Anda di halaman 1dari 45

EVALUASI BAKU MUTU TANAH BERDASARKAN TANAH TERCEMAR

OLEH:
Fatma Rizki Ananda (H1E111054)
Kartika Arum Wulandari (H1E111060)
M.Fajar Rahman La-Upe (H1E113239)

DOSEN PEMBIMBING:
Prof. Dr. Qomariyatus S, Amd. Hyp.,ST., Mkes.
NIP. 19780420 20050 1 002

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


PROGRAM STUDI S 1 TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2015
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG 1
1.2 RUMUSAN MASALAH2
1.3 TUJUAN 2
1.4 MANFAAT.2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 PENCEMARAN TANAH.3
2.2 PENGERTIAN GAMBUT4
2.3 TANAH GAMBUT5
2.4 PROSES TERBENTUKNYA TANAH GAMBUT.5
2.5 KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT7
2.6 DAMPAK KEBAKARAN.9
2.7 PENYEBAB KEBAKARAN.14
2.8.KARAKTERISTIK ASAP KEBAKARAN HUTAN ....16
2.9 LAHAN GAMBUT DAN PEMANASAN GLOBAL..17
2.10 SIFAT KEBAKARAN18
2.11 STRATEGI PENGELOLAAN KEBAKARAN HUTAN ....20
LAHAN GAMBUT
2.12 PENCEGAHAN KEBAKARAN.20
2.13 PENGENDALIAN KEBAKARAN.21
2.14 KONDISI FISIK DAN KIMIA TANAH TANAH GAMBUT .27
PASCA KEBAKARAN LAHAN
2.15 KRITERIA MUTU TANAH...28

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN


1.Tahap Pendahuluan...29
2.Tahap Persiapan29
3.Tahap Pelaksanaan29

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 HASIL...30
4.1.1 PENENTUAN LOKASI TITIK SAMPLING...30
4.1.2 HASIL PENGUKURAN Ph ...33
4.2 ANALISA HASIL....34
4.3 ANALISA AKHIR PENGAMATAN35

BAB 5 KESIMPULAN....36

DAFTAR PUSTAKA

INDEKS
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Tugas Besar ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Evaluasi Baku Mutu Tanah berdasarkan
Tanah Tercemar.
Tugas Besar ini berisikan tentang pencemaran tanah akibat pembakaran lebih khususnya
membahas baku mutu tanah gambut yang terbakar , dampak-dampak pembakaran, pengendalian
kebakaran , tahap-tahap penelitian dan lain-lain.
Diharapkan Tugas Besar ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
Kualitas tanah gambut yang telah terbakar. Kami menyadari bahwa Tugas Besar ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan Tugas Besar ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan Tugas Besar ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.

Banjarbaru, Desember 2015

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepanjang musim kemarau ini, wilayah Indonesia khususnya daerah Sumatera dan
Kalimantan dilanda kebakaran lahan yang sebagian dari kebakaran terjadi di hutan rawa gambut.
Api kebakaran di lahan gambut memiliki karakteristik selain dapat menghasilkan api tajuk dan
permukaan, juga dapat menimbulkan api bawah tanah gambut yang menghasilkan asap tebal
sehingga banyak merugikan berbagai pihak. Walaupun kebakaran hutan ini sudah sering terjadi,
namun selalu saja terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Seolah-olah tidak ada upaya penyelesaian
dari permasalahan yang berulang-ulang ini. Bahkan menurut Badan Penanggulagan Bencana,
kebakaran lahan tahun ini merupakan yang paling parah yang pernah terjadi di Indonesia.

Pembukaan lahan dengan cara bakar sampai saat ini masih terus dilakukan. Kegiatan
pembukaan lahan yang kurang bijaksana, yang dilakukan masyarakat lebih dikarenakan kondisi
social ekonomi dan adanya anggapan bahwa abu sisa pembakaran bias menjadi pupuk.
Disamping itu belum adanya teknologi pembukaan lahan yang murah, mudah dan secepat api
juga masyarakat melakukan pembakaran ketika mempersiapkan lahannya untuk usaha pertanian
atau perkebunan (Kurnain, 2005).

Selain itu, adanya perusahaan Hutan Tanaman Industri dan Perkebunan yang
memanfaatkan masyarakat secara sembunyi-sembunyi melakukan pembukaan lahan dengan cara
membakar, agar biaya pembukaan lahan dapat ditekan, juga telah memicu terjadinya kebakaran
lahan dan kebun. Atas hal tersebut diatas pada dasarnya masyarakat petani/peladang, pengusaha
hutan tanaman industry dan perkebunan besar meningkatkan resiko kebakaran hutan dan lahan
serta dampak buruk yang diakibatkannya termasuk terjadinya bencana asap (Kurnain, 2005).

Hampir kebanyakan masyarakat kita mengeluhkan dampak dari kebakaran lahan tersebut
terutama munculnya kabut asap yang tebal yang dapat mengganggu jarak pandang manusia dan
juga menimbulkan penyakit saluran pernapasan. Padahal dalam peristiwa kebakaran lahan tidak

Ha11nya menimbulkan kabut asap yang berbahaya, akan tetapi juga dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan lainnya seperti pencemaran tanah pada lahan terbakaritu. Sehingga
dalam tugas besar ini, kami melakukan pengamatan terhadap lahan yang terbakar, apakah tanah
pada lahan tersebut sudah tercemar serta mengevaluasi baku mutu tanah pada lahan yang
terbakar.

1.2 Rumusan Masalah


Ada pun rumusan masalah dalam tugas besar ini antara lain :
1. Apa yang menyebabkan lahan gambut terbakar ?
2. Bagaimana kondisi fisik dan kimia tanah pada lahan yang terbakar ?
3. Apakah kondisi fisik dan kimia tanah pada lahan terbakar sesuai dengan standar baku
mutu tanah ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari tugas besar ini antara lain :
1. Mengetahui penyebab kebakaran lahan gambut
2. Mengetahui kondisi fisik dan kimia tanah pada lahan yang terbakar
3. Mengevaluasi kondisi fisik dan kimia tanah pada lahan terbakar dengan standar baku
mutu tanah

1.4 Manfaat
Manfaat yang didapatkan dari pembuatan tugas besar ini adalah agar masyarakat dan
pemerintah tidak hanya memperhatikan kabut asap yang ditimbulkan, tetapi juga memperhatikan
kondisi tanah padalahan yang terbakar agar tanah tersebut tidak sembarangan diperuntukkan
ataupun digunakan kembali oleh masyarakat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Tanah


Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat energi,
dan atau komponen lain ke dalam lingkungan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan
manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi. Zat atau bahan
yang dapat mengakibatkan pencemaran di sebut polutan. Syarat-syarat suatu zat disebut polutan
bila keberadaannya dapat menyebabkan kerugian terhadap makluk hidup. Contohnya, karbon
dioksida dengan kadar 0,033% di udara berfaedah bagi tumbuhan, tetapi bila lebih tinggi dari
0,033% dapat memberikan efek merusak. Suatu zat dapat disebut polutan apabila:
1. Jumlahnya melebihi jumlah normal.
2. Berada pada waktu yang tidak tepat.
3. Berada di tempat yang tidak tepat.
Pencemaran tanah adalah keadaan dimana bahan kimia buatan manusia masuk dan
merubah lingkungan tanah alami. Tanah merupakan bagian penting dalam menunjang kehidupan
makhluk hidup di muka bumi. Seperti kita ketahui rantai makanan bermula dari tumbuhan.
Manusia, hewan hidup dari tumbuhan. Memang ada tumbuhan dan hewan yang hidup di laut,
tetapi sebagian besar dari makanan kita berasal dari permukaan tanah (Usup et al., 2003).
Jika suatu zat berbahaya telah mencemari permukaan tanah, maka ia dapat menguap,
tersapu air hujan dan atau masuk ke dalam tanah. Pencemaran yang masuk ke dalam tanah
kemudian terendap sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat
berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan
udara di atasnya (Abdullah et al., 2002).

2.2 Pengertian Gambut

Tanah gambut disebut juga tanah Histosol (tanah organic) asal bahasa Yunanihistories
artinya jaringan. Histosol sama halnya dengan tanah rawa, tanah organik dangambut.Histosol
mempunyai kadar bahan organik sangat tinggi sampai kedalaman 80 cm (32inches) kebanyakan
adalah gambut (peat) yang tersusun atas sisa tanaman yang sedikit banyak terdekomposisi dan
menyimpan air.Jenis tanah Histosol merupakan tanah yang sangatkaya bahan organik keadaan
kedalaman lebih dari 40 cm dari permukaan tanah. Umumnyatanah ini tergenang air dalam
waktu lama sedangkan didaerah yang ada drainase ataudikeringkan ketebalan bahan organik
akan mengalami penurunan (subsidence) (Kurnain, 2005).
Bahan organik didalam tanah dibagi 3 macam berdasarkan tingkat kematangan yaitu fibrik,
hemik dan saprik. Fibrik merupakan bahan organik yang tingkat kematanganny arendah sampai
paling rendah (mentah) dimana bahan aslinya berupa sisa-sisa tumbuhanmasih nampak jelas.
Hemik mempunyai tingkat kematangan sedang sampai setengah matang,sedangkan sapri tingkat
kematangan lanjut.Dalam tingkat klasifikasi yang lebih rendah (GreatGroup) dijumpai tanah-
tanah Trophemist dan Troposaprist. Penyebaran tanah ini berada padadaerah rawa belakangan
dekat sungai, daerah yang dataran yang telah diusahakan sebagaiareal perkebunan kelapa dan
dibawah vegetasi Mangrove dan Nipah (Kurnain, 2005).
Secara umum definisi tanah gambut adalah: Tanah yang jenuh air dan tersusun dari
bahan tanah organik, yaitu sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk yaitu dengan
ketebalan lebih dari 50 cm . Dalam sistem klasifikasi baru (Taksonomi tanah), tanah gambut
disebut sebagai Histosols (histos = jaringan ).Pada waktu lampau, kata yang umum digunakan
untuk menerangkan tanah gambut adalah tanah rawang atau tanah merawang. Diwilayah yang
memiliki empat musim, tanah gambut telah dikelompokan dengan lebih rinci.Padanan yang
mengacu kepada tanah gambut tersebut adalah bog, fen, peatland atau moor (Kurnain, 2005).

2.3 Tanah Gambut


Tanah gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari vegetasi pepohonan yang mengalami
dekomposisi tidak sempurna digenangi air sehingga kondisinya anaerobik. Material organik
tersebut terus menumpuk dalam waktu lama sehingga membentuk lapisan-lapisan dengan
ketebalan lebih dari 50 cm. Tanah gambut banyak dijumpai di daerah-daerah jenuh air seperti
rawa, cekungan, atau daerah pantai. Sebagian besar tanah gambut masih berupa hutan yang
menjadi habitat tumbuhan dan satwa langka. Hutan gambut mempunyai kemampuan menyimpan
karbon dalam jumlah yang besar. Karbon tersimpan mulai dari permukaan hingga di dalam
dalam tanah, mengingat kedalaman tanah gambut bisa mencapai lebih dari 10 meter. Tanah
gambut memiliki kemampuan menyimpan air hingga 13 kali dari bobotnya. Oleh karena itu
perannya sangat penting dalam hidrologi, seperti mengendalikan banjir saat musim penghujan
dan mengeluarkan cadangan air saat kemarau panjang. Kerusakan yang terjadi pada lahan
gambut bisa menyebabkan bencana bagi daerah sekitarnya (Siegert et al., 2002).

2.4 Proses Terbentuknya Tanah Gambut


Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk
maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi
anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat
perkembangan biota pengurai. Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal
yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati
dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara
lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman
berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara perlahan
membentuk lapisanlapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh. Bagian gambut yang
tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen karena proses
pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif
subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya
jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut.
Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil pelapukannya
membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah (dome) gambut yang
permukaannya cembung). Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut
ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah
kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan
mineral. Gambut eutrofik (gambut topogen) di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di
daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai. Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh
kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan
gambut. Gambut di Sumatra relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan.
Tanah gambut mempunyai sifat fisik dan kimia yang khas. Sifat tersebut berhubungan
dengan kontribusi gambut dalam menjaga kestabilan lingkungan apabila lahan gambut berada
dalam keadaan alami dan sebaliknya menjadi sumber berbagai masalah lingkungan apabila
campur tangan manusia mengganggu kestabilan lahan gambut. Seperti halnya pada lahan gambut
sebagai penambat dan penyimpan karbon. Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di
seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75%
dari seluruh karbon atmosfir, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa
total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di
seluruh dunia. Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di bawah
hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut (substratum). Dari
berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam
jumlah tertinggi. Lahan gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa
lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral
Tabel Kandungan karbon di atas permukaan tanah (dalam biomassa tanaman) dan di bawah
permukaan tanah pada hutan gambut dan hutan tanah mineral

Komponen Hutan Gambut Hutan Primer Tanah Mineral

Atas permukaan tanah 150-200 200-350

Bawah permukaan tanah 300-6000 30-300

Diemont (1986) merangkum pemikiran Polak(1933), Andriesse(1974) dan Driessen(1978)


tentang tahapan-tahapan pembentukan gambut di Indonesia :
1) Permukaan laut stabil (5000 tahun yang lalu).
2) Deposisi sedimen pantai dengan cepat membentuk dataran pantai yang luasdi pantai
tilir Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya, yang ditutupi oleh komunitas hutan
mangrove.
3) Komunitas mangrove daerah stabil yang mengakibatkan perluasan tanah,
yang akhirnya membentuk daerah mangrove dan lagonyang mampu mengurangi kadar
garam serta meningkatkan daerah dengan air segar menyebabkan terjadinya hutan
gambut tropika atau danau berair segar.
4) Danau berair segar itu secara bertahap menampung BO yang dihasilkan oleh
tumbuhan, berkembang menjadi hutan gambut tropika yang dipengaruhi oleh air
gambut (ground water peat) sebagi gambut topogen.
5) Di atas gambut topogen terbentuk hutan gambut ombrotrophic Prinsip Pembentukan
tanah gambut: Proses akumulasi BO > dekomposisi BO Daerah iklim sedang dan
dingin: Penyebab utama adalah suhu dingin dan kondisi air jenuh sehingga proses
oksidas berjalan lambat Daerah Tropika: Kelebihan air, kekurangan oksigen.

2.5 Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut


Kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah tropika terutama di Asia Tenggara sudah
terjadi selama 20 tahun terakhir ini. Kebakaran tersebut terjadi umumnya selama musim kering
yang terimbas oleh periode iklim panas atau dikenal sebagai El Nino-Southern Oscilation
(ENSO). Periode panas ini dapat terjadi setiap 37 tahun, dan lama kejadiannya dari 14 bulan
hingga 22 bulan (Singaravelu, 2002). Pemanasan ini biasanya bermula pada bulan Oktober, terus
meningkat ke akhir tahun dan berpuncak pada pertengahan tahun berikutnya.
Untuk mempertegas keterkaitan periode iklim panas ENSO dengan peristiwa kebakaran
hutan dan lahan, perkenanlah saya mengungkapkan kembali sejarah kebakaran hutan dan lahan
di Indonesia. Kebakaran hutan tropika basah di Indonesia diketahui terjadi sejak abad ke-19,
yakni di kawasan antara Sungai Kalinaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan
Katingan) di Kalimantan Tengah, yang rusak akibat kebakaran hutan tahun 1877. Statistik
Kehutanan Indonesia telah mencatat adanya kebakaran hutan sejak tahun 1978, meskipun
kebakaran besar yang diketahui oleh umum terjadi pada tahun 1982/1983 telah menghabiskan
3,6 juta ha hutan termasuk sekitar 500.000 ha lahan gambut di Kalimantan Timur (Page et al.,
2000; Parish, 2002).
Gambar 2.1 Keadaan Tanah Pada Lahan Pasca Kebakaran Lahan
(Sumber : WWF Indonesia)

Selanjutnya pada tahun 1987 kebakaran hutan dalam skala besar terjadi lagi di 21
propinsi terutama di Kalimantan Timur, yang terjadi bersamaan dengan munculnya periode iklim
panas ENSO, sehingga sejak saat itu timbul anggapan bahwa kebakaran hutan adalah bencana
alam akibat kemarau panjang dan kering karena ENSO. Begitulah kebakaran besar terjadi lagi
pada tahun 1991, 1994 dan 1997 di 24 propinsi di Indonesia. Kebakaran selama musim kering
pada tahun 1997, telah membakar sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia (BAPPENAS,
1998), termasuk 750.000 ha di Kalimantan. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997
dinyatakan sebagai yang terburuk dalam 20 tahun terakhir. Atas dasar rekaman sejarah tersebut
di atas, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berulang setiap lima tahun, yang nampaknya
cocok benar dengan periode iklim panas ENSO rata-rata 5 tahun.

2.6 Dampak Kebakaran

2.6.1 Dampak terhadap bio-fisik

Dampak dari kebakaran hutan dan lahan pada dasarnya sangat banyak.Pada pohon
kerusakan dapat berkisar dari gangguan luka-luka bakar pada pangkal batang pohon atau
tanaman sampai hancurnya pepohonan atau tanaman secara keseluruhan vegetasi lainnya.Dengan
hancurnya vegetasi, maka dampak yang terancam adlah hilangnya plasma nutfah (sumber daya
genetik pembawa sifat keturunan) seiring dengan rusaknya vegetasi tersebut. Selain itu,
kebakaran dapat juga melemahkan daya tahan tegakan terhadap serangan penyakit dan hama.
Juga batang pohon yang menderita luka bakar meskipun tidak akan mati, tapi tidak lepas dari
terkena serangan penyakit atau pembusukan. Kebakaran hutan juga dapat mengurangi kepadatan
tegakan dan merusak hijauan yang bermanfaat bagi hewan serta mengganggu habitat satwa liar.
Rusaknya suatu generasi tegakan hutan oleh kebakaran, berarti hilangnya waktu dan proses yang
di perlukan untuk mencapai taraf pembentukan tegakan tersebut. Kebakaran hutan dan lahan
dapat mengakibatkan hilangnya humus dan zat-zat hara pada tanah, dan selanjutnya tanah
menjadi terbuka terhadap pengaruh panas matahari dan aliran air permukaan sehingga dapat
merusak sifat fisik tanah. Tanah menjadi mudah terkikis, perkolasi dan tingkat air tanahnya
menurun.

Kebakaran yang terjadi tidak satu kali saja dilahan yang sama dapat menghabiskan
serasah dan mematikan mikroorganisme atau jasad renik pada lapisan tanah yang sangat berguna
bagi kesuburan tanah.

2.6.2. Dampak terhadap Tanah

Kebakaran Hutan dan Lahan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sifat fissik
dan kimia tanah. Terjadinya keabakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah,
sehingga apabila terjadi hujan, maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah,
sehinggga mendapat energi pukulan air hujan lebih bear, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi
penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya struktur tanah.

Kebakaran juga menyebabkan akar tanaman menjadi mati, meningkatnya pencucian


unsur hara, menyebabkan hilangnya unsur hara melalui berbagai jalan dan juga menurunkan
kualitas tanah karena hilangnya mikroorganisme tanah. Nitrogen menguap di atas suhu 100 0 C,
sulfur organic terurai di atas suhu 3400 C, fosfat akan terbenam dalam bentuk silikat kompleks
sehingga sukar terurai kembali untuk dimanfaatkan tanaman.Rusaknya permukaan tanah dan
meningkatnya erosi juga dampak dari kebakaran hutan. Kawasan hutan yang terbakar di lereng-
lereng di daerah hulu satu kali pada lahan yang sama dapat menurunkan mutu kawasan tersebut
yaitu erosi tanah dan banjir, yang menimbulkan dampak terkait berupa pendangkalan terhadap
saluran air, sungai, danau dan bendungan.DAS cenderung menurunkan kapasitas penyimpanan
air di daerah-daerah dibawahnya.Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa kebakaran yang
lebih.

