Anda di halaman 1dari 18

Bagian Obstetri dan Ginekologi LAPORAN KASUS

KISTA BARTHOLINI

Disusun Oleh :

DEVY DAMAYANTI

N 111 16 010

Pembimbing Klinik:

dr. MELDA MM SINOLUNGAN, Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN


KLINIK

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

DESEMBER 2017
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Kelenjar bartolini merupakan salah satu organ genitalia eksterna,
kelenjar bartolini atau glandula vestibularis major, berjumlah dua buah
berbentuk bundar, dan berada di sebelah dorsal dari bulbus vestibulli.
Saluran keluar dari kelenjar ini bermuara pada celah yang terdapat diantara
labium minus pudendi dan tepi hymen. Kelenjar ini berfungsi untuk
mensekresi cairan pembersih, mukus yang alkalis kedalam duktus yang
bagian dalamnya tersusun atas sel kolumner dan bagian luar tersusun atas
epitel transisional.1
Kista bartholini adalah kista yang terdapat pada kelenjar bartholini.
Kista kelenjar Bartholin terjadi ketika kelenjar ini menjadi tersumbat.
Kelenjar Bartolini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi,
peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini
mengalami infeksi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain
dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Kelenjar Bartolini bisa tersumbat
karena berbagai alasan, seperti infeksi, peradangan atau iritasi jangka
panjang. 1
Penyebab dari kelainan kelenjar Bartholin adalah tersumbatnya bagian
distal dari duktus kelenjar yang menyebabkan retensi dari sekresi, sehingga
terjadi pelebaran duktus dan pembentukan kista. Kista tersebut dapat
menjadi terinfeksi, dan selanjutnya berkembang menjadi abses. Abses
bartholin selain merupakan akibat dari kista terinfeksi, dapat pula
disebabkan karena infeksi langsung pada kelenjar Bartholin.1
Dua persen wanita mengalami kista Bartolini atau abses kelenjar pada
suatu saat dalam kehidupannya. Abses umumnya hampir terjadi tiga kali
lebih banyak dari pada kista. Kista Bartolini, yang paling umum terjadi pada
labia mayora. Involusi bertahap dari kelenjar Bartolini dapat terjadi pada
saat seorang wanita mencapai usia 30 tahun. Kebanyakan kasus terjadi pada
wanita usia antara 20 sampai 30 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan
dapat terjadi pada wanita yang lebih tua atau lebih muda.2
Dalam penanganan kista dan abses bartholin, ada beberapa
pengobatan yang dapat dilakukan. Dapat berupa intervensi bedah, dan
medikamentosa. Intervensi bedah yang dapat dilakukan antara lain berupa
incise dan drainase, pemasangan Word catheter, marsupialisasi, dan
eksisi.1,2

II. Tujuan
Kista bartholin bila berukuran kecil sering tidak menimbulkan gejala.
Dan bila bertambah besar maka dapat menimbulkan dispareunia. Pasien
dengan abses Bartholin umumnya mengeluhkan nyeri vulva yang akut dan
bertambah secara cepat dan progresif. Maka dari itu sangat penting bagi
kita untuk mempelajari lebih lanjut mengenai kasus ini agar dapat
memberikan penanganan tepat untuk kasus kista bartholin.
BAB II
LAPORAN KASUS

BAGIAN OBSTETRI GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RSUD UNDATA PALU

STATUS GINEKOLOGI

Tanggal Pemeriksaan : 19 Oktober 2017


Ruangan : IGD Kebidanan RS Anutapura
Jam : 12.25 WITA

IDENTITAS
Nama : Nn. S
Umur : 35 tahun
Alamat : Jl.Kelor
Pekerjaan : IRT
Agama :Islam
Pendidikan : SMA

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Benjolan pada kemaluan

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien masuk ke IGD kebidanan RSU Anutapura Palu dengan
keluhan benjolan di bibir kemaluan sebelah kanan yang terasa nyeri.
Benjolannya mulai timbul sejak 5 hari yang lalu sebelum masuk rumah
sakit. Sebelumnya pasien sudah sering mengalami hal yang seperti ini,
sejak 1 tahun yang lalu. benjolan sering hilang timbul. Untuk benjolan
yang sekerang makin lama makin membesar dan semakin hari semakin
nyeri, nyeri memberat bila tersentuh, saat pasien berjalan dan duduk. Rasa
sakit berkurang bila pasien dalam posisi berbaring dan tidak memakai
celana yang ketat. Benjolan tidak gatal. Pasien juga mengeluh mengalami
keputihan, mula-mula keputihan warna putih keruh, banyak dan tidak
berbau dalam beberapa bulan terakhir.

