Anda di halaman 1dari 8

JVK

JURNAL VOKASI KESEHATAN


http://ejournal.poltekkes-pontianak.ac.id/index.php/JVK

GAMBARAN PENGOBATAN DAN BIAYA MEDIS LANGSUNG PASIEN ISPA


ANAK DI RS X TAHUN 2015

Nurul Maratus Sholihah, Ressi Susanti, Eka Kartika Untari

Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura Pontianak, Indonesia

Info Artikel Abstrak

Sejarah Artikel: Infeksi saluran pernafasan akut merupakan penyakit yang umum terjadi pada
Diterima masyarakat, yang merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi pada anak-
Disetujui anak dan dewasa. Infeksi saluran pernafasan akut serta dampak yang
Di Publikasi ditimbulkannya membawa akibat pada tingginya konsumsi obat. Bervariasinya
penggunaan obat pada pasien ISPA menyebabkan terjadinya pembebanan biaya
Keywords: yang bervariasi dari setiap pasien yang akhirnya akan berpengaruh terhadap
Anak; antibiotik; biaya, beban biaya kesehatan yang harus ditanggung. Tujuan penelitian ini adalah
ISPA. untuk mengetahui gambaran pengobatan dan biaya medis langsung pada pasien
ISPA ISPA anak rawat jalan di RS X. Penelitian yang dilakukan dengan metode
observasional dengan rancangan penelitian potong lintang (cross sectional) dan
pengumpulan data dilakukan secara retrospektif. Pengambilan sampel dilakukan
dengan metode non probability sampling yaitu teknik purposive sampling pada
70 pasien anak yang menderita ISPA rawat jalan di RS X pada tahun 2015.
Hasil penelitian didapatkan bahwa antibiotik yang paling banyak digunakan
pada pasien anak penderita ISPA adalah amoksiklav sebesar 21,42%. Sedangkan
terapi suportif yang paling banyak digunakan untuk pasien anak ISPA adalah
kombinasi golongan dekongestan dan antihistamin sebesar 21,42%. Biaya total
rata-rata medis langsung pada pasien ISPA anak rawat jalan yaitu sebesar Rp.
250.407.00

OVERVIEW TREATMENT AND DIRECT MEDICAL COST IN CHILDREN


PATIENT ARI AT RS X IN 2015.
Abstract

Acute respiratory infections is a common disease in the society, it is a one of


causes of death in children and adults. Acute respiratory infections and its effect
have caused the high consumption of drugs. Variations in use of the drug in
patients with acute respiratory infection cause charges that vary from each
patient that will eventually affect the health costs to be borne. The purpose of
this study is to investigate the describe the treatment and the cost of treatment in
patients acute respiratory infection outpatient children in RS X. Research
conducted by the observational method with cross sectional study design and
data collection is done retrospectively. The sample is selected by using non
probability sampling method using purposive sampling technique for 70
children patients who have ARI outpatients at RS X in 2015.The results
showed that antibiotics are the most widely used in children with respiratory
tract infection is amoksisclav is 21,42%. While supportive therapy is the most
widely used for patients with respiratory tract infection is combination of

2017 Poltekkes Kemenkes Pontianak

Alamat korespondensi:
Universitas Tanjungpura, Pontianak - West Kalimantan , Indonesia
Email: sholihahmaratus48@yahoo.com
decongestants and antihistamines by 21,42%. Average cost of direct medical
outpatient child is Rp. 250.407.00

