Anda di halaman 1dari 37

TUGAS KELOMPOK

ASPEK NUTRISI PADA LANJUT USIA

Dibuat sebagai Tugas Mata Kuliah Kespro Lansia

Disusun oleh:

1. Haryati 1506786264
2. Ice Marini 1506786320

Program Pascasarjana Peminatan Kesehatan Reproduksi


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
Depok, 2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita cita bangsa Indonesia. Undang Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan menjelaskan bahwa kesehatan adalah suatu keadaan sehat
baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial, yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Segala upaya untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dilaksanakan berdasarkan prinsip
nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan sumber daya
manusia serta daya saing bangsa.
Keberhasilan pembangunan adalah cita-cita suatu bangsa yang terlihat dari
peningkatan taraf hidup dan umur harapan hidup atau angka harapan hidup. Namun
peningkatan ini dapat mengakibatkan terjadinya transisi epidemiologi dalam bidang
kesehatan akibat meningkatnya jumlah angka kesakitan karena penyakit degeneratif.
Perubahan struktur demografi ini diakibatkan oleh peningkatan populasi lanjut usia dengan
menurunnya angka kematian serta jumlah kelahiran. Proses penuaan seseorang ditentukan
secara genetik dan dipengaruhi oleh gaya hidupnya ketika muda. Kondisi kesehatan
seseorang ketika usia lanjut merupakan hasil dari proses akumulasi sejak dalam kandungan,
anak-anak, dewasa, hingga menjelang lansia. Lansia yang telah membiasakan pola hidup
sehat sejak muda akan memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik daripada lansia yang masa
lalunya tidak berperilaku hidup sehat.
Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2011, tahun 2000-2005
usia harapan hidup adalah 66,4 tahun dengan persentase populasi lansia tahun 2000 adalah
7,74%, angka ini meningkat pada tahun 2045-2050 yang diperkirakan menjadi 77,6 tahun
dengan persentase populasi lansia tahun 2045 adalah 28,68%. Laporan Badan Pusat Statistik
terjadi peningkatan usia harapan hidup. Pada tahun 2000 di Indonesia adalah 64,5 tahun
dengan persentase populasi lansia 7,18%. Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada
tahun 2010 dengan persentase populasi lansia 7,56% dan pada tahun 2011 menjadi 69,65
tahun dengan persentase populasi lansia adalah 7,58%.
Data Susenas 2014 jumlah rumah tangga lansia sebanyak 16,08 juta rumah tangga
atau hampir seperempat dari seluruh rumah tangga di Indonesia. Rumah tangga lansia adalah
minimal salah satu anggota rumah tangga berumur diatas 60 tahun. Tiga provinsi dengan
proporsi rumah tangga lansia tertinggi di Indonesia pada tahun 2014 adalah DI Yogyakarta
(32,23%), Jawa Tengah (31,90%) dan Jawa Timur (31,64%). Provinsi Papua memiliki
proporsi rumah tangga lansia terkecil, yaitu hanya sebesar 7,54 persen. Jumlah lansia di
Indonesia mencapai 20,24 jiwa setara dengan 8,03 persen dari seluruh penduduk Indonesia
tahun 2014.
Meningkatnya populasi lansia ini membuat pemerintah perlu merumuskan kebijakan
dan program yang ditujukan kepada kelompok penduduk lansia sehingga dapat berperan
dalam pembangunan dan tidak menjadi beban bagi masyarakat. Undang Undang Nomor 13
Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menetapkan, bahwa batasan umur lansia di
Indonesia adalah 60 tahun keatas. Berbagai kebijakan dan program dijalankan pemerintah di
antaranya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia.
Dengan bertambahnya umur, fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat proses
degeneratif (penuaan) sehingga penyakit tidak menular banyak muncul pada usia lanjut.
Angka kesakitan penduduk lansia tahun 2012 sebesar 26,93% artinya bahwa setiap 100 orang
lansia terdapat 27 orang diantaranya mengalami sakit. Bila dilihat perkembangannya dari
tahun 2005-2012, derajat kesehatan penduduk lansia mengalami peningkatan yang ditandai
dengan menurunnya angka kesakitan pada lansia.
Upaya kesehatan lansia yang dilakukan oleh kementrian dalam rangka meningkatkan
status kesehatan para lansia adalah dengan melakukan beberapa program salah satunya yaitu
Peningkatan penyuluhan dan penyebarluasan informasi kesehatan dan gizi bagi usia lanjut.
Berdasarkan riskesdas 2011 persentase Puskesmas dengan kegiatan promotif penyuluhan
tentang perilaku hidup sehat dan gizi lansia secara nasional 75,7 %. Provinsi dengan
persentase terendah ada di Provinsi Papua (6,5%), Papua Barat (10,6%) dan Sulawesi
Tenggara (31,8%). Bila dilihat dari lokasi, persentase Puskesmas di perkotaan yang
melaksanakan kegiatan promotif penyuluhan tentang perilaku hidup sehat dan gizi lansia 85,1
% sementara di pedesaan 72,4%.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami masalah gizi yang ada pada lansia, faktor
faktor yang mempengaruhi serta dampaknya terhadap Quality of Life
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui aspek nutrisi pada lansia
b. Untuk Mengetahui kecukupan gizi pada manula
c. Untuk mengetahui masalah gizi pada lansia
d. Untuk mengetahui Penyebab malnutrisi pada lansia
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan gizi pada lansia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Aspek Nutrisi Pada Lanjut Usia


Infeksi, penyakit dan kecelakaan bersama-sama proses degeneratif yang berjalan
berangsur-angsur, menyebabkan kematian pada sebagian besar penduduk. Usia maksimum
untuk manusia diperkirakan 110 tahun, jarang orang yang dapat mencapai umur ini. Dengan
semakin membaiknya pelayanan medis, kematian akibat infeksi, penyakit dan kecelakaan
menjadi semakin berkurang dan penduduk hidup dalam usia lama. Angka-angka yang
menyatakan jumlah penduduk dalam usia pensiun memperlihatkan hasil dramatis dari
perbaikan pelayanan kesehatan dan standar kehidupan.
Proses penuaan berawal sejak selesainya pertumbuhan pada usia 25 tahun. Beberapa
orang menyadari dimulainya proses penuaan (di luar rambut yang menjadi putih) dan proses
ini tidak menimbulkan permasalahan. Kemudian proses penuaan terjadi semakin cepat dan
perubahan fisiologis semakin jelas. Kerapuhan akibat perubahan fisiologis tidak selalu mudah
dibedakan dari penurunan jasmaniah yang menyertai malnutrisi.
Manusia lanjut usia (Manula) dimasukkan ke dalam kelompok rentan gizi, meskipun
tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan badan, bahkan sebaliknya sudah terjadi involusi
dan degenerasi jaringan dan sel-selnya. Timbulnya kerentanan terhadap kondisi gizi
disebabkan kondisi fisik baik anatomis maupun fungsionalnya. Dengan bertambahnya umur,
kemampuan kita dalam mengecap, mencerna, menyerap dan memetabolisme makanan
berubah. Banyak lansia yang tidak dapat lagi menikmati aroma dan rasa makanan.
Pertambahan umur berkolerasi negatif dengan jumlah taste buds pada lidah lansia. Keadaan
ini dapat menyebabkan lansia secara tidak sadar senang pada makanan yang asin, kurang
menikmati makanan serta penurunan nafsu makan dan asupan makanan.