Riwayat Penyakit Terdahulu:


Riwayat yang serupa : Ya, 1 tahun yang lalu
Riwayat alergi : Disangkal
Riwayat Hipertensi/Jantung/DM : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang sakit serupa. Tidak ada riwayat keluarga
menderita penyakit Hipertensi/DM/Jantung.

Riwayat Haid :
Haid pertama kali usia 14 tahun
Menstruasi teratur.
Lama menstruasi 6-7 hari
Haid terakhir bulan Oktober
Warna merah, tak berbau.

Riwayat sosial
Pasien seorang Ibu Rumah Tangga, mengaku Sudah menikah. Riwayat
koitus (+)

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 37,7oC

STATUS GENERALISATA
Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-/-), pembesaran kel.tiroid (-/-)
Paru-paru: VF simetris (+/+), vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : Bunyi jantung murni regular
Abdomen : cembung, BU (+) kesan normal, palpasi tidak teraba massa, nyeri
tekan epigastrium (+), Tympani (+)
Ekstremitas : RCT < 2 detik, akral hangat, sianosis (-), edema (-)

Status Genitalia
Inspeksi : Tampak massa berfluktuasi dan hiperemis di labia minora dextra
meluas ke labia mayora dextra, bentuk sferis, Hymen tidak intake.
Palpasi : Teraba massa lunak,berfluktuasi, nyeri tekan (+), teraba lebih
hangat dibandingkan daerah sekitarnya. Ukuran 5x3 cm

PEMERIKSAAN PENUNJANG
WBC : 17,2 x103/L
RBC : 2,9 x106/L
Hb : 12,5 g/dL
PLT : 250 x103/L
CT : 7 menit 00 detik
BT : 3 menit 00 detik
HbsAg : Negatif
RESUME
Pasien usia 35 tahun masuk dengan keluhan utama edema regio labia
minora dextra, dialami sejak 5 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit,
edema membesar secara progresif, terasa sangat nyeri, nyeri memberat bila
tersentuh, saat berjalan dan saat duduk. Rasa sakit berkurang bila dalam posisi
berbaring dan tidak memakai celana ketat. Pasien juga mengeluh mengalami
leukorhea, banyak dan tidak berbau dalam beberapa bulan terakhir. Riwayat
haid sebelumnya teratur, riwayat koitus (+).
Pemeriksaan fisik pasien menujukkan keadaan umum sakit sedang,
composmentis, tanda vital TD :110/70 mmHg, N 82x/mnt, R 20x/mnt, S
37,7oC. Status genitalia : tampak massa berfluktuasi dan hiperemis di labia
minor adextra meluas ke labia mayora dextra, bentuk sferis, hymen tak intak.
Teraba massa lunak, berfluktuasi, nyeri tekan (+), teraba lebih hangat
dibandingkan daerah sekitarnya. Ukuran 5x3 cm. Pemeriksaan darah rutin
menunjukkan WBC :17,2 x103/L.

DIAGNOSIS
Kista kelenjar bartolini

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa :
IVFD RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 1gr/8 jam
Inj. Ketorolac 1 amp/8jam
Non Medikamentosa
Rencana insisi
FOLLOW UP

FOLLOW UP (20 Oktober 2017)

S : Nyeri bagian kemaluan (+), demam (-), pusing (-),BAK biasa, BAB lancar
O :Ku : sedang
Kesadaran : Kompos Mentis
TD: 110/70 mmHg P: 18 x/m
N: 80 x/m S : 36,6 C
Konjungtiva anemis -/-
A : Kista kelenjar bartolini
P : IVFD RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 1gr/8 jam
Inj. Ketorolac 1 amp/8jam
Rencana insisi
Dokumentasi

Gambar 1. Dokumentasi ekstirpasi


LAPORAN OPERASI

1. Pasien baring dengan posisi litotomi di bawah pengaruh anestesi


umum
2. Disinfeksi area vagina dan sekitarnya dengan kasa steril dan betadine,
pasang duk steril.
3. Eksplorasi daerah labia mayora sinistra, tampak kista daerah labia
mayorah arah jam 4 ukuran 53 .
4. Keluarkan kista dengan perlahan
5. Jahit luka
6. Kontrol perdarahan
7. Operasi selesai
FOLLOW UP POST OPERASI

H+1 (1 September 2017)

S : Nyeri luka operasi (+),demam (-), pusing (-), BAK biasa, BAB lancar
O :Ku : sedang
Kesadaran : kompos mentis
TD: 110/80 mmHg P: 20 x/m
N: 84 x/m S : 36,5 C
Konjungtiva anemis -/-
A : Post inisisi Kista bartholine H1
P : IVFD RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 1gr/8 jam
Inj. Ketorolac 1 amp/8jam

H+2 (2 September 2017)

S : Nyeri luka operasi (+), demam (-), pusing (-), BAK biasa, BAB lancar
O :Ku : sedang
Kesadaran : komposmentis
TD: 120/80 mmHg
N: 80 x/m
P: 20 x/m
S : 36,6 C
Konjungtiva anemis -/-
A : Post inisisi kista Bartholine H2
P :Cefadroxil 2 x 500 mg
Asam mefenamat 3 x 500 mg
Pasien Boleh Pulang.
BAB IV
PEMBAHASAN

1. DIAGNOSIS

Pada kasus ini pasien didiagnosis sebagai Kista kelenjar


bartolini berdasarkan dari anamnesis keluhan pasien dan pemeriksaan
fisik. Pada kasus ini pasien berusia 35 tahun mengeluhkan benjolan
yang membesar dan sangat nyeri di labia minora dextra serta
mengganggu aktivitas, Pasien juga mengeluh mengalami leukorhea,
banyak dan tidak berbau dalam beberapa bulan terakhir. Pada
pemeriksaan genitalia tampak massa berfluktuasi di labia minora
dextra, hiperemis, teraba hangat dibanding daerah lainnya konsistensi
kenyal dengan ukuran 5x3 cm dan nyeri tekan (+).

Epidemiologi kista bartholini kebanyakan terjadi pada wanita


usia reproduktif, antara 20 sampai 30 tahun. Namun, tidak menutup
kemungkinan dapat terjadi pada wanita yang lebih tua atau lebih
muda. Pada pasien ini, pasien berumur 35 tahun dan termasuk dari
usia reproduktif, sehingga dari segi epidemiologi sudah sesuai, selain
itu dari riwayat higienitas pasien termasuk memiliki status higienitas
yang buruk terbukti dari riwayat keputihan yang berlangsung dalam
beberapa bulan terakhir dan riyawat koitus (+). Keadaan ini dapat
menjadi media yang baik bagi mikrobakteri untuk hidup sehingga
menimbulkan sumbatan dan infeksi pada kelenjar bartolini.1,3,4

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diperoleh


telah sesuai dengan teori tanda dan gejala kelenjar bartholini yang
telah terinfeksi. Keluhan pasien pada umumnya adalah adanya
benjolan, nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik, teraba massa
unilateral pada labia mayor sebesar bola kelereng, lembut, dan
berfluktuasi, atau terkadang tegang dan keras, umumnya tidak disertai
demam, kecuali jika terinfeksi dengan mikroorganisme yang
ditularkan melalui hubungan seksual atau ditandai dengan adanya
perabaan kelenjar limfe pada inguinal, biasanya ada sekret di vagina,
kira-kira 4 sampai 5 hari pasca pembengkakan, terutama jika infeksi
yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui hubungan
seksual.3,4,5,6,7

Pada bartholinitis akut, kelenjar membesar, merah, nyeri dan


lebih panas dari daerah sekitarnya. Isinya cepat menjadi nanah yang
dapat keluar melalui duktusnya, atau jika duktus tersumbat,
mengumpul di dalamnya dan menjadi abses yang kadang-kadang
dapat menjadi sebesar telur bebek. Jika belum menjadi abses, keadaan
bisa diatasi dengan antibiotik, jika sudah bernanah akan mencari jalan
sendiri atau harus dikeluarkan dengan sayatan. Radang pada kelenjar
bartholin dapat terjadi berulang-ulang dan akhirnya dapat menjadi
menahun dalam bentuk kista bartholin.4,5,6

2. PENATALAKSANAAN

Tatalaksana operatif yang dilakukan pada pasien ini adalah


tindakan ekstirpasi kista. Menurut teori abses bartholin memerlukan
drainage kecuali kalau terjadi rupture spontan. Banyak literatur
menyebutkan tindakan ekstirpasi merupakan salah satu tindakan
pembedahan yang dilakukan pada kista bartholini. Tindakan ini dipilih
karena untuk mengurangi angka kekambuhan. Ekstirpasi adalah suatu
tehnik pembedahan yang dilakukan pada kista bartholini dengan
mengangkat seluruh kista beserta kapsulnya. Indikasi dilakukan
tindakan ini adalah Abses/kista persisten, Abses/kista rekuren,
Terdapat indurasi pada basal kista yang sulit dicapai dengan
marsupialisasi dan Kista pada usia > 40 tahun (dapat menjadi ganas).
Keuntungan dari tindakan ini yaitu kecil kemungkinan
rekaren.7,8 Komplikasi berupa Perdarahan (A. pudenda), Hematoma,
Selulitis, Pembentukan luka yang nyeri, Sisa jaringan kista yang tidak
terangkat sepenuhnya sehingga menyebabkan rekuren, Fungsi
lubrikasi tidak dipertahankan.8

Pemberian antibiotik seharusnya disesuaikan dengan bakteri


penyebab yang dapat diketahui secara pasti dari hasil pengecatan gram
maupun kultur pus dari abses kelenjar bartholin. Namun pada pasien
ini pemeriksaan tersebut tidak dilakukan. Namun terapi yang
diberikan untuk mengobati infeksi dan gejala pada pasien ini sesuai
dengan teori bahwa antibiotik yang bisa digunakan adalah antibiotik
yang berspektrum luas dan diberikan antinyeri untuk mengurangi
keluhan nyeri pada pasien ini. Diberikan terapi sebelum operasi
antibiotik Ceftriaxone 1 gram/12 jam/IV dan antinyeri berupa
Ketorolac 1 Ampul/8jam/IV. Ceftriaxone adalah sefalosporin generasi
ketiga dengan efisiensi spektrum luas terhadap bakteri gram-negatif,
efficacy yang lebih rendah terhadap bakteri gram-positif, dan efficacy
yang lebih tinggi terhadap bakteri resisten. Setelah operasi obat
antibiotik yang diberikan Cefadroxil 2 x 1, serta obat antinyeri asam
mefenamat 3 x 500mg.8

3. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling umum dari kista Bartholin adalah
kekambuhan. Pada beberapa kasus dilaporkan selulitis setelah
dilakukan ekstirpasi kista. Perdarahan, terutama pada pasien dengan
koagulopati. Pada beberapa kasus juga dilaporkan timbul jaringan
parut dan dapat menjadi rekuren bila terdapat sisa jaringan. Pada
kasus pada pasien ini tidak di temukan adanya komplikasi[6]
4. PROGNOSIS
Pada kasus ini prognosisnya dubia et bonam. Ada pun
beberapa edukasi yang perlu diberikan kepada pasien. Edukasi yang
perlu diberikan pada pasien sebelum pulang dapat berupa edukasi
untuk melakukan perawatan luka dengan baik dan menjaga higienitas
diri terutama daerah genital. Menurut teori jika kista yang dilakukan
ekstirpasi dirawat dengan baik dan kekambuhan dicegah,
prognosisnya baik. Tingkat kekambuhan umumnya dilaporkan kurang
dari 20%. [8]
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Kista bartholini adalah kista yang terdapat pada kelenjar bartholini.
Kista kelenjar Bartholin terjadi ketika kelenjar ini menjadi
tersumbat.
2. Penyebab dari kelainan kelenjar Bartholin adalah tersumbatnya
bagian distal dari duktus kelenjar yang menyebabkan retensi dari
sekresi, sehingga terjadi pelebaran duktus dan pembentukan
kista. Kista tersebut dapat menjadi terinfeksi, dan dapat pula
disebabkan karena infeksi langsung pada kelenjar Bartholin.
3. Penanganan kista, ada beberapa pengobatan yang dapat dilakukan.
Dapat berupa intervensi bedah, dan medikamentosa.
4. Pada pasien ini dilakukan terapi dengan intervensi bedah dan
memiliki prognosis yang baik dapat dilihat dari perkembangan
kondisi pasien yang semakin membaik.

4.2 Saran
Memberikan konseling dan edukasi mengenai abses bartolini pada
pasien dan keluarga, menjaga kebersihan agar tidak terjadi berulang
sebab pada kasus kista bartolini memiliki tingkat rekurensi yang tinggi
sehingga diperlukan pencegahan dan penanganan yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ashari, M.A. 2010. Materi Kuliah Tumor Jinak Ginekologi. Yogyakarta :


SMF Ilmu Kebidanan dan Kandungan RSD Panembahan Senopati Bantul.

2. Linda J. Vorvick, MD et al. 2010. Bartholins abscess. Available from:


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001489.html
3. Cunningham, F.G., MacDonald, P.C. 2010. Obstetri Williams. Jakarta:
EGC.

4. Norwitz, E., Schorge, J. 2014. At A Glance :Obstetri & Ginekologi. Edisi3.


Jakarta :Erlangga.

5. Winkjosastro, H., Saifuddin, A.B., Rachimdani, T. 2014. Ilmu Kandungan.


Jakarta :Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

6. Blumstein, A Howard. 2014. Bartholin Gland Diseases.


http://www.emedicine.com/emerg/topic54.

7. Omole,Folashade M.D. 2003. Management of Bartholin's Duct Cyst and


Gland Abscess. http://www. Aafp.org/afp/20030701/135.html.

8. Hill Ashley, M.D. 2009. Office Management of Bartholin Gland Cyst and
Abscess. http://www.fpnotebook.com/GYN 199.htm

9. Wiknjosastro, Hanifa. 2014. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan


BinaPustaka Sarwono Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai