Anda di halaman 1dari 3

Pengelolaan obat merupakan satu aspek manajemen yang penting, oleh karena ketidakefisiensinya

akan memberi dampak yang negatif terhadap sarana kesehatan baik secara medis maupun ekonomis.
Pengelolaan obat di rumah sakit meliputi tahap-tahap perencanaan, pengadaan, penyimpanan,
pendistribusian serta penggunaan yang saling terkait satu sama lainnya, sehingga harus terkoordinasi dengan
baik agar masing-masing dapat berfungsi secara optimal(1). Menurut Kementerian Kesehatan RI (2008) bahwa
pengelolaan obat terdiri dari beberapa siklus kegiatan diantaranya adalah seleksi(2). kegiatan untuk
menetapkan persediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai jumlah dan jenis yang dibutuhkan berdasarkan
anggaran yang ada(3). Pemilihan obat di Rumah Sakit akan berdampak langsung pada pasokan obat yang
baik, mendukung pengobatan rasional, dan membuat biaya lebih rendah sehingga RS, sehingga proses
seleksi obat sangat perlu dilakukan RS(4).
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa kriteria seleksi obat. Menurut WHO kriteria seleksi yaitu
sesuai dengan pola penyakit; memiliki data dan bukti ilmiah terkait efektifitas dan keamanan yang memadai
dari hasil uji klinis; memiliki kualitas yang baik termsuk data bioavailabilitas, stabil dalam penyimpanan hingga
penggunaan; ketika terdapat dua atau lebih obat yang sama dalam hal khasiatnya maka dipilih dengan
pertimbangan efikasi, keamanan, kualitas, harga, dan ketersediaannya; memiliki cost-benefit ratio yang baik;
serta lebih diutamakan obat dengan komposisi zat tunggal(5). Sedangkan menurut DOEN, kriterisa obat
meliputi memiliki rasio benefit-risk yang paling menguntungkan pasien; mutu terjamin (stabilitas dan
bioavaibilitas); praktis (penyimpanan dan pengangkutan); praktis penggunaan dan penyerahan;
menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan; memiliki rasio benefit-cost tertinggi; obat dengan efek
yang sama, dipilih berdasarkan yang paing banyak data ilmiah, farmakokinetik, stabilitas, mudah didapat, dan
dikenal(6).
Seleksi obat dalam rangka efisiensi dapat dilakukan dengan cara analisis VEN dan analisis ABC.
Analisis VEN adalah suatu cara untuk mengelompokkan obat yang berdasarkan kepada dampak tiap jenis
obat pada kesehatan. Kelompok V adalah kelompok obat vital yang termasuk dalam kelompok ini adalah obat-
obat penyelamat (life saving drugs), obat-obatan untuk pelayanan kesehatan pokok dan obat-obatan untuk
mengatasi penyakit-penyakit penyebab kematian terbesar. Kelompok E adalah obat-obatan yang bekerja
kausal yaitu obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit. Kelompok N adalah merupakan obat-obatan
penunjang yaitu obat-obat yang kerjanya ringan dan bisa dipergunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau
untuk mengatasi keluhan ringan. Selain analisa VEN, terdapat analisa ABC. Analisa ABC dilakukan dengan
mengelompokkan item obat berdasarkan kebutuhan dananya. Kelompok A: kelompok obat yang jumlah nilai
rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 70% dari jumlah dana obat keseluruhan.
Kelompok B: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana
sekitar 20%. Kelompok C: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan
penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah dana obat keseluruhan (2). Indikator seleksi obat di RS meliputi
evaluasi secara subjektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan
duplikasi dalam tipe obat, kelompok, dan produk obat yang sama(8).
Rumah Sakit dalam pengorganisasiannya memiliki sebuah komite/tim yang berfungsi mewakili
hubungan komunikasi para staf medis dengan staf farmasi yang disebut Tim Farmasi dan Terapi (TFT). Tugas
TFT adalah memberikan rekomendasi kepada pimpinan RS terkait kebijakan penggunaan obat di RS. Anggota
TFT terdiri atas dokter yang mewakili seluruh spesialisasi di RS, apoteker instalasi farmasi, serta tenaga
kesehatan lain bila diperlukan. TFT harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali
dan untuk RS besar rapat diadakan sekali dalam satu bulan. Rapat TFT dapat mengundang pakar dari dalam
maupun dari luar RS yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan TFT, memiliki pengetahuan khusus,
keahlian-keahlian atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi TFT. TFT dapat diketuai oleh dokter atau
apoteker, jika diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah apoteker, namun apabila diketuai oleh apoteker
maka sekretarisnya adalah dokter. TFT memiliki beberapa tugas yang harus dilakukan yaitu
mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di RS; melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan
masuk dalam formularium RS; mengembangkan standar terapi; mengidentifikasi permasalahan dalam
penggunaan Obat; melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional; mengkoordinir
penatalaksanaan reaksi obat yang tidak dikehendaki; mengkoordinir penatalaksanaan medication error; dan
menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di RS(7).
Apoteker memiliki peran penting di dalam TFT diantaranya adalah menjadi salah seorang anggota
(ketua/sekretaris), menetapkan jadwal pertemuan, mengajukan acara yang akan dibahas dalam pertemuan,
menyiapkan danmemberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk pembahasan saat pertemuan, mencatat
semua hasil keputusan dalam pertemuan dan melaporkan pada pimpinan RS, menyebarluaskan keputusan
yang sudah disetujui oleh pimpinan kepada seluruh pihak terkait, melaksanakan keputusan-keputusan yang
sudah disepakati dalam pertemuan, menunjang pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, pedoman
pembuatan penggunaan antibiotika, dan penggunaan obat dalam kelas tepai yang lain, membuat formularium
RS berdasarkan kesepakatan TFT, melaksanakan pendidikan dan pelatihan, melaksanakan pengkajian dan
penggunaan obat, dan melaksanakan umpan balik dari hasil pengakajian pengelolaan dan penggunaan obat
pada pihak yang terkait(8).
Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada Formularium Nasional. Formularium RS
merupakan daftar obat yang disepakati staf medis, disusun oleh Komite/Tim Farmasi dan Terapi yang
ditetapkan oleh pimpinan RS. Formularium RS harus tersedia untuk semua penulis resep, pemberi obat, dan
penyedia obat di Rumah Sakit. Evaluasi terhadap formularium Rumah Sakit harus secara rutin dan dilakukan
revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan RS. Penyusunan dan revisi formularium RS dikembangkan
berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan obat agar dihasilkan Formularium Rumah
Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional. Tahapan proses
penyusunan formularium RS adalah membuat rekapitulasi usulan obat dari masing-masing Staf Medik
Fungsional (SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan medik; mengelompokkan usulan obat
berdasarkan kelas terapi; membahas usulan tersebut dalam rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi, jika
diperlukan dapat meminta masukan dari pakar; mengembalikan rancangan hasil pembahasan Komite/Tim
Farmasi dan Terapi, dikembalikan ke masing-masing SMF untuk mendapatkan umpan balik; membahas hasil
umpan balik dari masing-masing SMF; menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah
Sakit; menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi; dan melakukan edukasi mengenai Formularium
Rumah Sakit kepada staf dan melakukan monitoring(9).
Kriteria pemilihan Obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit: a. mengutamakan penggunaan Obat
generik; b. memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan penderita; c. mutu
terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas; d. praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan; e. praktis
dalam penggunaan dan penyerahan; f. menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien; g.
memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak lansung;
dan h. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence based medicines) yang paling
dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang terjangkau. Dalam rangka meningkatkan kepatuhan terhadap
formularium Rumah Sakit, maka Rumah Sakit harus mempunyai kebijakan terkait dengan penambahan atau
pengurangan Obat dalam Formularium Rumah Sakit dengan mempertimbangkan indikasi penggunaaan,
efektivitas, risiko, dan biaya(9).
Perencanaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan salah satu fungsi yang menentukan dalam
proses pengadaan obat dan perbekalan kesehatan. Tujuan perencanaan adalah untuk menetapkan jenis dan
jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar.
