Anda di halaman 1dari 22

M.4.1.

KEBIJAKAN PEMERINTAH
DALAM TATA KELOLA PEMERINTAHAN DESA

PENDAHULUAN

1. Di dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam
ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa Pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (Sekretariat Jenderal
MPR-RI, 2002: 66).

2. Berdasarkan konstruksi pembagian satuan wilayah administrasi pemerintahan


tersebut, maka penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan secara nasional, sehingga keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan secara nasional turut ditentukan oleh efetivitas
penyelenggaraan pemerintahan desa.

3. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Pemerintah Desa


mempunyai tugas dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat
Desa

4. Kewenangan Desa meliputi:


a. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b. kewenangan lokal berskala Desa;
c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

5. Berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa meletakkan posisi


desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sesuai hak asal usul desa, sehingga
otonomi desa diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Repubik Indonesia.

6. Di sisi lain, dalam posisi Desa sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan
pemerintahan secara nasional dan jajaran terdepan dalam penyelenggaraan
pemerintahan secara nasional, maka desa juga diberi kewenangan untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagai konsekwensi dari keberadaan Desa
sebagai sebuah entitas pemerintahan.

7. Selain kewenangan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, desa juga
memperoleh kewenangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau
Kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU. No.6 Tahun 2014
meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

8. Pasal 94 UU Nomor 6 Tahun 2014 menyebutkan :


(1) Desa mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam
membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Lembaga kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai mitra Pemerintah Desa
(3) Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat
Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta
meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.
(4) Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan lembaga non-
Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga
kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.

9. Pasal 95 UU Nomor 6 Tahun 2014 menyebutkan :


(1) Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat membentuk lembaga adat Desa.
(2) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga
yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli
Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa
(3) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu
Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan
mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat
masyarakat Desa.

10. Dalam modul ini, akan diuraikan hal-hal pokok tentang: (a) Latar Belakang lahirnya
UU tentang Desa; (b) Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dengan pemerintahan desa (c) Perbedaan Tata Kelola Pemerintahan Desa dan
Kewenangan Desa menurut PP Nomor 72 Tahun 2005 dengan UU Nomor 6 Tahun
2014 (d) Makna Kelembagaan Desa dan Jenis-Jenis Kelembagaan di Desa (e)
Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kelembagaan Desa dan (f) Hubungan antar
Kelembagaan Desa.

A. LATAR BELAKANG LAHIRNYA UU NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

-slide-
-Videografik UU Nomor 6 Tahun 2014-

Dasar Pemikiran
Dalam rangka menjawab berbagai persoalan di atas, salah satu grand strategi yang
sangat perlu dan mendesak adalah mengatur Desa dalam level Undang-undang yaitu
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ada beberapa argumen penting
yang melandasinya lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu:

1. Argumen historis
Pertama, Desa-Desa yang beragam di seluruh Indonesia sejak dulu merupakan basis
penghidupan masyarakat setempat, yang notabene mempunyai otonomi dalam
mengelola tatakuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdaya
ekonomi.

Pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-
batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk
mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut dengan self-governing
community. Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum baru dikenal pada
masa kolonial Belanda. Desa pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yang
dikelola secara otonom tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan struktur yang
lebih tinggi. Di Sumatera Barat, misalnya, nagari adalah sebuah republik kecil yang
mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-
governing community).

Desa-Desa di Jawa sebenarnya juga menyerupai republik kecil, dimana pemerintahan


Desa dibangun atas dasar prinsip kedaulatan rakyat. Trias politica yang diterapkan
dalam negara-bangsa modern juga diterapkan secara tradisional dalam pemerintahan
Desa. Desa-Desa di Jawa, mengenal Lurah (kepala Desa) beserta perangkatnya
sebagai badan eksekutif, Rapat Desa (rembug Desa) sebagai badan legislatif yang
memegang kekuasaan tertinggi, serta Dewan Morokaki sebagai badan yudikatif
yang bertugas dalam bidang peradilan dan terkadang memainkan peran sebagai
badan pertimbangan bagi eksekutif (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984).

Kedua, secara historis, semua masyarakat lokal di Indonesia mempunyai


kearifan lokal secara kuat yang mengandung roh kecukupan, keseimbangan dan
keberlanjutan, terutama dalam mengelola sumberdaya alam dan penduduk. Diantara
kearifan-kearifan lokal tersebut, ada beberapa aturan hukum adat yang mengatur
masalah pemerintahan, pengelolaan sumberdaya, hubungan sosial, dan seterusnya.
Pada prinsipnya aturan lokal itu dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan
keberlanjutan hubungan antar manusia dan hubungan antara manusia dengan alam
dan Tuhan.

2. Argumen filosofis-konseptual

Pertama, Secara filosofis jelas bahwa sebelum tata pemerintahan di atasnya ada,
Desa itu lebih dulu ada. Oleh karena itu sebaiknya Desa harus menjadi landasan dan
bagian dari tata pengaturan pemerintahan sesudahnya. Desa yang memiliki tata
pemerintahan yang lebih tua, seharusnya juga menjadi ujung tombak dalam setiap
penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Kedua, mengikuti pendapat Prof. Mr J de Louter, seorang ahli tata negara


Belanda dan F. Laceulle dalam suatu laporannya yang menyatakan bahwa bangunan
hukum Desa merupakan fundamen bagi tatanegara Indonesia (Sutardjo, 1984: 39).
Artinya bahwa bangsa dan negara sebenarnya terletak di Desa, maka pengaturan Desa
dalam Undang-Undang adalah sangat mendesak karena jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan ini akan menentukan luasnya jangkauan pengaturan mengenai
Desa. Artinya pengaturan dalam Undang-Undang ini akan menentukan pula maju
mundurnya Desa yang berimplikasi pada pemerintahan yang ada di atasnya.
Otonomi dan demokrasi Desa yang akan dibingkai dengan undang-undang
tentang Desa bukan sekadar perkara kelembagaan semata, melainkan mempunyai
dasar filosofis yang dalam. Kita membutuhkan bangsa yang mandiri-bermartabat,
butuh negara (pemerintah) yang kuat (berkapasitas dan bertenaga) dan demokratis.
Upaya penguatan otonomi daerah dan otonomi Desa menjadi bagian dari cita-cita
itu, sekaligus hendak membangun imajinasi Indonesia yang kuat dan sempurna, yang
melampui (beyond) sentralisme dan lokalisme. NKRI akan menjadi lebih kuat
bila ditopang oleh kedaulatan rakyat serta kemandirian lokal (daerah dan Desa),
yakni pusat yang menghargai lokal dan lokal yang menghormati pusat.
Kemandirian Desa akan menjadi fondasi dan kekuatan NKRI dan imajinasi Indonesia
itu. Jika Desa selamanya marginal dan tergantung, maka justru akan menjadi
beban berat pemerintah dan melumpuhkan fondasi NKRI. Kedepan kita
membutuhkan Desa sebagai entitas lokal yang bertenaga secara sosial, berdaulat
secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.

Ketiga, UU tentang Desa merupakan instrumen untuk membangun visi menuju


kehidupan baru Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Apa maknanya?