2.6.3 Dampak terhadap Air

Kebakaran hutan dan lahan bissa menyebabkan terganggunya siklus hidrologi.Hal ini
disebabkan karena hilangnya vegetasi penutup tanah, sehingga mengakibatkan fungsi
penghambat air hujan oleh vegetasi tersebut berkurang.Kondisi ini membawa pengaruhh
terhadap besarnya aliran permukaan pada saat terjadi hujan. Aliran permukaan yang bear
menyebabkan meningkatnya erosi dan sedimentasi. Dengan demikian padda kawasan yang
terbakar, akan

2.6.4 Dampak Terhadap Lingkungan

Dampak kebakaran selain dapat menimbulkan kerugian material, kebakaran hutan dan
lahan juga menciptakan bencana kabut asap yang besar. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun
1994 dan tahun 1997 telah menjadi sorotan dunia, karena adanya kondisi cuaca yang ekstrim
sehingga asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terperangakap di bawah suatu lapisan udara
dingin atmosfer di atas wilayah Indonesia dan negara disekitar mengakibatkan penurunan jarak
pandang atau visibilitas sehingga mengganggu kelancaran transportasi darat, laut dan udara.

2.6.5 Dampak Polutan Asap Pembakaran Hutan Bagi Kesehatan


Polutan asap kebakaran memberikan dampak negatif bagi kesehatan, diantaranya:

1. Partikulat ( partikel kecil < 10m, diameter aero dinamik < 2,5 ). Partikulat ini dapat
terinhalasi melalui sitem pernapasan, terjadinya akut, dengan mengiritasi bronkus,
menyebabkan inflamasi dan reaktifitas meningkat. Partikulat ini juga menyebabkan
terjadinya berkurangnya bersihan mukosilier, mengurangi respon makrofag dan imunitas
local serta reaksi fibrotic. Efek potensial pada kesehatan adalah mengi, asma eksaserbasi,
infeksi saluran nafas, bronchitis kronik, PPOK.

2. Karbon monoksida. Polutan ini berikatan dengan hemoglobin menghasilkan karboksi


hemoglobin yang mengurangi transport oksigen ke organ vital dan menyebabkan
gangguan janin. Sebagaimana kita ketahui seorang ibu hamil akan mengalami anemia
fisiologis. Kadar hemoglobin yang kurang dalam darah dan diperberat dengan turunnya
kadar oksigen dalam darah menyebabkan ibu hamil kekurangan oksigen bagi dirinya dan
untuk menyuplai bayinya. Hal ini menyebabkan kelahiran berat badan bayi lahir rendah
dan meningkatnya kasus kematian perinatal. Dengan kadar oksigen yang sangat kurang
hal ini mempengaruhi kerja sel otak khususnya balita. Otak sangat sensitive terhadap
kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen dalam waktu 5 menit dapat menyebabkan
kematian sel otak secara permanen. Hal ini la yang menyebabkan pada jangka
panjangnya kecerdasan anak akan menurun.

3. Hidrokarbon aromatic polisiklik (Benzo-alpyrene. Polutan ini bekerja sebagai karsinogen


yang dapat menyebabkan kanker paru, kanker mulut, nasofaring dan laring.

4. Nitrogen dioksida. Polutan ini merupakan pajanan akut yang menyebabkan reaktivitas
bronkus. Pajanan kronik dapat meningkatkan kerentanan infeksi bakteri dan virus. Efek
potensial pada kesehatan menimbulkan mengi, asma eksaserbasi, infeksi saluran nafas,
berkurangnya fungsi paru anak.

5. Sulfur dioksida. Polutan ini sebagai pajanan akut yang menyebabkan reaktivitas bronkus.
Hal ini member dampak bagi kesehatan, menimbulkan mengi, asma eksaserbasi, PPOK
eksaserbasi, penyakit kardiovaskuler.

6. Kondesat asap biomass, termasuk hidrokarbon aromatic polisiklik dan ion metal. Polutan
ini masuk kemata dan diabsorbsi oleh lensa, sehingga terjadi perubahan oksidatif. Hal ini
dapat menyebabkan katarak pada mata.

Udara tercemar akan masuk ke dalam tubuh manusia sehingga mempengaruhi paru dan
saluran napas, komponennya juga diedarkan ke seluruh tubuh, artinya selain terhisap langusung
manusia dapat menerima akibat buruk polusi ini dan secara tidak langsung dapat mengkonsumsi
zat makanan atau air yang terkontaminasi.
Polusi dalam rumah mempunyai dampak lebih besar, karena penghuni rumah akan
terpajan asap dalam konsentrasi tinggi selama bertahun-tahun. Pajanan kebakaran hutan biasanya
berlangsung selama 4-5 bulan dalam setahun dan intesitasnya tergantung pada luas kebakaran
hutan. Asap menimbulkan iritasi mata, kulit dan gangguan saluran pernapasan, yang lebih berat
fungsi paru berkurang, bronchitis, asma eksaserbasi dan kematian dini. Selain itu konsentrasi
yang tinggi partikel-partikel iritasi pernapasan dapat menyebabkan batuk-batuk terus, batuk
berdahak, kesulitan bernapas dan radang paru.

Inhalasi merupakan jalur pajanan yang menjadi perjhatian kesehatan. Partikulat 5 m


dapat langsung masuk ke paru-paru dan mengendap di alveoli. Partikulat 5m juga berbahaya
karena dapat mengganggu sistem pernapasan dan mengiritasi saluran pernapasan. Kondisi kronik
terpajan polusi udara beracun dengan konsentrasi tinggi sedikit meningkatkan resiko kanker.

2.6.6 Dampak terhadap Iklim dan Kualitas Udara


Hutan telah diyakini memiliki fungsi pengatur iklim dan kualitas udara. Hal ini bisa dilihat
melalui penjelasn trilogi kehutanan seperti pada gambar

IKLIM

VEGETASI TANAH

Gambar 2.4 Trilogi Kehutanan

Hilangnya vegetasi hutan karena terbakar akan menyebabkan terganggunya iklim baik iklim
makro maupun mikro. Keberadaan hutan akan membuat udara sejuk di sekitarnya, dengan
demikian hilangnya hutan akan menyebabkan udara terasa panas. Pada saat terjadi kebakaran
hutan dan lahan dampak yang sering muncul adalah asap. Asap tebal menyebabkan menurunnya
kualitas udara, dengan kata lain munculnya assap tebal di udara akan menyebabkan polusi udara.

2.6.7. Dampak terhadap Flora


Menurut Abdulhadi dkk (1999) mengatakan bahwa Indonesia hanya areal lahan sebesar
1,3 % dari lahan dunia. Namun, dari luas tersebut ditaksr mengandung 17 % dari keseluruhan
spesies dunia. Lebih dari 25.000 spesies tumbuhan berbunga termasuk di dalamnya sekitar
10.000 pohon-pohonan. Pengamatan terhadap hilangnya flora sebagai sumberdaya alam hayati
yang ada aat ini baru terbatas pada flora yang dikenal saja, padahal masih banyak flora yang
belum dikenal juga ikut musnah bersamaan dengan terjadinya kebakaran hutan.

2.7 Penyebab Kebakaran


Kebakaran hutan dan lahan gambut selama musim kering dapat disebabkan atau dipicu
oleh kejadian alamiah dan kegiatan atau kecerobohan manusia. Kejadian alamiah seperti
terbakarnya ranting dan daun kering secara serta-merta (spontan) akibat panas yang ditimbulkan
oleh batu dan benda lainnya yang dapat menyimpan dan menghantar panas, dan pelepasan gas
metana (CH ) telah diketahui dapat memicu terjadinya kebakaran (Abdullah et al., 2002).
Meskipun demikian, pemicu utama terjadinya kebakaran adalah adanya kegiatan dan atau
kecerobohan manusia, yang 9095% kejadian kebakaran dipicu oleh faktor ini. Faktor manusia
yang dapat memicu terjadinya kebakaran meliputi pembukaan lahan dalam rangka
pengembangan pertanian berskala besar, persiapan lahan oleh petani, dan kegiatan-kegiatan
rekreasi seperti perkemahan, piknik dan perburuan. Menurut pengalaman di Malaysia (Abdullah
et al., 2002; Musa & Parlan, 2002) dan di Sumatra kegiatan pembukaan dan persiapan lahan baik
oleh perusahaan maupun masyarakat merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan
lahan gambut. Pembukaan dan persiapan lahan oleh petani dengan cara membakar merupakan
cara yang murah dan cepat terutama bagi tanah yang berkesuburan rendah. Banyak penelitian
telah menunjukkan bahwa cara ini cukup membantu memperbaiki kesuburan tanah dengan
meningkatkan kandungan unsur hara dan mengurangi kemasaman (Diemont et al., 2002).
Hanya saja jika tidak terkendali, kegiatan ini dapat memicu terjadinya kebakaran. Dalam
skala besar, ancaman kebakaran terutama terjadi dalam kawasan hutan dan lahan gambut yang
telah direklamasi. Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut pada tahun 1997 menunjukkan
bahwa sekitar 80% dari luas lahan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) 1,4 juta hektar
di Kalimantan Tengah diliputi oleh titik titik panas (hot spots), yang sebarannya semakin banyak
ke arah saluran pengatusan (drainase) yang telah dibangun (Jaya et al., 2000; Page et al., 2000).
Ancaman itu memang akhirnya terjadi bahwa sekitar 500.000 ha kawasan PPLG di Kalimantan
Tengah telah terbakar selama kebakaran tahun 1997 (Page et al., 2000; Siegert et al., 2002).

Sampai saat ini hasil kajian tentang penyebab kebakaran menunjukkan bahwa kebakaran
hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh penyebab langsung yaitu:

API DIGUNAKAN DALAM PEMBUKAAN LAHAN

Api telah lama digunakan oleh peladang berpindah dalam rangka penyiapan lahan, dan hal
tersebut dilakukan karena mereka mengharapkan lahannya bersih, mudah dikerjakan, bebas
hama dan penyakit serta mendapatkan abu hasil pembakaran yang kaya mineral, motif demikian
pulalah yang dilakukan oleh korporasi saat ini baik oleh perkebunan kelapa sawit maupun oleh
pengusaha hutan tanaman industri maupun non hutan seperti sagu

API DIGUNAKAN SEBAGAI SENJATA DALAM PERMASALAHAN KONFLIK


TANAH

Dalam rangka untuk melakukan perlawanan maka tidak sedkit para petani yang dirugikan
melakukan perlawanan dengan cara membakar tanaman pihak korporasi sehingga mengalami
kerugian yang tidak sedkit

API MENYEBAR SECARA TIDAK SENGAJA


Akibat kondisi lapangan yang tidak kondusif maka tidak sedikit api yang berasal dari lahan
masyarakat masuk ke dalam lahan korporasi secara tidak sengaja (lalai), namun tidak sedkit juga
pihak korporasi yang memanfaatkannya, namun tidak sedikit juga api yang berasal dari korporasi
masuk ke dalam lahan masyarakat sehingga menderita kerugian yang tidak sedikit

API YANG BERKAITAN DENGAN EKSTRAKSI SUMBERDAYA ALAM

Beberapa kegiatan terkait estraksi sumberdaya alam menggunakan api dalam 16 aplikasinya di
lapangan, seperti pemanenen madu di pohon-pohon besar, pemanenan getah damar, dan lain
sebagainya.

Sedangkan penyebab tidak langsung terdiri dari: Penguasaan lahan Untuk menyatakan
penguasaan lahan yang diinginkannya maka tidak sedikit pihak-pihak yang ingin menguasai
lahan tersebut dilakukannya dengan membakar dan lahan yang telah bersih tersebut kemudian
dikuasainya Alokasi penggunaan lahan Untuk memudahkan dalam pengalokasian lahan
sehingga dapat segera dilakukan maka digunakan api Insentif/Dis-insentif ekonomi Tidak
jelasnya insentif/dis-insenti membuat pelaku ekonomi melakukan pembakaran karena dianggap
dapat menghemat biaya produksi dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan, sehingga pembakaran
menjadi suatu pilihan. Degradasi hutan dan lahan Setelah hutan ditebang dan dimanfaatkan
kayunya maka tindakan selanjutnya adalah pemanfaatan lahan bekas ditebang tersebut dengan
pembakaran Dampak dari perubahan karakteristik kependudukan Meningkatnya jumlah
penduduk maka meningkat pula kebutuhannya baik akan papan, pangan, dan sebagainya, sebagai
konsekuensinya maka dilakukan perluasan areal-areal tersebut yang pada akhirnya
membutuhkan lahan yang luas sehingga hutan yang tersisa menjadi gantungannya. Dalam
kondisi tertentu maka tindakan pintas dilakukan yaitu menggunakan api. Lemahnya kapasitas
kelembagaan Banyak terdapat lembaga terkait dalam upaya pengendalian kebakaran dalam satu
sisi namun keberadaan lembaga tersebut ternyata belum mampu mengendalikan kebakaran yang
terjadi akibat berbagai persoalan yang membelitnya termasuk persoalan internal. Selain itu
ketiadaan dana yang cukup dan ketidakmampuan aparat setempat berhadapan dengan pejabat
yang berada diatasnya juga menjadi persoalan serius untuk dituntaskan.

2.8 Karaktesitik Asap Kebakaran Hutan


Secara umum asap kebakaran hutan dan lahan berisi gas CO, CO2, H2O, jelaga, debu
(partikel) ditambah dengan unsur-unsur yang sudah ada di udara seperti CO2, H2O, O2, N2, dan
lain-lain. Berdasarkan data pengamtan tahun 1997, di pulau sumatera ketinggian puncak lapisan
asap berkisar antara 7000 kaki hingga 9000 kaki dan di Pulau Kalimantan berkisar antara 5000
kaki hingga 6000 kaki. Pada saat observasi lapangan tanggal 15 s.d 17 Maret tahun 2002, di
wilayah Sumatera bagian utara puncak lapisan asap berkisara antara 8000 kaki hingga 9000 kaki.
Berat gas asap lebih berat dari udara normal sehingga asap tersebut tidak segera naik ke angkasa,
akibatnya lama-kelamaan asap tersebut terakumulasi dan menjadi pekat (BPPT, 1997).

Asap yang pekat sangat berpengaruh terhadap visibility ( kekuatan jarak pandang) menjadi
rendah, dan menghalangi radiasi matahari kepermukaan tanah, sehingga tidak adanya terjadi
proses konveksi. Pada umumnya temperatur di lokasi asap rendah yaitu berkisar 24 C. Di sekitar
lokasi asap umumnya terdapat awan, ketinggian dasar awan pada umumnya berkisar antara 5000
kaki hingga 6000 kaki, atau lebih rendah dari puncak lapisan asap, akibatnya awan yang berada
di sekitar lokasi asap tertahan masuk. Di atas lapisan asap terdapat aliran

2.9 Lahan Gambut dan Pemanasan Global


Transformasi karbon dari lahan gambut tidak hanya disebabkan oleh sejumlah faktor
abiotik, tetapi juga sangat ditenrukan oleh modifikasi antropogenik. Beragam aktivitas manusia
yang bekerja di lahan gambut menyebabkan lahan gambut alami menjadi ekosistem yang terbuka
dengan beragam efek terhadap siklus transformasi karbon.23 Transformasi dari karbon ditandai
dengan terbentuknya gas rumah kaca CO dan CH4. Adanya reklamasi sangat menentukan
regulasi emisi CO2 dan CH4, sehingga transformasi karbon melalui dekomposisi gambut sebagai
akibat adanya reklamasi dan drainase adalah faktor yang harus diperhatikan dalam perencanaan
penggunaan lahan untuk pertanian. Permukaan air yang rendah mempengaruhi kandungan
karbon gambut. Meskipun tidak diketahui berapa permukaan air kritis pada hutan gambut, tapi
informasi ini dapat diperoleh menggunakan lahan gambut kering.24 Laju pelepasan karbon dari
beragam penggunaan lahan disajikan pada tabel 1. Emisi karbon dari lahan hutan gambut sama
dengan pelepasan karbon bila lahan dikonversi menjadi ladang penggembalaan, tetapi terjadi
peningkatan emisi karbon yang sangat tajam bila dikembangkan untuk usaha budidaya pertanian
tanaman pangan. Apalagi kalau bahan gambut tersebut diekstraksi untuk tanaman holtikultura
dan digunakan sebagai bahan bakar. Jumlah emisi karbon yang dikeluarkan oleh lahan gambut
yang digunakan untuk berbagai kegiatan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah emisi karbon
dari lahan gambut yang terbakar.
Dampak pemanasan global ini sudah kita rasakan seperti perubahan cuaca yang ekstrim
yang ditandai dengan perubahan siklus hujan dan kenaikan permukaan air laut yang disebabkan
oleh mencairnya es di kutub. Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak pulau
kecil harus waspada karena dengan kenaikan suhu bumi yang berkelanjutan dikhawatirkan
pulau-pulau kecil tersebut akan terendam akibat kenaikan permukaan air laut.
Pemanasan global berdampak pada naiknya tempetatur udara mencapai 1,5-4,5C dan
metubah petmukaan bumi secara radikal sehingga mempengaruhi kesehatan dan keamanan
manusia. Kenaikan suhu permukaan bumi sebesar satu detajat celcius akan menaikkan
permukaan laut setinggi 15 centimeter yang akan menenggelamkan kawasan pesisir. Selain itu
terjadi perubahan musim dan musnahnya berbagai jenis flora dan fauna. Akibat pemanasan
global diperkirakan pada 2070 sekitar 800 ribu rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan
dan sebanyak 2.000 dari 18 ribu pulau di Indonesia akan tenggelam akibat naiknya air laut.

2.10 Sifat Kebakaran


Sifat kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan gambut berbeda dengan yang
terjadi di kawasan hutan dan lahan tanah mineral (bukan gambut). Di kawasan bergambut,
kebakaran tidak hanya menghanguskan tanaman dan vegetasi hutan serta lantai hutan (forest
floor) termasuk lapisan serasah, dedaunan dan bekas kayu yang gugur, tetapi juga membakar
lapisan gambut baik di permukaan maupun di bawah permukaan. Berdasarkan pengamatan
lapangan (Usup et al., 2003) ada dua tipe kebakaran lapisan gambut, yaitu tipe lapisan
permukaan dan tipe bawah permukaan. Tipe yang pertama dapat menghanguskan lapisan gambut
hingga 1015 cm, yang biasanya terjadi pada gambut dangkal atau pada hutan dan lahan
berketinggian muka air tanah tidak lebih dari 30 cm dari permukaan. Pada tipe yang pertama ini,
ujung api bergerak secara zigzag dan cepat, dengan panjang proyeksi sekitar 1050 cm dan
kecepatan menyebar rata-rata 3,83 -1 -1cm jam (atau 92 cm hari ).
Tipe yang kedua adalah terbakarnya gambut di kedalaman 3050 cm di bawah
permukaan. Ujung api bergerak dan menyebar ke arah kubah gambut (peat dome) dan -1 -1(atau
29 cm hari ). Perakaran pohon dengan kecepatan rata-rata 1,29 cm jam Kebakaran tipe kedua ini
paling berbahaya karena menimbulkan kabut asap gelap dan pekat, dan melepaskan gas
pencemar lainnya ke atmosfer. Di samping itu, kebakaran tipe ke-2 ini sangat sulit untuk
dipadamkan, bahkan oleh hujan lebat sekalipun. Dari uraian di atas jelas bahwa kebakaran hutan
dan lahan gambut dapat meninmbulkan dampak/akibat buruk yang lebih besar dibandingkan
dengan kebakaran yang terjadi di kawasan tidak bergambut (tanah mineral). Selain itu, cara
penanganannya pun berbeda, karena karakteristik kebakaran di kawasan bergambut yang khas
daripada di kawasan tidak bergambut.

2.11 Strategi Pengelolaan Kebakaran Hutan Lahan Gambut


Pengelolaan atas kebakaran hutan lahan gambut meliputi upaya pencegahan dan
pengendalian. Kedua upaya itu harus dilakukan secara sistematis, serba-cakup (comprehensive),
dan terpadu, dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder).

2.12. Pencegahan kebakaran


Tindakan pencegahan merupakan komponen terpenting dari seluruh sistem
penanggulangan bencana termasuk kebakaran. Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik,
seluruh bencana kebakaran dapat diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan kebakaran
diarahkan untuk meminimalkan atau menghilangkan sumber api di lapangan. Upaya ini pada
dasarnya harus dimulai sejak awal proses pembangunan sebuah wilayah, yaitu sejak penetapan
fungsi wilayah, perencanaan tata guna hutan/lahan, pemberian ijin bagi kegiatan, hingga
pemantauan dan evaluasi. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya
api di antaranya:
1. Penatagunaan lahan sesuai dengan peruntukan dan fungsinya masing-masing, dengan
mempertimbangkan kelayakannya secara ekologis di samping secara ekonomis.
2. Pengembangan sistem budidaya pertanian dan perkebunan, serta sistem produksi kayu
yang tidak rentan terhadap kebakaran, seperti pembukaan dan persiapan lahan tanpa bakar
(zero burning-based land clearing), atau dengan pembakaran yang terkendali (controlled
burning-based land clearing).
3. Pengembangan sistem kepemilikan lahan secara jelas dan tepat sasaran. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk menghindari pengelolaan lahan yang tidak tepat sesuai dengen
peruntukan dan fungsinya.
4. Pencegahan perubahan ekologi secara besar-besaran diantaranya dengan membuat dan
mengembangkan pedoman pemanfaatan hutan dan lahan gambut secara bijaksana (wise
use of peatland), dan memulihkan hutan dan lahan gambut yang telah rusak.
5. Pengembangan program penyadaran masyarakat terutama yang terkait dengan tindakan
pencegahan dan pengendalian kebakaran. Program ini diharapkan dapat mendorong
dikembangkannya strategi pencegahan dan pengendalian kebakaran berbasis masyarakat
(community-based fire management).
6. Pengembangan sistem penegakan hukum. Hal ini mencakup penyelidikan terhadap
penyebab kebakaran serta mengajukan pihak-pihak yang diduga menyebabkan kebakaran
ke pengadilan.
7. Pengembangan sistem informasi kebakaran yang berorientasi kepada penyelesaian
masalah. Hal ini mencakup pengembangan sistem pemeringkatan bahaya kebakaran (Fire
Danger Rating System) dengan memadukan data iklim (curah hujan dan kelembaban
udara), data hidrologis (kedalaman muka ir tanah dan kadar lengas tanah), dan data bahan
yang dapat memicu timbulnya api. Kegiatan ini akan memberikan gambaran secara
kartografik terhadap kerawanan kebakaran.

Gambarannya dapat berupa peta bahaya kebakaran yang berhubungan dengan kondisi
mudahnya terjadi kebakaran, peta resiko kebakaran yang berkaitan dengan sebab musabab
terjadinya kebakaran, dan peta sejarah kebakaran yang penting untuk evaluasi penanggulangan
kebakaran.

2.13. Pengendalian kebakaran


Pengendalian kebakaran hutan dapat dimulai dari para pengguna api lahan. Para
pengguna api baik masyarakat maupun perusahaan dapat diperankan sebagai pencegah api liar
(wild fire) awal sebelum api menyebar ke lokasi-lokasi lain yang tidak diinginkan. Apabila api
liar telah menyebar secara luas ke seluruh arah, ia akan menjadi bencana kebakaran yang sangat
sulit untuk dipadamkan sekalipun menggunakan alat teknologi tinggi. Beberapa kali peristiwa
kebakaran besar di rawa gambut telah menjadi pelajaran bagi pelaksana pengendali kebakaran
untuk menentukan strategi pengendalian melalui kegiatan pencegahan dan pemadaman dini
kebakaran. Untuk mengantisipasi bahaya kebakaran dapat dilakukan dengan membangun hutan
tanaman atau kebun yang berisiko kecil kebakaran dan memberdayakan masyarakat sekitar
hutan.
Dalam membangun suatu kebun atau hutan tanaman, seorang petani atau pelaku usaha
akan menggunakan jenis pohon yang komersil, membersihkan lahan, membuat jarak tanam,
mendangir atau membuat gundukan, memberikan kapur, memupuk, membuat jarak tanam,
memelihara tanaman, dan memanen hasil. Hasil panen dari tanaman pohon dapat berupa kayu,
getah dan buah. Untuk membangun kebun atau hutan tanaman yang memiliki risiko kecil
terhadap kebakaran, maka pertimbangan-pertimbangannya adalah sebagai berikut :
1. Pengembangan Jenis dengan Sistem Agroforestry
Jenis-jenis pohon hutan memiliki ciri-ciri khas didalam mengantisipasi bahaya
kebakaran. Secara alami jenis pohon tertentu seperti gmelina (Gmelina arborea),
ampupu (Eucalyptus alba), angsana (Pterocarpus indicus) dan gamal (Gliricidia
sepium) di lahan kering dapat tumbuh kembali jika terbakar. Demikian pula jenis
pohon tanah-tanah (Combretocarpus imbricatus) dan galam (Malaleuca
leucadendron) di lahan bergambut memiliki sifat mudah tumbuh kembali jika
terbakar. Ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut tahan terhadap kebakaran
walaupun batangnya telah mengalami kerusakan. Jenis-jenis pohon penekan tumbuh
alang-alang dan pakisan di lahan gambut belum banyak diketahui, tetapi indikator
jenis-jenis adaptif terhadap kebakaran adalah : (1) memiliki sifat tumbuh cepat, (2)
dapat tumbuh kembali setelah terbakar, (3) memiliki tajuk yang tebal dan lebar, (4)
memiliki daun lebar, dan (5) memiliki zat alelopati. Jenis tanaman karet (Hevea
braziliensis) memiliki sifat menggugurkan daun dan bertajuk tebal tetapi berdaun
kecil. Jika tidak dipelihara dengan baik tanaman ini cukup rawan terbakar. Jenisjenis
yang mulai dikembangkan seperti jenis jelutung (Dyera polyphylla), belangiran
( Shorea belangeran) dan gemor (Alseodaphne helobhylla) memiliki ciri khas masing-
masing dimana memerlukan pemeliharaan intensif pada tahap awal penanaman. Hasil
uji coba yang dilakukan di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah, 2 jenis pertama
adalah jenis lokal yang adaptif di lahan gambut terdegradasi. Beberapa jenis pohon
hutan yang memenuhi kriteria tepat secara teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan
lahan gambut adalah jenis jelutung (Dyera polyphylla Miq), belangeran (Shorea
belangeran), punak (Tetramerista glabra), meranti rawa (Shorea teysmaniana), nyatoh
(Palaquium cochleria), dan ramin (Gonystilus bancanus). Pada lapisan gambut yang
tipis (hutan kerangas) dan tanah bergambut, galam (Malaleuca leucodendron) telah
banyak dikenal masyarakat dan diregenerasi secara alami. Dari sekian jenis pohon
hutan yang secara ekologis dianggap cocok di rawa gambut, jenis yang secara sosial
telah banyak dikembangkan dan secara ekonomi telah banyak menguntungkan
masyarakat adalah jenis jelutung atau pantung. 7 Jenis jelutung di Indonesia hanya
terdapat di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Kayu jelutung rawa memiliki sifat-
sifat yang sangat baik untuk bahan baku industri pensil dan getahnya sebagai bahan
baku industri permen karet (Daryono, 2000). Justifikasi ilmiah penggunaan jenis
jelutung sebagai tanaman untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi dapat
dijelaskan sebagai berikut. Jenis ini mempunyai daya adaptasi yang baik dan teruji
pada lahan gambut. Pertumbuhannya relatif cepat (t=127cm/th; d=1,92mm/.th) dan
dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang minimal (Kristiadi, 2012).
Jelutung mempunyai hasil ganda yaitu getah dan kayu. Pertimbangan pemilihan jenis
ini juga didasari oleh kamudahan dalam memasarkan produknya (getahnya) dan
aspek silvikulturnya mulai dari teknik perbanyakan baik secara generatif maupun
vegetatif yang tidak susah. Teknik persemaian, teknik penanaman sampai
pemeliharaannya telah diketahui (Daryono, 2000; Bastoni dan Lukman, 2006).
Agroforestri merupakan suatu pola tanam yang menggunakan kombinasi pohon,
tanaman semusim dan atau kegiatan peternakan dan perikanan. Pola tanam ini
merupakan salah satu jawaban bagi usaha produksi yang mempertimbangkan
konservasi sumberdaya alam, sehingga memungkinkan bagi kita untuk dapat
memanfaatkan lahan yang rentan secara ekologis. Masuknya komponen pohon ke
lahan usaha tani atau masuknya komponen tanaman pertanian ke lahan hutan melalui
sistem agroforestri membuka jalan baru bagi penggunaan lahan lebih efisien dengan
hasil yang lebih baik pada usaha konservasinya. Penerapan sistem agroforestri di
lahan gambut akan memantapkan bentukan ekosistem yang berarti mengurangi input
biaya. Stabilitas sistem menjadi tinggi tanpa atau sedikit ancaman degradasi lahan
karena struktur agroforestri akan mengikuti kaidah struktur vegetasi asli, terutama
dalam menimbulkan mekanisme ke internalnya. Kontribusi agroforestri dalam bidang
sosial ekonomi lebih bervariasi dibandingkan dengan pertanian murni atau kehutanan
murni, karena komponen usahanya lebih beragam dan kombinasi hasil produksi yang
lebih stabil serta dapat memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah, dan panjang
(Huxley, P.A., 1983; Gordon dan William, 1990; Sabarnurdin et al, 2011).
Sistem agroforestri berbasis jenis lelutung rawa yang telah dikembangkan oleh
petani lokal dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan lebih lanjut. Pola
tanam yang telah dikembangkan oleh petani lokal tersebut dapat dikelompokkan
menjadi tiga yakni : (1) agrosilvofishery, (2) mixed cropping, dan (3) alleycropping.
Pengembangan jenis jelutung dengan sistem agroforestri untuk memulihkan lahan
gambut terdegradasi diprioritaskan pada lahan gambut yang telah dikonversi tetapi
kurang sesuai untuk tanaman pertanian dan perkebunan. Pengembangan jelutung
berdasarkan sistem agroforestri yang telah dikembangkan oleh petani lokal, dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik wanatani (agroforestry), wanamina
(silvofishery), wanaternak (silvopasture), dan kombinasinya, yakni tanaman
semusimpohon-ternak (agrosilvopasture) atau tanaman semusim-pohon-ikan
(agrosilvofishery) tergantung dari sumberdaya dominan yang terdapat di lokasi
pengembangan. Penerapan teknik agroforestri pada pengembangan jenis jelutung
rawa dimaksudkan untuk diversifikasi komoditi, usaha dan pendapatan sehingga akan
dapat meningkatkan minat petani untuk membudidayakan 8 jelutung rawa yang
berjangka panjang dan mencegah terjadinya kebakaran. Pengembangan jelutung rawa
dengan sistem agroforestri harus melalui suatu kegiatan diagnosis untuk melihat
kebutuhan masyarakat dan designing untuk memolakan pertanamannya melalui
partisipasi aktif agar bisa dipraktekkan oleh petani setempat (Kristiadi, 2012)

2. Persiapan Lahan
Pada saat pembukaan pertama lahan untuk pertanian dan perkebunan diperlukan
penebasan rumput dan semak belukar. Bahan-bahan organik hasil tebasan sebaiknya
dikumpulkan di suatu tempat kemudian dapat dilakukan pembakaran terkontrol. Abu
pembakaran dapat dijadikan pupuk tanaman dengan cara menyebarkan diatas
permukaan tanah. Untuk pembukaan lahan rotasi kedua atau berikutnya, bahan
organik dapat dikumpulkan kembali di suatu tempat dan dibakar secara terkendali
atau bahan organik tersebut cukup ditimbun diantara jalur-jalur tanaman. Bahan
organik yang ditimbun akan mengalami pembusukan yang akhirnya menjadi pupuk.
Untuk mempercepat proses pembusukan bahan organik, para petani dapat mengikuti
petunjuk pembuatan bokasi dengan EM4. Untuk lebih meningkatkan keamanan,
sebelum pambakaran bahan organik, di sekeliling lahan kebun dibersihkan dari bahan
bakar sehingga membentuk sekat bakar jalur.

3. Pengaturan Jarak Tanam Jarak Tanam


Yang terlalu jarang untuk tanaman pohon akan membuat ruang cahaya semakin
terbuka. Dengan demikian gulma yang tumbuh akan lebih banyak. Untuk mengurangi
keberadaan gulma sebaiknya jarak tanam diatur seideal mungkin. Jarak tanam umum
3x3 m, 4x3 m dan 4x4 m dapat diaplikasikan untuk meminimasi populasi gulma
pakisan dan alang-alang. Sebaliknya jarak tanam yang terlalu rapat justeru akan
menghambat pertumbuhan tanaman itu sendiri akibat persaingan hara antara tanaman.

4. Pembersihan Cabang dan Ranting Bawah.


Pada saat tanaman pohon telah menginjak dewasa, biasanya banyak dahan dan
ranting yang tumbuh hingga dekat permukaan tanah. Sebagian jenis memiliki
percabangan yang banyak hingga ke batang bagian bawah. Untuk keamanan tanaman
dari kebakaran maka dahan dan ranting bagian bawah tersebut dipangkas (pruning).
Sebagian jenis pohon dapat menanggalkan cabang dan rantingnya secara alami.

5. Manajemen Bahan Bakar Potensial Khususnya Gulma


Gulma yang tumbuh mengikuti pertumbuhan tanaman pokok segera dipangkas,
selanjutnya dilakukan penebasan minimal setiap 3 bulan. Penyiangan diatur sedemikian
rupa sehingga pada saat puncak kemarau pada bulan Agustus-September, gulma lantai
hutan telah menjadi pendek. Penyiangan gulma di lahan gambut dapat juga menggunakan
herbisida kontak, tetapi ketika gulma mati sebaiknya ia direbahkan atau dikumpulkan di
satu tempat untuk dibakar, selanjutnya 9 dijadikan amelioran (pupuk). Jenis herbisida
kontak yang dapat digunakan diantaranya Gramoxon, Herbatop dan Paracol. Sedangkan
untuk memberantas gulma alang-alang sebaiknya jenis herbisida sistemik seperti
Roundup, Sunup, Basmilang, Kleenup dan Polaris. Manajemen bahan bakar perlu
dilakukan dengan cara menurunkan tinggi bahan bakar, mengurangi muatan bahan bakar,
dan melokalisir atau memblokir bahan bakar.

6. Penanaman Rumput Pendek Pakan Ternak


Penggantian gulma alami dengan jenis rumput pendek pakan ternak pada lantai
kebun telah terbukti mengamankan kebun dari kebakaran. Rumput yang ditanam selain
dapat mengalahkan gulma yang tinggi seperti alang-alang, ia dapat meningkatkan nilai
tambah dari kebun karena para Petani dapat memelihara sapi atau kambing menggunakan
pakan rumput tersebut. Untuk daerah Maliku, Desa Purwodadi dan Wono Agung telah
mengaplikasikan cara tersebut. Jenis rumput yang dikembangkan adalah Paspalum sp,
Axonopus compressus,dan BH (Brachiolla humaniolla). Khusus kebun kelapa sawit
dalam skala luas, penanaman Legume cover crop (LCC) telah biasa dilakukan. Jenis LCC
yang ditanam adalah Calopogonium mucunoides (CM), Pueraria javanica (PJ) dan
Centrosema pubescens (CP). Kelemahan dari tiga jenis legum tersebut adalah mengalami
kekeringan saat kemarau panjang. Jenis baru yang tahan kekeringan adalah jenis Mucuna
sp yang sedang dikembangkan di Perkebunan Karet.

7. Pembuatan Sekat Bakar


Peranan sekar bakar kebun di lahan gambut pada prinsipnya sama dengan di
lahan kering. Perbedaannya adalah pada lahan gambut, api dapat menyebar lewat bawah
permukaan tanah, tetapi ini terjadi jika kebakaran berlangsung lama misalnya lebih dari 2
hari. Untuk kebakaran yang singkat yang terjadi adalah api permukaan yang dapat disekat
agar tidak meluas kedalam kebun. Pada saat kebun dibangun, pemilihan lokasi sebaiknya
diarahkan pada areal yang memiliki anak sungai atau sungai sebagai sekat bakar alami
dan simpanan air. Jika lokasi tersebut tidak ditemukan maka pembuatan sekat bakar
buatan yang bersifat permanen perlu dilakukan utamanya pada saat kemarau. Dengan
cara menebas rumput dan semak di sekeliling kebun, kemudian membersihkannya dari
daun, ranting dan batang semak akan menjaga kebun dari bahaya kebakaran. Pembuatan
parit selebar 1 meter akan berperan ganda didalam kebun. Parit dapat berfungsi sebagai
sekat bakar bagi api bawah permukaan dan juga sebagai simpanan air pada saat kemarau.

8. Pembuatan Sumur Air Sumur sebagai persediaan air


Pada saat musim kemarau perlu di bangunBentuk sumur dapat persegi empat
dengan diameter 1 meter. Stok air tersebut cukup efektif untuk pemadaman api kecil.

9. Pengadaan Alat Pemadam Sederhana


Peralatan pemadam sederhana seperti Kepyok pemukul api permukaan dan
Semprot Punggung (Jufa, Indian, Jetshooter dll) perlu dipunyai oleh kelompok Tani.
Pelaksanaan pemadaman dapat dilakukan secara bergotong royong atau secara
perorangan. Strategi pemadaman api dini harus tetap dipegang dan tidak membiarkan api
terlanjur besar yang tidak ramah. Jika memungkinkan, Pembentukan Regu Pengendali
Kebakaran (RPK) desa yang dibentuk melalui musyawarah desa dapat dilakukan disertai
pengadaan alat Pompa Statis untuk mematikan api sedang. ( > 3 meter). Balai Penelitian
Kehutanan Banjarbaru telah merekayasa alat-alat yang dapat dioperasikan dalam
pemadaman kebakaran. Alat-alat pemadam tersebut adalah pompa pemadam jinjing
tekanan tinggi dilengkapi selang 5 rol (100 m), selang isap 4 m, Saringan(filter), alat
gendong mesin, dan nozzle, kantong air portable 1000 liter, pompa jufa, kepyok, stik
jarum, cangkul garu mata panjang, cangkul garu, cangkul api, dan kapak mata dua,
parang dan gergaji tangan. Alat lain yang diperlukan dalam pemadaman adalah alat
komunikasi HT (handy transmiter), ember, dan papan 2 meter. Berkembangnya teknologi
HP (hand phone) dapat menjadi pendukung komunikasi antar personil pemadam selama
signal masih ada. Personil yang diperlukan dalam mengoperasikan alat-alat tersebut
minimal 15 orang.

10. Pembuatan Tower Pengamat Asap Kebakaran


Pada perkebunan berskala luas, suatu rencana pegelolaan kebakaran (fire
management plan) sangat diperlukan diantaranya memuat keberadaan tower pengamat
kebakaran. Di dalam tower pengamat ditempatkan personil yang setiap saat mengamati
asap yang muncul di musim kemarau. Jika ditemukan asap maka staf jaga dapat segera
menginformasikan adanya api, lokasi api dan besar kecilnya api. Untuk lahan datar, satu
tower pengamat asap kebakaran dapat mengawasi luasan lahan sekitar 6.000 ha. Pada
saat kemarau, staf jaga harus bertugas setiap saat yang dilengkapi dengan peralatan radio
komunikasi, teropong binokuler dan peta lokasi. Tetapi pada perkebunan rakyat bersekala
kecil, pembangunan tower pengamat kebakaran tidak perlu dilakukan karena memakan
biaya cukup mahal.
2.14 Kondisi Fisik dan Kimia Tanah Gambut Pasca Kebakaran Lahan

1. Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia,
penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak.
2. Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor
dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi terjadi
penurunan kandungan C-org

2.15 Kriteria Mutu Tanah


Krtiteria baku kerusakan tanah di lahan basah:

METODE
NO. PARAMETER AMBANG KRITIS PERALATAN
PENGUKURAN

> 35 cm/5 tahun untuk


ketebalan gambut > 3
- Subsidensi gambut di m atau Pengukuran
1.
atas pasir kuarsa langsung Patok subsidensi
10%/5 tahun untuk
ketebalan gambut <
3m
- Kedalaman lapisan Reaksi oksidasi Cepuk plastik; H202;
< 25 cm dengan pH <
berpirit dari dan pengukuran pH stick skala 0,5
2 2,5 satuan; meteran
permukaan tanah langsung
Kedalaman air Pengukuran
Meteran
3 tanah dangkal > 25 cm langsung

- Redoks untuk tanah pH meter; elektroda


4 berpirit > -100 mV Tegangan listrik platina

pH meter; elektroda
5 - Redoks untuk gambut > 200 mV Tegangan listrik platina

6 - pH ( H20) 1: 2,5 < 4,0 ; > 7,0 Potensiometrik pH meter; pH stick

7 - Daya Hantar Listrik > 4,0 mS/cm Tahanan listrik EC meter

cawan petri; colony


2
8 - Jumlah mikroba < 10 cfu/g tanah Plating technique counter

Sumber : Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 2000


Catatan :
- Untuk lahan basah yang tidak bergambut dan kedalaman pirit > 100 cm,
ketentuan kedalaman air tanah dan nilai redoks tidak berlaku.
- Ketentuan-ketentuan subsidensi gambut dan kedalaman lapisan berpirit
tidak berlaku jika lahan belum terusik/masih dalam kondisi asli/alami/hutan
alam.
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

Evaluasi lahan umumnya merupakan kegiatan lanjutan dari survei dan pemetaan tanah atau
sumber daya lahan lainnya, melalui pendekatan interpretasi data tanah serta fisik lingkungan
untuk suatu tujuan penggunaan tertentu. Sejalan dengan dibedakannya macam dan tingkat
pemetaan tanah, maka dalam evaluasi lahan juga dibedakan menurut ketersediaan data hasil
survei dan pemetaan tanah atau survei sumber daya lahan lainnya, sesuai dengan tingkat dan
skala pemetaannya. Prosedur penelitian tugas besar ini adalah sebagai berikut :
1. Tahap Pendahuluan
Tahap pendahuluan merupakan tahap awal dari rangkaian penelitian. Tahap pendahuluan ini
berupa studi literatur yaitu dengan mempelajari buku, jurnal penelitian, maupun literatur
yang berkaitan dengan evaluasi kesesuaian lahan dan pemanfaatannya ataupun evaluasi
kesesuaian lahan itu sendiri. Serta mengumpulkan data-data yang diperlukan pada penelitian
seperti data kriteria lahan yang sesuai dengan pemanfaatannya, data topografi wilayah, dll
dari berbagai sumber ilmiah dan lain sebagainya.
2. Tahap Persiapan
Tahap persiapan pada penelitian ini yaitu persiapan alat dan bahan penelitian serta analisis
kondisi fisik dan kimia lahan dengan berbagai parameter yang digunakan, yaitu sebagai
berikut:
a. Persiapan Alat dan Bahan Penelitian
Persiapan alat dan bahan penelitian merupakan tahap persiapan sebelum tahap
pelaksanaan dilakukan. Tahap ini bertujuan untuk memastikan kelengkapan alat dan
bahan yang akan digunakan untuk tahap pelaksanaan.
b. Analisis Kualitas air dan tanah
Analisis kualitas air dan tanah yang didapat akan menjadi acuan untuk penelitian tahap
selanjutnya.
3. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan merupakan tahap penelitian lapangan. Tahap ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi lahan, setelah itu menentukan titik sampel dan melakukan pengambilan
sampel pada tiap titik. Setelah pengambilan sampel, sample akan dianalisis. Analisa ini
dilakukan agar kita tau besar beban organik yang terkandung didalam sampel tersebut.
Penelitian lapangan dilaksanakan dengan metode survey, berdasarkan peta kerja yang telah
dipersiapkan pada tahap sebelumnya. Survei tanah dilakukan dengan cara penjelajahan
wilayah kerja penelitian di lapangan dengan mengikuti suatu pola transek (toposekuen). Tiap
transek diamati beberapa titik pengamatan pada bagian-bagian punggung/puncak, lereng
atas, lereng tengah, dan lereng bawah. Seiap titik diukur koordinatnya dengan Global
Positioning System (GPS).
a) Penentuan lokasi pengambilan sampel
Lokasi pengambilan sampel dilakukan pada kecamatan Anjir Pasar dan Kecamatan
Mandastana. Penentuan lokasi titik pengambilan sampel dilakukan secara acak (random)
dengan 2 titik lokasi di setiap kecamatan. Dari sekitar 126,00 Ha luas wilayah Kecamatan
Anjir Pasar, maka lokasi pengambilan sampel dilakukan pada luas lokasi sekitar 1 Ha.
Sedangkan pada Kecamatan Mandastana dengan luas wilayah 136,00 Ha, maka lokasi
pengambilan sampel dilakukan pada lokasi seluas 1 Ha.
b) Teknik Pengambilan Sampel
1. Lokasi titik bor dibersihkan dari rerumputan dan penghalang lainnya.
2. Menyiapkan alat (bor tangan) dan sekop.
3. Membuat lubang awal sedalam kira kira 20 cm menggunakan sekop.
4. Alat bor diletakan pada lubang awal yang telah dibuat, lalu rangkaian pemboran
diputar, sambil ditekan ke dalam tanah.
5. Pemutaran dan penekanan rangkaian pemboran dilakukan hingga mata bor (auger)
masuk 25 cm atau telah terisi penuh.
6. Setelah auger terisi penuh, rangkaian pemboran diangkat ke permukaan, tanah yang
tertahan di dalam auger dikeluarkan, lalu dicatat sebagai hasil kedalaman tanah.
c) Tekstur tanah
Dalam penelitian ini, penentuan tekstur tanah hanya dilakukan dengan mengamati secara
kasat mata saja.

d) pH tanah
Evaluasi lahan secara fisik (tahap pertama) dilakukan terhadap jenis penggunaan lahan
yang telah diseleksi sejak awal kegiatan survey, seperti untuk tegalan (arable land) atau
sawah dan perkebunan. Hasil kegiatan ini disajikan dalam bentuk laporan dan peta yang
kemudian disajikan subjek pada tahap kedua (evaluasi lahan secara ekonomi).
4. Penyiapan data
Untuk melakukan evaluasi lahan baik dengan menggunakan pendekatan dua tahapan
maupun pendekatan paralel perlu didahului dengan konsultasi awal. Konsultasi awal ini
untuk menentukan tujuan dari evaluasi yang akan dilakukan, data apa yang diperlukan dan
asumsi-asumsinya yang akan dipergunakan sebagai dasar dalam penilaian. Evaluasi lahan
yang akan dilakukan tergantung dari tujuannya yang harus didukung oleh ketersediaan data
dan informasi sumber daya lahan.
Pada prinsipnya penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan
(matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah
disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan. Dalam hal ini diperuntukkan untuk
mengevaluasi keadaan fisik dan kimia tanah yang kemudian hasil akan disesuaikan dengan
standar baku mutu tanah.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Hasil yang ini menyajikan tentang gambaran umum wilayah penelitian, penentuan lokasi
titik sampling beserta alasanya dan hasil dari penelitian beserta pembahasannya. Hasil yang
disajikan adalah hasil dari pengukuran analisa hasil di lapangan dan laboratorium. Penelitian
lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi wilayah pengambilah sampel, Daya Hantar Listrik
(DHL) kedalaman tanah dan tekstur tanah, sedangkan penelitian di labotaorium dengan
menggunakan parameter KTK tanah, C-organik, P2O5, pH H2O. Data hasil analisa laboratorium
tersebut digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan berdasarkan hasil dari
data primer dan data sekunder.

Tabel 4.1 Data Sekunder Kriteria Baku Kerusakan Tanah

Parameter Hasil
Subsidensi gambut di atas pasir kuarsa 31 cm
Kedalaman lapisan berpirit 19 cm
Kedalaman air tanah dangkal 21 cm
Redoks untuk gambut 200 mV
Redoks untuk tanah berpirit i. 133 mV
Jumlah mikroba 132 cfu/g tanah
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Martapura

4.1.1 Penentuan Lokasi Titik Sampling


Pengambilan sampel ini dilakukan sebelum ke tahap analisa sampel pada tanah.
Pengambilan sampel ini dilakukan pada Kecamatan Tungkaran di Kabupaten Banjar. Adapun
peralatan yang dibawa dalam pengambilan sampel ini antara lain bor tangan, GPS, sekop, dan
polybag (kantong plastic warna hitam). Pengambilan sampel ini dengan menggunakan bor
tangan, bor tangan ini merupakan cara pemboran yang dilakukan menggunakan tenaga manusia
dengan cara memutar dan menekan mata bor ke dalam tanah.
Gambar 4.1 Kondisi Lahan di Kecamatan Tungkaran

Gambar 4.2 Tanah yang terbakar pada titik sampling


Dapat dilihat dari Gambar 4.2 bahwa kondisi tanah pada lahan di Kecamatan Tungkaran ini
sudah terbakar.
Gambar 4.3 Titik Pengambilan Sampel

Gambar 4.4 Pengambilan Sampel


Gambar 4.5 Sampel yang diambil

4.1.2 Hasil Pengukuran pH


Pengukuran pH tanah dilakukan dengan menggunakan pH meter dan sampel tanah
dengan berat 5 gr. Hasil pengukuran pH yaitu 5.

Gambar 4.6 Sampel tanah yang dicampurkan dengan aquadest


Gambar 4.7 Pengukuran sampel dengan pH meter

4.2 Analisa Hasil


Dari data hasil analisis yang dihasilkan, kemudian akan
Tabel 4.2 Hasil Analisis Data

Parameter Hasil
Subsidensi gambut di atas pasir kuarsa 31 cm
Kedalaman lapisan berpirit 19 cm
Kedalaman air tanah dangkal 21 cm
Redoks untuk gambut 200 mV
Redoks untuk tanah berpirit ii. 133 mV
Jumlah mikroba 132 cfu/g tanah
pH tanah 5

Dari hasil analisa kami, dapat dilihat beberapa parameter belum memenuhi kriteria
kualitas air yang baik. Selain dari hasil pengamatan kami, kualitas tanah juga dapat dilihat dari
segi fisiknya, yaitu sebagian lahan telah terbakar dan tanah juga terlihat kering.
Dengan adanya evaluasi ini kita dapat melihat apakah tanah pada lahan tersebut masih
bias digunakan atau tidak. Maka dari itu kami menggunakan Kriteria Mutu Tanah berdasarkan
Kriteria Baku Kerusakan Tanah di Lahan Basah (Tabel 4.3) sebagai acuan perbandingan dengan
hasil pengamatan kami. Sehingga hasil pengamatan tanah kami akan diperuntukkan kepada
masyarakat sebelum dilakukannya proses pemanfaatan lahan.

