PENDAHULUAN
Ikterus (jaundice) berasal dari bahasa Greek, yang berarti kuning. Ikterus
adalah gambaran klinis berupa perubahan warna pada kulit dan mukosa yang menjadi
kuning karena adanya peningkatan konsentrasi bilirubin dalam plasma, yang
mencapai lebih dari 2 mg/dl. Terdapat 3 jenis ikterus berdasarkan lokasi
penyebabnya, yaitu ikterus prahepatik (hemolitik), ikterus intrahepatik
(parenkimatosa), dan ikterus ekstrahepatik (obstruktif). Pada ikterus obstruktif,
kemampuan produksi bilirubin adalah normal, namun bilirubin yang dibentuk tidak
dapat dialirkan ke dalam usus melalui sirkulasi darah oleh karena adanya suatu
sumbatan (obstruksi).
Pada banyak pasien ikterus dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium yang sederhana, diagnosis dapat
ditegakkan. Namun tidak jarang diagnosis pasti masih sukar ditetapkan, sehingga perlu
difikirkan berbagai pemeriksaan lanjutan. Diagnosis ikterus bedah atau obstruksi bilier
umumnya dapat ditegakkan dengan anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti
serta tes laboratorium. Walaupun demikian, sarana penunjang imaging yang non-
invasif seperti ultrasonografi; CT Scan abdomen dan pemeriksaan yang invasif seperti
percutaneous transhepatic cholangiography (PTC), endoscopic retrograde cholangio
pancreatography (ERCP) sering diperlukan untuk menentukan letak, kausa dan luas
1
dari lesi obstruksinya. Dengan kemajuan yang pesat di bidang endoskopi
gastrointestinal maka ERCP dan PTC telah berkembang dari satu modalitas dengan
tujuan diagnosis menjadi tujuan terapi pada ikterus bedah.
Umumnya, ikterus non-obstruktif tidak membutuhkan intervensi bedah,
sementara ikterus obstruktif biasanya membutuhkan intervensi bedah atau prosedur
intervensi lainnya untuk pengobatan, sehingga sering juga disebut sebagai surgical
jaundice, dimana morbiditas dan mortalitas sangat tergantung dari diagnosis dini
dan tepat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Ikterus (jaundice) berasal dari bahasa Greek, yang berarti kuning.
Ikterus adalah gambaran klinis berupa perubahan warna pada kulit dan
mukosa yang menjadi kuning karena adanya peningkatan konsentrasi bilirubin
dalam plasma, yang mencapai lebih dari 2 mg/dl. Terdapat 3 jenis ikterus
berdasarkan lokasi penyebabnya, yaitu ikterus prahepatik (hemolitik), ikterus
intrahepatik (parenkimatosa), dan ikterus ekstrahepatik (obstruktif). Ikterus
obstruktif merupakan ikterus yang disebabkan oleh adanya obstruksi pada
sekresi bilirubin pada jalur post hepatik, yang dalam keadaan normal
seharusnya dialirkan ke traktus gastrointestinal.1
3
Hepar merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh dan mempunyai
banyak fungsi. Tiga fungsi dasar hepar, yaitu: (1) membentuk dan
mensekresikan empedu ke dalam traktus intestinalis; (2) berperan pada
metabolism yang berhubungan dengan karbohidrat, lemak, dan protein; (3)
menyaring darah untuk membuang bakteri dan benda asing lain yang masuk
ke dalam darah dari lumen intestinum.
Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak dibagian atas cavitas
abdominalis tepat dibawah diafragma. Hepar terbagi menjadi lobus hepatis
dekstra dan lobus hepatis sinistra. Lobus hepatis dekstra terbagi lagi menjadi
lobus caudatus dan lobus quadratus.
