KELOMPOK I
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2008
Oleh kelompok I
b. Epidemiologi
Penyakit ini merupakan bentuk alergi respiratorius yang paling sering ditemukan,
mengenai sekitar 8% hingga 10 % dari populasi penduduk A.S ( 20-30%
penduduk remaja.
c. Etiologi
Penyebab tersering adalah alergen inhalan ( dewasa) dan ingestan (anak-anak).
Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan. Diperberat oleh factor nonspesifik seperti asap rokok, bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban yang tinggi.
d. Patofisiologi
Dari etiologi yaitu alergen dimulai dengan konsumsi atau inhalasi antigen.
Sehingga terjadi pelepasan mediator ( hiatamin, bradikinin, serotonin), dimana
histamine adalah merupakan mediator utama reaksi alergi pada mukosa nasal.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan juga vasodilatasi terjadi akibat
odema jaringan. Odema pada mukosa hidung dapat dingakat masalah keperawatan
bersihan jalan nafas. Selain itu juga odema jaringan dapat menyebabkan epistaksis
sehingga dapat ditarik masalah keperawatan risiko aspirasi. Karena odema pada
jaringan sehingga secret hidung jernih, bersin ada rasa gatal muncul masalah
perubahan kenyamanan. Dari jaringan mukosa terjadi perlambatan silia sehingga
memudahkan kuman untuk masuk kedalam saluran nafas bagian bawah muncul
masalah risiko infeksi. Pada bagian sinus paranasal timbul rasa nyeri sehingga
dapat muncul masalah keperawatan nyeri akut.
Allergen
Jaringan mukosa
Perubahan kenyamanan
e. Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis berdasarkan atas :
1. Rinitis alergi musiman.
Hanya ada pada negara yang memiliki 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik
yaitu tepung sari dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun
Timbul terus menerus atau intermitten
f. Gejala klinis
-Kongesti nasal
-Secret hidung yang jernih serta encer
-Bersin- bersin
-Rasa gatal pada hidung
-Sering terdapat rasa gatal pada tenggorok dan palatum mole
-Timbul batuk kering atau suara parau
- Sakit kepala, nyeri didaerah paranasal
-Epistaksis dapat juga menyertai rhinitis alergi
g. Komplikasi
Asma alergik
Obstruksi nasal kronik
Otitis kronik dengan gangguan pendengaran
Anosmia ( gangguan kemampuan membau)
Pada anak-anak deformitas dental orofasial
h. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada rinitis alergi memperlihatkan lakrimasi berlebihan, sclera
dan konjungtiva yang merah daerah gelap periorbita ( mata biru alergi),
pembengkakan sedang sampai nyata dari konka nasalis yang berwarna kepucatan
hingga keunguan, secret hidung encer jernih dan keriput lateral pada krista
hidung. ( BOIES, Edisi 6 hal 196).
Farmakoterapi
1. Antihistamin
Merupakan kelompok utama obat yang diprogramkan untuk mengatasi
gejala rinitis alergik. Efek samping yang utama dari kelompok obat ini
adalah sedasi. Efek samping tambahan mencakup keadaan gelisah,
tremor, vertigo, mulut yang kering, palpitasi, anoreksia, mual dan
vomitus. Contoh kelompok kimia preparat antihistamin H1 berefek
sedasi: difenildramin, hidroksizin, CTM, tripelenamina, prometazin.
Contoh kelompok kimia preparat antihistamin H1 tidak berefek sedasi:
Hismanal, Claritin, seldane.
2. Preparat adrenergic
Merupakan vasokontriksi pembuluh darah mukosa dan dapat diberikan
secara topical (nasal serta oftalmika) disamping peroral. Pemberian
topical (tetesan dan semprotan ) menyebabkan efek samping yang lebih
sedikit dibandingkan peroral.
4. Kortikosteroid
Merupakan indikasi untuk kasus alergi yang berat dan persisiten. Dapat
diberikan sistemik atau intranasal untuk kortikosteroid yang diabsopsi
buruk seperti beklometason atau flunisolid.
Imunoterapi
Merupakan indikasi hanya jika hipersensivitas Ig E terlihat pada alergen
inhalan yang spesifik yang tidak dapat dihindari oleh pasien ( debu rumah,
serbuk sari).
Tujuan imunoterapi mencakup : penurunan kadar IgE dalam darah,
peningkatan tingkat penghambatan antibody Ig G dan pengurangan sensitivitas
sel mediator.
b. Rencana keperawatan
Berdasarkan masalah diatas maka prioritas diagnose keperawatan yang muncul
yaitu sebagai berikut:
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/ d dengan peningkatan produksi secret d/d
pasien mengatakan gatal pada hidungnya, batuk kering, pasien mengatakan
bersin-bersin, secret hidung jernih, nyeri di daerah paranasal, epistaksis,
odema mukosa hidung
2. Nyeri akut b/d respons alergi d/d pasien mengatakan sakit kepala, pasien
mengatakan gatal pada hidungnya, pasien mengatakan bersin-bersin, odema
mukosa hidung,epistaksis, nyeri di daerah paranasal.
3. Perubahan kenyamanan b/d odema pada mukosa hidung d/d pasien
mengatakan bersin-bersin, rasa gatal,secret hidung jernih,
4. Risiko aspirasi b/d edema jaringan
5. Risiko terhadap infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan utama sekunder
terhadap perlengketan secret di saluran pernapasan.
Kriteria hasil :
ronchi tidak ada
wheezing tidak ada
tidak ada penumpukan sekrret
respirasi 20 X / menit
2. Auskultasi area paru, catat area 2.Penurunan aliran udara terjadi pada
penurunan/tak ada aliran udara dan area konsolidasi dengan cairan,
bunyi napas krakels krakels terdengar sebagai respon
terhadap pengumpulan cairan,
secret.
2. Nyeri akut b/d respons alergi d/d pasien mengatakan sakit kepala, pasien
mengatakan gatal pada hidungnya, pasien mengatakan bersin-bersin, odema
mukosa hidung,epistaksis, nyeri di daerah paranasal.
Tujuan : nyeri pasien berkurang atau hilang
2.Pantau berat ringan rasa tidak 2.Mengetahui sejauh mana rasa tidak
nyaman yang dirasakan dengan nyaman sehingga memudahkan
menunjuk pada skala nyeri intervensi
c. Evaluasi
1. Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas
2. Nyeri pasien berkurang atau hilang
3. Pasien menunjukkan tanda-tanda kearah perbaikan kenyamanan
4. Tidak terjadi gangguan aspirasi
5. Tidak terjadi infeksi
DAFTAR PUSTAKA
- Brunner & Suddart. (1996), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
- Carpenito, L.J. (2001) Handbook of Nursing Diagnosis (Buku terjemahan), Ed.8. EGC,
Jakarta.
- Doenges. ( 2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.
- Mansjoer, A. (2001), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Ed.3, Media Aesculapius FKUI,
Jakarta.
- Boeis. ( 1997 ), Buku Ajar Penyakit THT,Edisi 6, EGC, Jakarta.