Anda di halaman 1dari 13

Karakteristik Down Syndrome

Beberapa ciri-ciri penyandang down syndrome meliputi karakteristik fisik, kognitif, dan
kepribadian.
a. Karakteristik Fisik
Anak down syndrome memiliki ciri-ciri fisik yang khas dan menonjol sehingga mudah bagi
mereka untuk dikenali. Hal tersebut yang kemudian membedakan mereka dengan anak-anak
yang normal. Selikowitz (2001) menyebutkan ciri-ciri yang penting dalam mengenali kelainan
down syndrome, yaitu :
a. Wajah
Ketika mereka dilihat dari depan, anak penyandang down syndrome biasanya mempunyai
karakteristik wajah yang bulat. Dari samping, bentuk wajah mereka cenderung datar.
b. Kepala
Sebagian besar penyandang down syndrome memiliki bagian belakang kepala yang sedikit rata.
Ini dikenal dengan istilah brachycephaly.
c. Mata
Hampir semua penyandang down syndrome memiliki mata yang sedikit miring ke atas. Selain
itu, seringkali ada lipatan kecil pada kulit secara vertikal antara sudut dalam mata dan jembatan
hidung. Lipatan tersebut dikenal dengan lipatan epicanthic atau epicanthus. Hal tersebut
memberikan kesan mata terlihat juling. Mata mempunyai bintik putih atau kuning terang di
sekitar pinggir selaput pelangi (bagian berwarna dari mata). Bintik itu disebut dengan brushfield,
yang dinamai sesuai dengan nama penemunya yaitu Thomas Brushfield.
d. Rambut
Penyandang down syndrome biasanya memiliki rambut yang lemas dan lurus.
e. Leher
Bayi-bayi yang baru lahir dengan mengidap down syndrome memiliki kulit berlebih pada bagian
belakang leher namun hal ini biasanya berkurang seraya usia mereka bertambah. Anak-anak
yang lebih besar dan dewasa cenderung memiliki leher yang pendek dan lebar.
f. Mulut
Rongga mulut sedikit lebih kecil dan lidah sedikit lebih besar dari ukuran anak pada umumnya.
Kombinasi ini membuat sebagian anak mempunyai kebiasaan menjulurkan lidahnya.
g. Tangan
Kedua tangan cenderung lebar dengan jari-jari yang pendek. Jari kelingking kadang-kadang
hanya memiliki satu sendi, bukan dua seperti biasanya. Jari kelingking mungkin juga sedikit
melengkung ke arah jari-jari lain. Keadaan ini disebut dengan istilah klinodaktili. Telapak tangan
hanya memiliki satu alur yang melintang dan apabila ada dua garis, keduanya memanjang
melintasi tangan.
h. Kaki
Bentuk jari kaki cenderung pendek dan gemuk dengan jarak yang lebar antara ibu jari dengan
telunjuk. Hal itu disertai dengan suatu alur pendek pada telapak kaki yang berawal dari celah
antar jari lalu ke belakang sepanjang beberapa sentimeter.
i. Tonus
Tungkai dan leher penyandang down syndrome yang masih kecil seringkali terkulai. Lembeknya
otot (Hipotonia) berarti mempunyai tonus rendah. Tonus adalah tahanan yang diberikan oleh otot
terhadap tekanan pada waktu otot dalam relaksasi. Tonus ini selalu paling rendah pada tahun-
tahun awal dan kembali secara spontan sewaktu anak tersebut bertambah besar. Tonus berbeda
dengan kekuatan otot yang membutuhkan kontraksi otot yang aktif. Kekuatan otot-otot biasanya
normal. Otot-otot mereka mungkin lembek, namun mereka tidak lemah.
j. Ukuran tubuh
Berat badan penyandang down syndrome biasanya kurang daripada berat rata-rata. Panjang
tubuhnya sewaktu lahir juga lebih pendek. Semasa kanak-kanak, mereka tumbuh dengan lancar
tetapi lambat. Sebagai orang dewasa umumnya mereka lebih pendek dari anggota keluarga yang
lainnya. Tinggi mereka berkisar sekitar dibawah tinggi rata-rata orang normal.
b. Karakteristik Kognitif
Ciri lain dari penyandang down syndrome yang merupakan keluhan utama pada orangtua adalah
retardasi mental atau keterbelakangan mental. Mangunsong (2009) menyebutkan bahwa kaum
profesional mengklasifikasikan anak down syndrome berdasarkan tingkat keparahan masalahnya.
Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tingkat kecerdasan atau skor IQ, yaitu :
1) Mild mental retardation (ringan) (IQ 55-70)
Pada tingkatan ini dalam segi pendidikan termasuk yang bisa dididik, mereka masih bisa dididik
di sekolah umum, meskipun hasilnya lebih rendah daripada anak-anak normal pada umumnya
karena rentang perhatian mereka pendek sehingga sulit berkonsentrasi dalam jangka waktu yang
lama. Mereka juga tidak memperlihatkan kelainan fisik yang mencolok sekalipun perkembangan
fisiknya lebih lambat dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Tinggi dan berat
badannya tidak berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya namun berdasarkan hasil
observasi mereka kurang dalam hal kekuatan, kecepatan, dan koordinasi, serta sering memiliki
masalah kesehatan. Terkadang sering merasa frustasi saat diminta berfungsi secara sosial atau
akademis yang sesuai dengan usia mereka sehingga tingkah laku mereka menjadi tidak baik,
misalnya ketika diminta untuk acting out atau menolak untuk melakukan tugas didalam kelas.
Sikap yang ditunjukkan adalah malu dan diam. Namun hal-hal tersebut dapat berubah bila
mereka banyak dilibatkan untuk berinteraksi dengan anak-anak lainnya.
Di luar pendidikan, mereka dapat melakukan beberapa ketrampilan sendiri seperti makan, mandi,
berpakaian, dan sebagainya. Pada mereka yang IQ-nya lebih tinggi mampu menikah dan
berkeluarga.
2) Moderate mental retardation (IQ 40-55)
Pada tingkatan ini dapat dilatih untuk beberapa ketrampilan tertentu. Meski sering berespon lama
terhadap pendidikan dan pelatihan, jika diberikan kesempatan pendidikan yang sesuai maka
mereka dapat dididik untuk melakukan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan-kemampuan
tertentu. Mereka dapat dilatih untuk mengurus dirinya sendiri dan dilatih untuk membaca dan
menulis sederhana. Mereka memiliki kekurangan dalam kemampuan mengingat bahasa,
konseptual, perseptual, dan kreativitas, sehingga perlu diberikan tugas yang lebih simpel,
singkat, relevan, berurutan.
Mereka menampakkan kelainan fisik yang merupakan gejala bawaan, namun gejala fisik itu
tidak seberat yang dialami anak-anak pada kategori severe dan profound. Mereka memiliki
koordinasi fisik yang buruk dan mengalami masalah di banyak situasi sosial. Selain itu mereka
juga menampakkan adanya gangguan pada fungsi bicara mereka.
3) Severe mental retardation (IQ 25-40)
Pada tingkatan ini memperlihatkan banyak masalah dan kesulitan meskipun mereka sudah
disekolahkan pada sekolah khusus. Oleh karena itu mereka membutuhkan perlindungan hidup
dan pengawasan yang lebih teliti, pelayanan dan pemeliharaan yang terus menerus karena
mereka tidak dapat mengurus diri mereka sendiri tanpa bantuan dari orang lain meskipun
menghadapi tugas- tugas yang sederhana. Mereka jarang sekali dipekerjakan dan sedikit sekali
dalam berinteraksi sosial.
Mereka juga mengalami gangguan bicara, mereka hanya bisa berkomunikasi secara vokal setelah
pelatihan intensif. Tanda-tanda kelainan fisik lainnya ialah lidah yang seringkali terjulur keluar
bersamaan dengan keluarnya air liur, ukuran kepala lebih besar dari biasanya. Kondisi fisik
mereka lemah sehingga mereka hanya bisa dilatih ketrampilan khusus selama kondisi fisik
mereka memungkinkan.
4) Profound mental retardation (IQ di bawah 25).
Pada tingkatan ini mereka mempunyai problem yang serius, baik itu menyangkut fisik,
inteligensi serta program pendidikan yang tepat bagi mereka. Pada umumnya mereka
memperlihatkan kerusakan pada otak serta kelainan fisik yang nyata, seperti hydrocephalus,
mongolism, dan sebagainya. Mereka dapat makan dan berjalan sendiri namun, kemampuan
berbicara dan berbahasa mereka sangat rendah begitupun dengan interaksi sosial mereka sangat
terbatas. Kelainan fisik lain yang dimiliki mereka dilihat dari kepala yang lebih besar dan sering
bergoyang-goyang. Mereka juga sangat kurang dalam hal penyesuaian diri sendiri seperti
sewaktu mereka berdiri, mereka tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dari orang lain dan
mereka membutuhkan bantuan pelayanan medis yang baik dan intensif (Mangunsong, 2009).
Meskipun demikian, Mangunsong (2009) menyatakan bahwa biasanya anak down syndrome
memiliki IQ yang berkisar antara mild dan moderate mental retardation.
Keterbelakangan mental ini menyebabkan penyandang down syndrome mengalami defisiensi
dalam berbagai ketrampilan adaptif seperti ketrampilan komunikasi dan bahasa, sosial,
akademik, merawat diri, dan hidup berumah tangga, mengatur atau mengarahkan diri, serta
ketrampilan bekerja (Davidson dan Neale, 1998). Keterbatasan tersebut menjadi keluhan utama
bagi orangtua karena dengan keterbatasan intelektual, anak menjadi tidak dapat mandiri
sepenuhnya dan akan selalu membutuhkan dukungan yang berkepanjangan dan terus menerus
dari keluarga dan institusi-institusi tertentu (Hoffnung, 1997). Namun demikian, melalui
pendidikan yang tepat, penyandang down syndrome dapat mengembangkan kemampuannya
secara maksimal (Selikowitz, 2001). Hall dan Hill (1996) menyebutkan bahwa faktor lingkungan
sangat berpengaruh terhadap kecerdasan anak penyandang down syndrome.
c. Karakteristik Kepribadian
Dari aspek kepribadian, stereotipe dari anak down syndrome adalah bersahabat, suka bergaul,
dan terbuka. Hal itu memaksudkan bahwa mereka bisa bersosialisasi dengan lingkungan secara
baik meskipun keterbelakangan mental membatasi ketrampilan sosialnya. Hasil dari penelitian
lain menunjukkan adanya variasi pada stereotipe kepribadian dari anak-anak penyandang down
syndrome sehubungan dengan adanya perbedaan pada usia dan jenis kelamin (Wenar, 1994).
Seperti halnya dengan perilaku dan emosinya yang juga bervariasi sangat luas, seorang anak
penyandang down syndrome dapat lemah dan tidak aktif, sedangkan yang lainnya agresif dan
hiperaktif. Sehingga gambaran stereotipe dimasa lalu tentang anak down syndrome yang pendek,
gemuk, tak menarik dengan mulut yang selalu terbuka dan lidah yang terjulur keluar, serta
retardasi mental yang berat adalah deskripsi yang tidak sepenuhnya benar (Soetjiningsih, 1995).
2.1.5 Masalah kesehatan
Kebanyakan dari anak dengan down syndrome mempunyai kesehatan yang baik. Bila mereka
sakit, biasanya penyakit yang disandang adalah penyakit anak-anak normal pada umumnya yang
tidak ada hubungannya sama sekali dengan down syndrome sehingga tidak perlu ditangani
dengan berbeda (Selikowitz, 2001). Namun demikian, Selikowitz (2001) menyebutkan beberapa
keadaan yang lebih sering terjadi pada anak down syndrome adalah seperti gangguan pernapasan,
gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan pencernaan, disfungsi pada tiroid,
gangguan pada gigi, penyakit kulit, leukimia, dan kelainan jantung. Hoffnung (1997)
menyebutkan bahwa sebagian besar anak-anak dengan down syndrome hanya dapat bertahan
hidup hingga dewasa muda (middle Adulthood) tetapi sekitar 14% meninggal pada usia satu
tahun dan 21% meninggal pada usia sepuluh tahun.
Pada awal abad ke 20, individu dengan down syndrome ditakdirkan hidup di lembaga-lembaga
perawatan dan jarang yang dapat bertahan hidup hingga melewati usia 9 tahun. Namun
belakangan peningkatan dalam intervensi terapeutik dan pendidikan, seperti treatmen medis yang
lebih baik dan penyatuan anak-anak ke sekolah dan komunitas, telah berkontribusi meningkatkan
harapan hidup mereka. Saat ini sebagian besar individu dengan down syndrome dapat hidup
hingga usia sekitar 50 tahun. Akan tetapi kesehatan mereka yang hidup hingga usia tersebut
biasanya buruk, dan hampir semuanya mengalami perubahan otak hampir sama dengan penderita
Alzheimer (Halgin & Krauss, 2011).
2.1.6 Masalah Perilaku
Ada dua pendapat yang bertolak belakang mengenai perilaku anak-anak dan otang dewasa
penyandang down syndrome. Yang pertama adalah bahwa mereka adalah individu-individu yang
tenang dan mudah diatur. Pendapat lainnya adalah bahwa mereka merupakan orang-orang yang
keras kepala dan sulit dikontrol. Hal tersebut mencerminkan kebenaran yang sesungguhnya
bahwa perilaku penyandang down syndrome adalah bervariasi (Selikowitz, 2001).
Menurut Selikowitz (2001), tidak ada masalah perilaku yang unik pada anak-anak down
syndrome. Jikapun ada masalah yang muncul, pada umumnya masalah ini serupa dengan yang
ditemukan pada anak-anak normal yang berusia lebih muda. Hal tersebut dikarenakan anak-anak
dengan down syndrome lebih lambat dalam pencapaian tingkatan perkembangan daripada anak-
anak normal pada umumnya, sehingga mereka secara fisik terlihat lebih tua dan lebih besar
daripada anak-anak normal ketika mereka berada pada tingkatan usia yang sama. Seperti
contohnya tantrum yang biasanya pada anak-anak normal muncul di usia dua tahun, sedangkan
pada anak down syndrome mungkin baru akan muncul pada usia empat tahun. Pada saat itu
kelakuannya mungkin akan lebih menggangu karena anak lebih besar.

