Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH COLABORATIVE LEARNING

HISPRUNG

Kelompok 3 PSIK 2012


Nita Purnamasari 115070207111007
Ulfia Fitriani 115070207111021
Adita Atisanta 125070200111039
Abdul Ghofur 125070200111041
Siti Khoiriya 125070201111009
Priskila P. 125070201111015
Ruli K. 125070201111017
Dian Najmi 125070206111001
I Gusti Ngurah 125070200131010
Rizky Oktavia 125070201131001
Maria Yanuarini 125070201131002
Titik Zahrotul 125070201131003
Mega F. 125070201131004

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
1. Definisi

Penyakit Hirchsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding usus,
meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang bervariasi
(Behram dkk, 1999).

Penyakit Hirschsprungs (PH) adalah suatu penyakit akibat obstruksi fungsional


yang berupa aganglionis usus, dimulai dari sfingter anal internal ke arah proximal
dengan panjang segmen tertentu, setidak tidaknya melibatkan sebagian rektum.
Penyakit Hirschprung (PH) dtandai dengan tidak adanya sel ganglion di pleksus
auerbach dan meissner (Kartono, 2004 dalam Trisnawan).

Hirschsprung (mengatakan "Hirschsprung") penyakit yang mempengaruhi usus


besar (kolon) dari bayi yang baru lahir, bayi, dan balita. Kondisi yang mencegah
gerakan usus (tinja) untuk melewati usus hilang karena sel-sel saraf di bagian bawah
usus besar mengalami cacat lahir. Sebagian besar, masalah dengan buang kotoran
mulai dari lahir, meskipun dalam kasus ringan gejala dapat muncul bulan atau tahun
kemudian (http://kidshealth.org/).

2. Klasifikasi

Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu:

a. Penyakit Hisprung segmen pendek

Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid, ini merupakan 70% dari kasus
penyakit hisprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak
perempuan.

b. Penyakit Hisprung segmen panjang

Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus
halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki maupun perempuan. (ngastiyah,
1997)
3. Epidemiologi

Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1


diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat
kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan
penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang
dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta. Laki-laki lebih
banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidens
pada kasus-kasus familial yang rata-rata mencapai sekitar 6% (Wyllie, 2000 ; Kartono,
2004).

Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.
Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada
penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital
dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan
yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan
kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan
urologi seperti refluks vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria
(mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk, 1990).

4. Etiologi

Penyakit Hirschsprung terjadi ketika sel-sel saraf di usus besar tidak terbentuk
sepenuhnya. Sel-sel saraf sangat penting untuk fungsi usus besar, yaitu untuk
mengontrol kontraksi otot yang menjaga makanan bergerak melalui usus. Pada bayi
berkembang sebelum kelahiran, kumpulan sel-sel saraf (ganglia) biasanya mulai
terbentuk antara lapisan otot sepanjang usus besar. Proses ini dimulai di bagian atas
usus besar dan berakhir di bagian bawah (rectum). Pada anak-anak yang memiliki
penyakit Hirschsprung, proses pertumbuhan saraf gagal diselesaikan. Paling umum,
ganglia gagal membentuk (aganglia) di segmen terakhir dari usus besar, rektum dan
kolon sigmoid. Kadang-kadang aganglia mempengaruhi seluruh usus besar dan bahkan
sebagian dari usus kecil (Mayo Clinic Staff, 2013). Ada berbagai teori penyebab dari
penyakit hirschsprung, dari berbagai penyebab tersebut yang banyak dianut adalah:
Teori karena kegagalan sel-sel krista neuralis untuk bermigrasi ke dalam dinding
suatu bagian saluran cerna bagian bawah termasuk kolon dan rektum. Akibatnya
tidak ada ganglion parasimpatis (aganglion) di daerah tersebut. Sehingga
menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen
terlambat serta dapat menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding
kolon di bagian proksimal sehingga timbul gejala obstruktif usus akut, atau
kronis tergantung panjang usus yang mengalami aganglion (Nurko, 2007;
Kessman, 2006). Normal migrasi sel pada umur kehamilan 6-12 minggu.
Kemungkinan terhentinya migrasi sel akibat dari adanya faktor genetik, faktor
toksin, dan infeksi.

Tidak jelas apa yang menyebabkan penyakit Hirschsprung. Kadang-kadang


terjadi dalam keluarga dan mungkin dalam beberapa kasus terkait dengan
mutasi genetik. Mutasi gen banyak dikaitkan sebagai penyebab terjadinya
penyakit Hirschsprung. Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan
neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung. Gen lain yang
berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial yang
diturunkan dari faktor gen yaitu gen endhotelin-B dan gen endothelin -3.

