Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PORTOFOLIO

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

Disusun oleh :
dr. Rizki Jatiningrum

Pendamping :
dr. Sri Umaryani

DOKTER INTERNSHIP WAHANA RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH SELOGIRI


PERIODE 1 JUNI 2015-31 MEI 2016
KABUPATEN WONOGIRI
LAPORAN PORTOFOLIO PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

Nama Peserta : dr. Rizki Jatiningrum


Nama Wahana : RS Muhammadiyah Selogiri
Topik : Bronkiolitis
Tanggal (kasus) : 25 September 2015
Nama Pasien : An. A No. RM : 065745
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping : dr. Sri Umaryani
Tempat Presentasi : RS Muhammadiyah Selogiri
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi: Perempuan, 55 tahun, dengan bronkiolitis

Tujuan: mendiagnosis bronkiolitis beserta penatalaksanaannya

Bahan bahasan:
Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas: Presentasi dan


Diskusi Email Pos
diskusi
Borang Pembelajaran Portofolio

I. Subjektif :
Anak A, perempuan, usia 12 bulan, Sejak 5 hari SMRS anak batuk (+), dahak (+) tidak dapat dikeluarkan, pilek (+) , sesak nafas (-),
demam tidak terlalu tinggi tapi tidak pernah kembali ke suhu normal. Anak masih bermain seperti biasa, makan dan minum menyusui
baik.
Sejak kurang lebih 1 hari SMRS anak masih batuk dan makin bertambah parah, dahak berwarna putih dan kental, namun tidak ada
darah, muntah 3 kali berisi makanan, anak tampak bernafas cepat, demam (+) tidak terlalu tinggi tapi terus menerus, anak rewel (+),
nafsu makan dan minum susu anak mulai menurun, buang air besar dan buang tak ada keluhan.
Riwayat asma, alergi dan batuk lama disangkal.
Ibu pasien menderita batuk pilek sejak satu minggu yang lalu
II. Objektif :
Pemeriksaan fisik
Kesan umum : Sadar, tampak sesak , tidak sianosis , ada napas spontan , adekuat.
Tanda vital : Nadi : 124 x/menit, isi dan tegangan cukup.
RR : 55 x/menit
Suhu : 37,8C
Hidung : nafas cuping hidung (+), tidak ada sekret.
Mulut :bibir tidak sianosis, selaput lendir tidak kering , gusi tidak berdarah
Thoraks : simetris, ada retraksi intercostal
I : simetris, statis, dinamis.
Pa : stem fremitus kanan = kiri
Pe : sonor seluruh lapangan paru
A : suara dasar bronkovesikuler, suara tambahan : ronkhi basah (-)/(-) , wheezing (+)/(+), eksperium memanjang (+)/(+)
Pemeriksaan Penunjang :
Hemoglobin : 11,5 gram /dl
Hematokrit : 34 %
Lekosit : 11.500 /mm3
Trombosit : 370.000 /mm3
LED : 28
Eosinofil :0%
Basofil :0%
Batang :2%
Segmen : 58 %
Limfosit : 36 %
Monosit :3%
Status gizi : baik
III. Assesment :
Pasien anak perempuan usia 11 kg datang dengan keluhan demam dan batuk berdahak sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
demam muncul mendadak di sore hari, dengan suhu yang tidak diukur oleh orang tua pasien namun dirasakan tidak terlalu tinggi. Keluhan
demam disertai dengan adanya batuk berdahak, pilek, dan muntah. Batuk berdahak putih kental namun tidak ada darah. Adanya keluhan
demam, batuk berdahak, dan pilek menandakan bahwa pasien mengalami infeksi saluran pernapasan. Demam yang naik mendadak
merupakan ciri dari infeksi virus. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya riwayat infeksi saluran napas pada ibu pasien, karena seringkali
infeksi saluran napas bawah pada bayi disebabkan oleh tertularnya bayi oleh anggota keluarga yang tinggal satu rumah. Pasien kemudian
dibawa ke puskesma, dan diberikan obat, namun dirasakan keluhannya tidak membaik.. Pasien kemudian dibawa ke puskesmas oleh ibunya
dan diberikan obat yang juga tidak diingat oleh ibu pasien. Keluhan demam turun, namun batuk berdahak putih dan pilek masih dirasakan.
Kemudian keluhan ini diikuti dengan sesak yang ditandai dengan bernapas yang cepat. Dari keterangan ini disimpulkan bahwa pasien
mengalami takipnea, yaitu bernapas cepat dan dangkal, yang disertai dengan otot-otot bantu napas. Keterangan ini kemudian akan
dikonfirmasi pada pemeriksaan fisik. Karena adanya takipnea dan sesak, pasien seringkali memuntahkan ASI yang diminumnya, dan pasien
menjadi sulit minum karena adanya keluhan ini. Pasien kemudian menjadi gelisah dan menangis, sehingga keluhan sesak dirasakan semakin
memberat. Tidak adanya biru pada pasien dan tidak adanya riwayat mulut lepas tiba-tiba saat menyusu menyingkirkan kemungkinan
penyakit jantung bawaan. Tidak adanya bunyi ngik-ngik maupun mengorok pada pasien belum tentu menyingkirkan kemungkinan adanya
obstruksi pada pasien karena pasien mengalami sesak.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, kecuali frekuensi pernapasan pasien 55 kali per menit, dangkal,
dan tampak adanya retraksi m. intercostalis. Dengan demikian disimpulkan bahwa pasien mengalami takipnea dan penggunaan otot bantu
napas yang menandakan pasien sesak. Pada auskultasi didapatkan suara napas bronkovesikuler pada kedua lapangan paru, dengan adanya
wheezing pada 1/3 basal kedua lapangan paru dan eksperium memanjang paru kanandan kiri. Wheezing terdengar dominan. Adanya
wheezing menandakan adanya obstruksi pada saluran napas bawah. Dengan demikian dipikirkan kemungkinan pasien mengalami
bronkiolitis, namun masih didiagnosis banding dengan bronkopneumonia. Dari pemeriksaan perkusi tidak didapatkan hipersonor pada paru,
atau redup sehingga tidak dapat menyingkirkan salah satu di antaranya. Namun, jika data ini ditambahkan dengan anamnesis dan klinis
pasien, yaitu usia di bawah 2 tahun, adanya infeksi saluran napas, dan adanya wheezing yang dominan, maka diagnosis lebih cenderung ke
arah bronkiolitis.
Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal, termasuk ubun-ubun dan mata tidak cekung, bibir tidak kering, turgor kulit normal. Dengan
demikian tidak terjadi dehidrasi akibat muntah.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis, yang menandakan kemungkinan adanya infeksi bakteri, namun hasil lain dalam
batas normal.
Rencana tatalaksana pada pasien ini adalah mengatasi sesak dan menjaga agar oksigen dalam darah tercukupi. Karena sesak yang terjadi
disebabkan oleh obstruksi akibat inflamasi, maka diberikan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi yang terjadi sehingga edema pada
saluran napas bawah berkurang dan aliran udara ke alveolus dapat meningkat. Pilihan kortikosteroid pada pasien adalah deksametason
dengan dosis 0,5 mg/kgBB. Pemberian deksametason bertujuan untuk mengurangi edema akibat inflamasi. Setelah saluran napas ini kembali
lagi terbuka, maka CO2 yang terperangkap dapat keluar. Dengan demikian, diberikan juga O2 melalui nasal kanul sebanyak 2 liter per menit.
Adanya infeksi saluran pernapasan yang terjadi pada pasien menjadi indikasi pemberian antibiotik,terutama pada pasien sulit dibedakan
apakah pasien mengalami bronkiolitis atau pneumonia. Pilihan antibiotiknya adalah Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian
atau Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian. Untuk kasus hospital acquired dapat diberikan sefotaksim 50-180
mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian. Lama pemberian antibiotic 7-10 hari atau sampai 4-5 hari bebas demam. Berdasarkan anamnesis,
didapatkan keterangan bahwa kemungkinan sumber penularan adalah ibu kandung pasien. Maka, seharusnya antibiotik yang diberikan
adalah antibiotik untuk community-acquired. Selain itu, pemberian cairan maintenance yang diberikan pada pasien ini adalah D51/4NS
dengan kecepatan 10 tetes per menit dengan infus set mikro.
Kriteria pulang pada bronkiolitis adalah bila tidak diperlukan pemberian oksigen selama 10 jam terakhir (ditandai dengan saturasi
oksigen menetap di atas 93% atau stabil selama 4 jam), retraksi dada minimal, mampu makan/minum, dan perbaikan tanda klinis yang lain
IV. Plan
a. Diagnosis
Perlu dilakukan pemeriksaan rontgen thoraks posisi AP dan analisis gas darah
b. Penatalaksanaan dan Edukasi
Oksigen 2-3 lpm
IVFD D51/4NS 10 tpm mikro
Inj Cefotaxime 250 mg/8 jam
Inj dexamethasone 1 mg/12 jam
Nebulisasi Ventolin 1 ml + NaCl 0,9% 4ml/8jam
Paracetamol syrup 3xcth 1 k/p
Fisioterapi Dada
Fisioterapi dada (CPT) berfungsi untuk mengeluarkan mukus dari lobus paru. Ada 2 cara, yaitu:
- Bronchial drainage (BD), memposisikan tubuh dalam posisi tertentu, dengan bantuan gaya gravitasi untuk menggerakkan mukus.
- Percussion or clapping, menepuk dada secara ritmis untuk melepaskan mukus dari dinding dada sehingga mukus berpindah ke
bronkus (jalan napas yang lebih besar)
c. Konsultasi
Dijelaskan secara rasional perlunya konsultasi dengan bagian spesialis anak dan fisioterapi untuk pengobatan selanjutnya.
d. Edukasi
Edukasi pada pasien dan keluarga
- Menjelaskan kepada pasien dan kelurga tentang kondisi dan penyakit pasien
- Menjelaskan bahwa penyakit tersebut dapat berkembang menjadi parah apabila tidak diobati secara adekuat
- Edukasi terhadap orang tua agar menjauhkan pasien dari anggota keluarga yang menderita infeksi saluran pernapasan dan yang
merokok
- Menjaga kebersihan tempat tinggal
TINJAUAN PUSTAKA

I. Dispnea
Sesak napas atau disebut juga dispnea, merupakan penderitaan mental berupa rasa tidak nyaman yang dirasakan secara sadar dan
subyektif saat bernapas yang diakibatkan oleh pernapasan yang sulit dan berat sehingga terjadi ketidakmampuan ventilasi untuk memenuhi
kebutuhan udara. Dispnea diklasifikasikan menjadi gangguan aliran dan volume, baik intra maupun ekstra toraks. Adanya sensasi respiratorik
disebabkan oleh interaksi antara sistem saraf eferen dan aferen di otak. Pada sistem saraf eferen (motorik), adanya gangguan pada pompa
ventilasi dapat menyebabkan peningkatan kerja dari sistem pernapasan sehingga terjadi suatu sensasi terhadap adanya peningkatan usaha untuk
bernapas

Hal lain yang dapat menyebabkan dispnea adalah rasa kekurangan udara, yang akan meningkatkan aktivitas pernapasan dan sensasi dari sesak di
dada yang muncul kemungkinan akibat stimulasi reseptor vagal irritant.
Penyebab dispnea dapat dibedakan berdasarkan waktu, yaitu akut dan kronik. Dispnea akut disebabkan oleh asma, edema paru,
pneumotoraks spontan, ARDS, efusi pleura, perdarahan pada paru, trauma dinding dada dan struktur intratoraks, emboli paru, dan pneumonia.
Sedangkan dispnea yang kronik dapat disebabkan oleh anemia berat, gangguan hipersensitivitas, gagal jantung kiri, PPOK, fibrosis interstitial,
efusi pleura, dan penyakit vaskular paru. Terdapat perbedaan sensasi respiratori berdasarkan kondisi yang dialami oleh pasien. Perbedaan
tersebut digambarkan pada table berikut

