Anda di halaman 1dari 4

JANGAN MAU DIPECAH BELAH KARENA PERBEDAAN AGAMA :

TINJAUAN RISK DAN ATRIBUSI

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Indonesia terdiri atas beragam agama, etnis, dan budaya. Dari masa lalu hingga sekarang
demikianlah kondisi Indonesia. Indonesia itu bukan hanya terdiri atas satu jenis etnis, agama,
atau budaya jadi tidak bisa dipaksakan Indonesia harus menjadi satu. Kondisi keberagaman
yang ada mendasari semboyan Bhinneka Tunggal Ika yaitu berbeda-beda tetapi satu yaitu
Indonesia. Indonesia akan kuat apabila bersatu namun sepertinya hampir setiap hari masih
terjadi pergesekan-pergesekan akibat perbedaan-perbedaan yang ada terutama perbedaan
agama.

Perbedaan agama menjadi risiko terbesar terjadinya pergesekan. Dengan seringnya terjadi
pergesekan akibat perbedaan agama, fokus pembangunan bangsa menjadi kurang optimal
karena energi berkurang untuk mengurus hal tersebut. Kita dapat belajar pada negara-negara
lain seperti Brunei, Malaysia, dan Singapura. Bagaimana pembangunan fisik, pendidikan, dan
sosial di negara-negara tersebut maju dengan pesatnya. Indonesia yang dulunya menjadi
pusat pembelajaran bagi negara-negara tersebut sekarang malah tertinggalkan. Negara-negara
tersebut juga memiliki risiko pergesekan agama karena beragam agama yang dianut
warganya. Namun penghormatan negara dan warga negara terhadap agama yang dianut setiap
warga negaranya dapat diterapkan dengan baik.

Belajar dari kondisi negara tetangga, kita dapat mengatakan terdapat perbedaan kondisi
antara negara kita dengan negara lain. Benar, bedanya terletak pada risk dan vulnerability.
Mengacu pada konsep risk, risk terbentuk oleh adanya hazard dan vulnerability. Risiko
pergesekan atau konflik yang disebabkan agama ditentukan oleh keberagaman agama yang
ada, makin banyak perbedaan maka akan makin berisiko terjadi pergesekan atau konflik
(hazard). Selain itu risiko pergesekan atau konflik agama juga ditentukan oleh kerentanan
(vulnerability) dalam bentuk peran pemerintah yang kurang optimal dalam penyelenggaraan
kehidupan beragama ataupun warga negaranya yang belum menerapkan penghargaan
terhadap perbedaan agama yang terjadi.

Negara-negara tetangga Indonesia bukannya tidak pernah mengalami konflik agama. Pernah
dan masih terjadi hingga sekarang karena kondisi demikian tidak akan pernah bisa
dihilangkan. Namun jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan di Indonesia. Di Indonesia
perbedaan agama seringkali digunakan sebagai komoditi untuk kepentingan politik, ekonomi,
pendidikan, dan sosial. Bahasa awamnya adalah sedikit-sedikit terjadi perbedaan, ujung-
ujungnya ditanya dan dibahas tentang agama yang dianut. Kalau kondisi demikian selalu
terjadi dan terulang, akan sulit negara lndonesia maju dan damai dengan slogan toleransi
beragama yang benar-benar diterapkan bukan hanya formalitas. Seolah-olah negara Indonesia
dan warganya tidak pernah belajar lebih baik dari sejarah masa lalu negaranya.

Kembali ke risiko pergesekan dan konflik perbedaan agama. Risiko Indonesia mengalami
konflik besar karena hazard nya secara nyata ada. Tidak hanya satu agama yang ada di
Indonesia, tidak hanya satu agama yang dianut warga negara Indonesia. Mau memaksakan
semua warga negara menganut satu agama jelas tidak boleh karena berkaitan dengan
keyakinan kebatinan setiap orang dengan sang Pencipta. Hazard secara objektif ada dan
seperti kondisi di negara-negara lain. Namun yang membedakan adalah vulnerability.

Vulnerability negara Indonesia termasuk tinggi. Banyak bukti pemerintah tidak tegas dalam
menerapkan penghormatan kehidupan beragama. Selain itu warga negara Indonesia juga
belum sepenuhnya menghormati perbedaan agama yang ada. Di setiap agama mengajarkan
agamanyalah yang paling benar namun sudah diajarkan tentang pentingnya penghormatan
terhadap ajaran atau agama yang dianut orang lain. Pemerintah yang belum sepenuhnya baik
dalam menjaga keharmonisan kehidupan beragama dan warga negara yang masih intoleran
membuat vulnerability tinggi.

Ketika terjadi pergesekan atau konflik antar agama, selalu muncul statement bahwa ada
pihak-pihak yang memanasi, merusak, atau sengaja memancing di air keruh yang tidak suka
dengan kedamaian dan kerukunan beragama di Indonesia. Kebiasaan seperti ini
menggambarkan atribusi eksternal untuk terjadinya penyebab konflik atau dengan kata lain
meletakkan tanggungjawab pada pihak lain. Kapankah kita akan mengeluarkan statement
bahwa penyebab konflik atau pergesekan agama karena faktor warga negara dan pemerintah
yang memang belum menerapkan dengan baik prinsip penghormatan dan pengakuan
perbedaan agama yang menunjukkan atribusi internal. Pengakuan faktor penyebab internal
akan membuat kita lebih mudah melakukan refleksi dan perubahan perilaku. Dengan adanya
penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan agama maka vulnerability juga akan
berkurang.

Semoga konflik-konflik yang disebabkan perbedaan agama di Indonesia makin berkurang


dan Indonesia menjadi harmonis dengan keberagamannya. Dengan demikian Indonesia
menjadi tempat tinggal yang nyaman dan aman bagi setiap warga negaranya mulai lahir
hingga menutup mata seperti syair lagu Indonesia Pusaka.
Perbedaan Agama
Perbedaan agama merupakan suatu hal yang baik. Tampaknya ini merupakan niat dan
kebijakan dari Tuhan. Adanya perbedaan akan mempertajam kemampuan intelektual kita.
Namun, sedikit sekali yang mau dengan tenang mendengarkan ulasan tentang agama yang
dianut orang lain.

Jika diadakan suatu forum di mana setiap agama atau ajaran bebas memperkenalkan apa yang
diyakininya atau lebih jauh lagi diadakan diskusi terbuka dalam mengemukakan kebenaran
yang dimiliki tiap agama dan kepercayaan, hal tersebut sering memicu kejahilan dan
kekacauan sehingga sulit untuk terlaksana.

Sebenarnya bisa saja perbedaan agama tersebut menjadi sebuah diskusi yang damai jika si
pembicara dan si pendengar yang berbeda tersebut mau duduk bersama, seperti halnya
seorang ayah yang menemukan sesuatu buruk pada anaknya dan ia menasihati si anak dengan
sabar dan lembut hati. Sebab mengharapkan sesuatu yang baik dengan jalan kekerasan adalah
sebuah mimpi.

Masyarakat kita tampaknya dalam menghadapi perbedaan agama masih banyak yang terbiasa
dengan mengedepankan prasangka dan permusuhan bahkan terbiasa sekali menggunakan
bahasa kasar dan sadis. Yang terpikir hanyalah saya harus menang dan tidak boleh kalah,
lebih baik bertengkar ketimbang mengakui kekalahan. Sebenarnya syarat untuk
mengemukakan kebenaran adalah tidak memiliki prasangka buruk dan permusuhan.

Ketika suatu diskusi dibuka baik secara nyata maupun di media sosial dalam pertemuan
tersebut selalu saja ada beragam audiens yang hadir. Ada yang sama sekali tidak tahu
permasalahan dan hanya ingin bergabung dengan kelompoknya.

Yang lain datang hanya untuk melontarkan caci-maki. Ada yang perilakunya kasar suka
membuat onar dan sebagainya. Jika menghadapi jenis audiens seperti ini, maka mustahil
suatu diskusi dapat terselenggara dengan damai sehingga tidak dapat menampilkan keindahan
dari ajaran-ajaran tiap agama. Suatu masalah jika tidak didengarkan dengan hati yang dingin
serta penuh toleransi, maka akan sulit sekali mendalami kebenarannya.

Keyakinan saya dengan rasa berpikir positif serta secara realitas bahwa anak bangsa ini masih
banyak yang sopan, tidak mencerca semena-mena, tidak berprasangka buruk dan berkata
buruk tentang sosok pimpinan yang dihormati orang lain walaupun cukup sulit menemukan
jenis orang yang seperti ini. Sebab, mereka masih menjaga jarak dengan persoalan menyikapi
perbedaan agama dengan cara yang damai.

Kebiasan baik dalam menyikapi perbedaan agama harus digalakkan oleh para
pemimpin firqah atau pemimpin umat, sebagaimana pimpinan umat Islam Ahmadiyah,
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as., menekankan kepada jemaahnya:

Aku telah menekankan berulang kali kepada jemaahku bahwa mereka tidak boleh gegabah
menilai buruk orang lain. Semua agama terdahulu datang dari Tuhan, hanya saja karena
perjalanan waktu lalu mengalami penyimpangan. Hal seperti itu harus dijelaskan secara halus
dan lembut. Jangan pernah mengemukakan keberatan kepada orang lain seperti lemparan
batu. (Malfuzat, vol.5)

Jika seorang pemimpin mampu membuat umatnya bersabar di saat mereka dihina dan
terzalimi, maka kita patut menaruh rasa hormat yang tinggi kepadanya. Dan, memang benar
sebuah pepatah mengatakan bahwa pohon dikenali dari buahnya.

Anda mungkin juga menyukai