Anda di halaman 1dari 8

MENGHIDUPKAN BOROBUDUR: MANAJEMEN PARIWISATA BUDAYA

DI CANDI BOROBUDUR JAWA TENGAH

Oleh: Novita Dwihapsari

1. Latar Belakang

Borobudur adalah nama candi Budha yang berbentuk stupa yang dibangun
oleh wangsa Syailendra sekitar tahun 800-an Masehi1. Monumen ini merupakan
representasi model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat
manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai
ajaran Buddha2. Secara geografis kawasan Candi Borobudur terletak di Kabupaten
Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kawasan ini memiliki luas 8.851,09 ha.
Lokasi candi kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah
barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.

Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (JPPI, 2009) melihat bahwa kesadaran


akan pentingnya pengelolaan dan pelestarian warisan budaya kini sudah semakin
tinggi. Namun masih ditemukan beberapa permasalahan dalam pengelolaan

1
Soekmono (1976), halaman 3536.
2
Kartapranata, Gunawan (2007-06-01). "Upacara Waisak di Borobudur (Infografik)" (Infographic) (in
Indonesian). Harian "Kompas".

1
pariwisata, salah satunya karena minimnya proses komunikasi yang berlangsung
antara pengelola pariwisata dengan masyarakat sebagai pemilik objek warisan
budaya yang ada. Untuk itu, tulisan ini ingin mengupas tentang mnajemen pariwisata
budaya yang dapat diaplikasikan di kawasan Candi Borobudur.

2. Kilas Balik Pengelolaan Warisan Budaya di Indonesia

Menurut UU RI No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, definisi cagar


budaya yaitu benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa
kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan
mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap
mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; benda
alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan. Sehingga candi Borobudur termasuk bagian dari cagar budaya.

Pengelolaan maupun pemanfaatan candi borobudur sebagai benda warisan


budaya juga diatur dalam UU tersebut yaitu pada pasal (19) menyebutkan bahwa
benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial,
pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan asalkan tidak bertentangan
dengan upaya perlindungan benda cagar budaya serta semata-mata untuk mencari
keuntungan pribadi dan/atau golongan.

3. Menghidupkan Borobudur

Adanya persaingan yang terus meningkat di industri pariwisata, membuat


diperlukannya cara kreatif untuk membawa warisan atau atraksi budaya dapat hidup
merupakan poin yang lebih penting. Perlu diingat bahwa pengunjung saat ini lebih
canggih dan baik dari generasi sebelumnya, terutama pada saat mereka bepergian,
yakni dengan menambah tantangan yang dapat menarik pengunjung melalui atraksi
budaya. Untuk menarik pengunjung, pengalaman yang ditawarkan harus menarik dan
melibatkan lima indra pengunjung sebanyak mungkin.

Sumber daya budaya, bersejarah, alami dan cerita rakyat yang hidup
merupakan elemen tak tergantikan dari pengalaman pariwisata warisan budaya.

2
Wisatawan tidak akan menghabiskan banyak waktu di daerah yang hanya
menawarkan kesempatan untuk membaca tanda-tanda, memperingati bangunan yang
tidak lagi berdiri atau mendengar tentang tradisi yang tidak lagi ada. Sumberdaya ini
adalah pengingat nyata dari masa lalu. Sehingga menjadi sangat penting untuk
menceritakan kembali kisah sejarah kawasan kepada pengunjung. Untuk melestarikan
dan melindungi sumberdaya, maka perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