Pendahuluan pengobatan dan biaya terapi infeksi saluran nafas


akut yang dilakukan di RS X selama tahun 2015.
Infeksi pada saluran nafas merupakan
penyakit yang umum terjadi pada masyarakat yang
Metode
merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi
pada anak- anak dan dewasa (DepKes RI, 2005). Penelitian ini merupakan penelitian
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah observasional dengan rancangan penelitian potong
penyebab utama morbiditas dan mortalitas lintang (cross sectional) yang bersifat deskriptif.
penyakit menular di dunia (WHO, 2007). Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun dengan menggunakan data rekam medis dan
2013 prevalensi ISPA di Indonesia adalah 25,0 %, kuitansi pembayaran (data keuangan) pasien ISPA
dengan prevalensi di Kalimantan Barat sebesar (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) anak di RS X
11,1% (DepKes RI, 2013). Infeksi Saluran selama tahun 2015. Sampel dipilih dengan cara
Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu pemilihan Non-probability sampling. Pemilihan
penyebab utama kunjungan pasien di sarana sampel ditentukan berdasarkan purposive
kesehatan. Sebanyak 40- 60 % kunjungan berobat sampling. Sampel yang digunakan dalam
di puskesmas dan 15- 30 % kunjungan berobat penelitian ini adalah pasien anak penderita ISPA
dibagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit rawat jalan di RS X yang memenuhi kriteria
disebabkan oleh ISPA (DepKes RI, 2009). inklusi dan eksklusi.
Infeksi saluran pernafasan akut menjadi Jumlah sampel yang didapat pada penelitian
perhatian bagi anak-anak baik di negara ini sebanyak 70 sampel. Data hasil penelitian akan
berkembang maupun di negara maju karena dianalisis secara deskriptif yaitu dengan melihat
berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh. Anak- karakteristik pasien Infeksi Saluran Pernafasan
anak dan balita akan sangat rentan terinfeksi Akut, jenis obat-obatan yang diberikan serta biaya
penyebab ISPA karena sistem imun tubuh yang rata-rata medis langsung meliputi biaya
masih rendah, itulah yang menyebabkan angka pendaftaran, biaya jasa dokter, biaya pemeriksaan
prevalensi dan gejala ISPA sangat tinggi bagi penunjang, dan biaya obat di RS X selama
anak-anak dan balita (WHO, 2007). Infeksi periode Januari hingga Desember 2015.
saluran pernafasan akut (ISPA) serta dampak yang Komponen data tersebut akan diolah dan disajikan
ditimbulkannya membawa akibat pada tingginya dalam bentuk uraian, persentase, tabel dan
konsumsi antibiotik dan obat bebas seperti obat diagram menggunakan program komputer
batuk, multivitamin, dan obat flu (Tobat, 2015). Microsoft Excel.
Almemman (2014) menyatakan kunjungan ISPA
sebagian besar diberi resep antibiotik, Hasil dan Pembahasan
antihistamin, analgesik, dan ekspektoran.
Gambaran Karakteristik Subyek Penelitian
Bervariasinya penggunaan obat pada pasien
ISPA menyebabkan terjadinya pembebanan biaya Data yang diperoleh dari rekam medik pasien
yang bervariasi dari setiap pasien yang akhirnya ISPA di RS X menghasilkan subyek penelitian
akan berpengaruh terhadap beban biaya kesehatan sebanyak 70 pasien yang termasuk dalam kriteria
yang harus ditanggung. Pemaparan tersebut inklusi penelitian. Karakteristik subyek penelitian
membuat peneliti tertarik untuk mengetahui secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian


N=70
Sinusitis Otitis Media Bronkitis Total
Karakteristik Total
Persentase (%)
% % %
1. Jenis Kelamin
a. Laki-laki 3 4,29 11 15,71 22 31,43 36 51,43
b. Perempuan 5 7,14 14 20 15 21,43 34 48,57
2. Usia
a.0-5 tahun 2 2,85 17 24,29 24 34,29 43 61,43
b. >5 11 tahun 6 8,57 8 11,43 13 18,57 27 38,57

Sumber: Bagian rekam medis RS X


kedalam mulut. Hal ini dapat menjadi perantara
Tabel 1 menunjukan bahwa prevalensi laki-laki masuknya kuman kedalam tubuh (Ngastiah,
yang menderita ISPA di RS X yaitu sebanyak 2002).
51,43% dan perempuan sebesar 48,57%.Tingginya Gambaran Penggunaan Antibiotik
prevalensi laki-laki dibandingkan dengan
Bakteri yang menginfeksi pada pasien sinusitis
perempuan pada infeksi saluran pernafasan akut
dan otitis media adalah S.pneumoniae,
disebabkan aktivitas anak laki-laki lebih banyak
H.influenzae dan M. Catarrhalis serta adanya
dari anak perempuan sehingga peluang untuk
keterlibatan bakteri P. Aeruginosa pada pasien
terpapar oleh agent lebih banyak.
otitis media. Sedangkan penyebab bronkitis akut
Karakteristik pasien berdasarkan usia
umumnya virus seperti Rhinovirus, Influenza A
diperoleh bahwa proporsi kejadian ISPA pada usia
dan B, Coronavirus, Parainfluenza, dan
0 5 tahun (61,43), > 5 tahun 11 tahun
Respiratory synctial virus (RSV). Bakteri yang
(38,57%). Hasil yang diperoleh menunjukan
menajdi penyebab bronkitis yaitu Chlamydia
bahwa prevalensi tertinggi yaitu terjadi pada 0 - 5
pneumoniae ataupun Mycoplasma pneumonia.
tahun. Hal ini disebabkan karena karena ISPA
Selain itu terdapat pula bakteri H. Influenza, M.
pada bayi dan balita umumnya merupakan
catarrhalis, S. pneumonia, Haemophilus
kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya
parainfluenzaea, P. Aeruginos dan S. aureus
secara optimal proses kekebalan secara alamiah,
(Sethi, 1999).
selain itu imunitasnya belum sempurna. Pada
masa ini balita cenderung memasukan sesuatu