Tabel 4.3 Kriteria Baku Kerusakan Tanah di Lahan Basah

METODE
NO. PARAMETER AMBANG KRITIS PENGUKURAN PERALATAN

> 35 cm/5 tahun untuk


1. Subsidensi gambut di atas ketebalan gambut > 3 pengukuran patok subsidensi
pasir kuarsa m atau 10%/5 tahun langsung
untuk ketebalan
gambut <
3m
Kedalaman lapisan < 25 cm reaksi oksidasi dan cepuk plastik; H202;
2 berpirit dari permukaan pengukuran pH stick skala 0,5
tanah dengan pH < 2,5 langsung satuan; meteran

Kedalaman air tanah pengukuran


3 dangkal > 25 cm langsung meteran

Redoks untuk tanah


4 berpirit > -100 mV tegangan listrik pH meter;

5 Redoks untuk gambut > 200 mV tegangan listrik pH meter;

6 pH ( H20) 1: 2,5 < 4,0 ; > 7,0 potensiometrik pH meter; pH stick

7 Daya Hantar Listrik > 4,0 mS/cm tahanan listrik EC meter

2
< 10 cfu/g tanah
8 Jumlah mikroba plating technique cawan petri;
Tabel 4.4 Perbandingan Hasil Pengamatan dengan Kriteria Baku Kerusakan Tanah

Parameter Hasil Kriteria Mutu Tanah Kesesuaian


Subsidensi gambut di atas 31 cm > 35 cm
pasir kuarsa
Kedalaman lapisan berpirit 19 cm < 25 cm
Kedalaman air tanah dangkal 21 cm > 25 cm X

Redoks untuk tanah berpirit iii. 133 mV > - 100 mV

Redoks untuk gambut 200 mV > 200 mV

Jumlah mikroba 132 cfu/g tanah < 102 cfu/g X

pH tanah 5 < 4,0 ; > 7,0


Keterangan :
Tanda (X) diatas menyatakan bahwa untuk kelas termaksud, parameter tersebut tidak sesuai
kriteria mutu tanah.

4.3 Analisa Akhir Pengamatan


Kecamatan Tungkaran merupakan wilayah yang sebagian besar terdiri dari tanah sulfat
masam. Tanah sulfat masam sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian,
hanya saja diperlukan pengelolaan dan penanganan yang tepat. Oleh sebab itu, pengelolaan tanah
di lahan terbakar bertujuan bukan hanya untuk tanah pada lahan tersebut sudah tercemar tetapi
juga dimaksudkan untuk menghindari kekeringan di musim kemarau. Hal ini penting disamping
untuk memperpanjang musim tanam, juga untuk menghindari bahaya kekeringan lahan sulfat
masam dan lahan gambut. Adapun dari hasil pengamatan tersebut dapat dilihat bahwa kedalaman
air dangkal dan jumlah mikroba yang tidak sesuai dengan kriteria baku kerusakan tanah di lahan
basah. Ini berarti menunjukkan bahwa kedalaman air dangkal dan jumlah mikroba sudah
melewati ambang kritis pada kriteria baku kerusakan tanah.
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

1. Dari hasil penelitian ini terbakarnya lahan gambut karena kekeringan dan
kesengajaan seperti pembukaan lahan baru dengan cara dibakar

2. Tanah sulfat masam sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian,
hanya saja diperlukan pengelolaan dan penanganan yang tepat.

3. Air dangkal dan jumlah mikroba yang tidak sesuai dengan kriteria baku kerusakan
tanah di lahan basah. Ini berarti menunjukkan bahwa kedalaman air dangkal dan
jumlah mikroba sudah melewati ambang kritis pada kriteria baku kerusakan tanah.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M.J., M.R. Ibrahim, & A.R. Abdul Rahim. 2002. The influence of forest fire in
Peninsular Malaysia: History, root causes, prevention, and control. Makalah disajikan
pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 1921 March 2002, Kuala
Lumpur, Malaysia, 14 h.
BAPPENAS. 1998. Planning for fire prevention and drought management project: interim
report. BAPPENAS:Jakarta.
D`Arcy, L.J. & S.E. Page. 2002. Assessment of the effects of the 1997/1998 forest fire and
anthropogenic deforestation on peat swamp forest in Central Kalimantan, Indonesia.
Dalam: J.O. Rieley, & S.E. Page (eds.), Peatlands for People, Natural Resources Function,
and Sustainable Management, BPPT dan Indonesian Peat Association, Jakarta, h. 179185.
Diemont, W.H., P.J.M. Hillegers, K. Kramer, & J. Rieley. 2002. Fire and peat forests, what are
the solutions?. Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in
Peatlands, 1921 March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 18 h.
Jaya, A., S.E. Page, J.O. Rieley, S. Limin, & H.D.V. Bhm. 2000. Impact of forest firest on
carbon storage in tropical peatlands. Dalam: L. Rochefort, & J.Y. Daigle (eds.), Sustaining
our Peatlands. Proceedings of the 11th International Peat Congress, Qubec City, Canada,
h. 106113.
Kristiadi M. dan M. Effendi. 2012. Sistem Agroforestry Berbasis Jalutung Rawa untuk
Memproduktifkan Lahan Gambut dalam Mindawati N., E.Savitri, dan T.S. Hadi. 2012
(Edit.). Pengembangan Jelutung Rawa (Dyera polyphylla (Miq).V.Steenis) di Lahan
Gambut. LHP Balai Penelitian Kehutanan. Banjarbaru.
Kurnain, A. 2005. Dampak Kegiatan Pertanian dan Kebakaran atas Watak Gambut Ombrogen.
Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Mitsch, W.J., & J.G. Gosselink. 2000. Wetlands, Edisi ke 3. John Wiley & Sons, Inc: New York.
Musa, S. & I. Parlan. 2002. The 1997/1998 forest fire experience in Peninsular Malaysia.
Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 1921
March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 8 h.
Page, S.E., J.O. Rieley, H.D.V. Bhm, F. Siegert, & N.Z. Muhamad. 2000. Impact of the 1997
fires on the peatlands of Central Kalimantan, Indonesia. Dalam: L. Rochefort, & J.Y.
Daigle (eds.), Sustaining our Peatlands, Proceedings of the 11th International Peat
Congress. Qubec City, Canada, h. 962970.
Parish, F. 2002. Peatlands, Biodiversity and Climate Change in SE Asia: an overview. Makalah
disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 1921 March
2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 11 h
Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 2000
Rieley, J.O., A.A. Ahmad-Shah, & M.A. Brady. 1996. The extent and nature of tropical peat
swamps. Dalam: E. Maltby, C.P. Immirzi, & R.J. Safford (eds.), Tropical Lowland
Peatlands of Southeast Asia, Proceedings of a Workshop on Integrated Planning and
Management of Tropical Lowland Peatlands.IUCN Gland:Switzerland.
Sanders, B. 2005. Forest fire menagement and fire pre paredness. International Symposium and
Workshop of Tropical Peatland, 2124 September 2005, Palangkaraya, Indonesia.
Siegert, F., H-D.V. Behm, J.O. Rieley, S.E. Page, J. Jauhiainen, H. Vasander, & A. Jaya. 2002.
Peat fires in Central Kalimantan, Indonesia: fire impacts and carbon release. Dalam: J.O.
Rieley, & S.E. Page (eds.), Peatlands for People, Natural Resources Function, and
Sustainable Management, BPPT dan Indonesian Peat Association, Jakarta, h. 142154.
Singaravelu, S.S. 2002. El Nino, Climate Change and Peat Fires. Makalah disajikan pada
Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 1921 March 2002, Kuala
Lumpur, Malaysia, 9 h.
Usup, A., Y. Hashimoto, H. Takahashi, & H. Hayasaka. 2003. Combustion and thermal
characteristics of peat forest fire in a tropical peatland in Kalimantan, Indonesia. Dalam:
M. Osaki, T. Iwakuma, T. Kohyama, R. Hatano, K. Yonebayashi, H. Tachibana, H.
Takahashi, T. Shinano, S. Higashi, H. Simbolon, S.J. Tuah, H. Wijaya, & S.H. Limin.
(eds.), Land Management and Biodiversity in Southeast Asia, Hokkaido University, Japan
dan Research Centre for Biology, The Indonesian Institute of Sciences. Bogor, Indonesia,
h. 373382.
INDEKS

F
Fibrik..4

H
Hemik..4
Hidrokarbon..4
Histosol4

K
Karbon Monoksida..9
Kondesat..10

N
Nitrogen dioksida9

P
Partikulat.9

S
Saprik4
Sulfur.10
DAFTAR PERTANYAAN

1. Sebutkan definisi tanah gambut !


Jawaban : Definisi tanah gambut adalah tanah yang jenuh air dan tersusun dari
bahan tanah organik, yaitu sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melap
uk yaitu dengan ketebalan lebih dari 50 cm.

2. Sebutkan penyebab utama kebakaran hutan dan lahan gambut !

Jawaban : Pemicu utama terjadinya kebakaran adalah adanya kegiatan atau


kecerobohan manusia, yang 9095% kejadian kebakaran dipicu oleh faktor ini.
Terjadinya kebakaran meliputi pembukaan lahan dalam rangka pengembangan
pertanian berskala besar, persiapan lahan oleh petani, dan kegiatan-kegiatan
rekreasi seperti perkemahan, piknik dan perburuan.

3. Dampak apa saja yang ditimbulkan akibat pembakaran lahan ?

Jawaban : Dampak terhadap kesehatan dan terhadap lingkungan

4. Apa saja alat yang diperlukan saat pengambilan sampel tanah terbakar?

Jawaban : Bor tangan, GPS, sekop, dan polybag (kantong plastic warna hitam).

5. Jelaskan kondisi fisik dan kimia pada tanah yang terbakar !


Jawaban :Perubahan kualitas fisik gambut adalah penurunan porositas total,
penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya
kerapatan lindak.
Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total,
kandungan fosfor dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium,
Kalium, dan Natrium, tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik.

Anda mungkin juga menyukai