OLEH:
Fatma Rizki Ananda (H1E111054)
Kartika Arum Wulandari (H1E111060)
M.Fajar Rahman La-Upe (H1E113239)
DOSEN PEMBIMBING:
Prof. Dr. Qomariyatus S, Amd. Hyp.,ST., Mkes.
NIP. 19780420 20050 1 002
KATA PENGANTAR i
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG 1
1.2 RUMUSAN MASALAH2
1.3 TUJUAN 2
1.4 MANFAAT.2
BAB 5 KESIMPULAN....36
DAFTAR PUSTAKA
INDEKS
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Tugas Besar ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Evaluasi Baku Mutu Tanah berdasarkan
Tanah Tercemar.
Tugas Besar ini berisikan tentang pencemaran tanah akibat pembakaran lebih khususnya
membahas baku mutu tanah gambut yang terbakar , dampak-dampak pembakaran, pengendalian
kebakaran , tahap-tahap penelitian dan lain-lain.
Diharapkan Tugas Besar ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
Kualitas tanah gambut yang telah terbakar. Kami menyadari bahwa Tugas Besar ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan Tugas Besar ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan Tugas Besar ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Sepanjang musim kemarau ini, wilayah Indonesia khususnya daerah Sumatera dan
Kalimantan dilanda kebakaran lahan yang sebagian dari kebakaran terjadi di hutan rawa gambut.
Api kebakaran di lahan gambut memiliki karakteristik selain dapat menghasilkan api tajuk dan
permukaan, juga dapat menimbulkan api bawah tanah gambut yang menghasilkan asap tebal
sehingga banyak merugikan berbagai pihak. Walaupun kebakaran hutan ini sudah sering terjadi,
namun selalu saja terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Seolah-olah tidak ada upaya penyelesaian
dari permasalahan yang berulang-ulang ini. Bahkan menurut Badan Penanggulagan Bencana,
kebakaran lahan tahun ini merupakan yang paling parah yang pernah terjadi di Indonesia.
Pembukaan lahan dengan cara bakar sampai saat ini masih terus dilakukan. Kegiatan
pembukaan lahan yang kurang bijaksana, yang dilakukan masyarakat lebih dikarenakan kondisi
social ekonomi dan adanya anggapan bahwa abu sisa pembakaran bias menjadi pupuk.
Disamping itu belum adanya teknologi pembukaan lahan yang murah, mudah dan secepat api
juga masyarakat melakukan pembakaran ketika mempersiapkan lahannya untuk usaha pertanian
atau perkebunan (Kurnain, 2005).
Selain itu, adanya perusahaan Hutan Tanaman Industri dan Perkebunan yang
memanfaatkan masyarakat secara sembunyi-sembunyi melakukan pembukaan lahan dengan cara
membakar, agar biaya pembukaan lahan dapat ditekan, juga telah memicu terjadinya kebakaran
lahan dan kebun. Atas hal tersebut diatas pada dasarnya masyarakat petani/peladang, pengusaha
hutan tanaman industry dan perkebunan besar meningkatkan resiko kebakaran hutan dan lahan
serta dampak buruk yang diakibatkannya termasuk terjadinya bencana asap (Kurnain, 2005).
Hampir kebanyakan masyarakat kita mengeluhkan dampak dari kebakaran lahan tersebut
terutama munculnya kabut asap yang tebal yang dapat mengganggu jarak pandang manusia dan
juga menimbulkan penyakit saluran pernapasan. Padahal dalam peristiwa kebakaran lahan tidak
Ha11nya menimbulkan kabut asap yang berbahaya, akan tetapi juga dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan lainnya seperti pencemaran tanah pada lahan terbakaritu. Sehingga
dalam tugas besar ini, kami melakukan pengamatan terhadap lahan yang terbakar, apakah tanah
pada lahan tersebut sudah tercemar serta mengevaluasi baku mutu tanah pada lahan yang
terbakar.
1.3 Tujuan
Tujuan dari tugas besar ini antara lain :
1. Mengetahui penyebab kebakaran lahan gambut
2. Mengetahui kondisi fisik dan kimia tanah pada lahan yang terbakar
3. Mengevaluasi kondisi fisik dan kimia tanah pada lahan terbakar dengan standar baku
mutu tanah
1.4 Manfaat
Manfaat yang didapatkan dari pembuatan tugas besar ini adalah agar masyarakat dan
pemerintah tidak hanya memperhatikan kabut asap yang ditimbulkan, tetapi juga memperhatikan
kondisi tanah padalahan yang terbakar agar tanah tersebut tidak sembarangan diperuntukkan
ataupun digunakan kembali oleh masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah gambut disebut juga tanah Histosol (tanah organic) asal bahasa Yunanihistories
artinya jaringan. Histosol sama halnya dengan tanah rawa, tanah organik dangambut.Histosol
mempunyai kadar bahan organik sangat tinggi sampai kedalaman 80 cm (32inches) kebanyakan
adalah gambut (peat) yang tersusun atas sisa tanaman yang sedikit banyak terdekomposisi dan
menyimpan air.Jenis tanah Histosol merupakan tanah yang sangatkaya bahan organik keadaan
kedalaman lebih dari 40 cm dari permukaan tanah. Umumnyatanah ini tergenang air dalam
waktu lama sedangkan didaerah yang ada drainase ataudikeringkan ketebalan bahan organik
akan mengalami penurunan (subsidence) (Kurnain, 2005).
Bahan organik didalam tanah dibagi 3 macam berdasarkan tingkat kematangan yaitu fibrik,
hemik dan saprik. Fibrik merupakan bahan organik yang tingkat kematanganny arendah sampai
paling rendah (mentah) dimana bahan aslinya berupa sisa-sisa tumbuhanmasih nampak jelas.
Hemik mempunyai tingkat kematangan sedang sampai setengah matang,sedangkan sapri tingkat
kematangan lanjut.Dalam tingkat klasifikasi yang lebih rendah (GreatGroup) dijumpai tanah-
tanah Trophemist dan Troposaprist. Penyebaran tanah ini berada padadaerah rawa belakangan
dekat sungai, daerah yang dataran yang telah diusahakan sebagaiareal perkebunan kelapa dan
dibawah vegetasi Mangrove dan Nipah (Kurnain, 2005).
Secara umum definisi tanah gambut adalah: Tanah yang jenuh air dan tersusun dari
bahan tanah organik, yaitu sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk yaitu dengan
ketebalan lebih dari 50 cm . Dalam sistem klasifikasi baru (Taksonomi tanah), tanah gambut
disebut sebagai Histosols (histos = jaringan ).Pada waktu lampau, kata yang umum digunakan
untuk menerangkan tanah gambut adalah tanah rawang atau tanah merawang. Diwilayah yang
memiliki empat musim, tanah gambut telah dikelompokan dengan lebih rinci.Padanan yang
mengacu kepada tanah gambut tersebut adalah bog, fen, peatland atau moor (Kurnain, 2005).
Selanjutnya pada tahun 1987 kebakaran hutan dalam skala besar terjadi lagi di 21
propinsi terutama di Kalimantan Timur, yang terjadi bersamaan dengan munculnya periode iklim
panas ENSO, sehingga sejak saat itu timbul anggapan bahwa kebakaran hutan adalah bencana
alam akibat kemarau panjang dan kering karena ENSO. Begitulah kebakaran besar terjadi lagi
pada tahun 1991, 1994 dan 1997 di 24 propinsi di Indonesia. Kebakaran selama musim kering
pada tahun 1997, telah membakar sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia (BAPPENAS,
1998), termasuk 750.000 ha di Kalimantan. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997
dinyatakan sebagai yang terburuk dalam 20 tahun terakhir. Atas dasar rekaman sejarah tersebut
di atas, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berulang setiap lima tahun, yang nampaknya
cocok benar dengan periode iklim panas ENSO rata-rata 5 tahun.
Dampak dari kebakaran hutan dan lahan pada dasarnya sangat banyak.Pada pohon
kerusakan dapat berkisar dari gangguan luka-luka bakar pada pangkal batang pohon atau
tanaman sampai hancurnya pepohonan atau tanaman secara keseluruhan vegetasi lainnya.Dengan
hancurnya vegetasi, maka dampak yang terancam adlah hilangnya plasma nutfah (sumber daya
genetik pembawa sifat keturunan) seiring dengan rusaknya vegetasi tersebut. Selain itu,
kebakaran dapat juga melemahkan daya tahan tegakan terhadap serangan penyakit dan hama.
