Standar HPK 2.3
Standar HPK 2.3
( BHD )
DEFINISI
Usaha yang dilakukan untuk memepertahankan kehidupan pada saat pasien atau korban
mengalami keadaan yang mengancam jiwa dikenal dengan Bantuan Hidup Dasar / Basic Life
Support (BLS) .Sedangkan bantuan yang diberikan pada pasien /korban yang dilakukan dirumah
sakit sebagai kelanjutan dari BHD disebut Bantuan Hidup Lanjut/ Advance Cardiac Life Support
(ACLS).
Yang dilakukan pada saat pertama kali menemukan pasien/korban adalah melakukan
penilaian dini. Jika dalam penilaian dini penolong menemukan gangguan pada salah satu dari
tiga komponen ini: tersumbatnya jalan nafas, tidak menemukan adanya nafas, tidak ada nadi,
Mati klinis, yaitu tidak ditemukan adanya pernafasan dan denyut nadi.Mati klinis dapat
Mati biologis, yaitu terjadi kematian sel, dimana kematian sel dimulai terutama sel otak
dan bersifat irreversible, biasa terjadi dalam waktu 8 10 menit dari henti jantung.Apabila
Bantuan Hidup Dasar dilakukan cukup cepat, kematian mungkin dapat dihindari.
Tujuan panduan ini berguna bagi seluruh staf dan karyawan di RS.Bhakti Yudha Depok
RUANG LINGKUP
INDIKASI
a. Henti napas
Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernapasan dari korban / pasien.Henti napas merupakan kasus yang harus dilakukan
Tenggelam
Stroke
Epiglotis
Overdosis obat-obatan
Tersengat listrik
Infark miokard
Tersambar petir
dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada
keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat agar korban dapat tetap hidup dan
b. Henti Jantung
Pada saat terjadi henti jantung secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti sirkulasi
ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya henti
jantung.
Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan:
2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang
mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP)
tindakan Kedokteran.
BAB III
TATA LAKSANA
1. Survei Primer ( Primary Survey ), yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
2. Survei Sekunder ( Secondary Survey ), yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis
Survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi serta defibrilasi.
Untuk dapat mengingatka dengan mudah tindakan survei primer dirumuskan dengan
Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak, penolong harus
melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran korban / pasien, dapat dengan
cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban / pasien dengan lembut dan
Jika ternyata korban / pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera
minta bantuan dengan cara berteriak Tolong !!! untuk mengaktifkan system
Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban / pasien harus dalam posisi
terlentang dan berada pada permukaan yang rata dank eras.Jika korban ditemukan
dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi korban ke posisi terlentang.Ingat!
Penolong harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala, leher dan
bahu digerakkan secara bersama-sa ma.Jika posisi sudah terlentang, korban harus
dipertahankan pada posisi horizontal dengan alas tidur yang keras dan kedua tangan
Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan napas dan
Ada tidaknya denyut jantung korban / pasien dapat ditentukan dengan meraba
arteri karotis didaerah leher korban / pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari
telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba
trachea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira-kira 1-2
Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban
Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan
bantuan sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung luar, dilakukan
Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak
tangan diatas telapak tangan yang lainnya pada mid sternum, hindari jari-jari
tangan menyentuh dinding dada korban / pasien, jari-jari tangan dapat
Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban
dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan
Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi tangan
Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30 : 2 dilakukan baik oleh
1 atau 2 penolong jika korban / pasien tidak terintubasi dan kecepatan kompresi
adalah 100 kali permenit (dilakukan 4 siklus permenit), untuk kemudian dinilai
Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60
80 mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac
output) hanya 25% dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari I
melakukan tindakan:
Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas
oleh benda asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau
sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah
yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras
Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada
korban tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan
menutup farink dan larink, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas.
Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara tengadah
kepala topang dagu (Head tilt - chin lift) dan maneuver pendorongan
orang awam dan petugas kesehatan adalah tengadah kepala topang dagu,
Dengan cara melihat pergerakan naik turunnya dada, mendengar bunyi napas dan
merasakan hembusan napas korban / pasien. Untuk itu penolong harus mendekatkan
telinga di atas mulut dan hidung korban atau pasien, sambal tetap mempertahankan
jalan napas tetap terbuka. Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10 detik.