Porta hepatis, atau hilus hepatis, terdapat pada fasies visceralis dan
terletak diantara lobus caudatus dan quadratus, bagian atas ujung bebas
omentum minus melekat pada pinggir-pinggir porta hepatis. Pada tempat ini
terdapat duktus hepatikus dekstra dan sinistra, ramus dekstra dan sinistra
arteri hepatica, vena porta hepatica, serta serabut-serabut saraf simpatis dan
parasimpatis. Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena sentralis dari masing-
masing lobulus bermuara ke vena hepatica. Di dalam ruangan diantara
lobulus-lobulus terdapat kanalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria
hepatica, vena porta hepatis, dan sebuah cabang duktus koledokus (trias
hepatis). Darah arteria dam vena berjalan diantara sel-sel hepar melalui
sinusoid dan dialirkan ke vena sentralis.
4
2.2.2 Vesika biliaris
5
2.3 HISTOLOGI SISTEM HEPATOBILIER3
2.3.1 Hepar
Hepar terdiri atas unit-unit heksagonal, yaitu lobulus hepatikus. Di
bagian tengah setiap lobulus terdapat sebuah vena sentralis, yang dikelilingi
secara radial oleh lempeng sel hepar, yaitu hepatosit, dan sinusoid kearah
perifer. Sinusoid hati dipisahkan dari hepatosit dibawahnya oleh spatium
perisinusoideum subendotelial.
Hepatosit mengeluarkan empedu ke dalam saluran yang halus disebut
kanalikulus biliaris yang terletak diantara hepatosit. Kanalikulus menyatu di
tepi lobulus hati di daerah porta sebagai duktus biliaris. Duktus biliaris
kemudian mengalir ke dalam duktus hepatikus yang lebih besar yang
membawa empedu keluar dari hati. Di dalam lobulus hati, empedu mengalir
di dalam kanalikulus biliaris ke duktus biliaris ke daerah porta, sementara
darah dalam sinusoid mengalir ke dalam vena sentralis. Akibatnya, empedu
dan darah tidak bercampur.
6
Gambar 2.4 Sel hepar
Fase Pre-hepatik
1) Pembentukan bilirubin.
Bilirubin berasal dari katabolism protein heme, dimana 75%
berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari penghancuran
eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin,
sitokrom, katalase, dan peroksidase. Pembentukannya berlangsung di
sistem retikoloendotelial. Langkah oksidase pertama adalah biliverdin
yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase.
7
Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi
bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik
dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
2) Transport plasma
Selanjutnya bilirubin yang telah dibentuk akan diangkut ke hati
melalui plasma, harus berikatan dengan albumin plasma terlebih
dahulu oleh karena sifatnya yang tidak larut dalam air.
Fase Intra-Hepatik
3) Liver uptake
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai permukaan
sinusoid hepatosit, terjadi proses ambilan bilirubin oleh hepatosit
melalui ssistem transpor aktif terfasilitasi, namun tidak termasuk
pengambilan albumin. Setelah masuk ke dalam hepatosit, bilirubin
akan berikatan dengan ligandin, yang membantu bilirubin tetap larut
sebelum dikonjugasi.
4) Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati (bilirubin tak
terkonjugasi) akan mengalami konjugasi dengan asam glukoronat
yang dapat larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan
enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-T)
membentuk bilirubin konjugasi, sehingga mudah untuk diekskresikan
ke dalam kanalikulus empedu.
Fase Post-Hepatik
5) Ekskresi bilirubin
Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan ke dalam kanalikulus
empedu melalui proses mekanisme transport aktif yang diperantarai
oleh protein membran kanalikuli, dikenal sebagai multidrug-resistance
associated protein-2 (MRP-2).
8
Setelah bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam kandung
empedu, bilirubin kemudian memasuki saluran cerna. Sewaktu
bilirubin terkonjugasi mencapai ileum terminal dan usus besar,
glukoronida dikeluarkan oleh enzim bakteri khusus, yaitu -
glukoronidase, dan bilirubin kemudian direduksi oleh flora feses
menjadi sekelompok senyawa tetrapirol tak berwarna yang disebut
urobilinogen. Di ileum terminal dan usus besar, sebagian kecil
urobilinogen direabsorpsi dan diekskresi ulang melalui hati sehingga
membentuk siklus urobilinogen enterohepatik. Pada keadaan normal,
urobilinogen yang tak berwarna dan dibentuk di kolon oleh flora feses
mengalami oksidasi menjadi urobilin (senyawa berwarna) dan
diekskresikan di tinja.
9
2.5 EPIDEMIOLOGI
Ikterus obstruktif dapat ditemukan pada semua kelompok umur.
Insidens di Amerika Serikat diperikirakan mencapai 5 kasus per 1000 pasien.
Hatfield et al, melaporkan bahwa kasus ikterus obstruktif terbanyak adalah
70% karena karsinoma kaput pankreas, 8% pada batu common bile duct, dan
2% adalah karsinoma kandung empedu.
2.6 ETIOLOGI
Penyebab ikterus obstruktif secara garis besar terbagi menjadi 2
bagian, yaitu ikterus obstruksi intrahepatik dan ikterus obstruktif
ekstrahepatik. Ikterus obstruktif intrahepatik pada umumnya terjadi pada
tingkat hepatosit atau membran kanalikuli bilier sedangkan ikterus obstruktif
ekstrahepatik, terjadinya ikterus disebabkan oleh karena adanya sumbatan
pada saluran atau organ diluar hepar. Adapun penyakit yang menyebabkan
terjadinya ikterus obstruktif adalah sebagai berikut:
10
Insidens tumor ganas primer saluran empedu pada penderita dengan
kolelitiasis dan tanpa kolelitiasis, pada penderita laki-laki dan
perempuan tidak berbeda. Umur kejadian rata-rata 60 tahun, tetapi
tidak jarang didapatkan pada usia muda. Jenis tumor kebanyakan
adenokarsinoma pada duktus hepatikus atau duktus koledokus.7
c. Atresia bilier
Terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga
menyebabkan hambatan aliran empedu, sehingga terjadi peningkatan
kadar bilirubin direk. Atresia bilier merupakan penyebab kolestatis
ekstrahepatik neonatal yang terbanyak. 7
d. Tumor kaput pankreas
Tumor eksokrin pankreas pada umumnya berasal dari sel duktus dan
sel asiner. Sekitar 90% merupakan tumor ganas jenis adenokarsinoma
duktus pankreas, dan sebagian besar kasus (70%) lokasi kanker adalah
pada kaput pankreas. Pada stadium lanjut, kanker kaput pankreas
sering bermetastasis ke duodenum, lambung, peritoneum, hati, dan
kandung empedu.7
2.7 PATOFISIOLOGI
Ikterus secara umum terbagi menjadi 3, yaitu ikterus prehepatik,
ikterus hepatik, dan ikterus posthepatik atau yang disebut ikterus obstruktif.
Ikterus obstruktif disebut juga ikterus posthepatik karena penyebab terjadinya
ikterus ini adalah pada daerah posthepatik, yaitu setelah bilirubin dialirkan
keluar dari hepar.
Pada ikterus obstruktif, terjadi obstruksi dari pasase bilirubin direk
sehingga bilirubin tidak dapat diekskresikan ke dalam usus halus dan
akibatnya terjadi aliran balik ke dalam pembuluh darah. Akibatnya kadar
bilirubin direk meningkat dalam aliran darah dan penderita menjadi ikterik.
11
Ikterik paling pertama terlihat adalah pada jaringan ikat longgar seperti
sublingual dan sklera. Karena kadar bilirubin direk dalam darah meningkat,
maka sekresi bilirubin dari ginjal akan meningkat sehingga urine akan
menjadi gelap dengan bilirubin urin positif. Sedangkan karena bilirubin yang
diekskresikan ke feses berkurang, maka pewarnaan feses menjadi berkurang
dan feses akan menjadi berwarna pucat seperti dempul (acholis).7
12
1) Batu Empedu,7,8,9,10
Pada penyakit batu empedu, umumnya sebagian besar pasien tidak
menunjukan gejala klinis (asimptomatik) yang dalam perjalanan
penyakitnya dapat tetap asimptomatik selama bertahun-tahun dan sebagian
kecil dapat berkembang menjadi simptomatik. Kurang dari 50% penderita
batu empedu mempunyai gejala klinis.
Manifestasi klinis yang sering terjadi diantaranya adalah mengeluhkan
adanya kolik biliaris dan nyeri hebat pada epigastrium dan kuadran kanan
atas abdomen yang menjalar hingga ke punggung atau bahu kanan,
terutama setelah makan.
