Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa.
Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu.
Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja
yang mengandung arti Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan,
sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah orang
yang berdiam di sebelah barat. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal
To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang
besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan
kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal
kemudian dengan Tana Toraja.

Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lilina Lapongan Bulan Tana
Matariallo arti harfiahnya adalah Negri yang bulat seperti bulan dan
matahari. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).

Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara
dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja
hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran
tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke
dataran tinggi.

Dalam pokok makalah ini akan dibahas lebih dalam tentang mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan perselisihan di masyarakat suku toraja.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara penyelesaian perselisihan di Toraja?

2. Bagaimana sruktur kelembagaannya?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Cara Penyelesaian Perselisihan Di Masyarakat Suku Toraja


Sebelum pemerintah Hindia Belanda menguasai Tana Toraja yaitu sebelum
tahun 1906, di Tana Toraja berlaku peradilan adat Toraja yang dinamakan
Tarian Pitu atau Ra Pitu (tujuh bentuk peradilan) yang sampai sekarang
masih sering berlaku atau dilaksanakan pada pengadilan adat di tempat yang
jauh dari kota dimana sudah berlaku peradilan yang diatur oleh hukum
pengadilan negeri.

Tujuh bentuk peradilan tersebut adalah cara mengadili atau menyelesaikan


persengketaan atau pertentangan dari dua pihak yang bersengketa yang tak
dapat lagi diselesaikan bersama dengan mempergunakan saksi-saksi dan
bukti bukti yang nyata yang dipergunakan oleh peradilan adat mendamaikan
atau menyelesaikan persengketaan, maka diberikan kesempatan kepada
kedua belah pihak yang bersengketa memilih salah satu dari ketujuh bentuk
peradilan yang sudah tertentu itu untuk mengakhiri atau menyelesaikan
perselisihan itu serta mendapatkan keputusan yang berlaku mutlak atau
berkekuatan tetap.

Menurut sejarah Toraja umumnya dahulu kala seluruh daerah Tana Toraja
menghormati dan mentaati peradilan dengan Tarian pitu karena berpangkal
pada ajaran Aluk Todolo yang menyatakan bahwa peradilan demikian sejak
dari dulu kala memang sudaha daerah adat, yang menurut mitos peradilan
pitu serta sejarah peradilan di Tana Toraja terjadi dahulunya di atas langit
pada waktu nenek pertama manusia belum turun ke bumi.

Itulah sebabnya maka seluruh masyarakat Toraja yang masih menganut Aluk
Todolo sangat yakin dan percaya akan kekuatan dan kedudukan dari Tarian
Pitu tersebut, yang dalam melaksanakannya harus terlebih dahulu dimintakan
doa berkat dan kekuatan kepada sang Maha Kuasa serta dengan sumpah
dan kutuk pula oleh penghulu Aluk Todolo kemudian peradilan ini
dilaksanakan.

Juga peradilan dengan cara Tarian Pitu ini dilakukan jikalau tiba-tiba di suatu
tempat tidak terdapat orang lain/pihak lain sebagai penengah dalam
perselisihan dua orang yang berselisih, maka keduanya memilih saja salah
satu dari ketujuh bentuk peradilan dari tarian Pitu, dan keduanya

2
menyandarkan atau mendoakan kepada Yang maha Kuasa agar diberkati
dalam perselisihan dengan penyelesaian cara melakukan Tarian Pitu.

Jika kedua yang berselisih terus melakukannya tanpa ada orang lain yang
menyaksikannya, dan setelahs elesai ada pihak yang ternyata kalah, maka
keduanya mentaatinya sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak dan
ditaati keduanya.

Tarian Pitu tidak lain dari pada cara pertarungan secara langsung kedua pihak
yang berselisih tanpa bantuan orang lain yang dilakukan dalam waktu singkat
saja terus diketahui siapa yang bersalah atau kalah dan siapa yang benar
atau menang, yang keduanya puas serta mentaatinya, karena diyakini telah
mendapat berkat dari Tuhan yang maha Kuasa.

Tarian Pitu yang dimaksudkan tersebut di atas adalah masing-masing:

1. Si Pentetean tampo/Sibata Tungga (perang tanding satu lawan satu),


yaitu satu cara peradilan dari Tarian pitu yang paling berat karena perkelahian
atau pertarungan satu lawan satu dengan menggunakan Tombak atau
pedang yang tajam, yang dilakukan di atas pematang sawah dimana kiri
kanannya digenangi air, atau dengan cara membuatkan satu kurungan dalam
bentuk persegi empat yang dipagar kuat-kuat dan kedua orang yang
brsengketa mengadu kekuatan dan ketangkasannya dalam kurungan atau
gelanggang tersebut. Sebelum melakukan perkelahian keduanya disumpah
oleh penghulu Aluk Todolo atau Tominaa dengan doa barang siapa yang tidak
benar akan hancur dan kalah dan yang benar tidak akan apa-apa,
sesudahnya digiring masuk ke gelanggang dengan disaksikan oleh keluarga
kedua belah pihak. Pelaksanaan Sipentetean Tampo atau Sibata Tungga ini
dihadiri pula oleh dewan pemerintah adat dimana keduanya mengadakan
pertarungan itu, yang dalam waktu beberapa menit saja terjadi kurban dari
kedua orang yang bertarung yang ada kalanya seorang kurban tetapia daerah
ada pula yang kedua-duanya kurban (gugur). Hasil dari pertarungan itu
setelah selesai segera diumumkan oleh dewan adat siapa yang kalah dan
siapa yang menang dimana seluruh keluarganya menerima sebagai suatu
keputusan yang berlaku mutlak, karena didasarkan atas keyakinan mereka
bahwa kebenaran yang berbicara yang dalam masyarakat Toraja dikatakan
Mapesalu artinya sesuai kebenaran.

2. Siukkunan, yaitu satu cara peradilan dimana kedua belah pihak yang
berselisih disuruh menyelam bersama-sama ke dalam air sungai dan barang
siapa yang lebih dulu muncul di permukaan air maka dialah yang kalah dalam
perselisihan, yang juga sebelum melakukan itu keduanya disumpah lebih dulu

3
oleh penghulu Aluk Todolo. Hasil pertarungan dengan menyelam ini segera
diumumkan oleh dewan adat sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak
atau berkekuatan tetap.

3. Sipakoko, yaitu suatu cara peradilan dimana dua orang


bersengketa/berselisih disuruh mencelupkan tangan ke dalam air panas yang
mendidih, juga didahului dengan doa dan kutuk dari penghulu Aluk Todolo
kemudian secara serentak keduanya mencelupkan tangan ke dalam air
panas, dan barang siapa yang lebih dahulu menarik tangannya dari dalam air
panas, maka dialah yang dinyatakan kalah dalam perselisihan itu yang
hasilnya segera diumumkan oleh dewan adat sebagai keputusan yang
berlaku mutlak dan berkekuatan tetap.

4. Silondongan, yaitu suatu cara peradilan dari dua orang atau pihak yang
berselisih dimana kedua belah pihak memilih satu ayam jantan masing
masing kemudian diserahkan kepada penghulu Aluk Todolo untuk dikutuk dan
didoakan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kedua ayam itu dipakaikan
taji atau pisau, dan dipertarungkan pada saat itu juga dihadapan Dewan Adat
dimana kedua belah pihak yang bersengketa itu berada.Menurut keyakinan
mereka itu bahwa orang yang benar ayamnya akan menang dan orang yang
salah ayamnya akan kalah atau mati. Dan hasil pertarungan ayam ini segera
diumumkan oleh Dewan Adat yang menghadirinya yang oleh kedua belah
pihak mentaatinya sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan
tetap. Dahulu peradilan Silondongan ini tidak memakai pisau atau taji tetapi
sekarang sudah memakai taji karena jikalau tidak memakai taji perkelahian
dari dua ayam itu berlangsung lama dan tidak segera memberi keputusan.
Menurut mithos dari peradilan silondongan ini adalah memang peradilan yang
sudah terjadi di atas langit yang kemudian diturunkan ke bumi pada nenek
manusia diikuti seterusnya oleh manusia.

5. Sibiangan atau siretek, yaitu suatu cara peradilan yang sama dengan
cara loterei dengan mempergunakan dua bila biang (semacam bambu) yang
diberi tanda sebagai tanda pilihan dari orang yang bersengketa yaitu seorang
memilih belakangnya dan seorang memilih mukanya, dan kedua pihak
berselisih duduk berhadapan di depan penghulu aluk todolo untuk menerima
kata kata sumpah dan doa bahwa barang siapa yang salah akan kalah dan
barang siapa yang benar akan menang atau selalu terbuka pilihannya. Cara
demikian dilakukan tiga kali berturut yaitu biang dibuang dan siapa yang
kurang pilihannya terbuka maka dia akan dinyatakan kalah yaitu dengan
perbandingan dua banding satu (2:1) dan atau tiga berbanding nol (3 :0), dan
yang mempunyai angka lebih banyak dialah yang dinyatakan benar dan

4
segera diumumkan sebagai keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan
tetap.

6. Sitempoan yang biasa disebut sisumpah, yaitu dua orang yang


berselisih disuruh mengucapkan sumpah keduanya dihadapan dewan adat
dimana doa = sumpah diucapkan oleh penghulu aluk todolo lebih dahulu
kemudian diulangi dengan tidak salah salah oleh yang bersengketa
bergantian, yang isinya antara lain: Puang matua, deata titanan Tallu
Esungganna, Tomembali puang laun rimpina lan tangngana padang sia tang
laun pasitirona kameloan sia kamanamanan sae lakona ketangumpokadana
tang tongan, ...dst. Artinya: Tuhan sang pencipta, Dewa-dewa sang
pemeliharaan tiga serangkai dan leluhur akan menghancurkan aku dan
penghidupanku serta akan mengutuk aku selama lamanya jikalau aku tidak
berkata benar, ...dst. Dalam mengucapkan sumpah demikian itu, juga
menyebut jangka waktu berlakunya sumpah sebagai waktu tempat menunggu
akibat-akibat dari sumpah seperti orangnya mati atau suatu malapetaka yang
menimpa dirinya. Jangka waktu yang berlaku dalam menunggu hasil dari
sumpah yang telah dilakukan itu, oleh masyarakat Toraja mengenal jangka
waktu itu dalam 3 (tiga) hari, 6 (enam (hari), 30 (tiga puluh) hari, atau setahun
padi (sekali panen). Perhitungan waktu-waktu tersebut dia ini adalah
perhitungan waktu yang lasim dan selalu dipergunakan dalam pembagian
waktu di Tana Toraja . Peradilan cara demikian berlaku pula pada dua orang
yang bersengketa dimana tak ada orang lain sebagai penengah yang
dinamakan Sisumpah atau Sipenggatan, yaitu keduanya menyumpah diri
berganti-ganti, yang sangat banyak kejadiannya di dalam masyarakat Toraja
dengan memegang barang yang menjadi sengketa lalu bersumpah kedua
orang yang sedang memegang barang itu. Peradilan sitempoan ini mulai
mengalami perubahan sewaktu pengaruh-pengaruh dari luar masuk di Tana
Toraja karena cara demikian itu dianggap terlalu kejam karena jikalau dikalah
dalam Sitempoan berarti dikalah dua kali yaitu sudah korban dan kemudian
dikalah lagi, maka waktu pengaruh Islam mulai masuk yang disusul dengan
pengaruh peradilan pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa
pengambilan sumpah adalah pembuktian kebenaran masalah, dan jikalau
seseorang bersedia disumpah maka sumpahnya itu dipercaya dan
ketidakbenarannya atau sumpah palsunya sudah ditebus dengan pertaruhan
nyawanya. Karena peradilan Sitempoan sudah berubah statusnya sejak
beberapa puluh tahun, maka peradilan ini tidak ditakuti lagi oleh masyarakat,
karena dianggap sudah agak enteng yaitu asal jangan dikalah biarlah
disumpah saja sekalipun ada akibatnya nanti, dan inilah menyebabkan
timbulnya sumpah palsu. Pengambilan sumpah pada peradilan adat Toraja
masih sering pula terjadi di antara orang yang bersengketa tetapi
5
pelaksanaannya sama dengan cara cara pengambilan sumpah pada
peradilan negeri.

7. Sirari Sangmelambi, yaitu satu cara peradilan dalam bentuk perang


kelompok yang hanya dilakukan pada subuh dan pagi hari (sirari= perang;
sangmelambi= sepagi). Perang sepagi atau Sirari sangmelambi ini adalah
bentuk peradilan yang paling akhir terjadi dari pada Tarian Pitu tersebut yaitu
peradilan yang menggantikan peradilan adu kekuatan dengan tarik menarik
dan tolak menolak seperti yang pernah terjadi dalam pembagian daerah
Padang di Puangngi Tallu lembangna, pertarungan adu kekuatan merebut
kedudukan yang teratas. Sirari Sangmelambi ini ialah seorang atau satu
pihak mengarak atau mengumpulkan pengikut lalu menentukan batas untuk
diperebutkan siapa yang dapat melintasinya. Sirari Sangmelambi ini benar-
benar perang mempertahankan daerah tertentu yang dilalukan hanya pada
subuh sampai matahari terbit harus dihentikan. Masing-masing pihak
mempertahankan daerahnya dimana terdapat satu pihak penengah yang
akan menyaksikan peperangan sepagi itu serta mengawasi jikalau sudah ada
diantara yang berperang itu korban, dan jikalau dalam perang terus ada yang
korban terus pihak penengah yang mengikutinya berteriak sebagai tanda
berhenti karena sudah ada bukti kekalahan yang dikatakan Todomo Damo
artinya sudah ada yang luka. Pihak yang luka dinyatakan terus kalah
sekalipun kekuatannya lebih besar, dan pada saat itu peperangan terus
dihentikan, dan ada yang luka itu dikatakan kalah perang dan disebut To
Ditalo (orang yang kalah), dan segera penguasa adat sebagai penengah
mengumumkan siapa yang kalah itu. Sirari Sangmelambi itu biasanya
dilakukan oleh satu rumpun keluarga atau oleh satu penguasa adat terhadap
penguasa adat lainnya yang Sirari Sangmelambi ini sangat besar akibatnya
tidak sama dengan Tarian Pitu yang lain tersebut diatas. Sering terjadi yang
kalah harus menyerahkan seluruh harta bendanya kepada yang menang, dan
penyerahan harta keseluruhan itu dikatakan di pakalao. Sirari sangmelambi
itu sering terjadi pada waktu mulai berkecamuknya perang saudara di Tana
Toraja yaitu sekitar tahun 1800 sampai pada datangnya pemerintahan
Belanda.

6
2.2 Kelembagaan Suku Toraja
Komunitas atau Lembang merupakan sebuah wilayah Masyarakat Hukum
Adat yang mempunyai struktur dan perangkat lembaga adat yang dinamakan
Tongkonan dan dipimpin oleh Pemangku Adat atau To Parenge.

Sejak dari To Puan dalam perkembangannya sekarang ini ada beberapa


aspek yang sangat mendasar serta melembaga dalam pergaulan sosial suku
Toraja, yakni :

a) Hidup berkelompok dalam suatu komunitas yang dinamakan Lembang


b) Ada pemimpin atau yang dituakan dan;
c) Nilai demokrasi melalui Kombongan merupakan kekuasaan yang
tertinggi (untesse batu mapipang).

Adapun disamping itu, terdapat suatu yang dinamakan Kombongan, yaitu


mempunyai arti sebagai wadah yang mengawal dinamika adat sesuai
perubahan kebutuhan masyarakatnya. Sejak To Banua Puan, maka salah
satu ciri yang mendasar dalam komunitas adalah musyawarah yang
dinamakan Kombongan.

Pada saat ini Kombongan tersebut sudah melembaga dari generasi ke


generasi. Semboyan Kombongan yaitu Untesse batu mapipang artinya
dapat memecahkan batu cadas yang mempunyai makna bahwa apapun dan
bagaimanapun asal disetujui melalui Kombongan dapat merubah, menghapus
atau membuat aturan adat yang baru. Hasil Kombongan setelah disahkan
merupakan adat.

Prinsip tersebut sudah membudaya disetiap insan Toraja sehingga


dimanapun mereka berada di seluruh Nusantara hidup berkelompok dan
bermusyawarah tetap dipertahankan. Motto, Kada Rapa dan Kada Situru
(kesepakatan dan persetujuan) yaitu :

Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan


Kombongan Kalua meliputi seluruh Lembang
Kombongan Karopi dalam tiap Karopi
Kombongan Saroan dalam kelompok basis di bawah Karopi

7
Kombongan kalua sang lepongan bulan (Musyawarah Agung),
kombongan seluruh Tana Toraja yang merumuskan dan memusyawarahkan
aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang. Kombongan tersebut sesuai
tingkatan dan urgensinya dapat dihadiri oleh seluruh masyarakat Toraja di
Tana Toraja atau di luar Tana Toraja. Oleh karena pertimbangan efesiensi,
maka kombongan tersebut dihadiri oleh wakil atau utusan dari masing-masing
kelompok jadi berlaku demokrasi perwakilan.

Kombongan kalua sang lembangan, kombongan yang tertinggi dalam


wilyah adat misalnya Sang Nanggalan. Dilakukan setiap tahun atau apabila
ada hal yang penting atau khusus. Dihadiri oleh seluruh pemuka To Parenge
bersama pemuka adat dan masyarakat. Mekanisme dalam persidangan
sangat terbuka dan bebas dimana tiap peserta bebas mengeluarkan pendapat
namun pengambil keputusan oleh tiap Karopi melalui musyawarah dan
mufakat.

Musyawarah Kombongan Kalua dalam pengambilan keputusan berdasarkan


keterwakilan oleh To Parenge karena asumsi bahwa sudah ada proses di
tingkat Karopi sebelum terjun ke Kombongan Kalua. Seluruh keputusan dalam
Kombongan Kalua dibacakan kembali oleh To Dia dan akhiri dengan upacara
Potong Babi dan memakan nasi dari jenis padi berbulu yang berarti apabila
ada yang mengingkari hasil Kombongan, maka tulang babi akan menyumbat
lehernya dan bulu dari babi akan menusuk perut sehingga hasil kombongan
tersebut ditingkatkan kekuatannya menjadi Besse atau sumpah.

Hasil Kombongan Kalua disosialisasikan kembali oleh To Parenge atau


pemuka adat yang biasanya dilakukan pada saat upacara adat dan mengikat
seluruh warga Lembang sang Nanggalaan.

Kombongan Karopi di tingkat Karopi dinamakan Kombongan saja.


Dilaksanakan tiap tahun atau apabila ada hal yang khusus antar lain apabila
terjadi pelanggaran adat atau hasil kombongan kalua. Kombongan dihadiri
oleh seluruh warga dan dilaksanakan dengan demokratis. Dalam kombongan
tersebut tanpa melihat tingkatan dan golongan bebas berbicara sehingga
kadang-kadang terjadi perdebatan yang sengit. Di sini kecenderungan rakyat
meminta pertanggungjawaban dari To Parenge atas pelaksanaan adat dalam
wilayahnya sehingga biasanya kombongan menjadi ajang Pengadilan To
Parenge, namun karena kedudukan To Parenge serta mekanisme
pengangkatannya melalui usulan keluarga, maka sukar dijatuhkan namun To
Parenge dapat dikenakan denda atau didosa. Yang dibahas adalah aturan
adat yang berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang semuanya
berasal dari usulan masyarakat. Apabila ada yang tidak dapat diselesaikan

8
atau menyangkut hubungan dengan Karopi lainnya, maka akan diajukan ke
Kombongan Kalua. Kombongan tersebut sesuai fungsinya menunjuk
beberapa pemuka sebagai Adat Pendamai atau Peradilan Adat.

Kombongan Soroan, kombongan yang menyangkit aturan lokal dalam


wilayah kecil atau kelompok keluarga atau organisasi kemasyarakatan antara
lain organisasi jemaat gereja, koperasi kelompok atau wilayah sebesar RT.
Mengkaji dan membuat kesepakatan khususnya yang berkaitan dengan
gotong-royong kelompok atau menyelesaikan kasus tanah hak milik bersama
atas tanah atau hutan. Segala keputusan Kombongan diketahui oleh To
Parenge dan yang tidak terselesaikan di bawa ke Kombongan Karopi.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sebelum pemerintah Hindia Belanda menguasai Tana Toraja yaitu sebelum
tahun 1906, di Tana Toraja berlaku peradilan adat Toraja yang dinamakan
Tarian Pitu atau Ra Pitu (tujuh bentuk peradilan) yang sampai sekarang
masih sering berlaku atau dilaksanakan pada pengadilan adat di tempat yang
jauh dari kota dimana sudah berlaku peradilan yang diatur oleh hukum
pengadilan negeri.

Selain adanya tata cara penyelesaian perselisihan, adapula kelembagaan


dimana kelembagaan itu merupakan suatu wadah dalam hukum adat
masyarakat serta adanya kombongan dalam bermusyawarah.

3.2 Saran
Saran kami ialah, dalam suatu kasus perselisihan alangkah baiknya segala
sesuatunya dilaksanakan secara damai baik itu secara pribadi, kekeluargaan,
dan bermusyawarah sebab jalur yang ditempuh akan jauh lebih mudah dan
cepat tanpa menimbulkan kerugian serta menghapus segala sesuatu hal yang
akan timbul dikemudian hari

10

Anda mungkin juga menyukai