2.2 Kecukupan Gizi Pada Lansia


Kecukupan gizi pada lansia sama seperti kecukupan gizi pada kelompok penduduk
yang lebih muda usianya. Satu-satunya pengecualian adalah penurunan kebutuhan akan
energi yang mengikuti umur. Sebab-sebab yang melandasi keadaan ini adalah
1. Kegiatan fisik menurun bersamaan dengan bertambahnya usia, sehingga energi yang
dikeluarkan lebih sedikit.
2. Perubahan pada komposisi dan fungsi tubuh menyebabkan penurunan BMR (Basal
Metabolic Rate)
Orang-orang tertentu dalam kelompok manula memperlihatkan peningkatan
kebutuhan akan nutrient-nutrien tertentu. Hal ini bukan merupakan problem yang khusus bagi
manula saja. Problem tersebut dapat terjadi pada segala kelompok umur, hanya frekuensinya
lebih sering pada kelompok manula. Sebagai contoh manula yang sehari-hari tinggal di dalam
rumah (tidak pernah berpergian) akan memerlukan lebih banyak vitamin D dari makanannya.
Masukan vitamin D yang dianjurkan bagi manula yang aktif keluar rumah adalah 2.5 fjg
kolekalsiferol per hari. Sedangkan rekomendasi terakhir bagi manula yang selalu tinggal di
rumah adalah 10 fjg per hari.
Manula yang terpaksa berbaring di tempat tidur dengan menderita dekubitus atau
demam yang berkepanjangan memerlukan peningkatan masukan nitrogen dan lebih banyak
protein untuk mencegah terjadinya keseimbangan nitrogen yang negatif. Dengan
bertambahnya usia, insiden penyakit dan kecacatan turut bertambah pula. Kedua faktor ini
menurunkan selera makan dan mengurangi konsumsi makanan sehingga mutu makanan yang
dimakan menjadi masalah yang semakin penting.
Penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan makan yang baik yang diberlakukan mulai
dari awal kehidupan akan meningkatkan pemulihan kesehatan kesehatan pada masa dewasa.
Perkembangan dan kemajuan degeneratif tertentu yang dikaitkan dengan penuaan, seperti
diabetes melitus, aterosklerosis, hipertensi dan obesitas dipengaruhi oleh kebiasaan makan
selama hidupnya.
Perubahan yang diprediksi pada fisiologik, fungsi, pendapatan, kesehatan dan
kesejahteraan psikososial dikaitkan dengan penuaan, meskipun laju dan waktu kejadian
bervariasi di antara perubahan komposisi tubuh dan kebutuhan energi, perubahan oral dan
gastrointestinal, perubahan metabolik, perubahan susunan saraf pusat, perubahan ginjal dan
penurunan sensori, perubahan ekonomik, perubahan pada kesehatan, ketergantungan pada
obat dan perubahan sosial.
Pengetahuan tentang kebutuhan nutrisi lansia masih berkembang. Namun status
kesehatan, fungsi fisiologik, aktivitas fisik dan status nutrisi lebih bervariasi dalam kelompok
lansia ( khususnya individu berusia lebih dari 70 tahun ) daripada kelompok usia lain.
a. Kalori
Proses metabolisme protein berubah sesuai penuaan, tetapi terdapat sedikit
kesepakatan tentang kebutuhan protein pada lansia. Sedangkan beberapa penelitian tentang
keseimbangan nitrogen menunjukkan bahwa lansia memerlukan lebih banyak protein,
penelitian lain menunjukkan penurunan kebutuhan protein yang diakibatkan oleh penurunan
massa otot dan penurunan fungsi ginjal yang menjadi karakteristik proses penuaan. Lansia
memerlukan lebih banyak protein daripada yang sekarang dianjurkan 1,0-1,25 g/kg per hari.
b. Zat besi (wanita)
Data fisiologik (seperti terhentinya pertumbuhan dan menstruasi) dan ukuran
simpanan zat besi tubuh pada lansia menunjukkan bahwa kebutuhan zat besi paling rendah
pada lansia. RDA untuk zat besi pada wanita menurun dari 15 mg pada usia 23-50 tahun
sampai 10 mg pada usia 51 tahun dan lebih.
c. Kalsium
Lansia berisiko untuk mengalami defesiensi kalsium baik karena penurunan asupan
kalsium dan penurunan absorpsi kalsium karena penuaan. Penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan kuat antara defesiensi kalsium dan terjadinya osteoporosis, suatu penyakit
tulang metabolik yang dicirikan oleh keseimbangan kalsium negatif dan penurunan massa
tulang. DRI (dietray reference intake) untuk kalsium adalah 1000 mg untuk baik wanita dan
pria usia 35-50 tahun, untuk pria dan wanita usia 51-70 tahun dan mereka berusia lebih dari
70 tahun, meningkat sampai 1200 mg. Individu yang tidak dapat atau tidak mau
mengonsumsi sedikitnya 1 gelas susu tiga kali sehari membutuhkan suplemen kalsium untuk
menjamin asupan adekuat.
d. Magnesium
DRI magnesium untuk pria dan wanita tetap konstan selama masa lansia. Namun
banyak lansia mengonsumsi jumlah yang kurang dari dianjurkan dan asupan magnesium
cenderung menurun pada populasi lansia. Penuaan yang menurunkan absorpsi magnesium
dan meningkatkan ekskresi magnesium lewat perkemihan. Karena lansia berisiko mengalami
defisiensi magnesium. Sumber dietnya mencakup gandum, sayuran hijau, kacang-kacangan
yang dikeringkan.
e. Vitamin D
Lansia berisiko tinggi mengalami defesiensi vitamin D karena :
1) Mereka cenderung mengonsumsi vitamin D kurang dari yang mereka
perlukan. Hampir semua asupan vitamin D berasal dari makanan yang
diperkaya seperti susu, tetapi banyak lansia mengonsumsi sedikit susu atau
justru tidak mengonsumsi susu. Sereal, margarin dan roti yang diperkaya
memberikan jumlah vitamin D lebih sedikit.
2) Pemajanan mereka terhadap sinar matahari terbatas yang sering karena
ketidakmampuan fisik untuk keluar rumah.
3) Metabolisme vitamin D berubah. Penuaan mengubah kemampuan kulit untuk
menghasilkan vitamin D. Lansia lebih dari 65 tahun telah mengalami
penurunan empat kali lipat dalam kapasitasnya menyintesis vitamin D
dibandingkan dengan orang dalam usia 20-30 tahun.
DRI untuk vitamin D meningkat dari 5 g untuk dewasa usia 31-50 tahun menjadi 10
g untuk lansia 51-70 tahun. Untuk individu lansia lebih dari 70 tahun DRI untuk vitamin D
meningkat sampai 15 g.
f. Vitamin B 12
Sebanyak 10 % sampai 30 % lansia lebih dari 51 tahun mengalami defesiensi vitamin
B 12 karena insufisiensi sekresi asam lambung sekunder yang terjadi akibat reseksi lambung,
gastritis atropik, penggunaan obat yang menekan sekresi asam lambung, atau infeksi lambung
oleh Helicobacter pylori
g. Vitamin B6
Penelitian menunjukkan bahwa penuaan mengubah metabolisme vitamin B6 dan
karenanya meningkatkan kebutuhan vitamin B6. DRI meningkat dari 1,3 mg untuk dewasa
muda menjadi 1,7 dan 1,5 mg secara berurutan, untuk lansia pria dan wanita lebih dari 50
tahun.

2.3 Kebutuhan Makronutrien


Kebutuhan energi
Asupan energi harus diturunkan mengingat berkurangnya massa otot dan aktifitas
fisik. Pada saat yang sama, asupan protein, vitamin dan mineral tetap sama bahkan ada yang
meningkatkan seperti vitaman B-6 dan kalsium. Berbagai studi di Indonesia maupun luar
negeri menunjukkan banyaknya lansia yang asupan energinya dibawah AKG. Asupan yang
jauh di bawah atau di atas AKG akan memberikan dampak yang sama yakni dampak buruk
dan kurang baik. Studi epidemiologi pada manusia di Okinawa yang dilaporkan Kagawa pada
tahun 1978, maupun AS seperti yang dilaporkan Belloc dan Breslow 1972 mereka yang
usianya panjang bahkan mencapai di atas seratus tahun ternyata mengkonsumsi energi 20%
di bawah AKG. Ada 8 variabel modifiers kuat yang berperan dalam pencapaian usia panjang
dimana tiga variabelnya masuk kategori gizi. Yakni pengedalian berat badan, makan secara
teratur termasuk makan pagi dan konsumsi alkohol yang moderat atau sama sekali tidak.
Kebutuhan protein untuk lansia USA ditentukan sebesar 0,8 gr/kg BB/hari. Namu
Campbell dkk melaporkan bahwa kebutuhan protein lansia lebih tinggi yakni sekitar 1-1,25
gr/kgBB/hari. Pada lansia yang sakit, kebutuhan dapat meningkat menjadi 1,5 gr/kgBB/hari
untuk dapat mempertahankan keseimbangan nitrogen. Keadaan ini diterangkan dengan
adanya peningkatan kebutuhan protein karena terjadinya katabolisme jaringan (penurunan
massa otot) serta adanya penyakit baik yang akut maupun kronik. Untuk Indonesia,
berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2004 maka kecukupan gizi yang
dianjurkan adalah 60 gram/hari untuk laki-laki dan 50 gram untuk perempuan usia 60 tahun
ke atas dengan berat badan standar 60 dan 50 kg.
Lipid serum merupakan prediktor kuat bagi kejadian penyakit jantung vaskuler. Oleh
karena itu asupan lemak sehari-hari pada lansia diupayakan untuk tidak meningkatkan
berbagai fraksi lipid yang tidak diinginkan. Di negara barat, asupan dari makanan sehari-hari
dapat mencapai di atas 40% dari keseluruhan energi yang masuk. Para ahli sepakat,
berdasarkan hasil berbagai studi epidemiologi pada kelompok dewasa, bahwa asupan lemak
yang menyumbangkan 20% asupan energi dalam sehari dapat menurunkan resiko terjadinya
penyakit jantung koroner. Pada lansia asupan lemak yang dianjurkan adalah menyumbang
20-25% energi yang dibutuhkan dalam sehari. Lemak tetap dibutuhkan karena fungsinya
sebagai pelarut vitamin A,D,E,K serta sumber asam lemak esensiil.
Kebutuhan hidrat arang biasanya dihitung by difference dalam arti bahwa
sumbangan energi dari hidrat arang diperhitungkan sebagai sisa kebutuhan energi sesudah
memperhitungkan sumbangan energi yang berasal dari lemak dan protein. Selain itu harus
diperhatikan bahwa untuk mencegah ketosis minimal harus masuk 50-1000 gram hidrat arang
setiap harinya. Pada lansia sumber hidrat arang yang dianjurkan adalah yang mempunyai
nilai indeks glisemik yang rendah serta cukup kadar seratnya.
Kebutuhan akan air atau cairan sering dilupakan, padahal pada lansia risiko terjadinya
dehidrasi yang tak disadari cukup tinggi oleh karena menurunnya persepsi haus. Lebih-lebih
pada lansia uang hidup di daerah tropik. Asupan air yang kurang dapat meningkatkan
osmolalitas serum yang kemudian dapat mengganggu keseimbangan asam basa darah.
Asuapan air yang dianjurkan adalah 30 ml/kgBB/hari.

2.4 Kebutuhan Mikronutrien


Kebutuhan akan vitamin E.C dan sebagai besar vitamin B lansia tak berbeda jauh
dengan kebutuhan pada usia dewasa. Namun demikian terjadi perubahan kebutuhan akan
vitamin A,D dan B-6. Kebutuhan akan vitamin B-6 meningkat oleh karena penurunan atau
kurang efisiennya absorpsi vitamin tersebut, terutama pada wanita. Banyak studi melaporkan
penurunan vitamin D dan metabolit-matabolit aktifnya pada lansia, dengan demikian lansia
yang dalam dietnya rendah kandungan vitamin dan kalsium, akan memperoleh manfaat dari
suplementasi vitamin D. Suplemen vitamin A harus diberikan dengan hati-hati karena pada
lansia absorpsi vitamin berlangsung efisiensi, namun metabolisme oleh hati berlangsung
kurang efisien. Dengan demikian suplemen vitamin A akan cepat meningkatkan kadar
vitamin A dalam darah.
Dibandingkan dengan usia dewasa dan muda, ansorpsi seng dan magnesium menurun
pada lansia. Perubahan absorpsi ini dapat disebabkan penurunan fungsi intestinum atau
karena adanya penurunan kebutuhan, namun jawaban pastinya belum ditemukan. Defeisiensi
seng yang marginal dapat berpengaruh terhadap indra pengecap dan penyembuhan luka yang
melambat. Absorpsi kalsium menurun dengan bertambahnya umur. Pada usia muda, bila
asupan kalsium rendah akan terjadi efisiensi atau peningkatan dalam absropsi yang tidak
terjadi pada lansia. Studi longitudinal ini menghasilkan penurunan risiko fraktur tulang
karena osteoporosis disamping di dapatkan kepadatan tulang yang lebih baik pada mereka
yang menerima suplemen dibandingkan yang tidak menerima suplemen. Untuk Indonesia,
AKG tahun 2004 masih berada pada tingkat 800mg/hari bagi lansia.

2.5 Angka Kecukupan Gizi Lansia

Angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan adalah banyaknya tiap-tiap zat gizi
esensial yang harus dipenuhi dari makanan sehari-hari untuk mencegah defisiensi zat gizi
(Sudiarti & Utari, 2006). AKG dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, berat badan, aktivitas
fisik, dan keadaan fisiologis
Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Lansia
Zat Gizi Pria Wanita
(berat badan = 62 kg) (berat badan = 54 kg)
Energi (kkal) 2.050 1.600
Protein (g) 60 45
Vitamin
- A (mcg RE) 600 500
- D (mcg) 15 15
- E (mcg) 15 15
- K (mcg) 65 55
- C (mcg) 90 75
- Tiamina (mg) 1,0 0,8
- Riboflavin (mg) 1,3 1,1
- Niasin (mg NE) 1,6 1,4
- B6 (mg) 1,7 1,5
- Folat (mcg) 400 400
- B12 (mcg) 2,4 2,4
Mineral
- Kalsium (mg) 800 800
- Fosfor (mg) 600 600
- Magnesium (mg) 300 270
- FE/Besi (mg) 13 12
- Zn (mg) 13,4 9,8
- Yodium (mg) 150 150
- Se (mcg) 30 30

Sumber : Widyakara Nasional Pangan dan Gizi (WNPG), 2004


a. Cara menghitung AKG Lansia
Berikut ini akan diuraikan cara-cara untuk menghitung energi, protein, dan
lemak yang dibutuhkan oleh lansia dalam upaya memenuhi AKG lansia.
Contoh Perhitungan kebutuhan energi menggunakan rumus WHO (1985) yang
telah disesuaikan sebagai berikut :
1) Langkah 1
Menimbang berat badan lansia, lalu dihitung BMR-nya dengan rumus :
BMR pria = (13,5 x berat badan) + 487 kalori
BMR wanita = (10,5 x berat badan) + 596 kalori
2) Langkah 2
Menghitung AKG energi lansia dengan rumus :
BMR x faktor fisik individu (ringan, sedang, berat), pada umumnya yang digunakan
adalah ringan karena aktivitas lansia adalah tingkat ringan.
Jenis Kelamin Aktivitas Ringan Aktivitas Sedang Aktivitas Berat
Pria 1,56 x BMR 1,76 x BMR 2,10 x BMR
Wanita 1,55 x BMR 1,70 x BMR 2,00 x BMR
2.6 Penilaian Status Gizi Lansia

Status gizi adalah suatu keadaan yang menggambarkan keseimbangan asupan


dan keluaran zat gizi. Apabila asupan zat gizi adekuat untuk memenuhi kebutuhan
tubuh dan kebutuhan metabolism, akan didapatkan status gizi dalam keadaan normal
dan evaluasi penatalaksanaan gizi.
Penilaian yang tepat terhadap status gizi selain dapat mendeteksi apakah status
gizi dalam keadaan normal atau tidak, dapat juga dipergunakan sebagai dasar
perhitungan kebutuhan dan lamanya pemberian tambahan zat gizi apabila diperlukan.
Komponen-komponen dari penilaian status gizi seseorang pada umumnya meliputi :
a. Penilaian klinis
Penilaian klinis terdiri dari pemeriksaan fisik untuk mendeteksi tanda dan
gejala suatu penyakit dan riwayat kesehatan. Pada lanjut usia ditambah dengan
penilaian terhadap keterbatasan fisik, fungsi kognitif dan psikologi serta kapasitas
fungsional.
1) Pemeriksaan fisik untuk mendeteksi adanya kekurangan zat gizi, status hidrasi
dan keadaan oral/mulut.
2) Penilaian keterbatasan fisik yang mungkin terdapat seperti pengecapan,
penciuman, kemampuan makan sendiri, penglihatan, pendengaran.
3) Penilaian fungsi kognitif dan psikologi
4) Kapasitas fungsional; kemampuan menyiapkan makan sendiri, aktifitas sehari-
hari.
b. Pengukuran antropometri
1) Tinggi badan
Pengukuran Tinggi Badan (TB) pada orang lanjut usia lebih rumit
dibandingkan orang dewasa muda. Hal tersebut dikarenakan perubahan pada
postur tubuh yang terjadi. Apabila TB tidak dapat dinilai, dapat dipergunakan
pengukuran tinggi lutut atau panjang lengan.
Tinggi lutut lebih direkomendasikan karena lebih mudah dilakukan;
dengan mengukur tinggi lutut, kita dapat memperkirakan tinggi badan dengan
rumus sebagai berikut :
TB (Laki-Laki) = 59,01 + (2,08 x TL)
TB (Perempuan) = 75,00 + (1,91 x TL)
Sumber : Eleanor. D. Sthlenker, Nutrition and Eging, Scond edition, 1993
2) Indeks Massa Tubuh
Di Indonesia IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau
status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal
memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang.
Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun.
IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan
olahragawan. IMT juga tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit)
lainnya seperti adanya edema, asites dan hepatomegaly.
()
Rumus perhitungan IMT : ()2

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO,


yang membedakan batas ambang untuk laki-laki adalah 20,1-25,0 dan untuk
perempuan adalah 18,7-23,8 untuk kepentingan pemantauan dan tingkat
defisiensi energi ataupun tingkat kegemukan, lebih lanjut FAO/WHO
menyarankan menggunakan satu batas ambang di antara laki-laki dan
perempuan. Ketentuan yang digunakan adalah menggunakan ambang batas
laki-laki utuk kategori kurus tingkat berat dan menggunakan ambang batas
pada perempuan untuk kategori gemuk tingkat berat.
Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi
berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa Negara
berkembang. Akhirnya diambil kesimpulan ambang batas IMT untuk
Indonesia adalah seperti table di bawah ini :
Tabel 1.2 Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia
Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat <17,0
Kekurangan berat badan tingkat 17,0-18,5
ringan
Normal >18,5-25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan >25,0-27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0
3) Lingkar lengan atas
Pengukuran lingkar lengan atas (LiLA) menggambarkan lemak
subkutan dan otot pada lengan, sehingga perubahan pada LiLA merefleksikan
bertambah/berkurangnya massa otot, massa lemak, atau keduanya.
Pengukuran LiLA pada lansia penting disebabkan : 1) distribusi lemak tubuh
ke sentral 2) sederhana dan mudah dilakukan.
4) Tebal Lipatan Kulit
Pengukuran tebal lipatan kulit (TLK) mempunyai berbagai
keterbatasan bila dipergunakan pada lanjut usia dikarenakan adanya perubahan
distribusi lemak tubuh, berkurangnya elastisitas kulit.
c. Penilaian/pemeriksaan laboratorium
Jenis pemeriksaan laboratorium, dipergunakan untuk mendeteksi status
defisiensi yang bersifat subklinis. Pemeriksaan biokimia yang umum dan sederhana
dilakukan adalah pengukuran kadar serum albumin, hemoglobin, hematocrit, serta
kolesterol serum.
Penilaian fungsi imun
Dasar pentingnya status imun dalam penentuan status gizi individu, khususnya
lanjut usia adalah adanya kemungkinan terdapatnya gangguan pada pembentukan
antibodi spesifik, fagositosis, dan sebagainya yang terdapat pada keadaan malnutrisi,
utamanya kekebalan seluler. Cara praktis untuk mengetahui hal tersebut adalah
dengan menghitung jumlah total limfosit. Nilai < 900 sel/mm3 memperlihatkan
malnutrisi energi protein berat.
d. Penilaian asupan makanan
Terdapat berbagai kendala dalam melakukan penilaian asupan makanan pada lanjut
usia dikarenakan :
1) Adanya gangguan memori jangka pendek. Keterbatasan ini, menyebabkan
metode recall 24 jam tidak dapat dilakukan,
2) Bila terdapat gangguan kognitif, akan mengakibatkan data yang diperoleh tidak
akurat,
3) Membutuhkan waktu yang lama untuk wawancara.

Cara yang dianjurkan untuk menilai asupan makanan adalah dengan ongoing
record atau check list yang pengisiannya dilakukan segera setelah selesai maka
2.7 Masalah Gizi Pada Lansia
1) Kehilangan Berat Badan
Kehilangan berat badan pada lansia dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian besar
yaitu :
a. Wasting, kehilangan berat badan tidak disadari pada umumnya karena asupan
yang tidak adekuat. Asupan yang tidak adekuat disebabkan oleh penyakit
maupun faktor psikososial.
b. Cachexia, kehilangan massa tubuh bebas lemak yang tidak disadari yang
disebabkan oleh proses katabolisme, ditandai oleh peningkatan rate metabolik
dan peningkatan pemecahan protein.
c. Sarcopenia, kehilangan massa otot yang tidak disadari sebagai bagian dari
proses menua. Kadang-kadang tidak ada penyakit yang mendasari.
Faktor risiko terjadinya malnutrisi pada lansia antara lain beberapa faktor medis
seperti selera makan rendah, gangguan gigi-geligi, disfagia, gangguan fungsi pada indera
penciuman dan pengecapan pernafasan, saluran cerna, neurologi, infeksi, cacat fisik dan
penyakit lain seperti kanker. Kurangnya pengetahuan mengenai asupan makanan yang
baik bagi lansia, kesepian karena terpisah dari sanak keluarga dan kemiskinan juga
menentukan status gizi lansia. Adanya faktor psikologis seperti depresi, kecemasan dan
demensia yang mempunyai kotribusi yang besar dalam menentukan asupan makanan dan
zat gizi seorang lansia.
Pada lansia yang dirawat di rumah sakit, beberapa keadaan seperti makanan
rumah sakit dengan pilihan dan rasa makanan yang kurang disukai, waktu makan terbatas,
tidak mampu makan sendiri, pemandangan, suara dan bau sekitar yang tidak
menyenangkan, kebutuhan meningkat karena penyakitnya, puasa untuk prosedur
pemeriksaan faktor dapat menjadi faktor risiko terjadinya malnutrisi.
2) Obesitas
Perubahan komposisi tubuh yang terjadi pada lansia memberikan kontribusi
terjadinya obesitas terutama obesitas sentral. Proporsi lemak intra abdominal meningkat
progresif dengan meningkatnya usia. Pada lansia dengan obesitas, penurunan berat badan
dapat menurunkan kesakitan karena arthritis, diabetes dan menurunkan risiko penyakit
cardiovaskuler dan meningkatkan kualitas hidup. Peningkatan aktifitas fisik pada lansia
dapat memperbaiki kekuatan otot dan kesehatan lansia secara keseluruhan.
Besarnya permasalahan ini akan meningkat bilamana masukan energi tidak
dikurangi saat aktivitas jasmaniah semakin menurun. Obesitas yang ektrim jarang terjadi
begitu seseorang masuk usia pensiun. Obesitas biasanya disebabkan oleh kebiasaan makan
yang jelek sejak usia muda. Kita menyadari adanya berbagai kerugian yang ditimbulkan
oleh kegemukan dalam usia lanjut. Gerakan manula yang gemuk akan menjadi lebih sulit
lagi.
3) Osteoporosis
Setelah usia 30 tahun, seorang individu mulai kehilangan massa tulangnya. Pada
wanita, kehilangan massa tulang akan semakin meningkat setelah menopause, sehingga
lansia wanita mempunyai risiko tinggi untuk patah tulang (Osteoporosis tipe I). Pada
lansia laki-laki juga mempunyai risiko untuk menderita patah tulang pada usia sangat
lanjut, yaitu setelah 70 tahun (Osteoporosis tipe II).
Osteoporosis dapat dicegah dengan asupan kalsium dan vitamin D yang cukup,
olahraga dan menghindari merokok dan minum minuman beralkohol. Bila sudah terjadi
osteoporosis, penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain menurunkan resorpsi
tulang dengan terapi sulih hormon dan biphosponat atau menstimulasi pembentukan tulang
dengan pemberian fluorida, calcitonin dan calcitriol.
4) Anemia Gizi
Anemia gizi dapat terjadi pada lansia karena asupan makanan yang menurun atau efek
samping obat-obatan. Pada umumnya lansia yang mempunyai berat badan rendah juga
menderita anemia. Anemia gizi yang terjadin pada lansia pada umumnya adalah defisiensi
besi, meskipun anemia defisiensi vitamin B12 juga sering ditemui.
Malnutri Pada Lansia
Malnutrisi seharusnya tidak terjadi lagi di abad modren ini. Namun di Inggris saja
ternyata dari hasil survey yang diselenggarakan oleh DHSS dan diterbitkan dalam tahun
1979 terlihat bahwa 3 persen dari jumlah subyek yang diteliti mengalami malnutrisi klinik.
Apabila angka ini, yang tidak mengikutsertakan kasus-kasus kegemukan, diterapkan dalam
keseluruhan populasi manula, maka akan terdapat 300.000 manula dengan diet tidak
memadai yang tanpa dapat dihindari membawa pengaruh buruk bagi kesehatan.
Kelainan gizi yang paling sering dijumpai dalam survey adalah obesitas, konsumsi
yang rendah pada asam folat, vitamin C, vitamin D, Vitamin B, zat besi dan kalsium.
Kaum manula yang menderita kesalahan gizi dapat dibagi menjadi tiga kelompok
malnutrisi umum, defesiensi nutrient tertentu dan obesitas.

2.8 Defisiensi gizi yang terjadi pada sebagian manula


1. Defisiensi Vitamin C
Gejala: rasa lemah dan mudah lelah, luka-luka pada mulut, gusi mudah berdarah, luka
lambat sembuhnya.
Sumber makanan : sari buah
2. Defisiensi Vitamin D
Gejala: osteomalasia, nyeri pada tulang, fraktur spontan, kadarkalsium serum rendah
Sumber makanan : (sinar matahari) produk susu & margarin yang di perkaya vitamin
D
3. Defisiensi Asam folat
Gejala : anemia megaloblastik, perasaan letih dan lesu, inflamasi kemerahan pada
lidah
Sumber makanan : sayuran berwarna hijau, ekstrak ragi.
4. Defisiensi Besi
Gejala : anemia hipokromik, perasaan mudah lelah, nyeri kepala, kuku yang rapuh
berbentuk sendok, lidah terasa sakit.
sumber makanan : daging

2.9. Malnutrisi subklinis


Sejumlah besar manula menderita malnutrisi subklinis. Ini berarti makanan yang
mereka makan tidak begitu buruk sehingga terlihat gambaran klinis malnutrisi, tetapi
simpanan nutrien dalam tubuh mengalami deplesi. Dalam keadaan stres yang menurunkan
konsumsi makanan atau meningkatkan kebutuhan gizi mereka, kelompok manula ini
cenderung memperlihatkan gejala klinis malnutrisi. Tanpa dapat dihindari mereka termasuk
kelompok dengan risiko tinggi timbulnya penyakit lain.
a. Penyebab malnutrisi pada manula
Malnutrisi biasanya tidak terjadi sebagai suatu keadaan yang terpisah tetapi dicetuskan
oleh problem sosial, jasmaniah ataupun medis lainnya.
1. Usia yang amat lanjut
Semakin bertambahnya kerapuhan tubuh pada usia yang amat lanjut akan
meningkatkan risiko malnutrisi.
2. Isolasi sosial dan ketersendirian
Di negara- negara barat dengan kehidupan yang lebih bersifat individualistik, empat
belas persen dari populasi manula hidup sendirian. Dengan bertambahnya umur
harapan hidup, presentase tersebut juga semakin meningkat. Di Indonesia,
kecenderungan seperti ini sudah mulai tampak di kota-kota besar di mana suami dan
istri sibuk mencari nafkah sehingga mereka tidak mempunyai waktu untuk
memperhatikan orangtua yang sudah mengalami kemunduran fisik. Seseorang yang
hidup sendirian sering tidak memperdulikan tugas memasak untuk menyediakan
makanannya, apalagi bila ia seorang manula. Manula yang baru saja kehilangan
pasangannya akan merasakan kesepian pada jam-jam makannya. Karena itu kontak
sosial demi kesejahteraan kaum manula merupakan masalah penting yang tidak boleh
diremehkan.
3. Nafsu makan berkurang
Ada beberapa sebab seorang manula dapat kehilangan nafsu makannya. Di masa tua,
kegiatan menurun, penyakit, dan dalam masa pengobatan dengan obat tertentu. Semua
faktor tersebut dapat mengurangi nafsu makan.
4. Ketidaktahuan
Pada umumnya kebiasaan makan dan diet terbentuk sejak kecil. Hal ini menyebabkan
seorang manula akan sulit diubah kebiasaan dietnya pada masa tua. Akan tetapi
pengalaman di Inggris menunjukkan bahwa dengan petunjuk yang jelas dan dorongan
moril dari petugas gizi dan keluarga, seorang manulapun bersedia menerima diet baru.
Penyuluhan sangatlah penting dilakukan sebelum dan sesudah seorang pensiun.
Kebanyakan perempuan tua mempunyai prasangka terhadap nilai-nilai dan kegunaan
jenis-jenis makanan tertentu. Jenis makanan praktis sering dianggap sebagai makanan
tidak bergizi, sekalipun sebenarnya banyak di antara makanan ini yang memiliki gizi
yang sama dengan makanan yang dimasak sendiri dan dengan demikian dapat
menambah variasi hidangannnya.
Contoh-contoh makanan praktis yang dapat diikutsertakan dalam diet kaum manula
adalah :
a. Sayur mayur yang dibekukan (dijual di pasar swalayan)
b. Daging, ayam dan ikan yang dibekukan ( di pasar swalayan)
c. Dendeng atau abon (kecuali untuk manula yang menderita diabetes)
d. Mie dan bihun instan
e. Jenis-jenis susu bubuk dalam kaleng
5. Gangguan Kejiwaan
Demensia senilis dijumpai pada 5 persen dari jumlah penduduk dalam usia pensiun.
Orang-orang tua ini sering lupa memasak ataupun memakan makanannya. Para
manula yang hidup sendirian tanpa dirawat oleh anak atau keluarganya kerapkali
menderita depresi dan apatis. Untuk kesulitan ini, panti-panti jompo memegang peran
yang sangat penting. Demikian pula, kelompok-kelompok pekerja sosial dan
keagamaan mendapatkan lapangan kerjanya untuk berbakti kepada masyarakat,
khususnya kaum jompo yang memerlukan uluran tangan orang lain pada saat-saat
mereka menghabiskan sisa-sisa umur mereka.
6. Ketidakmampuan jasmaniah
Sepuluh persen di antara para manula tinggal di rumah terus-menerus akibat
ketidakmampuan jasmaniahnya. Pada manula, ketidakmampuan ini mencakup
penyakit hemiplegia, artritis, penyakit parkinson dan cacat akibat kecelakaan.
7. Diet dengan tujuan terapi
Para ahli gizi dan dietisian tidak selalu menyadari bahwa beberapa jenis diet untuk
terapi dapat menimbulkan malnutrisi di antara para manula, misalnya :
a) Mempertahankan diet rendah kalori yang ketat setelah target pencapaian berat
badan ideal tercapai.
b) Menghindari makanan sumber hidrat arang dengan tujuan mengendalikan
penyakit diabetes.
8. Gigi-geligi
Gigi dan gusi yang sehat merupakan syarat mutlak agar seseorang dapat makan
dengan enak dan mengunyah dengan efektif. Masukan energi per hari pada manula
yang gigi geliginya baik. Hal ini terjadi karena makan merupakan pekerjaan yang
tidak menyenangkan dan orang-orang ini lama kelamaan akan memilih makanan yang
dilumatkan. Proses mengunyah makanan yang jelek kadang-kadang menjadi
penyebab timbulnya gangguan pencernaan.
Gigi geligi manula mungkin sudah banyak yang rusak dan copot sehingga
makanan harus diolah sehingga tidak perlu digigit atau dikunyah keras-keras.
Makanan yang dipotong kecil-kecil, lunak dan mudah ditelan akan sangat membantu
para manula dalam mengonsumsi makanannya.
Fungsi alat pencernaan dan kelenjer-kelenjernya juga sudah menurun,
sehingga makanan harus yang mudah dicerna dan tidak memberatkan fungsi kelenjer
pencernaan. Makanan yang tidak banyak mengandung lemak, pada umumnya lebih
mudah dicerna, tetapi harus cukup mengandung protein dan karbohidrat. Kadar serat
yang tidak dicerna jangan terlalu banyak, tetapi harus cukup tersedia untuk
melancarkan peristalsis dan dengan demikian melancarkan pula defaecatie dan
menghindarkan obstipasi.
Faktor lain yang mengganggu kondisi gizi manula secara tidak langsung
adalah kondisi psychis yang labil dan menjadi sangat sensitif. Kondisi ini akan
memberikan kesulitan kepada mereka yang mengurusnya. Manula demikian akan
banyak rewel mengenai makanan yang disediakan untuknya, bahkan mungkin tidak
mau makan karena apa yang dihidangkannya tidak berkenan di hatinya.

2.10 Penatalaksanaan Gizi Pada Lansia


a. Lansia sehat yang berada di tengah masyarakat
Keluarga berperan sangat besar dalam perawatan lansia. Lansia membutuhkan
bantuan dan atau perawatan dari keluarga dan orang-orang disekitarnya terutama pada saat
sakit dan tidak bisa merawat diri sendiri. Keadaan sosial ekonomi seorang lansia seperti
pendapatan, pekerjaan pendidikan dukungan dari keluarga atau masyarakat di sekitarnya juga
menetukan status gizi lansia. Beberapa rekomendasi gizi yang dapat diberikan pada lansia
yang hidup mandiri di tengah masyarakat antara lain :
1. Pola makan seimbang dengan varian bahan makanan
2. Sumber karbohidrat terutama dari karbohidrat komplek dan mengurangi refined
karbohidrat.
3. Sumber protein bervariasi antara protein hewani dan nabati
4. Sumber lemak terutama dari lemak tidak jenus, mengurangi sumber lemak jenuh dan
lemak trans
5. Cukup vitamin, mineral dan serat dengan mengonsumsi sayur dan buah
6. Cukup cairan
b. Lansia yang Dirawat Di Rumah Sakit
Lansia yang dirawat di rumah sakit pada umumnya dalam keadaaan multi patologis.
Beberapa tahap yang dilalui dalam pengelolaan gizi pada lansia yang dirawat di rumah sakit
adalah penapisan gizi, pemeriksaan klinis, antrometri, laboratorium, asesment diet, diagnosis
gizi, intervensi gizi dan monitoring.
Kebutuhan zat makro dan mikro pada lansia saat sakit, sering kali memerlukan asupan
gizi yang lebih dari kebutuhan pada saat seperti yang tercantum pada AKG tahun 2004.
Namun adanya penyakit yang diderita, selera makan yang menurun yang diperberat dengan
kondisi psikologis dari lansia menyebabkan asupan zat gizi lansia yang sakit tidak
mencukupi. Apabila hal tersebut berlaru-larut maka akan menyebabkan penuruanan status
gizi dan status kesehatan lansia yang pada akhirnya meningkatkan komplikasi penyakit, lama
rawat dan mortalitas pada lansia.
c. Pencegahan Malnutrisi
Malnutrisi pada manula dapat dicegah bila semua orang yang merawat manula
memahami factor-faktor penyebab dan risiko malnutrisi. Program pendidikan gizi ditujukan
bagi kaum lanjut usia, kelompok pra-pensiun dan bagi mereka yang akan merawat manula
merupakan upaya yang sangat besar nilainya.
Kursus pra-pensiun.
Meskipun kursus semacam ini tampaknya belum pernah diselenggarakan di
Indonesia, namun kita dapat mempelajari pengalaman di Negara-negara lain, seperti Inggris.
Di Inggris kursus semacam ini diselenggarakan oleh pejabat setempat bersama-sama
perusahaan bagi karyawan yang akan memasuki masa pensiun. Topik-topik dalam kursus gizi
untuk calon-calon pensiunan adalah ilmu gizi dasar, perencanaan menu, dorongan dan
ransangan untuk menimbulkan minat memasak pada diit seseorang khususnya laki-laki,
pencegahan kegemukan, manfaat serat dalam makanan, pentingnya gigi-geligi yang baik,
simpanan makanan untuk keadaan mendadak, nilai makanan praktis.
Simpanan makanan untuk keadaan mendadak. Kadang-kadang seseorang tidak dapat
berbelanja kebutuhan rumah tangganya akibat jatuh sakit atau cuaca jelek. Agar keadaan ini
jangan sampai membuat seorang manula tidak memiliki sesuatu untuk dimakan, dia harus
menyimpan makanan tertentu.
d. Pendidikan gizi.
Manula berumur 75 tahun yang sudah rapuh jasmaninya pun masih dapat menarik manfaat
dari pendidikan gizi. Pendidikan yang diberikan berdasarkan pada perubahan sederhana yang
akan memperbaiki dietnya.
Perubahan sederhana untuk memperbaiki diet bagi manula :
a. Minum satu gelas sari buah yang murni ( tidak dicampur air maupun gula ).
b. Sarapan dengan biji bijian utuh ( misalnya beras merah) dan telur setiap pagi.
c. Mengusahakan makan daging atau ikan paling tidak sekali dalam sehari.
d. Minum segelas susu sewaktu akan tidur.
e. Paling sedikit makan satu porsi sayuran setiap hari.

2.11 Prinsip gizi pada menopause


Fase reproduksi atau fase subur berlangsung sampai usia sekitar 45 tahun, pada masa
ini organ reproduksi wanita mengalami fungsi yang sebenarnya yaitu hamil dan melahirkan.
Fase akhir dalam kehidupan wanita setelah masa reproduksi berakhir disebut klimakterium
yang berlangsung secara bertahap. Kesiapan menghadapi menopause menurut Dini (2002)
mengonsumsi makanan bergizi yaitu makanan dengan gizi seimbang. Pemenuhan gizi yang
memadai akan sangat membantu dalam menghambat berbagai dampak negatif menopause
terhadap kinerja otak, mencegah kulit kering serta berbagai penyakit lainnya. Gizi seimbang
adalah memenuhi kebutuhan gizi perhari dengan asupan zat-zat gizi makanan yang
mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air.
Apabila cukup mengonsumsi gizi seimbang, tidak diperlukan lagi asupan gizi tertentu
untuk mencegah gangguan. Kebutuhan makanan yang diperlukan pada masa menopause atau
berhentinya hormon estrogen dalam tubuh. Terutama jika anda memiliki risiko terkena
gangguan tubuh tertentu yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang. Jenis makanan
tersebut diantaranya mengandung phytohormon estrogen, seperti kacang kedelai atau pepaya.
Selain itu sebaiknya mengonsumsi makanan yang mengandung vitamin D, seperti ikan tuna,
salmon, minyak ikan, telur dan susu. Meskipun vitamin D sendiri sebenarnya bisa diperoleh
dari sinar matahari yang dapat anda peroleh dengan mudah dan bebas.
Nutrisi
Bertambahnya usia menyebabkan beberapa organ tidak melakukan proses perbaikan
(remodelling) diri lagi. Misalnya, masa tulang tidak melakukan pembentukan kembali. Selain
itu, semakin tua aktivitas gerak yang dilakukan juga tidak sekuat dulu sehingga kalori yang
dikeluarkan juga berkurang. Selain itu kebutuhan metabolisme tubuh juga menurun. Semua
ini akan mengurangi energi yang dikeluarkan karena energi yang dikeluarkan lebih sedikit
ketika dibandingkan ketika usia muda. Dengan demikian, asupan makanan yang dikonsumsi
dalam jumlah yang sama, akan tersimpan dalam bentuk lemak.
Setiap orang harus memenuhi kebutuhan gizi setiap hari dengan beragam jenis. Tidak
ada bahan makanan yang memiliki kandungan zat gizi yang lengkap. Hal yang harus
diperhatikan adalah ketika tubuh mulai tua, umumnya memiliki kelelahan gangguan. Penting
untuk mengurangi atau tidak mengonsumsi bahan-bahan yang memang tidak baik bagi
penyakit atau tubuh di masa tua sehingga tidak memicu penyakit atau menurunkan kondisi
kesehatannya.
Kebutuhan Kalori
Kecukupan gizi pada usia menopause sama seperti kecukupan gizi pada kelompok
usia yang lebih muda. Satu-satunya pengecualian adalah penurunan kebutuhan akan energi
yang mengikuti pertumbuhan usia. Penyebabnya adalah kegiatan fisik yang biasanya akan
menurun bersamaan dengan bertambahnya usia sehingga energi yang dikeluarkan lebih
sedikit. Selain itu, perubahan pada komposisi dan fungsi tubuh menyebabkan penurunan
BMR ( Basal Metabolic Rate ), perubahan-perubahan pada berat badan dan komposisi berat
organ tubuh dan bertambahnya prevalensi penyakit. Apabila konsumsi energi tidak
berkurang, berat badan akan naik. Diet harus mempunyai nilai gizi yang tinggi untuk
menjamin terpenuhinya kebutuhan semua nutrien, sementara masukan energi (jumlah total
makanan) dikurangi.
Anjuran dalam mengonsumsi makanan pada masa menopause menurut (Brunner,1996) :
a. Karbohidrat
Dianjurkan makan lebih banyak karbohidrat kompleks, seperti biji-bijian utuh (whole
grain), roti dan pasta (makaroni atau spageti), kacang-kacangan, nasi, sayuran dan buah-
buahan. Mengurangi pengunaan gula dan makanan yang mengandung banyak gula.
Memperbanyak makanan yang kaya serat
b. Protein
Dianjurkan mengurangi konsumsi protein hingga tidak melebihi 15 persen dari jumlah
kalori. Memperbanyak protein dari sumber-sumber nabati dan mengurangi sumber-
sumber hewani
c. Lemak
Dianjurkan mengurangi jumlah konsumsi lemak, tidak melebihi 25-30 % dari jumlah
konsumsi kalori anda. Seiring pengurangan jumlah konsumsi lemak, rasio lemak yang
baik perlu ditingkatkan dan sebaliknya mengurangi lemak yang buruk.
d. Vitamin dan Mineral
Makan berbagai macam sayuran dan buah-buahan setiap hari, serta mengkonsumsi susu,
produk olahan susu, brokoli dan sayuran berdaun hijau yang merupakan sumber kalsium.

2.12 Dukungan Gizi Untuk Lansia


1. Indikasi dukungan gizi
Pada lansia, meskipun tidak menunjukkan tanda- tanda KEP yang jelas, dukungan
gizi seringkali diperlukan untuk mempertahankan kondisi kesehatan lansia dan
mempercepat penyembuhan penyakit yang diderita. Lansia yang tidak dapat mencerna
makanan dengan baik, kesadaran menurun, menderita penyakit kronis, mempunyai
masalah saluran cerna (malabsorpsi, maldigesti, gangguan motilitas) memerlukan
dukungan gizi. Dukungan gizi peroral diutamakan, namun apabila ada gangguan pada
saluran cerna bagian atas maka makanan enteral dapat diberikan. Namun bila saluran
cerna tidak dapat difungsikan, maka pilihan terakhir adalah nutrisi parenteral.
2. Suplemen Oral
Metoda yang baik untuk dukungan gizi adalah memberikan nutritionally dense, well
balanced diet. Makanan dapat diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi
tergantung pada kemampuan makan pasien. Seorang lansia dianjurkan untuk
mengkonsumsi normal diet seoptimal mungkin disesuaikan dengan kemampuannya.
a. Suplemen diet
Suplementasi diet daoat diberikan pada lansia dengan asupan makanan yang
terbatas. Kombinasi makanan padat/semi padat dengan makanan cair yang
diperkaya dengan zat gizi untuk meningkatkan asupan zat gizi pada lansia.
b. Suplemen komersial/pabrikan
Berbagai makanan cair formula pabrikan/komersial yang tersedia di pasaran dapat
diberikan dengan indikasi yang tepat sesuai dengan penyakit yang diderita.
makanan formula pabrikan pada umumnya sudah dibuat dalam komposisi
seimbang.
3. Makanan Enteral
Pemberian makanan enteral terbukti efektif memperbaiki status gizi. Pemberian
makanan melalui pipa terbukti akan efektive, (cost effective) dalam menyediakan
makro dan mikronutrien yang adekuat dan memelihara fungsi usus.
a. Pemilihan rute/jalur pemberian
Penentuan rute harus berdasarkan prognosis, kualitas hidup, kondisi mental
lansia
i. Gastric feeding
Pemberian makanan melalui pipa nasogastrik merupakan metoda yang
paling banyak dipakai karena paling mendekati kondisi normal dan
pemasangan yang mudah. Metoda lain yang dianjurkan apabila
terdapat sumbatan/gangguan pada saluran cerna bagian atas dan
nasofaring adalah percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG). Pada
PEG pipa kecil dipasangkan pada abdomen bagian luar menembus
sampai ke dalam lambung. Pemasangan menggunakan bantuan
endoskopi.
ii. Jejunal feeding
Jejunal feeding digunakan apabila ada sumbatan pada saluran cerna
bagian atas atau tidak berfungsinya lambung (tumor, operasi pada
lambung)
b. Pemilihan formula
Pemilihan formula makanan enteral pada lansia harus memperhatikan lama
penggunaan tube, komposisi makro dan mikronutrien, kemampuan pasien
mencerna makanan, penyakit yang diderita dan harga produk (formula
pabrikan)
c. Pemberian makanan enteral
i. Akses enteral
Pemberian makanan enteral yang aman tergantung pada pemasangan
pipa. Pipa nasogastrik mudah untuk dipasang dan dapat digunakan
dalam jangka pendek, namun risiko kejadian aspirasi sangat besar
terutama pada pasien dengan refluks gastroesofagus, gastroparesis,
gangguan fungsi menelan dan koma.
ii. Kecepatan dan volume
Pasien dengan pipa nasogastrik dapat diberikan makanan enteral
dengan metoda intermiten (bolus) atau kontinu. Namun apabila pipa
berada pada bagian distal lambung, maka sebaiknya kecepatan
pemberian disesuaikan dengan kemampuan intestinum untuk menyerap
makanan cair tersebut.
d. Komplikasi makanan enteral
Selain komplikasi yang umum dijumpai seperti iritasi, pipa yang berpindah
tempat dan pipa yang tersumbat, pada lansia ada beberapa komplikasi lain
yang dapat menghambat pemberian makanan melalui pipa. Banyak lansia
yang tidak dapat mentolerir pipa yang masuk melalui hidung. Perasaan tidak
nyaman pasien ini menyebabkan gelisah dan bahkan kadang-kadang mencabut
pipa yang sudah terpasang.
e. Masalah Lain
Masalah emosional akibat kondisi penyakit, prognosis, status kognitif, status
gizi dan keinginan pasien.
4. Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral diberikan pada lansia dengan asupan enteral yang tidak mencukupi
kebutuhan atau tidak memungkinkan diberikan makanan melalui enteral (kontra
indikasi diberikan makanan enteral). Bila nutrisi parenteral hanya digunakan sebagai
dukungan gizi tambahan, maka dapat diberikan melalui vena perifer dengan cairan
perifer. Namun bila terdapat indikasi untuk restriksi cairan, maka pilihan vena sentral
lebih tepat dengan lipid sebagai sumber utama.
5. Home Nutritional Support
Beberapa lansia harus terus mendapatkan makanan cair melalui pipa sepulang dari
rumah sakit. Beberapa faktor yang dapat menentukan keberhasilan pemberian
makanan enteral di rumah adalah gangguan penglihatan, pendengaran, kemampuan
motorik dan disfungsi kognitif. Keadaan sosial ekonomi pasien juga menentukan
kemampuan pasien untuk pembelian dan penyimpanan bahan-bahan makanan formula
yang baik.

2.13 Aspek Kesehatan Masyarakat


Aspek pelayanan kesehatan masyarakat terkait nutrisi lansia dapat diterapkan pada
beberapa kelompok masyarakat. Pelayanan gizi masyarakat ditujukan bagi lanjut usia yang
berada di keluarga, kelompok lanjut usia posyandu lanjut usia, pos pembinaan
terpadu/posbindu, dll) dan panti werdha.
1. Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang keberadaannya sangat penting
untuk mengayomi dan melindungi para lanjut usia. Lanjut usia akan merasa aman dan
tenteram bila berada di dalam lingkungan keluarga yang menberikan perhatian dan dukungan
pada lanjut usia dalam menjalani sisa hidupnya.
Pelayanan lanjut usia yang berada di keluarga dilakukan oleh tenaga kesehatan melalui
pendampingan tenaga kesehatan terhadap anggota keluarga dalam meningkatkan dan
mempertahankan status gizi lanjut usia. Pelayanan gizi lanjut usia di keluarga terdiri dari:
a. Pendidikan gizi
Pendidikan gizi pada lanjut usia yang dilakukan di rumah pada prinsipnya memberikan
pendidikan pada lanjut usia dan keluarganya yang bertujuan agar lanjut usia :
1) Mendapatkan gizi yang cukup sesuai dengan kondisinya (sehat/sakit).
2) Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
3) Mengatasi perubahan fungsi saluran pencernaan yang menyertai proses penuaan.
4) Mencegah dan menghambat osteoporosis dan mencegah terjadinya gangguan gizi
(kegemukan/obesitas atau kurang gizi termasuk kurang zat gizi mikro).
b. Penyediaan makanan
Penyediaan maakanan pada lanjut usia sebaiknya dilakukan oleh anggota keluarga atau
pengasuh khusus untuk lanjut usia. Tenaga kesehatan dan ahli gizi dari puskesmas
melakukan kunjungan rumah untuk memberikan nasihat diet dan membantu menyusun
menu untuk lanjut usia.
c. Rujukan
Pada kasus tertentu yang membutuhkan penanganan khusus dan lebih lanjut seperti tidak
ada asupan makan selama 3 hari terakhir dan terjadi penurunan status gizi ( menjadi
semakin kurus, lemah, lesu) dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan untuk mendapat
pelayanan kesehatan Iebih lanjut.

2. Kelompok Lanjut Usia


Kelompok lanjut usia ( Poksila ) adalah salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat (UKBM), sebagai wadah pelayanan kepada lanjut usia di masyarakat, dimana
proses pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama dengan Iintas
sektor , LSM, swasta dan organisasi sosial dengan kegiatan utama adalah upaya promotif dan
preventif. Kegiatan Kelompok Lanjut Usia dilakukan oleh kader terlatih yang didampingi
oleh tenaga kesehatan.
Pelayanan gizi pada kelompok lanjut usia diberikan dalam bentuk :
1. Penyuluhan Gizi.
Dilakukan oleh tenaga kesehatan atau kader terlatih . Topik penyuluhan disesuaikan
dengan masalah gizi yang ada pada lanjut usia.
2. Pemantauan status gizi
Pemantauan status gizi menggunakan KMS lanjut usia yaitu pengukuran tinggi badan dan
berat badan, dilakukan secara berkala (sebulan sekali) bersama -sama dengan pemeriksaan
kesehatan lain. Evaluasi status gizi dilakukan oleh kader yang dibimbing oleh tenaga
kesehatan.
3. Konseling gizi.
Diberikan pada lanjut usia yang membutuhkan diet khusus seperti menderita penyakit
denegeratif yang dapat dilakukan di Poksila atau dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan.
4. Pemberian makanan tambahan.
Pemberian makanan tambahan bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan status
gizi lanjut usia.
3. Panti Sosial Tresna Werda
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) merupakan suatu institusi dibawah naungan Dinas
Sosial yang merawat para lanjut usia.
Kegiatan pelayanan gizi di panti werdha meliputi :
a. Penyuluhan gizi
Dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan dari dinas kesehatan , puskesmas atau dari
fasIlitas
pelayanan kesehatan swasta . Topik penyuluhan disesuaikan dengan masalah gizi pada
lanjut usia
b. Pemantauan status gizi
Pemantauan status gizi dilakukan oleh pengurus PTSW atau kader dibantu oleh tenaga
kesehatan secara berkala bersama-sama dengan pemeriksaan kesehatan lain. Evaluasi
status gizi dilakukan setiap bulan dengan menggunakan KMS lanjut Usila
c. Penyelenggaraan makanan
Penyusunan diet dan menu dapat dilakukan untuk kelompok namun tetap
memperhitungkan kebutuhan lansia yang dirawat. Untuk kegiatan ini sebaiknya panti
memiliki ahli gizi sendiri agar pelayanannya dapat berlangsung dengan lebih baik.
d. Konseling gizi
Pada kasus yang memerlukan konseling gizi pada lanjut usia di PTSW, diberikan
konseling
oleh ahli gizi atau tenaga kesehatan yang terlatih. Bila ada masalah lebih lanjut sebaiknya
dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit terdekat.

Menu Sehat bagi Lansia

Perencanaan Makanan untuk Lansia

a. Makanan harus mengandung zat gizi dari makanan yang beraneka ragam, yang terdiri dari
: zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.
b. Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan terlalu kenyang. Porsi makan hendaknya diatur
merata dalam satu hari sehingga dapat makan lebih sering dengan porsi yang kecil.

Berikut ini adalah beberapa tips perencanaan makanan untuk usia lanjut :

1. Kebutuhan kalori usia lanjut relatif lebih rendah dibandingkan ketika masih muda
karena tingkat aktivitas tubuh yang berkurang. Angka kecukupan gizi yang
dianjurkan untuk usia lanjut di Indonesia adalah 1850 kalori untuk wanita dan 2000
kalori untuk pria.
2. Kurangi konsumsi makanan tinggi kalori untuk menjaga agar berat badan tetap ideal.
3. Konsumsi karbohidrat sehari sekitar 60% dari total kalori. Makanan sumber
karbohidrat adalah nasi, roti,mie, jagung, tepung terigu, kentang pasta, ubi, singkong,
dll.
4. Batasi konsumsi karbohidrat sederhana seperti gula pasir, sirup, dll.
5. Dianjurkan untuk mengkonsumsi sumber protein berkualitas baik seperti susu, telur,
ayam tanpa kulit, tempe, dan tahu. Protein yang dikonsumsi sebaiknya berjumlah 15-
20% dari total kalori atau sekitar 40-74 gram sehari.
6. Kebutuhan lemak dalam sehari tidak lebih dari 25% dari total kalori atau sekitar 50
gram sehari. Hindari makanan yang mengandung lemak jenuh dan kolesterol tinggi
seperti otak, kuning telur, jerohan, daging berlemak, susu penuh (full cream), keju
dan mentega.
7. Dianjurkan untuk lebih banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak
nabati atau lemak tidak jenuh, seperti tempe, tahu, minyak jagung, alpukat, dll.
8. Minum air putih 1500-2000 cc (6-8 gelas) sehari
9. Kurangi konsumsi garam, vetsin, dan makanan yang menggunakan pengawet
10. Tingkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat. Kebutuhan serat sehari untuk
usia lanjut adalah 25-30 gram. Serat banyak diperoleh dari sayuran dan buah-buahan,
serta biji-bijian seperti kacang.
11. Konsumsi cukup makanan yang mengandung kalsium, seperti susu, tempe, yogurt,
dll. Kalsium penting untuk kesehatan tulang.
12. Usahakan waktu makan teratur. Jadwal makan dapat dibuat lebih sering namun porsi
kecil.
13. Pilihlah makanan yang mudah dikunyah dan mudah dicerna serta hindari makanan
yang terlalu gurih dan manis.
14. Batasi minum kopi atau teh.
15. Hindari rokok dan alkohol.

Berikut ini merupakan contoh menu Lansia yang dapat diberikan pada lansia sehat
dengan kondisi status gizi normal
Contoh Menu Lansia Dalam 1 Hari

Waktu Pria (2200 kal) Wanita (1850 kal)


Makan

Pagi 1 gls nasi/ pengganti 1 gls nasi/ pengganti


1 butir telur (Telur Mata Sapi) 1 btr telur
100 gr sayuran (Cah Kangkung) 100 gr sayuran
1 gls susu skim 1 gls susu skim

Pukul 10.00 Snack/buah (Nagasari) Snack/buah

Siang 1 gls nasi 1 gls nasi


50 gr daging/ikan/unggas (Pepes Ikan) 50 gr daging/ikan/unggas
25 gr tempe/kacang-kacangan (Tempe bb 25 gr tempe/kacang-kacangan
Tomat)
150 gr sayuran (Sayur Asem) 150 gr sayuran
1 ptg buah (Semangka) 1 ptg buah

Pukul 17.00 Snack/ buah (Bubur Kacang Hijau) Snack/ buah

Malam 1 gls nasi 1 gls nasi


50 gr daging/ikan/unggas (Basho Daging) 50 gr daging/ikan/unggas
50 gr tahu (Hot Tahu) 50 gr tahu
150 gr sayuran (Sup Sayur) 150 gr sayuran
1 ptg buah (Pisang) 1 ptg buah
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Manusia lanjut usia (Manula) dimasukkan ke dalam kelompok rentan gizi,
meskipun tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan badan, bahkan
sebaliknya sudah terjadi involusi dan degenerasi jaringan dan sel-selnya.
Timbulnya kerentanan terhadap kondisi gizi disebabkan kondisi fisik baik
anatomis maupun fungsionalnya.
b. Kecukupan gizi pada manula sama seperti kecukupan gizi pada kelompok
penduduk yang lebih muda usianya. Satu satunya pengecualian adalah
penurunan kebutuhan akan energi yang mengikuti umur
c. Masalah gizi pada lansia :
1) Kehilangan Berat Badan
2) Obesitas
3) Osteoporosis
4) Anemia Gizi
d. Penyebab malnutrisi pada lansia
1) Usia yang amat lanjut
2) Isolasi sosial dan ketersendirian
3) Ketidaktahuan
4) Gangguan Kejiwaan
5) Ketidakmampuan jasmaniah
6) Diet dengan tujuan terapi
7) Gigi-geligi
e. Penatalaksanaan gizi pada lansia
1) Lansia sehat yang berada di tengah masyarakat
Keluarga berperan sangat besar dalam perawatan lansia. Lansia
membutuhkan bantuan dan atau perawatan dari keluarga/orang orang
disekitarnya terutama pada saat sakit dan tidak bisa merawat diri
sendiri.
2) Lansia yang Dirawat Di Rumah Sakit
Lansia yang dirawat di rumah sakit pada umumnya dalam keadaaan
multi patologis. Beberapa tahap yang dilalui dalam pengelolaan gizi
pada lansia yang dirawat di rumah sakit adalah penapisan gizi,
pemeriksaan klinis, antrometri, laboratorium, asesmen diet, diagnosis
gizi, intervensi gizi dan monitoring.
3) Pencegahan Malnutrisi
. Kursus pra-pensiun.
Simpanan makanan untuk keadaan mendadak.
Pendidikan gizi.

3.2 Saran
Dengan diketahuinya berbagai macam penyebab atau masalah pada lansia serta
penyelesaian masalah tersebut hendaknya dapat diaplikasikan untuk menambah pengetahuan
bagi orang orang yang berada atau tinggal dengan lansia dan menjadi pengetahuan bagi
lansia itu sendiri untuk mengatasi masalah masalah yang berkaitan dengan gizi lansia.
Telaah Jurnal 1
Judul : Hubungan Kehilangan Gigi dengan Status Gizi pada Lansia di Pantai
Werdha Salib Putih Salatiga
Metode : Penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan cross sectional. Populasi lansia di Panti Werdha Salib Putih
Salatiga bulan Agustus 2015 sebanyak 48 lansia. Metode pengambilan sampel
dengan cara purposiv sampling. Sampel penelitian 42 responden. Alat yang
digunakan data primer yaitu lembar observasi kehilangan gigi dan IMT uji
statistik menggunakan korelasi Kendall Tau.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan rata-rata responden kehilangan 15,76 gigi
dimana paling sedikit kehilangan 2 gigi dan paling banyak kehilangan 32 gigi.
Sebagian besar lansia status gizinya kurang sebanyak 24 responden (57,1%),
normal sebanyak 8 responden (19,0%), lebih sebanyak 2 responden (4,8%),
obesitas I sebanyak 7 responden (16,7%) dan obesitas II sebanyak 1 responden
(2,4%).Tidak ada hubungan antara kehilangan gigi dengan status gizi pada
lansia di Panti Werdha Salib Putih Salatiga dengan nilai p 0,135.
Kesimpulan : Tidak ada hubungan antara kehilangan gigi dengan status gizi pada lansia di
Panti Werdha Salib Putih Salatiga dengan nilai p 0,135
Telaah Jurnal 2
Judul : Hubungan Status Gizi dengan Kualitas Hidup Geriatri di Posyandu Lansia
Ngudi Sehat Bibis Baru Nusukan Banjarsari Surakarta
Metode : Pada penelitian ini menggunakan populasi sebagai responden dari semua
geriatri yang ada di Posyandu Lansia Ngudi Sehat Bibis Baru Nusukan
Surakarta. Pengambilan sampel yang peneliti lakukan menggunakan data
primer berupa kuesioner beserta pengukuran langsung pada responden.
Metode yang digunakan di dalam pengambilan sampel adalah metode Simple
Random Sampling yaitu dimana pemilihan subjek adalah secara acak, jadi
setiap populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai
sampel dan memenuhi kriteria restriksi yang ditentukan oleh peneliti dengan
kriteria inklusi berupa geriatri yang berusia 60-74 tahun, mengikuti posyandu,
bersedia menjadi responden, dan dapat mengerti pertanyaan yang diberikan
oleh peneliti, sedangkan kriteria eksklusi berupa geriatri yang menderita yang
menderita cacat fisik. dalam penelitian ini besar sampel yang digunakan sesuai
dengan perhitungan yaitu sebesar 30 responden.
Hasil : Berdasarkan hasil penelitian dengan 30 responden dapat diketahui bahwa
responden dengan status gizi baik dengan kualitas hidup yang baik sebanyak
14 reponden (82,4%) dan kualitas hidup yang buruk sebanyak 3 responden
(17,6%), sedangkan jumlah responden yang mengalami malnutrisi dengan
kualitas hidup yang baik sebanyak 3 reponden (23,1%) dan kualitas hidup
yang buruk sebanyak 10 responden (76,9%). Dari uji chi square tersebut dapat
diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi geriatri
dengan kualitas hidup geriatri (p = 0,002), didapatkan hasil bahwa geriatri
mempunyai status gizi baik memiliki kemungkinan untuk mempunyai kualitas
hidup 16 kali lebih besar daripada geriatri dengan status yang tidak baik (OR =
15,556).
Kesimpulan : Terdapat hubungan antara status gizi dengan kualitas hidup geriatri di
Posyandu Lansia Ngudi Sehat Bibis Baru Nusukan Banjarsari Surakarta.
Telaah Jurnal 3
Judul : Faktor Determinan Status Gizi Lansia Penghuni Panti Werdha Pemerintah
DKI Jakarta Tahun 2004.
Metode : Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian
potong lintang. Menggunakan data primer yang diperoleh melalui pengukuran
berat badan dan tinggi lutut, penimbangan makanan, pemeriksaan gigi dan
wawancara terstruktur terhadap penghuni panti werdha. Data sekunder berupa
struktur panti dan catatan/register penghuni panti. Besar sampel sebanyak 182
orang, sampel pada masing masing panti dipilih dengan cara sampel acak
sederhana.
Hasil : Status gizi lansia dinilai dengan menggunakan indeks masa tubuh dengan
rata rata IMT yakni 20,86 4,46. Lansia yang menderita gizi kurang
sebanyak 60 orang (32,97%). Sebagian besar lansia mempunyai gizi normal
(48,4%). Faktor determinan yang berhubungan dengan status gizi lansia
adalah pendidikan (OR : 2,53, 95% CI 1,12-5,71), Partisipasi kegiatan (OR:
2,33, 95% CI 1,03-5,20), Gigi asli (OR 3,33 95% CI 1,42-7,81), serta interaksi
penyakit penyerta dan konsumsi energy dengan OR masing masing pada
kelompok yang tidak mempunyai penyakit penyerta dan kelompok yang
mempunyai penyakit penyerta adalah 4,27 kali (95% CI : 1,09 16,81) dan
34,21 kali 95% CI 8,46 138,44. Faktor determinan yang tidak berhubungan
dengan status gizi lansia adalah umur, jenis kelamin, status kawin, lama
tinggal, keluhan kesehatan, gigi palsu, kunjungan keluarga, depresi, status
fungsional dan konsumsi protein.
Kesimpulan : Berdasarkan penelitian ini dampak status gizi kurang pada lansia cukup
besar. Faktor determianan yang berhubungan antara lain pendidikan,
partisipasi kegiatan, gigi asli, serta interaksi penyakit penyerta dan konsumsi
energy.
Daftar Pustaka

Kementrian Kesehatan RI. 2013. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Kementrian
Kesehatan. Jakarta

Kementrian Kesehatan RI. 2016. Situasi Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia. InfoDatin Pusat
Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Jakarta

Beck, E Mary. 2011. Ilmu Gizi dan Diet.Andi Offset. Yogyakarta

Sediaeotama, Achmad Djaeni. 2008. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Dian Rakyat.
Jakarta

Paatch, Erna Francin dkk. 2005. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. EGC. Jakarta

Ambarwati, Fitri Respati. 2012. Ilmu Gizi dan Kesehatan Reproduksi. Cakrawala Ilmu.
Yogyakarta.

Utama, Hendra. 2014. Geriatri. Badan Penerbit FK UI. Jakarta

Ridwan, Muhammad. 2015. Hubungan Kehilangan Gigi dengan Status Gizi Pada Lansia di
Panti Werdha Salib Putih Salatiga [Jurnal]. Stikes Ngudi Waluyo

Astuti, Fitri Andaru. 2012. Hubungan Status Gizi Dengan Kualitas Hidup Geriatri di
Posyandu Lansia Ngudi Sehat Bibis Baru Surakarta [Skripsi]. UMS

Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2014. Badan Pusat Statistik.
Jakarta

Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Pelayanan Gizi Lanjut Usia.Kemenkes. Jakarta.

Nisa, Hairun. 2004. Faktor Determinan Status Gizi Lansia Penghuni Panti Werdha
Pemerintah DKI Jakarta Tahun 2004[Jurnal]. Media Litbang Kesehatan XVI Nomor 3 tahun
2006. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai