Anda di halaman 1dari 15

METODOLOGI PENELITIAN

PADA IKAN GABUS


ABSTRAK

Astuti, 2009. Analisis Kandungan Albumin pada Filtrat Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus)
dengan Variasi Kondisi Ikan Pre dan Rigor Mortis pada Berbagai Konsentrasi NaCl. Skripsi,
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang. Pembimbing (I): Ir. Nugrahaningsih, M.P,
(II): Dra. Sri Rahayu Lestari, M.Si

Kata Kunci : Albumin, Ikan Gabus, Rigor Mortis, Konsentrasi NaCl

Ikan Gabus merupakan salah satu jenis ikan air tawar, yang kaya akan albumin. Untuk
mendapatkan albumin ikan gabus, secara sederhana dapat dilakukan proses pemanasan
(pengukusan) sehingga diperoleh filtrat ikan gabus. Albumin yang terkandung dalam filtrat ikan
gabus dimanfaatkan sebagai suplemen tambahan untuk pasien dengan indikasi hipoalbumin
(Nefrotik sindrom), pasca operasi, pasien luka bakar, pasien Diabetes Melitus dengan gangren).
Kandungan albumin filtrat ikan gabus dipengaruhi oleh faktor kondisi ikan dan ada atau tidak
adanya pemakaian pelarut dalam proses pengolahan. Pemakaian NaCl dikondisikan agar terjadi
perbedaan tekanan osmotik antara luar dan dalam jaringan otot ikan, sehingga albumin dapat
terekstrak secara maksimal.

Tujuan penelitian ini, yaitu (1) untuk mengetahui pengaruh perlakuan interaksi kondisi ikan dan
konsentrasi NaCl terhadap kandungan albumin ikan gabus, (2) untuk mengetahui pengaruh
kondisi ikan terhadap kandungan albumin ikan gabus, (3) untuk mengetahui pengaruh
konsentrasi NaCl terhadap kandungan albumin ikan gabus.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas Negeri Malang (untuk preparasi
sampel) dan Laboratorium Kimia Universitas Muhamadiyah Malang (untuk pemeriksaan
kandungan albumin). Waktu penelitian dalam bulan Mei-Juni 2009. Jenis penelitian merupakan
penelitian eksperimen faktorial, dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) . Faktor pertama,
yaitu faktor kondisi ikan (pre dan saat rigor mortis) dan faktor kedua konsentrasi NaCl (0%,
0,1%, 0,3% dan 0,5%). Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis varian ganda (Anava
ganda), dan bila perlakuan berpengaruh dilanjutkan uji BNT.

Hasil penelitian menunjukkan untuk perlakuan interaksi tidak berpengaruh terhadap kandungan
albumin; sedangkan faktor kondisi ikan (pre dan rigor mortis) berpengaruh terhadap kandungan
albumin ikan gabus pada taraf signifikasi 5%, demikian juga untuk konsentrasi NaCl
memberikan pengaruh terhadap kandungan albumin. Pada uji BNT perlakuan kondisi ikan pre
rigor mortis memberikan pengaruh lebih nyata dibandingkan perlakuan kondisi ikan rigor mortis
terhadap kandungan albumin; demikian pula perlakuan konsentrasi NaCl 0,1%, 0,3% dan 0,5%
memberikan pengaruh lebih nyata dibandingkan perlakuan konsentrasi NaCl 0%, tetapi tidak
berbeda nyata antara ketiga perlakuan konsentrasi tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut
misalnya, uji Natrium pada produk fitrat ikan gabus dengan berbagai konsentrasi NaCl serta uji
Mikrobiologis pada berbagai suhu pemanasan dalam proses pengolahan ikan gabus.
PENDAHULUAN