5. Patofisiologi

Terlampir

6. Faktor Resiko

Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan


dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 % terbatas di
daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai
seluruh usus sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik sering terjadi pada
anak dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding
usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus
(Budi, 2010).
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan
pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi 3 aterm
dengan berat lahirKg, lebih banyak laki laki dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer,
2000)

Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri
adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan. Sering terjadi pada anak
dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus,
gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.

7. Manifestasi Klinis

o Yang muncul di bayi baru lahir dan balita adalah:

Kesulitan pada pergerakan bowel

Kegagalan mengeluarkan mekonium sesaat setelah lahir

Gagal mengeluarkan feces setelah 24-38 jam kelahiran

Tidak teratur dan pengeluaran feces yang sangat cepat

Jaundice

Sulit makan

Peningkatan bb rendah

Muntah

Diare yang berair (pada bayi baru lahir)

o Gejala pada anak yang lebih tua :

Konstipasi yang semakin memburuk

Feces keras

Malnutrisi
Keterlambatan pertumbuhan

Perut menggembung

8. Pemeriksaan diagnostic

1. Radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit


Hirschsprung.Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak
rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus
besar.Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:

a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang


panjangnya bervariasi.

b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke


arah daerah dilatasi.

c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.


Terlihat gambar barium enema penderitaHirschsprung. Tampak rektum yang
mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-
48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya
barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.Sedangkan pada
penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka
barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.

2. Biopsy Rectal

Metode definitif untuk mengambil jaringan yang akan diperiksa adalah dengan
biopsy rectal full-thickness.

Spesimen yang harus diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis dentata
karena aganglionosis biasanya ditemukan pada tingkat tersebut.

Kekurangan pemeriksaan ini yaitu kemungkinan terjadinya perdarahan dan


pembentukan jaringan parut dan penggunaan anastesia umum selama prosedur
ini dilakukan.

3. Simple Suction Rectal Biopsy

Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai teknik
mengambil jaringan untuk pemeriksaan histologist

Mukosa dan submukosa rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau silinder
khusus memotong jaringan yang diinginkan.

4. Manometri Anorektal

Manometri anorektal mendeteksi refleks relaksasi dari internal sphincter setelah


distensi lumen rektal. Refleks inhibitorik normal ini diperkirakan tidak ditemukan
pada pasien penyakit Hirschsprung.
Swenson pertama kai menggunakan pemeriksaan ini. Pada tahun 1960,
dilakukan perbaikan akan tetapi kurang disukai karena memiliki banyak
keterbatasan. Status fisiologik normal dibutuhkan dan sedasi seringkali penting.
Hasil positif palsu yang telah dilaporkan mencapai 62% kasus, dan negatif palsu
dilaporkan sebanyak 24% dari kasus.

Karena keterbatasan ini dan reliabilitas yang dipertanyakan, manometri anorektal


jarang digunakan di Amerika Serikat

Keunggulan pemeriksaan ini adalah dapat dengan mudah dilakukan diatas


tempat tidur pasien.

Akan tetapi, menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung secara patologis dari


sampel yang diambil dengan simple suction rectal biopsy lebih sulit dibandingkan
pada jaringan yang diambil dengan teknik full-thickness biopsy

Kemudahan mendiagnosis telah diperbaharui dengan penggunaan pewarnaan


asetilkolinesterase, yang secara cepat mewarnai serat saraf yang hipertropi
sepanjang lamina propria dan muskularis propria pada jaringan.

9. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan Penyakit Hirschsprung terdiri dari tindakan non bedah dan


tindakan bedah. Tindakan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita
sampai pada saat operasi defenitif dapat dikerjakan. Tindakan bedah pada penyakit ini
terdiri dari tindakan bedah sementara yang bertujuanuntuk dekompresi abdomen
dengan cara membuat kolostomi pada kolon yangmempunyai ganglion normal di
bagian distal dan tindakan bedah definitif yangdilakukan antara lain menggunakan
prosedur Duhamel, Swenson, Soave, dan Rehbein.
Tindakan Bedah

a. Tindakan Bedah Sementara

Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa


kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini di
maksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis

sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya.

Manfaat lain dari kolostomi adalah : menurunkan angka kematian pada saat dilakukan
tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung
yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose (Fonkalsrud
dkk,1997; Swenson dkk,1990).

b. Tindakan Bedah Definitif

(i) Prosedur Swenson

Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan operasi
tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit
Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi
dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea
dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam
pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang di tinggalkan.
Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan
melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2cm rektum
bagian anterior dan 0,5-1cm rektum posterior (Kartono,1993; Swensondkk,1990;
Corcassone,1996; Swenson,2002).

Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen,melakukan biopsi eksisi


otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat
mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati
saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik
terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang
aganglionik) keluar melalui saluran anal.

Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior
dan 0,5-1 cm pada bagian posterior,selanjunya dilakukan anastomose end to end
dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2
lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus
dikembalikan ke kavum pelvik/abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan
kavum abdomen ditutup (Kartono,1993; Swenson dkk,1990).

(ii) Prosedur Duhamel

Prosedur ini di perkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan


diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon
proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang
aganglionik,menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding
anterior kolon proksimalyang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan
anastomose end to side Fonkalsrud dkk,1997). Prosedur Duhamel asli memiliki
beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan
pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu
panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel,diantaranya :

1.Modifikasi Grob(1959) :

Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal

setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia;

2.Modifikasi Talbert dan Ravitch:

Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side yang
panjang;

3.Modifikasi Ikeda:
Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8
hari kemudian;

4.Modifikasi Adang:

Pada modifikasi ini, kolon yang di tarik transanal dibiarkan prolaps sementara.
Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah
dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem
dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem di sini lebih dititikberatkan pada fungsi
hemostasis (Kartono,1993).

(III) Prosedur Soave

Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959


untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun
1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung. Tujuan utama dari
prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian
menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang
telah dikupas tersebut (Reding dkk,1997; Swenson dkk,1990).

(iv) Prosedur Rehbein

Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan
anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator
ani (2-3 cm diatasanal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan
intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi
secara rutin guna mencegah stenosis(Swenson dkk,1990).

10. Komplikasi

Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakn bedah penyakit hisprung dapat
digolongkan atas

1) Kebocoran anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang inadekuat pada kedua tepi
sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur
businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis
yang terljadi akibat kebocoran anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga pelvic,
abses intra abdomen, peritonisis, sepsis dan kematian.

2) Stenosis

Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka daerah anastomose, serta prosedur bedah yang
dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson
atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan
bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi dapat berupa
kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga vistula perianal.

3) Enterokolitis

Enterokolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus halus.
Semakin berkembang penyakit hirschprung maka lumen usus halus makin dipenuhi
eksudat fibrin yang dapat meningkatkan resiko perforasi (perlubangan saluran cerna) .
Proses ini dapat terjadi pada usus yang aganglionik maupun ganglionik. Enterokolitis
terjadi pada 10-30% pasien penyakit Hirschprung terutama jika segmen usus yang
terkena panjang

Tindakan yang dapat dilakukan pada pasien dengan tanda-tanda enterokolitis adalah:

a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit.

b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi.

c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari.

d. Pemberian antibiotika yang tepat.


Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada pasien dengan
endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab kecacatan dan kematian
pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson
adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis
anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi
klinis enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau
atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau busuk. Enetrokolitis nekrotikan
merupakan komplikasi paling parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal
yang sulit pada megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca
pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan enterokolitis
berulang pasca bedah.

4) Gangguan Fungsi Sfinkter

Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima universal
untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau kecipirit merupakan parameter
yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi,
meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan
keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-
sedikit dan sering.

11. Pencegahan
DAFTAR PUSTAKA

Kessman JMD. 2006. Hirschsprung Disease: Diagnosis and Management.


American Family Physician.

Mayo Clinic Staff. 2013. Hirschsprungs Disease. (Online), .


(http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/hirschsprungs-
disease/basics/causes/con-20027602), diakses 23 Februari 2015.

Nurko SMD. 2007. Hirschsprung Disease. Center for Motility and Functional
Gastrointestinal Disorders.

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirchsprung. Jakarta : Sagung Seto

http://kidshealth.org/parent/medical/digestive/hirschsprung.html

Levitt M, Pena A. 2007. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare


Diseases. (Online), (http://www.ojrd.com/content/2/1/33), diakses 23 februari 2015.

Irawan, Budi. 2003. Pengamatan Fungsi Anorektal pada Penderita Penyakit


Hirschsprung Pasca Operasi Pull-Through. Fakultas Kedokteran. Medan: Universitas
Sumatera Utara.

Sari, Kiki Aulia. 2010. Gambaran Penderita Hirschsprung pada Anak Usia 0-14
Tahun Di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2005-2009. Fakultas Kedokteran.
Medan: Universitas Sumatera Utara.

Fiorino K, Liacouras CA. Congenital aganglionic megacolon (Hirschsprung


disease). In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, eds. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2011:chap 324.3.

http://emedicine.medscape.com/article/927029-clinical#a0217 anonim. diakses tanggal


21 februari 2015

Betz, Cealy L., Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik.
Jakarta : EGC

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC


Brunner and Suddarth. 1996. Text Book of Medical-Surgical Nursing. Jakarta:
EGC.

Carpenito.LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Alih bahasa


Monica Ester.Jakarta : EGC.

Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi ke-3.Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai