Anda di halaman 1dari 7

Cara Duduk Tasyahud, Iftirosy atau Tawarruk?

Sep 17, 2010Muhammad Abduh Tuasikal, MScShalat72 Komentar

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Permasalahan ini adalah permasalahan fiqhiyah yang seringkali diperdebatkan.
Sebenarnya kita bisa saling tolelir dalam masalah ini jika memang didukung oleh dalil
yang sama-sama kuat. Namun demikian ada yang menjadikan tata cara shalat
semacam ini sebagai barometer ia ahlus sunnah ataukah bukan. Tasyahud akhir
haruslah iftirosy jika shalatnya dua rakaat, inilah ciri ahlus sunnah. Demikianlah realita
yang terjadi pada sebagian orang. Padahal yang benar dalam masalah ini ada silang
pendapat di kalangan para ulama. Sehingga tidak tepat dikatakan bahwa tata cara
tasyahud seperti tadi adalah barometer ahlus sunnah atau bukan.
Ringkasnya, artikel ini akan mengkaji lebih jauh, manakah pendapat terkuat dalam
masalah ini. Apakah duduk tasyahud akhir pada shalat dua rakaat adalah iftirosy atau
tawaruk. Tentu saja kesimpulan yang diambil adalah dari pemahaman dalil, bukan
sekedar kata si A atau si B, juga didukung oleh kaedah fiqhiyah yang tepat dan berbagai
kalam ulama. Dengan memohon taufik dan inayah Allah, semoga bermanfaat.

Apa itu Duduk Tawarruk dan Duduk Iftirosy?


Duduk iftirosy adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki
kiri kemudian menduduki kaki kiri tersebut. Sedangkan duduk tawarruk adalah duduk
dengan menegakkan kaki kanan dan menghamparkan kaki kiri ke depan (di bawah kaki
kanan), dan duduknya di atas tanah/lantai.[1]
Sebagaimana yang sering kita lakukan, duduk iftirosy adalah duduk seperti pada
tasyahud awwal dan duduk antara dua sujud. Sedangkan duduk tawarruk adalah duduk
seperti pada tasyahud akhir pada shalat empat rakaat (seperti pada shalat Zhuhur).

Perselisihan Ulama
Dalam masalah duduk tasyahud terdapat perselisihan pendapat di kalangan para
ulama. Perselisihan tersebut adalah sebagai berikut:
Pendapat pertama, yaitu pendapat Imam Malik dan pengikutnya, duduk tasyahud baik
awal dan akhir adalah duduk tawarruk. Hal ini sama antara pria dan wanita.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, duduk tasyahud
baik awal dan akhir adalah duduk iftirosy.
Pendapat ketiga, yaitu pendapat Imam Asy Syafii. Beliau membedakan antara duduk
tasyahud awal dan akhir. Untuk duduk tasyahud awal, beliau berpendapat seperti Imam
Abu Hanifah, yaitu duduk iftirosy. Sedangkan untuk duduk tasyahud akhir, beliau
berpendapat seperti Imam Malik, yaitu duduk tawarruk. Jadi menurut pendapat ini,
duduk pada tasyahud akhir yang terdapat salam baik yang shalatnya sekali atau dua
kali tasyahud- adalah duduk tawarruk. Duduk tawarruk terdapat pada setiap rakaat
terakhir yang diakhiri salam karena cara duduk demikian terdapat doa, bisa jadi lebih
lama duduknya. Sehingga duduknya pun dengan caratawarruk karena cara duduk
seperti ini lebih ringan dari iftirosy. Cara duduk demikianlah yang kita sering saksikan di
kaum muslimin Indonesia di sekitar kita yang banyak mengambil pendapat Imam
Syafii.
Pendapat keempat, pendapat Imam Ahmad dan Ishaq. Jika tasyahudnya dua kali, maka
duduknya adalahtawarruk di rakaat terakhir. Namun jika tasyahudnya cuma sekali,
maka duduknya di rakaat terakhir adalah duduk iftirosy.
Pendapat kelima, pendapat Ibnu Jarir Ath Thobari. Beliau berpendapat duduk tasyahud
dengan tawarruk maupun iftirosy, semuanya dibolehkan. Alasannya karena semuanya
diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Jadi boleh memilih dengan dua cara
duduk tersebut. Terserah mau melakukan yang mana. Ibnu Abdil Barr sendiri lebih
cenderung pada pendapat yang satu ini.[2]
Dalil Pendapat Pertama dan Kedua
Pendapat pertama: Imam Malik membangun pendapatnya berdasarkan hadits yang
shahih dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, beliau berkata,



