Anda di halaman 1dari 33

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1.1 Identitas Pasien

Nama Pasien : Ny. SI

Umur : 33 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Sumber Taman Gg. Manggis Wonoasih

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Status Perkawinan : Sudah Menikah

Agama : Islam

Suku : Jawa

No. Rekam Medik : 125246

Ruangan : Bougenvile Kelas II Perempuan

Tanggal Keluar RS :

1.1.2 Anamnesis

A. Keluhan Utama

Nyeri perut sebelah kanan atas.

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Nyeri perut sebelah kanan atas sampai ke epigastrium dirasakan sejak

3 bulan ini, nyeri hilang timbul. Jika nyeri, berlangsung lama dan

menjalar sampai punggung kanan pasien. Beberapa hari ini pasien

mengeluh semakin nyeri, diperberat jika nafas panjang. Selain itu

pasien juga mengeluh mual dan muntah saat makan. Pada awal timbul

1
nyeri, juga disertai demam, menggigil (+), sekarang sudah jarang.

BAK normal, tidak nyeri, warna jernih, BAB normal tidak pucat.

Pasien tidak mengeluh tangan dan matanya menjadi berwarna kuning.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien menyatakan belum pernah mengalami gejala seperti ini

sebelumnya: Diabetes Melitus (-), Hipertensi (-), Asma (-), trauma (-).

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Diabetes Melitus (-)

Hipertensi (-)

Asma (-)

E. Riwayat Obat-obatan

Pasien tidak mengkomsumsi obat-obatan.

F. Riwayat Alergi

Makanan : (-)

Obat : (-)

G. Riwayat Kebiasaan

Pasien suka makan makanan yang berlemak dan gorengan.

1.1.3 Pemeriksaan Fisik

A. Tanda Vital

Tensi : 110/70 mmHg

Nadi : 90 x/menit

2
RR : 24 x/menit

Suhu : 36,2o C

B. Status Generalis

Keadaan Umum : Cukup

Kesadaran : Komposmentis

1. Kepala/Leher

Kepala : mesosefal

Mata : anemis (-/-), pupil isokor, reflek pupil

(+/+), ikterus (-/-)

Hidung : sekret (-/-), dyspneu (-/-)

Telinga : discharge (-/-)

Mulut : kering (-), sianosis (-)

Leher : simetris, pembesaran KGB (-), pembesaran

tiroid (-), deviasi trakea (-)

2. Thorax

1) Cor

Inspeksi : iktus cordis tidak tampak

Palpasi : iktus cordis teraba ICS VI midclavicula sinistra 3

jari kemedial.

Perkusi : pekak dengan batas kanan jantung sterna line

dekstra. Batas kiri jantung ICS V midclavicular line sinistra

2 jari ke medial. Batas atas jantung ICS II sterna line

sinistra.

3
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-).

2) Pulmo

Inspeksi : bentuk simetris, gerakan simetris, spidernevi (-),

fosa supraklavikula dan infraklavicula simetris, deviasi

trakea (-).

Palpasi : pergerakan simetris, nyeri tekan (-).

Perkusi : sonor pada seluruh lapangan paru.

Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

3. Ekstremitas

Superior : Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada tanda

edema

Inferior : Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada tanda

edema

C. Status Lokalis Regio Abdomen

Inspeksi : kulit tampak normal, dinding abdomen tidak

tampak distensi,

Auskultasi : BU (+) normal.

Palpasi : nyeri tekan (-) pada seluruh lapang abdomen;

Murphys Sign (+); hepar, lien dan renal tidak teraba.

Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen.

1.1.4 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium

4
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hematokrit 41 % 37-49 %
Hemoglobin 13,1 g/dl 13-18 g/dl
Leukosit 10.010/mm3 4.000-11.000/mm3
Trombosit 323.000/mm3 150.000-350.000/mm3
Eritrosit 4,5 juta/l 4,5-5,3 juta/l
Hitung Jenis
Eosinofil 3% 0-8 %
Basofil O% 0-3 %
Neutrofil 63 % 45-70 %
Limfosit 29 % 18-48 %
Monosit 5% 4-11 %
Total eosinofil 340 /l 50-300 /l
Hemostatis
APT 7,6 detik 11-15 detik
APTT 24,6 detik 35-45 detik
Glukosa Darah Acak 123 mg/dl <200 mg/dl
Lemak
TG 115 mg/dl < 150 mg/dl
Cholesterol Total 207 mg/dl < 200 mg/dl
HDL 43 mg/dl >35 mg/dl
LDL 141 mg/dl < 150 mg/dl
Fungsi Hati
Bilirubin Total 0,93 mg/dl < 1 mg/dl
Bilirubin direk 0,52 mg/dl < 0,5 mg/dl
Alkali phospat 75 U/L 45-115 U/L
AST (SGOT) 14 U/L 10-40 U/L
ALT (SGPT) 14 U/L 10-40 U/L
Fungsi Ginjal
Ureum 22 mg/dl 15-40 mg/dl
Kreatinin 0,9 mg/dl 0,5-1,7 mg/dl