Biaya; Apakah di awal memerlukan investasi keuangan dan biaya apa saja
yang memerlukan siklus berkelanjutan?
Penjadualan; Berapa lama waktu yang dibutuhkan dan bagaimana kesesuaian
dengan kurun waktu secara keseluruhan?
Keterampilan; Keterampilan apa yang dibutuhkan? Pengrajin? Ahli
lingkungan? Pendongeng cerita rakyat? Perancang pameran? Produser film?
Pelestarian dan Rencana Konservasi; Apakah pihak pengelola memiliki
kerangka pelestarian yang komprehensif dan rencana konservasi di tempat
tersebut?
Dampak jangka panjang; Apakah sudah melakukan evaluasi terhadap
kebutuhan situs warisan bersejarah atau sumberdaya budaya yang akan
menjadi tempat kunjungan? Apakah bangunan bersejarah memerlukan lantai
yang lebih kuat untuk mendukung sejumlah besar pengunjung? Apakah taman
publik memerlukan petugas keamanan (patroli) untuk memastikan keamanan?
Apakah perlu untuk mengevaluasi berapa banyak perajin lokal yang
diperlukan?
Menyeimbangkan Pelestarian dan Promosi; Berapa banyak kunjungan yang
akan ditargetkan? Bagaimana hal tersebut mempengaruhi keputusan
pemasaran terhadap warisan budaya dan sumberdaya yang sedang
dipromosikan?
Komunitas Kreatif dan Pendidikan; Apakah program dikembangkan untuk
meningkatkan kesadaran lokal dan apresiasi terhadap sumber daya warisan
budaya, serta untuk membangun dukungan bagi pelestarian dan perlindungan?
Kemitraan; Apakah sudah terjadi kemitraan antara preservationists, sejarawan,
promotor pariwisata, dan orang lain untuk bekerja sama?

3
4. Pertarungan Kepentingan: Manajemen Konflik dalam Pengelolaan
Borobudur

Konflik kepentingan dan pluralisme yang berkembang dalam masyarakat juga


menimbulkan wacana baru dalam visi pelestarian. Selama ini, harus diakui kebijakan
pelestarian termesan selalu diarahkan pada upaya tidak mengubah atau
mengembalikannya kekeadaannya semula suatu warisan budaya. Kebijakan seperti
itu dirasakan terlalu kaku, dan kurang dapat mewadahi upaya pemanfaatannya.
Seolah-olah pelestarian adalah untuk pelestarian itu sendiri. Namun, kini kebijakan
seperti itu sering dipermasalahkan dan di berbagai tempat sudah mulai ditinggalkan.
Memang disadari sepenuhnya bahwa warisan budaya adalah sumberdaya budaya yang
tak-terbaharui (non-renewable), terbatas (finite), dan khas (contextual).
Karena itu, segala upaya untuk mempertahankan nilainya harus selalu
diusahakan. Namun, disadari pula bahwa upaya mempertahankan nilainya itu tidak
selaluberarti sekedar mengabadikan keadaan semula, tanpa mau tahu berarti atau
tidaknya upaya pelestarian itu bagi masyarakat. Sebaliknya, pelestarian justru harus
dilihat sebagai suatu upaya untuk mengaktualkan kembali warisan budaya dalam
konteks sistem yang ada sekarang. Tentu saja, pelestarian harus dapat
mengakomodasi kemungkinan perubahan, karena pelestarian harus diartikan sebagai
upaya untuk memberikan makna baru bagi warisan budaya itu sendiri (Tanudirjo,
1996).

Kerangka pikir ini barangkali dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep


transformasi yang dikemukan oleh M.B. Schiffer (1976;1985). Bagi sarjana ini, ada
dua konteks utama yang dapat menjelaskan keberadaan sumberdaya budaya, yaitu
konteks sistem dan konteks arkeologi. Konteks sistem adalah lingkungan budaya yang
masih berlangsung. Dalam konteks ini, sumberdaya budaya masih berperan aktif dan
dipergunakan oleh masyarakat. Konteks arkeologis adalah lingkungan tempat
sumberdaya budaya (baik yang tangible maupun yang intangible) sudah tidak
digunakan lagi. Sumberdaya yang tidak digunakan ini seringkali menjadi rusak,
hilang dan punah. Namun, tidak jarang sumberdaya budaya ini masih ada tetapi tidak
tampak dan masih mungkin ditemukan kembali. Pelestarian pada hakekatnya adalah

4
upaya mempertahankan agar suatu sumberdaya budaya tetap berada pada konteks
sistem agar dapat berfungsi aktif atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Agar tetap bertahan, sumberdaya budaya yang masih ada dalam konteks
sistem mungkin saja harus dipakai ulang atau didaur ulang. Sementara itu,
sumberdaya budaya yang sudah berada pada konteks arkeologis akandapat
dilestarikan kalau sumberdaya itu dapat dimasukan kembali ke dalam konteks sistem
melalui proses reklamasi maupun daur ulang. Proses reklamasi dan daur ulang sudah
tentu mengandung makna perubahan, yaitu mengubah sumberdaya budaya yang
sudah tidah lagi bermakna agar dapat kembali mempunyai makna atau arti penting
bagi sistem budaya yang masih berlangsung. Proses penemuan kembali Candi
Borobudur yang dulunya sudah tercampak, upaya pemugaran dan pemanfaatannya
bagi kebanggaan umat manusia (sebagai World Heritage) dan daya tarik wisata tidak
lain adalah proses reklamasi dan daur ulang tadi. Karena itu, pada dasarnya, upaya
pelestarian adalah upaya untuk mempertahankan sumberdaya dalam konteks sistem
dangan memberikan makna baru bagi sumberdaya budaya itu sendiri, jika tidak ada
pemaknaan baru, hakekat pelestarian itu sendiri sulit atau kadang tidak akan tercapai.

5. Kritik: Pengelolaan Saat ini dan Rencana Masa Depan

Program pariwisata warisan budaya, bila dilakukan dengan benar, menjadikan


kesejahteraan karena peningkatan kunjungan wisata dan keberlanjutan usaha
masyarakat di dalam kawasan Candi Borobudur. Mengapresiasi warisan sejarah
sebuah masyarakat juga turut menanamkan kebanggaan pada warga. Hal ini penting
untuk menyeimbangkan kebutuhan penghuni dan pengunjung untuk saling
menghormati, agar daya dukung masyarakat mampu mengakomodasi kegiatan
pariwisata, agar manfaatnya dapat dirasakan semua orang. Memahami jenis dan
jumlah komunitas yang akan dilibatkan dalam pariwisata adalah kunci keberhasilan
dalam prinsip ini.

Manfaat dari menemukan kesesuaian tersebut adalah:

Sebuah program pariwisata warisan budaya dapat mendorong investasi


tambahan secara lokal.

5
Warga sekitar, khususnya pedagang dapat memberikan pelayanan maksimal
kepada pengunjung.
Tidak hanya pengelola atau ppemandu wisata saja, warga maupun pedagang
yang beradaa di kawasan candi Boroobudur juga mengetahui tentang sejarah
Boorobudur dan berbagi informasi ini dengan pengunjung.
Warga dan komunitas yang berada di kawasan candi Borobudur dapat terlibat
dengan kegiatan festival atau program pariwisata sebagai pemandu wisata,
event organizer yang akan berlangsung.

Pelaksanaan program ini dapat menghilangkan stereotip bahwa program


pariwisata yang selama ini dijalankan oleh hanya meminta peran serta masyarakat
tanpa mau berkomunikasi dan memahami kepeentingan dan kebutuhan masyarakat.
Hal inilah yang seringkali menjadi kendala dan konflik dalam pengelolaan pariwisata
di Indoensia. Penyelenggara pariwisata3 warisan sejarah perlu untuk menjelaskan
tujuan mereka dan keuntungan yang akan didapat oleh masyarakat. Tidak hanya
menyatakan bahwa hal itu akan membantu perekonomian lokal, tetapi juga sampai
dengan menjelaskan tujuan proyek, misal: memulihkan rumah/bangunan bersejarah,
membuka museum, atau mengembangkan citywalk tur yang akan membawa
pengunjung ke toko-toko lokal, menciptakan lapangan kerja, memberikan pengalaman
pendidikan untuk anak-anak sekolah lokal, dll. Sehingga dalam hal ini, komunikasi
menjadi kunci utama untuk menemukan kesesuaian antara masyarakat dan pengelolaa
pariwisata (baik pemerintah maupun pihak yang mempunyai kewenangan dalam
pengelolaan pariwisata di daerah.
Ada tiga bentuk pendekatan yang dapat dipakai oleh penyelenggara pariwisata
dalam proses mendekati warga:
Pertama, penyelenggara harus mengajak dialog warga ataupun pedagang di
kawasan candi Borobudur dalam rangka mengetahui kepentingan mereka
dalam mengembangkan program warisan wisata budaya.
Kedua, penyelenggara meminta keterlibatan penuh dari warga dan masyarakat
sebagai sukarelawan menjadi pemandu wisata, turut berpartisipasi dalam

3
Penyelenggara pariwisata dalam hal ini adalah PT Taman Wisata Borobudur, Prambanan dan Ratu
Boko. Untuk lebih mempersingkat penyebutan, maka didalam tulisan ini akan disebut sebagai
penyelenggara pariwisata.

6
pelatihan pengelolaan wisata, serta ikut berkontribusi dalam program yang
dijalankan.
Ketiga, persolan dan masukan dari warga dan pedagang seyogianya harus
segera ditindaklanjuti oleh peenyelenggara pariwisata dalam hal ini misalnya
oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko.
Melalui pendekatan ini diharapkan maka akan terbangun harmonisasi dan saling
memahami diantara penyelenggara pariwisata dengan masyarakat, maupun pedagang
yang berjualan di kawasan Candi Borobudur. Dengan demikian, konflik yang selama
ini muncul antara pengelola maupun penyelenggara pariwisata dengan masyarakat
akan dapat terhindarkan.

6. Penutup

Pariwisata budaya saat ini merupakan hal mendesak dan penting dalam pengeloaan
pariwisata di Indonesia saat ini. Dalam kasus Borobudur, pendekatan CRM (Cultural
Resource Managemment) yang meliputi idetifikasi, penilaian, reinterpretasi dan
pemanfaatan kawasan candi Borobudur agar tidak menimbulkan konflik kepentingan
ekonomi maupun kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Melalui pendekatan dan komunikasi yang baik, maka jalinana hubungan antara pihak-
pihak terkait, peamngku kepentingan akan menjadikan pengelolaan kawasan candi
Borobudur berjalan dengan baik dan harmonis. Untuk itu, upaya aktif pengelola
pariwisata dalam melihat dan menemukenali perubahan yang cepat terjadi di
masyarakat menjadikan candi Borobudur tidak hanya sebagai objek pariwiisata saja
namun juga sebagai tempat untuk menimba nilai, kebijakan dan pengetahuan yang
diwariskan oleh nenek moyang agar menjadi roh bagi generasi saat ini, tidak hanya
bangsa Indonesia, namun juga masyarakat global.

7
KEPUSTAKAAN

Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia, 2003. Draft Piagam Pelestarian Pusaka


Indonesia

Schiffer, M.B. 1976, Behavioral Archaeology. New York Academic Press

Schiffer, M.B. 1985, Formation processes of the Archaeological record. Albuquergue,


University of New Mexico

Schiffer, M.B. and G.J. Gummerman (ed). 1977. Conservation Archaeology. New
York : Academic Press

Tanudirjo, D.A. 1995. Theorecal trend inindonesia Archaeology, dalam P.Ucko (ed),
Theory in Archaeology, a world perspective. London: Routledge, Hlm 61-75

Tanudirjo, D.A. 1996. Arkeologi pasca-modernisme untuk direnungkan. Makalah


disampaikan dalam pertemuan IlmiahArkelogi VII di Cipanas, 1996

Tanudirjo, D.A. 1998. CRM sebagai manajemen konflik. Artefak no. 19 Februari
1998

Tanudirjo, D.A. 2000. Reposisi arkeologi dalam era global. Buletin cagar budaya,
vol.1 no,2, Juli 2000 (suplemen). Hlm.11-26

Tanudirjo, D.A. 2001. Wisata Arkeologi antara Ilmu dan Hiburan, dalam M.I.
Mahfud (ed), Memediasi masa lalu, spektrum arkeologi dan pariwisata, Makassar
:Balai Arkeologi Makassar dan Lephas. Hlm. 90-110

Tanudirjo, D.A. 2003. gagasan untuk Nominasi Benda Cagar Budaya di Indonesia.
Makalah disusun dalam rangka Lokakarya Penyusunan Piagam Pelestarian Pusaka
untuk Indonesia diLakiurang, 30 September-3 Oktober 2003

Anda mungkin juga menyukai