II. Bronkiolitis
a. Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorius bawah akut yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus, yang
terjadi pada anak dibawah 2 tahun. Umumnya, penyebab infeksi yang paling sering adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
menyerang saluran napas bawah. Secara klinis ditandai dengan episode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala
IRA.
b. Etiologi
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 6090% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh
virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah single stranded RNA
virus yang berukuran sedang (80-350 nm), termasuk paramyxovirus.
Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G
(attachment protein ) yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel
tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu
A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5
hari.
c. Patofisiologi
Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran
langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui
kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel
epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam
lumen bronkiolus.
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan
sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa
neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel
saluran napas juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik
eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas,
akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan
saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem
pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai
gagal napas
Proses patologis mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Perfusi ventilasi yang tidak sepadan menimbulkan
hipoksemia, yang terjadi pada awal perjalanannya. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) biasanya tidak terjadi kecuali pada
penderita yang terkena berat. Makin tinggi frekuensi pernafasan makin rendah tekanan oksigen arteri. Hiperkapnea biasanya tidak
terjadi sampai pernafasan melebihi 60 kali/menit; selanjutnya proporsi hiperkapnea ini bertambah menjadi takipnea.
d. Manifestasi klinis
Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa
hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk
paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya
terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan.Bayi mengalami
demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi

Terjadi distress nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya
meningkat.
Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya
hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru).
Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles.
Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi.
Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar.
Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.
Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids
,sulfur dioxide). Karakteristiknya:
o gambaran klinis & radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia
dan wheezing yang berulang.
o Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis.
Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastis
dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis
e. Diagnosis
i. Anamnesis
Pada anak usia di bawah 2 tahun, dari anamnesis didapatkan adanya gejala infeksi saluran napas atas ringan akibat virus,
seperti pilek ringan disertai rinorea, batuk, dan demam. Demam biasanya tidak ada, namun jika ada, biasanya berkisar
antara 38,5oC sampai 39oC atau subfebris. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas
yang makin hebat, yaitu bernapas dangkal dan cepat. Kemudian dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting),
napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan sulit makan karena terganggu oleh takinea yang dialami oleh pasien
ii. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya dispnea dengan expiratory effort, takipnea, takikardia, dan peningkatan suhu di
atas 38,5oC. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping
hidung dan retraksi interkostal. Menangis dan makan dapat memperberat tanda ini. Dapat ditemukan juga konjungtivitis
ringan dan faringitis. Adanya obstruksi pada saluran napas bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala
ekpirasi memanjang hingga wheezing. Wheezing lebih dominan, namun tidak terdengarnya wheezing bukan berarti tidak
ada obstruksi. Wheezing dan crackles dapat atau tidak dapat muncul, bergantung pada derajat obstruksi saluran napas.
Pada bayi dengan obstruksi saluran napas berat, wheezing berkurang seiring dengan berkurangnya aliran udara. Biasanya
fase kritis dari penyakit ini terjadi pada 48 sampai 72 jam. Jika obstruksi hebat, suara napas nyaris tidak terdengar. Selain
itu, dapat juga ditemukan rhonki pada auskultasi paru, yaitu rhonki basah halus nyaring pada akhir atau awal ekspirasi.
Sianosis sekitar hidung dan mulut dapat terjadi, dan apabila gejala memberat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi
berusia <6 minggu
Tanda-tanda distress pernapasan dan impending respiratory failure pada bayi dan anak yang masih kecil:
1. peningkatan signifikan dari usaha bernapas, termasuk retraksi berat atau grunting, penurunan gerakan dada.
2. Sianosis yang tidak membaik dengan pemberian oksigen.
3. HR 150 kali per menit.
4. bernapas sangat cepat, yaitu >60 kali per menit pada bayi baru lahir sampai usia 6 bulan; atau lebih dari 30 kali
per menit pada anak usia 6 bulan sampai 2 tahun.
5. Depresi napas berat, yaitu 20 kali per menit.
6. Retraksi pada area supraklavikula, sternum, epigastrium, dan interkostal.
7. Cemas dan agitasi yang ekstrim.
8. Penurunan kesadaran
iii. Pemeriksaan laboratorium
Pada foto rontgen diperoleh gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan diameter anteroposterior membesar, dan
infiltrat/bercak konsolidasi yang tersebar (patchy infiltrate). Namun, gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada
asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Gambaran lain yang dapat ditemukan adalah gambaran normal,
atelektasis, dan kolaps segmenta. Atelektasis terutama pada saat konvalesens akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati
yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior.
Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen detection tests (direct immunofluoresence assay dan
enzyme-linked immunosorbent assays, ELISA) atau Polymerase Chain Reaction (PCR), dan pengukuran titer antibodi
pada fase akut dan konvalesens.
Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Skala klinis yang digunakan ada beberapa macam, yaitu Respiratory
Distress Assays Instrument (RDAI) atau modifikasinya yang mengukur laju pernapasan/respiratory rate (RR), usaha napas,
beratnya wheezing, dan oksigenasi
Table skor Respiratory Distress Assays Instrument (RDAI)
SKOR Skor
0 1 2 3 4 maksimal
Wheezing :
-Ekspirasi (-) Akhir Semua 4
-Inspirasi (-) Sebagian Semua 2
-Lokasi (-) 2 dr 4 lap paru 3 dr 4 lap 2
paru
Retraksi :
-Supraklavikular (-) Ringan Sedang Berat 3
-Interkostal (-) Ringan Sedang Berat 3
-Subkostal (-) Ringan Sedang Berat 3
TOTAL 17

f. Tatalaksana
Tatalaksana bronkiolitis masih kontroversial. Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis bersifat suportif, yaitu pemberian
oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena, kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen
minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu, baru digunakan bronkodilator, anti-inflamasi seperti
kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline (polyclonal), atau
humanized RSV monoclonal antibody (Palivizumab).
Berikut tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien bronkiolitis:
1. Oksigen 1-2 liter per menit dengan nasal kanul.
2. Cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dengan infus). Pada bayi >1bulan diberikan infus dextrose 10%:NaCl 0,9% = 3:1 +
KCl 10 mEq/500 ml cairan. Sedangkan pada neonatus diberikan dextrose 10%:NaCl 0,9% = 4:1+KCl 10 mEq/500 ml.
Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu, dan status hidrasi.
3. Koreksi asam-basa yang timbul.
4. Antibiotik dapat diberikan:
- Untuk community acquired pilihan nya Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian atau Kloramfenikol 75
mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian.
- Untuk kasus hospital acquired dapat diberikan sefotaksim 100 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Lama
pemberian antibiotic 7-10 hari atau sampai 4-5 hari bebas demam.
5. Bronkodilator.
Pemberian bronkodilator masih kontroversial. Beberapa literatur menunjukkan bahwa terdapat perbaikan skor klinis pada
janga pendek, naumn tidak terdapat perbaikan pada oksigenasi atau angka perawatan di rumah sakit. Hingga saat ini
bronkodilator masih digunakan secara luas untuk bayi-bayi dengan bronkiolitis. Pemberian bronkodilator ini didasari oleh
pemikirian:
- Kerja konstriktor -adrenergik sebagai dekongestan mukosa, mebatasi absorbsinya, dan mengatur aliran darah pulmoner,
dengan sedikit efek pada ventilation-perfusion matching.
- Relaksasi otot bronkus karena efek -adrenergik.
- Kerja -adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi.
- Efek fisiologis antihistamin yang melawan efek histamine seperti edema.
- Mengurangi sekresi kataral. Pada pasien bronkiolitis dapat diberikan normal saline atau -agonis untuk memperbaiki
bersihan mukosilier.
6. Kortikosteroid.
Kortikosteroid yang digunakan adalah prednisone, prednisolon, metilprednison, hidrokortison, dan deksametasone.
Sebenarnya, penggunaan kortikosteroid ini masih perlu dipertimbangkan. Dari beberapa penelitian dan meta-analisis diperoleh
kesimpulan bahwa pemberian kortikotsteroid baik secara oral, inhalasi, intramuscular, maupun intravena tidak berbeda secara
signifikan dengan kelompok yang tidak mendapatkan steroid. Pemberian steroid ini diketahui memberikan hasil yang
bermakna jika diberikan pada anak dengan predisposisi asma. Namun, karena faktor predisposisi ini tidak dapat diidentifikasi
sebelumnya, maka diperlukan pertimbangan dalam pemberian steroid pada bayi dengan bronkiolitis. Dosis deksametason
yang digunakan adalah 0,5 mg/kgBB dilanjutkan 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis.
7. Ribavirin.
Ribavirin merupakan suatu purin nucleoside derivate guanosine sintetik yang bekerja mempengaruhi pengeluaran mRNA
virus yang mencegah sintesis protein. Pemberian ribavirin pada awalnya diharuskan oleh AAP, namun direvisi kembali
sehingga menjadi dapat dipertimbangkan. Dari beberapa literatur diperoleh keterangan bahwa penggunaan ribavirin tidak
memberikan hasil yang sangat signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya efek positif, namun perbedaannya sangat
kecil dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan ribavirin. Namun, telah dibuktikan bahwa pemberian ribavirin
sebelum 5 hari dari gejala awal dapat memperbaiki fungsi paru yang ditandai dengan berkurangnya wheezing, penyakit saluran
respiratori reaktif, dan pneumonia
g. Prognosis
Prognosis untuk kehidupannya (quo ad vitam) adalah ad bonam, karena walaupun datang dengan distres respirasi, dapat
ditangani dengan segera dan tepat, sehingga masa-masa kritisnya terlewati. Sedangkan prognosis untuk kesembuhan (quo ad
sanam) adalah ad bonam, dikarenakan pengelolaan terhadap penderita rasional dan menyeluruh meliputi aspek keperawatan,
medikamentosa, dietetik dan edukatif.

Infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi bisa berkembang menjadi asma. Ehlenfield dkk mengatakan jumlah eosinofil pada
saat bronkiolitis lebih banyak pada bayi yang nantinya akan menderita mengi pada usia 7 tahun, yaitu median 98 sel/mm3.
Adanya eosinofilia dimungkinkan bahwa mengi akan berlanjut pada masa kanak-kanak.
Kriteria yang menjadi faktor risiko asma adalah didapatkannya 2 faktor risiko mayor atau 1 faktor resiko mayor + 2 faktor
risiko minor.

- Faktor risiko major yaitu asma pada orang tua dan eksema pada anak.

- Faktor risiko minor adalah Rinitis alergi, mengi diluar selesma dan eosinofilia.

Faktor resiko gejala yang berulang sehingga kemungkinan dapat berkembang menjadi asma : sosial ekonomi yang rendah,
lingkungan rumah yang tidak sehat, jumlah anggota keluarga yang besar tinggal dalam 1 rumah, ayah seorang perokok aktif dan
anak tidak mendapatkan ASI sejak lahir,
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidhartani M. Bronkiolitis. Dalam : Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2008: 333-347
2. Wastoro D. Infeksi pernafasan akut pada anak. Dalam : Kuliah pulmonologi tahun 1996. Semarang. Bagian IKA FK UNDIP. 1996 : 1
8
3. Staf Pengajar FK UI. Bronkiolitis akut. Dalam : Buku kuliah ilmu kesehatan anak jilid 3. Jakarta. Bagian IKA FK UI. 1991 : 1233 1234
4. Trastotenojo MS, Sidhartani M, Wastoro D. Pulmonologi anak. Dalam : Hartantyo I, Susanto R, Tamam M dkk editor. Pedoman
pelayanan medik anak edisi kedua. Semarang. Bagian IKA FK UNDIP. 1997 : 83 85
5. Mansjoer, Suprohaita, dkk. Bronkiolitis akut. Dalam : Kapita selekta kedokteran jilid 2. Jakarta. Media Ausculapius FK UI. 2000 : 468
469

Anda mungkin juga menyukai