PENDAHULUAN
1
Meskipun diagnosis dan terapi SLE sama untuk semua umur, namun ada
beberapa pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam menangani anak dengan
SLE. Diantaranya keparahan penyakit, presentase penyakit, pemeriksaan lab yang
menunjang, imunisasi, faktor psikososial dari pasien tersebut. Hal terpenting
dalam menangani anak dengan SLE adalah bagaimana terapi terbaik untuk pasien
dengan mempertimbangkan keadaan fisik, intelektual dan emosinya yang sedang
berkembang. Pasien harus diinformasikan mengenai perjalanan penyakitnya,
pengobatan dan efek-efek sampingnya, serta hasil pengobatan yang mungkin
terjadi. Semua informasi ini sebaiknya disampaikan kepada pasien dan
keluarganya, tentunya disesuaikan dengan usia pasien dan kemampuannya dalam
mengerti tentang pertumbuhannya, keadaan penyakitnya, serta kemampuan dalam
mengambil keputusan.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sistemik Lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang
ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan
kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada
beberapa organ tubuh4. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang
diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai
jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari
penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung
dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan
penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES
harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam
yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan
fatigue. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap
berperan dalam disregulasi sistem imun.4
B. EPIDEMIOLOGI
Lupus adalah penyakit yang langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus
jarang pada anak usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja.
SLE terjadi pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun, dengan 17%
orang dengan SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5%
diantaranya mulai pada usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20
tahun, sekitar 73% didiagnosis SLE pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat
SLE dikelompokkan sebagai penyakit pada usia remaja. SLE dapat muncul pada
pria maupun wanita, dari etnis manapun, berapapun usianya. Namun diagnosis
SLE 4,3 kali lebih sering muncul pada anak perempuan dibandingkan laki-laki.
Perbedaan ini tidak nyata sampai usia 9 tahun keatas, ketika beberapa penelitian
menunjukkan perbandingan perempuan : laki-laki sebanyak 10:1 pada akhir usia
3
remaja. Dalam hal etnis, lupus lebih sering muncul pada penduduk Afrika,
penduduk asli Amerika, Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan ras Kaukasia.
2,3,4
C. ETIOLOGI
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi
secara genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya
penyakit autoimun lain, muncul pada seseorang yang secara genetis rentan
terpapar satu atau beberapa faktor pencetus yang ada di lingkungan. SLE
berhubungan dengan munculnya HLA-haplotype spesifik yang diwariskan: a)
allel A1, B8, DR3, dan C4a muncul umumnya pada kulit putih. b) DR2 ditemukan
pada penderita SLE yang afro-amerika. Antigen HLA A11, B8 dan B35 masing-
masing memliki hubungan dengan SLE. Keluarga maupun sanak saudara
memiliki peningkatan insidens terhadap penyakit yang berhubungan dengan
disfungsi atau disregulasi sistem imun (misal: imunodefisiensi primer, dan
keganasan limforetikuler), hipergammaglobulinemia, RF, ANA dan penyakit
autoimun lainnya.4 Sebenarnya, apa yang menyebabkan berbagai kelainan
imunologi yang ditemukan pada SLE yaitu disfungsi sel T, produksi autoantibodi,
pembentukan kompleks imun, hipokomplementemia yang akhirnya menyebabkan
kerusakan jaringan sampai saat ini belum dapat dipastikan. Beberapa fakta telah
ditemukan tetapi belum merupakan suatu hipotesis yang mencakup semuanya.
Agaknya etiologi SLE merupakan multifaktor.1
4
2. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa:
- Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan
pasca pubertas
- Pada binatang percobaan, yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita SLE.
Bila pada yang betina diberi hormon androgen, gejala lupus akan membaik.
Sebaliknya pada tikus jantan akan menyebabkan gejala SLE bertambah
jelek.
D. PATOGENESIS
Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor
genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor
genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode
unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun
spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan
HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal
reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-
5
gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin dan sitokin6.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan
HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC
(Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik.
Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen,
seperti C2, C4, atau C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat merusak
pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear
sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan
sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan
menimbulkan respon imun6.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada
self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis
keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada
penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara
langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang
bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit.
Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa
perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang
terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat
juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat
salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor
lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat
ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat
mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis6.
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal.
Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian
menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen
dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga
mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES7.
6
Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (
ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya
seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam
pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan
ginjal.9
E. MANIFESTASI KLINIS
Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti
demam, fatigue, dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada
anak tidaklah sama dengan pada dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak-
anak biasanya secara klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan
berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang
lebih spesifik dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan. 2,6
Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis.
Ruam malar yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul
akibat adanya sensitifitas yang berlebihan terhadap cahaya matahari
(photosensitive) dan dapat memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress
emosional. Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada
lipatan nasolabial dan kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada telapak
tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa parut
dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut dapat
berubah menjadi lebih kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis
seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi pembengkakan sendi jari-jari
tangan atau kaki. 2,4,7
7
Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan
lupus
8
sering ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya dihubungkan dengan
krioglobulin. 2,4
Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak
dengan sakit lebih dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya
anak didiagnosis dengan suspect infeksi virus sebelum akhirnya diagnosis lupus
ditegakkan, walaupun sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih dari
seminggu, dan kebanyakan infeksi lain biasanya sudah dapat ditentukan sebabnya
dalam minggu pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat badan
seringkali dipikirkan adanya keganasan atau penyakit inflamasi kronis lain (misal:
Crohn disease, atau vaskulitis sistemik). 2
Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan)5
Mudah lelah
Demam dan malaise
Keadaan umum
Penurunan berat badan
Limfadenopati
9
Miopati
Nekrosis avaskular
Fenomena Raynaud
Perikarditis
Lesi valvular
Lesi vaskulitik
Trombophlebitis
Kardiovaskuler
Kelainan konduksi jantung
Miokarditis
Endokarditis Libman-Sacks
Accelerated coronary artery disease
Gangren perifer
10
Pneumotoraks
Migrain
Depresi / cemas
Psikosis organik
Sistem Persarafan Kejang
Neuropati saraf pusat dan saraf tepi
Khorea
Kelainan serebrovaskular
Glomerulonefritis
Ginjal Hipertensi
Gagal ginjal
11
F. DIAGNOSIS
Diagnosis SLE dibangun berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Hal yang harus diperhatikan klinisi adalah bahwa onset gejala klinis
SLE tidak selalu terjadi secara simultan, sehingga eksplorasi anamnestik terhadap
riwayat gejala dan tanda yang diduga sebagai manifestasi SLE menjadi sangat
penting.10 Begitu pula perhatian akan gejala dan tanda lain yang mungkin terjadi
di masa datang yang dapat menjadi petunjuk penting penegakan diagnosis SLE.
Kriteria diagnostik SLE berkembang dimulai sejak kriteria Dubois, kemudian
kriteria pendahuluan dari American Rheumatology Association (ARA) hingga
kriteria ARA yg telah direvisi terakhir tahun 2012.9 Berdasarkan kriteria ARA
tahun 2012, SLE ditegakan bila terdapat paling sedikit 4 kriteria dari 11 kriteria
dalam daftar tabel 1 di bawah.7 Berdasarkan manifestasi klinis pada tiap organ
kemudian dikembangkan berbagai kriteria diagnostik yang bersifat organ
spesifik,10
12
5 Artritis Artritis non erosif melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai dengan nyeri, bengkak atau efusi
sendi.
6 Serositis a. Pleuritis : riwayat yang jelas tentang
adanya nyeri pleuritik atau adanya pleural
friction rub berdasarkan pemeriksaan dokter
atau bukti lain adanya efusi pleura.
Atau
b. Perikarditis : terdokumentasi oleh
elektrokardiogram, atau adanya friction rub
atau bukti lain pericardium.
7 Kelainan ginjal a. Proteinuria persisten > 500 mg/ hari atau >
3+ pada pemeriksaan kualitatif, atau
13
10 Kelainan imunologis a. Anti-DNA : antibody terhadap native DNA
dalam titer yang abnormal, atau
b. Anti-SM : antibody terhadap antigen sel otot
polos, atau
c. Temuan positif adanya antibody
antifosfolipid berdasarkan (1) kadar serum yang
abnormal dan antibodi antikardiolipin baik IgG
maupun IgM, (2) temuan positif antikoagulan
Lupus berdasarkan metode pemeriksaan standar.
G. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana SLE disesuaikan dengan aktivitas penyakit serta manifestasi
klinis yang muncul. Tatalaksana nonfarmakologis memegang peranan yang
cukup besar. Edukasi mengenai pola hidup sehat dan seimbang serta kepatuhan
terhadap dosis dan jenis obat menjadi sangat penting.8 Dukungan keluarga serta
orang terdekat juga sangat membantu keberhasilan pengobatan. Tatalaksana
farmakologis serta terapi suportif lain disesuaikan dengan manifestasi organ yang
terlibat serta tingkat keparahannya.12
Perhimpunan Reumatologi Indonesia pada tahun 2012 merekomendasikan
tatalaksana SLE berdasarkan derajat beratnya SLE. Berdasarkan derajat beratnya
penyakit, SLE dibagi menjadi derajat ringan, sedang dan berat.6 Disebut derajat
ringan bila manifestasi klinis yang terjadi hanya melibatkan organ mukokutaneus
14
dan sendi. Disebut derajat sedang bila melibatkan ginjal pada tingkat ringan
sampai sedang.7 Gangguan hematologik terutama trombositopenia antara
20.000/mm3 50.000/mm3 serta tanda serositis mayor.9 Disebut derajat berat bila
melibatkan gangguan ginjal berat, trombositopenia yang refrakter, anemia
hemolitik berat, pneumonitis hingga hemoragik pneumonitis, neuropsikiatrik
lupus serta vaskulitis arteri mesenterikum.7
15
antikoagulan jangka panjang serta statin selain terapi imunosupresan menjadi
sangat penting mencegah morbiditas dan mortalitas akibat cardiovascular
events.10 Pada beberapa prosedur diagnostik atau terapeutik pada pasien SLE,
risiko infeksi harus menjadi perhatian klinisi. Misalnya pada prosedur insersi
kateter urin atau ekstraksi gigi, beberapa ahli merekomendasikan diberikannya
antibiotik profilaksis.11
Sesuai dua fase perjalanan penyakit SLE maka tatalaksana juga dibagi menjadi
dua fase yaitu induksi remisi dan pemeliharaan. Fase induksi remisi adalah
fase pertama dan sangat penting dalam keseluruhan tatalaksana SLE.
Keberhasilan terapi fase induksi remisi akan menentukan mortalitas dan
morbiditas pasien terutama pada SLE derajat berat.12 Induksi remisi bertujuan
untuk mencapai remisi secepat mungkin atau paling tidak untuk mencegah
mortalitas dan sekuele yang berat. Setelah terapi induksi diberikan dokter harus
menilai respon atas terapi.5 Terapi induksi dapat memberi respon penuh, respon
sebagian atau bahkan gagal. Setelah fase remisi tercapai maka tatalaksana masuk
pada fase pemeliharaan. Pada fase pemeliharaan dokter harus memperhatikan
kepatuhan berobat pasien serta efek samping pengobatan serta tanda dan gejala
reaktivasi.11
Dalam penilaian reaktivitasi, hal terpenting yang harus ditentukan adalah
faktor pemicu (triggering factor) proses reaktivasi.12 Reaktivasi dapat terjadi
secara primer akibat peningkatan aktivitas penyakit (perburukan respon terhadap
terapi) atau secara sekunder akibat faktor luar misalnya yang paling sering infeksi
dan ketidaksinambungan pengobatan. Tatalaksana atas reaktivasi disesuaikan
dengan faktor pemicu yang mendasari.9
H. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.
Apabila mengenai organ vital mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien
dengan SLE telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat
kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada SLE kurang dari 50%.5 Saat ini,
tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi
16
90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah
80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan
Afrika secara signifikan lebih rendah mulai dari 60-70%.6 Penurunan angka
kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang
terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit SLE, dan kemajuan
dalam perawatan medis umum.9
1. MEX SLEDAI
Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi,
memerlukan pemantauan yang ketat akan aktifitas penyakitnya. Evaluasi penyakit
ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi.9 Terdapat beberapa indeks
untuk menilai akitifitas penyakit SLE antara lain menggunakan European
Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM); Lupus Activity Index (LAI);
Systemic Lupus Activity Measure (SLAM); ) British Isles Lupus Assessment
Group (BILAG; dan Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Indeks
(SLEDAI). Ketiga indeks penilaian terakhir terbukti valid dan memiliki korelasi
yang sangat kuat terhadapa aktifitas penyakit.11
Indeks ECLAM menilai aktifitas penyakit dari bulan sebelumnya dan terdiri
dari 15 parameter klinik dan laboratorium.8 European Consensus Lupus Activity
Measurement (ECLAM) ini telah dievaluasi di beberapa penelitian dan terbukti
valid dan sensitif untuk mendeteksi perubahan aktifitas penyakit dan memiliki
korelasi yang baik dengan indeks penilaian lainnya.9
Indeks LAI terdiri dari empat nilai untuk mengevaluasi penyakit secara
umum, berat-ringannya aktifitas penyakit, hasil laboratorium, serta dapat
mengevaluasi pengobatan imunosupresif. Skornya yaitu dari skala 0 3.9
Indeks BILAG juga dapat menilai aktifitas penyakit SLE. Indeks ini menilai
8 sistem organ dan tidak menggunakan jumlah nilai seperti pada indeks penilaian
aktifitas penyakit SLE lainnnya.10 BILAG A menggambarkan satu atau lebih
17
karakteristik SLE berat, BILAG B berarti memiliki aktifitas penyakit sedang,
kemudian BILAG C memiliki aktifitas penyakit ringan, BILAG D hanya
menggambarkan aktifitas penyakit sebelumnya dan bukan karena aktifitas lupus
yang aktif, dan BILAG E menunjukkan tidak ada sistem yang terlibat.12
Terdapat beberapa modifikasi dari SLEDAI yaitu SLEDAI-2K dan MEX-
SLEDAI (Mexican SLE Disease Activity Index).10 Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan MEX-SLEDAI untuk mengetahui aktifitas penyakit SLE karena
menurut penelitian pada tahun 2011 menunjukkan bahwa MEX-SLEDAI
memiliki validitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan BILAG dan SLAM.
Selain itu, MEX-SLEDAI tidak memerlukan biaya yang mahal dan mudah
digunakan.12
Aktifitas penyakit SLE digambarkan sebagai 10 variabel klinik utama yaitu
berupa gangguan neurologi, gangguan ginjal, vaskulitis, hemolisis, miositis,
artritis, gangguan muskulokutan, serositis, demam dan kelelahan, leukopenia dan
limfopenia.6 Pasien yang memiliki skor < 2 memiliki aktifitas penyakit LES
ringan sementara skor 2-5 memiliki aktifitas penyakit SLE sedang, dan pasien
yang memiliki skor > 5 memiliki aktifitas penyakit LES berat.12
18
uremia dan obat
19
atau bukti adanya vaskulitis pada hasil
biopsy atau angiogram
Artritis >2 sendi, nyeri, dan ada tanda
inflamasi (nyeri tekan, bengkak,
4 Artritis efusi)
Otot proksimal nyeri/lemah, karena kreatin
fosfokinase/aldolase meningkat
atau perubahan elektromiogram, atau pada
4 Miositis biopsi terbukti miositis
4 Urinary cast Heme, granular atau silinder eritrosit
>5 eritrosit/LPB.Telah disingkirkan penyebab
batu, infeksi, atau penyebab
4 Hematuria Lain
>0,5 g/24 jam. Awitan baru atau
4 Proteinuria peningkatan terakhir>0,5 g/24 jam
>5 leukosit/LPB.Telah disingkirkan
4 Piuria penyebab infeksi
2 Rash baru Rash inflamasi awitan baru atau rekurens
Hilangnya rambut abnormal yang difus,
atau patchyawitan baru atau
2 Alopesia Rekurens
Ulkus oral dan awitan nasal baru atau
2 Ulkus mukosa rekurens
Nyeri dada pada pleuritis dengan pleural
rub atau efusi, atau penebalan
2 Pleuritis Pleura
Nyeri perikardial dengan konfirmasi t1 : rub,
efusi, bukti EKG atau bukti
Ekokardiogram
2 Perikarditis
20
Komplemen
2 darah rendah Kadar C50, C3 atau C4 di bawah normal.
2 dsDNAmeningkat dsDNA meningkat >25% dari sebelumnya
1 Panas >380C. Telah disingkirkan penyebab infeksi
1 Trombositopenia <100.000/mm3
< 3000/mm3. Telah disingkirkan penyebab
1 Leukopenia obat
21
Tabel 4. SLICC/ACR 2015 Damage Index
22
BAB III
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
24
9. Achtman, JC., Werth, VP. Patophysiology of Cutaneous Lupus
Erythemathosus, Arthritis Research and Therapy. 2015: 17, h.182
10. Biazar, C., Sigges, J,. Nikolaos, P. Cutaneous lupus erythematosus:
First Multicenter Database Analysis of 1002 Patients from the
European Society of Cutaneous Lupus Erythematosus (EUSCLE).
2012: Autoimmunity Review 12, h.444-454
11. Abari I,. 2015. ACR/SLICC Revised Criteria for Diagnosis of
Systemic Lupus Erythematosus. Tehran University of Medical
Sciences. h.2-4. Diakses tanggal 30-9-2017. Dari:
https://www.researchgate.net/publication/276353307
12. Saleh AM,. Kurniati N,. Syarif BH,.Penilaian Aktivitas Penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik dengan Skor Sledai di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM. Vol 16, No. 4. Sari Pediatri; Jakarta.
Diakses tanggal 30-9-2017 dari https://saripediatri.org/index.php/sari-
pediatri/article/download/217/75
25