Anda di halaman 1dari 13

Nama : Deasy Noviyanti

No. Absen : 06

SAHABAT SEJATI

S
eperti biasa Viona datang menemuiku. Dengan senyum
manisnya yang tetap tersamar. Wajahnya pun tetap
cantik. Seperti biasa pula dia langsung mengeluarkan
kejutan untukku seperti dua buah permen. Dan memberikannya
satu permen itu untukku. Tapi hari itu, Viona datang tak seperti
biasanya. Apalagi yang tak biasanya adalah, ketika dia datang
menemuiku tidak segera mengutarakan maksud kedatangannya
dan tidak menyapaku.
Yang tak biasanya lagi ialah, dia tidak segera bicara,
melainkan menyandarkan kepala mungilnya di tiang teras rumah.
Tak lama baru aku sadari, cara duduknya juga tak seperti
biasanya. Kepalanya yang tersandar tengadah, dan kakinya yang
diangkat merapat dalam pelukan.
Ada apa? tanyaku sambil menepuk bahunya.
Viona tidak menjawab pertanyaanku, dia malah diam dan
kelihatannya dia lagi memikirkan sesuatu. Dia tidak menangis,
tapi matanya terlihat sedih. Dia juga tetap tersenyum dan
samar, tapi tatapannya menerawang. Aku pun terus bertanya
pada Viona.
Kamu tidak jadi pergi ke Sumatera? tanyaku secara
baik-baik.
Aku pun mulai merasa penasaran dengan maksud
kedatangan Viona. Karena tidak seperti biasanya dia tidak
menjawab terus ketika aku bertanya.
Dua hari yang lalu dia datang berpamitan hendak ke
Sumatera, untuk menghabiskan liburan di rumah Kakaknya. Dia
pergi liburan berduaan dengan Yudhi, cowoknya Viona. Pikir aku,
ibunya pasti tidak mengijinkan kalau dia pergi berdua dengan
Yudhi. Mungkin dia sedih karena itu. Aku bingung pada dia, apa
yang sebenarnya terjadi pada dia.
Tak lama kemudian Viona pun membuka mulutnya dan
sedikit demi sedikit berbicara padaku. Dia menceritakan apa
yang sebenarnya telah terjadi.
Mal.. Viona memperlihatkan bekas luka gores yang
masih berwarna merah oleh obat merah.
Kenapa? tanya aku tanpa cemas. Luka kecil yang tidak
perlu dikhawatirkan.
Juga ini... ucap Viona lirih. Tangannya menyibakkan
rambut, memperlihatkan luka gores yang sama dan lebar di
pelipis kanannya, segaris dengan alis matanya.
Kamu kenapa? tanya aku dengan perasaan cemas. Satu-
satunya yang bisa aku lakukan hanyalah menggenggamkan
tangannya.
Yudhi, Mal... jawab Viona dengan perasaan sedih.
Kalian berantem lagi? tanyaku penasaran.
Viona merapat dan menepong dagunya di dengkulku. Ini
kebiasaannya, jika tengah sedih atau merajuk. Dan seperti
biasa juga aku selalu mengelus-elus rambut lurusnya itu sambil
mengajak ngobrol.
Beberapa menit, dia memejamkan matanya. Entah
menikmati elusanku, atau melegakan dadanya yang sesak. Dan
tak lupa juga, Viona pun sambil menceritakan kejadiannya
kepadaku.
Aku yang duluan memukul dia. Menendangya,
melemparnya dengan sepatu... ucap Viona panjang lebar.
Aku ingin menulikan telinga dan tidak ingin menjawab
pertanyaan Viona karena tidak bosan-bosannya juga dia
menceritakan Yudhi. Selalu, perasaan aku menjadi tawar jika
Viona mulai bercerita tentang Yudhi.
Dia yang mulai, Mal... ucap Viona lagi.
Dan kamu engga mau ngalah? tanya aku.
Aku bosan mengalah, Mal. jawab Viona.
Dan kamu berani memukul cowok itu? tanya aku lagi
sambil bertatapan muka.
Yudhi kelewatan sekali. Mungkin aku khilaf. kata Viona
sambil menundukan kepala.
Viona melanjutkan ceritanya yang bagi aku seperti
pengulangan kisah yang sudah-sudah. Aku berpura-pura saja
mendengarkannya dengan baik, padahal tidak. Banyak kata-
katanya yang lewat begitu saja. Masuk telinga kanan, keluar
telinga kiri. Sebagian besar justru tak sempat masuk. Aku
terus mengelus rambutnya sambil menikmati kelembutannya.
Cerita yang Viona ceritakan, pada intinya sama saja
seperti kisah yang kemarin-kemarin, atau dulu. Masalah
sederhana yang sebenarnya akan selesai dengan cara sederhana
pula. Aku yakin esok atau lusa, mereka akan baikan lagi lalu akan
bertengkar lagi, baikan lagi, bertengkar lagi, baikan lagi dan
begitu seterusnya.
Kamu nggak memperhatiin aku lagi, Mal! Viona
menyentak dari pangkuanku.
Minta maaflah sama Yudhi. Harga dirinya hancur, karena
dipukul cewek. balasan aku pada Viona.
Viona melotot. Dia sadar dengan ucapanku yang agak
melantur.
Kalo kamu mau minta maaf, Yudhi justru akan
menghargai kamu. aku melanjutkan obrolannya.
Ini lain, Mal. Engga mungkin aku sampai berani
memukulnya kalo dia ngga kelewatan sekali. sambung Viona.
Tapi... aku terus menjawab. Tetapi, Viona memotong
pembicaraanku.
Aku mau mutusin hubungan! kata Viona tegas.
Apa? Kamu bercanda, kan? jawabku kaget.
Viona memajukan wajahnya, hingga tinggal berjarak satu
senti dari hidungku. Aku terus membujuk Viona secara baik-
baik supaya Viona mau minta maaf sama Yudhi.
Ya, Tuhan. Bibir itu...
Kamu engga serius merhatiin aku, Mal. Dimana
solidaritas kamu? kata Viona.
Sudahlah, Vio... Esok hari aku akan menemui Yudhi. Aku
akan datang ke rumahnya biar dia yang meminta maaf sama
kamu. Itu mau kamu, kan ? tanyaku lagi.
Jangan! Aku bunuh kamu kalau kamu campur tangan
dengan masalahku ini. sambung Viona.
Tapi kamu kemari, Vio. Untuk apa kalau bukan untuk ...
kataku lagi.
Viona tersedu, lalu menyeruduk aku dan menyembunyikan
wajahnya di dadaku. Viona mengerti seperti apa kelebihan dan
kekurangan aku yang bisa dia terima. Dan yang tidak dia ketahui
lagi adalah bahwa diam-diam aku menaruh cinta yang sangat
besar padanya. Cinta yang bisa menimbulkan getaran sangat
istimewa. Bukan sekedar cinta seorang sahabat sejati yang
bersatu tanpa pamrih.
Keesokan harinya aku pergi menemui Yudhi dengan
menggunakan bus. Ketika aku sedang melamun, seseorang
membuatku kaget sehingga lamunanku menjadi berantakan dan
berkeping-keping.
Mbak Mala... ? kata seseorang yang berpakaian rapi.
Aku mendongak dan menatap orang itu. Ternyata orang
itu adalah kondektur bus. Dia mengangsur sesuatu kepadaku.
Oh, rupanya kartu OSISku.
Maaf, apakah nama anda Mala Dewi Sri? tanya
kondektur itu.
Oh iya benar. jawabku kaget.
Ini kartu OSISnya terjatuh. Untung aja engga dipungut
orang-orang usil. Lain kali hati-hati ya! kata kondektur sambil
membalikkan badannya.
Aku terkesima sehingga lupa mengucapkan terima kasih
pada pak Kondektur. Oh, cerobohnya aku. Lalu aku memeriksa
isi tasku. Ternyata engga ada yang hilang. Untung cuma kartu
OSIS aja yang jatuh. Coba kalau uang, pasti engga bakalan
kembali.
Dengan perasaan lega, aku pun kembali menyandarkan
kepalaku. Lalu aku mencoba lagi menyatukan lamunan yang
berkeping-keping itu.
Sahabat sejati... Sahabat sejati...
Tuhan, tolonglah aku...
Aku ingin menjadi sahabat sejati bagi Viona. Sahabat
yang benar-benar lega dan lapang dada melihat kebahagiannya.
Sepuluh menit kemudian aku sampai di rumah Yudhi. Aku
langsung mengetuk pintu rumahnya. Tak lama, Yudhi pun keluar.
Aku langsung memarahi dia. Yudhi penasaran apa maksud
kedatanganku.
Kamu kelewatan sekali, Yudhi. Teganya kamu bikin Viona
kelimpungan kayak gitu. Udah dua hari dia engga masuk sekolah.
Dia sakit. kataku dengan tegas.
Yudhi tertegun oleh bualan.
Sakit? Sakit apa? jawab Yudhi dengan muka yang
membingungkan.
Entahlah. Mungkin cuma setress akibat sikapmu yang
arogan. Tapi apa kamu tega? tanyaku sambil menatap matanya.
Yudhi salah tingkah.
Aku mengerti, Yud. Kamu bosan minta maaf, kan ?
sambungku lagi.
Itulah, Mal. Kamu sendiri ngerti kan seperti apa watak
Viona. Aku sudah meminta pada dia agar dia mengerti aku, tapi
dia malah bikin masalah sehingga bertengkar seperti ini.
Seharusnya dia yang minta maaf duluan karena dia yang bikin
masalah. ucap Yudhi.
Tapi dia cewek, menurutnya pasti harga dirinya akan
direndahkan olehmu Yud, jika dia minta maaf duluan. aku terus
menjawab.
Aku engga mungkin merendahkan dia. Aku justru akan
lebih menghargainya jika dia minta maaf duluan. kata Yudhi.
Cobalah mengalah untuk sekali lagi, Yud. Siapa tahu
dengan kamu yang minta maaf duluan, mungkin dia akan sadar
bahwa kamu ingin dimengerti... akupun menasehati Yudhi.
Sampai berapa kali lagi, Mal? Yudhi langsung menjawab.
Apa salahnya mencoba lagi? Bukankah kamu sungguh-
sungguh mencintainya? tanyaku terus-terusan.
Aku tidak ingin jawaban dan tidak ingin perdebatan
antara Yudhi dan Viona. Terlebih, aku tidak ingin mendengar
Yudhi mengucapkan kata-kata betapa cintanya dia pada Viona,
meski aku tahu itu semua.
Oleh karena itu, aku buru-buru berpamitan. Yudhi
mengantarkanku sampai ke halte.
Alangkah beruntungnya Viona punya sahabat sejati
seperti kamu, Mal... ucap Yudhi ketika mengantarku hingga ke
halte.
Diatas bus kota yang membawa aku pulang ke rumah, aku
tercenung.
Sahabat sejati...! Benarkah aku ini seorang sahabat
sejati? Atau hanya...? Ah!
Tuhan tolonglah aku.
Aku sadar, jauh di lubuk hatiku yang terdalam ada
terselip kegembiraan mana kala melihat pertengkaran Viona dan
apa jadinya jika mereka benar-benar berpisah. Bukankah itu
sebuah kesempatan buat aku untuk bisa lebih menguasai hati
Viona? Itu sebuah keuntungan bagi aku.
Tapi mungkinkah? Setelah putus dengan Yudhi, Viona
lantas begitu saja bisa menerima cinta aku sebagai cinta
sahabat?
Aku memang mengenal Viona melebihi siapapun, juga
Yudhi. Yudhi sudah hampir dua tahun ini memacari Viona.
Sedangkan aku mengenal Viona sejak kecil. Konon, kami
bersahabat sejak bayi!
Sesampainya dirumah, aku sudah melihat Viona sedang
duduk di teras rumah. Aku tahu pasti dia akan cerita tentang
Yudhi lagi.
Ada apa kamu datang kemari? tanyaku.
Aku ingin cerita dan kamu cari tahu jalan keluar untuk
selesaikan masalah ini kata Viona.
Oh iya, tadi pagi aku datang menemui Yudhi. Yudhi
bilang bahwa kamu harus bisa mengerti dia dan dia ngga mau
putus dulu sama kamu karena hal sepele ucapku padanya.
Tapi aku benci dia Mal. Andai dia sebaik sahabat
sejatiku seperti kamu... pasti masalah ini tidak akan terjadi
sampai hubungan ini hampir hancur Viona semakin tersedu.
Yudhi cowok yang baik, Viona. Aku kenal persis siapa
Yudhi, kamu akan menyesal melepas orang seperti Yudhi.
Pikirkan lagi keputusanmu. Jangan tergesa-gesa, Viona. Sesal
kemudian engga berguna, kan? kataku menasehati.
Kenapa kamu selalu membela cowok itu, Mal? tanya
Viona.
Aku menghela napas panjang.
Aku berusaha untuk berdiri di tengah-tengah kalian.
Engga berpihak ke siapa-siapa. Aku berpihak pada kalian
berdua. jawabku.
Tapi aku serius, Mal. Kali ini aku udah ngga tahan lagi.
Engga tahan! sambung Viona padaku.
Viona seperti meracu. Sesekali dia bahkan mengumpat
Yudhi. Mungkin benar, dia kehabisan kesabaran kali ini. Tapi aku
tidak ingin terkocah. Dulu pun Viona kerap bersikap seperti ini.
Bedanya, dulu tidak pakai acara memukul dan menendang. Dulu
juga hampir seseru ini, toh akhirnya baik-baik saja. Seminggu
berikutnya mereka sudah kompakan lagi.
Mengingat kemungkinan itu, ada pedih menyayati batinku.
Mal..., boleh engga malam ini aku tidur di rumah kamu?
tanya Viona.
Aku menghela tubuhnya. Engga boleh! kataku.
Maaall..., mumpung besok udah mulai libur sekolah.
Viona merajuk.
Nanti mamahmu nyariin kamu! lanjut aku.
Oke-oke! Aku ngerti. Kamu cuma engga ingin terganggu
dengan kehadiranku, kan? Kamu engga mau terganggu dengan
keluhan-keluhanku! jawab Viona keras.
Tentu Viona keliru. Beberapa kali dia tidur di rumah aku,
aku memang terganggu, tapi bukan oleh keluhannya. Setiap kali
dia tidur di rumah ini, aku selalu tidak bisa tidur nyenyak
sedetikpun karena dia selalu cerita tentang pacarnya dan itu
membuatku sangat bosan.
Pulanglah, Viona... ucapku.
Ketika itu, aku terus berpikir untuk mencari jalan
keluarnya. Akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu Yudhi
melalui telpon tanpa Viona tahu besok pada pagi hari.
Pagi hari pun tiba, aku langsung menelepon Yudhi bahwa
Viona masih marah. Dan Yudhi sebagai cowok memang jauh lebis
pantas untuk minta maaf sama Viona. Setelah itu, aku yakin
urusan mereka akan selesai dan mereka saling mengerti satu
sama lain.
Siang harinya Yudhi menemui Viona di rumahku, untuk
meminta maaf dan memperbaiki hubungannya. Dengan sadar,
Viona pun memaafkan dia agar hubungannya dengan Yudhi
kembali seperti semula.
Selesai

Anda mungkin juga menyukai