5
B. USG Abdomen

Hasil : cholelithiasis multipel, tidak ada obstruksi sistem bilier.

6
1.1.5 Assesment

Cholelithiasis Multipel

1.1.6 Planning

A. Pemeriksaan Laboratorium

B. USG Abdomen

C. Pre Operasi

Inform concent

Puasa 8 jam

Infus RL

D. Operasi

Teknik operasi yang digunakan adalah kolesistektomi

E. Post operasi

Infus RL

Antibiotik

Analgesik

Follow up pasien

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi

A. Ductus Biliaris Hepatis

Empedu disekresikan oleh sel-sel hepar, disimpan dan

dipekatkan di dalam vesica biliaris, kemudian dikeluarkan ke

duodenum. Ductus biliaris hepatis terdiri atas ductus hepaticus, ductus

choledochus, vesica biliaris dan ductus cysticus (Snell Richard S.,

2006).

Cabang-cabang interlobulares ductus choledochus terkecil

terdapat di dalam canalis hepatis; cabang ini menerima canaliculi

biliaris; cabang-cabang ini saling berhubungan satu sama lain dan

secara bertahap membentuk saluran yang lebih besar, sehingga

akhirnya pada porta hepatis membentuk saluran yang lebih besar,

sehingga akhirnyan pada porta hepatis membentuk ductus hepaticus

deextra dan sinistra. Ductus hepaticus dextra mengalirkan empedu

dari lobus hepatis dextra dan ductus hepaticus sinistra mengalirkan

empedu dari lobus hepatis sinistra, lobus caudatus, dan lobus

quadratus (Snell Richard S., 2006).

B. Ductus Hepaticus

Ductus hepaticus dextra dan sinistra keluar dari lobus hepatis

dextra dan sinistra pada porta hepatis. Keduanya segera bersatu

membentuk ductus hepaticus communis (Snell Richard S., 2006).

8
Pada ductus hepaticus communis sekitar 1,5 inci (4 cm) dan

berjalan turun di pinggir bebas omentum minus. Ductus ini bergabung

dengan ducus cysticus dari vesica biliaris yang ada di sisi kanannya

membentuk ductus choledochus (Snell Richard S., 2006).

C. Ductus Choledochus

Panjang ductus choledochus 3 inci (8 cm). Pada bagian pertama

perjalanannya, ductus ini terletak di pinggir bebas kanan omentum

minus, di depan foramen epiploicum. Di sini ductus choledochus

terletak di depan pinggir kanan vena portae hepatis dan pada sisi

kanan arteria hepatica. Pada kedua perjalanannya, ductus terletak di

belakang pars superior duodenum di sebelah kanan arteria

gastroduodenalis. Pada bagian ketiga perjalanannya, ductus terletak di

dalam sulcus yang terdapat pada facies posterior caput pankreatis. Di

sini, ductus choledochus bersatu dengan ductus pankreaticus (Snell

Richard S., 2006).

Ductus choledochus berakhir di bawah dengan menembus

dinding medial pars descendens duodenum kira-kira di pertengahan

panjangnya. Biasanya ductus choledochus bergabung dengan ductus

pankreaticus, dan bersama-sama bermuara ke dalam ampulla kecil di

dinding duodenum, yang disebut ampulla hepatopancreatica (ampulla

vater). Ampulla ini bermuara ke dalam lumen duodenum melalui

sebuah papila kecil, yaitu papilla duodeni major. Bagian terminal

kedua ductus beserta ampulla dikelilingi oleh serabut otot sirkular

9
yang disebut musculus sphinter ampullae (sphinchter Oddi) (Snell

Richard S., 2006).

Gambar 1: Anatomi Dasar ductus choledochus dan vesica biliaris

D. Vesica Biliaris (Kandung Empedu)

1. Lokasi dan Deskripsi

Vesica biliaris adalah sebuah kantong berbentuk buah pir yang

terletak pada permukaan bawah (facies visceralis) hepar. Vesica

biliaris mempunyai kemampuan menampung empedu sebanyak

30-50 ml dan menyimpannya, serta memekatkan empedu dengan

cara mengabsorbsi air. Untuk mempermudah deskripsinya, vesica

biliaris dibagi menjadi fundus, corpus, dan collum. Fundus

vesicae biliaris berbentuk bulat dan biasanya menonjol di bawah

margo inferior hepar, penonjolan ini merupakan tempat fundus

bersentuhan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung

10
cartilago costalis IX dextra. Corpus vesicae biliaris terletak dan

berhubungan dengan facies visceralis hepar dan arahnya ke atas,

belakang, dan kiri. Collum vesicae biliaris melanjutkan diri

sebagai ductus cysticus, yang berbelok ke dalam omentum minus

dan bergabung dengan sisi kanan ductus hepaticus communis

untuk membentuk ductus choledochus (Snell Richard S., 2006).

Peritonium meliputi seluruh bagian fundus vesicae biliaris dan

menghubungkan corpus dan collum vesicae biliaris dengan facies

visceralis hepar.

2. Fungsi

Vesica biliaris berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu.

Vesica biliaris mempunyai kemampuan untuk memekatkan

empedu, dan untuk membantu proses ini, mukosa vesica biliaris

mempunyai lipatan-lipatan permanen yang saling berhubungan

sehingga permukaannya tampak seperti sarang tawon. Sel-sel

toraks yang terletak pada permukaan mucosa mempunyai banyak

vili (Snell Richard S., 2006).

Empedu dialirkan ke duodenum sebagai akibat kontraksi dan

pengosongan parsial vesica biliaris. Mekanisme ini diawali

dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum.

Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari

tunica mucosa duodenum. Lalu hormon masuk ke dalam darah

dan menimbulkan kontraksi vesica biliaris. Pada saat yang

11
bersamaan, otot polos yang terletak pada ujung distal ductus

choledochus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan

masuknya empedu yang pekat ke dalam duodenum. Garam-garam

empedu di dalam cairan empedu penting untuk mengemulsikan

lemak di dalam usus serta membantu pencernaan dan absorbsi

lemak (Snell Richard S., 2006).

3. Pendarahan

Arteriae Arteria Cystica, cabang arteria hepatica dextra. Venae

Vena Cystica mengalirkan darah langsung ke vena porta.

Sejumlah arteriae dan venae kecil juga berjalan di antara hepar

dan vesica biliaris.

4. Aliran Limfe

Cairan limfe mengalir ke nodus cysticus yang terletak dekat

collum vesicae biliaris. Dari sini, pembuluh limfe berjalan ke nodi

hepatici dengan berjalan sepanjang perjalanan arteria hepatica

communis dan kemudian ke nodi coelici (Snell Richard S., 2006).

5. Persarafan

Saraf simpatis dan parasimpatis membentuk plexus coeliacus.

Vesica biliaris berkontraksi sebagai respons terhadap hormon

kolesistokinin yang dihasilkan oleh tunica mucosa duodenum

karena masuknya makanan berlemak dari gaster (Snell Richard

S., 2006).

12
E. Ductus Cysticus

Panjang ductus cysticus sekitar 1,5 inci (3,8 cm) dan

menghubungkan collum vesicae biliaris dengan ductus hepaticus

communis untuk membentuk ductus choledochus. Biasanya ductus

cysticus berbentuk seperti huruf S dan berjalan turun dengan jarak

yang bervariasi pada pinggir bebas kanan omentum minus (Snell

Richard S., 2006).

Tunica mucosa ductus cysticus menonjol untuk membentuk

plica spiralis yang melanjutkan diri dengan plica yang sama pada

collum vesicae biliaris. Plica ini umumnya dikenal sebagai valvula

spiralis. Fungsi valvula spiralis adalah untuk mempertahankan lumen

terbuka secara konstan (Snell Richard S., 2006).

2.1.2 Definisi

Batu kandung empedu adalah batu yang terbentuk dalam kandung

empedu dan disebut kolesistolitiasis. Batu yang terbentuk pada common

bile duct (CBD) disebut koledokolitiasis (Chris Tanto, dkk., 2014).