Tabel 2. Gambaran Penggunaan Antibiotik


(N=70)
Diagnosis Golongan Nama obat
Jumlah Persentase (%)
a.Sinusitis Sefalosporin Sefiksim 6 8,57
Penislin Amoksiklav 1 1,42
Tidak menerima AB 1 1,42
b.Otitis Sefaloporin Sefiksim 6 8,57
Media Kuinolon Ofloksasin 5 7,14
Penisilin Amoksisilin 1 1,42
Kombinasi Sefiksim-ofloksasin 8 11,42
Amoksiklav-ofloksasin 2 2,85
Amoksisilin-ofloksasin 1 1,42
Tidak menerima AB 2 2,85
c.Bronkitis Penisilin Amoksiklav 15 21,42
amoksisilin 3 4,28
Sefalosporin Sefiksim 5 7,14
sefadroksil 4 5,71
Makrolida Azitromisin 2 2,85
Eritromisin 2 2,85
Tidak menerima AB 6 8,57
Sumber : Bagian rekam medis RS X
Hasil yang didapat menunjukan bahwa Neisseria gonorrhoeae, Moraxella catarrhalis, E.
antibiotik yang digunakan pada pasien anak yang coli, Klebsiella spp, Serratia sp, Proteus spp,
menderita sinusitis di RS X adalah sefiksim Salmonella typhi. Pada pemberian secara oral,
(8,57%), dan amoksisilin-klavulanat (1,42%). Pola hampir 50% segera mencapai konsentrasi
resistensi terhadap H. influenzae dan M. bakterisidal dan menembus jaringan dengan baik
catarrhalis dijumpai diberbagai belahan (Memon et al, 1998). Penelitian yang dilakukan
dunia(Bluestone, 1992). Untuk mengatasi oleh Dreshaj et al (2011) mengemukakan bahwa
resistensi tersebut, sefiksim dianggap obat pilihan penggunaan sefiksim pada pasien otitis media
untuk infeksi bakteri yang serius. Sefiksim menunjukan keberhasilan sebesar 100%, dan
merupakan antibiotik golongan sefalosporin keberhasilan pada pasien sinusitis sebesar 83,3%.
generasi ketiga oral, mempunyai aktifitas Keberhasilan tersebut diakibatkan karena
antimikroba terhadap bakteri Gram positif maupun sensitivitas sefiksim terhadap bakteri
negatif (Matsumoto, 1997). Sefiksim aktif Streptococcus pneumoniae, Streptococcus
terhadap bakteri Gram-positif seperti pyogenes, dan Moraxella catarrhalis sehingga
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus sefiksim direkomendasikan sebagai antibiotik lini
pyogenes dan bakteri Gram-negatif seperti pertama untuk pengobatan infeksi otitis media dan
sinusitis. Antibiotik yang digunakan pada pasien
Pasien yang terdiagnosis otitis media di RS bronkitis adalah golongan penisilin yaitu
X mendapatkan 2 jenis terapi antibiotik yaitu amoksiklav (21,42%), amoksisilin (4,28%), dan
dengan menggunakan monoterapi antibiotik dan golongan sefaloporin yaitu sefiksim (7,14%),
kombinasi antibiotik. Monoterapi antibiotik yang sefadroksil (5,71%) serta golongan makrolida
digunakan adalah amoksisilin oral (1,42%), yaitu azitromisin dan eritromisin (2,85%).
sefiksim oral (8,57%), dan ofloksasin tetes telinga Amoksisilin merupakan antibiotik spektrum luas
(7,14%). Monoterapi yang paling banyak yang dapat digunakan untuk bakteri Gram positif
digunakan adalah ofloksasin tetes telinga. atau negatif. Dalam mengurangi terjadinya
Ofloksasin merupakan antibiotik golongan resistensi amoksisilin, amoksisilin dikombinasikan
flourkuinolon. Ofloksasin tetes telinga digunakan dengan asam klavulanat. Asam klavulanat
untuk pasien dengan sekret telinga (otorhea). termasuk dalam golongan inhibitor -laktamase,
Antibiotik ini aman terhadap persyarafan telinga dimana enzim -laktamase bekerja dengan
bila terjadi robekan gendang telinga, artinya mendegradasi cincin -laktam yang terdapat pada
antibiotik ini bersifat tidak ototoksik. Mekanisme amoksisilin sehingga dengan penambahan asam
kerja golongan kuinolon adalah dengan klavulanat ini dapat meningkatkan kerja
menghambat DNA-gyrase sehingga sintesis DNA amoksisilin(Memon et al , 1998).
dari kuman akan terhambat(Sonnesyn et al , Hasil yang didapat juga menunjukan tidak
1994). Menurut American Academy of Pediatrics semua pasien mendapatkan terapi antibiotik, baik
penggunaan antibiotik golongan fluorokuinolon yang terdiagnosis sinusitis, otitis media maupun
dapat digunakan pada pasien otitis media yang bronkitis. Penggunaan antibiotik digunakan hanya
disebabkan oleh adanya keterlibatan bakteri jika adanya keterlibatan bakteri. Sedangkan jika
Pseudomonas aeruginosa (Commitee, 2006). infeksi di akibatkan oleh virus tidak perlu
Kombinasi antibiotik yang digunakan pada menggunakan antibiotik.
pasien otitis media yaitu amoksisilin oral dan Gambaran Penggunaan Terapi Suportif
ofloksasin tetes telinga (1,42%), amoksisilin- Terapi suportif adalah terapi bukan antibiotik
klavulanat oral dan ofloksasin tetes telinga yang digunakan pasien ISPA yang digunakan untuk
(2,85%), serta sefiksim oral dan ofloksasin tetes menyembuhkan gejala yang dialami. Penggunaan
telinga (11,42%). Penggunaan Kombinasi terapi suportif disesuaikan dengan kondisi atau
Antibiotik Kombinasi antimikroba ditujukan untuk gejala pasien. Dari hasil yang didapat menunjukan
mencapai spektrum antibiotik yang seluas bahwa terapi suportif yang digunakan pada pasien
mungkin. Selain itu, kombinasi antimikroba juga sinusitis, otitis media dan bronkitis adalah
digunakan untuk mencapai efek sinergistik dan golongan analgetik antipiretik, antihistamin,
juga untuk menghambat timbulnya resistensi dekongestan, mukolitik, antitusif dan ekspektoran.
terhadap antibiotik yang digunakan(Nelwan,
2010).

Tabel 3. Gambaran Penggunaan Terapi Suportif


N=70
Diagnosis Golongan
Jumlah Persentase
Sinusitis a. Kombinasi analgetik-antipiretik, anitihistamin 2 2,85
ekspektoran, antitusif sirup
b. Analgetik-antipiretik sirup + Kombinasi analgetik- 2 2,85
antipiretik, anitihistamin ekspektoran, antitusif sirup
c. Analgetik-antipiretik sirup + mukolitik sirup + 1 1,42
kortikosteroid inhalasi + kombinasi analgetik-antipiretik,
antihistamin, ekspektoran dan antitusif sirup
d. Mukolitik + Kombinasi analgetik-antipiretik, 1 1,42
anitihistamin, ekspektoran, antitusif
e. Kortikosteroid + Kombinasi analgetik-antipiretik, 1 1,42
anitihistamin ekspektoran, antitusif
f. Kortikosteroid,+ analgetik-antipiretik + kombinasi 1 1,42
analgetik-antipiretik, anitihistamin, ekspektoran, antitusif
Otitis media a. Analgetik-antipiretik + kombinasi dekongestan, 9 12,85
antihistamin
b. Kombinasi dekongestan dan antihistamin 5 7,14
c. Mukolitik + antihistamin 2 2,85
d. Antihistamin 2 2,85
e. Analgetik-antipiretik 2 2,85
f. Kortikosteroid + mukolitik 1 1,42
g. Mukolitik + kombinasi dekongestan-antihistamin 1 1,42
h. Analgetik-antipiretik + mukolitik + kombinasi 1 1,42
dekongestan antihistamin
i. Tidak mendapat terapi suportif 2 2,85
Bronkitis a. Kombinasi dekongestan antihistamin 15 21,42
b. Vitamin + Kombinasi dekongestan antihistamin 7 10
c. Bronkodilator + Kombinasi dekongestan antihistamin 4 5,71
d. Nebulizer + Kombinasi dekongestan antihistamin 3 4,28
e. Mukolitik 2 2,85
f. Mukolitik + antihistamin 2 2,85
g. Analgetik-antipiretik + Kombinasi dekongestan 1 1,42
antihistamin
h. Mukolitik + antihistamin+ vitamin 1 1,42
i. Bronkodilator + nebulizer + Kombinasi dekongestan 1 1,42
antihistamin
j. Mukolitik + vitamin + Kombinasi dekongestan 1 1,42
antihistamin

Sumber : Bagian keuangan RS X


Golongan analgesik antipiretik digunakan decongestant) melalui vasokonstriksi pembuluh
untuk mengurangi gejala misalnya demam. darah hidung sehingga mengurangi sekresi dan
Contoh analgetik antipiretik yang paling banyak pembengkakan membran mukosa saluran hidung.
digunakan misalnya parasetamol yang efektif Mekanisme ini membantu membuka sumbatan
mengurangi demam karena aksinya yang langsung hidung(Biaggioni dan Rubertson, 2012).
ke pusat pangatur panas di hipotalamus yang Antitusif bekerja dengan menghambat atau
berdampak vasodilatasi serta pengeluaran keringat menekan batuk dengan menekan pusat batuk serta
(DepKes Ri, 2005). Golongan antihistamin bekerja meningkatkan ambang rangsang sehingga akan
secara kompetitif dengan histamin terhadap mengurangi iritasi. Antitusif yang digunakan pada
reseptor histamin pada sel sehingga mencegah kombasi sirup misalnya adalah dektrometorfan..
kerja histamin pada target (Cuvillo et al, 2007). Dekstrometorfan memilik efikasi yang baik dalam
Golongan antihistamin yang digunakan pada menekan batuk pada orang dewasa, namun efikasi
sediaan sirup yang mengandung beberapa zat aktif penggunaan dektrometorfan pada anak belum
adalah antihistamin generasi pertama yaitu terbukti. Ekspektoran diberikan untuk
klorpeniramin maleat. Golongan antihistamin mempermudah pengeluaran dahak pada batuk
generasi I memliki efek sedasi dan kolinergik. kering (nonproduktif) agar menjadi lebih
Hasil uji klinik menunjukan bahwa antihistamin produktif. Ekspektoran bekerja dengan cara
generasi pertama menunjukkan hasil yang positif membasahi saluran napas sehingga mukus
untuk mengatasi gejala flu, namun tidak terbukti menjadi lebih cair dan mudah dikeluarkan.
mencegah, mengobati atau mempersingkat Mukolitik mirip dengan ekspektoran. Obat ini
serangan flu. Efek samping yang paling diberikan untuk mempermudah pengeluaran
mengganggu dari antihistamin generasi pertama dahak, namun dengan mekanisme kerja yang
ini adalah sedasi. (Sjamsudin, 1980). Sedangkan berbeda. Mukolitik memecahkan ikatan protein
golongan antihistamin yang digunakan pada mukus, sehingga mukus menjadi cair dan mudah
seidaan tunggal adalah ceterizin. Ceterizin dikeluarkan (DepKes RI, 2005).
merupakan hasil metabolit aktif dari hydroxyzine, Golongan kortikosteroid dapat dipergunakan
dengan efek sedasi, efek antikolinegrik minimal. sebagai terapi suportif yang efektif dalam
Ceterizin secara in vivo terbukti mempunyai efek menurunkan nyeri yang diakibatkan oleh proses
anti inflamasi seperti hambatan aktivasi eosinofil, inflamasi pada ISPA (Ikawati, 2006). Namun,
neutrofil, imfosit dan khemotaksis (Sutter et al, penggunaan kortikosteroid pada anak-anak dapat
2009). mengahambat pertumbuhan. Mekanisme
Dekongestan adalah stimulant reseptor alpha-1 terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang
adrenergik. Mekanisme kerja dekongestan (nasal menghambat growth hormone, sehingga
penggunaan kortikosteroid pada anak dibatasi membantu perbaikan nafsu makan (Maccalan,
(Allen, 2002). 1999).
Penggunaan golongan bronkodilator pada pasien Sirup dengan kandungan kombinasi zat aktif
bronkitis digunakan pada bronkitis yang disertai memiliki persentase penggunaan yang paling
dengan obtruksi peranafasan. Golongan banyak. Hal ini disebabkan karena pasien
Bronkodilator mendilatasi bronkus dan bronkiolus merupakan pasien anak, sehingga memudahkan
yang meningkatkan aliran udara (Hueston, 1994). pasien untuk mengkonsumsinya. Namun, perlu di
Golongan bronkodilator yang paling banyak waspadai penggunaannya jika didalam satu
digunakan adalah salbutamol. sediaan memiliki zat aktif dengan kerja yang
Nebulizer adalah alat yang digunakan untuk saling berlawanan. Misal pada pasien sinusitis
merubah obat dari bentuk cair ke bentuk partikel mendapatkan terapi kombinasi antitusif dan
erosol. Bentuk aerosol ini sangat bermanfaat ekspektoran. kombinasi ekspektoran dan antitusif
apabila dihirup atau dikumpulkan dalam organ masih kontroversi. Penggunaan ekspektoran dapat
paru. Keuntungan nebulizer adalah pengobatan menstimulasi produksi mukus oleh bronkus
dapat diberikan langsung pada tempat/sasaran sehingga lebih mudah dikeluarkan sedangkan
aksinya sehingga dosis yang diberikan rendah. antitusif bekerja dengan menekan batuk. Jika
Dosis yang rendah dapat menurunkan absorpsi batuk ditekan maka dahak tidak dapat dikeluarkan
sistemik dan efek samping sistemik. Pengiriman padahal mukus diproduksi terus menerus dengan
obat melalui nebulizer ke paru-paru sangat cepat, adanya ekspektoran. Mekanisme kerja yang
sehingga aksinya lebih cepat daripada rute lainnya. berlawanan dari antitusif dan ekspektoran akan
Pengobatan lewat nebulizer ini lebih efektif dari memperparah batuk. Jika mengacu pada kriteria
obat oral karena langsung dihirup masuk ke paru- FDA, maka kombinasi tersebut tidak rasional
paru, sehingga dosis yang dibutuhkan pun lebih karena efeknya yang berlawanan. Ada
kecil (Roggeri et al, 2016). kemungkinan efek kedua obat tersebut saling
Bronkitis dapat menyebabkan berat badan meniadakan sehingga tujuan pegobatan tidak
dibawah normal dan defisiensi mikronutrien tercapai.
(multivitamin dan mineral) karena terjadinya Gambaran Biaya Medis langsung
malabsorpsi, meningkatnya kebutuhan energi, Setiap jenis terapi, dilakukan penjumlahan biaa
terganggunya proses metabolik dan berkurangnya yang dikeluarkan oleh pasien di rumah sakit baik
asupan makanan karena penurunan nafsu makan. berupa biaya obat ataupun biaya non obat. Berikut
Vitamin dan suplemen digunakan untuk membantu hasil biaya medis langsung pada pasien ISPA anak
memenuhi kebutuhan vitamin dan membantu di RS X.
pemeliharaan daya tubuh atau sistem imun serta

Tabel 4. Gambaran Biaya Medis Langsung

N=70
Medis Langsung
Biaya total (Rp) Biaya Per pasien (Rp)
Obat :
a. Antibiotik 2.720.800 38.868
b. Suportif 2.905.243 41.503
Pemeriksaan penunjang/tindakan 6.302.510 90.035
Jasa dokter 2.520.000 36.000
Pendaftaran/ Administrasi 3.080.000 44.000
Total (Rp) 17.528. 553 250.407
Sumber: Bagian Rekam Medis RS X

Hasil yang didapat menunjukan bahwa biaya oleh pasien. Biaya jasa dokter merupakan biaya
medis langsung yang harus dikeluarkan oleh yang diberikan kepada dokter sebagai imbalan
pasien anak penderita ISPA di RS X di instalasi setelah melakukan pemeriksaan dan menetapkan
rawat jalan yaitu sebesar Rp. 250.407.00. Biaya diagnosa. Biaya rata-rata jasa dokter yaitu sebesar
tertinggi yang harus dikeluarkan pasien adalah Rp.2.520.000 sedangkan untuk rata-rata biaya
biaya pemeriksaan penunjang/ tindakan. pendaftaran atau administrasi yaitu sebesar Rp.
Tingginya biaya pada pemeriksaan penunjang 3.080.000.
disebabkan karena penggunaan alat medis yang Biaya obat yang harus dikeluarkan pasien ISPA
yang mahal. Semakin canggih/mahal alat yang anak rawat jalan terdapat 2 jenis yaitu antibiotik
digunakan dalam pemeriksaan penunjang, dan suportif. Biaya antibiotik yang harus
semakin mahal pula biaya yang harus dikeluarkan dikeluarkan tiap pasien yaitu sebesar Rp. 38.868
sedangkan biaya terapi suportif tiap pasien yaitu Pedoman Pengendalian PenyakitInfeksi
sebesar Rp. 41.503. Dari data tersebut Saluran Pernafasan Akut, Jakarta :
menunjukan bahwa terapi suportif lebih tinggi Direktorat Jenderal pengendalian Penyakit
biayanya dibandingkan dengan biaya antibiotik. dan Penyehatan Lingkungan Hidup
Hal ini disebabkan karena bervariasinya gejala Dreshaj, SH.; Doda, ET.; Mustafa, A.; Kabashi,
yang ditimbulkan pada pasien ISPA sehingga S.; Shala, N.; Geca, NJ.; et al. 2011.
bervariasi pula penggunaan terapi suportif. Clinical Role Of Cefixime In Community-
Semakin makin banyak obat yang diberikan, maka Acquired Infections. Contributions Sec
semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan. Biol Med Sci. 32(2): 143155
Penutup Hueston, WJ. 1994. Albuterol delivered by
metered-dose inhaler to treat acute
Hasil penelitian didapatkan bahwa Antibiotik
bronchitis. J Fam Pract. 39:437-440
yang paling banyak digunakan pada pasien anak
Ikawati, Z., 2006, Pengantar Farmakologi
penderita ISPA di RS X yaitu amoksiklav
Molekuler. Yogyakarta : UGM Press
sebanyak 21,42%. Terapi suportif yang paling
Matsumoto, K. 1997.
banyak digunakan adalah kombinasi golongan
Pharmacokinetics/pharmacodynamics and
dekongestan dan antihistamin sebesar 21,42% .
in-vitro antimicrobial activity of cefixime
Biaya total rata-rata medis langsung pada pasien
for Salmonella typhi, Third Asia Pacific
ISPA rawat jalan di RS X yaitu sebesar
Symposium on Thyphoid Fever and Other
Rp.250.407.00 per pasien.
Salmonellosis,Bali
Macallan, DC. 1999. Malnutrition in tuberculosis
Daftar Pustaka : Diagnostic Microbiology and Infectious
Disease. 34(2):153157
Almeman, AA. Ibrahim, M. Rasool, S. 2014. Cost
Memon, IA.; Billoo, AG.; Memon, HI.; 1998.
Analysis of Medications Used in Upper
Cefixime: An oral option for the treatment
Respiratory Tract Infections and
of multidrug-resistant enteric fever in
Prescribing Patterns in University Sans
children. South Med J. 90(76):1204-1207
Malaysia, Penang, Malaysia. Trop J Pharm
Nelwan, RHH. 2010. Pemakaian Antimikroba
Res, 13(4): 621-626
Secara Rasional Di Klinik. Dalam : Sudoyo
Allen, DB. 2002. Inhaled corticosteroid therapy
AW et al, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
for asthma in preschool children :Growth
Jakarta: Interna Publishing.
Issues. Pediatrics,109:373-380.
Ngastiah. 2002. Perawatan anak sakit. Jakarta :
Biaggioni, I.; dan Robertson, D. 2012.
Buku Kedokteran EGC.
Adrenoceptor agonists & sympathomimetic
Roggeri, A.; Micheletto, C.; Roggeri, DP. 2016.
drugs (Chapter 9). In: Katzung B, Masters
Inhalation Errors Due To Device Switch In
SB, Trevor AJ (Editors). Basic and clinical
Patients With Chronic Obstructive
pharmacology. McGraw-Hill, New York
Pulmonary Disease And Asthma: Critical
Bluestone, CD. 1992. Ten-years review of otitis
Health And Economic Issues. International
media pathogens. Pediatric Infectious
Journal Of COPD. 11 : 597602.
Disease Journal. 11: 1-7.
Sethi, S.. 1999. Infectious exacerbations of
Committee on Infectious Diseases. 2006. The use
chronic bronchitis: diagnosis and
of systemic fluoroquinolones. Pediatric.
Management. Journal of Antimicrobial
118:1287-1292
Chemotherapy. 43 : 97105
Cuvillo, AD.; Sastre, J.; Montoro, J.; Juregui, I.;
Sjamsudin, U. 1980, Histamin dan Antihistamin ;
Ferrer, M.; Dvila, l.; et al, 2007. Use of
dalam farmakologi dan terapi. Jakarta :
antihistamines in pediatrics. J Investig
Bagian Farmakologi FK UI . Jakarta
Allergol Clin Immunol. 17(2): 28-40
Sonnesyn, SW.; Gerding, DN. 1994.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.. 2005.
Antimicrobials for the treatment of
Pharmaceutical Care untuk Infeksi
respiratory infection. In Respiratory
Penyakit Saluran Pernafasan. Jakarta:
Infections: A Scientific Basis for
Direktorat Bina Komunitas dan Klinik
Management. Philadelphia 511537
Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat
Sutter, AIM.; Lemiengre, M.; Campbell, H. 2009.
Kesehatan.
Antihistamines for the common-cold.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013.
Cochrane Database Syst Rev. Oct 7;(4): 1-
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013
116
dalam Laporan Nasional 2013. Jakarta :
Tobat, SR.; Mukhtar, MH; Pakpahan, IDH.;
Badan Penelitian dan Pengembangan
Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada
Kesehatan Departemen Kesehatan
penyakit ISPA di Puskesma Kuamang
Republik Indonesia.
Kuning I Kabupaten Bungo. SCIENTA.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009.
5(2) : 79-83
World Health Organization. 2007. Infeksi Saluran pencegagan dan pengendalian infeksi
Pernafasan Akut (ISPA) yang Cenderung difasilitas pelayanan kesehatan. WHO,
menjadi epidemic dan pandemic: Jenewa

Anda mungkin juga menyukai