Anda di halaman 1dari 3

Sejak kecil setiap orang pasti diajarkan etika dan moral oleh orang tua maupun guru

untuk tidak mencuri serta mengambil hak orang lain tanpa ijin karena tindakan
tersebut tidak baik dan tidak benar untuk dilakukan. Berkaitan dengan ajaran etika
dan moral sejak kecil tersebut seharusnya saat menginjak usia dewasa pun etika dan
moral sudah sangat melekat dihati bahkan sebagai prinsip dalam menjalani kehidupan
yang di masyarakat. Akan tetapi justru malah kebalikannya, degradasi moral dengan
berbagai alasan logika pada diri pelaku penyimpangan etika dan moral. Jika memang
ada, maka perlu adanya perbaikan sikap mental/revolusi mental bagi bangsa Indonesia
untuk merubah kebiasaan orang menjadi lebih baik dan benar sesuai etika dan moral.
Oleh karena itu, untuk menilai etis-moral atau tidaknya suatu perbuatan seperti kasus
korupsi yang diangkat dalam refleksi ini diperlukan peninjauan terhadap teori-teori
etika dan moral.

Kasus korupsi di Indonesia sudah sejak lama dianggap sebagai persoalan yang berat
dan perlu diatasi segera serta menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi bangsa
Indonesia. Seperti sudah menjamur berita tentang kasus korupsi yang telah terjadi di
Indonesia bahkan seperti sudah dianggap biasa terjadi, hampir bisa dipastikan setiap
hari media massa maupun media cetak atau elektronik mengabarkan berbagai kasus
korupsi di negeri ini. Cara berfikir masyarakatpun menjadi berubah setelah
mengetahui banyaknya korupsi yang sering terjadi pada pejabat pemerintahan, seolah-
olah korupsi merupakan budaya yang terjadi pada individu maupun kelompok saat
mereka berada pada jabatan dan kekuasaan yang tinggi. Menggunakan jabatan dan
kekuasaan sebagai alat untuk melanggar etika profesi dan moralitas, serta didukung
dengan keadaan individu maupun kelompok itu sendiri.

Membahas kasus korupsi di Indonesia, menurut Barda Nawawi Arief menyatakan


bahwa tindakan korupsi merupakan masalah moral. Sedangkan menurut K.Bertens
mengatakan bahwa masalah korupsi dianggap sebagai masalah etika. Sehingga perlu
diakui bahwa korupsi memang berhubungan dengan moral bangsa dan moral pribadi
dari oknum yang terlibat pada praktek tersebut.

Penilaian moral bergantung pada sumber norma moral yang digunakan dalam proses
penilaian moral. Dalam konteks ini, sekurang-kurangnya ada dua sumber ajaran
moral, yaitu sumber ajaran moral internal yang terkandung dalam suara hati. Dan
sumber ajaran moral eksternal, yang di antaranya berasal dari adat istiadat; agama;
dan negara.

Penilaian etis pantas dilakukan berdasarkan teori-teori etika. Teori etika adalah
kerangka pemikiran yang sistematis tentang etika, yang dapat menjelaskan tentang
perilaku manusia yang pantas disebut baik atau etis tentu perbuatan baik secara moral.
Dengan demikian teori etika akan membantu kita untuk menilai sebuah keputusan
yang etis atau sebuah keputusan moral yang tahan uji.
Secara historis ada banyak teori etika. Karena itu terbuka kemungkinan ada banyak
perspektif tentang perbuatan yang disebut baik. Berikut akan dibahas 2 teori etika
yang cukup berpengaruh dalam wacana etika manusia yang berententangan dengan
korupsi, yaitu: teori utilitarisme dan teori hak.

Teori Etika Pertama adalah utilitarisme. Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis
yang berarti bermanfaat. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika
membawa manfaat, tetapi manfaat itu harus menyangkut bukan hanya untuk satu dua
orang, melainkan bermanfaat untuk sekurang-kurangnya untuk sebuah komunitas
masyarakat sebagai sebuah totalitas atau keseluruhan. Jadi utilitarisme tidak berciri
egoistis, tetapi berciri altruistis. Dengan demikian kriteria untuk menentukan baik
buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number
kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbanyak. Korupsi uang negara berarti
merupakan tindakan tidak etis menurut Konsep Utilitarian, karena hanya bermanfaat
bagi sebagian pihak.

Teori Etika Kedua adalah hak. Teori hak adalah pendekatan yang paling popular
dalam penilaian moral. Nilai moral dari PBB menekankan teori hak ini yang tertenun
dalam deklarasi HAM-nya. Jika dicermati secara akademis, teori hak ini merupakan
varian dari teori deontologi, karena hak berkaitan erat dengan kewajiban. Misalnya
jika saya berjanji sesuatu kepada teman, saya berkewajiban menepati janji saya,
sedangkan teman saya berhak untuk menerima apa yang saya janjikan kepadanya

Dalam etika selalu berperan sekurang-kurangnya dua faktor berikut: di satu pihak ada
norma-norma dan nilai-nilai moral yang menurut kodratnya bersifat umum dan di lain
pihak, ada situasi khusus yang menurut kodratnya bersifat spesifik. Perilaku etis yang
konkret merupakan penggabungan dari dua komponen tersebut. Demikian juga dalam
konteks korupsi. Kejujuran, menghormati milik orang lain, tidak mencuri dan
sebagainya merupakan nilai penting dalam konteks ini. Tetapi para koruptor akan
membela diri dengan menunjuk kepada situasi spesifik mereka, misalnya mereka
mengatakan bahwa gaji pegawai negeri tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Atau
mereka hanya akan menunjuk kepada kebudayaan yang ada disekitarnya, sambil
menegaskan: semua orang melakukan hal itu. Mereka mencari suatu dalih dalam
situasi tertentu.

Dalam perspektif kehidupan profesi dikaitkan dengan kegiatan korupsi, etika profesi
atau kode etik profesi yang dianggap sebagai pedoman suatu moralitas yang apabila
dipatuhi atau ditaati sepenuhnya oleh seorang profesionalis, maka setidaknya ada
sebuah harapan bahwa dengan demikian kode etik profesi sangat berperan besar
dalam hal mereduksi kegiatan korupsi yang dilakukan oleh kalangan profesionalis,
sebab profesionalisme dan etika profesi merupakan suatu kesatuan yang manunggal,
yang dalam hal ini etika profesi berperan sebagai alat pengatur karena etika profesi
mengontrol perilaku anggotanya agar tetap bekerja menurut etika yang disepakatinya.
Masalahnya bagaimana dengan korupsi yang dilakukan oleh para politikus jika
dikaitkan dengan etika, khususnya etika profesi? Politikus bukanlah profesi yang
jelas-jelas tidak memiliki kode etik profesi. Di luar konteks peraturan perundangan,
hanya moral si politikus lah yang menjadi rambu-rambu atas keingingannya untuk
melakukan perbuatan korupsi. Namun apalah artinya moral masa kini, toh yang
menilai baik buruk suatu moral adalah orang lain yang dalam hal ini dilakukan oleh
masyarakat umum. Penilaian dan pemberian label sebagai seorang koruptor bukanlah
menjadi jaminan tidak akan terjadi korupsi lagi di negeri ini, sepanjang ada niat
seseorang (pejabat) untuk memperkaya diri sendiri dengan cara mencuri uang
rakyat yang jelas-jelas bertentangan dengan norma hukum dan moral serta etika masih
terus tertanam didalam diri si pelaku korupsi, maka praktek korupsi pasti masih akan
terus berlanjut hingga kapanpun

Anda mungkin juga menyukai