1. Latar Belakang
Borobudur adalah nama candi Budha yang berbentuk stupa yang dibangun
oleh wangsa Syailendra sekitar tahun 800-an Masehi1. Monumen ini merupakan
representasi model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat
manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai
ajaran Buddha2. Secara geografis kawasan Candi Borobudur terletak di Kabupaten
Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kawasan ini memiliki luas 8.851,09 ha.
Lokasi candi kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah
barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.
1
Soekmono (1976), halaman 3536.
2
Kartapranata, Gunawan (2007-06-01). "Upacara Waisak di Borobudur (Infografik)" (Infographic) (in
Indonesian). Harian "Kompas".
1
pariwisata, salah satunya karena minimnya proses komunikasi yang berlangsung
antara pengelola pariwisata dengan masyarakat sebagai pemilik objek warisan
budaya yang ada. Untuk itu, tulisan ini ingin mengupas tentang mnajemen pariwisata
budaya yang dapat diaplikasikan di kawasan Candi Borobudur.
3. Menghidupkan Borobudur
Sumber daya budaya, bersejarah, alami dan cerita rakyat yang hidup
merupakan elemen tak tergantikan dari pengalaman pariwisata warisan budaya.
2
Wisatawan tidak akan menghabiskan banyak waktu di daerah yang hanya
menawarkan kesempatan untuk membaca tanda-tanda, memperingati bangunan yang
tidak lagi berdiri atau mendengar tentang tradisi yang tidak lagi ada. Sumberdaya ini
adalah pengingat nyata dari masa lalu. Sehingga menjadi sangat penting untuk
menceritakan kembali kisah sejarah kawasan kepada pengunjung. Untuk melestarikan
dan melindungi sumberdaya, maka perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Biaya; Apakah di awal memerlukan investasi keuangan dan biaya apa saja
yang memerlukan siklus berkelanjutan?
Penjadualan; Berapa lama waktu yang dibutuhkan dan bagaimana kesesuaian
dengan kurun waktu secara keseluruhan?
Keterampilan; Keterampilan apa yang dibutuhkan? Pengrajin? Ahli
lingkungan? Pendongeng cerita rakyat? Perancang pameran? Produser film?
Pelestarian dan Rencana Konservasi; Apakah pihak pengelola memiliki
kerangka pelestarian yang komprehensif dan rencana konservasi di tempat
tersebut?
Dampak jangka panjang; Apakah sudah melakukan evaluasi terhadap
kebutuhan situs warisan bersejarah atau sumberdaya budaya yang akan
menjadi tempat kunjungan? Apakah bangunan bersejarah memerlukan lantai
yang lebih kuat untuk mendukung sejumlah besar pengunjung? Apakah taman
publik memerlukan petugas keamanan (patroli) untuk memastikan keamanan?
Apakah perlu untuk mengevaluasi berapa banyak perajin lokal yang
diperlukan?
Menyeimbangkan Pelestarian dan Promosi; Berapa banyak kunjungan yang
akan ditargetkan? Bagaimana hal tersebut mempengaruhi keputusan
pemasaran terhadap warisan budaya dan sumberdaya yang sedang
dipromosikan?
Komunitas Kreatif dan Pendidikan; Apakah program dikembangkan untuk
meningkatkan kesadaran lokal dan apresiasi terhadap sumber daya warisan
budaya, serta untuk membangun dukungan bagi pelestarian dan perlindungan?
Kemitraan; Apakah sudah terjadi kemitraan antara preservationists, sejarawan,
promotor pariwisata, dan orang lain untuk bekerja sama?
3
4. Pertarungan Kepentingan: Manajemen Konflik dalam Pengelolaan
Borobudur
4
upaya mempertahankan agar suatu sumberdaya budaya tetap berada pada konteks
sistem agar dapat berfungsi aktif atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Agar tetap bertahan, sumberdaya budaya yang masih ada dalam konteks
sistem mungkin saja harus dipakai ulang atau didaur ulang. Sementara itu,
sumberdaya budaya yang sudah berada pada konteks arkeologis akandapat
dilestarikan kalau sumberdaya itu dapat dimasukan kembali ke dalam konteks sistem
melalui proses reklamasi maupun daur ulang. Proses reklamasi dan daur ulang sudah
tentu mengandung makna perubahan, yaitu mengubah sumberdaya budaya yang
sudah tidah lagi bermakna agar dapat kembali mempunyai makna atau arti penting
bagi sistem budaya yang masih berlangsung. Proses penemuan kembali Candi
Borobudur yang dulunya sudah tercampak, upaya pemugaran dan pemanfaatannya
bagi kebanggaan umat manusia (sebagai World Heritage) dan daya tarik wisata tidak
lain adalah proses reklamasi dan daur ulang tadi. Karena itu, pada dasarnya, upaya
pelestarian adalah upaya untuk mempertahankan sumberdaya dalam konteks sistem
dangan memberikan makna baru bagi sumberdaya budaya itu sendiri, jika tidak ada
pemaknaan baru, hakekat pelestarian itu sendiri sulit atau kadang tidak akan tercapai.
5
Warga sekitar, khususnya pedagang dapat memberikan pelayanan maksimal
kepada pengunjung.
Tidak hanya pengelola atau ppemandu wisata saja, warga maupun pedagang
yang beradaa di kawasan candi Boroobudur juga mengetahui tentang sejarah
Boorobudur dan berbagi informasi ini dengan pengunjung.
Warga dan komunitas yang berada di kawasan candi Borobudur dapat terlibat
dengan kegiatan festival atau program pariwisata sebagai pemandu wisata,
event organizer yang akan berlangsung.
3
Penyelenggara pariwisata dalam hal ini adalah PT Taman Wisata Borobudur, Prambanan dan Ratu
Boko. Untuk lebih mempersingkat penyebutan, maka didalam tulisan ini akan disebut sebagai
penyelenggara pariwisata.
6
pelatihan pengelolaan wisata, serta ikut berkontribusi dalam program yang
dijalankan.
Ketiga, persolan dan masukan dari warga dan pedagang seyogianya harus
segera ditindaklanjuti oleh peenyelenggara pariwisata dalam hal ini misalnya
oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko.
Melalui pendekatan ini diharapkan maka akan terbangun harmonisasi dan saling
memahami diantara penyelenggara pariwisata dengan masyarakat, maupun pedagang
yang berjualan di kawasan Candi Borobudur. Dengan demikian, konflik yang selama
ini muncul antara pengelola maupun penyelenggara pariwisata dengan masyarakat
akan dapat terhindarkan.
6. Penutup
Pariwisata budaya saat ini merupakan hal mendesak dan penting dalam pengeloaan
pariwisata di Indonesia saat ini. Dalam kasus Borobudur, pendekatan CRM (Cultural
Resource Managemment) yang meliputi idetifikasi, penilaian, reinterpretasi dan
pemanfaatan kawasan candi Borobudur agar tidak menimbulkan konflik kepentingan
ekonomi maupun kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Melalui pendekatan dan komunikasi yang baik, maka jalinana hubungan antara pihak-
pihak terkait, peamngku kepentingan akan menjadikan pengelolaan kawasan candi
Borobudur berjalan dengan baik dan harmonis. Untuk itu, upaya aktif pengelola
pariwisata dalam melihat dan menemukenali perubahan yang cepat terjadi di
masyarakat menjadikan candi Borobudur tidak hanya sebagai objek pariwiisata saja
namun juga sebagai tempat untuk menimba nilai, kebijakan dan pengetahuan yang
diwariskan oleh nenek moyang agar menjadi roh bagi generasi saat ini, tidak hanya
bangsa Indonesia, namun juga masyarakat global.
7
KEPUSTAKAAN
Schiffer, M.B. and G.J. Gummerman (ed). 1977. Conservation Archaeology. New
York : Academic Press
Tanudirjo, D.A. 1995. Theorecal trend inindonesia Archaeology, dalam P.Ucko (ed),
Theory in Archaeology, a world perspective. London: Routledge, Hlm 61-75
Tanudirjo, D.A. 1998. CRM sebagai manajemen konflik. Artefak no. 19 Februari
1998
Tanudirjo, D.A. 2000. Reposisi arkeologi dalam era global. Buletin cagar budaya,
vol.1 no,2, Juli 2000 (suplemen). Hlm.11-26
Tanudirjo, D.A. 2001. Wisata Arkeologi antara Ilmu dan Hiburan, dalam M.I.
Mahfud (ed), Memediasi masa lalu, spektrum arkeologi dan pariwisata, Makassar
:Balai Arkeologi Makassar dan Lephas. Hlm. 90-110
Tanudirjo, D.A. 2003. gagasan untuk Nominasi Benda Cagar Budaya di Indonesia.
Makalah disusun dalam rangka Lokakarya Penyusunan Piagam Pelestarian Pusaka
untuk Indonesia diLakiurang, 30 September-3 Oktober 2003