Anda di halaman 1dari 6

Analisis Surat Berharga Syariah Negara kesesuaiannya dengan prinsip Syariah

Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN atau sukuk Negara adalah surat
berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian
penyertaan terhadap asset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Asset
SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan atau barang milik Negara yang memilki nilai
ekonomis, berupa tanah dan atau bangunan maupun selain tanah atau bangunan, yang dalam
rangka penerbitan SBSN dijadikan sebagi dasar penerbitan SBSN. SBSN merupakan bagian
dari surat berharga Negara, selain surat utang Negara (SUN) perbedaan SBSN dengan SUN
adalah dalam hal imbal hasil yang diberikan. SUN masih mengandung riba sebab memberikan
imbalan berupa bagi hasil.
SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik
dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Terdapat perusahaan penerbit SBSN yang
kegiatannya melaksanakan kegiatan penerbitan SBSN yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang RI No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Dengan kata lain SBSN
atau sukuk Negara ini adalah suatu instrument utang piutang tanpa riba sebagaimana obligasi,
di mana sukuk ini di terbitkan berdasarkan suatu asset acuan yang sesuai dengan prinsip
syariah.
Jadi sukuk adalah sebagai sertifikat dari suatu nilai yang dipresentasikan setelah menutup
pendaftaran, bukti terima nilai sertifikat, dan menggunakannya sesuai rencana. sama halnya
dengan bagian dan kepemilikan atas aset yang jelas, barang, atau jasa atau modal dari suatu
proyek tertentu atau modal dari suatu aktivitas investasi tertentu.
Sukuk pada prinsipnya mirip dengan obligasi konvensional, dengan perbedaan pokok
antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya
suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang menjadi
dasar penerbitan sukuk, dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun
berdasarkan prinsip-prinsip bagi syariah. selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah
agar instrumen keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir.
Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 31/DSN-MUI/IX/2002 sukuk adalah suatu
surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada
pemegang obligasi syariah. sukuk mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada
pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi
pada saat jatuh tempo.Sedangkan menurut Keputusan Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan No. KEP-130/BL/2006 tahun 2006 Peraturan No. IX .A. 13, sukuk dalah
efek syariah berupa sertufikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian
penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas kepemilikan aset berwujud tertentu
nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu, dan
kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu.
SBSN ini berdasarkan prinsip syariah menggunakan konsep Imbalan bukan bunga
sebagaimana dikenal dalam instrumen keuangan konvensional dan diperlukannya sejumlah
tertentu aset yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan transaksi dengan menggunakan
Akad berdasarkan prinsip syariah. Metode atau struktur pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah pada dasarnya mengikuti Akad yang digunakan dalam melakukan transaksi. Beberapa
jenis Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan surat berharga syariah, antara lain, meliputi
Ijarah, Mudarabah, Musyarakah, Istishna, dan Akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah, serta kombinasi dari dua atau lebih dari Akad tersebut. Sejalan dengan semakin
meluasnya penggunaan prinsip syariah di pasar keuangan dalam dan luar negeri, yang ditandai
dengan semakin banyaknya negara yang menerbitkan instrumen pembiayaan berbasis syariah
dan semakin meningkatnya jumlah investor dalam instrumen keuangan syariah

DSN MUI telah mengeluarkan 6 fatwa terkait dengan penerbitan Sukuk Negara, yaitu:

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga


Syariah Negara
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 70/DSN-MUI/VI/2008 tentang Metode
Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease
Back
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara Ijarah Sale and Lease Back.
Fatwa Nomor 76/DSN-MUI/VI/2010 tentang SBSN Ijarah Asset to be Leased.
Fatwa Nomor 95/DSN-MUI/VI/2014 tentang SBSN Wakalah.

Sedangkan opini syariah adalah :

Pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh pihak yang memiliki kewenangan dan
keahlian di bidang syariah, yang menyatakan bahwa sukuk yang diterbitkan tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.

Aset SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau Barang Milik Negara yang memiliki nilai
ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang
dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN.

Akad adalah perjanjian tertulis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, ada
beberapa jenis SBSN yang melibatkan akad-akad muamalat.

Akad adalah perjanjian tertulis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, ada
beberapa jenis SBSN yang melibatkan akad-akad muamalat, yaitu:
Metode atau struktur pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pada dasarnya mengikuti
Akad yang digunakan dalam melakukan transaksi. Beberapa jenis Akad yang dapat digunakan
dalam penerbitan surat berharga syariah, antara lain, meliputi Ijarah, Mudarabah, Musyarakah,
Istishna, dan Akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, serta kombinasi dari
dua atau lebih dari Akad tersebut.
Dalam FATWA DSN MUI NO: 76/DSN-MUI/ VI/2010, terdapat ketentuan khusus
tentang SBSN Ijarah ASSET TO BE LEASED. Beberapa ketentuan tersebut ialah:
1. Pemerintah boleh melakukan transaksi yang terkait dengan penerbitan SBSN dengan
Perusahaan Penerbit SBSN yang didirikan oleh Pemerintah atau dengan pihak lain yang
ditunjuk oleh Pemerintah.
2. Pemerintah mengalihkan kepemilikan hak atas sebagian asset yang akan dijadikan Obyek
Ijarah Asset To Be Leased kepada Perusahaan Penerbit SBSN atau pihak lain melalui
wakilnya yang ditunjuk.
3. Pemerintah atau Perusahaan Penerbit SBSN menerbitkan SBSN sebagai bukti kepemilikan
atas bagian ( )dari Obyek Ijarah Asset To Be Leased, yang dibeli oleh investor pada harga
tertentu sesuai kesepakatan.
4. Perusahaan Penerbit SBSN atau pihak lain melalui wakilnya yang ditunjuk, wajib
menyediakan Obyek Ijarah Asset To Be Leased sesuai dengan kesepakatan.
5. Pemerintah atau pihak lainnya menyewa Obyek Ijarah Asset To Be Leased dengan
memberikan imbalan (ujrah) kepada Pemegang SBSN secara periodik maupun sekaligus
sesuai kesepakatan selama jangka waktu SBSN berdasarkan masa sewa.
6. Pemerintah atau pihak lainnya sebagai Penyewa wajib memelihara dan menjaga Obyek
Ijarah Asset To Be Leased sampai dengan berakhirnya masa sewa.
7. Pemerintah dapat membeli Obyek Ijarah Asset To Be Leased pada saat SBSN jatuh tempo
dengan harga yang disepakati.
8. Pemerintah dapat membeli sebagian atau seluruh Obyek Ijarah Asset To Be Leased sebelum
jatuh tempo SBSN dan/atau sebelum berakhirnya masa sewa Obyek Ijarah Asset To
Be Leased, dengan membayar harga sesuai kesepakatan
9. Untuk pembelian Obyek Ijarah Asset To Be Leased sebelum jatuh tempo sebagaimana
dimaksud pada angka 9, para pihak melakukan perubahan atau pengakhiran terhadap akad
SBSN.
10. Pemegang SBSN dapat mengalihkan kepemilikan SBSN Ijarah Asset To Be Leased kepada
pihak lain dengan harga yang disepakati.
Saat ini pemerintah telah membuat suatu terobosan untuk mencari sumber-sumber
pembiayaan baru. Salah satu terobosan tersebut adalah dengan menerbitkan Sukuk Negara
khusus untuk pembiayaan infrastruktur (project sukuk). Sebagaimana disebutkan dalam
Undang-Undang nomor 19 tahun 2018 tentang Surat Berharga Syariah Negara, tujuan
penerbitan SBSN atau Sukuk Negara adalah untuk pembiayaan defisit APBN dan pembiayaan
proyek infrastruktur milik pemerintah. Peran Sukuk negara dalam membiayai pembangunan
infrastruktur juga terus mengalami peningkatan. Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 56 tahun 2011 tentang Pembiayaan Proyek melalui Penerbitan SBSN, pemerintah telah
mengembangkan pembiayaan infrastruktur melalui penerbitan Sukuk Negara. Implementasi
hal tersebut adalah dengan menerbitkan Sukuk Negara berbasis pembiayaan proyek atau Sukuk
Negara dengan seri PBS (Project Based Sukuk) pada tahun 2012. Selain seri PBS, Sukuk
Negara Ritel yang diterbitkan sejak tahun 2012 juga digunakan untuk pembiayaan proyek
infrastruktur.
Sukuk Negara dengan seri PBS menggunakan akad Ijarah Asset to be Leased, dalam
akad ini dibuat suatu struktur yang memungkinkan pemerintah menyewa aset (proyek
infrastruktur) yang akan diwujudkan di masa depan (sesuai masa konstruksi), namun
pemerintah dapat membayar sewa proyek tersebut sejak dimulainya masa konstruksi. Investor
sukuk (sukuk holders) akan menerima imbalan dari nilai sewa yang telah disepakati. Karena
menggunakan akad ijarah (yang berarti sewa) maka imbalan yang diterima oleh investor
bersifat tetap (fixed return). Imbalan sewa disebut juga dengan ujrah. Namun, dikarenakan
proyek yang dibangun tidak menghasilkan arus penerimaan dan bersifat layanan kepada
masyarakat, maka imbalan yang diberikan kepada investor Sukuk Negara bukan berasal dari
kinerja infrastruktur tersebut. Pemerintah dapat membayar ujrah dari sumber penerimaan
lainnya, misalnya pajak atau PNBP.

Maksud prinsip- prinsip syariah di pasar modal adalah prinsip-prinsip hukum Islam dalam
kegiatan di bidang modal berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI), baik fatwa DSN -MUI yang telah ditetapkan, maupun fatwa DSN-MUI yang
belum ditetapkan dalam peraturan Bapepam dan LK. Pada BAB II pasal 2 Fatwa Dewan
Syariah Nasional No. 40/DSN-MUI/X/2003 Tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum
Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal berbunyi:

1) Pasar Modal beserta seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai Emiten, jenis efek
yang diperdagangkan dan mekanisme perdagangannya dipandang telah sesuai dengan Syariah
apabila telahmemenuhi prinsip-prinsip Syariah.

2) Suatu efek dipandang telah memenuhi Prinsip-prinsip Syariah apabila telah memperoleh
Pernyataan Kesesuaian Syariah.

Kegiatan pembiayaan dan investasi di pasar modal pada prinsipnya adalah kegiatan yang
dilakukan oleh pemilik harta (shabibul maal) terhadap emiten (pemilik usaha), dimana pemilik
harta berharap memperoleh keuntungan atau manfaat tertentu. Pada dasarnya kegiatan
investasi di pasar modal sama seperti investasi lain, yaitu mengutamakan kehalalan dan
keadilan. Namun secara garis besar, prinsip-prinsip tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Pembiayaan atau investasi hanya bisa dilakukan jika aset atau kegiatan usaha yang dilakukan
termasuk usaha halal, spesifik serta bermanfaat. Dengan sesuai syarat maka investasi bisa
dilakukan.

2) Dalam pasar modal syariah, uang merupakan pertukaran nilai yang bisa digunakan. Selama
pemilik dana atau pemilik modal memberikan investasinya, maka ia akan memperoleh
keuntungan dari bagi hasil usaha tersebut dalam bentuk deviden. Hal ini juga mengharuskan
pembiayaan dan investasi harus pada mata uang yang sama dengan pembukuan kegiatan.

3) Sesuai prinsip yang pertama, pasar modal syariah mengharuskan adanya akad atau perjanjian
yang sangat jelas antara pemilik serta harta dengan emiten yang jelas.
4) Baik pemilik harta ataupun emiten tidak bisa mengambil resiko yang melebihi kemampuan,
karena hal ini bisa menimbulkan kerugian yang tinggi baik di satu pihak maupun di kedua
belah pihak.

5) Adanya penekanan pada mekanisme yang sangat wajar dan prinsip kehati-hatian terutama
pada investor ataupun kepada eminten. Hal ini menghindari adanya salah paham dan hal buruk
ketika melakukan transaksi.

SBSN didasarkan kepada prinsip prinsip syariah:


1. Kaidah Syariah untuk SBSN:
a. Jika SBSN yang ditawarkan terbatas, maka akad yang harus dilaksanakan adalah
akad yang bersifat musyarakahatau mudarabah.
b. Tidak diperbolehkan untuk membedakan jenis SBSN berdasarkan risiko yang
ditanggung oleh para pihak karena risiko yang ditanggung kemudian harus
dirasakan oleh semua pihak.
c. Seluruh keuntungan akan dibagi hasil, jika terjadi kerugian akan dibagi rugi bila
perusahaan telah dilikuidasi.
d. Investasi pada SBSN tidak dapat dicairkan kecuali setelah proses likuidasi.
2. Kaidah Syariah untuk Emiten: Produk atau jasa yang dihasilkan oleh emiten harus
memenuhi kategori produk atau jasa yang halal. Produk atau jasa tersebut akan diseleksi
oleh JII terlebih dahulu, kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN),
BEI akan memilih emiten yang unit usahanya sesuai dengan prinsip prinsip syariah.
a. Hasil usaha yang dihasilkan oleh emiten tidak boleh mengandung unsur riba dan
tidak bersifat zalim.
b. Tidak menempatkan para investor ke dalam kondisi gharar atau masyir.
c. Memberi informasi yang transparan.
d. Risiko usaha harus wajar dan memenuhi ketentuan.
e. Memiliki manajemen operasional yang bersifat Islami.
f. Menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).
g. Menjaga sumber daya alam dan lingkungan hidup.
3. Kaidah Syariah di Pasar Perdana:
a. Semua akad yang dilaksanakan pada proses emisi efek harus didasari pada proses
transaksi yang diikuti dengan penyerahan antara si penjual dan pembeli atas suatu
barang atau jasa yang halal dan bermanfaat.
b. Tidak boleh menerbitkan efek utang untuk membayar kembali utang.
c. Dana hasil penjualan efek yang dikeluarkan akan diterima oleh perusahaan.
d. Hasil investasi yang akan diterima pemodal merupakan fungsi dan manfaat yang
diterima emiten dari modal yang diperoleh dari dana hasil penjualan efek dan tidak
boleh semata mata merupakan fungsi dari waktu.
4. Kaidah Syariah untuk Pasar Sekunder:
a. Semua efek yang tercatat harus berbasis pada transaksi yang diikuti dengan
penyerahan atas suatu produk ata jasa yang halal.
b. Tidak boleh membeli efek utang dengan dana dari utang atau menerbitkan surat
utang.
c. Tidak boleh membeli berdasarkan tren atau indeks karena hal ini menyebabkan
ketidakpastian.
d. Tidak boleh memperjualbelikan hasil yang diperoleh dari suatu efek misalnya
kupon atau dividen. Hanya efeknya saja yang dapat diperjualbelikan.
e. Tidak boleh melakukan transaksi murabahahdengan menjadikan objek transaksi
sebagai jaminan.
f. Transaksi yang dilaksanakan tidak boleh menyesatkan.

Anda mungkin juga menyukai