Sesungguhnya sunnah ketika shalat (saat duduk) adalah engkau menegakkan kaki
kananmu dan menghamparkan (kaki) kirimu.[3]
Dalil lain yang digunakan adalah hadits Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu, beliau
berkata,
- -


- -

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan tasyahud kepadaku di
pertengahan dan di akhir shalat. Kami memperoleh dari Abdullah, ia memberitahukan
pada kami bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan padanya. Ia
berkata, Jika beliau duduk di tasyahud awwal dan tasyahud akhir, beliau duduk
tawarruk di atas kaki kirinya, lalu beliau membaca: [4]
Dalil di atas menyebutkan duduk tawarruk baik di pertengahan shalat maupun di akhir
shalat.
Pendapat kedua: Imam Abu Hanifah berdalil tentang duduknya iftirosy baik pada
tasyahud awwal dan akhir dengan hadits Aisyah radhiyallahu anha, beliau berkata,


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan tahiyyat pada setiap dua rakaat,
dan beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya.[5]
Juga berdasarkan hadits Wail bin Hujr radhiyallahu anhu bahwa beliau berkata,
.



Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat,
beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya.[6]
Dalam riwayat Tirmidzi, Wail bin Hujr berkata,

- -


Aku tiba di Madinah. Aku berkata, Aku benar-benar pernah melihat shalat Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau duduk yakni duduk tasyahud, beliau duduk
iftirosy dengan membentangkan kaki kirinya. Ketika itu, beliau meletakkan tangan kiri
di atas paha kiri. Beliau ketika itu menegakkan kaki kanannya.[7]
Demikian pula diriwayatkan dari Amir bin Abdullah bin Zubair, dari ayahnya (Abdullah
bin Zubair) , ia berkata,



Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika duduk pada dua rakaat, beliau duduk
iftirosy dengan membentangkan kaki yang kiri, dan menegakkan kaki kanannya.[8]
Riwayat di atas menyebutkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di saat duduk ketika
shalat, baik di waktu tasyahud maupun duduk yang lainnya, dan baik di rakaat terakhir
atau di pertengahan.

Dalil Pendapat Ketiga dan Keempat


Pendapat ketiga (Imam Asy Syafii) dan pendapat keempat (Imam Ahmad), masing-
masing memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kedua pendapat
tersebut menggabungkan seluruh riwayat yang menjelaskan tentang kedua jenis duduk
tersebut, yaitu duduk iftirosy dan juga duduk tawarruk. Sehingga semua dalil yang
dijadikan alasan oleh ulama Malikiyyah dan ulama Hanafiyyah sama-sama diamalkan
oleh Imam Ahmad dan juga Imam Asy Syafii. Mereka juga sepakat dalam hal duduk
tasyahud awwal, yaitu sama-sama iftirosy.
Sedangkan perbedaan kedua pendapat tersebut adalah dalam menyikapi duduk akhir
antara shalat yang memiliki satu tasyahud dengan shalat yang memiliki dua tasyahud.
Jelaslah bahwa untuk menyebutkan alasan dan dalil dari pendapat Imam Ahmad dan
Imam Asy Syafii adalah berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih yang telah
disebutkan pada dua pendapat sebelumnya. Ditambah lagi ada hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya dari Muhammad bin Amr bin Atha
bahwa beliau pernah duduk bersama beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Lalu kami pun menyebutkan tentang shalatnya Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam. Kemudian Abu Humaid As-Saidi berkata,







.
Aku adalah orang yang paling menghafal di antara kalian tentang shalat
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Aku melihatnya tatkala bertakbir, beliau
menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya. Jika ruku, beliau
menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Jika
mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang
belakangnya ke tempatnya. Jika sujud, beliau meletakkan kedua tangannya tanpa
menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya) dan
menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. Jika beliau duduk pada rakaat kedua,
maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy).
Jika duduk pada rakaat terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan
kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai bukan di atas kaki kiri- (duduk
tawarruk).[9]
Mengenai maksud Jika duduk pada rakaat terakhir , Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,
Dan dalam riwayat Abdul Hamid terdapat lafazh,
.

Sampai jika pada rakaat yang terdapat padanya salam. Dan dalam riwayat Ibnu
Hibban,
.