Pertama, kemandirian Desa bukanlah kesendirian Desa dalam menghidupi dirinya


sendiri. Kemandirian Desa tentu tidak berdiri di ruang yang hampa politik, tetapi juga
terkait dengan dimensi keadilan yang berada dalam konteks relasi antara Desa
(sebagai entitas lokal) dengan kekuatan supra Desa (pusat dan daerah) yang
lebih besar. Secara lokal-internal, kemandirian Desa berarti kapasitas dan inisiatif
lokal yang kuat. Inisiatif lokal adalah gagasan, kehendak dan kemauan entitas Desa
yang berbasis pada kearifan lokal, komunalisme dan modal sosial (kepemimpinan,
jaringan dan solidaritas sosial). Dengan demikian, inisiatif lokal yang kuat merupakan
fondasi lokal bagi kemandirian Desa.

Tetapi inisiatif lokal ini tidak bakal tumbuh dengan baik jika tidak ada ruang yang
memungkinkan (enabling) untuk tumbuh. Regulasi yang mengandung banyak
instruksi dan intervensi tentu akan menumpulkan inisiatif lokal. Karena
itu kemandirian Desa membutuhkan kombinasi dua hal: inisiatif lokal dari bawah
dan respons kebijakan. Dari atas dibutuhkan pengakuan (rekognisi) negara terhadap
keberadaan entitas Desa dan termasuk organisasi masyarakat adat, yang kemudian
dilanjutkan dengan penetapan hak, kekuasaan, kewenangan, sumberdaya dan
tanggungjawab kepada Desa. Kewenangan memungkinkan Desa mempunyai
kesempatan dan tanggungjawab mengatur rumah tangganya sendiri dan
kepentingan masyarakat setempat, yang sekaligus akan menjadi bingkai bagi Desa
untuk membuat perencanaan lokal. Perencanaan Desa akan memberikan keleluasaan
dan kesempatan bagi Desa untuk menggali inisiatif lokal (gagasan, kehendak dan
kemauan lokal), yang kemudian dilembagakan menjadi kebijakan, program dan
kegiatan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan Desa. Kemandirian itu sama
dengan otonomi Desa. Gagasan otonomi Desa sebenarnya mempunyai
relevansi (tujuan dan manfaat) sebagai berikut:
Memperkuat kemandirian Desa sebagai basis kemandirian NKRI.
Memperkuat posisi Desa sebagai subyek pembangunan;
Mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat;
Memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan;
Menciptakan efisiensi pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan
lokal;
Menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat Desa;
Memberikan kepercayaan, tanggungjawab dan tantangan bagi Desa
untuk membangkitkan prakarsa dan potensi Desa;
Menempa kapasitas Desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan;
Membuka arena pembelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah Desa,
lembaga-lembaga Desa dan masyarakat.
Merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal.

Kedua, demokrasi adalah nilai dan sistem yang memberi bingkai tata
pemerintahan Desa. Secara konseptual demokrasi mengandung sejumlah prinsip
dasar: representasi, transparansi, akuntabilitas, responsivitas dan partisipasi,
yang semua prinsip ini menjadi fondasi dasar bagi pengelolaan kebijakan,
perencanaan Desa, pengelolaan keuangan Desa dan pelayanan publik. Kalau
prinsip-prinsip dasar ini tidak ada di Desa, maka akan muncul penguasa tunggal
yang otokratis, serta kebijakan dan keuangan Desa akan berjalan apa adanya secara
rutin, atau bisa terjadi kasus-kasus bermasalah yang merugikan rakyat Desa.
Demokrasi Desa akan membuka ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya
kepada pemerintah Desa. Aspirasi adalah fondasi kedaulatan rakyat yang sudah
lama diamanatkan dalam konstitusi. Demokrasi juga menjadi arena untuk
mendidik mental dan kepribadian rakyat agar mereka lebih mampu, mandiri, militan
dan mempunyai kesadaran tentang pengelolaan barang-barang publik yang
mempengaruhi hidup mereka. Pendidikan dan pembelajaran ini penting, mengingat
masyarakat cenderung pragmatis secara ekonomi dan konservatif secara politik, akibat
dari perkembangan zaman yang mengutamakan orientasi material.

Ketiga, isu kesejahteraan mencakup dua komponen besar, yakni penyediaan layanan
dasar (pangan, papan, pendidikan dan kesehatan) dan pengembangan ekonomi
Desa yang berbasis pada potensi lokal. Kemandirian dan demokrasi Desa
merupakan alat dan peta jalan untuk mencapai kesejahteraan rakyat Desa.
Desentralisasi memungkinkan alokasi sumberdaya kepada Desa, dan demokrasi
memungkinkan pengelolaan sumberdaya Desa berpihak pada rakyat Desa. Hak Desa
untuk mengelola sumberdaya alam, misalnya, merupakan modal yang sangat berharga
bagi ekonomi rakyat Desa.
Demikian juga dengan alokasi dana Desa yang lebih besar akan sangat bermanfaat
untuk menopang fungsi Desa dalam penyediaan layanan dasar warga Desa. Namun,
kesejahteraan rakyat Desa yang lebih optimal tentu tidak mungkin mampu dicakup
oleh pemerintah Desa semata, karena itu dibutuhkan juga kebijakan pemerintah
yang responsif dan partisipatif, yang berorientasi pada perbaikan pelayanan
dasar dan pengembangan ekonomi lokal.

3. Argumen yuridis

Pertama, Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan dalam Pasal 18b adanya


kesatuan masyarakat hukum adat. Hal ini berarti bahwa Desa sebagai susunan
pemerintahan terendah di Indonesia mempunyai identitas dan entitas yang berbeda
dan perlu di atur tersendiri dalam bentuk Undang-Undang. Selain itu, usulan mengenai
pentingnya Undang-undang mengenai Desa ini dikemukakan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislatif.
Sejumlah isu yang terkandung UUD 1945 tentu membutuhkan penjabaran lebih
lanjut dalam bentuk undang-undang. Termasuk pasal 18 yang mengatur
keberadaan daerah besar dan kecil. Pasal 18 itu berbunyi: Pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa. Desa sebenarnya termasuk daerah-daerah kecil
yang mempunyai hak-hak asal-usul dan bersifat istimewa. Dalam penjelasan juga
ditegaskan: Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah
propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Ini berarti bahwa daerah
yang lebih kecil mencakup kabupaten/kota dan Desa, atau setidaknya undang-undang
juga harus memberi kedudukan yang tepat keberadaan Desa yang telah ada jauh
sebelum NKRI lahir, dan Desa pada masa kolonial juga telah diatur tersendiri
(Yando Zakaria, 2002).

Kedua, pengakuan dan penghormatan negara terhadap Desa dalam konstitusi


sebenarnya nampak jelas (Yando Zakaria, 2002). Dalam penjelasan Pasal 18
disebutkan bahwa: Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali,
negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-
daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai
daerah yang bersifat istimewa.

Kalimat ini menegaskan bahwa NKRI harus mengakui keberadaan Desa-Desa di


Indonesia yang bersifat beragam. Konsep zelfbesturende landchappen identik
dengan Desa otonom (local self government) atau disebut Desa Praja yang kemudian
dikenal dalam UU No. 19/1965, yakni Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum
yang berhak dan berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Sedangkan konsep volksgetneenschappen identik dengan kesatuan masyarakat hukum
adat atau menurut orang Bali disebut dengan Desa adat atau self governing
community. Zelfbesturende landchappen akan mengikuti azas desentralisasi
(pemberian) dan volksgetneenschappen akan mengikuti azas rekognisi/pengakuan
(meski azas ini tidak dikenal dalam semesta teori desentralisasi).Namun keragaman
dan pembedaan zelfbesturende landchappen (Desa otonom) dan
volksgetneenschappen (Desa adat) itu lama kelamaan menghilang, apalagi di
zaman Orde Baru UU No. 5/1979 melakukan penyeragaman dengan model Desa
administratif, yang bukan Desa otonom dan bukan Desa adat.

Lebih memprihatinkan lagi, UUD 1945 Amandemen Kedua malah menghilangkan


istilah Desa. Pasal 18 ayat 1 menegasakan: Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah
yang diatur dengan undang-undang. Juga pasal 18B ayat 2 menegaskan: Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.Meskipun istilah Desa hilang dalam UUD 1945 amandemen
ke-2, tetapi klausul Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya berarti mengharuskan
negara melakukan rekognisi terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat,
yang di dalamnya mencakup Desa, nagari, mukim, huta, sosor, kampung, marga,
negeri, parangiu, pakraman, lembang dan seterusnya. UU No. 22/1999 dan UU
No. 32/2004 telah memberikan pengakuan itu dan secara nasional melakukan
penyebutan Desa (atau dengan nama lainnya). Pengakuan diberikan kepada
eksistensi Desa (atau nama lain) beserta hak-hak tradisionalnya hak asal-usul.
Kebijakan yang sama juga terlihat misalnya dalam UU No. 11/2006 tentang
Pemerintahan Aceh yang mengakui kembali keberadaan mukim (berada di tengah
kecamatan dan Desa/gampong), yang selama Orde Baru mukim dihilangkan dari
struktur hirarkhis dan hanya menempatkan gampong sebagai Desa.

Ketiga, penyerahan urusan/kewenangan dari kabupaten/kota kepada Desa sebenarnya


tidak dikenal dalam teori desentralisasi. Karena itu jika UU Desa disusun terpisah
dari UU Pemda, hal ini akan semakin mempertegas amanat dan makna Pasal 18
UUD 1945, sekaligus akan semakin memperjelas posisi (kedudukan) dan
kewenangan Desa atau memperjelas makna otonomi Desa.

4. Argumen Sosiologis

Pertama, secara sosiologis, jelas bahwa untuk menciptakan masyarakat adil dan
makmur seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, bangsa Indonesia harus memulai paradigma pembangunan dari bawah (Desa)
karena sebagian besar penduduk Indonesia beserta segala permasalahannya tinggal di
Desa. Tetapi selama ini, pembangunan cenderung berorientasi pada pertumbuhan
dan bias kota. Sumberdaya ekonomi yang tumbuh di kawasan Desa diambil
oleh kekuatan yang lebih besar, sehingga Desa kehabisan sumberdaya dan
menimbulkan arus urbanisasi penduduk Desa ke kota. Kondisi ini yang menciptakan
ketidakadilan, kemiskinan maupun keterbelakangan senantiasa melekat pada Desa.

Kedua, ide dan pengaturan otonomi Desa kedepan dimaksudkan untuk memperbaiki
kerusakan-kerusakan sosial, budaya ekonomi dan politik Desa. Otonomi
Desa hendak memulihkan basis penghidupan masyarakat Desa, dan secara
sosiologis hendak memperkuat Desa sebagai entitas masyarakat paguyuban yang
kuat dan mandiri, mengingat transformasi Desa dari patembayan menjadi
paguyuban tidak berjalan secara alamiah sering dengan perubahan zaman, akibat dari
interupsi negara (struktur kekuasaan yang lebih besar).

Ketiga, pengaturan tentang otonomi Desa dimaksudkan untuk merespon proses


globalisasi, yang ditandai oleh proses liberalisasi (informasi, ekonomi, teknologi,
budaya, dan lain-lain) dan munculnya pemain-pemain ekonomi dalam skala global.
Dampak globalisasi dan ekploitasi oleh kapitalis global tidak mungkin dihadapi
oleh lokalitas, meskipun dengan otonomi yang memadai. Tantangan ini
memerlukan institusi yang lebih kuat (dalam hal ini negara) untuk menghadapinya.
Oleh karena diperlukan pembagian tugas dan kewenangan secara rasional di
negara dan masyarakat agar dapat masing-masing bisa menjalankan fungsinya.
Prinsip dasar yang harus dipegang erat dalam pembagian tugas dan kewenangan
tersebut adalah Daerah dan Desa dapat dibayangkan sebagai kompartemen-
kompartemen fleksibel dalam entitas negara. Berikutnya, ketiganya memiliki misi
yang sama yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat, bahkan yang lebih
mendasar adalah survival ability bangsa. Otonomi Desa adalah instrumen untuk
menjalankan misi tersebut. Oleh karena itu, tidak tepat kalau dalam otonomi
daerah atau Desa justru melemahkan bangunan NKRI atau survival ability bangsa.
Ini mungkin terjadi kalau tidak ada pengaturan tepat antara peran negara, daerah dan
Desa. Perlu diingat bahwa negara tidaklah sekedar agregasi daerah-daerah atau Desa-
Desa yang otonom. (Hastu, 2007). Spirit Desa bertenaga sosial, berdaulat secara
politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya sebenarnya menjadi
cita-cita dan fondasi lokal-bawah yang memperkauat negara-bangsa (Sutoro Eko,
2007; AMAN, 2006).

5. Argumen Psikopolitik

Pertama, sejak kemerdekaan sebenarnya Indonesia telah berupaya untuk menentukan


posisi dan format Desa yang tepat sesuai dengan konteks keragaman lokal.
Perdebatan terus berlangsung mengawali penyusunan UU, tetapi sulit
membangun kesepakatan politik. UU No. 19/1965 tentang Desa Praja sebenarnya
merupakan puncak komitmen dan kesepakatan politik yang mendudukkan Desa
sebagai daerah otonom tingkat III. Tetapi karena perubahan paradigma politik dari
Orde Lama ke Orde Baru, UU tersebut tidak berlaku.
Selama puluhan tahun pencarian tentang posisi dan format Desa betul-betul
mengalami kesulitan yang serius. Mendiang Prof. Selo Soemardjan (1992)
selalu menyoroti betapa sulitnya menempatkan posisi dan format Desa. Demikian
tuturnya:

Mengenai pembentukan daerah-daerah administratif pada umumnya tidak dijumpai


masalah-masalah yang berarti, baik secara hukum maupun politis. Sebaliknya
menghadapi Desa, negeri, marga dan sebagainya yang diakui sebagai daerah
istimewa tampaknya ada berbagai pendapat yang berbeda-beda yang sampai
sekarang belum dapat disatukan dengan tuntas. Perbedan pendapat itu
mengakibatkan keragu-raguan pemerintah untuk memilih antara sistem desentralisasi
dua tingkat, yaitu dengan daerah otonomi tingkat I dan tingkat II saja dan sistem tiga
tingkat dimana di bawah tingkat II ditambah tingkat III.

Kedua, secara psikopolitik, Desa tetap akan marginal dan menjadi isu yang
diremehkan ketika pengaturannya ditempatkan pada posisi subordinat dan subsistem
pengaturan pemerintahan daerah. Desa mempunyai konteks sejarah, sosiologis, politik
dan hukum yang berbeda dengan daerah. Karena itu penyusunan UU Desa tersendiri
sebenarnya hendak mengeluarkan Desa dari posisi subordinat, subsistem dan
marginal dalam pemerintahan daerah, sekaligus hendak mengangkat Desa pada
posisi subyek yang terhormat dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.
Ketiga, secara politik penguatan otonomi Desa melalui UU Desa tersendiri
sebenarnya juga menjadi aspirasi Desa yang disuarakan oleh asosiasi pemerintah Desa
dan Badan Perwakilan Desa. Mereka senantiasa menuntut perhatian pemerintah pada
Desa, kesejahteraan yang lebih baik, kedudukan dan kewenangan Desa yang lebih
besar, penempatan Desa sebagai subyek pemerintahan dan pembangunan, alokasi
dana Desa yang lebih memadai, serta pembangunan yang betul-betul berangkat dari
bawah (bottom up). Sementara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
senantiasa menuntut pengakuan negara terhadap adat. Aspirasi dari bawah tersebut
tentu memperoleh dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk
Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD).

B. HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH


DENGAN PEMERINTAHAN DESA

-slide-

Sejalan dengan bentuk-bentuk hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom,
maka sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terdapat tiga bentuk hubungan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Desa, yakni :

1. Hubungan dalam bidang kewenangan, meliputi :


a. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Desa, meliputi: penugasan
dari pemerintah pusat kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan
asas tugas pembantuan.
b. Hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintahan Desa, meliputi:
penugasan dari pemerintah provinsi kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu
berdasarkan asas tugas pembantuan.
c. Hubungan antara Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa,
meliputi: (a) penyerahan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota kepada desa untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan tersebut; dan (b) penugasan dari pemerintah kabupaten/kota kepada
desa untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan asas tugas pembantuan.

2. Hubungan dalam bidang keuangan, meliputi :


a. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Desa, meliputi: pemberian
bantuan keuangan oleh Pemerintah Pusat kepada desa untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan desa dan program-program pemberdayaan masyarakat
desa.
b. Hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintahan Desa, meliputi:
pemberian bantuan keuangan oleh Pemerintah Provinsi kepada desa untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan desa dan program-program pemberdayaan masyarakat
desa.
c. Hubungan antara Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa,
meliputi: (a) bagian hasil pajak daerah minimal 10% untuk desa; (b) bagian hasil
retribusi daerah; (c) pemberian Alokasi Dana Desa, yakni bagian dari dana
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota
minimal sebesar 10% untuk desa; dan (d) pemberian bantuan keuangan oleh
Pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan desa dan program-program pemberdayaan masyarakat desa.

3. Hubungan dalam bidang pembinaan dan pengawasan, meliputi :


a. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi berkewajiban untuk melakukan
pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa.
b. Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan desa.
c. Aparatur Kecamatan berkewajiban untuk melakukan fasilitasi dan koordinasi atas
penyelenggaraan pemerintahan desa.

C. PERBEDAAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DESA DAN


KEWENANGAN DESA MENURUT PP NOMOR 72 TAHUN 2005 DENGAN UU
NOMOR 6 TAHUN 2014

1. Perbedaan Tata Kelola Pemerintahan Desa menurut PP Nomor 72 Tahun 2005


dengan UU Nomor 6 Tahun 2014

PP Nomor 72 Tahun 2005 UU Nomor 6 Tahun 2014


a. Pengertian desa tidak menyebutkan a. Pengertian desa menyebutkan desa
desa dan desa adat; dan desa adat;
b. Pemerintahan Desa terdiri dari b. Pemerintahan Desa terdiri dari
pemerintah desa (kepala desa, pemerintah desa (kepala desa dan
perangkat desa) dan BPD; perangkat desa;
c. Dalam azas pengaturan tidak diatur c. Dalam azas pengaturan desa diatur
azas rekognisi dan subsidiaritas; azas rekognisi dan subsidiaritas;
d. Pembentukan desa hanya diatur d. Pembentukan desa diatur berdasarkan
secara umum tentang junlah besaran jumlah penduduk,
penduduk, luas wilayah, bagian contoh:
wilayah kerja, perangkat desa dan -wilayah Jawa paling sedikit 6000
sarana prasarana pemerintahan desa; jiwa atau 1200 KK;
-wilayah Sumatera paling sedikit
4000 jiwa atau 800 KK.
e. Pembentukan desa tidak diawali e. Pembentukan desa diawali dengan
dengan desa persiapan; desa persiapan selama 1 (satu) s/d 3
(tiga) tahun;
f. Periode masa jabatan kepala desa 2 f. Periode masa jabatan kepala desa 3
(dua) kali berturut=turut; (tiga) kali berturut-turut dan tidak
berturut-turut;
g. Pejabat Kepala Desa bisa ditunjuk dari g. Pejabat Kepala Desa harus dari PNS
unsur PNS, perangkat desa dan tokoh Kab/kota yang berpengalaman dan
masyarakat; memahami tentang tata
pemerintahan;
h. Sekretaris desa diangkat oleh h. Perangkat desa (Sekretariat Desa,
Sekretaris Daerah Kab/Kota atas nama Pelaksana Kewilayahan dan
Bupati/Walikota dan perangkat desa Pelaksana Teknis) diangkat oleh
lainnya diangkat oleh Kepala Desa; Kepala Desa setelah dikonsultasikan
dengan camat atas nama
Bupati/Walikota;
i. Jenis peraturan desa terdiri dari i. Jenis peraturan di desa terdiri dari
Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa Peraturan Desa, Peraturan Kepala
dan Keputusan Kepala Desa; Desa dan Peraturan Bersama Kepala
Desa.
j. Peraturan Desa harus berdasarkan j. Peraturan Desa harus berdasarkan
persetujuan BPD dan Peraturan Desa pembahasan dan kesepakatan dengan
serta Peraturan Kepala Desa dimuat BPD serta Peraturan Desa dimuat
dalam Berita Daerah; dalam Lembaran Desa sedangkan
Peraturan Kepala Desa, Peraturan
Bersama Kepala Desa dimuat dalam
Berita Desa;
k. Rencana Pembangunan Jangka k. Rencana Pembangunan Menengah
Menengah Desa dalam jangka waktu 5 Desa dalam jangka waktu 6 (enam)
(lima) tahun; tahun;
l. Rencana Kerja Pembangunan Desa l. Rencana Kerja Pemerintah Desa
dalam jangka 1 (satu) tahun; dalam jangka waktu 1 (satu) tahun;
m. Sumber pendapatan desa terdiri dari m. Sumber pendapatan desa terdiri dari
PADesa, bagi hasil pajak daerah PADesa, alokasi APBN (Dana Desa
kab/kota paling sedikit 10%, ADD Pusat), bagi hasil pajak daerah dan
paling sedikit 10% setelah dikurangi retribusi daerah kab/kota, ADD
belanja pegawai kab/kota, bantuan minimal 10% setelah dikurangi DAK,
keuangan dari pemerintah, pemerintah bantuan keuangan dari APBD
provinsi, pemerintah kab/kota, hibah Provinsi dan Kab/Kota, Hibah dan
dan sumbangan pihak ketiga yang tidak sumbangan pihak ketiga yang tidak
mengikat; mengikat dan lain-lain pendapatan
yang sah;
n. Tidak diatur pembangunan kawasan n. Diatur pembangunan kawasan
perdesaan; perdesaan;
o. Tidak diatur lembaga adat dan tidak o. Diatur tentang lembaga adat dan
diatur ketentuan khusus desa adat. diatur ketentuan khusus desa adat.

2. Perbedaan Kewenangan Desa menurut PP Nomor 72 Tahun 2005 dengan UU


Nomor 6 Tahun 2014

PP Nomor 72 Tahun 2005 UU Nomor 6 Tahun 2014


Urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan desa mencakup :
a. urusan pemerintahan yang sudah ada a. kewenangan berdasarkan hak asal
berdasarkan hak asal usul desa usul;
b. urusan pemerintahan yang menjadi b. kewenangan lokal berskala Desa;
kewenangan kabupaten/kota yang c. kewenangan yang ditugaskan oleh
diserahkan pengaturannya kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah
desa; Provinsi, atau Pemerintah Daerah
c. tugas pembantuan dari Pemerintah, Kabupaten/Kota; dan
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah d. kewenangan lain yang ditugaskan
Kabupaten/Kota; dan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
d. urusan pemerintahan lainnya yang Provinsi, atau Pemerintah Daerah
oleh peraturan perundang-undangan Kabupaten/Kota sesuai dengan
diserahkan kepada desa. ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pengertian Kewenangan dan Kewenangan Desa

1. Dalam prespektif hukum publik, Stroink (2006:4) menguraikan makna


kewenangan (authority) dalam 3 (tiga) dimensi pokok, yakni:
a. kewenangan adalah kemampuan yuridis dari orang atau badan hukum publik.
Batasan ini memerlukan penjelasan. Kewenangan badan hukum publik harus
dibedakan kewenangan dari wakil untuk mewakili badan. Hak dan kewajiban
yang diberikan kepada wakil harus dibedakan dari hak dan kewajiban yang
diberikan kepada badan hukum publik.

b. kewenangan dari badan hukum publik tidak hanya hak dari badan
berdasarkan hukum publik, tapi juga kewajiban berdasarkan hukum publik.
Jika berbicara hak dan kewajiban, hal itu mengandung arti bahwa orang
melihat kewenangan semata-mata sebagai hak, sebagai kuasa. Dalam pada
itu, hal menjalankan hak berdasarkan hukum publik sedikit banyak selalu
terikat kepada kewajiban berdasarkan hukum publik sesuai asas umum
pemerintahan yang baik. Memperhatikan hubungan yang tidak terputus ini
antara hak dan kewajiban yang berdasarkan hukum publik, saya mengartikan
kewenangan dari badan itu sebagai keseluruhan hak dan kewajiban yang
terletak pada badan hukum publik itu, sehingga harus dibedakan: (1)
pemberian kewenangan: pemberian hak kepada dan pembebanan kewajiban
terhadap badan badan hukum publik (attribusi/delegasi); (2) pelaksanaan
kewenangan: menjalankan hak dan kewajiban publik yang berarti
mempersiapkan dan mengambil keputusan; dan (3) akibat hukum dari
pelaksanaan kewenangan keseluruhan hak dan/atau kewajiban yang terletak
pada rakyat/burger, kelompok rakyat dan badan.

c. Kewenangan berdasarkan hukum publik sebagai dasar tindakan badan yang


memang terletak dalam hukum publik. Saya gunakan kewenangan
berdasarkan hukum publik jadi tidak dalam arti terbatas dari berwenang
untuk melakukan tindakan hukum menurut hukum publik, tapi dalam arti
kewenangan untuk tindakan (hukum) berdasarkan hukum publik.

2. Dalam prespektif Administrasi Negara, kewenangan (authority) adalah hak


seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas serta
tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik (Sutarto, 1985: 141). Dalam
dimensi organisasi pemerintahan, senantiasa terjadi pelimpahan atau penyerahan
wewenang dari organisasi pemerintahan tingkat atas kepada organisasi
pemerintahan tingkat bawahnya dan/atau pelimpahan atau penyerahan
wewenang dari pimpinan tingkat atas kepada bawahannya. Oleh karena itu,
Sutarto (1985: 142) menyatakan bahwa pelimpahan wewenang berarti
penyerahan sebagian hak untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas
dan tanggungjawabnya dapat dilaksanakan dengan baik dari pejabat yang satu
kepada pejabat yang lain. Jadi tegas bahwa pelimpahan wewenang itu bukan
penyerahan hak dari atasan kepada bawahan, melainkan penyerahan hak dari
pejabat kepada pejabat.
3. Selanjutnya Sutarto (1985: 142) menegaskan bahwa setiap pejabat yang diserahi
tugas mempunyai tangung jawab agar tugasnya dapat dilaksanakan dengan baik.
Tangung jawab adalah keharusan pada seorang pejabat untuk melaksanakan
secara selayaknya segala sesuatu yang telah dibebankan kepadanya. Tanggung
jawab demikian itu hanya dapat dipenuhi apabila pejabat yang bersangkutan
mempunyai wewenang tertentu dalam bidang tugasnya. Dengan tiada kekuasaan/
kewenangan itu, tanggung jawab tidak dapat dilaksanakan dengan sepantasnya.

4. Sejalan dengan pendapat diatas, Taliziduhu Ndraha (1996: 85) dengan mengutip
pendapat beberapa para pakar menyatakan bahwa kewenangan (authority) adalah
kekuasaan atau hak yang diperoleh berdasarkan pelimpahan atau pemberian; atau
kewenangan adalah kekuasaan untuk mempertimbangkan/menilai, melakukan
tindakan, atau memerintah kekuasaan yang sah (the power or right delegated or
given; the power to judge, act or command). Namun, pembahasan tentang
kewenangan, harus memperhatikan apakah kewenangan itu diterima oleh yang
menjalankan. Oleh karena itu, penyerahan atau pelmpahan wewenang senantiasa
memerlukan pencermatan terhadap kemampuan pihak yang akan menerima
penyerahan atau pelimpahan wewenang teersebut. Uraian singkat ini
menunjukkan bahwa kewenangan adalah kekuasaan yang sah yang dapat
diperoleh dari pelimpahan atau penyerahan, untuk melakukan tindakan atau
memerintah.

5. Namun, kewenangan desa tidak hanya diperoleh melalui pelimpahan atau


pemberian, karena desa memiliki kewenangan asli (indigenous authority atau
genuine authority) berdasarkan hak asal usul desa sesuai sistem nilai adat istiadat
masyarakat setempat. Sistem nilai adat istiadat masyarakat setempat merupakan
salah satu faktor pengikat yang diakui dan ditaati bersama oleh masyarakat
setempat (selain faktor-faktor lainnya). Dengan menyitir pendapat Prof. Dr. R.
Van Dijk dalam bukunya Pengantar Hukum Adat Indonesia (terjemahan Mr. A.
Soehardi), Taliziduhu Ndraha (1996: 4) menyatakan bahwa Adat istiadat
merupakan semua kesusilaan dan kebiasaan Indonesia di semua lapangan hidup,
jadi juga semua peraturan tentang tingkah macam apapun juga, menurut mana
orang Indonesia biasa bertingkah laku.

6. Sistem nilai adat istiadat sebagai faktor pengikat yang mengatur sikap dan
perilaku masyarakat setempat inilah yang merupakan hak asal usul desa dalam
menyelenggarakan pemerintahan desa. Mengingat adanya perbedaan sistem nilai
adat istiadat di dalam masyarakat Indonesia, maka kewenangan asli desa
senantiasa berbeda-beda antara desa-desa di Indonesia, meskipun pada hal-hal
tertentu adanya kesamaan nilai adat istiadat antar suku-suku bangsa di Indonesia,
seperti nilai-nilai perdamaian dalam menyelesaikan masalah perdata dalam
kehidupan masyarakat desa.
7. Kewenangan asli desa inilah yang merupakan kewenangan utama desa dalam
menyelenggarakan rumah tangga desa, sehingga kewenangan desa yang bersifat
pelimpahan atau pemberian dari pemerintah atasan, pada dasarnya merupakan
kewenangan tambahan, karena Pemerintahan desa merupakan unit pemerintahan
terendah dalam sistem pemerintahan secara nasional.

8. Namun, mengingat adanya kecenderungan bahwa kewenangan asli desa semakin


berkurang (bahkan di beberapa desa di Indonesia cenderung memudar) dalam
mengatur dan mengurus kehidupan masyarakat desa, maka seakan-akan terlihat
bahwa kewenangan desa yang diperoleh dari pelimpahan atau penyerahan
kewenangan dari pemerintah atasan menjadi kewenangan utama Pemerintahan
Desa. Pemahaman seperti ini dapat dipahami, mengingat tugas-tugas yang
dilaksanakan oleh Pemerintahan Desa lebih bersifat penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintahan secara nasional, ketimbang penyelenggaraan urusan rumah tangga
desa berdasarkan sistem nilai adat istiadat masyarakat setempat atau berdasarkan
hak asal usul desa.

Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal


berskala diatur dan diurus oleh Desa. Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan
dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diurus oleh Desa.

Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi


penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Penugasan disertai biaya.

1. Kewenangan Desa meliputi:

a. kewenangan berdasarkan hak asal usul;


b. kewenangan lokal berskala Desa;
c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul sebagaimana paling sedikit


terdiri atas:

a. sistem organisasi masyarakat adat;


b. pembinaan kelembagaan masyarakat;
c. pembinaan lembaga dan hukum adat;
d. pengelolaan tanah kas Desa; dan
e. pengembangan peran masyarakat Desa.

3. Kewenangan lokal berskala Desa paling sedikit terdiri atas:


a. Pengelolaan tambatan perahu;
b. Pengelolaan Pasar Desa;
c. Pengelolaan tempat permandian umum;
d. Pengelolaan jaringan irigasi;
e. Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat Desa;
f. Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu;
g. Pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar;
h. Pengelolaan perpustakaan Desa dan taman bacaan;
i. Pengelolaan embung Desa;
j. Pengelolaan air minum berskala Desa; dan
k. Pembuatan jalan Desa antar permukiman ke weilayah pertanian.

Selain kewenangan sebagaimana di atas Menteri dapat menetapkan jenis


kewenangan Desa sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan lokal.

4. Penyerahan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota


yang diserahkan pengaturannya kepada Desa akan berimplikasi terhadap:

a. Kewenangan memutuskan ada pada tingkat Desa, sehingga terjadi: 1)


pergeseran kewenangan dari Pemerintahan kabupaten/kota kepada
Pemerintahan desa; dan (2) peningkatan volume perumusan peraturan
perundang-undangan berupa Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, dan
Keputusan Kepala Desa.

b. Adanya pembiayaan yang diberikan Kabupaten/Kota kepada Desa dalam


rangka pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut, sehingga terjadi: 1)
pergeseran anggaran dari pos perangkat daerah kepada pos pemerintahan
desa; dan (2) adanya program pembangunan yang bisa mengatasi
kebutuhan masyarakat Desa dalam skala Desa.

c. Adanya prakarsa dan inisiatif pemerintahan desa dalam mengembangkan


aspek budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup di wilayahnya sesuai ruang
lingkup kewenangan yang diserahkan.

d. Adanya prakarsa dan kewenangan memutuskan oleh Pemerintahan Desa


sesuai kebutuhan masyarakat Desa, sehingga keterlibatan seluruh
stakeholders (Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan,
dan masyarakat desa) dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
pembangunan semakin lebih maksimal.

Bila semua kebutuhan lokal dapat diatasi oleh pemerintah desa, diharapkan akan
semakin meningkat partisipasi masyarakat dalam mendukung keberhasilan program-
program pemerintah.

D. MAKNA KELEMBAGAAN DESA DAN JENIS-JENIS KELEMBAGAAN DI


DESA

1. Makna Kelembagaan Desa


a. Lembaga atau institution merupakan wadah untuk mengemban tugas dan fungsi
tertentu dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, keberadaan
lembaga desa merupakan wadah untuk mengemban tugas dan fungsi pemerintahan
desa (dimana tugas dan fungsi pemerintahan desa merupakan derivasi atau uraian
lebih lanjut dari kewenangan desa) untuk mencapai tujuan penyelengaraan
pemerintahan desa. Tujuan penyelenggaraan pemerintahan desa adalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga tugas pemerintah (termasuk
Pemerintah Desa) adalah pemberian pelayanan (services), pemberdayaan
(empowerment), serta pembangunan (development) yang seluruhnya diabdikan bagi
kepentingan masyarakat (Rasyid, 1996: 37-38).

b. Istilah lembaga seringkali dipertukarkan dengan istilah organisasi, meskipun


kedua istilah tersebut (lembaga dan organisasi) dapat dibedakan secara teoritis.
Penggunaan terminologi lembaga yang dipertukarkan dengan terminologi
organisasi adalah hal yang layak, mengingat kelembagaan desa senantiasa tampil
dalam sosokorganisasi pemerintahan desa.

c. Secara teoritis, menurut Chester I. Barnard sebagaimana dikutip Thoha (1992: 124)
menyatakan bahwa organisasi adalah suatu sistem dari aktivitas-aktivitas orang yang
terkoordinasikan secara sadar atau kekuatan-kekuatan yang terdiri dari dua orang
atau lebih. Sedangkan menurut Amitai Etzioni sebagaimana dikutip Thoha (1992:
126), organiasi adalah pengelompokkan orang-orang yang sengaja disusun untuk
mencapai tujuan tertentu.

d. Menurut Sutarto (1985:36), organisasi adalah sistem saling pengaruh antar orang
dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Dari definisi
yang sederhana ini dapat diketemukan adanya berbagai faktor yang dapat
menimbulkan organisasi, yaitu orang-orang, kerjasama, dan tujuan tertentu.
Berbagai faktor tersebut tidak dapat saling lepas berdiri sendiri, melainkan saling
terkait merupakan suatu kebulatan. Maka dalam pengertian organisasi digunakan
sebutan sistem yang berarti kebulatan dari berbagai faktor yang terikat oleh
berbagai asas tertentu.

e. Mengenai faktor-faktor organisasi, Herbert G. Hicks sebagaimana dikutip Sutarto


(1985: 37) berpendapat bahwa terdapat unsur inti (core element) dan faktor kerja
(working element). Yang termasuk faktor inti (core element) adalah orang-orang
sebagai faktor yang membentuk organisasi; sedangkan yang termasuk faktor kerja
(working element) yang menentukan berjalannya organisasi adalah: (a) daya
manusia, yang terdiri dari kemampuan untuk bekerja, kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain, dan kemampuan melaksanakan asas-asas organisasi; dan
(b) daya bukan manusia, yang meliputi alam, iklim, udara, cuaca, air, dan lain-lain.

f. Di dalam membahas tentang makna organisasi, perlu dipahami pula tentang asas-
asas organisasi. Menurut Sutarto (1985: 55), terdapat 11 (sebelas) asas organisasi,
yakni: (a) Perumusan tujuan dengan jelas, yakni perumusan tujuan organisasi yang
akan menjadi rujukan bersama dari seluruh aktivitas yang dilaksanakan oleh setiap
anggota organisasi; (b) Departementasi, yakni aktivitas untuk menyusun satuan-
satuan organisai yang akan diserahi bidang kerja tertentu atau fungsi tertentu; (c)
Pembagian Kerja, yakni perincian serta pengelompokkan aktivitas-aktivitas yang
semacam atau erat hubungannya satu sama lain untuk dilakukan oleh satuan
organisasi tertentu; (d) Koordinasi, yakni pengaturan usaha sekelompok orang secara
teratur untuk menciptakan kesatuan tindakan dalam mengusahakan tercapainya suatu
tujuan bersama; (e) Pelimpahan Wewenang, yakni penyerahan sebagian hak untuk
mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggungjawabnya dapat
dilaksanakan dengan baik dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain; (f)
Rentangan Kontrol atau Rentang Kendali (span of control), yakni jumlah terbanyak
bawahan langsung yang dapat dipimpin dengan baik oleh seorang atasan tertentu;
(g) Jenjang Organisasi, yakni tingkat-tingkat satuan organisasi yang di dalamnya
terdapat pejabat, tugas serta wewenang tertentu menurut kedudukannya dari atas ke
bawah dalam fungsi tertentu; (h) Kesatuan perintah (unity of command), yakni tiap
tiap pejabat dalam organisasi hendaknya hanya dapat diperintah dan
bertangungjawab kepada seorang pejabat atasan tertentu; (i) Berkelangsungan, yakni
kelangsungan kehidupan organisasi secara terus menerus atas dasar dukungan orang-
orang yang bekerjasama dengan mengunakan prasarana dan sarana kerja tertentu
untuk mencapai tujuan organisasi; (j) Keseimbangan, yakni penempatan satuan-
satuan organisasi pada struktur organisasi sesuai dengan perannya.

2. Di dalam suatu organisasi senantiasa terdapat struktur organisasi yang jelas,


sehingga John Price Jones sebagaimana dikutip Sutarto (1985: 24) yang menyatakan
bahwa organisasi adalah struktur dan peralatan yang tersusun dari orang-orang dan
benda-benda dengan mana suatu usaha berencana yang teratur dijalankan.

3. Di dalam kehidupan organisasi senantiasa terjadi hubungan kerja antar unit-unit


kerja dalam organisasi itu, bahkan terjadi pula hubungan kerja dengan organisasi-
organisasi lainnya. Hal ini tercermin dari pendapat John D. Millet sebagaimana
dikutip Sutarto (1985: 24) yang menyatakan bahwa organisasi adalah orang-orang
yang bekerjasama, dan dengan demikian ini mengandung ciri-ciri dari hubungan-
hubungan manusia yang timbul dalam aktivitas kelompok. Atau pendapat Dwight
Waldo sebagaimana dikutip Sutarto (1985: 25) yang menyatakan bahwa organisasi
adalah struktur hubungan-hubungan di antara orang-orang berdasarkan wewenang
dan bersifat tetap dalam suatu sistem administrasi.

4. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa organisasi adalah sistem saling


pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan
tertentu, yang ditata dalam satuan unit kerja dengan struktur tertentu, dan terdapat
hubungan kerja antar unit-unit kerja tersebut.

JENIS-JENIS LEMBAGA DESA

1. Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, terdapat 6 (enam) lembaga desa, yakni:
(a) Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa); (b) Badan
Permusyawaratan Desa; (c) Lembaga Kemasyarakatan; (d) Lembaga Adat (e)
Kerjasasama Antar Desa; dan (f) Badan Usaha Milik Desa.

2. Dalam menyelenggarakan pembangunan Desa, Desa mendayagunakan lembaga


lembaga seperti yang disebut pada poin 1 di atas pelaksanaan fungsi
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
3. Masing-masing lembaga desa tersebut memiliki kedudukan, tugas dan fungsi
tertentu dalam konstruksi penyelenggaraan pemerintahan desa, yakni: (a)
Kedudukan suatu lembaga desa mencerminkan peran yang akan diemban oleh
lembaga desa tersebut; dan (b) tugas dan fungsi setiap lembaga desa merupakan
derivasi atau uraian lebih lanjut dari kewenangan desa, sehingga seluruh
kewenangan desa dapat diselenggarakan secara efektif oleh lembaga-lembaga desa
tersebut.

4. Kejelasan pembagian tugas antar lembaga desa yang bersumber dari satu kesatuan
sistemik kewenangan desa, akan melahirkan bentuk-bentuk hubungan kerja antara
lembaga-lembaga desa tersebut.

A. KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI KELEMBAGAAN DESA DAN PEMERINTAH


DESA

A. Kedudukan Pemerintah Desa

1. Pemerintah Desa berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa,


yang bersama-sama dengan Badan Permusyawaratan Desa menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan desa.

2. Kedudukan Pemerintah Desa tersebut menempatkan Pemerintah Desa sebagai


penyelenggara utama tugas-tugas pemerintahan desa dalam rangka pemberian
pelayanan kepada masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan
masyarakat desa.

3. Dengan kedudukan Pemerintah Desa seperti ini, maka Pemerintah Desa terdiri dari:
(a) Kepala Desa selaku Kepala Pemerintahan Desa; dan (b) Perangkat Desa selaku
perangkat pembantu tugas-tugas Kepala Desa.

4. Sedangkan Perangkat Desa terdiri dari: (a) unsur staf (Sekretariat Desa); (b)
unsur lini (pelaksana teknis lapangan); dan (c) unsur kewilayahan (para Kepala
Dusun).

5. Konstruksi Pemerintah Desa seperti ini sejalan dengan pendapat Taliziduhu Ndraha
(1996:25), yang menyatakan bahwa struktur organsiasi Pemerintah Desa terdiri atas
ketiga unsur-unsur organisasi, yakni: (a) unsur kepala, yaitu Kepala Desa; (b) unsur
pembantu kepala atau staf; (c) unsur pelaksana (teknis) fungsional dan teritorial.

6. Di antara unsur kepala (Kepala Desa), unsur pembantu kepala atau staf (Sekretaris
Desa dan para Kepala Urusan), unsur pelaksana teknis fungsional (para Kepala Seksi),
dan unsur pelaksana territorial (Kepala Dusun), senantiasa ditata dalam satu kesatuan
perintah (dari Kepala Desa) dan terdapat hubungan kerja sesuai pembagian kerja yang
jelas di antara unsur-unsur organisasi Pemerintah Desa tersebut, sehingga tidak terjadi
tumpang tindih tugas serta terciptanya kejelasan tanggung jawab dari setiap orang
yang ditugaskan pada unit-unit kerja Pemerintah Desa.

B. Kepala Desa
1. Kedudukan Kepala Desa
Kepala Desa berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan Desa.

2. Tugas dan Wewenang Kepala Desa:


a. Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa (UU. No. 6/2014 Pasal 26 ayat 1).

b. Kepala Desa sebagai Kepala Pemerintahan Desa yang selanjutnya pada ayat 2 Pasal
26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyebutkan : Dalam
melaksanakan tugas tersebut, Kepala Desa mempunyai wewenang: (1) memimpin
penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama
BPD; (2) mengajukan rancangan peraturan desa; (3) menetapkan peraturan desa
yang telah mendapat persetujuan bersama BPD; (4) menyusun dan mengajukan
rancangan peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan
bersama BPD; (5) membina kehidupan masyarakat desa; (6) membina
perekonomian desa; (7) mengoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif; (8)
mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum
untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (9)
melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3. Kewajiban Kepala Desa


Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, Kepala Desa mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
d. melaksanakan kehidupan demokrasi;
e. melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari Kolusi,
Korupsi dan Nepotisme;
f. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan desa;
g. menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
h. menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik;
i. melaksanakan dan mempertanggung-jawabkan pengelolaan keuangan desa;
j. melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa;
k. mendamaikan perselisihan masyarakat di desa;
l. mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa;
m. membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat;
n. memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa; dan
o. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.

4. Larangan Bagi Kepala Desa


Kepala desa dilarang:
a. menjadi pengurus partai politik;
b. merangkap jabatan sebagai Ketua dan/atau Anggota BPD, dan lembaga
kemasyarakatan di desa bersangkutan;
c. merangkap jabatan sebagai Anggota DPRD;
d. terlibat dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan
kepala daerah;
e. merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, dan
mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain;
f. melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme, menerima uang, barang dan/atau jasa dari
pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan
dilakukannya;
g. menyalahgunakan wewenang; dan
h. melanggar sumpah/janji jabatan.

5. Kedudukan Keuangan Kepala Desa

a. Kepala Desa penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai
dengan kemampuan keuangan desa.
b. Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang diterima Kepala Desa ditetapkan
setiap tahun dalam APB-Desa.
c. Penghasilan tetap Kepala Desa paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional
Kabupaten/Kota.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan keuangan Kepala Desa diatur dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang sekurang-kurangnya memuat: (1) rincian
jenis penghasilan; (2) rincian jenis tunjangan; dan (c) penentuan besarnya dan
pembebanan pemberian penghasilan dan/atau tunjangan.

6. Masa Jabatan Kepala Desa


Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan
dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

C. Perangkat Desa
Perangkat Desa terdiri atas:
a. sekretariat Desa;
b. pelaksana kewilayahan; dan
c. pelaksana teknis.

Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya.Perangkat Desa diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan
dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, perangkat Desa bertanggung jawab


kepada Kepala Desa.

D. BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD)

1. Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:


a. membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
b. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
c. melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.

2. Anggota Badan Permusyawaratan Desa, adalah:


a. Anggota Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk Desa
berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara
demokratis.
b. Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa selama 6 (enam) tahun
terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji.
c. Anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-
turut atau tidak secara berturut-turut.

3. Badan Permusyawaratan Desa berhak:


a. mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan
Desa kepada Pemerintah Desa;
b. menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa; dan
c. mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa.

4. Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak:


a. mengajukan usul rancangan Peraturan Desa;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan/atau pendapat;
d. memilih dan dipilih; dan
e. mendapat tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

E. LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

1. Lembaga Kemasyarakatan Desa mempunyai fungsi:


a. Membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan pemerintahan desa;
b. Membantu pelaksanaan fungsi pembangunan desa;
c. Membantu pelaksanaan fungsi pembinaan kemasyarakatan desa;
d. Membantu pelaksanaan fungsi pemberdayaan masyarakat desa.

2. Lembaga Kemasyarakatan Desa merupakan wadah partisipatif masyarakat desa sebagai


mitra pemerintahan desa.

3. Tugas Lembaga Kemasyarakatan Desa :


a. Melakukan pemberdayaan masyarakat desa;
b. Ikut serta merencanakan dan melaksanakan pembangunan desa;
c. Meningkatkan pelayanan masyarakat desa.

F. LEMBAGA ADAT

1. Lembaga Adat mempunyai fungsi menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi
bagian dari susunan asli desa adat yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa
masyarakat desa;

2. Lembaga Adat mempunyai tugas membantu pemerintahan desa dan sebagai mitra
dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud
pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat desa.
G. KERJASAMA ANTAR DESA

1. Kerjasama antar desa meliputi:


a. Pengembangan Usaha Bersama yang dimiliki desa untuk mencapai nilai ekonomis
yang berdaya saing;
b. Kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembagunan desa, dan pemberdayaan
masyarakat antar desa;
c. Bidang keamanan dan ketertiban.

2. Kerjasama antar desa dilaksanakan oleh Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD)

H. BADAN USAHA MILIK DESA

1. Badan Usaha Milik Desa (Bum Desa) dikelola dengan semangat kekeluargaan dan
kegotongroyongan dalam bidang ekonomi dan pelayanan umum.

2. Hasil usaha Bum Desa digunakan untuk:


a. Pengembangan Usaha;
b. Pembangunann desa, pemberdayaan masyarakat desa, pemberian bantuan untuk
masyarakat miskin melalui hibah, bantuan social dan kegiatan dana bergulir.

II. Penutup
Demikianlah beberapa materi pokok yang berkenaan dengan Kebijakan Pemerintah tentang
Pemerintahan Desa.

Anda mungkin juga menyukai