Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

PNEUMOTHORAX

Oleh:
Laili Diah Failasufa, S.Ked (206.121.0007)
M. Hanafie Heluth, S.Ked (206.121.0010)
Fitria Nugraha Aini, S.Ked (207.121.0009)
Silvy Amalia Falyani, S.Ked(207.121.0016)

Pembimbing:
Dr. Thahri Iskandar, Sp.P

Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kanjuruhan Malang


Sub Bagian Paru dan Pernafasan
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Malang
2011

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T, karena atas rahmat dan hidayah-
Nya panulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Pneumothorax. Tujuan penulisan
referat ini adalah guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik
di bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang-RSUD
Kanjuruhan Kepanjen Malang. Di samping itu mengingat pentingnya pneumothorax yang
merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Ucapan terimakasih penulis
ucapkan kepada pembimbing kami dr. Thahri Iskandar, Sp.P atas bimbingan dalam penulisan
referat ini.
Penulis menyadari referat ini masih memiliki kekurangan, untuk itu kritik dan saran
penulis harapkan dalam rangka penyempurnaan penulisan referat ini. Semoga referat ini
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Malang, 07 Desember 2011

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon dan
mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk
mempertahankan pengembangannya. Paru-paru sebenarnya mengapung dalam rongga
toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi
gerakan paru-paru di dalam rongga. Jadi pada keadaan normal rongga pleura berisi
sedikit cairan dengan tekanan negatif yang ringan (Guyton and Hall, 1997).
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura.
Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan menimbulkan penekanan
terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat mengembang dengan maksimal
sebagaimana biasanya ketika bernapas. Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan
maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder.
Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik
(Sudoyo, 2006). Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang
tidak diketahui. Namun dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan
bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa yang berumur sekitar 40
tahun. Laki-laki lebih sering daripada wanita, dengan perbandingan 5 : 1 (Sudoyo, 2006).
Sesuai perkembangan di bidang pulmonologi telah banyak dikerjakan pendekatan baru
berupa tindakan torakostomi disertai video (VATS = video assisted thoracoscopy
surgery), ternyata memberikan banyak keuntungan pada pasien-pasien yang mengalami
pneumotoraks relaps dan dapat mengurangi lama rawat inap di rumah sakit (Sudoyo,
2006).

B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan tinjauan pustaka (referat) ini adalah untuk mengetahui definisi
dari pneumotoraks, serta cara menegakkan diagnosa pneumotoraks secara tepat sesuai
jenis dan luasnya pneumotoraks, karena hal tersebut akan berpengaruh pada
penanganannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam cavum
pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (Bowman, 2011). Dalam
keadaan normal, rongga ini tidak terisi udara dan memiliki tekanan negatif sebesar - 11
sampai - 12 cm air pada waktu inspirasi dan - 4 sampai - 8 cm air pada saat ekspirasi
(Koentjahja, dkk, 1993; Suwento R dan Fachruddin D, 1991). Pada penumotoraks, oleh
karena terdapat udara bebas, maka tekanan di dalam rongga pleura meningkat menjadi
lebih positif dan tekanan normal dan bahkan dapat melebihi tekanan atmosfir (Suwento
R dan Fachruddin D, 1991). Akibat peningkatan tekanan di dalam rongga pleura,
jaringan paru akan mengempis yang derajatnya tergantung pada besar kenaikan tekanan,
pengembangan jaringan paru sisi yang sehat terganggu, dan mediastinum dengan semua
isinya terdorong ke arah sisi sehat dengan segala akibatnya.

B. KLASIFIKASI
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini dapat
diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba
tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan didasari
oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis
kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan
infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi
maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena
jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat
komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena
kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis
dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik Artifisial (Deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan
udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan
pengobatan, misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik,
maupun untuk menilai permukaan paru.
Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga jenis, yaitu:
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding
dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga
pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena
diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami
re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah
kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga
pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus
yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada). Dalam
keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks
terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan
perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan (Alsagaff, 2004). Pada
saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi
positif . Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi
pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka
(sucking wound) (Sudoyo, 2006).

3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)


Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin
bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu
inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya
terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam
rongga pleura tidak dapat keluar . Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin
lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam
rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas
(Sudoyo, 2006).
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka
pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil
paru (< 50% volume paru).
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (>
50% volume paru).

C. PENGHITUNGAN LUAS PNEUMOTHORAKS


Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan jenis
kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa dipakai
dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain :
1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana
masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus (Sudoyo,
2006).
Misalnya : Diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10 cm dan diameter kubus
rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8 cm, maka rasio diameter kubus
adalah:
83 512
= 50 %
10 3 1000

2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah
dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah dengan jarak
terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan
dikalikan sepuluh (Sudoyo, 2006).

% luas pneumotoraks A + B + C (cm)


3 x 10

3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas hemitoraks
(Alsagaff, 2009).

(L) hemitorak (L) kolaps paru


(AxB) - (axb)
AxBD. x 100 %

D. GEJALA KLINIS
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah:
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan
mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek,
dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi
yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada
jenis pneumotoraks spontan primer.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks tersebut:
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain serta ada
tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi bila
penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil disebabkan
pengisian yang kurang.

E. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan :
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura
tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Rntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rntgen kasus pneumotoraks antara lain:
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak
garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak
membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.
Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang
dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals
melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan
jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai
berikut:
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai
dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah
mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di
mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit. Hal
ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang
tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah
yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan
ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang
terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan
sampai ke daerah dada depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak
permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma Foto R pneumotoraks
(PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak panah merupakan bagian paru
yang kolaps.
2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang
berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan
pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk
membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.
4. Endoskopi (torakoskopi)
Merupakan pemeriksaan invasive dengan sensitifitas lebih tinggi dibandingkan CT
scan. Hasil pemeriksaan endoskopi dibagi menjadi empat derajat:
Derajat I: pneumothorax dengan gambaran paru mendekati normal (40%)
Derajat II: pneumothorax dengan perlengketan disertai hemothorax (12%)
Derajat III: pneumothorax dengan diameter bleb atau bulla <2 cm (31%)
Derajat IV: pneumothorax dengan banyak bulla besar diameter >2 cm (17%)

G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari
rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya,
penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2 Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan
rongga pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura
tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial
tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari . Tindakan ini terutama ditujukan untuk
pneumotoraks tertutup dan terbuka (Alsegaff, 2009).
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra
pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan
cara:
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan
demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi
negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke
dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah
klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infus set yang berada di dalam botol (Alsegaff, 2009).
2) Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang
tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut
dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa
plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara
yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol (Alsegaff,
2009).
3) Pipa water sealed drainage (WSD) Pipa khusus (toraks kateter) steril,
dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah
yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada
lineamid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula
melalui sela iga ke-2 di garis midklavikula. Setelah troakar masuk, maka
toraks kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudiantroakar
dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga
pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca
WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca
yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air
supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan
tekanan tersebut. Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intra pleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi
tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat
mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan
intra pleura sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat
dilakukuan ujicoba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk
selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi
positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada
saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal (Sudoyo, 2006).
Indikasi Pemasangan WSD:
Hemotoraks, efusi pleura
Pneumotoraks ( > 25 % )
Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator
Kontra Indikasi Pemasangan WSD:
Infeksi pada tempat pemasangan
Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol.
Cara Pemasangan WSD
1. Tentukan tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea
aksillaris anterior dan media.
2. Lakukan analgesia / anestesia pada tempat yang telah ditentukan.
3. Buat insisi kulit dan sub kutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai
muskulus interkostalis.
4. Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian dilebarkan.
Masukkan jari melalui lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai rongga
pleura / menyentuh paru.
5. Masukkan selang ( chest tube ) melalui lubang yang telah dibuat dengan
menggunakan Kelly forceps
6. Selang ( chest tube ) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke dinding
dada
7. Selang ( chest tube ) disambung ke WSD yang telah disiapkan.
8. Foto X- rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat
bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah yaitu:
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang
yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan paru
tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau
terdapat fistel dari paru yang rusak d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan
pleura yang tebal dibuang, kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di
tempat fistel.
Penatalaksanaan Pneumothorax Spesifik
a. Pneumothorax Simpel
Ciri:
Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
Tidak ada mediastinal shift
Pemeriksaan fisik: bunyi napas menurun, hyperresonance (perkusi),
pengembangan dada menurun
Penatalaksanaan: WSD
b. Pneumotoraks Tension
Ciri:
Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi kolaps total
paru, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi
trakhea, venous return menurun, hipotensi dan respiratory distress berat.
Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu,
hipotensi, JVP meningkat, asimetris statis dan dinamis
Merupakan keadaan life-threatening tidak perlu Rontgen
Penatalaksanaan:
Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea
midklavikula)
WSD
c. Open Pneumothorax
Penatalaksanaan:
Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil)
Pasang WSD dahulu baru tutup luka
Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks
lain.
Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)

H. PENGOBATAN TAMBAHAN
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan terhadap
penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis
dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator (Alsegaff, 2009).
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat .
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema
(Bowman, 2011).

I. REHABILITASI
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan secara
tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak
napas.
BAB III
KESIMPULAN

Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleuraterisi oleh udara,


sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang menimbulkan gangguan
dalam pengembangannya terhadap rongga dada saat proses respirasi. Oleh karena itu, pada
pasien sering mengeluhkan adanya sesak napas dan nyeri dada. Berdasarkan penyebabnya,
pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu
sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat
iatrogenik dan non iatrogenik. Dan menurut fistel yang terbentuk, maka pneumotoraks dapat
bersifat terbuka, tertutup dan ventil (tension). Dalam menentukan diagnosa pneumotoraks
seringkali didasarkan pada hasil foto rntgen berupa gambaran translusen tanpa adanya
corakan bronkovaskuler pada lapang paru yang terkena, disertai adanya garis putih yang
merupakan batas paru (colaps line). Dari hasil rntgen juga dapat diketahui seberapa berat
proses yang terjadi melalui luas area paru yang terkena pendesakan serta kondisi jantung dan
trakea. Pada prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi dan pemberian O2 yang
dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang berat dapat dilakukan tindakan
pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi disesuaikan dengan penyakit yang
mendasarinya. Tahap rehabilitasi juga perlu diperhatikan agar pneumotoraks tidak terjadi
lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press; 2009. (hal. 162-179)

Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated: 2010 May 27;
cited 2011 January 10. Available from http://emedicine.medscape.com/article/827551

Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC;
1997. (hal. 598)

Koentjahja, Abiyoso, Agung S, Muktyati S. 1993. Pneumotoraks dan Penatalak sanaannya.


Kumpulan Makalah Simposium Dokter Umum Gawat Darurat Paru, Surakarta; 3945

Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press; 2007

Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed Lung). Cited : 2011
January 10. Available from : http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm

Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
(hal. 1063)

Anda mungkin juga menyukai