(Pada rakaat) yang menjadi penutup shalat, maka beliau duduk tawarruk dengan
mengeluarkan kaki kiri dan duduk di atas sisi kirinya.
Ditambah oleh Ibnu Ishaq dalam riwayatnya,

Lalu beliau mengucapkan salam. Dan dalam riwayat Isa dalam riwayat Ath Thahawi,



Tatkala mengucapkan salam, maka beliau salam ke sebelah kanannya salaamun
alaikum warahmatullah, dan ke sebelah kirinya pun seperti itu juga. Dan dalam
riwayat Abu Ashim dari Abdul Hamid dalam riwayat Abu Daud dan selainnya, mereka
berkata -yaitu para shahabat yang disebutkan-,


Engkau telah benar, memang demikian beliau shalat.
Dalam riwayat Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (192), terdapat lafazh,
.


Sehingga pada duduk yang terdapat salam (duduk tasyahud akhir), beliau menggeser
kaki kirinya dan duduk dan beliau duduk tawarruk di atas sisi kirinya.
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (1/297), dan Ahmad (5/424), terdapat
lafazh,
.

Sehingga pada rakaat yang diselesaikannya shalat padanya (rakaat terakhir).
Dalam riwayat An Nasaai (1262), terdapat lafazh,





Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam duduk pada shalat dua rakaat yang diakhiri
dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di sisi kiri.
Menguatkan Pendapat
Pendapat pertama dan kedua memiliki kelemahan karena berpegang pada satu macam
dalil dan meninggalkan yang lainnya. Kedua pendapat ini disanggah oleh Ibnu
Hazm rahimahullah,

Dan kedua pendapat tersebut kurang tepat dan menyelisihi ajaran (Nabi shallallahu
alaihi wa sallam) yang telah kami sebutkan.[10]
Ditambah lagi kedua pendapat tersebut menyelisihi hadits Abu Humaid yang
membedakan tata cara duduk tasyahud awwal dan akhir. Lihat saja dalam hadits Abu
Humaid jelas-jelas terbedakan,




.
Jika beliau duduk pada rakaat kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan
menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada rakaat terakhir, beliau
mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk
di atas lantai bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).

Bagaimana dengan Pendapat Imam Ahmad dan Imam Asy Syafii?


Abu Humaid membedakan antara duduk di akhir shalat dengan duduk yang bukan di
akhir shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau
menyebutnya dengan lafazh Jika beliau duduk pada rakaat kedua, maka beliau duduk
diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Dari lafazh ini
menunjukkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di pertengahan shalat dan bukan akhir
shalat. Lafadz dua rakaat bukanlah maksud dari riwayat ini, namun maksudnya
adalah rakaat yang bukan akhir shalat. Alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama: Lafazh setelahnya Jika duduk pada rakaat terakhir menunjukkan bahwa
lafazh sebelumnya bermakna yang bukan rakaat terakhir.
Kedua: Mengambil pemahaman dari hadits bahwa yang dimaksud setiap yang shalatnya
hanya ada sekali tasyahud, adalah duduk iftirosy, ini termasuk pemahaman yang
lemah. Karena ini berarti berpegang padamafhum adad (penarikan kesimpulan dari
suatu bilangan). Dalil semacam ini dinilai lemah oleh sebagian ulama. Al-Hafidz Ibnu
Hajar mengatakan,


Yang tepat, pemahaman mafhum al-adad tidaklah yakin, namun hanya bersifat
kemungkinan.[11]
Jika kita telah memahami hal ini, maka penyebutan dua rakaat yang disebutkan
dalam hadits bukanlah maksud, namun maknanya adalah duduk yang bukan rakaat
terakhir. Hal ini semakin dikuatkan dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,




Jika engkau duduk di pertengahan shalat, maka lakukanlah dengan thumaninah,
duduklah iftirosy dengan menghamparkan paha kirimu -agar engkau duduk diatasnya-,
lalu lakukanlah tasyahhud[12]
Hadits berikut juga mendukung pendapat Imam Asy Syafii,





Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam duduk pada shalat dua rakaat yang diakhiri
dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di sisi
kiri.[13] Di sini secara gamblang dikatakan bahwa beliau duduk tawarruk pada
tasyahud akhir shalat dua rakaat (artinya, hanya ada sekali tasyahud).
Adapun hadits Aisyah, Wail bin Hujr dan Abdullah bin Zubair, yang menjelaskan tentang
duduk iftirosy, di situ tidak disebutkan secara terperinci apakah duduk tersebut
dilakukan pada pertengahan ataukah pada akhir shalat, yang menunjukkan bahwa
hadits tersebut global dan tidak tafshil (terperinci). Jika kita beramal berdasarkan
keumuman duduk iftirosy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman
hadits Abdullah bin Umar yang menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak
merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat?!
Jika ada yang berkata, Hadits Wail bin Hujr dan yang semisalnya menyebutkan cara
duduk pada shalat dua rakaat, yang menunjukkan keumuman setiap shalat dua
rakaat.
Kami sanggah, Hadits Ibnu Umar lebih umum lagi, di mana Ibnu Umar mengatakan
sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk) dan beliau tidak menyebutkan rakaat
ke berapa, dan shalatnya berapa rakaat. Jika Anda beramal dengan keumuman hadits
Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits Abdullah bin Umar secara
umum, dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat.
Demikian pula, kita mengetahui bahwa shalat yang memiliki satu tasyahud bukan
hanya shalat yang berjumlah dua rakaat, namun di sana ada shalat yang berjumlah
satu rakaat saja, seperti shalat witir, ada pula shalat tiga rakaat dengan satu
tasyahhud, empat rakaat dengan satu tasyahhud, lima rakaat dengan satu tasyahhud,
tujuh rakaat di mana beliau duduk tasyahhud pada rakaat keenam dan tidak salam,
lalu bangkit menuju rakaat yang ketujuh lalu salam, sembilan rakaat dan beliau duduk
dirakaat yang kedelapan dan tidak salam, lalu melanjutkan ke rakaat yang kesembilan
lalu salam. Nah, bagaimana Anda menyikapi shalat tersebut? Sementara shalat tersebut
hanya menyebutkan shalat yang dua rakaat. Namun jika kita memahaminya
sebagaimana yang dipahami oleh Imam Asy-Syafii rahimahullah, maka setiap
permasalahan tentang tata cara duduk tersebut dapat dipahami dengan baik
berdasarkan hadits-hadits yang datang menjelasakan tentang permasalahan ini.
Kesimpulan, hadits Abu Humaid radhiyallahu anhu adalah hadits yang menjelaskan
tentang tata cara shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada seluruh shalat,
apakah itu shalat yang memiliki satu tasyahhud, maupun yang memiliki dua
tasyahhud. Jika duduk dilakukan di pertengahan shalat, maka yang dilakukan adalah
duduk iftirosy, dan jika duduk dilakukan pada akhir shalat, maka yang dilakukan adalah
duduk tawarruk. Sedangkan selain hadits Abu Humaid merupakan hadits yang bersifat
umum (belum terperinci). Maka hadits yang bersifat global tersebut semestinya dibawa
kepada hadits Abu Humaid yang merinci dan menjelaskan. Sebagaimana kaedah ini
sudah diketahui bersama dalam kaedah ushul. Wallahul muwaffiq.
Dari kesimpulan ini juga menunjukkan lemahnya pendapat kelima yang mengatakan
bolehnya memilih duduk mana saja yang diinginkan.

Pendukung dari Pendapat Ulama


Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

: :

.



Hadits ini merupakan argumen yang kuat bagi Imam Asy Syafii dan yang sependapat
dengannya bahwa keadaan duduk pada tasyahud awwal berbeda dengan duduk pada
tasyahud terakhir. Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah menyelisihi hal tersebut dan
berpendapat bahwa duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama. Ulama Malikiyyah
berpendapat, duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama-sama tawarruk. Sedangkan
ulama Hanafiyyah berpendapat sebaliknya, keduanya sama-sama duduk iftirosy.
Ada yang berpendapat bahwa mengapa berbeda antara tasyahud awwal dan akhir
karena hikmahnya adalah supaya bisa membedakan jumlah rakaat. Tasyahud awwal
masih ada gerakan setelah itu, sedangkan tasyahud akhir tidak demikian. Begitu pula
jika ada makmum masbuq (yang telat datang), maka ia dapat mengetahui berapa
rakaat yang telah dilakukan (oleh jamaah). Imam Asy Syafii juga beralasan bahwa
duduk tasyahud ketika shalat Shubuh sama dengan keadaan tasyahud akhir untuk
shalat lainnya karena dalilnya umum yaitu disebutkan dalam hadits,

Di rakaat terakhir.
Imam Ahmad sendiri memiliki pendapat yang berbeda-beda. Namun yang masyhur dari
beliau, dikhususkan duduk tawarruk ketika tasyahud akhir pada shalat yang memiliki
dua kali tasyahud.[14]
Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah berkata,




Imam Asy Syafii dan pengikutnya berkata, Hadits Abu Humaid dan para sahabatnya
secata tegas membedakan antara duduk tasyahhud awwal dan akhir. Sedangkan hadits-
hadits yang lainnya adalah hadits yang sifatnya mutlak. Sehingga wajib untuk dipahami
dengan hadits yang cocok dengannya. Hadits yang meriwayatkan duduk tawarruk, yang
dimaksud adalah duduk pada tasyahud akhir. Sedangkan hadits yang meriwayatkan
duduk iftirosy, yang dimaksud adalah tasyahud awwal. Inilah cara yang tepat dilakukan
untuk menggabungkan hadits-hadits yang shahih. Terlebih lagi hadits Abu Humaid telah
disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar sahabat radhiyallahu anhum. Wallahu
alam.[15]
Al Mubarakfuri rahimahullah berkata,


.

Pendapat yang lebih tepat, tidak didapatkan satu pun hadits yang menunjukkan secara
gamblang tentang disunnahkannya duduk di atas kaki kiri (duduk iftirasy) pada duduk
tasyahud terakhir. Hadits Abu Humaid jelas sudah terperinci. Sehingga hadits yang
bersifat global dibawa maknanya kepada yang terperinci.[16]
Abuth Thoyyib rahimahullah berkata,

.

Di dalam hadits Abu Humaid, hadits tersebut merupakan argumen yang amat kuat dan
tegas bahwa yang disunnahkan pada duduk tasyahud awwal adalah iftirosy dan duduk
tasyahhud akhir adalah tawarruk. Inilah pendapat Imam Asy Syafii. Inilah yang
menurutku lebih tepat. Wallahu Taala alam. [17]
Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan:
. { }


{ }
Pendapat yang dirinci oleh Imam Ahmad tertolak sendirinya dengan ucapan Abu
Humaid dalam haditsnya jika duduk pada rakaat terakhir, dan pada riwayat Abu
Dawud hingga pada rakaat yang padanya terdapat salam.[18]
Pendapat Imam Asy Syafii ini dikuatkan pula oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Ibnu
Hazm rahimahullah berkata,
, , :
,

,
,

. ,
, , ,
,
,
,

Di dalam shalat ada empat keadaan duduk, yaitu duduk di antara dua sujud, duduk
setelah sujud kedua dari setiap rakaat (duduk istirahat, pen), duduk tasyahud setelah
rakaat kedua (bangkit menuju rakaat ketiga pada shalat maghrib, dan shalat muqim
[orang yang menetap, tidak bersafar] pada shalat Zhuhur, Ashar dan Isya), dan duduk
untuk tasyahud pada akhir setiap shalat yang dia mengucapkan salam pada akhirnya.
Tata cara semua duduk yang disebutkan adalah dengan menjadikan bokong kirinya
berada di atas telapak kaki kirinya dengan menidurkan kakinya tersebut, menegakkan
kaki kanan, mengangkat tumitnya mendudukkannya diatas bagian dalam jari jemari
(kakinya) tersebut (maksudnya, melakukan duduk iftirasy, pen). Kecuali untuk duduk
yang diikuti dengan salam dari setiap shalat (duduk tasyahud akhir), maka caranya
adalah dengan duduk di lantai, dan bukan duduk di atas telapak kaki kirinya
(maksudnya, melakukan duduk tawarruk, pen).[19]

Penutup
Pembahasan ini menunjukkan bahwa pendapat terkuat adalah yang dipilih oleh Imam
Asy Syafii. Ketika tasyahud awal, duduknya adalah iftirosy. Ketika tasyahud akhir baik
yang dengan sekali atau dua kali tasyahud- adalah dengan duduk tawarruk. Demikian
pendapat terkuat dari hasil penelitian kami terhadap dalil-dalil yang ada.[20]
Semoga pembahasan ini semakin memberikan pencerahan pada kaum muslimin. Sekali
lagi ini adalah masalahkhilafiyah yang masih bisa kita saling toleransi. Sehingga tidak
tepat menjadikan masalah ini sebagai masalah manhajiyah, yang jadi barometer
seseorang ahlus sunnah ataukah bukan. Hanya Allah yang beri taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di malam hari, 10 Syawal 1431 H (18/09/2010) di Panggang-GK


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com

Anda mungkin juga menyukai