KEBIJAKAN PEMERINTAH
DALAM TATA KELOLA PEMERINTAHAN DESA
PENDAHULUAN
1. Di dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam
ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa Pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (Sekretariat Jenderal
MPR-RI, 2002: 66).
6. Di sisi lain, dalam posisi Desa sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan
pemerintahan secara nasional dan jajaran terdepan dalam penyelenggaraan
pemerintahan secara nasional, maka desa juga diberi kewenangan untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagai konsekwensi dari keberadaan Desa
sebagai sebuah entitas pemerintahan.
7. Selain kewenangan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, desa juga
memperoleh kewenangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau
Kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU. No.6 Tahun 2014
meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
10. Dalam modul ini, akan diuraikan hal-hal pokok tentang: (a) Latar Belakang lahirnya
UU tentang Desa; (b) Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dengan pemerintahan desa (c) Perbedaan Tata Kelola Pemerintahan Desa dan
Kewenangan Desa menurut PP Nomor 72 Tahun 2005 dengan UU Nomor 6 Tahun
2014 (d) Makna Kelembagaan Desa dan Jenis-Jenis Kelembagaan di Desa (e)
Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kelembagaan Desa dan (f) Hubungan antar
Kelembagaan Desa.
-slide-
-Videografik UU Nomor 6 Tahun 2014-
Dasar Pemikiran
Dalam rangka menjawab berbagai persoalan di atas, salah satu grand strategi yang
sangat perlu dan mendesak adalah mengatur Desa dalam level Undang-undang yaitu
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ada beberapa argumen penting
yang melandasinya lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu:
1. Argumen historis
Pertama, Desa-Desa yang beragam di seluruh Indonesia sejak dulu merupakan basis
penghidupan masyarakat setempat, yang notabene mempunyai otonomi dalam
mengelola tatakuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdaya
ekonomi.
Pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-
batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk
mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut dengan self-governing
community. Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum baru dikenal pada
masa kolonial Belanda. Desa pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yang
dikelola secara otonom tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan struktur yang
lebih tinggi. Di Sumatera Barat, misalnya, nagari adalah sebuah republik kecil yang
mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-
governing community).
2. Argumen filosofis-konseptual
Pertama, Secara filosofis jelas bahwa sebelum tata pemerintahan di atasnya ada,
Desa itu lebih dulu ada. Oleh karena itu sebaiknya Desa harus menjadi landasan dan
bagian dari tata pengaturan pemerintahan sesudahnya. Desa yang memiliki tata
pemerintahan yang lebih tua, seharusnya juga menjadi ujung tombak dalam setiap
penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Tetapi inisiatif lokal ini tidak bakal tumbuh dengan baik jika tidak ada ruang yang
memungkinkan (enabling) untuk tumbuh. Regulasi yang mengandung banyak
instruksi dan intervensi tentu akan menumpulkan inisiatif lokal. Karena
itu kemandirian Desa membutuhkan kombinasi dua hal: inisiatif lokal dari bawah
dan respons kebijakan. Dari atas dibutuhkan pengakuan (rekognisi) negara terhadap
keberadaan entitas Desa dan termasuk organisasi masyarakat adat, yang kemudian
dilanjutkan dengan penetapan hak, kekuasaan, kewenangan, sumberdaya dan
tanggungjawab kepada Desa. Kewenangan memungkinkan Desa mempunyai
kesempatan dan tanggungjawab mengatur rumah tangganya sendiri dan
kepentingan masyarakat setempat, yang sekaligus akan menjadi bingkai bagi Desa
untuk membuat perencanaan lokal. Perencanaan Desa akan memberikan keleluasaan
dan kesempatan bagi Desa untuk menggali inisiatif lokal (gagasan, kehendak dan
kemauan lokal), yang kemudian dilembagakan menjadi kebijakan, program dan
kegiatan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan Desa. Kemandirian itu sama
dengan otonomi Desa. Gagasan otonomi Desa sebenarnya mempunyai
relevansi (tujuan dan manfaat) sebagai berikut:
Memperkuat kemandirian Desa sebagai basis kemandirian NKRI.
Memperkuat posisi Desa sebagai subyek pembangunan;
Mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat;
Memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan;
Menciptakan efisiensi pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan
lokal;
Menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat Desa;
Memberikan kepercayaan, tanggungjawab dan tantangan bagi Desa
untuk membangkitkan prakarsa dan potensi Desa;
Menempa kapasitas Desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan;
Membuka arena pembelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah Desa,
lembaga-lembaga Desa dan masyarakat.
Merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal.
Kedua, demokrasi adalah nilai dan sistem yang memberi bingkai tata
pemerintahan Desa. Secara konseptual demokrasi mengandung sejumlah prinsip
dasar: representasi, transparansi, akuntabilitas, responsivitas dan partisipasi,
yang semua prinsip ini menjadi fondasi dasar bagi pengelolaan kebijakan,
perencanaan Desa, pengelolaan keuangan Desa dan pelayanan publik. Kalau
prinsip-prinsip dasar ini tidak ada di Desa, maka akan muncul penguasa tunggal
yang otokratis, serta kebijakan dan keuangan Desa akan berjalan apa adanya secara
rutin, atau bisa terjadi kasus-kasus bermasalah yang merugikan rakyat Desa.
Demokrasi Desa akan membuka ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya
kepada pemerintah Desa. Aspirasi adalah fondasi kedaulatan rakyat yang sudah
lama diamanatkan dalam konstitusi. Demokrasi juga menjadi arena untuk
mendidik mental dan kepribadian rakyat agar mereka lebih mampu, mandiri, militan
dan mempunyai kesadaran tentang pengelolaan barang-barang publik yang
mempengaruhi hidup mereka. Pendidikan dan pembelajaran ini penting, mengingat
masyarakat cenderung pragmatis secara ekonomi dan konservatif secara politik, akibat
dari perkembangan zaman yang mengutamakan orientasi material.
Ketiga, isu kesejahteraan mencakup dua komponen besar, yakni penyediaan layanan
dasar (pangan, papan, pendidikan dan kesehatan) dan pengembangan ekonomi
Desa yang berbasis pada potensi lokal. Kemandirian dan demokrasi Desa
merupakan alat dan peta jalan untuk mencapai kesejahteraan rakyat Desa.
Desentralisasi memungkinkan alokasi sumberdaya kepada Desa, dan demokrasi
memungkinkan pengelolaan sumberdaya Desa berpihak pada rakyat Desa. Hak Desa
untuk mengelola sumberdaya alam, misalnya, merupakan modal yang sangat berharga
bagi ekonomi rakyat Desa.
Demikian juga dengan alokasi dana Desa yang lebih besar akan sangat bermanfaat
untuk menopang fungsi Desa dalam penyediaan layanan dasar warga Desa. Namun,
kesejahteraan rakyat Desa yang lebih optimal tentu tidak mungkin mampu dicakup
oleh pemerintah Desa semata, karena itu dibutuhkan juga kebijakan pemerintah
yang responsif dan partisipatif, yang berorientasi pada perbaikan pelayanan
dasar dan pengembangan ekonomi lokal.
3. Argumen yuridis
4. Argumen Sosiologis
Pertama, secara sosiologis, jelas bahwa untuk menciptakan masyarakat adil dan
makmur seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, bangsa Indonesia harus memulai paradigma pembangunan dari bawah (Desa)
karena sebagian besar penduduk Indonesia beserta segala permasalahannya tinggal di
Desa. Tetapi selama ini, pembangunan cenderung berorientasi pada pertumbuhan
dan bias kota. Sumberdaya ekonomi yang tumbuh di kawasan Desa diambil
oleh kekuatan yang lebih besar, sehingga Desa kehabisan sumberdaya dan
menimbulkan arus urbanisasi penduduk Desa ke kota. Kondisi ini yang menciptakan
ketidakadilan, kemiskinan maupun keterbelakangan senantiasa melekat pada Desa.
Kedua, ide dan pengaturan otonomi Desa kedepan dimaksudkan untuk memperbaiki
kerusakan-kerusakan sosial, budaya ekonomi dan politik Desa. Otonomi
Desa hendak memulihkan basis penghidupan masyarakat Desa, dan secara
sosiologis hendak memperkuat Desa sebagai entitas masyarakat paguyuban yang
kuat dan mandiri, mengingat transformasi Desa dari patembayan menjadi
paguyuban tidak berjalan secara alamiah sering dengan perubahan zaman, akibat dari
interupsi negara (struktur kekuasaan yang lebih besar).
5. Argumen Psikopolitik
Kedua, secara psikopolitik, Desa tetap akan marginal dan menjadi isu yang
diremehkan ketika pengaturannya ditempatkan pada posisi subordinat dan subsistem
pengaturan pemerintahan daerah. Desa mempunyai konteks sejarah, sosiologis, politik
dan hukum yang berbeda dengan daerah. Karena itu penyusunan UU Desa tersendiri
sebenarnya hendak mengeluarkan Desa dari posisi subordinat, subsistem dan
marginal dalam pemerintahan daerah, sekaligus hendak mengangkat Desa pada
posisi subyek yang terhormat dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.
Ketiga, secara politik penguatan otonomi Desa melalui UU Desa tersendiri
sebenarnya juga menjadi aspirasi Desa yang disuarakan oleh asosiasi pemerintah Desa
dan Badan Perwakilan Desa. Mereka senantiasa menuntut perhatian pemerintah pada
Desa, kesejahteraan yang lebih baik, kedudukan dan kewenangan Desa yang lebih
besar, penempatan Desa sebagai subyek pemerintahan dan pembangunan, alokasi
dana Desa yang lebih memadai, serta pembangunan yang betul-betul berangkat dari
bawah (bottom up). Sementara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
senantiasa menuntut pengakuan negara terhadap adat. Aspirasi dari bawah tersebut
tentu memperoleh dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk
Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD).
-slide-
Sejalan dengan bentuk-bentuk hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom,
maka sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terdapat tiga bentuk hubungan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Desa, yakni :
b. kewenangan dari badan hukum publik tidak hanya hak dari badan
berdasarkan hukum publik, tapi juga kewajiban berdasarkan hukum publik.
Jika berbicara hak dan kewajiban, hal itu mengandung arti bahwa orang
melihat kewenangan semata-mata sebagai hak, sebagai kuasa. Dalam pada
itu, hal menjalankan hak berdasarkan hukum publik sedikit banyak selalu
terikat kepada kewajiban berdasarkan hukum publik sesuai asas umum
pemerintahan yang baik. Memperhatikan hubungan yang tidak terputus ini
antara hak dan kewajiban yang berdasarkan hukum publik, saya mengartikan
kewenangan dari badan itu sebagai keseluruhan hak dan kewajiban yang
terletak pada badan hukum publik itu, sehingga harus dibedakan: (1)
pemberian kewenangan: pemberian hak kepada dan pembebanan kewajiban
terhadap badan badan hukum publik (attribusi/delegasi); (2) pelaksanaan
kewenangan: menjalankan hak dan kewajiban publik yang berarti
mempersiapkan dan mengambil keputusan; dan (3) akibat hukum dari
pelaksanaan kewenangan keseluruhan hak dan/atau kewajiban yang terletak
pada rakyat/burger, kelompok rakyat dan badan.
4. Sejalan dengan pendapat diatas, Taliziduhu Ndraha (1996: 85) dengan mengutip
pendapat beberapa para pakar menyatakan bahwa kewenangan (authority) adalah
kekuasaan atau hak yang diperoleh berdasarkan pelimpahan atau pemberian; atau
kewenangan adalah kekuasaan untuk mempertimbangkan/menilai, melakukan
tindakan, atau memerintah kekuasaan yang sah (the power or right delegated or
given; the power to judge, act or command). Namun, pembahasan tentang
kewenangan, harus memperhatikan apakah kewenangan itu diterima oleh yang
menjalankan. Oleh karena itu, penyerahan atau pelmpahan wewenang senantiasa
memerlukan pencermatan terhadap kemampuan pihak yang akan menerima
penyerahan atau pelimpahan wewenang teersebut. Uraian singkat ini
menunjukkan bahwa kewenangan adalah kekuasaan yang sah yang dapat
diperoleh dari pelimpahan atau penyerahan, untuk melakukan tindakan atau
memerintah.
6. Sistem nilai adat istiadat sebagai faktor pengikat yang mengatur sikap dan
perilaku masyarakat setempat inilah yang merupakan hak asal usul desa dalam
menyelenggarakan pemerintahan desa. Mengingat adanya perbedaan sistem nilai
adat istiadat di dalam masyarakat Indonesia, maka kewenangan asli desa
senantiasa berbeda-beda antara desa-desa di Indonesia, meskipun pada hal-hal
tertentu adanya kesamaan nilai adat istiadat antar suku-suku bangsa di Indonesia,
seperti nilai-nilai perdamaian dalam menyelesaikan masalah perdata dalam
kehidupan masyarakat desa.
7. Kewenangan asli desa inilah yang merupakan kewenangan utama desa dalam
menyelenggarakan rumah tangga desa, sehingga kewenangan desa yang bersifat
pelimpahan atau pemberian dari pemerintah atasan, pada dasarnya merupakan
kewenangan tambahan, karena Pemerintahan desa merupakan unit pemerintahan
terendah dalam sistem pemerintahan secara nasional.
Bila semua kebutuhan lokal dapat diatasi oleh pemerintah desa, diharapkan akan
semakin meningkat partisipasi masyarakat dalam mendukung keberhasilan program-
program pemerintah.
c. Secara teoritis, menurut Chester I. Barnard sebagaimana dikutip Thoha (1992: 124)
menyatakan bahwa organisasi adalah suatu sistem dari aktivitas-aktivitas orang yang
terkoordinasikan secara sadar atau kekuatan-kekuatan yang terdiri dari dua orang
atau lebih. Sedangkan menurut Amitai Etzioni sebagaimana dikutip Thoha (1992:
126), organiasi adalah pengelompokkan orang-orang yang sengaja disusun untuk
mencapai tujuan tertentu.
d. Menurut Sutarto (1985:36), organisasi adalah sistem saling pengaruh antar orang
dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Dari definisi
yang sederhana ini dapat diketemukan adanya berbagai faktor yang dapat
menimbulkan organisasi, yaitu orang-orang, kerjasama, dan tujuan tertentu.
Berbagai faktor tersebut tidak dapat saling lepas berdiri sendiri, melainkan saling
terkait merupakan suatu kebulatan. Maka dalam pengertian organisasi digunakan
sebutan sistem yang berarti kebulatan dari berbagai faktor yang terikat oleh
berbagai asas tertentu.
f. Di dalam membahas tentang makna organisasi, perlu dipahami pula tentang asas-
asas organisasi. Menurut Sutarto (1985: 55), terdapat 11 (sebelas) asas organisasi,
yakni: (a) Perumusan tujuan dengan jelas, yakni perumusan tujuan organisasi yang
akan menjadi rujukan bersama dari seluruh aktivitas yang dilaksanakan oleh setiap
anggota organisasi; (b) Departementasi, yakni aktivitas untuk menyusun satuan-
satuan organisai yang akan diserahi bidang kerja tertentu atau fungsi tertentu; (c)
Pembagian Kerja, yakni perincian serta pengelompokkan aktivitas-aktivitas yang
semacam atau erat hubungannya satu sama lain untuk dilakukan oleh satuan
organisasi tertentu; (d) Koordinasi, yakni pengaturan usaha sekelompok orang secara
teratur untuk menciptakan kesatuan tindakan dalam mengusahakan tercapainya suatu
tujuan bersama; (e) Pelimpahan Wewenang, yakni penyerahan sebagian hak untuk
mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggungjawabnya dapat
dilaksanakan dengan baik dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain; (f)
Rentangan Kontrol atau Rentang Kendali (span of control), yakni jumlah terbanyak
bawahan langsung yang dapat dipimpin dengan baik oleh seorang atasan tertentu;
(g) Jenjang Organisasi, yakni tingkat-tingkat satuan organisasi yang di dalamnya
terdapat pejabat, tugas serta wewenang tertentu menurut kedudukannya dari atas ke
bawah dalam fungsi tertentu; (h) Kesatuan perintah (unity of command), yakni tiap
tiap pejabat dalam organisasi hendaknya hanya dapat diperintah dan
bertangungjawab kepada seorang pejabat atasan tertentu; (i) Berkelangsungan, yakni
kelangsungan kehidupan organisasi secara terus menerus atas dasar dukungan orang-
orang yang bekerjasama dengan mengunakan prasarana dan sarana kerja tertentu
untuk mencapai tujuan organisasi; (j) Keseimbangan, yakni penempatan satuan-
satuan organisasi pada struktur organisasi sesuai dengan perannya.
1. Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, terdapat 6 (enam) lembaga desa, yakni:
(a) Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa); (b) Badan
Permusyawaratan Desa; (c) Lembaga Kemasyarakatan; (d) Lembaga Adat (e)
Kerjasasama Antar Desa; dan (f) Badan Usaha Milik Desa.
4. Kejelasan pembagian tugas antar lembaga desa yang bersumber dari satu kesatuan
sistemik kewenangan desa, akan melahirkan bentuk-bentuk hubungan kerja antara
lembaga-lembaga desa tersebut.
3. Dengan kedudukan Pemerintah Desa seperti ini, maka Pemerintah Desa terdiri dari:
(a) Kepala Desa selaku Kepala Pemerintahan Desa; dan (b) Perangkat Desa selaku
perangkat pembantu tugas-tugas Kepala Desa.
4. Sedangkan Perangkat Desa terdiri dari: (a) unsur staf (Sekretariat Desa); (b)
unsur lini (pelaksana teknis lapangan); dan (c) unsur kewilayahan (para Kepala
Dusun).
5. Konstruksi Pemerintah Desa seperti ini sejalan dengan pendapat Taliziduhu Ndraha
(1996:25), yang menyatakan bahwa struktur organsiasi Pemerintah Desa terdiri atas
ketiga unsur-unsur organisasi, yakni: (a) unsur kepala, yaitu Kepala Desa; (b) unsur
pembantu kepala atau staf; (c) unsur pelaksana (teknis) fungsional dan teritorial.
6. Di antara unsur kepala (Kepala Desa), unsur pembantu kepala atau staf (Sekretaris
Desa dan para Kepala Urusan), unsur pelaksana teknis fungsional (para Kepala Seksi),
dan unsur pelaksana territorial (Kepala Dusun), senantiasa ditata dalam satu kesatuan
perintah (dari Kepala Desa) dan terdapat hubungan kerja sesuai pembagian kerja yang
jelas di antara unsur-unsur organisasi Pemerintah Desa tersebut, sehingga tidak terjadi
tumpang tindih tugas serta terciptanya kejelasan tanggung jawab dari setiap orang
yang ditugaskan pada unit-unit kerja Pemerintah Desa.
B. Kepala Desa
1. Kedudukan Kepala Desa
Kepala Desa berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan Desa.
b. Kepala Desa sebagai Kepala Pemerintahan Desa yang selanjutnya pada ayat 2 Pasal
26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyebutkan : Dalam
melaksanakan tugas tersebut, Kepala Desa mempunyai wewenang: (1) memimpin
penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama
BPD; (2) mengajukan rancangan peraturan desa; (3) menetapkan peraturan desa
yang telah mendapat persetujuan bersama BPD; (4) menyusun dan mengajukan
rancangan peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan
bersama BPD; (5) membina kehidupan masyarakat desa; (6) membina
perekonomian desa; (7) mengoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif; (8)
mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum
untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (9)
melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
a. Kepala Desa penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai
dengan kemampuan keuangan desa.
b. Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang diterima Kepala Desa ditetapkan
setiap tahun dalam APB-Desa.
c. Penghasilan tetap Kepala Desa paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional
Kabupaten/Kota.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan keuangan Kepala Desa diatur dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang sekurang-kurangnya memuat: (1) rincian
jenis penghasilan; (2) rincian jenis tunjangan; dan (c) penentuan besarnya dan
pembebanan pemberian penghasilan dan/atau tunjangan.
C. Perangkat Desa
Perangkat Desa terdiri atas:
a. sekretariat Desa;
b. pelaksana kewilayahan; dan
c. pelaksana teknis.
Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya.Perangkat Desa diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan
dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
F. LEMBAGA ADAT
1. Lembaga Adat mempunyai fungsi menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi
bagian dari susunan asli desa adat yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa
masyarakat desa;
2. Lembaga Adat mempunyai tugas membantu pemerintahan desa dan sebagai mitra
dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud
pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat desa.
G. KERJASAMA ANTAR DESA
2. Kerjasama antar desa dilaksanakan oleh Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD)
1. Badan Usaha Milik Desa (Bum Desa) dikelola dengan semangat kekeluargaan dan
kegotongroyongan dalam bidang ekonomi dan pelayanan umum.
II. Penutup
Demikianlah beberapa materi pokok yang berkenaan dengan Kebijakan Pemerintah tentang
Pemerintahan Desa.