Serangan kolik bilier ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu
yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran
oleh empedu, menyebabkan tekanan di duktus biliaris meningkat dan
terjadi peningkatan kontraksi di tempat penyumbatan yang mengakibatkan
timbulnya nyeri visera pada daerah epigastrium dan kuadran kanan atas
abdomen.
Nyeri pada kuadran kanan atas abdomen dikarenakan implikasi pada
saraf yang mempersarafi vesika felea, yaitu plexus coeliacus. Nyeri yang
akan diterima oleh saraf aferen mengikuti saraf simpatis. Nyeri ini akan
berjalan melui plexus coeliacus dan nervus sphlangnicus mayor menuju ke
medulla spinalis. Proses peradangan dapat menyebabkan plexus coeliacus
terjepit, sehingga nyeri dapat menyebar dan mengenai peritoneum parietal
dinding anterior abdomen atau diafragma bagian perifer. Hal ini
menyebabkan nyeri somatik dirasakan dikuadran kanan atas dan berjalan
ke punggung bawah angulus inferior skapula, serta radang yang mengenai
peritoneum parietal bagian sentral yang dipersarafi oleh nervus frenikus
(C3, C4, C5) akan menyebabkan nyeri di daerah bahu sebab kulit di
daerah bahu mendapat persarafan dari nervus supraklavikularis (C3, C4).
13
Nyeri hebat ini sering disertai dengan rasa mual dan muntah.
Perangsangan mual dapat diakibatkan oleh karena adanya obstruksi
saluran empedu sehingga mengakibatkan aliran balik cairan empedu ke
hepar menyebabkan terjadinya proses peradangan pada sekitar
hepatobilier yang bersifat iritatif di saluran cerna sehingga merangsang
nervus vagal dan menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis sehingga
terjadi penurunan pergerakan peristaltik sistem pencernaan di usus dan
lambung, menyebabkan makanan tertahan di lambung dan peningkatan
rasa mual yang mengaktifkan pusat muntah di medulla oblongata.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium dan daerah kuadran kanan atas abdomen. Tanda Murphy
positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu pasien menarik napas
panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari
tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas.
Koledokolitiasis dapat terjadi apabila batu berpindah tempat dari
kandung empedu dan menyumbat duktus koledokus. Sumbatan ini dapat
menyebabkan kolangitis atau pankreatitis akut. Pasien dengan
koledokolitiasis sering menunjukan gejala jaundice dan demam, selain
nyeri. Pasien juga dapat mengeluhkan adanya feses yang berwarna dempul
akibat retensi aliran bilirubin ke dalam saluran cerna akibat adanya
obstruksi, serta keluhan berupa urin berwarna cokelat gelap seperti teh
karena meningkatnya kadar ekskresi bilirubin ke dalam urin.
14
Bila tumor mengenai duktus koledokus, terjadi distensi kandung
empedu sehingga mudah diraba, sementara tumornya itu sendiri tidak dapat
diraba. Kandung empedu yang teraba dibawah pinggir iga pun tidak terasa
nyeri, dan penderita tampak ikterus karena obstruksi. Hepatomegali juga dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik. Apabila obstruksi empedu tidak diatasi,
hati akan menjadi sirosis, terdapat splenomegali, asites, dan perdarahan
varises esophagus.
3) Atresia bilier7,11
Merupakan suatu kelainan kongenital yang tidak diketahui etiologinya
secara pasti. Agaknya berhubungan dengan kolangiohepatitis intrauteri yang
mungkin disebabkan oleh virus. Saluran empedu mengalami proses fibrosis
dan proses ini sering berjalan terus setelah bayi lahir dengan prognosis
umumnya buruk.
Terdapat dua jenis atresia bilier, yaitu ekstrahepatik dan intrahepatik.
Bentuk intrahepatik lebih jarang dibandingkan ekstrahepatik. Gejala klinis
dan patologis atresia bilier ekstrahepatik bergantung pada proses berawalnya
penyakit, apakah jenis embrional atau jenis perinatal, dan bergantung pada
saat diagnosisnya.
Jenis embrional atau fetal merupakan sepertiga penderita. Proses yang
merusak saluran empedu berawal sejak masa intrauteri dan berlangsung
hingga saat bayi lahir. Pada jenis ini tidak ditemukan masa bebas ikterus
setelah periode ikterus neonatorum fisiologis (dua minggu pertama kelahiran).
Jenis kedua adalah jenis perinatal yang ditemukan pada dua pertiga
kasus. Ikterus muncul kembali secara progresif setelah ikterus fisiologis
hilang beberapa waktu. Jadi, perbedaan patofisiologis utama antara jenis
embrional dengan perinatal ialah saat mulainya kerusakan saluran empedu
yang progresif.
15
Neonatus yang menderita ikterus obstruktif intrahepatik maupun
ekstrahepatik, menunjukkan ikterus, urin berwarna kuning gelap, tinja
berwarna dempul (akolik), dan hepatomegali.
16
2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan laboratorium12
a. Pemeriksaan rutin
- Darah : Perlu diperhatikan jumlah leukosit, bila jumlahnya
meningkat, maka berarti terdapat infeksi. Perhatikan juga apakah
terdapat peningkatan prothrombin time (PT) atau tidak, karena
apabila prothrombin time meningkat, maka perlu dicurigai adanya
penyakit hepar, atau obstruksi bilier.
- Urin : Penting untuk mengetahui apakah warna urin merah kecoklatan
seperti teh secara makroskopis, serta terdapat kandungan bilirubin
dalam urin atau tidak. Apabila urin berwarna gelap kecoklatan, perlu
dicurigai adanya peningkatan kadar bilirubin direk yang
diekskresikan melalui urin yang mengarah pada ikterus obstruktif.
- Feses : untuk mengetahui apakah feses berwarna dempul atau tidak.
Feses yang berwarna dempul, menandakan bahwa terdapatnya
gangguan aliran bilirubin direk ke dalam saluran intestinal akibat
adanya suatu sumbatan pada aliran empedu.
17
Apabila nilai albumin menurun, maka perlu dicurigai adanya
gangguan fungsi hepar, infeksi kronis, edema, ascites, sirosis,
serta perdarahan.
Alanin Aminotransferase (ALT/SGOT)
Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada hati. ALT juga
terdapat pada jantung, otot, dan ginjal, namun ALT lebih banyak
terdapat di dalam hati, dan lebih spesifik menunjukan fungsi hati
daripada AST. Apabila terjadi peningkatan kadar ALT, maka
perlu dicurigai adanya penyakit hepatoseluler, sirosis aktif,
obstruksi bilier, dan hepatitis. Nilai peningkatan yang signifikan
adalah adalah dua kali lipat dari nilai normal.
Aspartase Aminotransferase (AST/SGPT)
AST merupakan enzim yang memiliki aktivitas metabolism yang
tinggi, ditemukan di jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfe,
pankreas dan paru-paru. Penyakit yang menyebabkan perubahan,
kerusakan, atau kematian sel pada jaringan tersebut akan
mengakibatkan enzim ini terlepas ke dalam sirkulasi. Apabila
terjadi peningkatan, dapat dicurigai adanya penyakit hati,
pancreatitis akut, juga penyakit jantung seperti MI.
Gamma Glutamil Transferase (Gamma GT)
GGT terutama terdapat pada hati dan ginjal. GGT merupakan
enzim marker spesifik untuk fungsi hati dan kerusakan kolestatis
dibandingkan ALP. GGT adalah enzim yang diproduksi di saluran
empedu sehingga meningkat nilainya pada gangguan empedu,
seperti kolesistitis, koletiasis, sirosis, atresia bilier, obstruksi
bilier. GGT sangat sensitif tetapi tidak spesifik. Jika terjadi
peningkatan hanya kadar GGT (bukan AST, ALT) bukan menjadi
indikasi kerusakan hati.
18
Alkali fosfatase
Enzim ini merupakan enzim yang berasal dari tulang, hati, dan
plasenta. Konsentrasi tinggi dapat ditemukan dalam kanalikuli
bilier, ginjal, dan usus halus. Pada penyakit hati, kadar alkali
fosfatase akan meningkat karena ekskresinya terganggu akibat
obstruksi saluran bilier.
Bilirubin
Peningkatan kadar bilirubin indirek lebih sering terjadi akibat
adanya penyakit hepatoseluler, sedangkan apabila terjadi
peningkatan bilirubin direk biasanya terjadi karena adanya
obstruksi pada aliran ekskresi empedu.
2) Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang
menyebabkan ikertus obstruktif, dan merupakan langkah awal sebelum
melangkah ke pemeriksaan yang lebih lanjut apabila diperlukan. Yang
perlu diperhatikan adalah:
a. Besar, bentuk, dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk kandung
empedu yang normal adalah lonjong dengan ukuran 2-3 x 6 cm, dengan
ketebalan sekitar 3 mm.
b. Saluran empedu yang normal mempunyai diameter 3 mm. bila saluran
empedu lebih dari 5 mm berarti terdapat dilatasi. Apabila terjadi sumbatan
pada daerah duktus biliaris, yang paling sering terjadi adalah pada bagian
distal, maka akan terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan cepat
kemudian diikuti pelebaran bagian proksimal. Perbedaan obstruksi letak
tinggi atau letak rendah dapat dibedakan. Pada obstruksi letak tinggi atau
intrahepatal, tidak tampak pelebaran duktus biliaris komunis. Apabila
terlihat pelebaran duktus biliaris intra dan ekstra hepatal, maka ini disebut
dengan obstruksi letak rendah (distal).
19
c. Ada atau tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai densitas
tinggi disertai bayangan akustik (acoustic shadow), dan ikut bergerak pada
perubahan posisi, hal ini menunjukan adanya batu empedu. Pada tumor,
akan terlihat masa padat pada ujung saluran empedu dengan densitas
rendah dan heterogen.
d. Apabila terdapat kecurigaan penyebab ikterus obstruktif adalah karena
karsinoma pankreas, dapat terlihat adanya pembesaran pankreas lokal
maupun menyeluruh, perubahan kontur pankreas, penurunan ekhogenitas,
serta dapat ditemukan adanya pelebaran duktus pankreatikus.
20
- Kista duktus koledokus
b. Pemeriksaan pada penyakit pankreas atau diduga ada kealainan
pancreas serta untuk menentukan kelainan, baik jinak ataupun ganas,
seperti:
- Keganasan pada sistem hepatobilier
- Pankreatitis kronis
- Tumor panreas
- Metastase tumor ke sistem biliaris atau pancreas
21
2.10 TATALAKSANA7
Tatalaksana ikterus sangat tergantung pada penyakit dasar
penyebabnya. Jika penyebabnya adalah penyakit hepatoseluler, biasa ikterus
akan menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Jika penyebabnya
adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan tindakan
pembedahan.
22
dalam hati dengan saluran cerna dilakukan dengan menjahitkan yeyunum
ke permukaan hilus hati. Apabila atresia hanya terbatas pada duktus
hepatikus komunis, sedangkan kandung empedu dan duktus sitikus serta
duktus koledokus paten, maka cukup kandung empedu saja yang
disambung dengan permukaan hati di daerah hilus. Pada bayi dengan
atresia saluran empedu yang dapat dikoreksi langsung, harus dilakukan
anastomosis mukosa dengan mukosa antara sisa saluran empedu dan
duodenum atau yeyunum.
Komplikasi pascabedah adalah kolangitis berulang yang timbul pada
30-60% penderita yang dapat hidup lama. Kolangitis umumnya mulai
timbul 6-9 bulan setelah dibuat anastomosis. Pengobatan kolangitis adalah
dengan pemberian antibiotik selama dua minggu.
Jika dilakukan transplantasi hati, keberhasilan transplantasi hati
setelah satu tahun berkisar antara 65-80%. Indikasi transplantasi hati
adalah atresia bilier intrahepatik yang disertai gagal hati.
23
Gambar 2.6 Prosedur Whipple
2.11 PROGNOSIS
Diagnosis dini dan pengobatan memainkan peran penting dalam
prognosis pasien dengan ikterus obstruksi. Beberapa faktor termasuk
kelompok usia tua, durasi ikterus, penyebab oleh keganasan, tingginya tingkat
bilirubin dan komplikasi pasca operasi (misalnya sepsis, koagulopati, koma
hepatik dan gagal ginjal) dilaporkan dengan tingkat kematian yang tinggi
pada pasien ikterus obstruksi. Prognosis ikterus obstruksi tergantung penyakit
dasarnya. Pasien ikterus obstruksi dengan etiologi Ca.Caput Pankreas
prognosa nya buruk jika kanker telah menyebar ke organ atau jaringan yang
jauh. Pada pasien ikterus obstruksi dengan etiologi sumbatan batu seperti
koledokolitiasis prognosisnya jauh lebih baik.14
24
BAB III
PENUTUP
Ikterus adalah gambaran klinis berupa perubahan warna pada kulit dan
mukosa yang menjadi kuning karena adanya peningkatan konsentrasi bilirubin dalam
plasma, yang mencapai lebih dari 2 mg/dl, dimana ikterus obstruktif merupakan
ikterus yang disebabkan oleh adanya obstruksi pada sekresi bilirubin pada jalur post
hepatik, yang dalam keadaan normal seharusnya dialirkan ke traktus gastrointestinal.
Umumnya, ikterus non-obstruktif tidak membutuhkan intervensi bedah, sementara
ikterus obstruktif biasanya membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi
lainnya untuk pengobatan, sehingga sering juga disebut sebagai surgical jaundice,
dimana morbiditas dan mortalitas sangat tergantung dari diagnosis dini dan tepat.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap keadaan fisiologi, disertai dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang tepat diharapkan
dapat menegakkan diagnosis yang tepat sehingga dapat ditentukan tatalaksana apa
yang terbaik untuk pasien.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Sulaiman, Ali. Pendekatan klinis pada pasien ikterus. In: Aru W Sudoyo, et al.
Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid 1. 5th Ed. Jakarta: Penerbitan FKUI;
2007.p.420-3.
2. Snell, Richard S. Anatomi klinik. 6th Ed. Jakarta: Penerbitan buku kedokteran
EGC; 2006.p.240-7, 288-91.
3. Eroschenko, Victor P. Dygestive system: liver, gallbladder, and pancreas. In:
Difiores atlas of histology with functional correlations. 11th Ed. USA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
4. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, et al. The liver bilirubinemias. In:
Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. United States of America:
Mc Graw Hill; 2007.p.297-8.
5. Murray RK, Granner DK. Biokimia Harper. 27th ed. Jakarta: EGC;
2005.p.285-300.
6. Aditya PM, Suryadarma IGA. Laporan kasus: sirosis hepatis. Bali: Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana; 2012.
7. Sjamsuhidajat, R. Buku ajar ilmu bedah. 3th Ed. Jakarta: Penerbitan buku
kedokteran EGC; 2010.p254-7,663-7,672-82,717-82.
8. Silbernagl S, Lang F. Teks & atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: Penerbitan
buku kedokteran EGC; 2006.p.140,166.
9. Widiastuty AS. Patogenesis batu empedu. Palembang: Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah; 2010.
10. Schwartz Si. Manifestations of gastrointestinal disease. In: Principles of
surgery. 5th Ed. Singapore: McGraw-Hill; 1989.p.1091-1099.
11. Purnomo B, Hegar B. Biliary atresia in infants with cholestasis. Jakarta:
Fakultas kedokteran universitas Indonesia; 2008.
12. Pedoman interpretasi data klinik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2011.p15-26, 56-62.
13. Lesmana. Endoscopic retrograde cholangio pancreatography diagnostic dan
terapeutik pada obstruksi bilier. Available at: http://www.kalbe.co.id.
Accessed on May 29th 2015.
14. Rani A, Simadibrata M, Syam AF. Pendekatan dan Penatalaksanaan Gejala
dan Sindrom Klinik di Bidang Gantroenterologi dalam Buku Ajar
Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1. Jakarta: Interna Publising. 2011.
26