Anda di halaman 1dari 8

Tugas Sosiologi Kehutanan

Interaksi Suku Angkola Terhadap Hutan dan


Atau Sumber Daya Hutan

Nama : Salvador Purba


NIM : 1606115885

Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian
Universitas Riau
2017
Menciptakan budaya lokal yang selaras dengan lingkungannya. Interaksi tersebut saling
mengisi dan menguntungkan, maka masyarakat memanfaatkan sumberdaya secara arif yang akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya yang diterapkan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar adalah dengan mengembangkan tumbuhan berguna dengan
pendekatan kearifan tradisional.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk pemanfaatan tumbuhan
dan kearifan tradisional dalam konservasi sumberdaya hutan oleh masyarakat suku Angkola di
sekitar Cagar Alam Dolok Sibual-buali, khususnya masyarakat desa Padang Bujur.
Masyarakat desa Padang Bujur memanfaatkan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, yang terdiri dari 93 spesies tumbuhan dari 47 famili. Pemanfaatan tumbuhan dibagi
menjadi 11 kelompok penggunaan yaitu sebagai pangan 49 spesies, obat 67 spesies, energi 8
spesies, pakan ternak 5 spesies, kegiatan adat 24 spesies, hias 11 spesies, pewarna 6 spesies,
pestisida nabati 7 spesies, aromatik 12 spesies, tali, anyaman dan kerajinan 6 spesies, dan bahan
bangunan 14 spesies.
Bentuk kearifan tradisional dalam konservasi sumberdaya hutan oleh masyarakat suku
Angkola adalah perlindungan ekosistem hutan, pemanfaatan pohon aren (Arenga pinnata Merr)
secara tradisional, budidaya spesies tumbuhan berguna dan pemanfaatan tumbuhan dalam
berbagai tradisi masyarakat suku Angkola.
Cagar Alam Dolok Sibual-buali (CADS) merupakan salah satu kawasan konservasi di
Sumatera Utara yang kaya dengan keanekaragaman hayati, berupa spesies tumbuhan dan satwa
liar. Sumberdaya keanekaragaman hayati yang telah dimanfaatkan oleh manusia berabad-abad
lamanya adalah sebuah bukti bahwa keanekaragaman hayati merupakan komponen vital
kepentingan hidup manusia.
Suku Angkola merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan CADS. Dalam
budaya masyarakat suku Angkola dikenal beberapa spesies tumbuhan yang dimanfaatkan secara
tradisional dalam kehidupan sehari-hari, seperti bahan pangan, obat-obatan, kayu bakar,
perlengkapan kegiatan adat, pakan ternak, tanaman hias dan kegunaan lain. Pengolahan
tradisional masyarakat suku Angkola dalam pemanfaatan tumbuhan tersebut merupakan aset
harusdipertahankan, melalui dokumentasi etnobotani.
Etnobotani adalah bidang ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia
dengan sumberdaya alam tumbuhan dan lingkungannya (Munawaroh & Inggit 2000).
Penetapan wilayah tersebut menjadi cagar alam tentu akan membatasi akses suku Angkola untuk
keluar masuk hutan. Hal tersebut akan menimbulkan sumber konflik antara pihak pengelola
kawasan dengan masyarakat setempat yang akan mengancam kelestarian sumberdaya alam yang
berada dalam kawasan cagar alamtersebut. Padahal dengan adanya cagar alam tersebut,
seharusnya dapat member manfaat, tidak hanya untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam,
tetapi juga kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Interaksi yang sangat kuat dan lama
antaramanusia dengan lingkungannya akan menciptakan budaya lokal yang selaras dengan
lingkungannya.
Interaksi tersebut harus saling mengisi dan menguntungkan, maka masyarakat harus
memanfaatkan sumberdaya secara arif yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah
satu upaya yang diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar adalah dengan
mengembangkan tumbuhan berguna dengan pendekatan kearifan tradisional. Dalam rangka
pengumpulan informasi mengenai pemanfaatan tumbuhan berguna oleh masyarakat, maka kajian
etnobotani penting untuk dilakukan, sebagai acuan dalam menetapkan kebijakan pengelolaan
kawasan dan pengembangan sumberdaya manusia untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosialdan budaya.
Organisasi sosial masyarakat suku Angkola terdiri atas Harajaon, Hatobangon, dan
Dalihan Natolu. Harajaon adalah suku Angkola yang merupakan keturunan langsung dari raja di
setiap luat asal dari marga. Hatobangon adalah suku Angkola yang telah memiliki umur lebih
dari 60 tahun dan pemuka agama. Dalihan Natolu terdiri dari Mora, Kahanggi dan Anak Boru.
Setelah pasangan suku Angkola telah menikah, pihak keluarga laki-laki akan menyebut keluarga
pihak perempuan sebagai Mora, sedangkan keluarga perempuan menyebut keluarga laki-laki
sebagai Anak Boru. Upacara adat yang berlangsung disetiap keluarga, akan dikerjakan oleh Anak
Boru. Kahanggi adalah sebutan bagi masyarakat suku Angkola yang memiliki marga yang sama.
Masyarakat Suku Angkola hidup selaras dengan alam sudah sejak lama. Hal itu dapat
terlihat dari penyebaran masyarakat suku Angkola umumnya bertempat tinggal di daerah
pengunungan, karena sebagian besar kawasan Tapanuli bagian Selatan merupakan pegunungan
yang merupakan hutan yang bertipe hutan hujan tropik. Masyarakat suku Angkola sangat erat
hubungannya dengan hutan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Masyarakat suku
Angkola memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan mulai dari pangan, obat-obatan, kayu bakar,
perlengkapan kegiatan adat, pakan ternak, tanaman hias dan kegunaan lain yang umumnya
berasal dari hutan. Masyarakat suku Angkola khususnya di desa Padang Bujur menggunakan
tumbuhan yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Dari hasil penelitian, terdapat 93 spesies
tumbuhan yang digunakan, yang terbagi menjadi 11 kelompok kegunaan, yaitu tumbuhan
penghasil bahan pangan, penghasil energi, obat, pakan ternak, kegiatan adat, hias, bahan
pewarna, pestisida nabati, aromatik, tali temali, anyaman dan kerajinan, serta bahan bangunan
Dari seluruh jenis tumbuhan berguna yang dimanfaatkan oleh masyarakat, terdapat 49
jenis tumbuhan untuk pangan yang berasal dari 25 famili. Famili yang paling banyak
dimanfaatkan sebagai bahan pangan adalah solanaceae yakni sebanyak 6 spesies. Masyarakat
suku Angkola di Desa Padang Bujur memperoleh kebutuhan pangan dari tumbuhan, baik
makanan pokok seperti padi (Oryza sativa) yang dijadikan nasi, maupun makanan tambahan
seperti tumbuhan yang menghasilkan buah-buahan dan tumbuhan sayur-sayuran. Pada umumnya
tumbuhan yang digunakan sebagai sumber pangan merupakan hasil dari budidaya sendiri.
Masyarakat desa Padang Bujur juga memanfaatkan tumbuhan penghasil pangan lainnya yang
hidup secara liar di hutan Salah satu spesies yang dimanfaatkan oleh masyarakat dalam frekuensi
penggunaan yang besar adalah Rotan (Calamus manan) yang diambil bagian batang mudanya
yang dibakar dan dijadikan sebagai pelengkap masakan dan lalapan setelah dibakar terlebih
dahulu yang disebut pakkat
Spesies tumbuhan pangan lain yang hidup secara liar di hutan yang banyak dimanfaatkan
adalah takokak (Solanum torvum) yang disebut masyarakat setempat rimbang hampir ada dalam
setiap masakan masyarakat suku Angkola terutama pada sayur daun singkong tumbuk yadvvng
disebut simarata diduda, yang merupakan masakan wajib dalam acara-acara adat masyarakat
suku Angkola. Penggunaan takokak oleh masyarakat suku Angkola sangatlah tinggi, karena
menurut masyarakat takokak (rimbang) adalah penetral racun dalam yang mungkin terkandung
pada tumbuhan bahan pangan lainnya yang digunakan secara bersamaan. Masyarakat suku
Angkola yang ada di Sumatera Utara menggunakan takokak sebagai bahan masakan yang wajib
digunakan pada saat memasak sayur. Takokak yang hidup secara liar di hutan dan dibudidayakan
di kebun masyarakat. Banyak dari tumbuhan pangan ini merupakan obat, namun masyarakat
lebih sering menggunakannya sebagai tumbuhan pangan.
Tumbuhan berguna yang dimanfaatkan sebagai obat memiliki jumlah spesies terbanyak
dibandingkan kelompok kegunaan lainnya, yaitu sebanyak 67 spesies Spesies tumbuhan yang
paling banyak dimanfaatkan sebagai obat berasal dari famili solanaceae. Famili solanaceae
sangat mudah ditemukan oleh masyarakat dan sebagian besar telah dibudidayakan oleh
masyarakat, baik di kebun maupun di pekarangan rumah. Selain untuk obat, tumbuhan obat dari
famili solanaceae ini memiliki kegunaan sebagai bahan pangan, yaitu untuk bumbu masakan dan
sayuran. Berdasarkan hasil penelitian Munawaroh dan Purwanto (1998) di desa lainnya yang
berada di sekitar Cagar Alam Dolok Sibual-buali yaitu di desa Hutaraja, masyarakat suku
Angkola di desa tersebut memanfaatkan tumbuhan untuk obat tradisional sebanyak 40 spesies
tumbuhan dari 23 famili. Spesies tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai obat juga
berasal dari famili solanaceae yaitu sebanyak 4 spesies. Cara pengolahan tumbuhan obat oleh
masyarakat dapat dipakai secara tunggal ataupun dengan menggunakan campuran dengan bahan
obat lainnya. Sebagian besar masyarakat menggunakan tumbuhan obat secara langsung untuk
mengobati penyakit ringan seperti sakit perut, demam, dan luka. Sedangkan untuk pengobatan
penyakit yang cukup berat, harus menggunakan berbagai macam jenis ramuan yang hanya bisa
dilakukan oleh dukun di desa setempat yang disebut dengan datu. Dalam kebiasaan
masyarakat suku Angkola, ada suatu kepercayaan apabila seseorang mengalami masalah,
sebelum melaksanakan suatu pekerjaan, mendirikan rumah atau terkena penyakit yang berat
terlebih dahulu mendatangi datu. Hal ini bertujuan untuk meminta nasehat petunjuk agar
pekerjaan yang akan dilakukan bisa berjalan dengan aman dan untuk mengobati penyakit berat
yang susah untuk disembuhkan. Kepercayaan masyarakat suku Angkola di desa Padang Bujur
terhadap datu (dukun) untuk mengobati berbagai jenis penyakit masih tinggi. Datu menggunakan
berbagai jenis tumbuhan obat dalam mengobati masyarakat yang sakit. Tumbuhan obat yang
digunakan oleh datu tersebut sudah dipergunakan secara turun temurun. Dalam budaya
masyarakat suku Angkola di desa Padang Bujur, banyak pantangan yang tidak boleh dilakukan di
dalam hutan Sibual-buali, seperti membuang sampah sembarangan, menebang pohon tua dan
memburu binatang yang bukan binatang buruan. Masyarakat yang melanggar pantangan tersebut
akan langsung kesurupan atau sakit. Datu akan mengobatinya dengan menggunakan pucut kuda
(Stachytarpheta jamaicensis) yang memiliki nama daerah tappar begu. Datu yang menggunakan
obat herba dalam mengobati berbagai jenis penyakit lebih dipercaya oleh masyarakat dari pada
obat-obatan medis, karena masyarakat suku Angkola masih hidup secara tradisional dan selaras
dengan alam. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat diperoleh di pekarangan rumah, kebun
maupun dari hutan. Tumbuhan obat paling banyak diperoleh dari hutan yaitu sebanyak 32
spesies yaitu (49 %). Untuk penyakit yang ringan, umumnya memanfaatkan jenis tanaman yang
berada di pekarangan rumah ataupun kebun yang berada di sekitar pemukiman yang merupakan
hasil budidaya. Cara pengolahan tumbuhan obat tersebut dilakukan dengan cara ditumbuk,
direbus, digosokkan, dibakar, diparut dan dimakan secara langsung. Terdapat spesies tumbuhan
yang dimanfaatkan oleh masyarakat karena sejarah pemanfaatannya, seperti putri malu (Mimosa
pudica). Masyarakat memanfaatkan tumbuhan tersebut untuk mengobati susah tidur, karena
dulunya upacara adat untuk pernikahan (margondang) masyarakat suku Angkola dilakukan
selama 7 hari, sehingga masyarakat mengkonsumsi kopi agar malamnya bisa menahan kantuk.
Masyarakat mengalami susah tidur setelah acara margondang tersebut selesai, masyarakat
mengkonsumsi putri malu, dan hal tersebut secara turun temurun terus dilakukan untuk
mengobati susah tidur. Salah satu kandungan dari putri malu yaitu asam pipekolinat dapat
mengobati insomia atau susah tidur (Bensky & Gelbe 1992).
Masyarakat desa Padang Bujur sebagian besar memasak menggunakan tungku. Terdapat
8 spesies tumbuhan dari 6 famili yang digunakan sebagai penghasil energi yaitu kayu bakar
(Lampiran 4). Penggunaan tumbuhan sebagai kayu bakar umumnya berupa ranting atau batang
kecil yang telah kering. Spesies tumbuhan yang paling sering digunakan sebagai penghasil
energi berupa kayu bakar adalah suren (Toona sureni). Suren diambil untuk dijadikan kayu bakar
dengan memotong atau menebang kayu pada bagian percabangan batang kayu serta ranting
kayu. Suren lebih banyak dimanfaatkan sebagai kayu bakar karena suren masih banyak terdapat
di hutan sekitar pemukiman dan mudah diperoleh. Masyarakat suku Angkola menanam pohon
suren di sekitar kebun. LIPI (1980) menyatakan bahwa suren jika ditanam dengan pohon buah-
buahan dan sebagai pohon pelindung di perkebunan dapat mengurangi serangan hama. Terdapat
6 spesies tumbuhan yang digunakan sebagai penghasil energi yang berasal dari hutan
Adat masyarakat suku Angkola di desa Padang Bujur melarang masyarakatnya untuk
menebang pohon secara keseluruhan, sehingga untuk keperluan kayu bakar masyarakat hanya
menebang percabangan pohon. Kayu bakar biasanya diletakkan masyarakat di kolong rumahnya,
karena umumnya rumah di desa Padang Bujur adalah rumah panggung
Tumbuhan yang digunakan sebagai penghasil pakan ternak adalah sebanyak 5 spesies
tumbuhan dari 4 famili (Lampiran 5). Umumnya spesies yang digunakan adalah rumput,
sehingga sebagian besar spesies tumbuhan yang digunakan berasal dari famili Poaceae atau
bangsa rerumputan. Spesies tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai pakan ternak
adalah alang-alang (Imperata cylindrica) dan padi (Oryza sativa) berupa dedak halus atau kasar
yang diperoleh dari sisa penggilingan padi atau pada saat penumbukan padi
Upacara adat masyarakat suku Angkola di desa Padang Bujur masih sangat sering
dilakukan terutaman untuk upacara pernikahan (Margondang), upacara kematian (Kanduri)
untuk para keturunan raja, aqiqah (Mangayun), dan syukuran (Mangupa-upa). Terdapat 25
spesies tumbuhan yang digunakan dalam upacara adat (Lampiran 6). Terdapat 10 Spesies
tumbuhan yang dapat diperoleh dari hutan Dolok Sibual-buali yang berada di sekitar Cagar Alam
Dolok Sibual-buali (Tabel 6). Beberapa spesies tumbuhan yang paling sering digunakan untuk
kegiatan adat adalah kelapa (Cocos nucifera).
Hubungan antara masyarakat suku Angkola dengan alam sekitarnya dapat terlihat dari
penggunaan berbagai spesies tumbuhan untuk rangkaian upacara adat. Beberapa penggunaan
jenis tumbuhan dalam upacara adat memiliki makna tertentu, sehingga keberadaannya penting
bagi masyarakat suku Angkola. A B Masyarakat sangat menjaga kuantitas dari tumbuhan
tersebut, sehingga tumbuhan yang sebelumnya merupakan tumbuhan liar, akan dibudidayakan.
Hal ini sangat mendukung upaya konservasi terhadap berbagai jenis tumbuhan berguna, dimana
masyarakat memanfaatkan tumbuhan secara lestari dan menjaga populasi dari tumbuhan
tersebut.
Tumbuhan yang digunakan untuk bahan bangunan adalah 14 spesies tumbuhan . Rumah
penduduk masyarakat suku Angkola di desa Padang Bujur sebagian besar merupakan rumah
panggung yang sederhana, dimana dindingnya umumnya terbuat dari kayu suren (Toona sureni)
dan atapnya dari lapisan ijuk dari pohon aren (Arenga pinnata), atap ijuk digunakan agar rumah
tersebut tetap sejuk dan pada malam hari tetap terasa hangat. Bambu tali (Gigantochloa apus)
digunakan sebagai pengikat antar kayu dan pengikat kayu sebagai pancang rumah .
Pohon-pohon di hutan merupakan sumber bahan bangunan yang dapat digunakan secara
berkesinambungan. Pemanfaatan kayu oleh masyarakat Dayak Meratus biasanya dilakukan
apabila ingin membuat rumah. Biasanya pemilihan jenis kayu tersebut berdasarkan pertimbangan
kekuatan kayu dan ketahanan terhadap rayap (Kartikawati 2004). Rumah-rumah di desa padang
Bujur umumnya adalah rumah yang sudah tua dan diwariskan secara turun temurun, sehingga
untuk pembangunan rumah sudah jarang terjadi, hal tersebut terkait dengan adat istiadat
masyarakat setempat, dimana anak perempuan yang telah menikah harus tinggal bersama
suaminya, sedangkan anak laki-laki yang sudah menikah tinggal bersama orang tua bersama
istrinya atau tinggal dirumah orang tua yang lain, yang diwarisi secara turun temurun.
Masyarakat suku Angkola menganggap pantang (tidak boleh) menjual tanah mereka pada
masyarakat pendatang, apalagi diluar suku mereka, sehingga sangat sedikit kemungkinan adanya
bangunan baru di desa tersebut. Seluruh tumbuhan yang digunakan sebagai penghasil bahan
bangunan berasal dari hutan
Masyarakat suku Angkola di desa Padang Bujur hidup secara mandiri dengan
memanfaatkan berbagai spesies tumbuhan, sebanyak 61 % spesies tumbuhan berasal dari hutan
sekitar Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Tumbuhan dimanfaatkan sebagai pangan, obat, energi,
pakan ternak, untuk kegiatan adat, hias, pewarna, pestisida nabati, aromatik, tali, anyaman dan
kerajinan, serta sebagai bahan bangunan.
Masyarakat suku Angkola memiliki kearifan dalam konservasi sumberdaya hutan berupa
perlindungan ekosistem hutan, pemanfaatan pohon aren (Arenga pinnata Merr) secara
tradisional, budidaya spesies tumbuhan murbey (Morus alba L.) dan pemanfaatan tumbuhan
yang berkelanjutan dalam berbagai tradisi masyarakat suku Angkola.

Anda mungkin juga menyukai