Antropologi Hukum Dalam Menyelesaikan Pe
Antropologi Hukum Dalam Menyelesaikan Pe
PENDAHULUAN
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu.
Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja
yang mengandung arti Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan,
sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah orang
yang berdiam di sebelah barat. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal
To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang
besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan
kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal
kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lilina Lapongan Bulan Tana
Matariallo arti harfiahnya adalah Negri yang bulat seperti bulan dan
matahari. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara
dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja
hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran
tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke
dataran tinggi.
Dalam pokok makalah ini akan dibahas lebih dalam tentang mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan perselisihan di masyarakat suku toraja.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut sejarah Toraja umumnya dahulu kala seluruh daerah Tana Toraja
menghormati dan mentaati peradilan dengan Tarian pitu karena berpangkal
pada ajaran Aluk Todolo yang menyatakan bahwa peradilan demikian sejak
dari dulu kala memang sudaha daerah adat, yang menurut mitos peradilan
pitu serta sejarah peradilan di Tana Toraja terjadi dahulunya di atas langit
pada waktu nenek pertama manusia belum turun ke bumi.
Itulah sebabnya maka seluruh masyarakat Toraja yang masih menganut Aluk
Todolo sangat yakin dan percaya akan kekuatan dan kedudukan dari Tarian
Pitu tersebut, yang dalam melaksanakannya harus terlebih dahulu dimintakan
doa berkat dan kekuatan kepada sang Maha Kuasa serta dengan sumpah
dan kutuk pula oleh penghulu Aluk Todolo kemudian peradilan ini
dilaksanakan.
Juga peradilan dengan cara Tarian Pitu ini dilakukan jikalau tiba-tiba di suatu
tempat tidak terdapat orang lain/pihak lain sebagai penengah dalam
perselisihan dua orang yang berselisih, maka keduanya memilih saja salah
satu dari ketujuh bentuk peradilan dari tarian Pitu, dan keduanya
2
menyandarkan atau mendoakan kepada Yang maha Kuasa agar diberkati
dalam perselisihan dengan penyelesaian cara melakukan Tarian Pitu.
Jika kedua yang berselisih terus melakukannya tanpa ada orang lain yang
menyaksikannya, dan setelahs elesai ada pihak yang ternyata kalah, maka
keduanya mentaatinya sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak dan
ditaati keduanya.
Tarian Pitu tidak lain dari pada cara pertarungan secara langsung kedua pihak
yang berselisih tanpa bantuan orang lain yang dilakukan dalam waktu singkat
saja terus diketahui siapa yang bersalah atau kalah dan siapa yang benar
atau menang, yang keduanya puas serta mentaatinya, karena diyakini telah
mendapat berkat dari Tuhan yang maha Kuasa.
2. Siukkunan, yaitu satu cara peradilan dimana kedua belah pihak yang
berselisih disuruh menyelam bersama-sama ke dalam air sungai dan barang
siapa yang lebih dulu muncul di permukaan air maka dialah yang kalah dalam
perselisihan, yang juga sebelum melakukan itu keduanya disumpah lebih dulu
3
oleh penghulu Aluk Todolo. Hasil pertarungan dengan menyelam ini segera
diumumkan oleh dewan adat sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak
atau berkekuatan tetap.
4. Silondongan, yaitu suatu cara peradilan dari dua orang atau pihak yang
berselisih dimana kedua belah pihak memilih satu ayam jantan masing
masing kemudian diserahkan kepada penghulu Aluk Todolo untuk dikutuk dan
didoakan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kedua ayam itu dipakaikan
taji atau pisau, dan dipertarungkan pada saat itu juga dihadapan Dewan Adat
dimana kedua belah pihak yang bersengketa itu berada.Menurut keyakinan
mereka itu bahwa orang yang benar ayamnya akan menang dan orang yang
salah ayamnya akan kalah atau mati. Dan hasil pertarungan ayam ini segera
diumumkan oleh Dewan Adat yang menghadirinya yang oleh kedua belah
pihak mentaatinya sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan
tetap. Dahulu peradilan Silondongan ini tidak memakai pisau atau taji tetapi
sekarang sudah memakai taji karena jikalau tidak memakai taji perkelahian
dari dua ayam itu berlangsung lama dan tidak segera memberi keputusan.
Menurut mithos dari peradilan silondongan ini adalah memang peradilan yang
sudah terjadi di atas langit yang kemudian diturunkan ke bumi pada nenek
manusia diikuti seterusnya oleh manusia.
5. Sibiangan atau siretek, yaitu suatu cara peradilan yang sama dengan
cara loterei dengan mempergunakan dua bila biang (semacam bambu) yang
diberi tanda sebagai tanda pilihan dari orang yang bersengketa yaitu seorang
memilih belakangnya dan seorang memilih mukanya, dan kedua pihak
berselisih duduk berhadapan di depan penghulu aluk todolo untuk menerima
kata kata sumpah dan doa bahwa barang siapa yang salah akan kalah dan
barang siapa yang benar akan menang atau selalu terbuka pilihannya. Cara
demikian dilakukan tiga kali berturut yaitu biang dibuang dan siapa yang
kurang pilihannya terbuka maka dia akan dinyatakan kalah yaitu dengan
perbandingan dua banding satu (2:1) dan atau tiga berbanding nol (3 :0), dan
yang mempunyai angka lebih banyak dialah yang dinyatakan benar dan
4
segera diumumkan sebagai keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan
tetap.
6
2.2 Kelembagaan Suku Toraja
Komunitas atau Lembang merupakan sebuah wilayah Masyarakat Hukum
Adat yang mempunyai struktur dan perangkat lembaga adat yang dinamakan
Tongkonan dan dipimpin oleh Pemangku Adat atau To Parenge.
7
Kombongan kalua sang lepongan bulan (Musyawarah Agung),
kombongan seluruh Tana Toraja yang merumuskan dan memusyawarahkan
aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang. Kombongan tersebut sesuai
tingkatan dan urgensinya dapat dihadiri oleh seluruh masyarakat Toraja di
Tana Toraja atau di luar Tana Toraja. Oleh karena pertimbangan efesiensi,
maka kombongan tersebut dihadiri oleh wakil atau utusan dari masing-masing
kelompok jadi berlaku demokrasi perwakilan.
8
atau menyangkut hubungan dengan Karopi lainnya, maka akan diajukan ke
Kombongan Kalua. Kombongan tersebut sesuai fungsinya menunjuk
beberapa pemuka sebagai Adat Pendamai atau Peradilan Adat.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebelum pemerintah Hindia Belanda menguasai Tana Toraja yaitu sebelum
tahun 1906, di Tana Toraja berlaku peradilan adat Toraja yang dinamakan
Tarian Pitu atau Ra Pitu (tujuh bentuk peradilan) yang sampai sekarang
masih sering berlaku atau dilaksanakan pada pengadilan adat di tempat yang
jauh dari kota dimana sudah berlaku peradilan yang diatur oleh hukum
pengadilan negeri.
3.2 Saran
Saran kami ialah, dalam suatu kasus perselisihan alangkah baiknya segala
sesuatunya dilaksanakan secara damai baik itu secara pribadi, kekeluargaan,
dan bermusyawarah sebab jalur yang ditempuh akan jauh lebih mudah dan
cepat tanpa menimbulkan kerugian serta menghapus segala sesuatu hal yang
akan timbul dikemudian hari
10