Ikan gabus (Ophiocephalus striatus) merupakan jenis ikan yang hidup di air tawar dan
sudah banyak dikenal oleh masyarakat. Ikan gabus berkembang biak dan hidup di daerah sungai,
sawah, empang dan sering juga ditemukan di daerah rawa.
Ikan gabus (Ophiocephalus striatus) sudah banyak dimanfaatkan dan diolah oleh
masyarakat untuk dibuat tepung ikan sebagai pakan ternak. Namun, sejalan dengan
perkembangan teknologi, ikan gabus tidak hanya digunakan dalam pembuatan pakan ternak. Saat
ini ikan gabus juga digunakan dalam dunia kedokteran sebagai penyembuh luka pascaoperasi
dan luka bakar dengan cara mengambil ekstrak ikan tersebut. Selain mengobati luka bakar dan
luka pascaoperasi, albumin bisa digunakan untuk menghindari timbulnya sembap paru-paru dan
ginjal, serta carrier faktor pembekuan darah. Serum albumin merupakan komponen yang
diproduksi dari darah manusia yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka, baik luka bakar
maupun luka pascaoperasi. Untuk memperoleh serum albumin yang dibutuhkan, biasanya pasien
harus mengeluarkan biaya yang besar. Dengan ditemukannya albumin pada ikan gabus maka
akan mengurangi biaya pasien untuk mendapatkan serum albumin tersebut.
Melihat keadaan tersebut, maka guna meningkatkan kualitas produksi olahan ikan gabus
diperlukan adanya pemanfaatan yang lebih baik dan inovatif sehingga dihasilkan produk olahan
yang memiliki nilai gizi yang lebih tinggi. Konsentrat protein ikan gabus adalah hasil produk
olahan yang sangat tepat untuk diberdayakan, sehingga dapat menjadi salah satu alternatif yang
tepat dalam pengolahan ikan gabus dan dapat membantu pada petani/nelayan dalam
meningkatkan pendapatan mereka.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh perebusan dan pengukusan
dalam pembuatan konsentrat protein ikan gabus terhadap kandungan gizi khususnya protein
sebagai salah satu pangan fungsional
Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Dari segi IPTEK, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang optimalisasi
pembuatan konsentrat protein ikan gabus.
2. Dari segi gizi dan kesehatan, dengan diproduksinya konsentrat protein ikan gabus, maka
produk ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pangan fungsional dan alternatif
pengobatan.
METODOLOGI PENELITIAN

1. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui suhu dan lama pengeringan yang
optimal, perbandingan yang optimal antara ikan dan volume aquadest pada saat proses
perebusan dan pengukusan, perbandingan yang optimal pada proses ekstraksi dan lemak
dan volumesisa air kukusan dan air rebusan dengan volume larutan heksan.
2. Penelitian lanjutan (utama) adalah pembuatan ikan gabus dengan beberapa prosedur
kerja, yaitu:
Kontrol
1. Ikan gabus ditimbang kemudian dibersihkan/disiangi (dibuang sisik, isi perut,
insang, sirip, kepala dan kulitnya)
2. Dipotong-potong kemudian dicuci sampai bersih (tidak ada darah) kemudian
ditiriskan kemudian dipisahkan antara daging dengan tulangnya lalu ditimbang
3. Ikan lalu dicincang/dihancurkan dan ditambahkan aquadest dengan perbandingan
berat : volume yaitu 1 : kemudian diambil ekstraknya sampai adonan ikan
tersebut agak kering.
4. Cairan yang diperoleh dicampurkan dengan pelarut heksan dengan perbandingan
volume : volume yaitu 1 : untuk memisahkan lemak kemudian dipisahkan
dengan menggunakan corong pisah
5. Ditambahkan antioksidan BHT dengan perbandingan 0,02% dari volume ekstrak
ikan kemudian ditimbang
6. Dikeringkan dalam freeze drier selama + 24 jam
7. Adonan yang telah memadat dan benar-benar kering lalu dihancurkan/digiling
dengan menggunakan alat disc meal.
8. Diayak dengan ayakan halus (80 mesh) lalu ditimbang.

Cara Perebusan
1. Ikan gabus ditimbang kemudian dibersihkan/disiangi (dibuang sisik, isi perut,
insang, sirip, dan kepala) kemudian dicuci hingga tidak ada darah dan lendir
2. Ikan yang telah dibersihkan ditiriskan kemudian ditimbang
3. Ikan direbus pada suhu 70-800 C selama 50 menit dengan perbadingan antara ikan
dan air dengan perbandingan berat : volume yaitu 1 :
4. Setelah direbus, ikan didinginkan kemudian ditimbang lalu dipisahkan dari kulit
dan tulangnya
5. Daging ikan disuir-suir kemudian ditimbang
6. Air sisa perebusan dicampurkan dengan suiran-suiran ikan lalu diekstrak
cairannya sampai adonan tersebut agak kering
7. Cairan yang diperoleh dicampurkan dengan pelarut heksan dengan perbandingan
volume : volume yaitu 1 : untuk memisahkan lemak kemudian dipisahkan
dengan menggunakan corong pisah
8. Ditambahkan antioksidan BHT dengan perbandingan 0,02% dari volume ekstrak
ikan kemudian ditimbang
9. Dikeringkan dalam freeze drier selama + 24 jam
10. Adonan yang telah memadat dan benar-benar kering lalu dihancurkan/digiling
dengan menggunakan alat disc meal.
11. Diayak dengan ayakan halus (80 mesh) lalu ditimbang.

Cara Pengukusan
1. Ikan gabus ditimbang kemudian dibersihkan/disiangi (dibuang sisik, isi perut,
insang, sirip, dan kepala) kemudian dicuci hingga tidak ada darah dan lendir
2. Ikan yang telah dibersihkan, ditiriskan kemudian ditimbang
3. Ikan dikukus pada suhu 70-800 C selama 50 menit dengan perbadingan antara
ikan dan air dengan perbandingan berat : volume yaitu 1 :
4. Setelah dikukus, ikan didinginkan kemudian ditimbang lalu dipisahkan dari kulit
dan tulangnya
5. Daging ikan disuir-suir kemudian ditimbang
6. Air sisa pengukusan dicampurkan dengan suiran-suiran ikan lalu diekstrak
cairannya sampai adonan tersebut agak kering
7. Cairan yang keluar dari adonan tersebut dicampurkan dengan pelarut heksan
dengan perbandingan volume : volume yaitu 1 : untuk memisahkan lemak
kemudian dipisahkan dengan menggunakan corong pisah
8. Ditambahkan antioksidan BHT dengan perbandingan 0,02% dari volume ekstrak
ikan kemudian ditimbang
9. Dikeringkan dalam freeze drier selama + 24 jam
10. Adonan yang telah memadat dan benar-benar kering lalu dihancurkan/digiling
dengan menggunakan alat disc meal.
11. Diayak dengan ayakan halus (80 mesh) lalu ditimbang.
PEMBAHASAN

1. Penelitian Pendahuluan

Penentuan suhu dan lama pengeringan dilakukan dengan cara mengeringkan ekstrak ikan.
Setelah dilakukan pengeringan beku terhadap ekstrak ikan gabus sebanyak 800 gram untuk
memperoleh kadar air konsentrat protein ikan (FPC) ikan gabus + 12%, maka diperoleh suhu dan
lama pengeringan beku yang baik adalah -200C dengan tekanan absolut 5-10 mmHg selama + 24
jam.
Perbandingan volume ikan dan volume air pada proses perebusan dan pada proses
pengukusan adalah 1 : (100 gram ikan : 300 ml air). Perbandingan ini ditentukan agar
diperoleh volume air sisa perebusan dan pengukusan yang optimal untuk ditambahkan ke dalam
daging ikan sebelum diekstrak
Perbandingan sisa air pengukusan dan sisa air perebusan dengan dengan volume larutan
heksan ditentukan untuk mengetahui volume larutan heksan yang optimal pada proses ekstraksi
lemak pada ekstrak ikan yang diperoleh. Perbadingan yang optimal adalah 1 : (200 ml air sisa
pengukusan/ perebusan : 50 ml larutan heksan).

2. Penelitian Lanjutan (Utama)

Hasil penelitian pendahuluan dilanjutkan ke penelitian utama untuk membuat konsentrat


protein ikan gabus dengan beberapa cara yang berbeda, dengan prosedur dan parameter yang
telah diuraikan di metodologi penelitian.