Beberapa perilaku spesifik yang seringkali muncul pada anak-anak down syndrome (Selikowitz,
2001), adalah :
1. Menjulurkan lidah, hal ini disebabkan oleh kombinasi lidah yang berukuran lebih besar daripada
ukuran rata-rata dan mulut yang berukuran lebih kecil.
2. Mencucurkan air liur, karena tonus pada anak-anak down syndrome rendah sehingga cendrerung
membiarkan mulutnya terbuka dan mencucurkan air liur selama masa kanak-kanak dini.
3. Hiperaktif, kesulitan dalam menyalurkan perhatian kepada satu aktivitas untuk satu periode.
4. Menghilang secara diam-diam, hal ini dikarenakan sulit bagi anak- anak dengan down syndrome
untuk tetap berada disamping orang dewasa.
5. Tantrum, biasanya muncul pada saat anak sedang frustasi atau keinginannya dihalangi.
6. Memukul serta menggigit anak-anak lainnya, hal ini seringkali dimulai sebagai suatu usaha dari
seorang anak dengan ketrampilan bahasa yang lemah untuk berkomunikasi dengan anak yang
lain.
7. Perilaku destruktif, biasanya pada mainan dan benda-benda lainnya. Perilaku-perilaku di atas
dapat diperbaiki dengan metode yang sederhana serta bisa melalui modifikasi perilaku.
Dari karakteristik-karakteristik diatas dari mulai fisik, kognitif, dan kepribadian, keterbatasan
yang dimiliki oleh anak down syndrome disesuaikan dengan ibu, serta bila kita amati dan lihat
dari masalah-masalah yang muncul pada mereka, maka hal tersebut dapat berpotensi stres pada
orang tua (ibu) dari anak penyandang down syndrome.

Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Retardasi Mental


Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa Ke-1 (W.F. Maramis, 2005: 386-
388) faktor-faktor penyebab retardasi mental adalah sebagai berikut.

a. Infeksi dan atau intoksinasi


Infeksi yang terjadi pada masa prenatal dapat berakibat buruk pada perkembangan janin, yaitu
rusaknya jaringan otak. Begitu juga dengan terjadinya intoksinasi, jaringan otak juga dapat rusak
yang pada akhirnya menimbulkan retardasi mental.
Infeksi dapat terjadi karena masuknya rubella, sifilis, toksoplasma, dll. ke dalam tubuah ibu
yang sedang mengandung. Begitu pula halnya dengan intoksinasi, karena masuknya racun atau
obat yang semestinya dibutuhkan.

b. Terjadinya rudapaksa dan / atau sebab fisik lain


Rudapaksa sebelum lahir serta trauma lainnya, seperti hiper radiasi, alat kontrasepsi, dan usaha
melakukan abortus dapat mengakibatkan kelainan berupa retardasi mental.
Pada waktu proses kelahiran (perinatal) kepala bayi dapat mengalami tekanan sehingga timbul
pendarahan di dalam otak. Mungkin juga karena terjadi kekurangan oksigen yang kemudian
menyebabkan terjadinya degenerasi sel-sel korteks otak yang kelak mengakibatkan retardasi
mental.

c. Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi


Semua retardasi mental yang langsung disebabkan oleh gangguan metabolisme (misalnya
gangguan metabolism karbohidrat dan protein), gangguan pertumbuhan, dan gizi buruk termasuk
dalam kelompok ini. Gangguan gizi yang berat dan berlangsung lama sebelum anak berusia 4
tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental.
Keadaan seperti itu dapat diperbaiki dengan memberikan gizi yang mencukupi sebelum anak
berusia 6 tahun, sesudah itu biarpun anak tersebut dibanjiri dengan makanan yang bergizi,
inteligensi yang rendah tersebut sangat sukar untuk ditingkatkan.

d. Penyakit otak yang nyata


Dalam kelompok ini termasuk retardasi mental akibat beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata,
yang dapat bersifat degeneratif, radang, dst. Penyakit otak yang terjadi sejak lahir atau bayi dapat
menyebabkan penderita mengalamai keterbelakangan mental.

e. Penyakit atau pengaruh prenatal


Keadaan ini dapat diketahui sudah ada sejak dalam kandungan, tetapi tidak diketahui etiologinya,
termasuk anomaly cranial primer dan defek congenital yang tak diketahui sebabnya.

f. Kelainan kromosom
Kelainan kromosom mungkin terjadi pada aspek jumlah maupun bentuknya. Kelainan pada
jumlah kromosom menyebabkan sindroma down yang dulu sering disebut mongoloid. .

g. Prematuritas
Retardasi mental yang termasuk ini termasuk retrdasi mental yang berhubungan dengan keadaan
bayi yang pada waktu lahir berat badannya kurang dari 2500 gram dan/atau dengan masa
kehamilan kurang dari 38 minggu.

h. Akibat gangguan jiwa yang berat


Retardasi mental juga dapat terjadi karena adanya gangguan jiwa yang berat pada masa kanak-
kanak.

i. Deprivasi psikososial
Devripasi artinya tidak terpenuhinya kebutuhan. Tidak terpenuhinya kebutuhan psikososial awal-
awal perkembangan ternyata juga dapat menyebabkan terjadinya retardasi mental pada anak.

Faktor Penyebab Anak Down Syndrome


Bagi ibu yang berumur 35 tahun keatas, semasa mengandung mempunyai risiko yang lebih
tinggi untuk melahirkan anak Down Syndrom. Sembilan puluh lima penderita down syndrom
disebabkan oleh kelebihan kromosom 21. Keadaan ini disebabkan oleh "non- dysjunction"
kromosom yang terlibat yaitu kromosom 21 dimana semasa proses pembahagian sel secara
mitosis pemisahan kromosom 21 tidak berlaku dengan sempurna.
Di kalangan 5 % lagi, anak-anak down syndrom disebabkan oleh mekanisma yang dinamakan
"Translocation". Keadaan ini biasanya berlaku oleh pemindahan bahan genetik dari kromosom
14 kepada kromosom 21. Bilangan kromosomnya normal yaitu 23 pasang atau jumlah
kesemuanya adalah 46 kromosom
Menurut Gunarhadi (2005 : 27) faktor penyebab down syndrome antara lain:
1) Hubungan faktor oksigen dengan down syndrome
Down syndrome terjadi bukan karena faktor luar, down
syndrome terjadi karena kekurangan kromosom akibat dari kecelakaan yang bersifat genetika
yang bisa dideteksi melalui pemeriksaan amniosintesis. Para dokter menekankan bahwa down
syndrome tidak terkait dengan segala yang dilakuakan oleh orang tua baik sebelum ataupun
selama kehamilan. Down syndrome terjadi bukan karna makanan atau minuman yang
dikonsumsi ibunya ketika hamil, tidak juga perasaan traumatis, bukan pula ibu dan ayah
melakukan atau menyesali perbuatannya yang telah dialami.
2) Hubungan factor endogen dengan down syndrome
Down syndrome disebabkan karena adanya kromosom
ekstra dalam setiap sel tubuh, faktor penyebab lain yang menimbulkan resiko tingginya resiko
mempunyai anak down syndrome adalah umur rang tua. Semakin tua umur ibu, semakin pula ibu
memiliki peluang untuk melahirkan anak down syndrome.
Peningkatan peluang melahirkan anak down syndrome terjadi apabila ibu berusia 35 tahun
keatas. Usia berpengaruh terhadap peluang memiliki anak down syndrome, seorang ayah yang
berusia 50 tahun terbukti menunjukan pengaruh terhadap konsepsi (pembuahan) janin dengan
down syndrome (Stray dalam Gunarhadi 2005 : 9)

C. Tingkatan Retardasi Mental


Untuk menentukan berat-ringannya retardasi mental, kriteria yang dipakai adalah: 1. Intelligence
Quotient (IQ), 2. Kemampuan anak untuk dididik dan dilatih, dan 3. Kemampuan sosial dan
bekerja (vokasional). Berdasarkan kriteria tersebut kemudian dapat diklasifikasikan berat-
ringannya retardasi mental yang menurut GPPDGJ 1 (W.F. Maramis, 2005: 390-392) adalah :
1. Retardasi Mental Taraf Perbatasan (IQ = 68 85), 2) Retardasi Mental Ringan (IQ = 52 67),
3. Retardasi Mental Sedang (IQ = 36 51), 4. Retardasi Mental Berat (IQ = 20 35), dan 5.
Retardasi Mental Sangat Berat (IQ = kurang dari 20).

D. Pencegahan Retardasi Mental


Terjadinya retardasi mental dapat dicegah. Pencegahan retardasi mental dapat dibedakan menjadi
dua: pencegahan primer dan pencegahan sekunder.

a. Pencegahan Primer
Usaha pencegahan primer terhadap terjadinya retardasi mental dapat dilakukan dengan: 1)
pendidikan kesehatan pada masyarakat, 2) perbaikan keadaan sosial-ekonomi, 3) konseling
genetik, 4) Tindakan kedokteran, antara lain: a) perawatan prenatal dengan baik, b) pertolongan
persalinan yang baik, dan c) pencegahan kehamilan usia sangat muda dan terlalu tua.

b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder terhadap terjadinya retardasi mental dapat dilakukan dengan diagnosis dan
pengobatan dini peradangan otak dan gangguan lainnya.

Pencegahan Primer
Upaya pencegahan primer dilakukan untuk mencegah ibu hamil agar tidak mengalami kelahiran
bayi dengan kelainan kongenital, yaitu dengan :
a. Tidak melahirkan pada usia ibu risiko tinggi, seperti usia lebih dari 35 tahun agar
tidak berisiko melahirkan bayi dengan kelainan kongenital.
b. Mengonsumsi asam folat yang cukup bila akan hamil. Kekurangan asam folat pada seorang
wanita harus dikoreksi terlebih dahulu sebelum wanita tersebut
hamil, karena kelainan seperti spina bifida terjadi sangat dini. Maka kepada wanita yang hamil
agar rajin memeriksakan kehamilannya pada trimester pertama dan dianjurkan kepada wanita
yang berencana hamil untuk mengonsumsi asam folat sebanyak 400mcg/hari. Kebutuhan asam
folat pada wanita hamil adalah 1 mg/hari. Asam folat banyak terdapat dalam sayuran hijau daun,
seperti bayam, brokoli, buah alpukat, pisang, jeruk, berry, telur, ragi, serta aneka makanan lain
yang diperkaya asam folat seperti nasi, pasta, kedelai, sereal.2
c. Perawatan Antenatal (Antenatal Care)
Antenatal care mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya menurunkan angka
kematian ibu dan perinatal. Dianjurkan agar pada setiap kehamilan dilakukan antenatal care
secara teratur dan sesuai dengan jadwal yang lazim berlaku. Tujuan dilakukannya antenatal care
adalah untuk mengetahui data kesehatan ibu hamil dan perkembangan bayi intrauterin sehingga
dapat dicapai kesehatan yang optimal dalam menghadapi persalinan, puerperium dan laktasi serta
mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai pemeliharaan bayinya. Perawatan antenatal juga
perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya persalinan prematuritas atau berat badan lahir rendah
yang sangat rentan terkena penyakit infeksi. Selain itu dengan pemeriksaan kehamilan dapat
dideteksi kelainan kongenital. Kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali
selama masa kehamilan dengan distribusi kontak sebagai berikut:
c.1. Minimal 1 kali pada trimester I (K1), usia kehamilan 1-12 minggu.
c.2. Minimal 1 kali pada trimester II (K2), usia kehamilan 13-24 minggu.
Universitas Sumatera Utara
c.3. Minimal 2 kali pada trimester III (K3 dan K4), usia kehamilan > 24 minggu d. Menghindari
obat-obatan, makanan yang diawetkan, dan alkohol karena dapat menyebabkan kelainan
kongenital seperti atresia ani, celah bibir dan langit-
langit.
Pencegahan Sekunder
a. Diagnosis
Diagnosis kelainan kongenital dapat dilakukan dengan cara:
a.1. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara dini beberapa kelainan
kehamilan/pertumbuhan janin, kehamilan ganda, molahidatidosa, dan sebagainya.48 Beberapa
contoh kelainan kongenital yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan non invasive
(ultrasonografi) pada midtrimester kehamilan adalah hidrosefalus dengan atau tanpa spina bifida,
defek tuba neural, porensefali, kelainan jantung bawaan yang besar, penyempitan sistem
gastrointestinal (misalnya atresia duodenum yang memberi gambaran gelembung ganda),
kelainan sistem genitourinaria (misalnya kista ginjal), kelainan pada paru sebagai kista paru,
polidaktili, celah bibir, mikrosefali, dan ensefalokel.9,49
a.2. Pemeriksaan cairan amnion (amnionsentesis)2,9,50
Amnionsentesis dilakukan pada usia kehamilan 15-19 minggu dengan aspirasi per-abdomen
dengan tuntunan USG. Dari cairan amnion tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
antara lain pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
genetik/kromosom, pemeriksaan alfa-feto-protein terhadap defek tuba neural (anensefali,
mengingomielokel), pemeriksaan terhadap beberapa gangguan metabolic (galaktosemia,
fenilketonurua), dan pemeriksaan lainnya.
a.3. Pemeriksaan Alfa feto protein maternal serum (MSAFP).
Apabila serum ini meningkat maka pada janin dapat diketahui mengalami defek tuba neural,
spina bifida, hidrosefalus, dan lain-lain. Apabila serum ini menurun maka dapat ditemukan pada
sindrom down dan beberapa kelainan kromosom.2
a.4. Biopsi korion
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kelainan kromosom pada janin, kelainan metabolik,
kelainan genetik dapat dideteksi dengan analisis DNA, misalnya talasemia dan hiperplasia
adrenal kongenital.2
a.5. Fetoskopi/kordosentesis
Untuk mengenal kelainan kongenital setelah lahir, maka bayi yang baru lahir perlu diperiksa
bagian-bagian tubuh bayi tersebut, yaitu bentuk muka bayi, besar dan bentuk kepala, bentuk
daun telinga, mulut, jari-jari, kelamin, serta anus bayi.2
b. Pengobatan
Pada umumnya penanganan kelainan kongenital pada suatu organ tubuh umumnya memerlukan
tindakan bedah. Beberapa contoh kelainan kongenital yang memerlukan tindakan bedah adalah
hernia, celah bibir dan langit-langit, atresia ani, spina bifida, hidrosefalus, dan lainnya. Pada
kasus hidrosefalus, tindakan non bedah yang dilakukan adalah dengan pemberian obat-obatan
yang dapat mengurangi produksi cairan serebrospinal. Penanganan PJB dapat dilakukan dengan
tindakan bedah atau obat-obatan, bergantung pada jenis, berat, dan derajat kelainan.2
Pencegahan Tersier
Upaya pencegahan tersier dilakukan untuk mengurangi komplikasi penting pada pengobatan dan
rehabilitasi, membuat penderita cocok dengan situasi yang tak dapat disembuhkan. Pada kejadian
kelainan kongenital pencegahan tersier bergantung pada jenis kelainan. Misalnya pada penderita
sindrom down, pada saat bayi baru lahir apabila diketahui adanya kelemahan otot, bisa dilakukan
latihan otot yang akan membantu mempercepat kemajuan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Bayi ini nantinya bisa dilatih dan dididik menjadi manusia yang mandiri untuk bisa melakukan
semua keperluan pribadinya.
Banyak orang tua yang syok dan bingung pada saat mengetahui bayinya lahir dengan kelainan.
Memiliki bayi yang baru lahir dengan kelainan adalah masa- masa yang sangat sulit bagi para
orang tua. Selain stres, orang tua harus menyesuaikan dirinya dengan cara-cara khusus. Untuk
membantu orang tua mengatasi masalah tersebut, maka diperlukan suatu tim tenaga kesehatan
yang dapat mengevaluasi dan melakukan penatalaksanaan rencana perawatan bayi dan anak
sesuai dengan kelainannya.

E. Penanganan Retardasi Mental


Penanganan terhadap penderita retardasi mental bukan hanya tertuju pada penderita saja,
melainkan juga pada orang tuanya. Mengapa demikian? Siapapun orangnya pasti memiliki beban
psiko-sosial yang tidak ringan jika anaknya menderita retardasi mental, apalagi jika masuk
kategori yang berat dan sangat berat. Oleh karena itu agar orang tua dapat berperan secara baik
dan benar maka mereka perlu memiliki kesiapan psikologis dan teknis. Untuk itulah maka
mereka perlu mendapatkan layanan konseling. Konseling dilakukan secara fleksibel dan
pragmatis dengan tujuan agar orang tua penderita mampu mengatasi bebab psiko-sosial pada
dirinya terlebih dahulu.
Untuk mendiagnosis retardasi mental dengan tepat, perlu diambil anamnesis dari orang tua
dengan teliti mengenai: kehamilan, persalinan, dan pertumbuhan serta perkembangan anak. Dan
bila perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.

a. Pentingnya Pendidikan dan Latihan untuk Penderita Retardasi Mental

1) Latihan untuk mempergunakan dan mengembangkan kapasitas yang dimiliki dengan sebaik-
baiknya.

2) Pendidikan dan latihan diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat yang salah.

3) Dengan latihan maka diharapkan dapat membuat keterampilan berkembang, sehingga


ketergantungan pada pihak lain menjadi berkurang atau bahkan hilang.

Melatih penderita retardasi mental pasti lebih sulit dari pada melatih anak normal antara lain
karena perhatian penderita retardasi mental mudah terinterupsi. Untuk mengikat perhatian
mereka tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan merangsang indera.

b. Jenis-jenis Latihan untuk Penderita Retardasi Mental


Ada beberapa jenis latihan yang dapat diberikan kepada penderita retardasi mental, yaitu: 1)
Latihan di rumah: belajar makan sendiri, membersihkan badan dan berpakaian sendiri, dst., 2)
latihan di sekolah: belajar keterampilan untuk sikap social, 3) Latihan teknis: latihan diberikan
sesuai dengan minat dan jenis kelamin penderita, dan 4) latihan moral: latihan berupa pengenalan
dan tindakan mengenai hal-hal yang baik dan buruk secara moral.

Penatalaksanaan
a. Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk mengatasi kelainan
ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga dapat mengalami kemunduran
dari sistim penglihatan, pendengaran maupun kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang
lemah. Dengan demikian penderita harus mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup
serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan
kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya.
b. Walaupun secara jumlah meningkat, namun penderita down syndrome lebih banyak yang
berprestasi dan hidup lebih lama dibanding orang dengan kehidupan yang lebih berkecukupan.
Dengan kata lain, harapan hidup dan mutu kehidupan para penderitadown syndrome jauh
meningkat beberapa tahun terakini. Perbaikan kualitas hidup pengidap down sindrom dapat terjadi
berkat perawatan kesehatan, pendekatan pengajaran, serta penanganan yang efektif.
c. Stimulasi dini. Stimulasi sedini mungkin kepada bayi yang DS, terapi bicara, olah tubuh, karena
otot-ototnya cenderung lemah. Memberikan rangsangan-rangsangan dengan permainan-
permainan layaknya pada anak balita normal, walaupun respons dan daya tangkap tidak sama,
bahkan mungkin sangat minim karena keterbatasan intelektualnya. Program ini dapat dipakai
sebagai pedoman bagi orang tua untuk memberi lingkunga yang memeadai bagi anak dengan
syndrom down, bertujuan untuk latihan motorik kasar dan halus serta petunjuk agar anak mampu
berbahasa. Selain itu agar ankak mampu mandiri sperti berpakaian, makan, belajar, BAB/BAK,
mandi,yang akan memberi anak kesempatan.
d. Pada umumnya kelebihannya adalah penurut, periang, rajin, tepat waktu. Untuk anak yang sudah
mendapat pendidikan atau terapi, mereka sangat menyenangi hal-hal yang rutin. Jadi, mereka lebih
disiplin dari anak-anak biasa sehingga bila sudah diberikan suatu jadwal kegiatan tiap hari, mereka
akan sangat ngotot untuk melakukan jatahnya, walaupun orang tua berusaha untuk menjelaskan,
kadang-kadang malah membuatnya sedih dan ngambek. Ini juga karena intelektual anak yang
kurang sehingga belum mempunyai pengertian yang baik.
e. Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada jantung,
mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan pada
jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan terkena
infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi
yang adekuat.
f. Fisio Terapi.
a. Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar untuk mencapai
manfaat yang maksimal dan menguntungkan untuk tahap perkembangan yang berkelanjutan.
Tujuan dari fisioterapi disini adalah membantu anak mencapai perkembangan terpenting secara
maksimal bagi sang anak, yang berarti bukan untuk menyembuhkan penyakit down syndromenya.
Dan ini harus dikomunikasikan sejak dari awal antara fisioterapis dengan pengasuhnya supaya
tujuan terapi tercapai.
b. Fisioterapi pada Down Syndrom adalah membantu anak belajar untuk menggerakkan tubuhnya
dengan cara/gerakan yang tepat (appropriate ways). Misalkan saja hypotonia pada anak dengan
Down Syndrome dapat menyebabkan pasien berjalan dengan cara yang salah yang dapat
mengganggu posturnya, hal ini disebut sebagai kompensasi.
c. Tanpa fisioterapi sebagian banyak anak dengan Down Syndrome menyesuaikan gerakannya untuk
mengkompensasi otot lemah yang dimilikinya, sehingga selanjutnya akan timbul nyeri atau salah
postur.
d. Tujuan fisioterapi adalah untuk mengajarkan pada anak gerakan fisik yang tepat. Untuk itu
diperlukan seorang fisioterapis yang ahli dan berpengetahuan dalam masalah yang sering terjadi
pada anak Down syndrome seperti low muscle tone, loose joint dan perbedaan yang terjadi pada
otot-tulangnya.
e. Fisioterapi dapat dilakuka seminggu sekali untuk terapi, tetapi terlebih dahulu fisioterapi
melakukan pemeriksaan dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang dibutuhkan anak dalam
seminggu. Disini peran orangtua sangat diperlukan karena merekalah nanti yang paling berperan
dalam melakukan latihan dirumah selepas diberikannya terapi. Untuk itu sangat dianjurkan untuk
orangtua atau pengasuh mendampingi anak selama sesi terapi agar mereka mengetahui apa-apa yg
harus dilakukan dirumah.
a. Terapi Wicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami keterlambatan
bicara dan pemahaman kosakata.
b. Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kemampuan
akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari sekolah biasa
c. Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah rangsangan /
sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang mengalami gangguan integrasi
sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll. Dengan terapi ini
anak diajarkan melakukan aktivitas dengan terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat.
d. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy)
e. Mengajarkan anak DS yang sudah berusia lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai
dan yang tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.
f. Terapi alternatif. Penaganan yang dilakukan oleh orangtua tidak hanya penanganan medis tetapi
juga dilakukan penanganan alternatif. hanya saja terapi jenis ini masih belum pasti manfaatnya
secara akurat karena belum banyak penelitian yang membuktikan manfaatnya, meski tiap pihak
mengklaim dapat menyembuhkan DS. Orang tua harus bijaksana memilih terapi alternatif ini,
jangan terjebak dengan janji bahwa DSpada sang anak akan bisa hilang karena pada kenyataannya
tidaklah mungkin DS bisa hilang. DS akan terus melekat pada sang anak. Yang bisa orang tua
lakukan yaitu mempersempit jarak perbedaan perkembangan antara anak DSdengan anak yang
normal. Terapi alternatif tersebut di antaranya adalah :
a. Terapi Akupuntur
b. Terapi ini dilakukan dengan cara menusuk titik persarafan pada bagian tubuh tertentu dengan
jarum. Titik syaraf yang ditusuk disesuaikan dengan kondisi sang anak.
c. Terapi Musik
d. Anak dikenalkan nada, bunyi-bunyian, dll. Anak-anak sangat senang dengan musik maka kegiatan
ini akan sangat menyenangkan bagi mereka dengan begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak
akan meningkat dan mengakibatkan fungsi tubuhnya yang lain juga membaik
e. Terapi Lumba-Lumba
f. Terapi ini biasanya dipakai bagi anak Autis tapi hasil yang sangat mengembirakan bagi mereka
bisa dicoba untuk anak DOWN SYNDROME. Sel-sel saraf otak yang awalnya tegang akan
menjadi relaks ketika mendengar suara lumba-lumba.
g. Terapi Craniosacral
h. Terapi dengan sentuhan tangan dengan tekanan yang ringan pada syaraf pusat. Dengan terapi ini
anak DOWN SYNDROME diperbaiki metabolisme tubuhnya sehingga daya tahan tubuh lebih
meningkat.
i. Dan tentu masih banyak lagi terapi-terapi alternatif lainnya, ada yang berupa vitamin, supplemen
maupun dengan pemijatan pada bagian tubuh tertentu.

2.3 Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi sindrom Down. Pertama
adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test dan/atau sonogram. Uji kedua adalah uji
diagnostik yang dapat memberi hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom
Down atau tidak (American College of Nurse-Midwives, 2005).
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal Translucency (NT test).
Ujian ini dilakukan pada minggu 11 14 kehamilan. Apa yang diuji adalah jumlah cairan di
bawah kulit pada belakang leher janin. Tujuh daripada sepulah bayi dengan sindrom Down dapat
dikenal pasti dengan tehnik ini (American College of Nurse- Midwives, 2005).
Hasil ujian sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu hamil yang disuspek
bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan adalah plasma protein-A dan hormon human
chorionic gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa mungkin
adanya kelainan pada bayi yang dikandung (Mayo Foundation for Medical Education and
Research (MFMER), 2011).
Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk mendeteksi sindrom Down.
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang kemudiannya diuji untuk
menganalisa kromosom janin. Kaedah ini dilakukan pada kehamilan di atas 15 minggu. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
Chorionic villus sampling (CVS) dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel
tersebut akan diuji untuk melihat kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu
kesembilan hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) adalah tehnik di mana darah dari umbilikus
diambil dan diuji untuk melihat kromosom janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18
minggu. Tes ini dilakukan sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang jelas.
Resiko keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation for Medical Education and Research
(MFMER), 2011).
2.4. Patofisiologi
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan menyebabkan
perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam
nyawa, dan perubahan proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan
menurunkan survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan postnatal. Anak anak
yang terkena biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan
tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat.
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan tampilan fisik yang tipikal
seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas, anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit
jantung kongenital. Hasil analisis molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada kromosom
21 bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung kongenital pada penderita sindrom Down.
Sementara gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2,
adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab utama retardasi mental
dan defek jantung (Mayo Clinic Internal Medicine Review, 2008).
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme thiroid dan malabsorpsi
intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari respons sistem imun yang lemah, dan
meningkatnya insidensi terjadi kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit
Hashimoto.
Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita hipersensitivitas terhadap proses
fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas terhadap pilocarpine dan respons lain yang abnormal.
Sebagai contoh, anak anak dengan sindrom Down yang menderita leukemia sangat sensitif
terhadap methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolik menjadi faktor predisposisi
terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab
peningkatan kasus Diabetes Mellitus pada penderita Sindrom Down (Cincinnati Children's
Hospital Medical Center, 2006).
Anak anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita leukemia, seperti Transient
Myeloproliferative Disorder dan Acute Megakaryocytic Leukemia. Hampir keseluruhan anak
yang menderita sindrom Down yang mendapat leukemia terjadi akibat mutasi hematopoietic
transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada anak anak dengan sindrom Down
terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi GATA1, dan mutasi ketiga yang berupa proses
perubahan genetik yang belum diketahui pasti (Lange BJ,1998).

Anda mungkin juga menyukai