Manfaat dari perencanaan obat terpadu diantaranya adalah menghindari tumpeng tindih penggunaan
anggaran; keterpaduan dalam evaluasi, penggunaan, dan perencanaan; kesamaan persepsi antara pemakai
obat dan penyedia anggaran; estimasi kebutuhan obat lebih tepat, korrdinasi antara penyedia anggaran dan
pemakai obat; serta pemanfaatan dana pengadaan obat dapat lebih optimal (10). Perencanaan dapat dilakukan
dengan beberapa metode yaitu konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan
disesuaikan dengan anggaran yang tersedia(7). Dalam KMK No 1121 tahun 2008 metode yang lain yaitu Just
in time yang merupakan perencanaan pembelian secara langsung(10).
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan perencanaan kebutuhan.
Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang
terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari
pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode
pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan
pembayaran. Pengadaan dapat dilakukan melalui: pembelian, produksi sediaan farmasi dan
sumbangan/dropping/hibah (7). Proses pengadaan yang efektif harus dapat menghasilkan pengadaan obat
yang tepat jenis maupun jumlahnya, memperoleh harga yang murah, menjamin semua obat yang dibeli
memenuhi standar kualitas, dapat diperkirakan waktu pengiriman sehingga tidak terjadi penumpukan atau
kekurangan obat, memilih supplier yang handal dengan service memuaskan, dapat menentukan jadwal
pembelian untuk menekan biaya pengadaan dan efisien dalam proses pengadaan. Metode pengadaan antara
lain adalah tender terbuka, tender terbatas, negosiasi, dan pembelian langsung.
Pengadaan dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK, yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Tugas PPk adalah menetapkan rencana
pelaksanaan pengadaan barang/jasa. PPK menyempurnakan rancangan kontrak pengadaan barang/jasa
untuk ditandatangani. PPK menahan sebagian pembayaran prestasi pekerjaan sebagai uang retensi untuk
jaminan pmeeliharaan pekerjaan konstruksi dan jasa lainnya yang membutuhkan masa pemeliharaan. Salah
satu tugas PPK yang lainnya adalah melaksanakan e-purchasing(11).
Kegiatan seleksi dan pengadaan sangat berperan terhadap ketersediaan obat di Rumah Sakit. Seleksi
dan pengadaan berfungsi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana obat yang terbatas dan untuk
menghindari terjadinya stock out. Stock out atau kekosongan obat adalah lamanya ketidaktersediaan obat
dihitung dalam hari. Selain itu, seleksi dan pengadaan juga sangat berpengaruh pada akreditasi RS.
Sebagaimana elemen penilaian MPO. 2 antara lain adalah ada daftar obat dalam stok rumah sakit atau siap
tersedia dari sumber luar, suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan daftar tersebut (kecuali
ditetapkan oleh peraturan atau otoritas di luar Rumah Sakit), dan ada proses yang disusun untuk menghadapi
bilamana obat tidak tersedia, pemberitahuan kepada pembuat resep serta saran subtitusinya(12).

DAFTAR PUSTAKA
1. Quick,J., 1997, The Selection, Distribution and use of pharmaceuticals. In Managing Drug Supply.
Second Edition. Kumarian Press Book on International Development.
2. Keputusan menteri Kesehatan Nomor 1121/Menkes/SK/Xll/2008, tentang Pedoman Teknis Pengadaan
Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar, Jakarta.
3. Management Science for health, 2012, MDS-3; Managing Access to Medicines and health
technologies, Arlington, VA; Management Science for Health.
4. Abert, C., Banneberg, W., Bates, J., et all., 2012, Managing Access to Medicines and Health
Technologies Chapter 16, Management Science for Health Inc.
5. Green, T., Holloway, K., Edelisa, C., et all., 2004, Drug and Therapeutics Committees a Practical guide,
world Health Organization.
6. Anonim, 2011., Keputusan menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2500/Menkes/SK/XII/2011
tentang Daftar Obat Esensial Nasional, Jakarta.
7. DepKes RI, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah sakit, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
8. Anonim, 2004, Keputusan menteri Kesehatan Nomor 1197/Menkes/SK/Xll/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Jakarta.
9. DepKes RI, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah sakit, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
10. Anonym, 2008, Keputusan menteri Kesehatan Nomor 1121/Menkes/SK/Xll/2008, tentang Pedoman
Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar,
Jakarta
11. Anonim, 2015, Peraturan Presiden RI No 4 Tahun 2015 Tentang Pengadaan Barang/ Jasa
Pemerintah.
12. KARS, 2012, Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012, Komisi Akreditasi
Rumah Sakit, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai