesuksesan seorang manajer hutan
apabila mampu mengidentifikasi dengan benar masalah-masalah yang relevan
dengan tujuan-tujuan, issu-issu, dan keterbatasan sumberdaya dan
memberikan alternatif solusi yang dapat dikerjakan (workable) dan
menguntungkan (profitable). Apabila tidak banyak kesalahan terhadap alternatif
solusi tersebut (bad decision) maka manajer dapat dengan mudah untuk
menelusuri faktor-faktor penyebab apabila terdapat masalah pada tahap awal
pelaksanaan kegiatan pengelolaan.
Mensetting masalah untuk membuat keputusan melalui proses identifikasi
masalah adalah sesuatu yang harus dipelajari dengan baik oleh seorang
manajer. Masalah memiliki suatu struktur dan prosedur yang sistematis untuk
menjelaskan struktur tersebut.

B. Pernyataan Masalah dan Penulisan Persamaan


Pernyataan masalah adalah satu set pernyataan verbal yang
menggambarkan hubungan timbal balik suatu masalah. Contoh, perhatikan tiga
pernyataan verbal yang menggambarkan masalah reboisasi berikut ini:

128 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
1. Tersedia anggaran sebesar $ 500,000 setiap tahun untuk melakukan
penanaman secara manual, menggunakan mesin, atau melali udara (aerial
methods) pada areal bekas tebangan.
2. Biaya rata-rata untuk penyiapan lahan dan persemaian untuk penanaman
secara manual sebesar $ 365 per acre, menggunakan mesin sebesar $ 310
per acre, dan aerial seedling sebesar $ 245 per acre.
3. Kombinasi dari tiga metode penanaman tersebut dapat digunakan tetapi
biayanya lebih besar dibanding dilakukan secara manual
Untuk merubah tiga pernyataan tersebut menjadi suatu persamaan linier, harus
ditentukan variabel dan koefisiennya. Misalkan:
b = anggaran tahunan dalam $ adalah sebesar $ 500,000
X1 = luas areal yang ditanami dengan cara manual
X2 = luas areal yang ditanami dengan menggunakan mesin
X3 = luas areal yang ditanami dengan menggunakan aerial mesin
a1 = biaya penanaman dengan cara manual $ 365/acre
a2 = biaya penanaman dengan menggunakan mesin $ 310/acre
a3 = biaya penanaman dengan cara aerial $ 245/acre
dengan menggunakan variable dan koefisien tersebut di atas, kita dapat menulis
tiga pernyataan masalah tersebut ke dalam sutu persamaan implisit sebagai
berikut:
a1X1 + a2X2 + a3X3 = b
atau secara eksplisit sebagai berikut:
365 X1 + 310 X2 + 245 X3 = $ 500,000 (1)
Persamaan linier di atas menggambarkan kombinasi X1, X2, X3 yang
menggunakan seluruh anggaran sebesar $ 500,000. Seandainya, diasumsikan
bahwa seluas 500 acre yang ditanam secara manual, 270 acre ditanam
menggunakan mesin, dan 1000 acre dengan aerial adalah salah satu
kemungkinan kombinasi metode reboisasi yang akan memberikan kepuasan
dengan jumlah anggaran yang ada. Cek kemungkinan kombinasi tersebut,
dengan memasukkan variabel yaitu, X1 = 500 , X2 = 270, X3 = 1,000. Substitusi
nilai-nilai varibel ke dalam persamaan sebagai berikut:

129 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
365 X1 + 310 X2 + 245 X3 = 500,000
365 (500) + 310 (270) + 245 (1,000) = 500,000
182,500 + 83,700 + 245,000 = 500,000
511.200 500,000
Hasil cek di atas, menunjukkan bahwa kombinasi tersebut tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Bagaimana kombinasi yang memuaskan?

C. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah mencakup satu seri tahapan langkah-langkah dan
menggunakan secara konsisten beberapa terminologi penting. Terminologi
tersebut adalah decision maker, problem goals, goal criteria, activities, decision
variable, problem solution, objective function, constrain, resources constrain,
decision maker goal constrains, policy and regulation constraints, problem
statement, dan feasibility.
1. Decision Maker
Decision maker, yaitu orang yang menetapkan konteks masalah dan
membuat keputusan yang dibutuhkan terhadap masalah yang telah ditetapkan.
Decision maker tersebut adalah pemilik lahan hutan atau manajer hutan yang
diberi kewenangan oleh pemilik lahan untuk melakukan aktivitas pengelolaan
hutan, memilih kebijakan atau aktivitas apa yang akan dilakukan untuk
menyelesaikan masalah yang ada dan bertanggung jawab terhadap pilihan
tersebut. Tujuan dan faktor-faktor pembatas yang relevan dengan masalah
harus dipertimbangkan oleh decision maker.
2. Goals
Tujuan (goals) merefleksikan apa yang ingin dicapai oleh decision maker.
Pada dasarnya suatu masalah dapat mencakup lebih dari satu tujuan yang
relevan dengan masalah tersebut. Tujuan sering dinyatakan dalam pernyataan
umum seperti:
untuk meningkatkan pendapatan
untuk menciptakan kestabilan ekonomi lokal
untuk menyenangkan atau memuaskan

130 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
untuk menyediakan bahan baku untuk pabrik
untuk menyediakan barang dalam jumlah yang lebih banyak pada jangka
waktu yang panjang
untuk membangun jlan dari sini ke sana dengan dampak lingkungan yang
minimal
atau tujuan dapatlebih sepsifik seperti:
untuk menciptakan income sebesar $ 50,000 per tahutan selama 10 tahun
untuk memproduksi kayu sebanyak 1,000,000 m3 per tahun dari lahan yang
dikelola
untuk memaksimumkan profit
3. Goal Criteria
Kriteria tujuan (goal criteria) adalah ukuran numerik yang ditentukan
untuk menyatakan apakah aktivitas-aktivitas dari pembuat keputusan (decision
maker) mendukung tujuan. Untuk mengarahkan tujuan kita harus menemukan
suatu kriteria yngmengukur pencapaian tujuan.
Contoh:
Tujuan: untuk menigkatkan pendapatan
Kriteria: pendapatan menigkat setiap tahun dibanding endapatan pada saat ini
Tujuan: untuk meningkatkan produksi kayu
Kriteria: jumlah kayu yang diproduksi setiap tahun
Tujuan: untuk menumbuhkan pohon secara efisien
Kriteria: persentase rata-rata pengembalian asset dan dana yangdiinvestasikan
dalam menumbuhkan pohon.
Terdapat beberapa tujuan yng sulit untuk menentukan kriterianya
Contoh:
Tujuan: untuk menyenangkan
Kriteria: indeks kesenangan, jumlah orang yang sakitkepla setiap tahun
Tujuan: memelihara keindahan lingkungan
Kriteria: indeks kualitas keindahan (1 10)
Adanya kriteria yang cocok untuk merepresentasikan tujuan akan
memudahkan untuk menguji apakah tujuan dapat dicapai secara operasional.

131 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Manajemen hutan diarahkan kepada tujuan serbaguna multiple use akan
tetapi sampai saat ini tidak ada kriteria yang telah disepakati untuk mengukur
tingkat pencapaian tujuan tersebut. Multiple use adalah satu contoh tujuan
jangka pnjangengelolaan hutan yang belum ditemukan kriterainya secara
operasional.
Perusahaan swasta umumnya memiliki tujuan untuk menjaga
keberlanjutan kepemilikan, stabilitas pendapatan, keamanan supply kayu, atau
menjamin untuk tidak tidak terjadinya krisis keuangan.
4. Actiities and Decision Varibles
Ide tentang aktivitas dan variabel keputusan (Actiities and Decision
Varibles) dapat dengan mudah dibangun dengan suatu contoh. Andaikan suatu
masalah yaitu alokasi anggaran pada proyek yang berbeda untuk meningkatkan
kesempatan rekreasi pada suatu areal hutan. Tujuan proyek adalah untuk
memaksimalkan kesempatan peluang baru berekreasi pada suatu kawasan yang
diukur dengan kriteria yaitu penambahan jumlah hari kunjungan (visitor day)
pada areal hutan rekreasi yang telah dibangun.
Aktivitas adalah jenis atau macam proyek atau sesuatu yang dapat
dilakukan untuk membantu mencapai tujuan. Sedangkan variabel keputusan
adalah menggambarkan jumlah dari setiap jenis aktivitas yang dilakukan. Untuk
masalah rekreasi hutan di atas diasumsikan tiga jenis aktivitas yang
dipertimbangkan sebagai berikut:
Aktivitas Varibel Keputusan
Membangun campsites X1 jumlah campsites yang dibangun
Memangun boat ramps X2 jumlah boat ramps yang dibangun
Membangun trails X3 jumlah mile trails yang dibangun

5. Problem Solution
Solusi masalah (problem solution) adalah gabungan dari sejumlah
aktivitas yang dipilih untuk mencapai tujuan pembuat keputusan (decision
maker). Suatu solusi terdiri atas sejumlah tertentu variabel keputusan. Terdapat
toga solusi atas contoh masalah rekreasi yaitu:

132 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Solusi
Aktivitas Variabel Keputusan
A B C
Membangun campsites X1 100 50 50
Memangun boat ramps X2 10 5 0
Membangun trails X3 0 30 70

Solusi A misalnya terdiri atas membangun 100 campsites, 10 boat ramps, dan 0
miles trail.
6. Objective Function
Fungsi tujuan (objective function) adalah suatu pernyataan matematis dari
suatu tujuan yang mengkombinasikan kriteria dari tujuan tersebut dengan
variabel keputusan dari suatu masalah. Secara normal, fungsi tujuan ditetapkan
untuk membantu pembuat keputusan (decision maker) untuk memaksimalkan
sesuatu seperti keuntungan, pendapatan, atau volume tebangan atau
meminimumkan sesuatu seperti biaya, resiko,atau kerugian. Untuk contoh
rekreasi maka:
Tujuan: memaksimumkan kesempatan rekreasi pada kawasan hutan
Kriteria: tambahan jumlah pengunjung
Varibel keputusan: jumlah unit campsites, boat ramps, dan trails yang dibangun
(Xi).
Fungsi tujuan dapat ditulis sebagai berikut:
Maksimumkan Z
dimana Z = u1X1 + u2X2 + u3X3
dengan:
Z = jumlah total tambahan pengunjung setiap tahun
ui = tambahan pengunjung per unitaktivitas setiap tahun
Xi = jumlkah aktivitas yang dilakukan
Disini, Z adalah nilai dari fungsi tujuan, pada kasus ini diberikan kriteria
yang tepat terhadap tujuan tersebut dan dapat dihitung untuk setiap
kemungkinan solusi. Jika nilai ui diketahui, fungsi tujuan dapat ditulis secara
eksplisit. Apabila diketahui u1 = 100, u2 = 500, dan u3 = 100, kita dapat tulis
sebagai berikut:

133 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Maksimasi Z
dimana Z1 = 100 X1 + 500 X2 + 100 X3
Nilai fungsi tujuan untuk masing-masing dari tiga contoh solusi masalah yang
dikemukakan di atas adalah:
Z (A) = 100 (100) + 500 (10) + 100 (0) = 15.000
Z (B) = 100 (50) + 500 (5) + 100 (30) = 10.500
Z (C) = 100 (50) + 500 (0) + 100 (70) = 12.000
Solusimasalah yang dipilih adalah yang memiliki nilai Z yang paling tinggi. Oleh
karena itu, fungsi tujuan mengarahkan untuk memilih keputusan melalui
kombinasi variabel keputusan yang memungkinkan untuk menentukan satu
keputusan yang terbaik terhadap pencapaian fungsi tujuan.
7. Constraints
Pembatas (constraints) adalah segala sesuatu yang membatasi
pencapaian tujuan. Pembatas adalah selalu ada pada setiap masalah dan perlu
diidentifikasi apabila ingin mencoba untuk menyelesaikan suatu masalah dengan
baik.
Pada suatu masalah, pembatas dpat berupa pembatas input dan output.
Pembatas pada umumnya muncul dari tiga sumber yaitu: keterbatasan
sumberdaya (resource limitation), tujuan pengambil keputusan (decision maker
goal), dan faktor-faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah. Setiap dari tiga
sumber pembatas tersebut dapat merupakan gabungan dari pembatas input dan
output.
a. Resource constraints: meliputi pembatas fisik, teknologi, dan ekonomi yang
jumlhanya terbatas, dan macam variabel keputusan yang dapat dipilih
sebagai solusi masalah. Ketersediaan anggaran, lahan, tenaga kerja, dan
waktu merupkan input poduksi yang umumnya menjadi faktor pembatas.
Kembali ke masalah masalah rekreasi, jika jumlah maksimum anggaran yang
dapat dibelanjakan untuk konstruksi adalah sebesar $ 60,000, maka faktor
pematas anggaran ini dapat ditulis dalam bentuk pertidaksamaan sebagai
berikut:
c1X1 + c2X2 + c3X3 60,000

134 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dimana c1 adalah biaya konstruksi perunit pad setiap jenis fasilitas. Jika c 1 =
$ 5,000, c2 = $ 8,000, dan c3 = $ 1,500, maka pembatas anggaran dapat
ditulis secara eksplisit sebagai berikut:
5,000 X1 + 8,000 X2 + 1,500 X3 60,000
Persamaan di atas merupakan persamaan gabungandari aktivitas-aktivitas
yang tidak melebihi angaran yangtersedia yaitu $ 60,000.
b. Decision maker goal: Seperti yang telah didiskusikan pada bagian fungsi
tujuan, pembuat keputusan secara khas memiliki dua atau lebih tujuan yang
relevan. Apabila hanya satu yang dapat digunakan sebagai pedoman fungsi
tujuan, maka yang lain harus diformulasikan sebagai pembatas jika hal itu
secara formal menytu ke dalam masalah tersebut.
Contoh:
Untuk memaksimumkan output dari rekreasi hutan, pembuat keputusan
mempunyai dua tujuan, menyediakan peluang rekreasi backconutry.
Campsites tidak menyediakan peluang rekreasi backcountry, tetapi
dibutuhkan oleh penggunan bckcountry dan boat ramp yaitu rata-rata
sebnyak 50 pengguna boat ramp per tahun. Semua pengguna trails
membutuhkan backcountry yaitu rata-rata sebanyak 100 pengguna per mile
setiap tahun. Kita dapat menyatakan fungsi tujuan yang kedua yaitu
maksimisasi Z2, total pengunjung backcountry, dimana:
Z2 = 0 X1 + 50 X2 + 100 X3
Untuk memperlakukan suatu tujuan sebagai pembatas, nilai dari tujuan
tersebut harus ditentukan. Andaikan Z1 merefleksikan total peluang rekreasi
dipilih sebagai pedoman fungsi tujuan dan Z2 mrefleksikan peluang rekreasi
pada backcountry dispesifikasi sebagai sesuatu yang dimiliki untuk mencapai
nilai minimal $ 3,000. Kemudian formulasi masalah tersebut adalah sebagai
berikut:

135 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Formulasi 1
Maksimasi Z1
Z1 = 100 X1 + 500 X2 + 100 X3
Dengan faktor pembatas adalah
Z2 3,000
atau
0 X1 + 50 X2 + 100 X3 3,000
Selanjutnya, apabila Z2 dipilih sebagai pedoman fungsi tujuan, dimana Z 1
merupakan pembatas utama. Jika Z1 dispesifikasi menjadi minimal 5,000 mka
masalah kedua adalah:
Formulasi 2
Maksimasi Z2
dimana
Z2 = 0 X1 + 50 X2 + 100 X3
Dengan faktor pembatas Z1 5,000
atau
100 X1 + 500 X2 + 100 X3 5,000
Julah dari formulasi masalah mungkin meningkat dengan cepat menjadi tiga,
empat, atau lebih tujuan dimasukkan ke dalam masalah.
Mensetting level minimum atau maksimum terhadap suatu tujuan sebagai
yang diperlakukan sebagai pembatas bukanlah pekerjaan mudah.
Bagaimana pembuat keputusan mengetahui bahwa minimum 3,000 barang
backcountry yangharus disediakan? Spesifikasi ini merupakan keputusan
nilai dan harus diputuskan oleh pembuat keptusan. Bahkan pembatas tujuan
tersebut diset pada level yangberbeda untuk melihat apa yang terjadi
terhadap nilai fungsi tujuan tersebut. Jika Z2 diset secara sukses pada level
2,000, 3000, dan 4,000 berapa nilai maksimum dari Z 1 yang diperoleh pada
setiap kasus? Analisis sensitifitas dapat menyediakan informasi yang
berguna terhadap keputusan akhir.
Memilih tujuan untuk direpresentasikan ke dalam fungsi tujuan merupakan
suatu keputusan penting pada saat terdapat tujuan yangbersifat ganda

136 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
(multiple goals). Keputusan terbaik biasanya akan berbeda pada setiap
formulasi masalah yang berbeda dan biasanya tidak cukup waktu dan uang
untuk menganalisis masalah lapangan yang kompleks untuk semua formulasi
yang mungkin dan permutasi level minimum atau maksimum dari pembatas
tujuan. Normalnya, tujuan yang terpenting adalah untuk memaksimumkan
salah satu dari pendapatan, keuntungan, atau tingkat output agregat, dan hal
itu harus ditentukan untuk setiap masalah.
c. Policy and regulatory constraints: Kelompok ketiga dari pembatas adalah
pembuat keputusan terikat oleh hokum, praturan, kebutuhan politik, dan
pngaruh-pengaruh eksternal laianya. Banyak pembatas tersebut disetting pada
level minimum untuk output tertentu. Misalnya, manajer wod land memiliki kuota
kayu bulanan yang harus disupply ke penggergajian, kebijakan perusahaan tidak
mengizinkan menjual kayu ke pembeli dari luar. Pembatas dapat pula terkait
dengan input dan teknologi seperti tidak lebih dari 10% wilayah DAS dapat
ditebang pada stiap dekade, peraturan lokal bahwa suatu areal campground
tertentu akan dibangun, atau herbisida tidak diizinkan digunakan.
Pada masalah rekreasi hutan, kebijakan pada level yang lebih tinggi dapat
memberi harapan untuk membangun privat campground dengan membatasi
pembangunan public campground tidak lebih dari 40 unit, mengenali kontrk
yang ada pada saat ini untuk membangun paling sedikit 1 boat ramp, dan
mengimplementasikan keputusan sebelumnya untuk memangun paling sedikit
10 campsites baru pada campground tersebut. Pembatas kebijakan ini dapat
ditulis sebagai berikut:
Maximum campsites X1 40
Minimum campsites X1 10
Minimum bot ramps X2 1
8. Problem Statement
Pernyataan masalah formal (formal problem statement) didefinisikan
sebagai semua variabel keputusan dan tujuan spesifik, fungsi tujuan, dan semua
persamaan pembatas yang dibutuhkan oleh pembat keputusan untuk
menggambarkan maslaha secara sempurna. Untuk menyimpulkan contoh kita

137 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
(rekreasi), pernyataan masalah formal menggunakan formula pertama yang telah
disajkan sebelumnya, terdiri atas 6 persamaan liier ditambah pembatas
kebijakan dari variabel keputusan.
Tujuan: Maksimasi Z1, dimana:
a. Fungsi tujuan : Z1 = 100 X1 + 500 X2 + 100 X3
b. Anggaran: 5,000 X1 + 8,000 X2 + 1,500 X3 60,000
c. Tujuan Backconutry: 50 X2 + 100 X3 3,000
d. Maximum campsites: X1 40
e. Minimum campsites: X1 10
f. Minimum bot ramps: X2 1
dimana X1 = jumlah campsites yang dibangun X1 0
X2 = jumlah boat ramp yang dibangun X2 0
X3= jumlah mile trails yang dibangun X3 0
9. Feasibility
Pembatas masalah membutuhkan kelayakan alternatif solusi. Pernyataan
sederhana, solusi adalah layak jika semua pembatas masalah ditemukan atau
memuaskan. Sebaliknya, solusi tidak layak apabila satu atau lebih pembatas
masalah tidak memuaskan.

138 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n

Anda mungkin juga menyukai