2.1.3 Patogenesis Kolelitiasis

Hepatolitiasis ialah batu empedu yang terdapat di dalam saluran

empedu dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri meskipun

percabangan tersebut mungkin terdapat di luar parenkim hati. Batu

tersebut umumnya berupa batu pigmen yang berwarna cokelat, lunak,

bentuknya seperti lumpur dan rapuh. Hepatolitiasis akan menimbulkan

13
kolangitis piogenik rekurens atau kolangitis oriental yang sering sulit

penanganannya (De Jong, 2010).

Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus

melalui duktus sistikus. Di dalam perjalanannya melalui duktus sistikus,

batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial

atau komplet sehingga menimnulkan gejala kolik empedu. Pasase batu

empedu berulang melalui duktus sistikus yang sempit menimbulkan iritasi

dan perlukaan sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus

sistikus dan striktur. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena

diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada

di sana sebagai batu duktus sistikus (De Jong, 2010).

Kolelitiasis asimtomatik biasanya diketahui secara kebetulan,

sewaktu pemeriksaan ultrasonografi, pembuatan foto polos perut, atau

perabaan waktu operasi. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak

ditemukan kelainan (De Jong, 2010).

Gambar 2: patogenesis batu empedu

14
2.1.4 Etiologi

Faktor resiko terjadinya batu kandung empedu adalah (Ginting, 2011):

A. Female

Menurut penelitian penyakit batu kandung empedu lebih tinggi

resikonya empat kali terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria

karena pengaruh hormon estrogen dan progesteron yang apabila

digabung akan mempengaruhi kadar kolesterol di dalam empedu

sehingga mengalami suatu proses untuk pembentukan batu empedu.

B. Forty

Pada usia 40 tahun ke atas lebih mudah terbentuk batu empedu karena

tubuh lebih cenderung mengeluarkan kolesterol ke dalam cairan tubuh

dan mudah tersaturasi.

C. Fertile

Kehamilan dan penggunaan pil KB berefek pada saturasi cairan tubuh

sehingga mudah terjadi pembentukkan batu empedu.

D. Fat

Pada obesitas resiko terkena batu empedu tiga kali lebih besar di mana

kadar kolesterol dalam cairan empedu meningkat dan menyebabkan

supersaturasi kolesterol.

15
2.1.5 Jenis-jenis Patofisiologi Terbentuknya Batu Empedu

A. Batu Empedu Kolesterol

Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan

sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitif, dan kalsium

bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan dengan batu

pigmen. Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat

berupa soliter atau multipel. Permukaannya mungkin licin atau

multifaset, bulat, berduri, dan ada yang seperti buah murbei. Batu

kolesterol terjadi karena konsentrasi kolesterol di dalam cairan

empedu tinggi. Ini akibat dari kolesterol di dalam darah cukup tinggi.

Jika kolesterol dalam kandung empedu tinggi, pengendapan akan

terjadi dan lama kelamaan menjadi batu. Penyebab lain adalah

pengosongan cairan empedu di dalam kandung empedu kurang

sempurna masih adanya sisa-sisa cairan empedu di dalam kantong

setelah proses pemompaan empedu sehingga terjadi pengendapan

(Debas, 2004).

B. Batu Empedu Pigmen

Batu pigmen sering juga disebut sebagai batu lumpur maupun

batu bilirubin. Batu pigmen sebenarnya hanya berisi kalsium

bilirubinat. Batu ini sering ditemukan berbentuk tidak teratur, kecil-

kecil, dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi seperti coklat

hingga hitam. Jenisnya antara lain batu pigmen coklat dan batu

pigmen hitam (Meieed, 2003).

16
Batu pigmen coklat berwarna coklat atau coklat tua, konsistensi

lunak, permukaanya kasar dan seperti lumpur serta pada potongan

melintang tampak lapisan berwarna coklat dan coklat muda berselang

seling. Lapisan coklat mengandung garam bilirubinat sedangkan

lapisan coklat muda mengandung kalsium palmitat dan stearat.Batu

pigmen cokelat sering terbentuk akibat adanya faktor stasis dan

infeksi saluran empedu (Meieed, 2003).

C. Batu Empedu Campuran

Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai dan terdiri
atas kolesterol, pigmen empedu, dan berbagai garam kalsium.
Biasanya berganda dan sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat
radioopague (Debas, 2004).

2.1.6 Gambaran Klinis

A. Anamnesis

Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu

adalah asimtomatik. Keluhan yang mungkin timbul berupa dispepsia

17
yang kadang disertai intoleransi terhadap makanan berlemak (De

Jong, 2010).

Pada yang simtomatik, keluhan utamanya berupa nyeri di daerah

epigastrium, kuadran atas kanan atau prekordium. Rasa nyeri lainnya

adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan

kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri

kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul tiba-

tiba (De Jong, 2010).

Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula,

atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah (De Jong, 2010).

Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri

menghilang setelah makan antasid. Kalau terjadi kolesistitis, keluhan

nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik napas dalam dan

sewaktu kandung empedu tersentuh ujung jari tangan sehingga pasien

berhenti menarik napas, yang merupakan tanda rangsangan peritonium

setempat (Murphys sign) (De Jong, 2010).

Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di

epigastrium dan perut kanan atas akan disertai tanda sepsis, seperti

demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Biasanya terdapat ikterus

dan urin berwarna gelap yang hilang timbul. Ikterus yang hilang

timbulnya berbeda dengan ikterus kaena hepatitis.

18
Ikterus biasa terjadi jika ada sumbatan pada collum vesica felea

sehingga terbentuk kantong Hartmann, yang akan mendesak CBD.

Jadi, ikterus terjadi oleh desakan batu pada vesica felea tetapi dari

luar, keadaan ini dikenal sebagai Millizys syndrome (Logan, 2002).

Pruritus ditemukan pada ikterus obstruktif yang berkepanjangan

dan lebih banyak ditemukan di daerah tungkai daripada di badan (De

Jong, 2010).

Pada kolangitis dengan sepsis yang berat, dapat terjadi

kegawatan disertai syok dan gangguan kesadaran (De Jong, 2010).

B. Pemeriksaan fisik pada batu kandung empedu

Jika pada pemeriksaan ditemukan kelainan, biasanya

berhubungan dengan terjadinya komplikasi, seperti kolesistitis akut

dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung empedu,

empiema kandung empedu, atau pankreatitis (De Jong, 2010).

Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum

maksimum di daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda Murphy

positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik

napas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh

ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas (De

Jong, 2010).

C. Pemeriksaan fisik pada batu saluran empedu

19
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda

dalam fase tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sklera

ikterik. Patut diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3

mg/dl, gejala ikterus tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu

bertambah berat, baru akan timbul ikterus klinis (De Jong, 2010).

Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai

obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya

kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang

biasanya kolangitis bakterial nonpiogenik yang ditandai dengan trias

Charcot, yaitu demam dan menggigil, nyeri di daerah hati dan ikterus.

Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik

intrahepatik, akan timbul lima gejala pentade* Reynold*, berupa tiga

gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau

penurunan kesadaran sampai koma. Kalau ditemukan riwayat

kolangitis yang hilang timbul, harus dicurigai kemungkinan

hepatolitiasis (De Jong, 2010).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

A. Laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak

menunjukkan kelainan laboratorik. Apabila terjadi peradangan akut,

dapat terjadi leukositosis. Apabila ada sindrom Mirizzi, akan

ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus

20
koledokus oleh batu, dinding yang udem di daerah kantong Hartmann,

dan penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut. Kadar

bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam

duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga

kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali ada

serangan akut (De Jong, 2010).

B. Pencitraan

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitivitas

yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran

saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan

ultrasonografi juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang

menebal karena fibrosis atau udem karena peradangan maupun sebab

lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit

dideteksi karena terhalang udara di dalam usus. Dengan

ultrasonografi, lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai

gaya gravitasi. Dengan ultrasonografi, punktum maksimum rasa nyeri

pada batu kandung empedu yang gangren lebih jelas daripada dengan

palpasi biasa (De Jong, 2010).

Foto polos perut biasanya tidak memberikan gambaran yang

khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat

radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan

empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat pada foto polos. Pada

21
peradangan akut dnegan kandung empedu yang membesar atau

hidrops, kandung empedu kadang terlihat massa jaringan lunak di

kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar,

di fleksura hepatika (De Jong, 2010).

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras yang

diberikan per os cukup baik karena relatif murah, sederhana dan

cukup akurat untuk melihat batu radiolusen, sehingga dapat dihitung

jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan

ileus paralitik, muntah, kadar bilirubin serum di atas 2 mg/dl,

obstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan tersebut kontras

tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih

bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu (De Jong, 2010).

CT-scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk

mendiagnosis batu kandung empedu. Cara ini berguna untuk

membantu diagnosis keganasan pada kandung empedu yang

mengandung batu, dengan ketepatan sekitar 70-90% (De Jong, 2010).

Foto rontgen dengan kolangiopankreatikografi endoskopi

retrograd (ERCP) di papila Vater atau melalui kolangiografi

transhepatik perkutan (PTC) berguna untuk pemeriksaan batu di

duktus koledokus. Indikasinya ialah batu kandung empedu dengan

gangguan fungsi hati yang tidak dapat dideteksi dengan ultrasonografi

dan kolesistografi oral, misalnya karena batu kecil. Saat ini sedang

22
dikembangkan pemeriksaan USG endoluminal dengan endoskopi

fleksibel untuk mendeteksi batu empedu di saluran empedu. Cara ini

dianggap jauh lebih aman daripada ERCP. Kelemahan ERCP untuk

diagnosis adalah bahaya timbulnya komplikasi pankreatitis (De Jong,

2010).

2.1.8 Penyulit

Komplikasi dapat berguna kolesistitis akut yang dapat

menimbulkan perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, ikterus

obstruktif, kolangitis, kolangiolitis piogenik, fistel bilioenterik, ileus batu

empedu, pankreatitis, dan perubahan keganasan (De Jong, 2010).

Batu empedu dari duktus koledokus dapat masuk ke dalam

duodenum melalui papila Vater dan menimbulkan kolik, iritasi, perlukaan

mukosa, peradangan, udem dan striktur papila Vater (De Jong, 2010).

2.1.9 Tata Laksana

A. Lisis batu

Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik

mungkin berhasil pada batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh

penderita dengan pengobatan selama satu sampai dua tahun. Lisis

kontak melalui kateter perkutan ke dalam kandung empedu dengan

metilbutil eter berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan

terapi invasif tetapi kerap disertai penyulit (De Jong, 2010).

B. Pembedahan

23
Pembedahan memang dilakukan batu kandung empedu yang

simtomatik. Indikasi kolesistektomi elektif konvensional maupun

laparoskopik adalah kolelitiasis asimtomatik pada penderita diabetes

melitus karena serangan kolesistitis akut dapat menimbulkan

komplikasi berat. Indikasi lain adalah kandung empedu yang tidak

terlihat pada kolesistografi oral yang menandakan stadium lanjut, atau

kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm

karena batu yang besar lebih sering menimbulkan kolesistitis akut

dibanding batu yang kecil. Indikasi lain adalah kalsifikasi kandung

empedu karena dihubungkan dengan kejadian karsinoma. Pada semua

keadaan tersebut dianjurkan untuk kolesistektomi (De Jong, 2010).

Secara umum, indikasi kolesistektomi untuk batu empedu

adalah batu empedu simtomatik, pankreatittis empedu dan diskinesia

empedu. Pada diskinesia empedu, hasil pemeriksaan injeksi empedu

harus kurang dari 35%. Tes injeksi ini dilakukan dengan

menyuntikkan kolesistokinin 20 mg/kgIV atau glukogen 1 mg/kgBB

untuk membuat relaksasi sfingter. Batu empedu yang asimtomatik

yang memerlukan kolesistektomi adalah pasien karier Salmonella

yang ditandai dengan kultur feses yang positif untk S. Typhy; pasien

imunodefiseinsi, pasien yang akan bertugas jauh dari fasilitas

kesehatan atau menjadi anggota ekspedisi ke daerah terpencil; pasien

dengan kandung empedu jenis porselin; dan kandidat transplantasi

ginjal (De Jong, 2010).

24
C. Medis Koledokolitiasis

Penderita yang menunjukkan gejala kolangitis akut harus

dirawat dan dipuasakan. Apabila ada distensi perut, dipasang NGT

lambung. Dilakukan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan

elektrolit, penanganan, syok, pemberian antibiotik sistemik dan

pemberian vit K sistemik kalau ada koagulopati. Biasanya keadaan

umum dapat diperbaiki dalam waktu 24-48 jam (De Jong, 2010).

Kriteria Kolangitis ringan adalah kolangitis yang segera

membaik setelah terapi awal perawatan medik (De Jong, 2010).

Kriteria Kolangitis sedang adalah kolangitis akut yang tidak

segera dapat diatasi dengan terapi awal perawatan medik, perlu

beberapa waktu untuk membaik. Pada golongan pasien ini, tidak

ditemukan gejala gagal organ. Dahulu, keadaan ini termasuk di dalam

kelompok trias Charcot (De Jong, 2010).

Kriteria Kolangitis berat adalah kolangitis yang telah disertai

disfungsi organ yang ditandai oleh salah satu gejala dibawah ini:

1. Sistem kardiovaskular: hipotensi yang memerlukan dopamin 5

g/kg menit, atau dopamin dengan berbagai dosis.

2. Sistem persarafan: gangguan kesadaran

3. Sistem pernafasan: rasio PaO2/F1O2 < 300;

4. Ginjal kreatinin > 2,0 mg/dl;

5. Hati: PT-INR > 1,5;

25
6. Sistem Hematologi: jumlah platelet < 100.000/ml (De Jong,

2010).

D. Endoskopik

Apabila setelah tindakan dari kriteria kolangitis berat keadaan

umum tidak membaik atau kondisi pasien malah semakin buruk, dapat

dilakukan sfingterotomi endoskopik untuk menyalir empedu dan

nanah dan membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang

dipasang pipa nasobilier (De Jong, 2010).

Cara ini juga berhasil melalui sfingterotomi sfingter Oddi di

papila Vater yang memungkinkan batu keluar secara spontan atau

melalui kateter Fogarty atau kateter basket. Indikasi lain dari

sfingterotomi endoskopik ialah adanya riwayat kolesistektomi.

Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2

cm, sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu

ini. Pada penderita ini dianjurkan litotripsi lebih dahulu untuk

mengeluarkan batu duktus koledokus secara mekanik melalui papila

Vater dengan alat ultrasonik atau laser. Umumnya penghancuran ini

dilakukan bersama-sama atau dilengkapi dengan sfingterotomi

endoskopik (De Jong, 2010).

Penyaliran bilier transhepatik perkutan (percutaneous

transhepatic biliar drainage, PTBD) biasanya bersifat darurat dan

sementara sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada

kolangitis berat, atau mengurangi ikterus berat pada obstruksi saluran

26
empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan pipa T pada

saluran empedu dapat juga dimasukkan koledoskop dari luar untuk

membantu mengambil batu intrahepatik (De Jong, 2010).

E. Koledoktomi

Sambil memperbaiki keadaan umum serta mengatasi infeksi

kolangitis, diagnosis dipertajam. Biasanya dengan USG ditemukan

kolesistolitiasis disertai koledokolitiasis. Kalau pada kandung empedu

tidak ditemukan batu, atau pernah dilakukan kolesistektomi, tetapi di

dalam duktus koledokus ditemukan batu apalagi bila batu ditemukan

di saluran intrahepatik, perlu dicurigai batu primer saluran empedu.

Pemeriksaan endoskopik (ERCP) dapat membantu penegakkan

diagnosis sekaligus dapat dilakukan sfingterotomi sebagai terapi

definitif atau terapi sementara (De Jong, 2010).

Kolangiografi intraoperatif tidak selalu dilakukan pada penderita

yang dicurigai menderita koledokolitiasis karena prosedur ini

memakan waktu. Tindakan ini hanya dilakukan atas indikasi yang

selektif (De Jong, 2010).

Indikasi membuka duktus koledokus adalah jelas jika ada

kolangitis, teraba batu atau ada batu pada foto. Indikasi relatif ialah

ikterus dengan pelebaran duktus koledokus. Untuk menentukkan

indikasi absolut dilakukan kolangiogram sewaktu pembedahan (De

Jong, 2010).

27
Sewaktu melakukan eksplorasi saluran empedu, semua batu,

lumpur dan debris harus dibersihkan, sebaiknya dengan bantuan

koledoskop. Kalau ada striktur sfingter Oddi, harus dilakukan dilatasi

dengan sonde khusus atau dilakukan sfingterotomi transduodenal.

Umumnya dipasang penyalir pipa T setelah luka koledokotomi dijahit,

kemudian dilakukan kolangiografi pascaeksplorasi untuk mengetahui

apakah ada batu yang tertinggal, agar segera dapat dikeluarkan (De

Jong, 2010).

F. Koledokoduodenostomi

Setelah eksplorasi saluran empedu dan pengangkatan batu

secara sempurna, mungkin perlu penyaliran empedu diperbaiki dengan

koledokoduodenostomi latero-lateral atau koledokoyeyunostomi

Roux-en-Y. Tindakan ini dilakukan bila ada striktur di duktus

koledokus distal atau di papila Vater yang terlalu panjang untuk

dilakukannya dilatasi atau sfingterotomi. Striktur demikian mungkin

terjadi pascapankreatitits (De Jong, 2010).

28
BAB III

ANALISIS KASUS

Diagnosis cholelithiasis ditegakan berdasarkan dari anamnesa, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang.

3.1 Subjektif

Dari anamnesis didapatkan:

Nyeri perut kanan atas sampai ke ulu hati sejak 3 bulan ini, beberapa hari

ini semakin nyeri. Diperberat jika nafas panjang.

Nyeri hilang timbul, jika nyeri lama nyerinya

Nyeri menjalar ke punggung kanan pasien

Mual (+) muntah (+) jika makan

Demam (+), Menggigil (+) pada awal timbul terjadinya nyeri

Pembahasan:

Apabila batu empedu menyumbat di dalam saluran empedu utama,

maka akan muncul nyeri yang bersifat hilang-timbul. Nyeri yang dirasakan

biasanya pada daerah epigastrium dan kuadran kanan atas, yang kemudian

dapat menjalar hingga ke punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak

bahu (Collins sign).

Jika duktus sistikus tersumbat batu, maka kandung empedu

mengalami distensi kemudian akan terjadi infeksi sehingga akan teraba nyeri

29
hebat sampai menjalar ke punggung dan bahu kanan sehingga menyebabkan

rasa gelisah dan tidak menemukan posisi yang nyaman.

3.2 Objektif

A. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum pasien cukup, kesadaran komposmentis

Status lokalis regio abdomen: dari Inspeksi: kulit tampak normal, dinding

abdomen tidak tampak distensi, Auskultasi: BU (+) normal, Palpasi:

nyeri tekan (-) pada seluruh lapang abdomen; Murphys Sign (+); hepar,

lien dan renal tidak teraba. Perkusi: timpani pada seluruh lapang

abdomen.

Resume: dari pemeriksaan abdomen didapat pemeriksaan Murphys Sign

(+), hal ini mengarah ke penyakit cholelithiasis.

B. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium, jumlah leukosit dalam batas normal

dan kadar billirubin dalam batas normal. Pada pasien yang dicurigai

menderita batu empedu, pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, dan

bilirubin dapat menjadi pilihan.Batu kandung empedu yang

asimtomatik umumnya tidak menunjukan kelainan laboratorium.

Apabila diduga terdapat kolesistitis akut, maka hasil laboratoium

akan menunjukan leukositosis dan hingga 15% penderita memiliki

peningkatan sedang dari enzim hepar, serum bilirubin dan alkali

30
fosfatase. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan

ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu.

Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di

dalam duktus koledukus. Kadar alkali fosfatase serum dan mungkin

juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap

kali terjadi serangan akut

Hasil foto USG Abdomen : cholelithiasis multipel, tidak ada

obstruksi sistem bilier.

3.3 Assesment

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang maka pasien ini didiagnosis kolelitiasis.

3.4 Planning

A. Pre Operasi

Inform concent

Puasa 8 jam

Infus RL

B. Operasi

Teknik operasi yang digunakan adalah kolesistektomi.

Kolesistektomi terbuka merupakan tindakan pembedahan abdomen

yang besar, dimana ahli bedah mengambil kandung empedu melalui

irisan panjang 10-18 cm. Kolesistektomi terencana pertama

dilakukan oleh Karl Lungenbach dari Jerman pada tahun 1882.

31
Lebih dari satu abad, kolesistektomi terbuka menjadi standar

pengelolaan kolelitiasis simtomatis. Kolesistektomi terbuka

dilakukan ketika kantong empedu yang sangat meradang, terinfeksi,

atau bekas luka lainnya dari operasi. Dalam kebanyakan kasus,

kolesistektomi terbuka direncanakan dari permulaan. Namun, ahli

bedah mungkin melakukan kolesistektomi terbuka saat masalah

terjadi selama laparoskopi kolesistektomi.

C. Post operasi

Infus RL

Antibiotik profilaksis

Analgesik

Follow up pasien

32
DAFTAR PUSTAKA

Chris Tanto, dkk., 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Edisi 4. Media
Aesculaplus. Jakarta.

Debas HT, 2004. Gastrointestinal Surgery; Pathophysiology and management.


New York. Hal. 200-19.
De Jong, 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. EGC. Jakarta.

Ginting S. A, 2011. Description Characteristic Risk Factor of the Cholelithiasis


Disease in The ColombiaAsia Medan Hospital. Medan. Hal. 38-44.

Logan RPH, Harris A, Misiewicz JJ, Baron JH, 2002. ABC of The Upper
Gastrointestinal Tract. BMJ publishing. London. Hal. 46-9.

Snell Richard S., 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
EGC. Jakarta

33

Anda mungkin juga menyukai