Ipi14802 PDF
Ipi14802 PDF
RENDRA:
ANALISIS ANTROPOLOGI SASTRA
I Ketut Sudewa
Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra Universitas Udayana
Abstrak
The poem Song of the Swan by WAS Rendra is a narrative poem that was created when he was in the United
States. The poem that is set in Jakarta city, was created by WAS Rendra based on the news that he read in
the mass media or newspapers. This poem belongs to the one which is quite rich with social criticism with a
simple but precise diction to express a criticism. Many things can be explored in this poem, in addition to the
social criticism contained in it. In this opportunity an attempt is made to discuss this poem through Literary
Anthropological approach. This approach is relatively new in the analysis of literary works. Through the
anthropological approach, Maria Zaitun is pictured as an individual who reflects a culture, such as upper-class
culture (the doctor) and the culture of the church (Pastor). Both of these cultures contribute to color the cultural
development of Indonesian society in general.
Keywords: poetry, narrative, literary anthropology,
1. Pendahuluan
Pembicaraan karya sastra dari sudut antropologi sastra merupakan hal yang
baru dalam penelitian karya sastra. Pendekatan antropologi terhadap sebuah karya
sastra sebenarnya sudah pernah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Claude Levi-
Strauss (1963:206). Tokoh ini pada awalnya banyak membaca buku-buku filsafat.
Ia tertarik pada ilmu Antropologi setelah membaca buku Primitive Society karya
Robert Lowie (Ahimsa Putra, 1977:xii). Ia melakukan penelitian secara struktural
terhadap mitos dengan teori oposisi binernya. Sebanarnya, hal yang sama bisa juga
diterapkan pada karya-karya sastra moderen, seperti: prosa, puisi, atau drama. Akan
tetapi, khusus penelitian tentang antropologi sastra adalah suatu penelitian yang
belum berkembang, khususnya di Indonesia.
Penelitian antropologi sastra sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini
mengingat sebuah karya sastra tidak hanya mengandung unsur yang bersifat naratif
dengan segala pirantinya, tetapi juga mengandung hal-hal yang bersifat sosiologis,
psikis, historis, maupun antropologis. Hipotesa ini diperkuat oleh argumentasi bahwa
karya sastra sifatnya terbuka. Artinya, seorang pengarang memiliki kebebasan yang
luas untuk mengekspresikan segala aspek kehidupannya atau kehidupan masyarakat
di sekitarnya melalui media bahasa. Oleh karena itu, sebuah karya sastra bisa dibahas
atau diteliti melalui berbagai pendekatan yang berkaitan dengan segala hal yang
65
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 Februari 2012
66
Sajak Nyanyian Angsa Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra
I Ketut Sudewa
2. Pembahasan
67
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 Februari 2012
68
Sajak Nyanyian Angsa Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra
I Ketut Sudewa
69
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 Februari 2012
70
Sajak Nyanyian Angsa Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra
I Ketut Sudewa
71
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 Februari 2012
72
Sajak Nyanyian Angsa Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra
I Ketut Sudewa
73
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 Februari 2012
Waktu.
Bulan.
Pohonan.
Kali.
Borok.
Sipilis.
Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.
Seorang lelaki datang di seberang kali.
Ia berseru: Maria Zaitun, engkaukah itu?
Ya, jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok rupanya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
Jadi kita ketemu disini,kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samodra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
Semula kusangka hanya impian
bahwa lelaki tampan seperti kau
74
Sajak Nyanyian Angsa Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra
I Ketut Sudewa
Bila dilihat dari sudut antropologis, maka tampak bahwa sajak SW. Rendra di
atas mengandung nuansa antropologis. Hal ini tergambar dari perjalan kehidupan
tokoh Maria Zaitun sebagai seorang pelacur yang sudah tidak menarik lagi (tua).
Sebagai seorang individu yang sedang mencari jatidiri sebagai makhluk Tuhan,
ditugasi oleh penyair untuk mengeksplorasi aneka budaya kehidupan manusia yang
senantiasa bersifat kontradiktif. Dalam sajak itu tersirat bermacam pertanyaan
yang bersifat filosofis tentang apa dan bagaimana sesungguhnya hidup itu, sampai
75
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 Februari 2012
akhirnya ditemukan oleh seorang Maria Zaitun. Untuk lebih jelasnya, dibahas sajak
tersebut melalui pendekatan antropologi sastra secara holistik.
Dilihat dari judul puisi, yaitu Nyanyian Angsa, maka hewan angsa adalah
hewan yang berwarna putih (suci). Hewan ini adalah hewan yang bijaksana karena ia
bisa hidup di tiga tempat, yaitu di darat, di air dan di udara serta bisa secara tepat dapat
membedakan apa yang bisa atau tidak bisa dimakan sesuatu khususnya yang ada di
dalam air. Dalam kepercayaan agama Hindu hewan ini sangat disucikan, bahkan
menjadin kendaraan Dewi Saraswati sebagai dewa ilmu pengetahuan. Nyanyian
Angsa dapat ditafsirkan sebagai pujian kepada yang maha suci dan bijaksana, yaitu
Tuhan (dalam keyakinan agama Kristen sebagai Yesus dan Roh Kudus).
Maria Zaitun sebagai tokoh sentral dalam sajak WS. Rendra secara antropologis
atau manusia individu, maka kecantikan pada waktu muda pada suatu saat akan
hilang dan menjadi manusia yang lemah, tidak menarik, tidak berguna, serta akan
menjadi beban bagi orang lain. Pada saat itu sebagai manusia, barulah menyadari
betapa manusia yang pada mulanya menjadi pewarna perjalanan suatu budaya bangsa
akhirnya menjadi korban suatu budaya. Ketika manusia (Maria Zaitun) seperti itu,
maka mau atau tidak mau akan disisihkan dari kelompok buadayanya yaitu budaya
pelacuran. Hal itu tampak pada kutipan sajak berikut.
Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya
Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan padaku kamu berhutang.
Ini biaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu mesti pergi.(halaman: 32).
76
Sajak Nyanyian Angsa Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra
I Ketut Sudewa
77
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 Februari 2012
Sebagai manusia yang dianggap kotor, tetapi Maria Zaitun masih manusia
yang beragama tentu saja ia rindu akan Tuhannya (Yesus) atau seseorang (Pastor
misalnya) yang memahami kehidupannya. Akan tetapi, justru Pastor menolaknya
dan menganggap Maria Zaitun gila, bahkan mengusirnya dari Gereja. Ini adalah
budaya gereja yang tidak lazim. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menudingMaria Zaitun.
Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.(halaman: 35)
Perjalanan Maria Zaitun dalam pencarian jati diri, akhirnya sampai pada sebuah
sungai (kali). Dalam kelelahan setelah mengalami penolakan demi penolakan, Maria
Zaitun beristirahat di pinggir kali. Dalam suasana sore hari yang indah dan sejuk di
pinggir sebuah kali (yang memiliki suasana berbeda dengan keadaan sebelumnya
yang sangat panas), Maria Zaitun sebagai manusia individu yang unik dan khas
menikmati betapa segar dan indahnya saat itu. Ia minum air kali lalu membasuh
kaki, tangan, dan mukanya pada air kali yang mengalir sebagai simbol keiinginan
membersihkan diri dari segala dosa.
Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
78
Sajak Nyanyian Angsa Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra
I Ketut Sudewa
Angin bertiup.
Matahari turun.
Hari pun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.(halaman: 37)
Dalam suasana seperti itu, Maria Zaitun teringat pada masa-masa lalunya yang
indah bersama keluarga, teman-teman, dan pacarnya. Ia melakukan perenungan
tentang perjalanan hidupnya. Inilah yang merupakan puncak-puncak pencarian jati
diri seorang Maria Zaitun yang telah kalah melawan kekuatan alam dan takdir.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali
nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita
tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu. (halaman: 38)
79
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 Februari 2012
Ternyata lelaki yang mendatangi dan mencumbu Maria Zaitun adalah juru
selamat, yaitu Yesus Kristus. Yesus telah mengangkat Maria Zaitun dari kegelapan.
Maria Zaitun telah bangkit, seperti halnya kebangkitan Yesus. Tafsiran bahwa
yang mendatangi Maria Zaitun di pinggir kali adalah Yesus Kristus adalah ketika
ia mencium seluruh tubuh lelaki yang mendatanginya dan ditemukan bekas luka
di lambung kiri, di dua tapak tangan, di dua tapak kaki pada lelaki itu. Semua itu
adalah luka-luka yang dialami Yesus Kristus ketika digantung di kayu Salib sebagai
penebusan dosa umatnya.
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
80
Sajak Nyanyian Angsa Karya Ws. Rendra: Analisis Antropologi Sastra
I Ketut Sudewa
Akhirnya, Maria Zaitun telah dibebaskan dari segala dosa oleh juru selamat
Yesus Kristus, bahkan ia memasuki taman firdaus (taman sorga) sambil memakan
buah apel (simbol kebahagiaan) sepuasnya.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak brani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya). (halaman: 40).
3. Simpulan
Dari pembahasan di atas tampak, bahwa sajak Nyanyian Angsa karya WS.
Rendra adalah sajak yang berisi kritik sosial bagi kelompok budaya masyarakat
tertentu. Secara Antropologis, tokoh Maria Zaitun sebagai individu pengungkap
suatu budaya, seperti budaya masyarakat kelas atas (dokter) dan budaya gereja
(Pastor) ikut memberi warna perjalanan budaya masyarakat (Indonesia) pada
81
PUSTAKA
Volume XII, No. 1 Februari 2012
umumnya.
Dalam perjalanan pencarian jatidiri seorang Maria Zaitun dengan terseok-
seok akhirnya sampai kepada pengampunan abadi, yaitu pengampunan dan cinta
kasih Yesus Kristus sehingga ia diangkat ke kerajaan Yesus, yaitu taman firdaus
(sorga). Perjalanan Maria Zaitun sampai menemukan jati dirinya, yaitu Yesus
Kristus melewati tiga peristiwa besar, yaitu (a) peristiwa minta menyembuhan pada
dokter; (b) peristiwa pengakuan dosa di Gereja; dan (c) peristiwa pertemuannya
dengan lelaki di pinggir kali yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus. Bila dikaitkan
dengan judul sajak, yaitu Nyanyian Angsa, maka hewan Angsa seperti dijelaskan
di awal pembahasan yaitu hewan yang bijaksana dan bisa hidup di tiga tempat, yakni
di udara, di darat, dan di air. Sifat Angsa ini memiliki makna yang sejajar dengan
tiga peristiwa besar yang dialami oleh Maria Zaitun dalam pencarian jati diri dan
membentuk suatu nyanyian yang merdu.
Daftar Pustaka
82