3. Kadar Air

Kadar air kontrol daging segar ikan gabus sebelum dikeringkan adalah 81% dan setelah
dikeringkan kadar air ikan tersebut adalah 10-15%. Setelah ekstrak ikan gabus dibuat menjadi
tepung dengan beberapa cara yang berbeda maka yang diperoleh kadar air yang tertinggi terdapat
pada konsentrat protein ikan gabus yang dibuat dengan cara pengukusan yaitu 15,19% dan kadar
air terendah diperoleh pada konsentrat protein ikan gabus yang dibuat dengan perlakuan kontrol
yaitu 10,48%.
Tingkat kadar air yang berbeda-beda pada konsentrat protein ikan gabus yang dihasilkan
disebabkan oleh proses pengolahannya yang berbeda pula. Kadar air tertinggi terdapat pada
konsentrat protein ikan gabus yang dibuat dengan cara pengukusan. Hal ini disebabkan karena
pada saat pengukusan kandungan air daging ikan meningkat, sedangkan konsentrat protein ikan
yang dibuat dengan perlakuan kontrol memiliki kadar air terendah karena tidak terjadi
penambahan air pada daging ikan. Sesuai dengan Ubbe (1998), bahwa keadaan vakum yang
digunakan pada pembuatan konsentrat protein ikan ini adalah tekanan absolut 5-10 mmHg dan
merupakan keadaan sedang. Makanan daging (yang berasal dari daging) yang dikeringkan
dengan metode tersebut biasanya mempunyai kerusakan lebih kecil bila dibandingkan dengan
yang dikeringkan dengan cara pengeringan konvensional (dehidrasi konvensional). Oleh karena
itu, dalam keadaan hampa udara akan mengakibatkan terjadinya penurunan perubahan oksidatif
dan temperatur pengeringan juga lebih kecil. Temperatur pengeringan yang kecil sangat
berpengaruh pada tingkat kadar air tepung yang dihasilkan.
Perbedaan tingkat kadar air juga dipengaruhi oleh proses pemisahan lemak pada konsentrat
protein ikan. Menurut Winarno (2002), molekul lemak terbentuk akibat reaksi esterifikasi
gliserol dengan asam lemak membentuk tripalmitin dan air. Apabila lemak pada konsentrat
protein ikan gabus yang dihasilkan diekstrak, maka kandungan air yang terdapat pada ikan
tersebut akan berkurang karena di dalam lemak terdapat kandungan air yang menyusun
komponen lemak.

4. Kadar Protein

Hasil analisa kadar protein pada konsentrat protein ikan gabus yang diolah dengan beberapa
cara memperlihatkan hasil yang berbeda-beda. Konsentrat protein ikan gabus yang diolah dengan
perlakuan kontrol memiliki kadar protein yang paling besar yakni 64,36% jika dibandingkan
dengan konsentrat protein ikan yang diolah dengan cara perebusan 61,15% dan cara pengukusan
58,51%. Hal ini sesuai dengan kutipan Windsor (2001), bahwa secara umum kandungan protein
produk konsentrat protein ikan yaitu 65-80%. Perbedaan kadar protein yang berbeda juga
disebabkan karena proses pengolahan yang diberikan. Berdasarkan kutipan Anonim (2005) yaitu
konsentrat protein ikan dapat disiapkan dari jenis dan rasa ikan yang berbeda. Produk tersebut
disiapkan dari ikan dengan cara penyulingan keluar komponen lemak, penyaringan atau
pemisahan tulang dan kemudian mengeringkannya, jadi produk akhir yang diperoleh memiliki
kandungan protein tinggi (60-90%) dan kadar abu yang lebih rendah dibandingkan dengan
tepung ikan. Ukuran partikel dari konsentrat protein ikan lebih kecil daripada tepung ikan namun
memiliki tekstur dan warna yang serupa.
Perbedaan tingkat kadar protein pada konsentrat protein ikan gabus yang dihasilkan
disebabkan karena sifat protein berupa albumin yang larut dalam air dan mudah terkoagulasi jika
diberi pemanasan. Cara pengolahan tiap pembuatan konsentrat protein ikan gabus yang memberi
pengaruh terhadap kadar protein karena adanya perlakuan panas yang memungkinkan terjadinya
kadar albumin tersebut. Menurut Winarno (2002), bahwa menurut kelarutannya, protein globuler
dapat dibagi dalam beberapa grup yaitu albumin, globulin, glutein, histon dan protamin. Albumin
memiliki sifat yang mudah larut dalam air dan terkoagulasi oleh panas. Contohnya albumin telur
(ovalbumin), albumin serum dan laktabumin pada susu.
Perbedaan kadar protein pada produk konsentrat protein ikan yang dihasilkan juga sangat
dipengaruhi oleh kadar air konsentrat protein ikan. Semakin tinggi kadar air maka semakin
rendah kadar proteinnya. Sesuai dengan pendapat Buckle et al (1987), bahwa kadar protein ikan
dipengaruhi oleh kadar air dan kadar lemak, dimana terdapat hubungan terbalik antara protein
dan kadar air pada bagian yang dapat dimakan. Semakin tinggi kadar protein semakin rendah
kadar airnya. Pada umumnya, daging ikan yang berwarna merah mempunyai kadar protein yang
rendah, tetapi kadar airnya lebih tinggi dibandingkan dengan daging ikan yang berwarna putih
mempunyai kadar protein tinggi dan kadar air rendah.

5. Rendemen

Rendemen konsentrat protein ikan gabus yang dibuat dengan beberapa cara yaitu perlakuan
kontrol, perebusan dan pengukusan memperlihatkan hasil yang berbeda. Rendemen konsentrat
protein ikan yang tertinggi diperoleh pada konsentrat protein ikan yang dibuat dengan cara
pengukusan yaitu 3,43% sedangkan konsentrat protein ikan dengan perlakuan kontrol memiliki
rendemen terendah yaitu 2,05%.
Variasi rendemen konsentrat protein ikan gabus yang dibuat dipengaruhi oleh proses
pengolahannya yang berbeda. Rendemen tertinggi yaitu pada konsentrat protein ikan yang dibuat
dengan cara pengukusan (3,43%). Hal ini disebabkan karena pada saat pengukusan, kandungan
air yang terdapat dalam daging ikan lebih tinggi dan dilakukan tanpa adanya kontak langsung
dengan air dan hanya menggunakan uap panas, sehingga hal tersebut mempengaruhi rendemen
konsentrat protein ikan yang dihasilkan.
Tinggi atau rendahnya rendemen produk konsentrat protein ikan juga ditentukan oleh
penanganan pada saat penggilingan. Biasanya pada proses ini apabila tidak ditangani dengan
baik, maka banyak tepung yang terbuang karena ukuran butiran yang kecil dan halus sehingga
mudah keluar akibat tiupan udara melalui celah-celah yang terdapat pada sepanjang aliran tepung
sampai pada kemasan. Menurut Anonim (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya
rendemen tepung ikan adalah banyaknya kandungan air yang terkandung dalam bahan baku pada
saat perebusan dapat meningkatkan kandungan air sehingga berpengaruh terhadap rendemen.
Faktor lain yang mempengaruhi seperti bahan baku yang tidak sesuai dengan standar operating
procedure (ikan yang tidak segar), proses penggilingan yang tidak ditangani dengan baik dan
terjadinya kehilangan daging ikan selama pengolahan.

6. Uji Organoleptik

Metode yang digunakan adalah metode Hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan terhadap
warna, kenampakan dan tekstur konsentrat protein ikan gabus yang dihasilkan.

a. Warna
Respon panelis terhadap warna konsentrat protein ikan gabus yang dihasilkan tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan karena secara keseluruhan warna konsentrat protein
ikan gabus yang dihasilkan tidak jauh berbeda.
Warna konsentrat protein ikan yang dihasilkan memenuhi standar mutu warna yang baik yaitu
berwarna agak kekuningan. Sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992), bahwa tepung ikan yang
bermutu baik harus memiliki sifat-sifat tertentu, salah satunya yaitu warna tepung ikan yang baru
selesai diolah biasanya berwarna abu-abu. Namun setelah disimpan, warnanya berubah menjadi
coklat kekuningan. Akan tetapi, perubahan warna ini tidak mempengaruhi nilai gizinya. Selain
itu, hal ini juga didukung oleh pendapat Winarno (2000), bahwa suatu bahan pangan yang dinilai
begitu enak dan tekstur yang baik tidak akan dimakan apabila memiliki kesan menyimpan dari
warna seharusnya. Penerimaan warna suatu bahan berbeda-beda tergantung dari faktor alam,
geografis dan aspek sosial masyarakat penerimanya.