Jika korban / pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke
mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan)
dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang
dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5 2 detik dan volume udara yang
dihembuskan adalah 400 500 ml (10 ml/kg) atau sampai dada korban / pasien
terlihat mengembang.
Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar
tercapai volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya
1. Mulut ke mulut.
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang cepat
Pada saat dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus
mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat
menutup seluruhnya mulut korban dengan baaik agar tidak terjadi kebocoran
saat menghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung
korban / pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar
kembali dari hidung. Volume udara yang diberikan pada kebanyakan orang
Volume udara yang berlebihan dan laju inspirasi yang terlalu cepat dapat
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak
luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong harus
3. Mulut ke stoma
D (DEFIBRILATION)
Gambar tindakan defibrilasi
Defibrilation atau dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah defibrilasi adalah suatu
terapi dengan memberikan energy listrik.Hal ini dilakukan jika penyebab henti jantung (cardiac
arrest) adalah kelainan irama jantung yang disebut dengan Fibrilasi ventrikel. Dimasa sekarang
ini sudah tersedia alat untuk defibrilasi (defibrillator) yang dapat digunakan oleh orang awam
yang disebutAutomatic external Defibrilation, dimana alat tersebut dapat mengetahui korban
henti henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi alat
tersebutdapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan defibrilasi atau melanjutkan
Orang awam hanya mempelajari cara melakukan BHD 1 penolong. Teknik BHD yang dilakukan
oleh 2 penolong menyebabkan kebingungan koordinasi. BHD 1 penolong pada orang awam
lebih efektif mempertahankan sirkulasi dan ventilasi yang adekuat, tetapi konsekuensinya akan
1. Penilai korban.
Tentukan kesadaran korban / pasien (sentuh dan goyangkan korban dengan lembut dan
3. Sirkulasi (CIRCULATION)
Periksa tanda-tanda adanya sirkulasi dengan memeriksa denyut nadi pada arteri karotis.
Jika ada tanda-tanda sirkulasi, da nada denyut nadi tidak dilakukan kompresi dada,
hanya menilai pernapasan korban / pasien (ada atau tidak ada pernapasan).
Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, denyut nadi tidak ada lakukan kompresi dada :
- Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali dengan kecepatan 100 kali per menit.
5. Pernapasan (BREATHING)
Nilai pernapasan untuk melihat ada tidaknya pernapasan dan adekuat atau tidak
Jika korban / pasien dewasa tidak sadar dengan napas spontan, serta tidak adanya
trauma leher (trauma tulang belakang) posisikan korban pada posisi mantap
Jika korban / pasien dewasa tidak sadar dan tidak bernapas lakukan bantuan napas.Di
Amerika Serikat dan dinegara lainnya bantuan napas awal sebanyak 2 kali,
sedangkan di Eropa, Australia, New Zaeland diberikan 5 kali. Jika pemberian napas
awal terdapat kesulitan, dapat dicoba dengan membetulkan posisi kepala korban atau
kali ventilasi, setiap kali membuka jalan napas untuk menghembuskan napas, jika
6. Penilaian Ulang
kembali,
Jika tidak ada nadi dilakukan kembali kompresi dan bantuan napas dengan ratio 30 : 2
Jika ada napas dan denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi mantap.
Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan napas sebanyak 8 10 kali
Jika sudah terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar jalan
napas tetap terbuka kemudian korban / pasien ditidurkan pada posisi sisi mantap.
BAB IV
DOKUMENTASI
Dengan ditetapkannya Pedoman Bantuan Hidup Dasar ini maka setiap Petugas di
RS.Bhakti Yudha Depok agar melaksanakan ketentuan ini dengan sebaik baiknya.
PANDUAN
DO NOT RESUCITATE
( DNR)
2015
BAB I
DEFINISI
1. Henti Jantung: adalah suatu kondisi dimana terjadi kegagalan jantung secara
a. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrilasi ventrikel, asistol, atau pulseless electrical
activity (PEA).
b. Untuk memperoleh RJP yang efektif, resusitasi harus dimulai sesegera mungkin (
c. Jika pasien ditemukan tidak bernapas, tidak adanya denyut nadi, dan pupil dilatasi
maksimal; hal ini bukanlah kejadian henti jantung dan tidak perlu dilakukan
tindakan resusitasi.
memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti
napas atau henti jantung. RJP diindikasikan untuk pasien yang tidak sadar, tidak
bernapas, dan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sirkulasi; dan tidak
3. Tindakan Do Not Resucitate (DNR): adalah suatu tindakan dimana jika pasien
mengalami henti jantung dan atau napas, perawat tidak akan dipanggil dan tidak akan
a. Jika pasien mengalami henti jantung dan atau napas, lakukan asesmmeen segera
napas, dan sebagainya. Tidak perlu melakukan usaha bantuan hidup dasar maupun
lanjut.
b. DNR tidak berartisemua tatalaksana / penanganan aktif terhadap kondisi pasien
4. Fase / kondisi terminal penyakit : adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh cedera
atau penyakit, yang menurut perkiraan Dokter atau tenaga medis lainnya tidak dapat
kematian dalam rentang waktu yang singkat, dan di mana pengaplikasian terapi untuk
mengurangi nyeri/ penderitaan pasien. Hal ini termasuk : pemberian nutrisi, hidrasi,
dan kenyamanan, kecuali terdapat instruksi spesifik untuk menunda pemberian nutrisi
/ hidrasi.
TANGGUNG JAWAB
1. Manajer Medis dan Keperawatan: Memastikan setiap staf /petugas mengetahui dan
2. Staf / Petugas Rumah Sakit: Semua staf yang terlibat dalam pengambilan keputusan
dilaporkan pada berkas / formulir insidens sesuai dengan prosedur yang berlaku.
PRINSIP
1. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah dibuat
4. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti napas /
jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan jika hal ini
terjadi.
6. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada konsultan / dokter
umum yang bertanggung jawab atas pasien. Jika terdapat keraguan dalam mengambil
- RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernapasan pasien.
- Pasien dewasa yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk
- Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai pengambilan
- Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan alasan kuat.
dimana tindakan RJP tidak dapat menunda fase terminal / kondisi sekarat pasien
dan tidak memberikan keuntungan terapetik (risiko / bahayanya melebihi
keuntungannya).
i.Contoh : henti jantung / napas yang dialami pasien merupakan kejadian alamiah
akibat penyakit yang diderita. Pada kasus ini, RJP mungkin dapat
keseluruhan pasien dapat memburuk dan henti jantung / napas akan terjadi
kembali, yang merupakan bagian dari proses alamiah dan tidak dapat
ii.Melakukan RJP pada kasus di atas akan membahayakan / merugikan pasien dan
9. Pengambilan keputusan DNR harus merupakan langkah terbaik untuk pasien dan
harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak ada kewajiban secara etika untuk
10. Diskusi dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dan tergantung
11. Jika pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter dan pasien
mengenai tindakan DNR , dokter harus menghargai keinginan pasien (yang kompeten
secara mental)
12. Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di rekam medis
pasien.
13. Di rekam medis, harus tercantum:
keputusan)
Contoh :
14. Pada beberapa kasus, tidak terdapat batasan waktu pemberlakuan instruksi DNR,
15. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas di mana terdapat kesulitan
16. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan tatalaksana pasien
17. Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi kondisi sebagai berikut:
a. Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian / penderitaan yang
b. Pasien yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk mengambil
c. RJP bertentangan dengan keputusan dini / awal yang dibuat oleh pasien, yang
SURAT WASIAT)
1. Terdapat kebijakan dari pihak rumah sakit mengenai keputusan dini akan
3. Pasien dengan keputusan dini ini tetap diberikan terapi / penanganan lainnya,
5. Berikut adalah beberapa kondisi di mana perlu dilakukan diskusi dengan pasien:
c. Hal yang mendasari keputusan DNR adalah tidak adanya keuntungan dalam
6. Berikut adalah beberapa kondisi di mana tidak perlu dilakukan diskusi dengan
pasien:
menjadi depresi.
c. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka tidak ingin
keputusan.
b. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental untuk
mengambil keputusan.
c. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendiri atau
keluarga / kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan harus dicatat di rekam
medis.
8. Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus stas
izin pasien.
9. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan keluarga
/ wali sah pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan pasien. Jika
tidak terdapat keluarga / wali yang sah, keputusan dapat diambil oleh dokter
penanggungjawab pasien.
10. Jika terdapat situasi di mana pasien kehilangan kompetensinya untuk mengambil
keputusan tetapi telah membuat keputusan dini DNR sebelumnya yang valid,
11. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien, jika
a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan dini /
pasien)
c. Situasi / kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat diprediksi.
12. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan / maksudkan, perawat
harus bertindak sesuai dengan kepentingan / hal yang terbaik untuk pasien. Dapat
13. Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya karena mencari ada tidaknya
instruksi DNR pasien jika tidak terdapt indikasi jelas bahwa instruksi tersebut ada.
15. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang nyaman
memicu stress fisik (seperti sesak napas, muntah, inkontinentia), dan manajemen
16. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang dibawabertugas sebaiknya
17. Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal mengambil
keputusan DNR.
BAB II
RUANG LINGKUP
A. Resusitasi Jantung Paru (RJP) didefinisikan sebagai suatu sarana dalam memberikan
bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti napas atau henti
jantung. RJP diindikasikan untuk pasien yang tidak sadar, tidak bernapas, dan yang tidak
a. RJP merupakan suatu prosedur emergensi dan di rumah sakit biasanya telah dibentuk
b. Menurut statistik, tindakan RJP dilakukan sebanyak 1/3 dari 2 miliar kematian pasien
yang terjadi di rumah sakit Amerika Serikat setiap tahunnya. Proporsi dari tindakan
c. Dari pasien-pasien yang dilakukan RJP, sebanyak 1/3 nya berhasil, dan 1/3 dari
pasien-pasien yang berhasil ini dapat bertahan hingga pulang dari rumah sakit.
d. Tingkat keberhasilan RJP bergantun pada sifat dan derajat penyakit pasien.
e. Pada suatu studi di Rumah Sakit Boston, pasien dengan kanker lanjut yang telah
bermetastasis tidak ada yang dapat bertahan hidup hingga pulang dari rumah sakit.
Diantara pasien gagal ginjal, hanya 2% yang bertahan hidup sampai pulang dari
rumah sakit.
f. Biasanya pada pasien yang berhasil dilakukan RJP inisial tetapi meninggal sebelum
pulang dari rumah sakit, hamper selalu dirawat di Ruang Rawat Intensif (Intensive
dan tidak pernah kembali ke level normal sebelum terjadi henti jantung / napas,
beberapa mengalami kerusakan / cedera otak atau koma, dan beberapa lainnya jatuh
kembali ke dalam kondisi henti jantung / napas sehingga harus dilakukan RJP ulang.
k. Seringnya pasien yang berhasil dilakukan RJP masih mengalami kondisi yang sakit
B. Penting untuk mengidentifikasi pasien di mana terjadinya henti napas dan jantung
menandakan kondisi terminal penyakit pasien dan dimana usaha RJP tidak akan
C. Dalam menetapkan kebijakan DNR, penting untuk diketahui bahwa kebijakan ini harus
dipatuhi dan diikuti oleh seluruh tenaga kesehatan professional di tingkat primer, rumah
sakit, dan petugas / tim transfer intra dan antar tumah sakit.
D. Hak pasien untuk ,enolak RJP harus dihargai. Hal ini mungkin dikarenakan pasien
berpendapat bahwa dengan melakukan usaha RJP hanya akan memperpanjang kualitas
E. Kebijakan ini hanya berkaitan dengan usaha RJP, bukan dengan penundaan atau
pembatalan pemberian tatalaksana lainnya, seperti terapi antibiotik, nutrisi parenteral, dan
sebagainya.
BAB III
TATA LAKSANA
2. Kehadiran yang lengkap dari orang-orang yang ingin dilibatkan oleh pasien dalam
3. Komunikasi dan tatap mata sebaiknya sejajar dengan tinggi / posisi pasien.
4. Jika pasien tidak keberatan, ajaklah satu orang perawat untuk mendampingi diskusi.
b. Apa yang Anda ingin kami (perawat) lakukan jika suatu waktu Anda menjadi
d. Meskipun hal ini jarang terjadi, saya perlu untuk mempertimbangkan mengenai
tindakan apa yang harus kami lakukan jika jantung Anda berhenti.
penanganan yang ingin mereka terima jika mereka menjadi sangat sakit. Saya
ditegakkan.
b. Waktu diskusi yang terbaik adalah saat diagnosis dan prognosis sudah jelas dan
serta harapan dan keinginan pasien. Pasien dan keluarganya sering memiliki harapan /
10. Berikan informasi mengenai RJP menggunakan kata-kata sederhana yang dapat
11. Tingkat pemberian informasi harus dinilai dari respons dan pemahaman setiap pasien.
12. Jika tidak tercapai kesepakatan, berikan pendapat dari sudut pandang dokter
mengenai kondisi pasien dan tindakan RJP. Dapat dengan menyatakan: Pendapat
saya mungkin berbeda dengan apa yang Anda inginkan. Karena alasan itulah saya
pasien)
14. Catat sudut pandang pasien, nilai-nilai yang dianut oleh pasien, dan ruang lingkup
perawatan suportif. Banyak pasien yang merasa takut diabaikan / ditelantarkan dan
16. Petugas harus menekankan mengenai terapi-terapi mana saja yang akan tetap
diberikan, pasien masih akan tetap dikunjungi oleh dokter secara teratur,
18. Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk berdiskudi dengan dokter,
akan membuat pasien merasa dihargai dan menurunkan tingkat kecemasan / stress
pasien juga.
1. Tindakan pembedahan dan anestesi turut berkontribusi dalam perubahan kondisi medis
pasien denga keputusan DNR sebelumnya dikarenakan adanya perubahan fisiologis yang
2. Tindakan anestesi sendiri (baik regional ataupun umum), akan menimbulkan instabilitas
3. Angka keberhasilan RJP di kamar operasi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan di
ruang rawat inap (dimana keputusan DNR ini ditetapkan). Angka keberhasilan RJP di
5. Rekomendasi:
b. Lakukan peninjauan ulang keputusan DNR oleh anestesiologis dan dokter bedah
penanganan apa saja yang boleh dilakukan selama prosedur anestesi dan
pembedahan.
pembedahan, dan ditinjau ulang kembali saat pasien keluar dari ruang
pemberian anestesi.
lainnya.
Manipulasi sementara dalam menjaga jalan napas dan pernapasan
iii. Pilihan ketiga: keputusan DNR tetap berlaku (tidak ada perubahan).
f. Pilihan DNR ini harus dikomunikasikan kepada semua petugas medis yang
terlibat dalam perawatan pasien di dalam kamar operasi dan ruang pemulihan.
g. Secara hukum, yang berwenang untuk membuat keputusan DNR ini adalah:
i. Pasien dewasa yang kompeten secara mental
ii. Wali sah pasien (jika pasien tidak kompeten secara mental)
keputusan DNR dini / awal yang telah dibuat oleh pasien / wali sahnya).
h. Jika setelah diskudi, masih belum terdapat kesepakatan mengenai pilihan DNR
wali sahnya.
i. Jika terdapat keraguan atau ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang untuk
keputusan DNR dini / awal, atau terdapat terdapat keraguan mengenai tindakan
apa yang terbaik untuk pasien, segeralah mencari saran kepada komisi etik atau
j. Dalam kondisi gawat darurat, dokter harus membuat keputusan yang menurutnya
k. Pilihan keputusan DNR ini harus diaplikasikan selama pasien berada di kamar
l. Keputusan DNR ini haruslah ditinjau ulang saat pasien kembali ke ruang rawat
inap.
6. Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anestesi untuk intervensi operatif pada pasien
c. Pembedahan segera untuk kondisi yang berhubungan dengan penyakit kronis pasien
tetapi tidak dianggap sebagai suatu bagian dari proses terminal penyakitnya
a. Tidak selalu ada cukup waktu untuk melakukan peninjauan ulang mengenai
b. Akan tetapi, harus tetap dilakukan usaha untuk mengklasifikasi adanya keputusan
8. Fase pre-operatif
a. Lakukan diskusi antara pasien/ wali sah, keluarga, anestesiologis, dokter bedah,
komunikasi yang efektif, detail, dan terbuka dengan pasien, keluarga, dan
vi. Jika keputusan DNR telah dibuat dan disepakati, harus dicatat di rekam medis
keputusan dibuat.
vii. Lakukan prosedur pembedahan segera setelah keputusan dibuat dan kondisi
9. Fase intra-operatif
c. Semua petugas kamar operasi harus mengetahui mengenai pilihan keputusan DNR
yang diambil.
d. Dokter bedah dan anestesiologis yang terlibat dalam konsultasi pre-operatif harus
c. Faktanya, angka keberhasilan resusitasi lebih tinggi di dalam kamar operasi / selama
anestesi berlangsung.
d. Pada beberapa kasus, pasien atau orang tua menginginkan adanya pembatasan usaha
resusitasi yang digunakan sepanjang periode peri-operatif.
e. Pemberian anestesi sendiri melibatkan beberapa prosedur yang dapat dianggap
sebagai salah satu bagian dari usaha resusitasi, pemberian cairan dan obat-obatan
intravena, dan manajemen jalan napas dan ventilasi pasien.
f. Anestesiologi harus berdiskusi dengan pasiendan atau orang tua, menilai ulang status
DNR sebelum dilakukan prosedur pembedahan, dan mengkomunikasikan hasil
diskusi ini kepada seluruh petugas rumah sakit yang terlibat dengan perawatan
pasien selama periode intra-operatif dan pasca-operatif.
g. Terdapat 3 pilihaninstruksi DNR sebelum prosedur anestesi / pembedahan:
i. pilihan pertama: instruksi DNR dibatalkan untuk sementara (jika terjadi henti
napas / jantung, dilakukan usaha resusitasi sepenuhnya)
ii. pilihan kedua: resusitasi terbatas (spesifik terhadap prosedur). Pasien dilakukan
usaha resusitasi sepenuhnya kecuali prosedur spesifik, yaitu: kompresi dada,
kardioversi.
iii. pilihan ketiga: resusitasi terbatas (spesifik terhadap tujuan). Pasien dilakukan
usaha resusitasi hanya jika efek samping yang terjadi dianggap bersifat
sementara dan reversible, berdasarkan pertimbangan dokter bedah dan
anestesiologis.
h. Harus dicatat di rekam medis pasien.
i. Saat pasien keluar / dipindahkan dari ruang pemulihan, instruksi DNR ini harus
ditinjau ulang.
j. Jika pasien / orang tua memutuskan untuk tetap memberlakukan instruksi DNR selama
menjalani prosedur anestesi / pembedahan, dokter boleh menolak untuk
berpartisipasi dalam kasus ini. Pasien / keluarga harus mencari dokter lain yang
bersedia untuk merawat pasien.
BAB IV
DOKUMENTASI
1. Keputusan untuk tidak melakukan RJP harus dicatat di rekam medis pasien dan di
formulirDo Not Resuscitate (DNR) . Formulir DNR harus diisi dengan lengkap
dan disimpan di rekam medis pasien.
2. Alasan diputuskannya tindakan DNR dan orang yang terlibat dalam pengambilan
keputusan harus dicatat di rekam medis pasien dan formulir DNR. Keputusan harus
dikomukasikan kepada semua orang yang terlibat dalam aspek perawatan pasien,
termasuk dokter gigi, pediatrist, dan sebagainya.
3. Keputusan DNR harus diberitahukan saat pergantian petugas / pengoperan pasien ke
petugas / unit lainnya.
4. Di rekam medis, harus dicatat juga mengenai hasil diskusi dengan pasien dan keluarga
mengenai keputusan untuk tidak melakukan resusitasi.
5. Dokumentasi dan komunikasi yang efektif akan memastikan bahwa petugas / unit lain
mengetahui instruksi DNR ini (jika pasien ditransfer ke unit lain).
6. Petugas ambulans yang terlibat dalam transfer juga harus mengetahui akan instruksi
DNR ini.