Juga batang pohon yang menderita luka bakar meskipun tidak akan mati, tapi tidak lepas dari
terkena serangan penyakit atau pembusukan. Kebakaran hutan juga dapat mengurangi kepadatan
tegakan dan merusak hijauan yang bermanfaat bagi hewan serta mengganggu habitat satwa liar.
Rusaknya suatu generasi tegakan hutan oleh kebakaran, berarti hilangnya waktu dan proses yang
di perlukan untuk mencapai taraf pembentukan tegakan tersebut. Kebakaran hutan dan lahan
dapat mengakibatkan hilangnya humus dan zat-zat hara pada tanah, dan selanjutnya tanah
menjadi terbuka terhadap pengaruh panas matahari dan aliran air permukaan sehingga dapat
merusak sifat fisik tanah. Tanah menjadi mudah terkikis, perkolasi dan tingkat air tanahnya
menurun.
Kebakaran yang terjadi tidak satu kali saja dilahan yang sama dapat menghabiskan
serasah dan mematikan mikroorganisme atau jasad renik pada lapisan tanah yang sangat berguna
bagi kesuburan tanah.
Kebakaran Hutan dan Lahan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sifat fissik
dan kimia tanah. Terjadinya keabakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah,
sehingga apabila terjadi hujan, maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah,
sehinggga mendapat energi pukulan air hujan lebih bear, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi
penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya struktur tanah.
Kebakaran hutan dan lahan bissa menyebabkan terganggunya siklus hidrologi.Hal ini
disebabkan karena hilangnya vegetasi penutup tanah, sehingga mengakibatkan fungsi
penghambat air hujan oleh vegetasi tersebut berkurang.Kondisi ini membawa pengaruhh
terhadap besarnya aliran permukaan pada saat terjadi hujan. Aliran permukaan yang bear
menyebabkan meningkatnya erosi dan sedimentasi. Dengan demikian padda kawasan yang
terbakar, akan
Dampak kebakaran selain dapat menimbulkan kerugian material, kebakaran hutan dan
lahan juga menciptakan bencana kabut asap yang besar. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun
1994 dan tahun 1997 telah menjadi sorotan dunia, karena adanya kondisi cuaca yang ekstrim
sehingga asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terperangakap di bawah suatu lapisan udara
dingin atmosfer di atas wilayah Indonesia dan negara disekitar mengakibatkan penurunan jarak
pandang atau visibilitas sehingga mengganggu kelancaran transportasi darat, laut dan udara.
1. Partikulat ( partikel kecil < 10m, diameter aero dinamik < 2,5 ). Partikulat ini dapat
terinhalasi melalui sitem pernapasan, terjadinya akut, dengan mengiritasi bronkus,
menyebabkan inflamasi dan reaktifitas meningkat. Partikulat ini juga menyebabkan
terjadinya berkurangnya bersihan mukosilier, mengurangi respon makrofag dan imunitas
local serta reaksi fibrotic. Efek potensial pada kesehatan adalah mengi, asma eksaserbasi,
infeksi saluran nafas, bronchitis kronik, PPOK.
4. Nitrogen dioksida. Polutan ini merupakan pajanan akut yang menyebabkan reaktivitas
bronkus. Pajanan kronik dapat meningkatkan kerentanan infeksi bakteri dan virus. Efek
potensial pada kesehatan menimbulkan mengi, asma eksaserbasi, infeksi saluran nafas,
berkurangnya fungsi paru anak.
5. Sulfur dioksida. Polutan ini sebagai pajanan akut yang menyebabkan reaktivitas bronkus.
Hal ini member dampak bagi kesehatan, menimbulkan mengi, asma eksaserbasi, PPOK
eksaserbasi, penyakit kardiovaskuler.
6. Kondesat asap biomass, termasuk hidrokarbon aromatic polisiklik dan ion metal. Polutan
ini masuk kemata dan diabsorbsi oleh lensa, sehingga terjadi perubahan oksidatif. Hal ini
dapat menyebabkan katarak pada mata.
Udara tercemar akan masuk ke dalam tubuh manusia sehingga mempengaruhi paru dan
saluran napas, komponennya juga diedarkan ke seluruh tubuh, artinya selain terhisap langusung
manusia dapat menerima akibat buruk polusi ini dan secara tidak langsung dapat mengkonsumsi
zat makanan atau air yang terkontaminasi.
Polusi dalam rumah mempunyai dampak lebih besar, karena penghuni rumah akan
terpajan asap dalam konsentrasi tinggi selama bertahun-tahun. Pajanan kebakaran hutan biasanya
berlangsung selama 4-5 bulan dalam setahun dan intesitasnya tergantung pada luas kebakaran
hutan. Asap menimbulkan iritasi mata, kulit dan gangguan saluran pernapasan, yang lebih berat
fungsi paru berkurang, bronchitis, asma eksaserbasi dan kematian dini. Selain itu konsentrasi
yang tinggi partikel-partikel iritasi pernapasan dapat menyebabkan batuk-batuk terus, batuk
berdahak, kesulitan bernapas dan radang paru.
IKLIM
VEGETASI TANAH
Hilangnya vegetasi hutan karena terbakar akan menyebabkan terganggunya iklim baik iklim
makro maupun mikro. Keberadaan hutan akan membuat udara sejuk di sekitarnya, dengan
demikian hilangnya hutan akan menyebabkan udara terasa panas. Pada saat terjadi kebakaran
hutan dan lahan dampak yang sering muncul adalah asap. Asap tebal menyebabkan menurunnya
kualitas udara, dengan kata lain munculnya assap tebal di udara akan menyebabkan polusi udara.
Sampai saat ini hasil kajian tentang penyebab kebakaran menunjukkan bahwa kebakaran
hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh penyebab langsung yaitu:
Api telah lama digunakan oleh peladang berpindah dalam rangka penyiapan lahan, dan hal
tersebut dilakukan karena mereka mengharapkan lahannya bersih, mudah dikerjakan, bebas
hama dan penyakit serta mendapatkan abu hasil pembakaran yang kaya mineral, motif demikian
pulalah yang dilakukan oleh korporasi saat ini baik oleh perkebunan kelapa sawit maupun oleh
pengusaha hutan tanaman industri maupun non hutan seperti sagu
Dalam rangka untuk melakukan perlawanan maka tidak sedkit para petani yang dirugikan
melakukan perlawanan dengan cara membakar tanaman pihak korporasi sehingga mengalami
kerugian yang tidak sedkit
Beberapa kegiatan terkait estraksi sumberdaya alam menggunakan api dalam 16 aplikasinya di
lapangan, seperti pemanenen madu di pohon-pohon besar, pemanenan getah damar, dan lain
sebagainya.
Sedangkan penyebab tidak langsung terdiri dari: Penguasaan lahan Untuk menyatakan
penguasaan lahan yang diinginkannya maka tidak sedikit pihak-pihak yang ingin menguasai
lahan tersebut dilakukannya dengan membakar dan lahan yang telah bersih tersebut kemudian
dikuasainya Alokasi penggunaan lahan Untuk memudahkan dalam pengalokasian lahan
sehingga dapat segera dilakukan maka digunakan api Insentif/Dis-insentif ekonomi Tidak
jelasnya insentif/dis-insenti membuat pelaku ekonomi melakukan pembakaran karena dianggap
dapat menghemat biaya produksi dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan, sehingga pembakaran
menjadi suatu pilihan. Degradasi hutan dan lahan Setelah hutan ditebang dan dimanfaatkan
kayunya maka tindakan selanjutnya adalah pemanfaatan lahan bekas ditebang tersebut dengan
pembakaran Dampak dari perubahan karakteristik kependudukan Meningkatnya jumlah
penduduk maka meningkat pula kebutuhannya baik akan papan, pangan, dan sebagainya, sebagai
konsekuensinya maka dilakukan perluasan areal-areal tersebut yang pada akhirnya
membutuhkan lahan yang luas sehingga hutan yang tersisa menjadi gantungannya. Dalam
kondisi tertentu maka tindakan pintas dilakukan yaitu menggunakan api. Lemahnya kapasitas
kelembagaan Banyak terdapat lembaga terkait dalam upaya pengendalian kebakaran dalam satu
sisi namun keberadaan lembaga tersebut ternyata belum mampu mengendalikan kebakaran yang
terjadi akibat berbagai persoalan yang membelitnya termasuk persoalan internal. Selain itu
ketiadaan dana yang cukup dan ketidakmampuan aparat setempat berhadapan dengan pejabat
yang berada diatasnya juga menjadi persoalan serius untuk dituntaskan.
Asap yang pekat sangat berpengaruh terhadap visibility ( kekuatan jarak pandang) menjadi
rendah, dan menghalangi radiasi matahari kepermukaan tanah, sehingga tidak adanya terjadi
proses konveksi. Pada umumnya temperatur di lokasi asap rendah yaitu berkisar 24 C. Di sekitar
lokasi asap umumnya terdapat awan, ketinggian dasar awan pada umumnya berkisar antara 5000
kaki hingga 6000 kaki, atau lebih rendah dari puncak lapisan asap, akibatnya awan yang berada
di sekitar lokasi asap tertahan masuk. Di atas lapisan asap terdapat aliran
Gambarannya dapat berupa peta bahaya kebakaran yang berhubungan dengan kondisi
mudahnya terjadi kebakaran, peta resiko kebakaran yang berkaitan dengan sebab musabab
terjadinya kebakaran, dan peta sejarah kebakaran yang penting untuk evaluasi penanggulangan
kebakaran.
2. Persiapan Lahan
Pada saat pembukaan pertama lahan untuk pertanian dan perkebunan diperlukan
penebasan rumput dan semak belukar. Bahan-bahan organik hasil tebasan sebaiknya
dikumpulkan di suatu tempat kemudian dapat dilakukan pembakaran terkontrol. Abu
pembakaran dapat dijadikan pupuk tanaman dengan cara menyebarkan diatas
permukaan tanah. Untuk pembukaan lahan rotasi kedua atau berikutnya, bahan
organik dapat dikumpulkan kembali di suatu tempat dan dibakar secara terkendali
atau bahan organik tersebut cukup ditimbun diantara jalur-jalur tanaman. Bahan
organik yang ditimbun akan mengalami pembusukan yang akhirnya menjadi pupuk.
Untuk mempercepat proses pembusukan bahan organik, para petani dapat mengikuti
petunjuk pembuatan bokasi dengan EM4. Untuk lebih meningkatkan keamanan,
sebelum pambakaran bahan organik, di sekeliling lahan kebun dibersihkan dari bahan
bakar sehingga membentuk sekat bakar jalur.
1. Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia,
penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak.
2. Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor
dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi terjadi
penurunan kandungan C-org
METODE
NO. PARAMETER AMBANG KRITIS PERALATAN
PENGUKURAN
pH meter; elektroda
5 - Redoks untuk gambut > 200 mV Tegangan listrik platina
METODELOGI PENELITIAN
Evaluasi lahan umumnya merupakan kegiatan lanjutan dari survei dan pemetaan tanah atau
sumber daya lahan lainnya, melalui pendekatan interpretasi data tanah serta fisik lingkungan
untuk suatu tujuan penggunaan tertentu. Sejalan dengan dibedakannya macam dan tingkat
pemetaan tanah, maka dalam evaluasi lahan juga dibedakan menurut ketersediaan data hasil
survei dan pemetaan tanah atau survei sumber daya lahan lainnya, sesuai dengan tingkat dan
skala pemetaannya. Prosedur penelitian tugas besar ini adalah sebagai berikut :
1. Tahap Pendahuluan
Tahap pendahuluan merupakan tahap awal dari rangkaian penelitian. Tahap pendahuluan ini
berupa studi literatur yaitu dengan mempelajari buku, jurnal penelitian, maupun literatur
yang berkaitan dengan evaluasi kesesuaian lahan dan pemanfaatannya ataupun evaluasi
kesesuaian lahan itu sendiri. Serta mengumpulkan data-data yang diperlukan pada penelitian
seperti data kriteria lahan yang sesuai dengan pemanfaatannya, data topografi wilayah, dll
dari berbagai sumber ilmiah dan lain sebagainya.
2. Tahap Persiapan
Tahap persiapan pada penelitian ini yaitu persiapan alat dan bahan penelitian serta analisis
kondisi fisik dan kimia lahan dengan berbagai parameter yang digunakan, yaitu sebagai
berikut:
a. Persiapan Alat dan Bahan Penelitian
Persiapan alat dan bahan penelitian merupakan tahap persiapan sebelum tahap
pelaksanaan dilakukan. Tahap ini bertujuan untuk memastikan kelengkapan alat dan
bahan yang akan digunakan untuk tahap pelaksanaan.
b. Analisis Kualitas air dan tanah
Analisis kualitas air dan tanah yang didapat akan menjadi acuan untuk penelitian tahap
selanjutnya.
3. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan merupakan tahap penelitian lapangan. Tahap ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi lahan, setelah itu menentukan titik sampel dan melakukan pengambilan
sampel pada tiap titik. Setelah pengambilan sampel, sample akan dianalisis. Analisa ini
dilakukan agar kita tau besar beban organik yang terkandung didalam sampel tersebut.
Penelitian lapangan dilaksanakan dengan metode survey, berdasarkan peta kerja yang telah
dipersiapkan pada tahap sebelumnya. Survei tanah dilakukan dengan cara penjelajahan
wilayah kerja penelitian di lapangan dengan mengikuti suatu pola transek (toposekuen). Tiap
transek diamati beberapa titik pengamatan pada bagian-bagian punggung/puncak, lereng
atas, lereng tengah, dan lereng bawah. Seiap titik diukur koordinatnya dengan Global
Positioning System (GPS).
a) Penentuan lokasi pengambilan sampel
Lokasi pengambilan sampel dilakukan pada kecamatan Anjir Pasar dan Kecamatan
Mandastana. Penentuan lokasi titik pengambilan sampel dilakukan secara acak (random)
dengan 2 titik lokasi di setiap kecamatan. Dari sekitar 126,00 Ha luas wilayah Kecamatan
Anjir Pasar, maka lokasi pengambilan sampel dilakukan pada luas lokasi sekitar 1 Ha.
Sedangkan pada Kecamatan Mandastana dengan luas wilayah 136,00 Ha, maka lokasi
pengambilan sampel dilakukan pada lokasi seluas 1 Ha.
b) Teknik Pengambilan Sampel
1. Lokasi titik bor dibersihkan dari rerumputan dan penghalang lainnya.
2. Menyiapkan alat (bor tangan) dan sekop.
3. Membuat lubang awal sedalam kira kira 20 cm menggunakan sekop.
4. Alat bor diletakan pada lubang awal yang telah dibuat, lalu rangkaian pemboran
diputar, sambil ditekan ke dalam tanah.
5. Pemutaran dan penekanan rangkaian pemboran dilakukan hingga mata bor (auger)
masuk 25 cm atau telah terisi penuh.
6. Setelah auger terisi penuh, rangkaian pemboran diangkat ke permukaan, tanah yang
tertahan di dalam auger dikeluarkan, lalu dicatat sebagai hasil kedalaman tanah.
c) Tekstur tanah
Dalam penelitian ini, penentuan tekstur tanah hanya dilakukan dengan mengamati secara
kasat mata saja.
d) pH tanah
Evaluasi lahan secara fisik (tahap pertama) dilakukan terhadap jenis penggunaan lahan
yang telah diseleksi sejak awal kegiatan survey, seperti untuk tegalan (arable land) atau
sawah dan perkebunan. Hasil kegiatan ini disajikan dalam bentuk laporan dan peta yang
kemudian disajikan subjek pada tahap kedua (evaluasi lahan secara ekonomi).
4. Penyiapan data
Untuk melakukan evaluasi lahan baik dengan menggunakan pendekatan dua tahapan
maupun pendekatan paralel perlu didahului dengan konsultasi awal. Konsultasi awal ini
untuk menentukan tujuan dari evaluasi yang akan dilakukan, data apa yang diperlukan dan
asumsi-asumsinya yang akan dipergunakan sebagai dasar dalam penilaian. Evaluasi lahan
yang akan dilakukan tergantung dari tujuannya yang harus didukung oleh ketersediaan data
dan informasi sumber daya lahan.
Pada prinsipnya penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan
(matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah
disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan. Dalam hal ini diperuntukkan untuk
mengevaluasi keadaan fisik dan kimia tanah yang kemudian hasil akan disesuaikan dengan
standar baku mutu tanah.
BAB IV
4.1 Hasil
Hasil yang ini menyajikan tentang gambaran umum wilayah penelitian, penentuan lokasi
titik sampling beserta alasanya dan hasil dari penelitian beserta pembahasannya. Hasil yang
disajikan adalah hasil dari pengukuran analisa hasil di lapangan dan laboratorium. Penelitian
lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi wilayah pengambilah sampel, Daya Hantar Listrik
(DHL) kedalaman tanah dan tekstur tanah, sedangkan penelitian di labotaorium dengan
menggunakan parameter KTK tanah, C-organik, P2O5, pH H2O. Data hasil analisa laboratorium
tersebut digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan berdasarkan hasil dari
data primer dan data sekunder.
Parameter Hasil
Subsidensi gambut di atas pasir kuarsa 31 cm
Kedalaman lapisan berpirit 19 cm
Kedalaman air tanah dangkal 21 cm
Redoks untuk gambut 200 mV
Redoks untuk tanah berpirit i. 133 mV
Jumlah mikroba 132 cfu/g tanah
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Martapura
Parameter Hasil
Subsidensi gambut di atas pasir kuarsa 31 cm
Kedalaman lapisan berpirit 19 cm
Kedalaman air tanah dangkal 21 cm
Redoks untuk gambut 200 mV
Redoks untuk tanah berpirit ii. 133 mV
Jumlah mikroba 132 cfu/g tanah
pH tanah 5
Dari hasil analisa kami, dapat dilihat beberapa parameter belum memenuhi kriteria
kualitas air yang baik. Selain dari hasil pengamatan kami, kualitas tanah juga dapat dilihat dari
segi fisiknya, yaitu sebagian lahan telah terbakar dan tanah juga terlihat kering.
Dengan adanya evaluasi ini kita dapat melihat apakah tanah pada lahan tersebut masih
bias digunakan atau tidak. Maka dari itu kami menggunakan Kriteria Mutu Tanah berdasarkan
Kriteria Baku Kerusakan Tanah di Lahan Basah (Tabel 4.3) sebagai acuan perbandingan dengan
hasil pengamatan kami. Sehingga hasil pengamatan tanah kami akan diperuntukkan kepada
masyarakat sebelum dilakukannya proses pemanfaatan lahan.
METODE
NO. PARAMETER AMBANG KRITIS PENGUKURAN PERALATAN
2
< 10 cfu/g tanah
8 Jumlah mikroba plating technique cawan petri;
Tabel 4.4 Perbandingan Hasil Pengamatan dengan Kriteria Baku Kerusakan Tanah
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
1. Dari hasil penelitian ini terbakarnya lahan gambut karena kekeringan dan
kesengajaan seperti pembukaan lahan baru dengan cara dibakar
2. Tanah sulfat masam sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian,
hanya saja diperlukan pengelolaan dan penanganan yang tepat.
3. Air dangkal dan jumlah mikroba yang tidak sesuai dengan kriteria baku kerusakan
tanah di lahan basah. Ini berarti menunjukkan bahwa kedalaman air dangkal dan
jumlah mikroba sudah melewati ambang kritis pada kriteria baku kerusakan tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.J., M.R. Ibrahim, & A.R. Abdul Rahim. 2002. The influence of forest fire in
Peninsular Malaysia: History, root causes, prevention, and control. Makalah disajikan
pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 1921 March 2002, Kuala
Lumpur, Malaysia, 14 h.
BAPPENAS. 1998. Planning for fire prevention and drought management project: interim
report. BAPPENAS:Jakarta.
D`Arcy, L.J. & S.E. Page. 2002. Assessment of the effects of the 1997/1998 forest fire and
anthropogenic deforestation on peat swamp forest in Central Kalimantan, Indonesia.
Dalam: J.O. Rieley, & S.E. Page (eds.), Peatlands for People, Natural Resources Function,
and Sustainable Management, BPPT dan Indonesian Peat Association, Jakarta, h. 179185.
Diemont, W.H., P.J.M. Hillegers, K. Kramer, & J. Rieley. 2002. Fire and peat forests, what are
the solutions?. Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in
Peatlands, 1921 March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 18 h.
Jaya, A., S.E. Page, J.O. Rieley, S. Limin, & H.D.V. Bhm. 2000. Impact of forest firest on
carbon storage in tropical peatlands. Dalam: L. Rochefort, & J.Y. Daigle (eds.), Sustaining
our Peatlands. Proceedings of the 11th International Peat Congress, Qubec City, Canada,
h. 106113.
Kristiadi M. dan M. Effendi. 2012. Sistem Agroforestry Berbasis Jalutung Rawa untuk
Memproduktifkan Lahan Gambut dalam Mindawati N., E.Savitri, dan T.S. Hadi. 2012
(Edit.). Pengembangan Jelutung Rawa (Dyera polyphylla (Miq).V.Steenis) di Lahan
Gambut. LHP Balai Penelitian Kehutanan. Banjarbaru.
Kurnain, A. 2005. Dampak Kegiatan Pertanian dan Kebakaran atas Watak Gambut Ombrogen.
Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Mitsch, W.J., & J.G. Gosselink. 2000. Wetlands, Edisi ke 3. John Wiley & Sons, Inc: New York.
Musa, S. & I. Parlan. 2002. The 1997/1998 forest fire experience in Peninsular Malaysia.
Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 1921
March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 8 h.
Page, S.E., J.O. Rieley, H.D.V. Bhm, F. Siegert, & N.Z. Muhamad. 2000. Impact of the 1997
fires on the peatlands of Central Kalimantan, Indonesia. Dalam: L. Rochefort, & J.Y.
Daigle (eds.), Sustaining our Peatlands, Proceedings of the 11th International Peat
Congress. Qubec City, Canada, h. 962970.
Parish, F. 2002. Peatlands, Biodiversity and Climate Change in SE Asia: an overview. Makalah
disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 1921 March
2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 11 h
Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 2000
Rieley, J.O., A.A. Ahmad-Shah, & M.A. Brady. 1996. The extent and nature of tropical peat
swamps. Dalam: E. Maltby, C.P. Immirzi, & R.J. Safford (eds.), Tropical Lowland
Peatlands of Southeast Asia, Proceedings of a Workshop on Integrated Planning and
Management of Tropical Lowland Peatlands.IUCN Gland:Switzerland.
Sanders, B. 2005. Forest fire menagement and fire pre paredness. International Symposium and
Workshop of Tropical Peatland, 2124 September 2005, Palangkaraya, Indonesia.
Siegert, F., H-D.V. Behm, J.O. Rieley, S.E. Page, J. Jauhiainen, H. Vasander, & A. Jaya. 2002.
Peat fires in Central Kalimantan, Indonesia: fire impacts and carbon release. Dalam: J.O.
Rieley, & S.E. Page (eds.), Peatlands for People, Natural Resources Function, and
Sustainable Management, BPPT dan Indonesian Peat Association, Jakarta, h. 142154.
Singaravelu, S.S. 2002. El Nino, Climate Change and Peat Fires. Makalah disajikan pada
Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 1921 March 2002, Kuala
Lumpur, Malaysia, 9 h.
Usup, A., Y. Hashimoto, H. Takahashi, & H. Hayasaka. 2003. Combustion and thermal
characteristics of peat forest fire in a tropical peatland in Kalimantan, Indonesia. Dalam:
M. Osaki, T. Iwakuma, T. Kohyama, R. Hatano, K. Yonebayashi, H. Tachibana, H.
Takahashi, T. Shinano, S. Higashi, H. Simbolon, S.J. Tuah, H. Wijaya, & S.H. Limin.
(eds.), Land Management and Biodiversity in Southeast Asia, Hokkaido University, Japan
dan Research Centre for Biology, The Indonesian Institute of Sciences. Bogor, Indonesia,
h. 373382.
INDEKS
F
Fibrik..4
H
Hemik..4
Hidrokarbon..4
Histosol4
K
Karbon Monoksida..9
Kondesat..10
N
Nitrogen dioksida9
P
Partikulat.9
S
Saprik4
Sulfur.10
DAFTAR PERTANYAAN
4. Apa saja alat yang diperlukan saat pengambilan sampel tanah terbakar?
Jawaban : Bor tangan, GPS, sekop, dan polybag (kantong plastic warna hitam).