b. Kenampakan
Kenampakan konsentrat protein ikan yang diperoleh dari hasil uji organoleptik menunjukkan
adanya perbedaan tingkat kesukaan panelis dimana perlakuan kontrol dan perlakuan pengukusan
lebih disukai dibandingkan perlakuan perebusan.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh cara pengolahan yang beragam. Ekstraksi lemak yang
dilakukan memberi pengaruh terhadap tepung yang dihasilkan. Menurut Winarno (2002), lemak
mengandung pigmen (karotenoid) yang menyebabkan lemak tersebut berwarna. Pada daging
ikan, selama proses pengeringan pigmen mengalami perubahan, dimana perlakuan pemanasan
akan mengurangi warna pigmen karena karotenoid tidak stabil pada suhu tinggi.

c. Tekstur
Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai tekstur konsentrat protein
ikan dengan perlakuan kontrol dibandingkan perlakuan lainnya.
Proses pemasakan baik dengan cara perebusan maupun pengukusan dapat mempengaruhi
nilai morganoleptis produk konsentrat protein ikan khususnya terhadap tekstur. Menurut Saleh,
dkk (1985), bahwa tujuan pemasakan baik perebusan maupun pengukusan dilakukan untuk
mengurangi kadar air dan mempertahankan mutu daging yaitu tekstur yang padat dan kompak.
Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:


1. konsentrat protein ikan gabus yang diperoleh dengan berbagai perlakuan memiliki kadar
air yang baik yaitu 10-15% sesuai dengan standar
2. Konsentrat protein ikan gabus dengan perlakuan perebusan memiliki kandungan protein
tertinggi (61,55%) bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol
3. Hasil uji organoleptik menunjukkan konsentrat protein ikan gabus dengan perlakuan
pengukusan disukai dari segi warna sedangkan perlakuan kontrol disukai dari tekstur dan
kenampakannya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 1995. Gabus Teman Sang Professor. http://gatra.com. Diupdate tanggal 2


Agustus 2006.
2. Apriyantono, Anton., D.Fardiaz., N.L. Puspitasari, Sedarnawati, S., Budiyantono., 1989.
Analisis Pangan (Petunjuk Laboratorium). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor
3. Buckle, K.A., R.A. Edwards., G.H. Fleet and m. Wootton, 1987. Food Science.
Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono dalam Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press,
Jakarta.
4. Moeljanto, 1992.Moorjani, M.N., 2005. Fish Protein Concentrate, Fish Flour, Fish
Hydrolyzate. Research and Development Work on Fish Enriched Protein Foods From
Inexpensive Varieties of Fish. http://www.fao.org/WAICENT/
FaoInfo/Agricult/agA/AGAP/FRG/AFRIS/Data/334.HTM. Diupdate tanggal 2 Agustus
2006.
5. Saleh, M. Hari Eko I., Delima H.D., P.S. Siswoputranto., 1985. Standar Tepung Ikan di
Dalam Pengembangan Produksi Tepung Ikan. Tim Analisa Komoditi, Sekretariat
Jenderal. Departemen Pertanian.
6. Ubbe, Umar., 1998. Diktat Kimia Bahan Makanan. Fakultas Matematika dan ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin, Makassar
7. Windsor,. M.L. 2001. Fish Protein Concentrate. Ministry of Technology Torry Advisory
Note No. 39. http://www.fao.org/wairdocs/x5917E/x5917e00.htm. FAO in Partnership
With Support Unit for International Fisheries and Aquatic Reseach, SIFAR.
8. Winarno, F.G., 2000. Potensi dan Peran Tepung-Tepungan Bagi Industri Pangan dan
Program Perbaikan Gizi. Makalah pada Seminar Nasional Interaktif. Penganekaragaman
Makanan Untuk Memantapkan Ketersediaan Pangan, Jakarta.
9. Winarno, 2002. Ilmu Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai