Anda di halaman 1dari 56

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Gangguan peredaran darah otak (GPDO) atau dikenal sebagai CVA (Cerevro-vascular
accident) atau apopleksia adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan olehgangguan aliran
darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak atau cepat.Salahsatu penyakit GPDO adalah
stroke.Stroke adalah suatu keadaan hilangnya sebagian atauseluruh fungsi neurologis (defisit
neurologik fokal atau global) yang terjadi secaramendadak berlangsung lebih dari 24 jam atau
menyebabkan kematian, yang semata-matadisebabkan oleh gangguan peredaran darah di otak
karena berkurangnya suplai darah(stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh darah secara spontan
(stroke perdarahan).
Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia.Di
Amerika Serikat, stroke menduduki peringkat ke-3 penyebab kematian setelapenyakit jantung dan
kanker. Terdapat sekitar 500.000 kasus baru muncul setiap tahundengan 400.000 terkena stroke
iskemik dan 100.000 terkena stroke perdarahan, dan175.000 diantaranya mengalami kematian.
Stroke perdarahan lebih jarang terjadidibandingkan stroke iskemik, tetapi memiliki prognosis yang
secara signifikan lebihbuuruk di dalam populasi Asia. Tingkat mortalitas perdarahan intraserebral
(PIS) dalam30 hari berkisar 35-52 % dan separuh dari kematian terrsebut terjadi dalam dua
haripertama.
Pertolongan secara dini, tepat, dan benar bertujuan untuk menurunkan angkakematian,
mengurangi kecacatan yang akan terjadi, serta menghemat biaya perawatan.Oleh karena
dibutuhkan pengenalan tanda dan gejala yang benar sehingga diagnosisdapat ditegakkan dengan
cepat dan tepat dan terapi dapat dilakukan sesegera mungkin.
2

BAB II
PERDARAHAN INTRASEREBRAL (PIS)

A. Anatomi dan Fisiologi


Basal Ganglia terdiri dari striatum (nukleus kaudatus dan putamen), globus palidus
(eksterna dan interna), substansia nigra dan nukleus sub-thalamik. Nukleus pedunkulopontin tidak
termasuk bagian dari basal ganglia, meskipun dia memiliki koneksi yang signifikan dengan basal
ganglia. Korpus striatum terdiri dari nukleus kaudatus, putamen dan globus palidus. Striatum
dibentuk oleh nuldeus kaudatus dan putamen. Nukleus lentiformis dibentuk oleh putamen dan
kedua segmen dari globus palidius. Tetapi letak anatomis perdarahan basal ganglia yang dibahas
disini hanya meliputi nukleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula interna terletak diantara
nuleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula intema adalah tempat relay dari traktus motorik
volunter, sehingga jika ada lesi pada lokasi ini akan menyebabkan gangguan motorik seperti
hemiparesis ataupun gangguan motorik lain (Tortora, 2009).
Vaskularisasi yang mendarahi basal ganglia adalah cabang-cabang arteri yang berasal dari
arteri serebri anterior (ACA), serebri media (MCA), choroidal anterior, posterior communicans
(P-commA), serebri posterior (PCA) dan serebelar superior. Cabang dari MCA, yang disebut
Lenticulostriata lateral, adalah yang terbanyak mendarahi striatum dan lateral dari pallidum.
Perdarahan pada basal ganglia yang tersering adalah dikarenakan ruptur arteri lenticulostriata
media. Arteri Heubner, disebut juga arteri striata media, berasal dari A2, yaitu segmen dari ACA,
memperdarahi putamen dan kepala dari nukleus caudatus. Arteri choroidalis anterior
memperdarahi sebagian dari globus palidus dan putamen, juga ekor dari nukleus caudatus. Arteri
posterior communicans memperdarahi bagian medial dari pallidum, medial substansia nigra dan
sebagian nukleus subthalamikus. Thalamo perforata dari PCA adalah yang terbanyak
memperdarahi substansia nigra dan sebagian dan STN. Cabang dari SCA memperdarahi bagian
lateral dari substatia nigra (Moore, 2005).
3

Gambar 2.1. Potongan axial dari serebrum. Basal ganglia adalah yang ditunjukkan
oleh lingkaran berwarna merah.

Lokasi tersering terjadinya PIS adalah pada basal ganglia, tepatnya pada putamen, dengan
persentase 35% hingga 50%, diikuti dengan lobar sekitar 30%, thalamus (10 hingga 15%), pons
(5 hingga 12%), nukleus kaudatus (7%), dan serebelum (5%) (Fisher, 1959; Freytag, 1968; Furlan,
1979).
Arteri yang sering ruptur pada perdarahan intrsebral spontan adalah arteri lentikulostriata
yang merupakan cabang langsung dan arteri serebri media. Ruptur dan arteri ini akan
mengakibatkan perdarahan pada basal ganglia, tepatnya putamen. Arteri Thalamo-perforata yang
merupakan percabangan dan arteri serebri anterior dan media juga merupakan sumber terjadinya
PIS. Ruptur arteri ini akan mengakibatkan perdarahan thalamus. Arteri lain yang terlibat pada PIS
adalah cabang paramedian dari arteri basilaris, yang mana akan menyebabkan perdarahan dan pons
dan serebelum (Manish, 2012).
4

Perdarahan intraventrikular (PIV) juga sering terjadi menyertai PIS pada kasus-kasus
stroke hemoragik. Menjangkiti 12%-45% dengan pasien yang mengalami PIS. Tetapi PIV juga
dapat terjadi tanpa disertai dengan PIS (Hallevi, 2008; Leira, 2004; Tuhrim, 1999).

Gambar 2.2. Lokasi dan perdarahan yang dapat terjadi pada PIS

B. Definisi Perdarahan Intraserebral (PIS)


Merupakan 10% dari seluruh kasus yang ada. Perdarahan intraserebri ditandai oleh adaya
perdarahan ke dalam parenkim otak akibat pecahnya arteri penetrans yang merupakan cabang dari
pembuluh darah superficial dan berjalan tegak lurus menuju parenkim otak yang di bagian
distalnya berupa anyaman kapiler. Atherosklerosis yang terjadi dengan meningkatnya usia dan
adanya hipertensi kronik, maka sepanjang arteri penetrans ini terjadi aneurisma kecil kecil
(mikroaneurisma) dengan diameter sekitar 1 mm disebut aneurismas Charcot-Bouchard. Pada
suatu saat aneurisma ini dapat pecah oleh tekanan darah yang meningkat sehingga terjadilan
perdarahan ke dalam parenkim otak. Darah ini mendorong struktur otak dan merembes ke
5

sekitarnya bahkan dapat masuk ke dalam ventrikel atau ke ruangan subaraknoid yang akan
bercampur dengan cairan serebrospinal dan merangsang meningens.
Onset perdarahan intraserebri sangat mendadak, seringkali terjadi saat beraktivitas dan
disertai nyeri kepala berat, muntah dan penurunan kesadaran, kadang-kadang juga disertai kejang.
Distribusi umur biasanya pada usia pertengahan sampai tua dan lebih sering dijumpai pada laki-
laki. Hipertensi memegang peranan penting sebagai penyebab lemahnya dinding pembuluh darah
dan pembentukan mikroaneurisma. Pada pasien nonhipertensi usia lanjut, penyebab utama
terjadinya perdarahan intraserebri adalah amiloid angiopathy. Penyebab lainnya dapat berupa
aneurisma, AVM, angiopati kavernosa, diskrasia darah, terapi antikoagulan, kokain, amfetamin,
alkohol dan tumor otak. Dari hasil anamnesa tidak dijumpai adanya riwayat TIA.
Lokasi perdarahan umumnya terletak pada daerah ganglia basalis, pons, serebelum dan
thalamus. Perdarahan pada ganglia basalis sering meluas hingga mengenai kapsula interna dan
kadang-kadang rupture ke dalam ventrikel lateral lalu menyebar melalui system ventrikuler ke
dalam rongga subarachnoid. Adanya Perluasan intraventrikuler sering berakibat fatal. Perdarahan
pada lobus hemisfer serebri atau serebelum biasanya terbatas dalam parenkim otak.
Apabila pasien dengan perdarahan intraserebri dapat bertahan hidup, adanya darah dan
jaringan nekrotik otak akan dibersihkan oleh fagosit. Jaringan otak yang telah rusak sebagian
digantikan pleh jaringan ikat, lia dan pembuluh darah baru, yang meninggalkan rongga kecil yang
terisi cairan. .
Gambaran klinis tergantung dari lokasi dan ukuran hematoma. Karakteristiknya berupa
sakit kepala, muntah-muntah dan kadang-kadang kejang pada saat permulaan. Kesadaran dapat
terganggu pada keadaan awal dan menjadi jelas dalam waktu 24-48 jam pertama bila volume darah
lebih dari 50 cc. Karena jaringan otak terdorong, maka timbul gejala defisit neurologik yang cepat
menjadi berat dalam beberapa jam.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan CSS seperti air cucian daging (xanthocrome) pada
pungsi lumbal dan adanya perdarahan (hiperdens) pada CT Scan.

C. Faktor Risiko Perdarahan Intraserebral


Hipertensi merupakan faktor predisposisi tersering pada PIS. Baik tekanan sistolik maupun
diastolik merupakan faktor risiko terjadinya stroke. Hipertensi merupakan presentasi klinis
tersering pada kasus stroke terutama pada PIS. Pada pasien dengan perdarahan intraserebral
6

spontan memiliki tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 100mHg
meliputi 91% pada saat terjadinya stroke dan 72% memiliki riwayat hipertensi sebelumnya (Mohr,
1990).
Merokok juga merupakan faktor risiko terjadinya stroke, dengan nilai risiko relatif 1,5-2,2
(Abbort, 1986; Colditz, 1988; Shinteon, 1989). Faktor risiko yang lain adalah kadar kolesterol
darah, rendahnya kadar kolesterol darah merupakan faktor risiko dan terjadinya perdarahan
intraserebral spontan. Iso (1989) menyatakan dalam penelitiannya bahwa risiko terjadinya PIS tiga
kali lipat lebih tinggi pada pasien dengan kadar kolesterol rendah dibandingkan yang tinggi. Tetapi
hiperkolesterolemia berhubungan dengan stroke non hemoragik.
Salah satu mekanisme terjadinya stroke akibat rendahnya kadar kolesterol darah adalah
dikarenakan kadar kolesterol darah berhubungan dengan konsentrasi asam arakidonat pada
membran sel. Asam arakidonat adalah komponen struktural yang penting dan membran sel pada
endotel pembuluh darah. Dan metabolit dari asam arakidonat berperan dalam tonus pembuluh
darah dan perbaikan dan dinding endotel pembuluh darah. Maka kekurangan kolesterol akan
meningkatkan risiko terjadinya stroke (Golfetto, 2001). Tingginya konsumsi alkohol juga
merupakan faktor risiko terjadinya PIS. Meskipun demikian konsumsi alkohol yang sedang tidak
memberikan efek dan bahkan dapat mencegah terjadinya PIS (Biller, 1998).
Pemakaian antiplatelet merupakan faktor risiko lain terjadinya PIS. Pemakaian warfarin
sering menyebabkan terjadinya PIS dengan hematoma yang besar. Meskipun demikian pemakaian
antiplatelet pada kadar tertentu dapat menurunkan risiko stroke, tetapi dosis optimal belum
diketahui. Dosis aspirin yang dapat diterima adalah 30-1300 mg/hari, dan dosis yang
direkomendasikan 325 mg/hari (American Heart Association: Guidelines for the management of
transient ischemic attacks, 1994).

D. Klasifikasi Stroke Perdarahan Intraserebral


Stroke Perdarahan Intraserebral (PIS) menurut NINDS (National Institute of Neurological
Disorder and Stroke) adalah adanya defisit neurologis baik fokal maupun global yang terjadi
mendadak yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak, dalam hal ini terjadi pecahnya
pembuluh darah serebri dalam parenkim otak.
Kaufman, 1991, membagi stroke perdarahan intraserebral menjadi intraserebral primer
(hipertensi) dan perdarahan intraserebral sekunder (non hipertensi).
7

1. Perdarahan Intraserebral Hipertensi


Perdarahan intraserebral hipertensi adalah perdarahan intraserebral dengan hipertensi
sebagai penyebab utamanya, terutama hipertensi yang tidak terkontrol, yang menyebabkan
rusaknya pembuluh darah kecil di otak sehingga mudah ruptur. Biasanya perdarahan ini terdapat
di area yang diperdarahi oleh arteri penetrans kecil seperti pada thalamus, putamen, deep cerebral
white matter, pons dan serebelum.

Patofisiologi
Pada orang normal terdapat sistem autoregulasi arteri serebral, dimana bila tekanan darah
sistemik meningkat maka pembuluh serebral akan vasokonstriksi, sebaliknya bila tekanan darah
sistemik menurun maka pembuluh serebral akan vasodilatasi, dengan demikian aliran darah ke
otak tetap konstan. Batas atas tekanan darah sistemik yang masih dapat ditanggulangi adalah
tekanan darah sistolik 150-200 mmHg dan diastolic 110-120 mmHg. Ketika tekanan darah
sistemik meningkat, pembuluh serebral akan berkonstriksi, namun bila keadaan ini terjadi selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, akan menyebabkan degenerasi pada lapisan otot pembuluh
serebral, yang akan menyebabkan pembuluh diameter lumen pembuluh darah menjadi sulit
berubah. Hal ini berbahaya karena pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi
dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi tekanan darah.
Pada hipertensi kronis, pembuluh darah arteriol akan mengalami perubahan degeneratif
yang menyebabkan dinding pembuluh darah arteriol menjadi lemah sehingga akan menimbulkan
mikroaneurisma yang tersebar disepanjang pembuluh darah disebut mikroaneurisma Charchot-
Bouchard, dengan bentuk seperti kantung yang menonjol melalui tunika media yang lemah.
Teori yang dikemukakan oleh Kaplan (1990), jika terjadi peningkatan tekanan darah kronis
maka akan menyebabkan kerusakan spesifik pembuluh darah melalui tiga mekanisme yang saling
berhubungan, yaitu pulsatile flow, endothelial denudation, dan replikasi sel otot polos. Namun
yang dapat menyebabkan perdarahan intraserebral adalah mekanisme pulsatile flow, dimana
tekanan darah yang tinggi akan menyebabkan tekanan pada jaringan kolagen dan elastin dinding
pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan kerusakan berupa medionekrosis, aneurisma, dan
perdarahan.
8

Bila pembuluh darah pecah akan terjadi perdarahan atau hematom sampai dengan
maksimal 6 jam, yang akan berhenti sendiri akibat pembentukan bekuan darah dan ditampon oleh
jaringan sekitarnya. Jika perdarahan terus berlanjut dengan volume yang besar akan merusak
struktur anatomi otak, ditambah lagi terjadinya edema awal disekitar hematom akibat pelepasan
dan akumulasi protein serum aktif osmotic dari bekuan darah. Akibatnya akan destruksi massa
otak dan terjadi peninggian tekanan intracranial yang menyebabkan tekanan perfusi otak yang
menurun serta terganggunya aliran darah otak. Proses ini akan berlanjut terjadinya kaskade
iskemik dan terjadinya edema sitotoksik yang akan menyebabkan kematian sel otak, dan massa
didalam otak akan bertambah sehingga dapat terjadi herniasi otak yang dapat menyebabkan
kematian.

2. Perdarahan Intraserebral Non Hipertensi


Arteri Vena Malformasi (AVM)
AVM merupakan suatu kelainan perkembangan kongenital (embrional) pada pembuluh
darah intraserebral, dimana terjadinya hubungan langsung antara arteriole dan venule tanpa
melalui kapiler, sehingga terjadi aliran darah yang cepat melewati daerah tersebut. Akibat
aliran yang cepat inilah dan tekanan yang besar dari arteri akan mengakibatkan penipisan
dinding pembuluh darah, dapat menimbulkan aneurisma dan penurunan aliran darah otak
disekitar AVM yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan disekitarnya.

Aneurisma
Aneurisma merupakan suatu kelainan congenital pada pembuluh darah, dimana terjadi
gangguan perkembangan dinding pembuluh darah yaitu pada tunika media dan lamina elastika.
Akibat adanya gangguan pada tunika media, dan terjadi perubahan degeneratif sehingga dapat
terjadi destruksi local pada membrane elastika interna yang menyebabkan tunika intima
menonjol dan membentuk suatu aneurisma bentuk sakuler. Ukuran aneurisma ini rata-rata 7,5
mm, bila > 10 mm maka akan mudah terjadi ruptur.

Amiloid Angiopati
Cerebral amiloid angiopati atau disebut juga congophilic angiopati merupakan suatu
kelainan pada dinding pembuluh darah otak akibat deposit protein beta amiloid. Deposit ini
9

terjadi pada dinding arteri tunika media dan tunika adventisia arteri kecil atau sedang yang
terletak di korteks, leptomeningen dan subkortikal substansia alba dimana menggantikan
jaringan kolagen dan elemen kontraktilitas pembuluh darah dengan amiloid protein beta ini.
Deposit amiloid ini menyebabkan kerusakan pada tunika media dan adventisia pembuluh darah
otak kortikal dan leptomeningen. Terjadi penebalan membran basalis sehingga terjadi stenosis
lumen pembuluh darah dan fragmentasi/kerusakan pada tunika lamina elastika interna,
sehingga dinding pembuluh darah menjadi rapuh dan mudah terjadi ruptur pembuluh darah.

Tumor Otak
Tumor otak dapat menyebabkan perdarahan intraserebral biasanya oleh jenis tumor ganas
yang primer atau bentuk metastasis dengan presentasi 5-10%. Tumor otak primer yang dapat
mengalami perdarahan adalah glioblastoma, oligodendroma, medulloblastoma,
hemangioblastoma atau metastase. Namun yang paling sering terjadi adalah pada glioblastoma
dan metastase. Metastase yang sering alami perdarahan intraserebral adalah tumor primer
melanoma, karsinoma bronkial, karsinoma ginjal dan choriokarsinoma. Perdarahan diduga
karena rapuhnya pembuluh darah abnormal dalam tumor yang kaya akan komponen vaskuler.

Penyalahgunaan Obat (Drug Abuse)


Banyak obat-obatan yang menyebabkan kecanduan mengakibatkan perdarahan
intraserebral. Kokain termasuk salah satu obat yang menyebabkan perdarahan intraserebral
dengan jalan meninggikan tekanan darah, nadi, temperatur dan metabolisme.

Diskrasia darah
Yang termasuk diskrasia darah yang dapat menyebabkan perdarahan intraserebral adalah
anemia sickle cell, leukimia dan hemofilia serta gangguan koagulasi yang didapat, misalnya
pada penyakit hepar yang berat seperti sirosis hepar dan hepatitis fulminan dapat menyebabkan
gangguan sintesis faktor pembekuan, peningkatan fibrinolisis, dan trombositopenia.

Antikoagulan
Pada penggunaan obat antikoagulan heparin atau warfarin, sekitar 9% dapat terjadi
perdarahan intraserebral. Biasanya terjadi perdarahan apabila antikoagulan digunakan secara
10

berlebihan atau penggunaan jangka panjang dengan insidens 8-11 kali jika dibandingkan pada
pasien yang tidak mendapatkan antikoagulan. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan
perdarahan pada pasien yang menggunakan antikoagulan adalah meningkatnya umur, infark
iskemik yang luas dan adanya hipertensi berat.

Trombolitik
Perdarahan merupakan gejala toksisitas mayor pada penggunaan obat-obat trombolitik, hal
ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
- Lisisnya fibrin pada trombin yang terbentuk di pembuluh darah yang luka
- Lisis sistemik yang diakibatkan oleh pembentukan plasmin, fibrinolisis dan destruksi
faktor-faktor pembekuan.
Namun mekanisme yang mendasari terjadinya perdarahan otak ini belum diketahui jelas.

Vaskulitis
Vaskulitis merupakan penyakit inflamasi pada pembuluh darah arteri dan vena, misalnya
penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (SLE). SLE secara histologis ditandai dengan adanya
inflamasi mononuclear sel raksasa (giant cell) dalam tunika media dan adventisia arteri dan
vena berukuran kecil dan sedang. Keadaan ini menyebabkan lemahnya dinding pembuluh
darah sehingga terbentuk mikroaneurisma. Rupturnya pembuluh darah tersebut oleh karena
adanya riwayat hipertensi atau penyakit lain yang dapat memicunya.

E. Tanda dan Gejala Stroke Perdarahan Intraserebral


- Onset sangat mendadak, sering kali disertai nyeri kepala hebat, muntah dan penurunan
kesadaran
- Kadang-kadang diserta kejang
- Seringkali terjadi saat aktivitas atau emosi
- Pada awal serangan tekanan darah biasanya meningkat walaupun tidak memiliki riwayat
hipertensi sebelumnya
- Pernapasan biasanya mengorok, wajah kemerah-merahan
- Dapat dijumpai gangguan tonus otot
11

Pada PIS, lokasi perdarahan dapat menunjukkan gejala neurologis tertentu seperti :
1. Sistem Karotis
Perdarahan striata atau putamen dan kapsula interna yang berdekatan. Gejala yang
sering dijumpai diantaranya nyeri kepala, muntah, parese otot wajah, gangguan bicara,
penurunan kesadaran, hemianopia homonim, hemihipestesia, hemiplegia. Bila perdarahan
terbatas pada nukleus caudatus, defisit neurologis kurang berat dan bersifat sementara.
Perdarahan Talamus. Defisit neurologis yag biasa dijumpai adalah hemihipestesia,
hemiparese/hemiplegi, gaze palsy keatas (pada waktu istirahat posisi mata kea bawah),
pupil kecil, tidak berekasi terhadap cahaya, bila sisi dominan yang terkenan maka akan
dapat dijumpai afasia atau disfasia global, sedangkan pada sisi non dominan akan
didapatkan anosognosia.
Perdarahan pada lobus hemisfer serebri. Terjadi paling sering di daerah temporo-
oksipital. Defisit neurologis yang terjadi bervariasi tergantung lobus mana yang terkena.

2. Sistem Vertebrobasiler
Perdarahan mesensefalon. Defisit neurologis yang didapatkan seperti kelumpuhan N
III ipsilateral dan ganguan traktis kortikospinalis kontralateral (Sindrom Weber).
Perdarahan Pons. Defisit neurologis yang terjadi diantaranya onset koma yang dalam
tanpa didahului nyeri kepala atau gejala prodormal lainnya, gangguan traktus piramidalis
bilateral, desrebrasi, refleks gerakan mata hilang, pinpoin pupil tetapi bereksi terhdap
cahaya dan kematian terjadi dalam beberapa jam.
Perdarahan Medula Oblongata
Perdarahan Serebelum. Biasanya berjalan cepat dan fatal. Namun dapat juga
ditemukan gejala-gejala berupa nyeri kepala, dizzines, vertigo, muntag berulang, ataksia,
gangguan gerakan mata, gangguan keseimbangan, nistagmus. Jarang dijumpai
hemiparese atau hemiplegia.
Perdarahan lobus oksipitalis. Gejalanya berupa nyeri kepala, hemianopia dengan atau
tanpa gejala traktus kortikospinalis yang minimal pada sisi yang sama dengan gangguan
lapang pandang.
12

Tabel 2.1 manifestasi perdarahan intraserebral pada sistem karotis dan sistem
vertebrobasiler

D. Penegakan Diagnosa
Meskipun diagnosis dari stroke dapat ditentukan dengan berdasarkan gejala klinis dan
faktor risiko, diagnosis pasti haruslah melalui radio imejing. Dengan radio imejing dapat
ditentukan ada tidaknya perdarahan, luas perdarahan dan lokasi perdarahan, dan bahkan dapat
memprediksikan penyebab terjadinya perdarahan. CT scan adalah modalitas pertama untuk
diagnostik dari PIS. Dikarenakan CT dapat mudah diulangi dan dengan biaya yang tidak terlalu
mahal. Pada CT scan akan ditemukan PIS berupa lesi hiperdense (putih) pada intrakranial jika
perdarahan masih pada fase akut. Seiring waktu clot akan lisis dan akan memberikan gambaran
yang lebih gelap dari fase akut. Pada fase kronis perdarahan akan memberikan gambaran
hipodense yang mirip seperti CSF. Selain untuk melihat perdarahan intraserebral CT juga dapat
menampilkan perdarahan intraventrikular dan ada atau tidaknya hidrosefalus. Jika terdapat lesi
lain, tindakan bedah akan menjadi berbeda. Beberapa teknik dapat digunakan untuk mengukur
volume dari hematom. Salah satunya dengan metode computed planimetric measurement. Yaitu
dengan menggunakan alat bantu komputer yang dilengkapi dengan neuronavigasi (BrainLab).
Data gambar CT scan diubah formatnya dengan menggunakan software khusus untuk perencanaan
navigasi (Iplan Cranial software). Hematoma didelineasi pada setiap potongan dengan
menggunakan software yang dapat melakukan brush atau smart brush. Kemudian volume
13

perdarahan akan dikalkulasi oleh software tersebut dan disajikan dalam cm3. Tetapi pada keadaan
emergensi, hal ini sulit untuk dilakukan.

Gambar 2.3 pencitraan CT-Scan pada perdarahan Intraserebral

Volume perdarahan juga dapat diukur dengan menggunakan rumus volume elipsoid yang
dimodifikasi, yaitu (A x B x C)/2. A dan B adalah merupakan diameter hematoma terbesar yang
saling tegak lurus, dan C adalah jumlah dari slice yang terdapat hematoma dikalikan dengan
ketebalan slice (Kothari, 1996). Pada penelitian Kothari didapati bahwa volume PIS dapat
diestimasi dengan menggunakan rumus (AxBxC)/2 secara akurat, dengan mengkorelasikannya
terhadap computed planimetric measurement. Penting untuk mengetahui volume perdarahan,
dikarenakan volume perdarahan berhubungan dengan prognosis dari suatu PIS seperti yang telah
disebutkan sebelumnya.
Perdarahan intraventrikular dapat terlihat dengan adanya gambaran hiperdens di dalam
sistem ventrikel. Perdarahan ini bisa meliputi salah satu ventrikel ataupun seluruh sistem ventrikel.
Jika ventrikel tidak terisi penuh oleh darah, dapat dilihat gambaran fluid level dari hematom. Hal
ini penting diperhatikan untuk membedakan perdarahan dari kalsifikasi plexus choroid,
dikarenakan keduanya menampilkan gambaran hiperdens pada intraventrikular.
Hidrosefalus dapat dilihat dari CT scan dengan menampilkan gambaran dilatasi dari sistem
ventrikel (ventrikulomegali). Ventrikulomegali ditentukan dengan menggunakan ratio evans.
Ratio evans adalah perbandingan jarak kedua frontal horn ventrikel lateral dengan jarak biparietal
14

terjauh. Dikatakan ventrikulomegali jika ratio evans lebih dari 30%.


MRI lebih sensitif dari CT untuk melihat keadaan intrakranial, tetapi memerlukan waktu
yang lebih lama sehingga sulit untuk melakukannya berulang-ulang. MRI tidak dianjurkan untuk
tindakan screening. Dan juga biayanya relatif lebih mahal dan CT scan. Tetapi dengan MRI dapat
melihat etiologi yang menyebabkan terjadinya PIS. Seperti ditemukannya gambaran tumor,
malformasi serebrovaskular dan aneurisma. Tetapi MRI tetap merupakan pilihan diagnostik
sekunder setelah CT.
Serebral angiogarafi diperlukan untuk lesi yang disangkakan akibat gangguan vascular,
seperti AVM atau aneurisma. Dengan ditemukannya CT-angiografi dan MRA, penemuan lesi
vaskular tanpa terpapar risiko angiografi dapat dihindari. Dan MRA maupun CTA dapat dilakukan
berulang-ulang untuk mengevaluasi lesi bilamana diperlukan operasi emergensi.

E. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan


Perdarahan intraserebral merupakan jenis stroke yang sering berat dan banyak penyebabnya.
Tujuan terapi antara lain mencakup:
1. Mencegah akibat buruk dari meningkatnya tekanan intrakranial.
2. Mencegah komplikasi sekunder akibat menurunnya kesadaran, misalnya gangguan
pernapasan, aspirasi, hipoventilasi.
3. Identifikasi sumber perdarahan yang mungkin dapat diperbaiki dengan tindakan bedah.

1. Terapi Umum
1. Tirah baring total dengan kepala ditinggikan paling sedikit 15-30, paling sedikit dua
minggu
2. Fisioterapi pasif beberapa kali sehari, fisioterapi aktif tidak dianjurkan dalam dua minggu
pertama
3. Diet makanan sesuai faktor resiko
4. Monitoring tanda-tanda vital

2. Terapi Hipertensi pada Stroke Perdarahan


Tekanan darah pada fase akut tidak boleh diturunkan lebih dari 20%. Penurunan tekanan darah
rata-rata tidak boleh lebih dari 25% dari tekanan darah arteri rata-rata. Kriteria penurunan:
15

1. Bila tekanan darah sistolik > 230 mmHg atau tekanan diastolik > 140 mmHg pada dua kali
pengukuran tekanan darah selang 5 menit, berikan natrium nitroprusid atau nitrogliserin
drip.
2. Bila tekanan sistolik 180-230 mmHg atau tekanan diastolik 105-140 mmHg atau tekanan
darah arteri rata-rata 130 mmHg pada dua kali pengukuran tekanan darah selang 20 menit
berikan labetalol injeksi atau enalapril.
3. Bila tekanan sistolik < 180 mmHg dan tekanan diastolik < 105 mmHg, maka pemberian
obat anti-hipertensi ditangguhkan.

3. Terapi Khusus
1. Pemberian sedasi misalnya diazepam 5 mg tiap 6 jam atau phenobarbital 30-60 mg/p.o atau
IV tiap 6 jam untuk pasien gelisah dan analgetik untuk nyeri kepala.
2. Nyeri kepala hebat narkotika. Misalnya demetol 100-150 mg IM tiap 4 jam. Dapat
digunakan kodein 30-60 mg p.o tiap 2-3 jam
3. Pemakaian obat yang mempengaruhi fungsi platelet sebaiknya dihindari karena dapat
memperpanjang perdarahan.
4. pemberian manitol 20% 1 gr/kgBB diberikan dalam 20 menit diikuti 0,25 gr/kgBB tiap 4
jam untuk edema serebri.
5. Bila terdapat fasilitas pemantaun tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak harus
dipertahankan lebih dari 70 mmHg.
6. Untuk kelainan jantung akibat PSA dapat diberikan -blocker seperti propanolol yang
dilaporkan dapat menurunkan efek samping ke jantung.
7. Untuk perdarahan saluran cerna, dapat dilakukan lavage lambung dengan NaCl, transfusi,
pemberian cairan yang adekuat, dan antasida.
8. H2-blocker, misalnya ranitidin, untuk mengurangi resiko terjadinya stress ulcer.
9. Untuk mual muntah dapat diberikan antiemetik.
10. Bila kejang dapat diberikan anti-konvulsan : fenitoin 10-15 mg/kg IV (loading dose),
kemudian diturunkan menjadi 100 mg per 8 jam atau phenobarbital 30-60 mg tiap 6-8 jam.

4. Terapi dan Penanganan


16

Penatalaksanaan umum stroke akut


Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan
Stabilisasi hemodinamik
Berikan cairan kristaloid atau kolloid intravena (hindari pemberian
glukosa)
Pemasangan CVC (central venous catheter) : jika ada dehidrasi
Optimalisasi tek. Darah bila sistolik dibawah 120 & cairan sudah
mencukupi berikan vasopresor
Cardiac monitoring
Pemasangan NGT : untuk diet
Pemasangan foley catheter
Pengendalian TTIK
Pemantauan ketat untuk pasien dgn resiko edema serebral.
Monitor TIK harus dipasang dengan GCS < 9.
17

Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg.


Penatalaksaan :
Semi fowler 30o
hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik.
Berikan manitol 20% 0,25-0,50 gr/kgBB selama 20 menit
diulang 4-6 jam.
Pemberian manitol : 200 ml 150 ml-150 ml.
Tidak boleh diberikan manitol pada : DM, dehidrasi, hipotensi,
gangguan ginjal, dekom cordis.
Kalau perlu beri furosemid dgn dosis inisial 1 mg/kgBB I.V
(pada pasien dengan keadaan dekom cordis).
Pengendalian kejang
Bila pasien kejang berikan Diazepam bolus 5-20 mg.
Pengendaclian suhu tubuh
Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,50C
Pemeriksaan penunjang
Penatalaksanaan khusus stroke akut pendarahan intraserebral
Terapi hemostatik
Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya highly-
significant, tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan lebih
dari 3 jam
Reversal of anticoagulation
Pasien PIS akibat pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan FFP
dan vit. K
Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka
pemberian obat dapat dimulai pada hari ke 7-14 setelah terjadi
pendarahan.
Tindakan bedah
Tidak dioperasi bila :
Pasien dengan perdarahan kecil (<10 cm3) atau defisit neurologis
minimal.
18

Pasien dengan GCS 4, meskipun pasien GCS 4 dengan


perdarahan serebelar disertai kompresi batang otak masih mungkin
untuk life saving.
Dioperasi bila :
pasien dengan perdarahan serebelar > 3 cm dengan perburukan
klinis atau kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi
ventrikel harus secepatnya dibedah.
PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau
angioma cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome yang
baik dan lesi strukturnya terjangkau atau accesible.
Pasien dengan usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar
yang memburuk.
Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia
muda dengan perdarahan lobar yang luas ( 50 cm3) masih
menguntungkan.
Hipertensi
Pedoman penatalaksanaan :
Hilangkan faktor-faktor yang berisiko meningkatkan tekanan darah
seperti retensi urin, nyeri, febris, TTIK, emosional stress, dll.
Diberikan bila : sistol >120 mmHg dan diastol > 105
Dimonitor agar TD tidak kurang atau lebih dari 20% dari tekanan
darah arteri rerata 1 jam pertama

TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISA KASUS

A. Definisi

Stroke perdarahan intraserebral atau perdarahan intraserebral primer adalah suatu sindroma
yang ditandai adanya perdarahan spontan ke dalam substansi otak.
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang disebabkan oleh
pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam dapat terjadi di bagian
19

manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak, ataupun di ruang antara otak dan
selaput membran yang melindungi otak. Perdarahan dapat terjadi hanya pada satu hemisfer
(lobar intracerebral hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada struktur dari otak, seperti
thalamus, basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep intracerebral hemorrhage).
B. Epidemiologi

Perdarahan intraserebral lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama yang lebih
tua dari 55 tahun, dan dalam populasi tertentu, termasuk orang kulit hitam dan Jepang.
Selama periode 20 tahun studi The National Health and Nutrition Examination Survey
Epidemiologic menunjukkan insiden perdarahan intraserebral antara orang kulit hitam
adalah 50 per 100.000, dua kali insiden orang kulit putih.

C. Faktor Risiko

Hipertensi merupakan penyebab terbanyak (72-81%). Perdarahan intraserebral spontan


yang tidak berhubungan dengan hipertensi, biasanya berhubungan dengan diskrasia darah,
hemartroma, neoplasma, aneurisma, AVM, tumor otak metastasis, pengobatan dengan
antikoagulans, gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau trombositopenia,
serebralarteritis, amyloid angiopathy dan adiksi narkotika.

Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh :

1. Hipertensi

Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid yang


memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian menyebabkan ruptur intima dan
menimbulkan aneurisma. Selanjutnya dapat menyebabkan mikrohematoma dan edema.
Hipertensi kronik dapat juga menimbulkan aneurisma-aneurisma kecil (diameternya 1 mm)
yang tersebar di sepanjang pembuluh darah, aneurisma ini dikenal sebagai aneurisma
Charcot Bouchard.

2. Cerebral Amyloid Angiopathy

Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik ditandai oleh
adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika adventisia pada arteri kecil dan
20

arteri sedang di hemisfer serebral. Arteri-arteri yang terkena biasanya adalah arteri-arteri
kortical superfisial dan arteri-arteri leptomening. Sehingga perdarahan lebih sering di
daerah subkortikal lobar ketimbang daerah basal ganglia. Deposit amiloid menyebabkan
dinding arteri menjadi lemah sehingga kemudian pecah dan terjadi perdarahan intraserebral.
Di samping hipertensi, amyloid angiopathy dianggap faktor penyebab kedua terjadinya
perdarahan intraserebral pada penderita lanjut usia.

3. Arteriovenous Malformation

4. Neoplasma intrakranial. Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan neoplasma yang
hipervaskular.

Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat ruptur a.


lentikulostriata, a. thalamoperforating dan kelompok basilar-paramedian. Sedangkan
perdarahan di serebelum biasanya terdapat di daerah nukleus dentatus yang mendapat
pendarahan dari cabang a. serebelaris superior dan a. serecelaris inferior anterior.

Gambar 1. Lokasi tersering sumber perdarahan intraserebral

D. Patofisiologi

Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa posterior (batang otak
dan serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar kapsula interna). Gambaran
21

patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya pembuluh darah otak dan
diikuti adanya edema dalam jaringan otak di sekitar hematom. Akibatnya terjadi
diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematom dan edema pada struktur sekitar,
termasuk pembuluh darah otak dan penyempitan atau penyumbatannya sehingga terjadi
iskemia pada jaringan yang dilayaninya, maka gejala klinis yang timbul bersumber dari
destruksi jaringan otak, kompresi pembuluh darah otak / iskemia dan akibat kompresi
pada jaringan otak lainnya.
E. Gejala klinis

Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat akumulasi darah di
dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur sangat
jarang. Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%) per akut. Biasanya disertai
dengan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini bervariasi frekuensi dan
derajatnya tergantung dari lokasi dan besarnya perdarahan tetapi secara keseluruhan
minimal terdapat pada 60% kasus. dua pertiganya mengalami koma, yang dihubungkan
dengan adanya perluasan perdarahan ke arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan
prognosis yang jelek. Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan
tekanan intrakranial dijumpai pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya
36% kasus yang disertai dengan sakit kepal sedang muntah didapati pada 44% kasus.
Jadi tidak adanya sakit kepala dan muntah tidak menyingkirkan PIS, sebaliknya bila
dijumpai akan sangat mendukung diagnosis PIS atau perdarahn subarakhnoid sebab
hanya 10% kasus stroke oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang dijumpai pada
saat onset PIS.
F. Pemeriksaan Fisik

Hipertensi arterial dijumpai pada 91% kasus PIS. Tingginya frekuensi hipertensi
berkorelasi dengan tanda fisik lain yang menunjukkan adanya hipertensi sistemik seperti
hipertrofi ventrikel kiri dan retinopati hipertensif. Pemeriksaan fundus okuli pada kasus
yang diduga PIS mempunyai tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya tanda-tanda
retinopati hipertensif dan mencari adanya perdarahan subhialoid (adanya darah di ruang
preretina, yang merupakan tanda diagnostik perdarahan subarakhnoid) yang mempunyai
korelasi dengan ruptur aneurisma. Kaku kuduk terdapat pada 48% kasus PIS.
22

Gerakan mata, pada perdarahan putamen terdapat deviation conjugae ke


arah lesi, sedang pada perdarahan nukleus kaudatus terjadi kelumpuhan gerak horisontal
mata dengan deviation conjugae ke arah lesi. Perdarahan thalamus akan berakibat
kelumpuhan gerak mata atas (upward gaze palsy), jadi mata melihat ke bawah dan kedua
mata melihat ke arah hidung. Pada perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak
horisontal mata dengan ocular bobbing.

Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi herniasi
unkus maka pupil anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi. Perdarahan di
thalamus akan berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat. Pada perdarahan di
mesensefalon, posisi pupil di tengah, diameternya sekitar 4-6 mm, reaksi pupil negatif.
Keadaan ini juga sering dijumpai pada herniasi transtentorial. Pada perdarahn di pons
terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih terdapat reaksi, pemeriksaannya
membutuhkan kaca pembesar.

Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke, sedang


pada lesi di mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi sentral
neurogenik. Pada lesi di bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan pola
pernafasan apneustik. Pola pernafasan ataksik timbul pada lesi di medula oblongata.
Pola pernafasan ini biasanya terdapat pada pasien dalam stadium agonal.

G. DIAGNOSIS

PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur sangat jarang

Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran.

Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan
intrakranial dijumpai pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi

Pada perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular
bobbing.

Perdarahan di thalamus akan berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat


23

Pada perdarahan di mesensefalon, posisi pupil di tengah, diameternya sekitar 4-


6 mm, reaksi pupil negatif

Pada perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih terdapat
reaksi, pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar

Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke

lesi di mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi sentral


neurogenik

Pada lesi di bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan pola pernafasan
apneustik

Gejala klinik yang sangat menonjol pada perdarahan pons ialah onset yang tiba-
tiba dan terjadi koma yang dalam dengan defisit neurologik bilateral serta
progresif dan fatal. Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan koma, pupil
pinpoint (1 mm) namun reaktif, gangguan gerak okuler lateral, kelainan saraf
kranial, kuadriplegia, dan postur ekstensor. Nyeri kepala, mual dan muntah
jarang.

H. Penanganan Perdarahan Intraserebral

Semua penderita yang dirawat dengan intracerebral hemorrhage harus


mendapat pengobatan untuk :
1. Normalisasi tekanan darah

2. Pengurangan tekanan intrakranial

3. Pengontrolan terhadap edema serebral

4. Pencegahan kejang.

Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan karena


adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi terjadi karena
cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut autoregulasi dari
24

aliran darah otak akan terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh tekanan
intrakranial yang meninggi. Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan darah akan
menyebabkan iskemia pada miokard, ginjal dan otak.
Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk
mengetahui hubungan tekanan darah dan pembesaran hematoma terhadap 79
penderita dengan PISH, mereka menemukan penambahan volume hematoma pada
16 penderita yang secara bermakna berhubungan dengan tekanan darah sistolik.
Tekanan darah sistolik 160 mmHg tampak berhubungan dengan penambahan
volume hematoma dibandingkan dengan tekanan darah sistolik 150 mmHg. Obat-
obat anti hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan :
1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors

2. Angiotensin Receptor Blockers

3. Calcium Channel Blockers

Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan langsung


terhadap pengendalian TIK serta mencegah perburukan neurologis berikutnya.
Tindakan medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik dan steroid (bila perdarahan
tumoral) digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang disebabkan oleh
efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi perdarahan yang luas
meninggikan survival pada pasien dengan koma, terutama yang bila dilakukan segera
setelah onset perdarahan.
Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang jelas.
Pasien memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan evakuasi yang
sangat segera dari hematoma. Angiogram memungkinkan untuk menemukan
kelainan vaskuler. Adalah sangat serius untuk memikirkan pengangkatan PIS yang
besar terutama bila ia bersamaan dengan hipertensi intrakranial yang menetap dan
diikuti atau telah terjadi defisit neurologis walau telah diberikan tindakan medis
maksimal.
Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya kelainan
neurologis memerlukan evakuasi bedah segera sebagai tindakan terpilih. Beratnya
perdarahan inisial menggolongkan pasien ke dalam tiga kelompok :
25

1. Perdarahan progresif fatal.

Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat tekanan
darah mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur darahnya, gangguan
elektrolit umum terjadi dan pasien sering dehidrasi. Hipoksia akibat efek serebral
dari perdarahan serta obstruksi jalan nafas memperburuk keadaan. Perburukan dapat
diikuti sejak saat perdarahan dengan bertambahnya tanda-tanda peninggian TIK dan
gangguan batang otak. Pengelolaan inisial pada kasus berat ini adalah medikal
dengan mengontrol tekanan darah ke tingkat yang tepat, memulihkan kelainan
metabolik, mencegah hipoksia dan menurunkan tekanan intrakranial dengan manitol,
steroid ( bila penyebabnya perdarahan tumoral) serta tindakan hiperventilasi. GCS
biasanya kurang dari 6.
2. Kelompok sakit ringan (GCS 13-15).

Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat untuk menimbulkan defisit


neurologis parah namun tidak cukup untuk menyebabkan pasien tidak dapat bertahan
hidup (GCS 6-12). Tindakan medikal di atas diberikan hingga ia keluar dari keadaan
berbahaya, namun keadaan neurologis tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
Pada keadaan ini pengangkatan hematoma dilakukan secara bedah.
Mengurangi Efek Massa

Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun bedah. Pasien
dengan peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal dari efek massa, usaha
nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk mencegah iskemia serebral
sekunder dan kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi
peninggian TIK antara lain :

1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta memperbaiki
drainase vena.

2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).
26

3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan
koloid bila perlu.

4. Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS untuk mempertahankan TIK
kurang dari 20 mmHg.

5. Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-30 mmHg.

Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian kepala,
restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan untuk memperbaiki
tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa tekanan
perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial rata-rata dikurangi tekanan
intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus dipertahankan pada tingkat normal, atau
lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral
setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai vasopresor seperti dopamin intravena atau
fenilefrin.

Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial, pemantauan TIK


jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat (moribund), TIK dipantau secara rutin.
Disukai ventrikulostomi karena memungkinkan mengalirkan CSS, karenanya lebih mudah
mengontrol TIK. Perdarahan intraventrikuler menjadi esensial karena sering terjadi
hidrosefalus akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai pengaliran CSS dengan
ventrikulostomi dibanding hiperventilasi untuk pengontrolan TIK jangka lama. Pemantauan
TIK membantu menilai manfaat tindakan medikal dan membantu memutuskan apakah
intervensi bedah diperlukan.

Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat PIS pernah


dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal. Namun penelitian menunjukkan bahwa
deksametason tidak menunjukkan manfaat, di samping jelas meningkatkan komplikasi (infeksi
dan diabetes). Namun digunakan deksametason pada perdarahan parenkhimal karena tumor
yang berdarah dimana CT-scan memperlihatkan edema serebral yang berat.
27

I. Prognosis

Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%. Mortalitas secara dramatis
meningkat pada perdarahan talamus dan serebelar yang diameternya lebih dari 3 cm,
dan pada perdarahan pons yang lebih dari 1 cm. Untuk perdarahan lobar mortalitas
berkisar dari 6-30 %. Bila volume darah sesungguhnya yang dihitung (bukan
diameter hematomnya), maka mortalitas kurang dari 10% bila volume darahnya
kurang dari 20 mm3 dan 90% bila volume darahnya lebih dari 60 mm3.
Kondisi neurologik awal setelah terserang perdarahan juga penting untuk prognosis
pasien. Pasien yang kesadarannya menurun mortalitas meningkat menjadi 63%.
Mortalitas juga meningkat pada perdarahan yang besar dan letaknya dalam, pada
fossa posterior atau yang meluas masuk ke dalam ventrikel. Felmann E mengatakan
bahwa 45% pasien meninggal bila disertai perdarahan intraventrikular. Suatu
penilaian dilakukan untuk memperkirakan mortalitas dalam waktu 30 hari pertama
dengan menggunakan 3 variabel pada saat masuk rumah sakit yaitu Glasgow Coma
Scale (GCS), ukuran perdarahan dan tekanan nadi. Perdarahan kecil bila ukurannya
kurang dari satu lobus, sedangkan perdarahan besar bila ukurannya lebih dari satu
lobus. Bila GCS lebih dari 9, perdarahannya kecil, tekanan nadi kurang dari 40
mmHg, maka probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari adalah 98%. Tetapi bila
pasien koma, perdarahannya besar dan tekanan nadinya lebih dari 65 mmHg, maka
probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari hanya 8%. Pada PIS hipertensif jarang
terjadi perdarahan ulang.
28

BAB III

KESIMPULAN

Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan fokal dari pembuluh darah dalam
parenkim otak. Penyebabnya biasanya hipertensi kronis. Gejala umum termasuk defisit
neurologis fokal, seringkali dengan onset mendadak sakit kepala, mual, dan penurunan
kesadaran. Kebanyakan perdarahan intraserebral juga dapat terjadi ganglia basal, lobus otak,
otak kecil, atau pons. Perdarahan intraserebral juga dapat terjadi di bagian lain dari batang
otak atau otak tengah. Aada sindroma utama yang menyertai stroke hemoragik menurut
Smith dapat dibagi menurut tempat perdarahannya yaitu putaminal hemorrhage, thalamic
hemorrhage, pontine hemorrhage, cerebellar hemorrhage, lobar hemorrhage.

Pemeriksaan penunjang dengan lumbal pungsi, CT-scan, MRI, serta angiografi.


Adapun penatalaksanannya di ruang gawat darurat (evaluasi cepat dan diagnosis, terapi
umum, stabilisasi jalan napas dan pernapasan, stabilisasi hemodinamik, pemeriksaan awal
fisik umum, pengendalian peninggian TIK, pengendalian kejang, pengendalian suhu tubuh,
pemeriksaan penunjang) kemudian penatalaksanaan di ruang rawat inap (cairan, nutrisi,
pencegahan dan mengatasi komplikasi, penatalaksanaan medik yang lain. Penatalaksanaan
stroke perdarahan intraserebral (PIS) meliputi terapi medik pada PIS akut (terapi hemostatik,
reversal of anticoagulation) dan tindakan operatif.

Prognosis bervariasi tergantung dari keparahan stroke, lokasi dan volume


perdarahan. Semakin rendah nilai GCS, maka prognosis semakin buruk dan tingkat
mortalitasnya tinggi. Semakin besar volume perdarahan maka prognosis semakin buruk. Dan
adanya darah di dalam ventrikel berhubungan dengan angka mortalitas yang tinggi. Adanya
darah di dalam ventrikel meningkatkan angka kematian sebanyak 2 kali lipat.

TINJAUAN PUSTAKA

STROKE
29

I. Anatomi Pembuluh Darah Otak

Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel
glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama
sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak
membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar
20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial.
Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar 15% dari darah total
yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi normal. Otak mendapat darah dari arteri.
Yang pertama adalah arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan kiri), yang
menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior. Yang
kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai
sirkulasi arteri serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan
sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi.
30

Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-fungsi dari otak adalah
otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat sensibilitas, sebagai area broca atau
pusat bicara motorik, sebagai area wernicke atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris,
dan otak kecil yang berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat
jalan serabutserabut saraf ke target organ. Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan
mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam
pengaturan nafas dan tekanan darah. Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya serangan stroke.

II. Definisi

Stroke adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam
otak yang dapat timbul secara mendadak dalam beberapa detik atau secara cepat dalam beberapa
jam dengan gejala atau tanda-tanda sesuai dengan daerah yang terganggu. Menurut WHO stroke
adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak dan akut yang
berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran darah otak. Menurut Neil F. Gordon, stroke
adalah gangguan potensial yang fatal pada suplai darah bagian otak. Tidak ada satupun bagian
tubuh manusia yang dapat bertahan bila terdapat gangguan suplai darah dalam waktu relatif lama
sebab darah sangat dibutuhkan dalam kehidupan terutama oksigen pengangkut bahan makanan
yang dibutuhkan pada otak dan otak adalah pusat control system tubuh termasuk perintah dari
semua gerakan fisik. Dengan kata lain stroke merupakan manifestasi keadaan pembuluh darah
cerebral yang tidak sehat sehingga bisa disebut juga cerebral arterial disease atau
cerebrovascular disease. Cedera dapat disebabkan oleh sumbatan bekuan darah, penyempitan
pembuluh darah, sumbatan dan penyempitan atau pecahnya pembuluh darah, semua ini
menyebabkan kurangnya pasokan darah yang memadai (Irfan, 2010).
III. Epidemiologi

Di antara penyakit-penyakit neurologi yang terjadi pada orang dewasa, stroke menduduki
rangking pertama baik pada frekuensinya maupun pada pentingnya (emergensi) penyakit tersebut.
Lebih dari 50 persen kasus stroke merupakan penyebab dirawatnya penderita di bangsal neurologi
(Victor & Ropper, 2001). Di Amerika Serikat Stroke menduduki peringkat ke-3 penyebab
31

kematian setelah penyakit jantung dan kanker. Setiap tahunnya 500.000 orang Amerika terserang
stroke di antaranya 400.000 orang terkena stroke iskemik dan 100.000 orang menderita stroke
hemoragik (termasuk perdarahan intraserebral dan subarakhnoid) dengan 175.000 orang
mengalami kematian (Victor & Ropper, 2001). Di Indonesia penelitian berskala cukup besar
dilakukan oleh Survey ASNA di 28 Rumah Sakit seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada
penderita stroke akut yang dirawat di Rumah Sakit (hospital based study), dan dilakukan survey
mengenai faktor-faktor risiko, lama perawatan mortalitas dan morbiditasnya. Penderita laki-laki
lebih banyak dari perempuan dan profil usia di bawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia
45-64 tahun berjumlah 54,2% dan di atas usia 65 tahun 33,5% (Misbach dkk., 2007).
IV. Klasifikasi dan Etiologi

Terdapat dua macam bentuk stroke yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke
iskemik merupakan 80% dari penyebab stroke, disebabkan oleh gangguan pasokan oksigen dan
nutrisi ke sel-sel otak akibat bentukan trombus atau emboli. Keadaan ini dapat diperparah oleh
terjadinya penurunan perfusi sistemik yang mengaliri otak. Sedangkan stroke hemoragik
intraserebral dan subarakhnoid disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah kranial (Smith et al.,
2005). Stroke secara luas diklasifikasikan menjadi stroke iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik
merupakan 80% kasus stroke dan dibagi menjadi aterotrombosis arteri, emboli otak, stroke
lakunar, dan hipoperfusi sistemik. Perdarahan otak merupakan 20% sisa penyebab stroke dan
dibagi menjadi perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoid, dan hematoma subdural/
ekstradural (Goldszmidt et al., 2003).
a. Stroke Hemoragik

Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang tidak terkontrol di otak.
Perdarahan tersebut dapat mengenai dan membunuh sel otak, sekitar 20% stroke adalah stroke
hemoragik (Gofir, 2009). Jenis perdarahan (stroke hemoragik), disebabkan pecahnya pembuluh
darah otak, baik intrakranial maupun subarakhnoid. Pada perdarahan intrakranial, pecahnya
pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat hipertensi tak terkontrol yang mengubah
morfologi arteriol otak atau pecahnya pembuluh darah otak karena kelainan kongenital pada
pembuluh darah otak tersebut. Perdarahan subarakhnoid disebabkan pecahnya aneurysma
congenital pembuluh arteri otak di ruang subarakhnoidal (Misbach dkk., 2007).
32

b. Stroke Iskemik

Stroke iskemik mempunyai berbagai etiologi, tetapi pada prinsipnya disebabkan oleh
aterotrombosis atau emboli, yang masing-masing akan mengganggu atau memutuskan aliran darah
otak atau cerebral blood flow (CBF). Nilai normal CBF adalah 5060 ml/100 mg/menit. Iskemik
terjadi jika CBF < 30 ml/100mg/menit. Jika CBF turun sampai < 10 ml/mg/menit akan terjadi
kegagalan homeostasis, yang akan menyebabkan influks kalsium secara cepat, aktivitas protease,
yakni suatu cascade atau proses berantai eksitotoksik dan pada akhirnya kematian neuron.
Reperfusi yang terjadi kemudian dapat menyebabkan pelepasan radikal bebas yang akan
menambah kematian sel. Reperfusi juga menyebabkan transformasi perdarahan dari jaringan
infark yang mati. Jika gangguan CBF masih antara 1530 ml/100mg/menit, keadaan iskemik dapat
dipulihkan jika terapi dilakukan sejak awal (Wibowo dkk., 2001).
Stroke iskemik akut adalah gejala klinis defisit serebri fokal dengan onset yang cepat dan
berlangsung lebih dari 24 jam dan cenderung menyebabkan kematian. Oklusi pembuluh darah
disebabkan oleh proses trombosis atau emboli yang menyebabkan iskemia fokal atau global.
Oklusi ini mencetuskan serangkaian kaskade iskemik yang menyebabkan kematian sel neuron atau
infark serebri (Adam et al., 2001; Becker et al., 2006). Aliran darah ke otak akan menurun sampai
mencapai titik tertentu yang seiring dengan gejala kelainan fungsional, biokimia dan struktural
dapat menyebabkan kematian sel neuron yang irreversible (WHO, 1989; Adam et al., 2003;
Bandera et al., 2006).
V. Klasifikasi Stroke Iskemik Berdasarkan Penyebabnya
a. Stroke trombosis

Stroke trombotik terjadi pada pembuluh darah besar dengan aliran lambat biasanya terjadi saat
tidur, saat pasien relatif mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Stroke ini sering
berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang menyebabkan penyempitan atau stenosis di arteria
karotis interna atau, yang lebih jarang di pangkal arteria serebri media atau di taut ateria vertebralis
dan basilaris. Stroke trombotik dapat dari sudut pandang klinis tampak gagap dengan gejala hilang
timbul bergantiganti secara cepat. Mekanisme pelannya aliran darah parsial adalah defisit perfusi
yang dapat terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah sistemik. Agar dapat
melewati lesi stenotik intra-arteri, aliran darah yang mungkin bergantung pada tekanan
33

intravaskular yang tinggi. Penurunan mendadak tekanan darah tersebut dapat menyebabkan
penurunan generalisata CBF, iskemia otak, dan stroke (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006).
b. Stroke embolik

Stroke embolik terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit neurologik mendadak
dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Embolus berasal dari bahan trombotik yang
terbentuk di dinding rongga jantung atau katup mitralis. Karena biasanya adalah bekuan kecil,
fragmenfragmen dari jantung mencapai otak melalui arteria karotis atau vertebralis. Dengan
demikian, gejala klinis yang ditimbulkannya tergantung pada bagian mana sirkulasi yang
tersumbat dan seberapa dalam bekuan berjalan di percabangan arteri sebelum tersangkut.
Embolisme dapat terurai dan terus mengalir sepanjang pembuluh darah sehingga gejalagejala
mereda. Namun, fragmenfragmen tersebut kemudian tersangkut di sebelah hilir dan
menimbulkan gejalagejala fokal. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki risiko yang lebih
besar terkena stroke hemoragik, karena terjadi perdarahan petekie atau bahkan perdarahan besar
di jaringan yang mengalami infark beberapa jam atau mungkin hari setelah emboli pertama.
Perdarahan tersebut disebabkan karena struktur dinding arteri sebelah distal dari okulasi embolus
melemah atau rapuh karena perfusi. Dengan demikian, pemulihan tekanan perfusi dapat
menyebabkan perdarahan arteriol atau kapiler di pembuluh tersebut. Stroke kriptogenik adalah
stroke iskemik akibat sumbatan mendadak pembuluh intrakranium besar tetapi tanpa penyebab
yang jelas (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006).
c. Lakunar

Lakunar stroke terjadi pada 13-20% stroke iskemik. Oklusi pembuluh darah biasanya terjadi
pada cabang-cabang dari A. Cerebri Media, A. Lenticulostriata, atau pada cabang-cabang dari
sirkulus Willisi, A. Vertebralis, atau A. Basilaris. Lakunar stroke biasanya berhubungan dengan
orang tua yang memiliki hipertensi kronik.
Klasifikasi Iskemik Serebral
Perjalanan klinis pasien dengan stroke infark akan sebanding dengan tingkat penurunan aliran
darah ke jaringan otak. Perjalanan klinis ini akan dapat mengklasifikasikan iskemik serebral
menjadi 4, yaitu:
1. Transient ischemic Attack (TIA)
34

Adalah suatu gangguan akut dari fungsi fokal serebral yang gejalanya berlangsung kurang
dari 24 jam dan disebabkan oleh thrombus atau emboli. TIA sebenarnya tidak termasuk ke
dalam kategori stroke karena durasinya yang kurang dari 24 jam.
2. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)

Seperti juga pada TIA gejala neurologis dari RIND juga akan menghilang, hanya saja
waktu berlangsung lebih lama, yaitu lebih dari 24 jam, bahkan sampai 21 hari. Jika pada TIA
dokter jarang melihat sendiri peristiwanya, sehingga pada TIA diagnosis ditegakkan hanya
berdasar keterangan pasien saja, maka pada RIND ini ada kemungkinan dokter dapat
mengamati atau menyaksikan sendiri. Biasanya RIND membaik dalam waktu 24 - 48 jam.
Sedangkan PRIND (Prolonged Reversible Ischemic Neurological Deficit) akan membaik
dalam beberapa hari, maksimal 3 - 4 hari.
3. Stroke In Evolusion (Progressing stroke)

Pada bentuk ini gejala/ tanda neurologis fokal terus memburuk setelah 48 jam. Kelainan
atau defisit neurologik yang timbul berlangsung secara bertahap dari yang bersifat ringan
menjadi lebih berat. Diagnosis progressing stroke ditegakkan mungkin karena dokter dapat
mengamati sendiri secara langsung atau berdasarkan atas keterangan pasien bila peristiwa
sudah berlalu.
4. Complete Stroke Non-Haemmorhagic

Completed Stroke diartikan bahwa kelainan neurologis yang ada sifatnya sudah menetap, tidak
berkembang lagi. Kelainan neurologi yang muncul bermacam-macam, tergantung pada daerah
otak mana yang mengalami infark (Gofir, 2009).
VI. Patofisiologi

Pada stroke iskemik berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia daerah
regional otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel-sel otak
dan unsur-unsur pendukungnya. Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari
bagian inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi
nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah
penumbra iskemik. Sel-sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat
berkurang fungsi-fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologik. Tingkat iskeminya makin
35

ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah
hyperemic akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik
inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat di reperfusi dan sel-sel otak
berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tak terjadi reperfusi,
daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami kematian.
Dipandang dari segi biologi molekuler, ada dua mekanisme kematian sel otak. Pertama
proses nekrosis, suatu kematian berupa ledakan sel akut akibat penghancuran sitoskeleton sel, yang
berakibat timbulnya reaksi inflamasi dan proses fagositosis debris nekrotik. Proses kematian kedua
adalah proses apoptosis atau silent death, sitoskeleton sel neuron mengalami penciutan atau
shrinkage tanpa adanya reaksi inflamasi seluler. Nekrosis seluler dipicu oleh exitotoxic injury dan
free radical injury akibat bocornya neurotransmitter glutamate dan aspartat yang sangat toksik
terhadap struktur sitoskeleton otak. Demikian pula lepasnya radikal bebas membakar membran
lipid sel dengan segala akibatnya. Kematian Apoptotic mungkin lebih berkaitan dengan reaksi
rantai kaskade iskemik yang berlangsung lebih lambat melalui proses kelumpuhan pompa ion
Natrium dan Kalium, yang diikuti proses depolarisasi membran sel yang berakibat hilangnya
kontrol terhadap metabolisme Kalsium dan Natrium intraseluler. Ini memicu mitokondria untuk
melepaskan enzim caspase-apoptosis (Misbach dkk., 2007).
Penurunan aliran darah otak
Terdapat dua mekanisme patofisiologi pada iskemik otak yaitu hilang atau berkurangnya
suplai oksigen dan glukosa yang terjadi sekunder akibat oklusi vaskuler, serta adanya perubahan
pada metabolism seluler akibat gangguan proses produksi energi akibat oklusi sebelumnya
1. Tingkat Kritikal Pertama

Terjadi apabila aliran darah otak menurun hingga 70-80% (kurang dari 50-55ml/100 gr
otak/menit). Menurut Hossman pada keadaan ini respon pertama otak adlaah terhambatnya sintesa
protein karena adanya disagregasi ribosom
2. Tingkat Kritikal Kedua

Terjadi bila aliran darah otak berkurang hingga 50% (hingga 35ml/100gr otak/menit).
Akan terjadi aktivasi glikolisis anaerob adan peningkatan konsentrasi laktat yang yang selanjutnya
berkembang menjadi asidosis laktat dan edema sitotoksik
3. Tingkat Kritikal Ketiga
36

Terjadi bila aliran darah otak berkurang hingga 30% (hingga 20ml/100gr otak/menit). Pada
keadaan ini akan terjadi berkurangnya produksi adenosine triphosphate (ATP), deficit energy, serta
adanya gangguan transport aktif ion, instabilitas membrane sel serta dilepaskannya
neurotransmitter eksitatorik yang berlebihan. Pada saat aliran darah otak mencapai hanya 20% dari
nilai normal (10-15ml/100gr otak/menit), maka neuron-neuron otak mengalami hilangnya gradient
ion dan selanjutnya dan selanjutnya terjadi depolarisasi anoksik dari membrane. Jika jaringan otak
mendapat aliran darah kurang dari 10 ml/ 100gr otak/menit akan terjadi kerusakan neuron yang
irreversible secara cepat dalam waktu 6-8 menit. Daerah ini disebut ischemic core.
Pengurangan O2
Dalam Keadaan normal konsumsi oksigen yang biasanya diukur sebagai cereberal
metabolic rate for oxygen (CMRO2) normal 3,5 cc/100gr otak/menit. Keadaan hipoksia juga
mengakibatkan produksi molekul oksigen tanpa pasangan electron.
Kegagalan Energi
Otak hanya menggunakan glukosa sebagai sumber energy utama. Dengan adanya oksigen,
glukosa dirubah oleh oksigen menjadi ATP. Otak normal membutuhkan 500cc O2 dan 75-100 mg
glukosa setiap menitnya. ATP digunakan sel otak untuk smeua proses yang membutuhkan energy.
Energi yang berasal dari ATP digunakan untuk membuat dan mempertahankan komponen dan
proses sel serta memacu fungsi motor, kognitif, dan daya ingat.
Pada stroke aliran darah terganggu sehingga terjadi iskemik, yang menghambat penyediaan
glukosa, oksigen dan bahan makanan lain ke sel otak. Hal tersebut akan menghambat mitokondria
dalam menghasilkan ATP, sehingga tidak saja terjadi gangguan fungsi seluluer, tetapi juga aktivasi
berbagai proses toksik. Bila hal ini tidak dikoreksi pada waktunya, iskemik dapat menyebabkan
kematian sel.
Peranan Ca dan Radikal bebas
Masuknya Ca2+ yang berlebihan akan memicu berbagai reaksi di dalam sel karena Ca2+
dapat bergfungsi sebagai second messenger yang akan mengaktifkan transduksi sinyal intraseluler.
Berbagai enzim yang berikatan dengan Ca2+ akan teraktifkan secara terus menerus dan
menimbulkan kerusakan struktur sel.
Peranan Nitrit Oksida
Radikal bebas Nitrit Oksida (NO) dihasilkan 3 jenis isoform nitric oxide synthase (NOS)
yaitu neuronal NOS (nNOS), inducible NOS (iNOS) dan endothelial NOS (eNOS). Peran NO pada
37

iskemia serebri adalah kompleks. NO dapat memberikan efek protektif maupun efek merusak pada
sel. Dalam keadaan iskemik, NO yang dihasilkan oleh nNOS melalui aktivasi Ca dapat merusak
sel-sel otak melalui reaksi NO dengan superoksida yang menghasilkan peroksinitrit yang sangat
reaktif, sedangkan iNOS yang dihasilkan oleh makrofag terlibat dalam proses inflamasi dan
bersifat sitotoksik yang menyebabkan kematian sel.
Dalam keadaan normal, otak dapat menghasilkan NO yang berperan pada pengontrolan
aliran darah serta mengatur kontraktilitas, perfusi jaringan, trombogenesis dan modulasi aktifitas
neuronal. Pada storke iskemik akut, peningkatan kadar metabolit NO berkorelasi dengan
keparahan kerusakan otak. Meskipun penurunan aliran darah sentral merupakan faktor utama yang
bertanggung jawab terhadap kerusakan nekrotik, faktor lain yang juga terlibat adalah derajat
metabolic, densitas kapiler, ekstoksisitas asam amino dan mungkin perbedaan dari aktifitas NOS
lokal.
Apoptosis
Mitchel (1997) menyebutkan ada 2 pola kematian sel, yaitu :
Nekrosis, paling sering adalah nekrosis koagulatif, terjadi setelah menghilangnya aliran
darah atau karena racun, dan ditandai dengan adanya pembengkakan sel, denaturasi protein
dan kerusakan organela.
Apoptosis, kejadian yang lebih teratur, merupakan kematian yang terprogram dari pada
populasi spesifik dalam keadaan normal seperti embryogenesis.

VII. Patogenesis Stroke Iskemik

Penyebab utama stroke iskemik adalah thrombus dan emboli yang seringkali dipengaruhi
oleh penurunan perfusi sistemik. Thrombus disebabkan oleh kerusakan pada endotel pembuluh
darah, dapat terjadi baik di pembuluh darah besar (large vessel thrombosis), maupun di pembuluh
darah lakunar (small vessel thrombosis). Kerusakan ini dapat mengaktivasi dan melekatkan
platelet pada permukaan endotel tersebut, kemudian membentuk bekuan fibrin. Penyebab
terjadinya kerusakan yang paling sering adalah aterosklerosis (aterotrombotik). Pada
aterotrombotik terbentuk plak akibat deposisi lipid sehingga terjadi penyempitan lumen pembuluh
darah dan menghasilkan aliran darah yang turbulen sepanjang area stenosis. Hal ini dapat
menyebabkan disrupsi intima atau pecahnya plak sehingga memicu aktivitas trombosit. Gangguan
pada jalur koagulasi atau trombolisis juga dapat menyebabkan thrombus. Pembentukan thrombus
38

atau emboli yang menutupi arteri akan menurunkan aliran darah di serebral dan bila ini
berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan iskemik jaringan sekitar lokasi thrombus
(Fagan and Hess, 2008).
VIII. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik pada pasien stroke pada umumnya mengalami kelemahan pada salah
satu sisi tubuh dan kesulitan dalam berbicara atau memberikan informasi karena adanya penurunan
kemampuan kognitif atau bahasa (Fagan and Hess, 2008).
Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah bertahuntahun, berupa :
Nyeri kepala saat terjaga, kadangkadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan
tekanan darah intrakranium
Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi
Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat
Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler (Corwin, 2001).

Gejala Klinis PIS PSA Iskemik


Defisit local Berat Ringan Berat Ringan
Onset Menit atau 1-2 menit Jam atau hari
jam
Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan
Muntah di awal Sering Sering Tidak, kecuali
lesi batang otak
Hipertensi Hampir selalu Dominan Sering
tidak
Kesadaran + + -
Kaku Kuduk -/+ + -
Hemiparesis Sering dari Di awal tidak Sering dari
awal ada awal
Gangguan bicara +/- -/+ ++
LCS Berdarah Berdarah Jernih
Gangguan N.III - +/- -
Gangguan + + +
anggota gerak

Pendekatan klinis terhadap stroke iskemik bergantung pada kemampuan untuk mengidentifikasi
dasar neuroanatomik dari defisit klinis. Berikut adalah korelasi klinik anatomik dari stroke
iskemik.
39

1. Arteri serebral anterior


Arteri serebral anterior mensuplai korteks serebral parasagital, yang termasuk
bagian dari korteks motorik dan sensorik yang berhubungan dengan kaki kontralateral
dan juga disebut sebagai pusat inhibisi dan mikturisi kandung kemih. Stroke akibat
oklusi arteri serebral anterior jarang dijumpai bila dibandingkan dengan stroke akibat
oklusi arteri cerebral medial yang menerima aliran darah serebral dalam jumlah besar.
Dapat dijumpai paralisis lengan dan tungkai kontralateral, grasp reflex kontralateral,
rigiditas gegenhalten, abulia, gangguan gait, prespirasi dan inkontinensia urin.
2. Arteri serebral media
Arteri cerebral medial mensuplai sisa dari hemisfer cerebral dan struktur
subkortikal dalam. Cabang kortikal dari arteri cerebral medial termasuk devisi superior
mensuplai seluruh area korteks motorik dan sensorik dari wajah, tangan, dan lengan
Berta area berbahasa ekspresif (Broca) dari hemisfer dominan. Devisi inferior
mensuplai radiasi visual, area berbahasa reseptif (Wernicke) dari hemisfer dominan.
Arteri lentikulostriata yang merupakan cabang dari bagian proksimal arteri cerebral
medial mensuplai daerah basal ganglia dan juga serabut motorik untuk wajah, lengan,
tangan, kaki pada genu dan krus posterior kapsula interna.Arteri serebralis medial
adalah arteri yang paling sering terkena dalam stroke iskemik. Bergantung dari devisi
yang terlibat, bermacam-macam gambaran klinis dapat terlihat.
Stroke devisi superior
Hemiparesis kontralateral yang mengenai wajah, tangan dan lengan tetapi
tidak pada kaki; hemisensori kontralateral pada area yang sama; tanpa
hemianopia homonim. Kalau area hemisfer dominan terlibat maka selain
gambaran diatas juga disertai dengan afasi broca.
Stroke devisi inferior
Hemianopsia homonim kontralateral; gangguan fungsi sensoris kortikal yang
bermakna seperti grafastesia dan stereognosis pada kontralateral tubuh,
anosognosia, dressing apraxia, konstruksional apraxia. Kalau hemisfer
dominan juga ikut terkena maka dijumpai aplasia Wernicke.
3. Arteri karotis interna
40

Derajat keparahan stroke arteri karotis interna sangat bervariasi bergantung pada
adekuat tidaknya sirkulasi kolateral. Oklusi arteri karotis dapat bersifat asimptomatik,
sedang yang simptomatik memberikan gejala yang mirip dengan stroke arteri cerebralis
medial walaupun gejala lain mungkin juga timbul.
4. Arteri serebralis posterior
Arteri serebralis posterior yang berasal dari ujung arteri basiler memberi suplai
darah pada korteks cerebral okksipital, lobus temporal medial, thalamus dan rostral
otak tengah. Gambaran klinis berupa hemianopia homonym yang mengenai lapangan
pandang kontralateral. Kalau oklusi terjadi pada level otak tengah, abnormalitas ocular
yang meliputi kelumpuhan pandangan vertical, kelumpuhan nervus okulomotor. Kalau
oklusi yang terjadi mengenai lobus oksipital hemisfer dominan, maka pasien akan
mengalami anomik fasia, aleksia tanpa agrafia, dan visual agnosia
5. Arteri Basiler
Arteri basiler berasal dari pertemuan sepasang arteri vertebralis. Arteri basiler
berjalan melalui permukaan ventral dari batang otak dan berakhir pada level otak tengah,
kemudian bercabang menjadi arteri serebralis posterior. Cabang-cabang arteri basiler
mensuplai lobus oksipital dan temporal medial, thalamus medial, krus posterior dari
kapsula interna dan keseluruhan batang otak dan serebellum.

IX. Faktor Risiko

Stroke disebabkan oleh banyak faktor, yang sebagian besar sesungguhnya bisa dikendalikan.
Virgil Brown, MD, dari Emory University, Atlanta, menyatakan bahwa stroke merupakan akibat
dari life style (gaya hidup) manusia modern yang tidak sehat. Hal ini tampak pada perilaku
mengonsumsi makanan yang tinggi kolesterol dan rendah serat, kurang dalam aktivitas fisik serta
berolahraga, akibat stress/ kelelahan, konsumsi alkohol berlebihan, kebiasaan merokok. Berbagai
faktor risiko itu selanjutnya akan berakibat pada pengerasan pembuluh arteri (arteriosklerosis),
sebagai pemicu stroke (Diwanto, 2009). Menurut The WHO Task Force on Stroke and other
Cerebrovascular Disorders (1988), faktor risiko stroke iskemik adalah:
1. hipertensi
2. diabetes mellitus,
3. penyakit jantung,
41

4. serangan iskemik sepintas (TIA),


5. obesitas,
6. hiper-agregasi trombosit,
7. alkoholism,
8. merokok,
9. peningkatan kadar lemak darah (kolesterol, trigliserida LDL),
10. hiperurisemia,
11. infeksi,
12. faktor genetik atau keluarga, dan
13. lain-lain (migren, suhu dingin, kontrasepsi tinggi estrogen, status sosio-
ekonomi,hematokrit, peningkatan kadar fibrinogen, proteinuria dan intake garam berlebih).

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi termasuk usia, jenis kelamin, dan hereditas. Walaupun
faktor ini tidak dapat diubah, namun tetap berperan sebagai pengidentifikasi yang penting pada
pasien yang berisiko terjadinya stroke, di mana pencarian yang agresif untuk kemungkinan faktor
risiko yang lain sangat penting (Gofir, 2009).
Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi
a. Usia

Siapa pun tidak akan pernah bisa menaklukkan usia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa usia
itu kuasa Tuhan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa 2/3 serangan stroke terjadi pada usia di
atas 65 tahun. Meskipun demikian, bukan berarti usia muda atau produktif akan terbebas dari
serangan stroke (Wiwit S., 2010).
b. Jenis Kelamin

Penelitian menunjukkan bahwa pria lebih banyak terkena stroke daripada wanita, yaitu
mencapai kisaran 1,25 kali lebih tinggi. Namun anehnya, justru lebih banyak wanita yang
meninggal dunia karena stroke. Hal ini disebabkan pria umumnya terkena serangan stroke pada
usia muda. Sedangkan, para wanita justru sebaliknya, yaitu saat usianya sudah tinggi (tua) (Wiwit
S., 2010).

c. Garis Keturunan
42

Terdapat dugaan bahwa stroke dengan garis keturunan saling berkaitan. Dalam hal ini,
hipertensi, diabetes, dan cacat pada pembuluh darah menjadi faktor genetik yang berperan.
Cadasil, yaitu suatu cacat pada pembuluh darah dimungkinkan merupakan faktor genetik yang
paling berpengaruh. Selain itu, gaya hidup dan pola makan dalam keluarga yang sudah menjadi
kebiasaan yang sulit diubah juga meningkatkan resiko stroke (Wiwit S., 2010).
d. Asal Usul Bangsa

Berdasarkan literatur, bangsa Afrika, Asia, dan keturunan Hispanik lebih rentan terkena
serangan stroke (Wiwit S., 2010).
e. Kelainan Pembuluh Darah (Atrial Fibrillation)

Kelainan ini adalah suatu kondisi ketika salah satu bilik jantung bagian atas berdetak tidak
sinkron dengan jantung. Akibatnya, terjadi penggumpalan darah yang menyebabkan sumbatan
pembuluh darah. Gumpalan darah tersebut akan terbawa sampai ke pembuluh darah otak dan
menyebabkan stroke. Hasil penelitian menunjukkan, sebanyak 20% stroke disebabkan oleh
kelainan itu. Kelainan pembuluh darah ini dapat dikontrol dengan obat atau operasi (Wiwit S.,
2010).
X. Faktor yang Dapat Dimodifikasi
a. Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting untuk semua tipe stroke, baik stroke iskemik
maupun stroke perdarahan. Peningkatan risiko stroke terjadi seiring dengan peningkatan tekanan
darah. Walaupun tidak ada nilai pasti korelasi antara peningkatan tekanan darah dengan risiko
stroke, diperkirakan risiko stroke meningkat 1,6 kali setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah
sistolik, dan sekitar 50% kejadian stroke dapat dicegah dengan pengendalian tekanan darah
(Indiana Stroke Prevention Task Force January 2006/ Updated, 2007). Beberapa peneliti
melaporkan bahwa apabila hipertensi tidak diturunkan pada saat serangan stroke akut dapat
mengakibatkan edema otak, namun berdasarkan penelitian dari Chamorro menunjukkan bahwa
perbaikan sempurna pada stroke iskemik dipermudah oleh adanya penurunan tekanan darah yang
cukup ketika edema otak berkembang sehingga menghasilkan tekanan perfusi serebral yang
adekuat (PERDOSSI, 2007).
b. Diabetes Melitus
43

Orang dengan diabetes melitus lebih rentan terhadap aterosklerosis dan peningkatan
prevalensi proaterogenik, terutama hipertensi dan lipid darah yang abnormal. Pada tahun 2007
sekitar 17,9 juta atau 5,9% orang Amerika menderita diabetes. Berdasarkan studi case control pada
pasien stroke dan studi epidemiologi prospektif telah menginformasikan bahwa diabetes dapat
meningkatkan risiko stroke iskemik dengan risiko relatif mulai dari 1,8 kali lipat menjadi hampir
6 kali lipat. Berdasarkan data dari Center for Disease Control and Prevention 1997-2003
menunjukkan bahwa prevalensi stroke berdasarkan usia sekitar 9 % stroke terjadi pada pasien
dengan penyakit diabetes pada usia lebih dari 35 tahun (Goldstein et al, 2011).
c. Dislipidemia

Terdapat 4 penelitian case-control yang melaporkan kaitan antara hiperkolesterolemia dan


risiko PIS (perdarahan intraserebral). Odds Ratio keseluruhan untuk kolesterol yang tinggi adalah
1,22 (95% CI: 0,562,67), di mana penyelidikan terhadap penelitian kohort melaporkan kaitan
antara hiperkolesterolemia dan PIS; semuanya meneliti kadar kolesterol serum total. Leppala el al.
(1999) menemukan RR adjusted PIS sebesar 0,20 (95% CI: 0,10-0,42) untuk kadar kolesterol >
7,0 mmol/L dibandingkan dengan kadar kolesterol < 4,9 mmol/L (Ariesen et al., 2003).
d. Merokok

Tingkat kematian penyakit stroke karena merokok di Amerika Serikat pertahunnya


diperkirakan sekitar 21.400 (tanpa ada penyesuaian untuk faktor resiko) dan 17.800 (setelah ada
penyesuaian), ini menunjukkan bahwa rokok memberikan kontribusi terjadinya stroke yang
berakhir dengan kematian sekitar 12% sampai 14% (Goldstein et al, 2011).
e. Pemakaian Alkohol
Sebuah meta-analisis terhadap 35 penelitian dari tahun 1966 hingga 2002 melaporkan bahwa
dibandingkan dengan bukan pengguna alkohol, individu yang mengkonsumsi < 12 g per hari (1
minuman standar) alkohol memiliki adjusted RR yang secara signifikan lebih rendah untuk stroke
iskemik (RR: 0,80; 95% CI: 0,67 hingga 0,96), demikian juga individu yang mengkonsumsi 12
hingga 24 g per hari (1 hingga 2 standar minum) alkohol (RR: 0,72; 95% CI: 0,57). Tetapi, individu
yang mengkonsumsi alkohol > 60 g per hari memiliki adjusted RR untuk stroke iskemik yang
secara signifikan lebih tinggi (RR: 1,69;95% CI: 1,3 hingga 2,1) (Hankey et al., 2006).
f. Obesitas
44

Sebuah penelitian kohort observasional prospektif terhadap 21.144 lakilaki Amerika Serikat
yang di follow-up selama 12,5 tahun (rerata) untuk kejadian 631 stroke iskemik menemukan bahwa
BMI 30 kg/mm3 berhubungan dengan adjusted relative risk (RR) sroke iskemik sebesar 2,0 (95%
CI: hingga 2,7) dibandingkan dengan laki laki dengan BMI < 30 kg/mm3 (SeungHan et al.,
2003).
g. Serangan Iskemik Sepintas (TIA)

Dennis et al. (1989) meneliti risiko stroke rekuren pada pasien dengan TIA dan stroke minor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko stroke rekuren dan atau kematian lebih tinggi pada
minor ischemic stroke (stroke iskemik ringan) walaupun perbedaan yang signifikan hanya pada
kematian. Perbedaan prognosis yang tampak mungkin disebabkan karena prognosis yang baik
pada pasien dengan amaurosis fugax di antara pasien dengan transient ischemic attack.

h. Penyakit Jantung

Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan irama yang banyak menyerang pria dewasa, AF
ditemukan pada 11,5% populasi di negaranegara barat dan merupakan salah satu faktor risiko
independen stroke. AF dapat menyebabkan risiko stroke atau emboli menjadi 5 kali lipat daripada
pasien tanpa AF. Kejadian stroke yang didasari oleh AF sering diikuti dengan peningkatan
morbiditas, mortalitas, dan penurunan kemampuan fungsi daripada stroke karena penyebab yang
lain. Risiko stroke karena AF meningkat jika disertai dengan beberapa faktor lain, yaitu jika disertai
usia > 65 tahun, hipertensi, diabetes melitus, gagal jantung, atau riwayat stroke sebelumnya seperti
yang dikategorikan dalam CHAD. Pada CHAD umur > 65 tahun, gagal jantung, hipertensi, dan
DM dinilai 1 point setiap kali ditemukan dan riwayat stroke atau emboli sebelumnya dinilai 2 point
(Gage et al.,2004).
i. Peningkatan Kadar Hematokrit

Berdasarkan penelitian La Rue et al. (1987), pasien dengan kadar hematokrit tinggi memiliki
risiko yang lebih besar untuk terkena infark lakuner, tetapi tidak untuk stroke oleh karena trombus
atau emboli atau stroke perdarahan. Diduga kenaikan hematokrit akan meningkatkan viskositas
darah dan ada hubungan terbalik antara viskositas dengan aliran darah otak. ADO yang rendah
viskositas yang tinggi berakibat konsumsi oksigen oleh jaringan otak akan berkurang, dan jelas
45

lebih rendah pada daerah yang disuplai oleh arteriarteri yang kecil yang tidak memiliki kolateral
seperti yang terjadi pada infark lakunar. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan kenaikan
hematokrit secara signifikan disertai kenaikan tekanan darah sistolik.
j. Peningkatan Kadar Fibrinogen

Penelitian metaanalisis (Rothwell., 2004) terhadap 3 penelitian prospektif dengan 5.113 pasien
TIA dan stroke iskemik minor yang di followup selam 5 tahun mengungkapkan bahwa kadar
fibrinogen pasien di atas median berhubungan dengan risiko stroke iskemik, dibandingkan dengan
kadar fibrinogen yang berada di bawah median (HR: 1,34; 95% CI: 1,13 hingga 1,60). Terdapat
hubungan lebih kuat pada pasien dengan sindrom lakunar (HR: 1,42; 95% CI: 1,131,78)
dibandingkan lakunar (HR: 1,09; 95% CI: 0,80 hingga 1,49) tetapi hasilnya tidak terlalu signifikan
(p = 0,018).
k. Migren

Migren dan penyakit serebrovaskuler memiliki hubungan dalam cara yang berbeda. Migren
merupakan kemungkinan penyebab untuk stroke seperti dalam migrainous infarction. Nyeri kepala
mungkin adalah sebuah gejala dari penyakit serebrovaskuler dan juga faktor risiko untuk stroke.
Banyak gangguan serebrovaskuler seperti perdarahan serebri, trombosis sinus vena, diseksi arteri
karotis atau vertebralis, dan stroke iskemik yang mungkin muncul dengan atau diikuti nyeri kepala.
Konsep stroke yang dipicu migrain telah digambarkan dengan baik oleh migrainous infarction,
yang telah dijelaskan dengan baik dalam klasifikasi International Headache Society (IHS) yang
telah direvisi, dan mewakili gambaran paling kuat hubungan antara stroke iskemik dan migren
adalah patent foramen ovale (PFO) yang mungkin memainkan sebuah peranan patogenesis dalam
kedua gangguan ini. Hubungan antara migren dan artery dissection (CAD) dilaporkan di dalam
beberapa penelitian terbaru. Migren lebih sering pada pasien dengan CAD. Hal ini mendukung
hipotesis bahwa penyakit dinding arteri yang mendasari mungkin adalah kondisi menyebabkan
predisposisi untuk migren (Agostoni et al., 2004).
XI. Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan pada penderita sendiri, keluarga yang mengerti tentang
penyakit yang diderita. Anamnesis dilakukan dengan mengetahui riwayatmengenai gejala
awal, waktu awitan, aktivitas penderita saatserangan, gejala seperti nyeri kepala, mual,
46

muntah, rasa berputar, kejang, cegukan(hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran,


serta faktor risiko stroke (hipertensi,diabetes, dan lain-lain).6
b. Pemeriksaan Fisik
a. Penilaian Respirasi, Sirkulasi, Oksimetri, dan Suhu tubuh.
b. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang,
bruitkarotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif).
c. Pemeriksaantorak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
d. Pemeriksaan neurologis
Derajat Kesadaran
Rangsang selaput otak
Pemeriksaansaraf kranialis
Sistem motorik, sensorik
Sikap dan cara jalan refleks,koordinasi,
Fungsi kognitif.
c. Penilaian Skor
Skor yang dapat digunakan oleh tenaga medis untuk mengarahkan diagnosis diantaranya
:
d. Skala stroke NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale)
e. Skor Siriraj
Kesadaran ( x 2,5 ) siaga 0
Pingsan 1
Semi koma, koma 2
Muntah ( x 2 ) No 0
Yes 1
Nyeri kepala dalam 2 jam ( No 0
x2) Yes 1

Tekanan Diastolik ( DBP ) DBP x 0,1

Atheroma markers ( x -3 ) Done 0


Diabetes, angina, claudicatio
intermitten 1
Konstanta 12

Siriraj Stroke Score (SSS):


47

( 2,5 x derajat kesadaran ) + ( 2 x vomitus ) + ( 2 x nyeri kepala ) + ( 0,1 x tekanan diastolik ) (


3 x petanda ateroma ) 12
Interpretasi score :Skor -1 = Infark, 1 = Hemoragik
Poin-poin pada masing-masih gejala klinis tersebut ditambahkan, dan ditemukan hasil
dengan interpretasi < -1 adalah kemungkinan strok non-hemorrhagic, sedangkan pada skor
>1 maka kemungkinan stroke hemorrhagic.
Skor Gajah Mada

XII. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik

Semua pasien yang diduga stroke harus menjalani pemeriksaan MRI atau CT scan tanpa
kontras untuk membedakan antara stroke iskemik dan hemoragik serta mengidentifikasi adanya
efek tumor atau massa (kecurigaan stroke luas). Stroke iskemik adalah diagnosis yang paling
48

mungkin bila CT scan tidak menunjukkan perdarahan, tumor, atau infeksi fokal, dan bila temuan
klinis tidak menunjukkan migren, hipoglikemia, ensefalitis, atau perdarahan subarakhnoid
(Goldszmidt et al., 2009).
Pencitraan otak atau CT scan dan MRI adalah instrumen diagnosa yang sangat penting
karena dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana stroke yang diderita oleh seseorang. Hasil
CT scan perlu diketahui terlebih dahulu sebelum dilakukan terapi dengan obat antikoagulan atau
antiagregasi platelet. CT scan dibedakan menjadi dua yaitu, CT scan non kontras yang digunakan
untuk membedakan antara stroke hemoragik dengan stroke iskemik yang harus dilakukan untuk
mengantisipasi kemungkinan penyebab lain yang memberikan gambaran klinis menyerupai gejala
infark atau perdarahan di otak, misalnya adanya tumor. Sedangkan yang kedua adalah CT scan
kontras yang digunakan untuk mendeteksi malformasi vaskular dan aneurisme (Lumbantobing.,
2001).
XIII. Penatalaksanaan Terapi

Perawatan stroke terdiri dari perawatan medis dan nonmedis. Perawatan medis pada awal
serangan bertujuan menghindari kematian dan mencegah kecacatan. Setelah itu, perawatan medis
ditujukan untuk mengatasi keadaan darurat medis pada stroke akut, mencegah stroke berulang,
terapi rehabilitatif untuk stroke kronis, dan mengatasi gejala sisa akibat stroke. Terapi stroke secara
medis antara lain dengan pemberian obat-obatan, fisioterapi, dan latihan fisik untuk
mengembalikan kemampuan gerak sehari-hari (Wiwit S., 2010).
Terapi Non Farmakologi
l. Perubahan Gaya Hidup Terapeutik

Modifikasi diet, pengendalian berat badan, dan peningkatan aktivitas fisik merupakan
perubahan gaya hidup terapeutik yang penting untuk semua pasien yang berisiko
aterotrombosis. Pada pasien yang membutuhkan terapi obat untuk hipertensi atau dislipidemia,
obat tersebut harus diberikan, bukannya digantikan oleh modifikasi diet dan perubahan gaya
hidup lainnya (Goldszmidt et al., 2011).
Diet tinggi buah-buahan sitrus dan sayuran hijau berbunga terbukti memberikan
perlindungan terhadap stroke iskemik pada studi Framingham (JAMA 1995;273:1113) dan
studi Nurses Health (JAMA 1999;282:1233), setiap peningkatan konsumsi per kali per hari
mengurangi risiko stroke iskemik sebesar 6%. Diet rendah lemak trans dan jenuh serta tinggi
49

lemak omega-3 juga direkomendasikan. Konsumsi alkohol ringan-sedang (1 kali per minggu
hingga 1 kali per hari) dapat mengurangi risiko stroke iskemik pada laki-laki hingga 20%
dalam 12 tahun (N Engl J Med 1999;341:1557), namun konsumsi alkohol berat (> 5 kali/ hari)
meningkatkan risiko stroke.
2. Aktivitas fisik

Inaktivasi fisik meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke setara dengan merokok, dan
lebih dari 70% orang dewasa hanya melakukan sedikit latihan fisik atau bahkan tidak sama
sekali, semua pasien harus diberitahu untuk melakukan aktivitas aerobik sekitar 30- 45 menit
setiap hari (Goldszmidt et al., 2011). Latihan fisik rutin seperti olahraga dapat meningkatkan
metabolisme karbohidrat, sensitivitas insulin dan fungsi kardiovaskular (jantung). Latihan juga
merupakan komponen yang berguna dalam memaksimalkan program penurunan berat badan,
meskipun pengaturan pola makan lebih efektif dalam menurunkan berat badan dan
pengendalian metabolisme (Sweetman, 2009).
Terapi Farmakologi
Outcome/ goal penatalaksanaan terapi stroke akut, antara lain:
1. mengurangi progesivitas kerusakan neurologi dan mengurangi angka kematian
2. mencegah komplikasi sekunder yaitu disfungsi neurologi dan imobilitas permanen
3. mencegah stroke ulangan. Terapi yang diberikan tergantung pada jenis stroke yang dialami
(iskemik atau hemoragik) dan berdasarkan pada rentang waktu terapi (terapi pada fase akut
dan terapi pencegahan sekunder atau rehabilitasi).

Strategi pengobatan stroke iskemik ada dua, yang pertama reperfusi yaitu memperbaiki aliran
darah ke otak yang bertujuan untuk memperbaiki iskemik dengan obat-obat antitrombotik
(antikoagulan, antiplatelet, trombolitik). Kedua dengan neuroproteksi yaitu pencegahan kerusakan
otak agar tidak berkembang lebih berat akibat adanya area iskemik (Fagan and Hess, 2008).
Berdasarkan guidelines American Stroke Association (ASA), untuk pengurangan stroke
iskemik secara umum ada dua terapi farmakologi yang direkomendasikan dengan grade A yaitu t-
PA dengan onset 3 jam dan aspirin dengan onset 48 jam (Fagan and Hess, 2008).
a. Aktivator Plasminogen (Tissue Plasminogen Activator/ tPA)

Obat ini dapat melarutkan gumpalan darah yang menyumbat pembuluh darah, melalui enzim
plasmin yang mencerna fibrin (komponen pembekuan darah). Akan tetapi, obat ini mempunyai
50

risiko, yaitu perdarahan. Hal ini disebabkan kandungan terlarut tidak hanya fibrin yang
menyumbat pembuluh darah, tetapi juga fibrin cadangan yang ada dalam pembuluh darah. Selain
itu, tPA hanya bermanfaat jika diberikan sebelum 3 jam dimulainya gejala stroke. Pasien juga
harus menjalani pemeriksaan lain, seperti CT scan, MRI, jumlah trombosit, dan tidak sedang
minum obat pembekuan darah (Wiwit S., 2010).
b. Antiplatelet

The American Heart Association/ American Stroke Association (AHA/ASA)


merekomendasikan pemberian terapi antitrombotik digunakan sebagai terapi pencegahan stroke
iskemik sekunder. Aspirin, klopidogrel maupun extended-release dipiridamol-aspirin (ERDP-
ASA) merupakan terapi antiplatelet yang direkomendasikan (Fagan and Hess, 2008). Berbagai
obat antiplatelet, seperti asetosal, sulfinpirazol, dipiridamol, tiklopidin, dan klopidogrel telah
dicoba untuk mencegah stroke iskemik. Agen ini umumnya bekerja baik dengan mencegah
pembentukan tromboksan A2 atau meningkatkan konsetrasi prostasiklin. Proses ini dapat
membangun kembali keseimbangan yang tepat antara dua zat, sehingga mencegah adesi dan
agregasi trombosit.
Belum ada data penelitian yang merekomendasikan obat golongan antiplatelet selain dari
aspirin. Aspirin merupakan antiplatelet yang lebih murah, sehingga akan berpengaruh pada tingkat
kepatuhan jangka panjang. Bagi pasien yang tidak tahan terhadap aspirin karena alergi atau efek
samping pada saluran cerna yaitu mengiritasi lambung, dapat direkomendasikan dengan
penggunaan klopidogrel. Klopidogrel sedikit lebih efektif dibandingkan asetosal dengan
penurunan resiko serangan berulang 7,3% lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian asetosal.
Kombinasi asetosal dan klopidogrel tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan resiko
perdarahan dan tidak menunjukkan hasil yang signifikan dengan pemberian tunggal klopidogrel
(Tatro, 2008).
c. Pemberian Neuroprotektan

Pada stroke iskemik akut, dalam batasbatas waktu tertentu sebagian besar jaringan neuron
dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi jaringan adalah tujuan dari apa yang disebut sebagai
strategi neuroprotektif. Cara kerja metode ini adalah menurunkan aktivitas metabolisme dan tentu
saja kebutuhan oksigen selsel neuron. Dengan demikian neuron terlindungi dari kerusakan lebih
lanjut akibat hipoksia berkepanjangan atau eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang
51

glutamat yang biasanya timbul setelah cedera sel neuron. Suatu obat neuroprotektif yang
menjanjikan, serebrolisin (CERE) memiliki efek pada metabolisme kalsium neuron dan juga
memperlihatkan efek neurotrofik (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006). Beberapa diantaranya
adalah golongan penghambat kanal kalsium (nimodipin, flunarisin), antagonis reseptor glutamat
(aptiganel, gavestinel, selfotel), agonis GABA (klokmethiazol), penghambat peroksidasi lipid
(tirilazad), antibody anti-ICAM-1 (enlimobab), dan aktivator metabolik (sitikolin). Pemberian obat
golongan neuroprotektan sangat diharapkan dapat menurunkan angka kecacatan dan kematian
(McEvoy, 2008).
d. Pemberian Antikoagulan

Warfarin merupakan pengobatan yang paling efektif untuk pencegahan stroke pada pasien
dengan fibrilasi atrial. Pada pasien dengan fibrilasi atrial dan sejarah stroke atau TIA, resiko
kekambuhan pasien merupakan salah satu resiko tertinggi yang diketahui. Pada percobaan yang
dilakukan Eropa Atrial Fibrilasi Trial (EAFT), dengan sampel sebanyak 669 pasien yang
mengalami fibrilasi atrial nonvalvular dan sebelumnya pernah mengalami stroke atau TIA. Pasien
pada kelompok plasebo, mengalami stroke, infark miokardium atau kematian vaskular sebesar
17% per tahun, 8% per tahun pada kelompok warfarin dan 15% per tahun pada kelompok asetosal.
Ini menunjukan pengurangan sebesar 53% risiko pada penggunaan antikoagulan (Fagan & Hess,
2008). Secara umum pemberian heparin, LMWH atau Heparinoid setelah stroke iskemik tidak
direkomendasikan karena pemberian antikoagulan (heparin, LMWH, atau heparinoid) secara
parenteral meningkatkan komplikasi perdarahan yang serius. Penggunaan warfarin
direkomendasikan baik untuk pencegahan primer maupun sekunder pada pasien dengan atrial
fibrilasi. Penggunaan warfarin harus hati-hati karena dapat meningkatkan risiko perdarahan.
Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut dengan tujuan untuk
memperbaiki outcome neurologic atau sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang tidak
direkomendasi (PERDOSSI, 2007).
Rehabilitasi Pasca Stroke
Tujuan utama rehabilitasi adalah untuk mencegah komplikasi, meminimalkan gangguan,
dan memaksimalkan fungsi organ. Prioritas rehabilitasi stroke dini adalah pencegahan stroke
sekunder, managemen dan pencegahan penyakit penyerta dan komplikasi. Pada dasarnya
rehabilitasi pada pasien stroke iskemik maupun stroke hemoragik memilki prinsip yang sama.
52

Rehabilitasi tersebut meliputi terapi berbicara, terapi fisik, dan terapi occupasional (Aminoff,
2009).
Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke Iskemik
Penatalaksanaan hipertensi yang tepat pada stroke akut sangat mempengaruhi mobilitas
dan mortalitas stroke. Sebagian besar ahli tidak merekomendasikan terapi hipertensi pada stroke
iskemik akut, kecuali terdapat hipertensi berat yang menetap yaitu tekanan darah sistolik > 220
mmHg atau diastolik > 120 mmHg. Sebagian besar ahli berpendapat obatobat antihipertensi yang
ada sebelum serangan stroke diteruskan pada fase awal serangan stroke dan menunda pemberian
obat antihipertensi yang baru sampai dengan 710 hari paska serangan stroke (PERDOSSI., 2004).
Pada penderita dengan tekanan darah diastolik > 140 mmHg (atau> 110 mmHg bila akan
dilakukan terapi trombolisis) diperlakukan sebagai penderita hipertensi emergensi berupa drip
kontinyu nikardipin, diltiazem, nimodipin dan lain-lain. Jika tekanan sistolik > 230 mmHg dan
atau tekanan darah diastolik 121-140 mmHg, berikan labetalol i.v. selama 1-2 menit. Dosis
labetalol dapat diulang atau digandakan setiap 1-2 menit sampai tekanan darah yang memuaskan
dapat tercapai atau sampai dosis komulatif 300 mg yang diberikan melalui teknik bolus mini,
setelah dosis awal, labetalol dapat diberikan setiap 6-8 jam bila diperlukan (PERDOSSI.,2004).
Jika tekanan sistolik 180-230 mmHg dan atau tekanan darah diatolik 15-120 mmHg, terapi
darurat harus ditunda kecuali ada bukti perdarahan intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri,
infark miokard akut, gagal ginjal akut, edema paru, diseksi aorta, ensefalopati hipertensi dan
sebagainya. Jika pengukuran tekanan darah tersebut menetap pada dua kali pengukuran selang
waktu 60 menit, maka diberikan 200-300 mg labetalol 2-3 kali sehari sesuai kebutuhan.
Pengobatan alternatif yang memuaskan selain labetalol adalah nifedipin oral 60 mg setiap 6 jam
atau 6,25-25 mg kaptopril setiap 8 jam. Jika monoterapi oral tidak berhasil atau obat tidak dapat
diberikan peroral, maka diberikan labetalol i.v. batas penurunan tekanan darah sebanyak
banyaknya sampai 20%-25% dari tekanan darah arterial rerata, dan tindakan selanjutnya
ditentukan kasus perkasus (PERDOSSI., 2004).
XIV. Pencegahan Stroke
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (1999) di Indonesia, upaya
1. Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko stroke
bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Pencegahan primordial dapat
53

dilakukan dengan cara melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya
rokok terhadap stroke dengan membuat selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian
masyarakat. Selain itu, promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan adalah program
pendidikan kesehatan masyarakat, dengan memberikan informasi tentang penyakit stroke
melalui ceramah, media cetak, media elektronik dan billboard.
2. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko stroke bagi
individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan gaya hidup sehat bebas
stroke, antara lain:
Menghindari: rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan, obat-
obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya.
Mengurangi: kolesterol dan lemak dalam makanan.
Mengendalikan: Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya fibrilasi atrium, infark
miokard akut, penyakit jantung reumatik), dan penyakit vaskular aterosklerotik
lainnya.
Menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang seperti, makan banyak sayuran, buah-
buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna, minimalkan junk food dan beralih pada
makanan tradisional yang rendah lemak dan gula, serealia dan susu rendah lemak
serta dianjurkan berolah raga secara teratur.
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke. Pada
tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke tidak berlanjut
menjadi kronis. Tindakan yang dilakukan adalah:
Obat-obatan, yang digunakan: asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai
obat antiagregasi trombosit pilihan pertama dengan dosis berkisar antara 80-320
mg/hari, antikoagulan oral diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit
jantung (fibrilasi atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan kondisi
koagulopati yang lain.
Clopidogrel dengan dosis 1x75 mg. Merupakan pilihan obat antiagregasi
trombosit kedua, diberikan bila pasien tidak tahan atau mempunyai kontra indikasi
terhadap asetosal (aspirin).
54

Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko stroke, misalnya mengkonsumsi obat
antihipertensi yang sesuai pada penderita hipertensi, mengkonsumsi obat
hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak dan mengkonsumsi obat
antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti merokok, berhenti
mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan dan kurang gerak.
4. Pencegahan Tertier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita stroke agar
kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi ketergantungan pada
orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan tersier dapat
dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan sosial. Rehabilitasi akan diberikan
oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa,
ahli okupasional, petugas sosial dan peran serta keluarga.
Rehabilitasi Fisik Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang
dapat membantu proses pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang diberikan
yaitu yang pertama adalah fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah
gerakan dan sensoris penderita seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri,
berjalan, koordinasi dan keseimbangan serta mobilitas di tempat tidur. Terapi
yang kedua adalah terapi okupasional (Occupational Therapist atau OT),
diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas
sehari-hari seperti mandi, memakai baju, makan dan buang air. Terapi yang
ketiga adalah terapi wicara dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan
penderita dalam menelan makanan dan minuman dengan aman serta dapat
berkomunikasi dengan orang lain.
Rehabilitasi Mental Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah
emosional yang dapat mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih,
mudah tersinggung, tidak bahagia, murung dan depresi. Masalah emosional
yang mereka alami akan mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk
menjalani proses rehabilitasi. Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan
terapi mental dengan melakukan konsultasi dengan psikiater atau ahki
psikologi klinis.
55

Rehabilitasi Sosial Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk


membantu penderita stroke menghadapi masalah sosial seperti, mengatasi
perubahan gaya hidup, hubungan perorangan, pekerjaan, dan aktivitas
senggang. Selain itu, petugas sosial akan memberikan informasi mengenai
layanan komunitas lokal dan badan-badan bantuan sosial.

XV. Komplikasi
a. Komplikasi Akut
Kenaikan tekanan darah. Keadaan ini biasanya merupakan mekanisme kompensasi
sebagai upaya mengejar kekurangan pasokan darah di tempat lesi. Oleh karena itu
kecuali bila menunjukkan nilai yang sangat tinggi (sistolik > 220/ diastolik >130)
tekanan darah tidak perlu diturunkan, karena akan turun sendiri setelah 48 jam. Pada
pasien hipertensi kronis tekanan darah juga tidak perlu diturunkan segera.
Kadar gula darah. Pasien stroke seringkali merupakan pasein DM sehingga kadar
glukosa darah pasca stroke tinggi. Akan tetapi seringkali terjadi kenaikan glukosa
darah pasein sebagai reaksi kompensasi atau akibat mekanisme stress.
Gangguan jantung. Baik sebagai penyebab maupun sebagai komplikasi. Keadaan ini
memerlukan perhatian khusus, karena seringkali memperburuk keadaan stroke
bahkan sering merupakan penyebab kematian.
Gangguan respirasi. Baik akibat infeksi maupun akibat penekanan di pusat napas.
Infeksi dan sepsis. Merupakan komplikasi stroke yang serius pada ginjal dan hati.

b. Komplikasi Kronik
Akibat tirah baring lama di tempat tidur bias terjadi pneumonia, dekubitus, infeksi
saluran kemih, inkontinensia serta berbagai akibat imobilisasi lain.
Deep Vein Thrombosis (DVT)
Deep vein thrombosis (DVT) atau trombosis vena dalam adalah penggumpalan darah
yang terjadi di dalam pembuluh darah vena dalam. Kondisi ini umumnya muncul
pada pembuluh vena besar yang terdapat di bagian paha dan betis. Tubuh yang tidak
bergerak dalam jangka waktu yang cukup lama menyebabkan darah cenderung
berkumpul pada tungkai bawah, seperti pada betis dan paha.
56

Rekurensi stroke.
Gangguan sosial-ekonomi.
Gangguan psikologis.
XVI. Prognosis
Untuk menentukan prognosis dari penyakit stroke dilihat dari bagaimana kondisi umum pasien
disertai dengan faktor-faktor risiko penyertanya. Perawatan yang tepat dan maksimal dapat
membantu meminimalisir perburukan pada pasien dengan penyakit stroke. Secara umum
perbaikan stroke digambarkan sebagai berikut:
1) 10% mengalami pemulihan hampir sempurna
2) 25% mengalami pemulihan dengan kelemahan minimal
3) 40% mengalami pemulihan sedang sampai berat tanpa membutuhkan perawatan
khusus
4) 15% membutuhkan perawatan oleh perawat pribadi atau di fasilitas keperawatan
jangka panjang lainnya.
5) 10% langsung meninggal setelah serangan stroke

Anda mungkin juga menyukai