Anda di halaman 1dari 41

PANDUAN

BANTUAN HIDUP DASAR

( BHD )

RS. BHAKTI YUDHA DEPOK

RS. BHAKTI YUDHA DEPOK


BAB I

DEFINISI

Usaha yang dilakukan untuk memepertahankan kehidupan pada saat pasien atau korban

mengalami keadaan yang mengancam jiwa dikenal dengan Bantuan Hidup Dasar / Basic Life

Support (BLS) .Sedangkan bantuan yang diberikan pada pasien /korban yang dilakukan dirumah

sakit sebagai kelanjutan dari BHD disebut Bantuan Hidup Lanjut/ Advance Cardiac Life Support

(ACLS).

Yang dilakukan pada saat pertama kali menemukan pasien/korban adalah melakukan

penilaian dini. Jika dalam penilaian dini penolong menemukan gangguan pada salah satu dari

tiga komponen ini: tersumbatnya jalan nafas, tidak menemukan adanya nafas, tidak ada nadi,

maka penolong harus segera melakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar.

Mati klinis, yaitu tidak ditemukan adanya pernafasan dan denyut nadi.Mati klinis dapat

reversible.Pasien/korban mempunyai kesempatan waktu selama 4-6 menit untuk dilakukan

resusitasi, sehingga memberikan kesempatan kedua system tersebut berfungsi kembali.

Mati biologis, yaitu terjadi kematian sel, dimana kematian sel dimulai terutama sel otak

dan bersifat irreversible, biasa terjadi dalam waktu 8 10 menit dari henti jantung.Apabila

Bantuan Hidup Dasar dilakukan cukup cepat, kematian mungkin dapat dihindari.

Tujuan panduan ini berguna bagi seluruh staf dan karyawan di RS.Bhakti Yudha Depok

dalam melaksanakan ketentuan tentang Bantuan Hidup Dasar.


BAB II

RUANG LINGKUP

INDIKASI

a. Henti napas

Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara

pernapasan dari korban / pasien.Henti napas merupakan kasus yang harus dilakukan

tindakan Bantuan Hidup Dasar.

Henti napas dapat terjadi pada keadaan :

Tenggelam

Stroke

Obstruksi jalan napas

Epiglotis

Overdosis obat-obatan

Tersengat listrik

Infark miokard

Tersambar petir

Koma akibat berbagai macam kasus


Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk kedalam darah untuk beberapa menit

dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada

keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat agar korban dapat tetap hidup dan

mencegah henti jantung.

b. Henti Jantung

Pada saat terjadi henti jantung secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti sirkulasi

ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.

Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya henti

jantung.

Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan:

1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.

2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang

mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP)

Peraturan yang terkait dengan Bantuan Hidup Dasar (BHD), yaitu:

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;

3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;

4. Peraturan Mentri Kesehatan RI Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan

tindakan Kedokteran.
BAB III

TATA LAKSANA

Resusitasi Jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu:

1. Survei Primer ( Primary Survey ), yang dapat dilakukan oleh setiap orang.

2. Survei Sekunder ( Secondary Survey ), yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis

dan paramedic terlatih dan merupakan lanjutan dari survey primer.

Survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi serta defibrilasi.

Untuk dapat mengingatka dengan mudah tindakan survei primer dirumuskan dengan

abjad C, A, B, dan D, yaitu:

C: Circulation (bantuan sirkulasi)


A: Airway (jalan napas)
B: Breathing (bantuan napas)
D: Defibrilation (terapi listrik)

Sebelum melakukan tahapan C = Circulation (bantuan sirkulasi), harus terlebih dahulu

dilakukan prosedur awal pada korban / pasien, yaitu:

1. Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong.

2. Memastikan kesadaran dari korban / pasien.

Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak, penolong harus

melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran korban / pasien, dapat dengan

cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban / pasien dengan lembut dan

mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan, sambal memanggil namanya

atau Pak !!! / Bu !!! / Mas !!!/ Mbak !!!


3. Meminta Pertolongan

Jika ternyata korban / pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera

minta bantuan dengan cara berteriak Tolong !!! untuk mengaktifkan system

pelayanan medis yang lebih lanjut.

4. Memperbaiki posisi korban / pasien

Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban / pasien harus dalam posisi

terlentang dan berada pada permukaan yang rata dank eras.Jika korban ditemukan

dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi korban ke posisi terlentang.Ingat!

Penolong harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala, leher dan

bahu digerakkan secara bersama-sa ma.Jika posisi sudah terlentang, korban harus

dipertahankan pada posisi horizontal dengan alas tidur yang keras dan kedua tangan

diletakkan di samping tubuh.

5. Mengatur posisi penolong

Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan napas dan

sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau menggerakkan lutut.

6. Lakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar


C (CIRCULATION) / Bantuan sirkulasi

Terdiri dari 2 tahapan :

1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban / pasien.

Ada tidaknya denyut jantung korban / pasien dapat ditentukan dengan meraba

arteri karotis didaerah leher korban / pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari

telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba

trachea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira-kira 1-2

cm, raba dengan lembut selama 5-10 detik.

Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban

dengan melakukan maneuver tengadah kepala topang dagununtuk menilai

pernapasan korban / pasien.Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan

jika bernapas pertahankan jalan napas.

2. Melakukan bantuan sirkulasi

Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan

bantuan sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung luar, dilakukan

dengan teknik sebagai berikut :

Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak

tangan diatas telapak tangan yang lainnya pada mid sternum, hindari jari-jari
tangan menyentuh dinding dada korban / pasien, jari-jari tangan dapat

diluruskan atau menyilang.

Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban

dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan

kedalaman penekanan berkisar minimal 2 inci (5 cm).

Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan

mengembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi dada.

Selang waktu yang dipergunakan untuk melepaskan kompresi harus sama

dengan pada saat melakukan kompresi. (50% Duty Cycle )

Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi tangan

pada saat melepaskan kompresi.

Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30 : 2 dilakukan baik oleh

1 atau 2 penolong jika korban / pasien tidak terintubasi dan kecepatan kompresi

adalah 100 kali permenit (dilakukan 4 siklus permenit), untuk kemudian dinilai

apakah perlu dilakukan siklus berikutnya atau tidak.

Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60

80 mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac

output) hanya 25% dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari I

menemukan pasien dan dilakukan prosedur dasar sampai dilakukannya

tindakan bantuan sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.


Gambar Posisi kompresi dada

A (AIRWAY) / Jalan Napas

Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan

melakukan tindakan:

1. Pemeriksaan jalan napas

Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas

oleh benda asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau

sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah

yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras

dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan.

Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan

berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.

Gambar Buka mulut dan finger sweep

2. Membuka jalan napas

Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada

korban tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan

menutup farink dan larink, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas.

Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara tengadah
kepala topang dagu (Head tilt - chin lift) dan maneuver pendorongan

mandibular. Teknik membuka jalan napas yang direkomendasikan untuk

orang awam dan petugas kesehatan adalah tengadah kepala topang dagu,

namun demikian petugas kesehatan harus dapat melakukan maneuver lainnya.

B (BREATHING) / Bantuan napas

Terdiri dari 2 tahap :

1. Memastikan korban / pasien tidak bernapas.

Dengan cara melihat pergerakan naik turunnya dada, mendengar bunyi napas dan

merasakan hembusan napas korban / pasien. Untuk itu penolong harus mendekatkan

telinga di atas mulut dan hidung korban atau pasien, sambal tetap mempertahankan

jalan napas tetap terbuka. Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10 detik.

2. Memberikan bantuan napas.

Jika korban / pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke

mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan)

dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang

dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5 2 detik dan volume udara yang
dihembuskan adalah 400 500 ml (10 ml/kg) atau sampai dada korban / pasien

terlihat mengembang.

Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar

tercapai volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya

16 17%.Penolong juga harus memperhatikan respon dari korban / pasien setelah

diberikan bantuan napas.

Cara memberikan bantuan pernapasan:

1. Mulut ke mulut.

Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang cepat

dan efektif untuk memberikan udara ke paru-paru korban / pasien.

Pada saat dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus

mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat

menutup seluruhnya mulut korban dengan baaik agar tidak terjadi kebocoran

saat menghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung

korban / pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar

kembali dari hidung. Volume udara yang diberikan pada kebanyakan orang

dewasa adalah 400 500 ml ( 10 ml/kg ).

Volume udara yang berlebihan dan laju inspirasi yang terlalu cepat dapat

menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung.


2. Mulut ke hidung

Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak

memungkinkan, misalnya pada trismus atau dimana mulut korban mengalami

luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong harus

menutup mulut korban / pasien.

3. Mulut ke stoma

Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma) yang

menghubungkan trachea langsung ke kulit.Bila pasien mengalami kesulitan

pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.

D (DEFIBRILATION)
Gambar tindakan defibrilasi

Defibrilation atau dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah defibrilasi adalah suatu

terapi dengan memberikan energy listrik.Hal ini dilakukan jika penyebab henti jantung (cardiac

arrest) adalah kelainan irama jantung yang disebut dengan Fibrilasi ventrikel. Dimasa sekarang

ini sudah tersedia alat untuk defibrilasi (defibrillator) yang dapat digunakan oleh orang awam

yang disebutAutomatic external Defibrilation, dimana alat tersebut dapat mengetahui korban

henti henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi alat

tersebutdapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan defibrilasi atau melanjutkan

bantuan napas dan bantuan sirkulasi saja.

MELAKUKAN BHD 1 DAN 2 PENOLONG

Orang awam hanya mempelajari cara melakukan BHD 1 penolong. Teknik BHD yang dilakukan

oleh 2 penolong menyebabkan kebingungan koordinasi. BHD 1 penolong pada orang awam

lebih efektif mempertahankan sirkulasi dan ventilasi yang adekuat, tetapi konsekuensinya akan

menyebabkan penolong cepat lelah.

BHD 1 penolong dapat mengikuti urutan sebagai berikut:

1. Penilai korban.

Tentukan kesadaran korban / pasien (sentuh dan goyangkan korban dengan lembut dan

mantap), jika tidak sadar, maka

2. Minta pertolongan serta aktifkan system emerge.

3. Sirkulasi (CIRCULATION)

Periksa tanda-tanda adanya sirkulasi dengan memeriksa denyut nadi pada arteri karotis.
Jika ada tanda-tanda sirkulasi, da nada denyut nadi tidak dilakukan kompresi dada,

hanya menilai pernapasan korban / pasien (ada atau tidak ada pernapasan).

Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, denyut nadi tidak ada lakukan kompresi dada :

- Letakkan telapak tangan pada posisi yang benar.

- Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali dengan kecepatan 100 kali per menit.

4. Jalan napas (AIRWAY)

Posisikan koban / pasien

Buka jalan napas dengan maneuver tengadah kepala topang dagu.

5. Pernapasan (BREATHING)

Nilai pernapasan untuk melihat ada tidaknya pernapasan dan adekuat atau tidak

pernapasan korban / pasien.

Jika korban / pasien dewasa tidak sadar dengan napas spontan, serta tidak adanya

trauma leher (trauma tulang belakang) posisikan korban pada posisi mantap

(Recovery position), dengan tetap menjaga jalan napas tetap terbuka.

Jika korban / pasien dewasa tidak sadar dan tidak bernapas lakukan bantuan napas.Di

Amerika Serikat dan dinegara lainnya bantuan napas awal sebanyak 2 kali,

sedangkan di Eropa, Australia, New Zaeland diberikan 5 kali. Jika pemberian napas

awal terdapat kesulitan, dapat dicoba dengan membetulkan posisi kepala korban atau

pasien, atau ternyata tidak bisa juga maka dilakukan :


- Untuk orang awam dapat dilanjutkan dengan kompresi dada sebanyak 30 kali dan 2

kali ventilasi, setiap kali membuka jalan napas untuk menghembuskan napas, jika

tidak bernapas lanjutkan kembali bantuan napas.

6. Penilaian Ulang

Sesudah 5 siklus ventilasi dan kompresi ( + 2 menit ) kemudian korban dievaluasi

kembali,

Jika tidak ada nadi dilakukan kembali kompresi dan bantuan napas dengan ratio 30 : 2

Jika ada napas dan denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi mantap.

Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan napas sebanyak 8 10 kali

permenit dan monitor nadi setiap saat.

Jika sudah terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar jalan

napas tetap terbuka kemudian korban / pasien ditidurkan pada posisi sisi mantap.
BAB IV

DOKUMENTASI

Dengan ditetapkannya Pedoman Bantuan Hidup Dasar ini maka setiap Petugas di

RS.Bhakti Yudha Depok agar melaksanakan ketentuan ini dengan sebaik baiknya.
PANDUAN

DO NOT RESUCITATE

( DNR)

RS. BHAKTI YUDHA DEPOK

RS. BHAKTI YUDHA DEPOK

2015
BAB I

DEFINISI

1. Henti Jantung: adalah suatu kondisi dimana terjadi kegagalan jantung secara

mendadak untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat.

a. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrilasi ventrikel, asistol, atau pulseless electrical

activity (PEA).

b. Untuk memperoleh RJP yang efektif, resusitasi harus dimulai sesegera mungkin (

< 3 menit setelah kejadian henti jantung).

c. Jika pasien ditemukan tidak bernapas, tidak adanya denyut nadi, dan pupil dilatasi

maksimal; hal ini bukanlah kejadian henti jantung dan tidak perlu dilakukan

tindakan resusitasi.

2. Resusitasi Jantung-Paru (RJP): didefinisikan sebagai suatu sarana dalam

memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti

napas atau henti jantung. RJP diindikasikan untuk pasien yang tidak sadar, tidak

bernapas, dan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sirkulasi; dan tidak

tertulis instruksi DNR di rekam medisnya.

3. Tindakan Do Not Resucitate (DNR): adalah suatu tindakan dimana jika pasien

mengalami henti jantung dan atau napas, perawat tidak akan dipanggil dan tidak akan

dilakukan usaha resusitasi jantung-paru dasar maupun lanjut.

a. Jika pasien mengalami henti jantung dan atau napas, lakukan asesmmeen segera

untuk mengidentifikasi penyebab dan memeriksa posisi pasien, patensi jalan

napas, dan sebagainya. Tidak perlu melakukan usaha bantuan hidup dasar maupun

lanjut.
b. DNR tidak berartisemua tatalaksana / penanganan aktif terhadap kondisi pasien

diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien ( misalnya terapi intravena,

pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR.

c. Semua perawatan mendasar harus terus dilakukan, tanpa kecuali.

4. Fase / kondisi terminal penyakit : adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh cedera

atau penyakit, yang menurut perkiraan Dokter atau tenaga medis lainnya tidak dapat

disembuhkan dan bersifat irreversible, dan pada akhirnya akan menyebabkan

kematian dalam rentang waktu yang singkat, dan di mana pengaplikasian terapi untuk

memperpanjang / mempertahankan hidup hanya akan berefek dalam memperlama

proses penderitaan / sekarat pasien.

5. Pelayanan paliatif: adalah pemberian dukungan emosional dan fisik untuk

mengurangi nyeri/ penderitaan pasien. Hal ini termasuk : pemberian nutrisi, hidrasi,

dan kenyamanan, kecuali terdapat instruksi spesifik untuk menunda pemberian nutrisi

/ hidrasi.

TANGGUNG JAWAB

1. Manajer Medis dan Keperawatan: Memastikan setiap staf /petugas mengetahui dan

mematuhi kebijakan ini, serta memastikan dilakukannya audit kebijakan DNR.

2. Staf / Petugas Rumah Sakit: Semua staf yang terlibat dalam pengambilan keputusan

tindakan DNR dan resusitasi memahami dan menerapkan kebijakan ini.

Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama proses ini berlangsung harus

dilaporkan pada berkas / formulir insidens sesuai dengan prosedur yang berlaku.
PRINSIP

1. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah dibuat

keputusan secara lisandan tertulis untuk tidak melakukan resusitasi (DNR).

2. Keputusan tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien.

3. Komunikasi yang baik sangatlah penting.

4. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti napas /

jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan jika hal ini

terjadi.

5. Pasien harus diberikan informasin selengkap-lengkapnya mengenai kondisi dan

penyakit pasien, prosedur RJP dan hasil yang mungkin terjadi.

6. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada konsultan / dokter

umum yang bertanggung jawab atas pasien. Jika terdapat keraguan dalam mengambil

keputusan, dapat meminta saran dari dokter senior.

7. RJP sebaiknya tidak dilakukan pada kondisi-kondisi berikut ini:

- RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernapasan pasien.

- Pasien dewasa yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk

mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.

- Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai pengambilan

keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP.

- Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan alasan kuat.

- Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal penyakitnya / sekarat,

dimana tindakan RJP tidak dapat menunda fase terminal / kondisi sekarat pasien
dan tidak memberikan keuntungan terapetik (risiko / bahayanya melebihi

keuntungannya).

i.Contoh : henti jantung / napas yang dialami pasien merupakan kejadian alamiah

akibat penyakit yang diderita. Pada kasus ini, RJP mungkin dapat

mengembalikan fungsi jantung- paru pasien secara sementaratetapi kondisi

keseluruhan pasien dapat memburuk dan henti jantung / napas akan terjadi

kembali, yang merupakan bagian dari proses alamiah dan tidak dapat

terhindarkan dari proses sekarat / kematian pasien.

ii.Melakukan RJP pada kasus di atas akan membahayakan / merugikan pasien dan

bertolak belakang dengan etika kedokteran (prinsip do no harm).

8. Semua pasien harus menjalani asesmen secara personal.

9. Pengambilan keputusan DNR harus merupakan langkah terbaik untuk pasien dan

harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak ada kewajiban secara etika untuk

mendiskusikan DNR dengan pasien-pasien yang menjalani perawatan paliatif

(dimana usaha RJP adalah sia-sia).

10. Diskusi dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dan tergantung

dengan kapasitas mental dan harapan hidup pasien.

11. Jika pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter dan pasien

mengenai tindakan DNR , dokter harus menghargai keinginan pasien (yang kompeten

secara mental)

12. Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di rekam medis

pasien.
13. Di rekam medis, harus tercantum:

a. Tulisan Pasien ini tidak dilakukan resusitasi

b. Tulisan tanggal dan waktu pengambilan keputusan

c. Indikasi / alasan tindakan DNR

d. Batas waktu berlakunya instruksi DNR

e. Nama dokter penanggungjawab pasien

f. Ditandatangani oleh dokter penanggungjawab pasien (yang mengambil

keputusan)

Contoh :

Tanggal 18 Mei 2014

Pukul 11.00 WIB

Tidak dilakukan RJP

Indikasi: syok kardiogenik

Batas waktu 24 jam

14. Pada beberapa kasus, tidak terdapat batasan waktu pemberlakuan instruksi DNR,

misalnya: keganasan fase terminal.

15. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas di mana terdapat kesulitan

pemahaman Bahasa, harus terdapat layanan penerjemah yang kompeten.

16. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan tatalaksana pasien

lainnya tetap dilakukan dengan optimal.

17. Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi kondisi sebagai berikut:
a. Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian / penderitaan yang

dirasakan pasien saat menjalani terapi melebihi keuntungan dilakukannya terapi.

b. Pasien yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk mengambil

keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP

c. RJP bertentangan dengan keputusan dini / awal yang dibuat oleh pasien, yang

bersifat valid dan matang, mengenai penolakan semua tindakan untuk

mempertahankan hidup pasien.

KEPUTUSAN DINI / AWAL (DAHULU DIKENAL DENGAN ISTILAH

SURAT WASIAT)

1. Terdapat kebijakan dari pihak rumah sakit mengenai keputusan dini akan

penolakan tindakan penyelamatan hidup / nyawa oleh pasien.

2. Dokter sebaiknya menghargai keputusan yang diambil oleh pasien (autonomi)

3. Pasien dengan keputusan dini ini tetap diberikan terapi / penanganan lainnya,

seperti pemberian obat-obatan, cairan infus, dan lain-lain.

4. Putuskanlah apakah diskusi mengenai keputusan DNR ini perlu dilakukan.

5. Berikut adalah beberapa kondisi di mana perlu dilakukan diskusi dengan pasien:

a. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka ingin

mendiskusikan tindakan DNR dengan dokternya.

b. Usaha RJP dianggap memiliki harapan untuk berhasil tetapi dapat

mengakibatkan kualitas hidup yang buruk bagi pasien.

c. Hal yang mendasari keputusan DNR adalah tidak adanya keuntungan dalam

hal medis. Diskusi harus ditekankan untuk membuat pasien menyadari,


memahami, dan menerima kondisi penyakitnya serta menerima hasil keputusan

yang telah didiskusikan. Diskusi juga membahas mengenai manajemen paliatif

dan prognosis secara keseluruhan.

6. Berikut adalah beberapa kondisi di mana tidak perlu dilakukan diskusi dengan

pasien:

a. Jika resusitasi dianggap tidak ada ginanya / sia-sia.

b. Diskusi berpengaruh buruk terhadap kesehatan pasien, misalnya pasien

menjadi depresi.

c. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka tidak ingin

mendiskusikan hal tersebut.

d. Pasien mengalami deteriorasi, misalnya pasien berada dalam fase sekarat /

terminal dari penyakitnya.

e. Pasien dinilai tidak memiliki kapasitas yang adekuat untuk mengambil

keputusan.

7. Pasien diperbolehkan untuk mengambil keputusan dini akan penolakan tindakan

penyelamatan hidup dengan memenuhi beberapa persyaratan dibawah ini:

a. Usia pasien harus > 18 tahun

b. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental untuk

mengambil keputusan.

c. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendiri atau

keluarga / kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan harus dicatat di rekam

medis.

d. Harus ditanda tangani oleh 2 orang, yaitu:


i.penulis / pembuat keputusan atau oleh orang lain atas nama pasien sambal

diarahkan oleh pasien (jika pasien tidak mampu menandatanganinya sendiri)

ii.1 (satu) orang lain sebagai saksi.

e. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat

keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain / terpisah, yang menyatakan

bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk tindakan / penanganan spesifik,

bahkan jika terdapat risiko kematian.

f. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus ditandatangani

dan disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien).

8. Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus stas

izin pasien.

9. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan keluarga

/ wali sah pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan pasien. Jika

tidak terdapat keluarga / wali yang sah, keputusan dapat diambil oleh dokter

penanggungjawab pasien.

10. Jika terdapat situasi di mana pasien kehilangan kompetensinya untuk mengambil

keputusan tetapi telah membuat keputusan dini DNR sebelumnya yang valid,

keputusan ini haruslah dapat dihargai.

11. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien, jika

terdapat hal-hal berikut ini:

a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan dini /

awal yang dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan tersebut (misalnya,

pasien pindah agama)


b. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut dapat

mempengaruhi keputusan pasien (misalnya, perkembangan terkini dalam

tatalaksana pasien yang secara drastic mengubah prospek kondisi tertentu

pasien)

c. Situasi / kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat diprediksi.

d. Terdapat perdebatan / perselisihan mengenai validitas keputusan dini / awal

dan kasus tersebut telah dibawa ke pengadilan.

12. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan / maksudkan, perawat

harus bertindak sesuai dengan kepentingan / hal yang terbaik untuk pasien. Dapat

meminta saran dari dokter senior juga.

13. Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya karena mencari ada tidaknya

instruksi DNR pasien jika tidak terdapt indikasi jelas bahwa instruksi tersebut ada.

14. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan.

15. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang nyaman

dan hangat, pengurang rasa sakit / analgesic, manajemen gejala-gejala yang

memicu stress fisik (seperti sesak napas, muntah, inkontinentia), dan manajemen

hygiene / kebersihan diri pasien.

16. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang dibawabertugas sebaiknya

meminta saran dari dokter senior.

17. Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal mengambil

keputusan DNR.
BAB II

RUANG LINGKUP

A. Resusitasi Jantung Paru (RJP) didefinisikan sebagai suatu sarana dalam memberikan

bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti napas atau henti

jantung. RJP diindikasikan untuk pasien yang tidak sadar, tidak bernapas, dan yang tidak

menunjukkan adanya tanda-tanda sirkulasi.

a. RJP merupakan suatu prosedur emergensi dan di rumah sakit biasanya telah dibentuk

tim khusus yang terlatih dan brepengalaman dalam melakukan RJP.

b. Menurut statistik, tindakan RJP dilakukan sebanyak 1/3 dari 2 miliar kematian pasien

yang terjadi di rumah sakit Amerika Serikat setiap tahunnya. Proporsi dari tindakan

RJP ini dianggap berhasil dalam merestorasi fungsi kardiopulmoner pasien.

c. Dari pasien-pasien yang dilakukan RJP, sebanyak 1/3 nya berhasil, dan 1/3 dari

pasien-pasien yang berhasil ini dapat bertahan hingga pulang dari rumah sakit.

d. Tingkat keberhasilan RJP bergantun pada sifat dan derajat penyakit pasien.

e. Pada suatu studi di Rumah Sakit Boston, pasien dengan kanker lanjut yang telah

bermetastasis tidak ada yang dapat bertahan hidup hingga pulang dari rumah sakit.

Diantara pasien gagal ginjal, hanya 2% yang bertahan hidup sampai pulang dari

rumah sakit.

f. Biasanya pada pasien yang berhasil dilakukan RJP inisial tetapi meninggal sebelum

pulang dari rumah sakit, hamper selalu dirawat di Ruang Rawat Intensif (Intensive

Care Unit ICU)


g. Biasanya pasien RJP yang berhasil bertahan hidup dan pulang dari rumah sakit tidak

mengalami gangguan / disfungsi yang berat.

h. Pada pasien-pasien yang berhasil dilakukan RJP, beberapa diantaranya berhasil

mengalami pemulihan sempurna, beberapa pulih tetapi memiliki masalah kesehatan

dan tidak pernah kembali ke level normal sebelum terjadi henti jantung / napas,

beberapa mengalami kerusakan / cedera otak atau koma, dan beberapa lainnya jatuh

kembali ke dalam kondisi henti jantung / napas sehingga harus dilakukan RJP ulang.

i. Tingkat Keberhasilan RJP bergantung pada:

j. i. Penyebab terjadinya henti jantung / napas pada pasien.

ii. Penyakit / masalah medis yang mendasari.

iii. Kondisi kesehatan pasien secara umum.

k. Seringnya pasien yang berhasil dilakukan RJP masih mengalami kondisi yang sakit

dan membutuhkan pananganan lebih lanjut, dan biasanya dirawat di ICU

B. Penting untuk mengidentifikasi pasien di mana terjadinya henti napas dan jantung

menandakan kondisi terminal penyakit pasien dan dimana usaha RJP tidak akan

membuahkan hasil (sia-sia).

C. Dalam menetapkan kebijakan DNR, penting untuk diketahui bahwa kebijakan ini harus

dipatuhi dan diikuti oleh seluruh tenaga kesehatan professional di tingkat primer, rumah

sakit, dan petugas / tim transfer intra dan antar tumah sakit.

D. Hak pasien untuk ,enolak RJP harus dihargai. Hal ini mungkin dikarenakan pasien

berpendapat bahwa dengan melakukan usaha RJP hanya akan memperpanjang kualitas
E. Kebijakan ini hanya berkaitan dengan usaha RJP, bukan dengan penundaan atau

pembatalan pemberian tatalaksana lainnya, seperti terapi antibiotik, nutrisi parenteral, dan

sebagainya.

DNR bertujuan untuk :

1. Memastikan bahwa pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan Do Not Resusitate

(DNR) tidak disalahkanartikan / misinterpretasi.

2. Memastikan terjadinya komunikasi dan pencatatan yang jelas dan terstandarisasi

mengenai pengambilan keputusan DNR.

BAB III
TATA LAKSANA

PANDUAN DALAM MENDISKUSIKAN KEPUTUSAN DNR DENGAN PASIEN

1. Pastikan tercipta suasana yang kondusif, tenang, privasi pasien terjaga.

2. Kehadiran yang lengkap dari orang-orang yang ingin dilibatkan oleh pasien dalam

mendiskusikan hal ini.

3. Komunikasi dan tatap mata sebaiknya sejajar dengan tinggi / posisi pasien.

4. Jika pasien tidak keberatan, ajaklah satu orang perawat untuk mendampingi diskusi.

5. Perawat dapat membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien, memberi

dukungan dan penguatan kepada pasien setelah dokter meninggalkan ruangan.

6. Mulailah dengan memberikan pertanyaan pertanyaan umum seperti

bagaimanakah pandangan pasien terhadap penyakit dan tatalaksana yang dijalaninya.

7. Mengangkat topik utama :

a. Mulai dengan menyatakan: Saya ingin berdiskusi dengan Anda

b. Apa yang Anda ingin kami (perawat) lakukan jika suatu waktu Anda menjadi

terlalu sakit untuk dapat berbicara dengan kami?

c. Salah satu hal penting adalah mengenai pertanyaan tindakan resusitasi.

d. Meskipun hal ini jarang terjadi, saya perlu untuk mempertimbangkan mengenai

tindakan apa yang harus kami lakukan jika jantung Anda berhenti.

e. Beberapa orang memiliki pandangan yang kuat terhadap seberapa banyak

penanganan yang ingin mereka terima jika mereka menjadi sangat sakit. Saya

ingin tahu apakah Anda pernah memikirkan hal ini.

8. Pemilihan waktu untuk berdiskusi:


a. Bukan waktu yang bagus untuk melakukan diskusi segera setelah diagnosis

ditegakkan.

b. Waktu diskusi yang terbaik adalah saat diagnosis dan prognosis sudah jelas dan

saat pasien telah mengetahui dan menerima penyakitnya.

9. Berusahalah untuk membangun pemahaman pasien mengenai situasinya saat ini,

sifat dasar resusitasi , kemungkinan tingkat keberhasilan resusitasi jika dilakukan,

serta harapan dan keinginan pasien. Pasien dan keluarganya sering memiliki harapan /

ekspektasi yang tidak realistis dari nilai resusitasi.

10. Berikan informasi mengenai RJP menggunakan kata-kata sederhana yang dapat

dimengerti oleh pasien.

11. Tingkat pemberian informasi harus dinilai dari respons dan pemahaman setiap pasien.

12. Jika tidak tercapai kesepakatan, berikan pendapat dari sudut pandang dokter

mengenai kondisi pasien dan tindakan RJP. Dapat dengan menyatakan: Pendapat

saya mungkin berbeda dengan apa yang Anda inginkan. Karena alasan itulah saya

ingin berdiskusi dengan Anda.

13. Cobalah untuk mengerti:

a. Sudut pandang pasien.

b. Nilai-nilai yang dianut oleh pasien

c. Ruang lingkup pengaplikasian (misalnya, penanganan apa saja yang dijalani

pasien)

14. Catat sudut pandang pasien, nilai-nilai yang dianut oleh pasien, dan ruang lingkup

pengaplikasian di rekam medis.


15. Diskusikan keputusan mengenai RJP dalam konteks positif sebagai bagian dari

perawatan suportif. Banyak pasien yang merasa takut diabaikan / ditelantarkan dan

merasa nyeri, melebihi rasa takutnya akan kematian.

16. Petugas harus menekankan mengenai terapi-terapi mana saja yang akan tetap

diberikan, pasien masih akan tetap dikunjungi oleh dokter secara teratur,

pengendalian nyeri, dan memberikan kenyamanan kepada pasien.

17. Penting untuk memisahkan / membedakan keputusan DNR dengan keputusan

mengenai manajemen pasien lainnya.

18. Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk berdiskudi dengan dokter,

akan membuat pasien merasa dihargai dan menurunkan tingkat kecemasan / stress

pasien juga.

KEPUTUSAN DNR PADA PASIEN DEWASA PERI-OPERATIF

1. Tindakan pembedahan dan anestesi turut berkontribusi dalam perubahan kondisi medis

pasien denga keputusan DNR sebelumnya dikarenakan adanya perubahan fisiologis yang

dapat meningkatkan risiko pasien.

2. Tindakan anestesi sendiri (baik regional ataupun umum), akan menimbulkan instabilitas

kardiopulmoner yang akan membutuhkan dukungan / penanganan medis.

3. Angka keberhasilan RJP di kamar operasi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan di

ruang rawat inap (dimana keputusan DNR ini ditetapkan). Angka keberhasilan RJP di

kamar operasi ini dapt mencapai 92%.


4. Menilik dari hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan peninjauan ulang keputusan DNR

sebelum melakukan prosedur anestesi dan pembedahan.

5. Rekomendasi:

a. Pasien dengan keputusan DNR yang mungkin memerlukan prosedur pembedahan

harus dikonsultasikan kepada tim bedah dan anestesiologis.

b. Lakukan peninjauan ulang keputusan DNR oleh anestesiologis dan dokter bedah

dengan pasien, wali, keluarga, atau dokter penanggungjawab pasien (jika

diindikasikan) sebelum melakukan prosedur anestesi dan pembedahan.

c. Tujuan peninjauan ulang ini adalah untuk memperoleh kesepakatan mengenai

penanganan apa saja yang boleh dilakukan selama prosedur anestesi dan

pembedahan.

d. Terdapat 3 pilihan dalam meninjau ulang keputusan DNR yaitu:

i. Pilihan Pertama: keputusan DNR dibatalkan selama menjadi anestesi dan

pembedahan, dan ditinjau ulang kembali saat pasien keluar dari ruang

pemulihan. Saat menjalani pembedahan dan anestesi, lakukan RJP jika

terdapat henti jantung / napas.

ii. Pilihan Kedua: keputusan DNR dimodifikasi, dengan mengizinkan

pemberian obat-obatan dan teknik anestesi yang sejalan / sesuai dengan

pemberian anestesi.

Hal ini termasuk:

Monitor EKG, tekanan darah, oksigenasi, dan monitor intraoperative

lainnya.
Manipulasi sementara dalam menjaga jalan napas dan pernapasan

dengan intubasi dan ventilasi, jika diperlukan dan dengan pemehaman

bahwa pasien akan bernapas secara spontan di akhir prosedur.

Penggunaan vasopressor atau obat anti-aritmia untuk mengkoreksi

stabilitas kardiovaskuler yang berhubungan dengan pemberian

anestesi dan pembedahan.

Penggunaan kardioversi atau defibrillator untuk mengkoreksi aritmia

harus didiskusikan sebelumnya dengan pasien / wali sahnya. Lakukan

juga diskusi mengenai pemberian kompresi dada.

iii. Pilihan ketiga: keputusan DNR tetap berlaku (tidak ada perubahan).

Pada beberapa kasus, pilihan ini tidak sesuai dengan pemberian

anestesi umum dalam pembedahan.

Pasien dapat menjalani prosedur pembedahan minor dengan tetap

mempertahankan keputusan DNR-nya.

Anestesiologis harus berdiskusi dan membuat kesepakatan dengan

pasien / wali sah mengenai intervensi apa saja yang diperbolehkan,

seperti: kanula intravena, pemberian cairan intravena,, sedasi,

analgesic, monitor, obat vasopressor, abat anti-aritmia, oksigenasi,

atau intervensi lainnya.

e. Pilihan yang telah disepakati harus dicatat di rekam medis pasien.

f. Pilihan DNR ini harus dikomunikasikan kepada semua petugas medis yang

terlibat dalam perawatan pasien di dalam kamar operasi dan ruang pemulihan.

g. Secara hukum, yang berwenang untuk membuat keputusan DNR ini adalah:
i. Pasien dewasa yang kompeten secara mental

ii. Wali sah pasien (jika pasien tidak kompeten secara mental)

iii. Dokter penanggungjawab pasien, yang bertindak dengan

mempertimbangkan tindakan terbaik untuk pasien (jika belum ada

keputusan DNR dini / awal yang telah dibuat oleh pasien / wali sahnya).

h. Jika setelah diskudi, masih belum terdapat kesepakatan mengenai pilihan DNR

mana yang akan digunakan, pemegang keputusan tetaplah diberikan ke pasien /

wali sahnya.

i. Jika terdapat keraguan atau ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang untuk

membuat keputusan DNR, atau terdapat keraguan mengenai validitas suatu

keputusan DNR dini / awal, atau terdapat terdapat keraguan mengenai tindakan

apa yang terbaik untuk pasien, segeralah mencari saran kepada komisi etik atau

lembaga hokum setempat.

j. Dalam kondisi gawat darurat, dokter harus membuat keputusan yang menurutnya

terbaik untuk pasien dengan menggunakan semua informasi yang tersedia.

k. Pilihan keputusan DNR ini harus diaplikasikan selama pasien berada di kamar

operasi dan ruang pemulihan.

l. Keputusan DNR ini haruslah ditinjau ulang saat pasien kembali ke ruang rawat

inap.

6. Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anestesi untuk intervensi operatif pada pasien

dengan keputusan DNR adalah:

a. Alat bantu asupan nutrisi (misalnya : feeding tube )


b. Pembedahan segera untuk kondisi yang tidak berhubungan dengan penyakit kronis

pasien (misalnya: appendicitis akut).

c. Pembedahan segera untuk kondisi yang berhubungan dengan penyakit kronis pasien

tetapi tidak dianggap sebagai suatu bagian dari proses terminal penyakitnya

(misalnya: illeus obstruktif)

d. Prosedur untuk menyediakan akses vascular.

7. Pada situasi emergensi:

a. Tidak selalu ada cukup waktu untuk melakukan peninjauan ulang mengenai

keputusan DNR sebelum melakukan anestesi, pembedahan atau resusitasi.

b. Akan tetapi, harus tetap dilakukan usaha untuk mengklasifikasi adanya keputusan

DNR dini / awal yang telah dibuat sebelumnya (jika memungkinkan).

8. Fase pre-operatif

a. Lakukan diskusi antara pasien/ wali sah, keluarga, anestesiologis, dokter bedah,

dokter penanggungjawab pasien, dan perawat.

b. Lakukan assesmen mengenai:

i. Kondisi medis pasien, termasuk status mental dan kompetensi pasien

ii. Intervensi pembedahan yang diperlukan.

iii. Riwayat keputusan DNR sebelumnya, termasuk:

Durasi / batas waktu berlakunya keputusan tersebut.

Siapa yang bertanggungjawab menetapkan keputusan tersebut

Alasan keputusan tersebut dibuat


iv. Keputusan pertama yang dibuat adalah mengenai apakah pasien ini perlu

menjalani anestesi dan pembedahan (pertimbangkan dari sudut pandang

pasien, keluarga, dokter bedah, dan anestesiologis).

v. Jika pembedahan dianggap perlu, tentukan batasan-batasan tindakan

resusitasi apa saja yang dapat dilakukan di fase peri-operatif, lakukan

komunikasi yang efektif, detail, dan terbuka dengan pasien, keluarga, dan

atau wali sah pasien.

vi. Jika keputusan DNR telah dibuat dan disepakati, harus dicatat di rekam medis

pasien, ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat, dan cantumkan tanggal

keputusan dibuat.

vii. Lakukan prosedur pembedahan segera setelah keputusan dibuat dan kondisi

medis pasien memungkinkan untuk menjalani pembedahan.

9. Fase intra-operatif

a. Keputusan DNR diaplikasikan selama pasien berada di kamar operasi.

b. Jika dilakukan pemberian premedikasi, haruslah sangat hati-hati untuk menghindari

terjadinya perubahan status fisiologis pasien sebelum di transfer ke kamar operasi.

c. Semua petugas kamar operasi harus mengetahui mengenai pilihan keputusan DNR

yang diambil.

d. Dokter bedah dan anestesiologis yang terlibat dalam konsultasi pre-operatif harus

hadir selama prosedur berlangsung.

10. Fase pasca-operatif

a. Pilihan keputusan DNR harus dikomunikasikan kepada petugas di ruang pemulihan.


b. Pilihan ini akan tetap berlaku hingga pasien dipulangkan / dipindahkan dari ruang
pemulihan.
c. Keputusan DNR sebelumnya harus ditinjau ulang saat terjadi alih rawat pasien dari
ruang pemulihan ke ruang rawat inap.
d. Pada kasus tertentu, keputusan DNR dapat diperpanjang batas waktunya hingga pasien
telah ditransfer ke ruang rawat inap pasca- operasi. Misalnya: jika penggunaan infus
epidural
e. Harus ada audit rutin mengenai manajemen pasien dengan keputusan DNR yang
dijadwalkan untuk menjalani operasi.

a. PETUSUSAN DNR PADA PEDIATRIK


1. Pada pasien anak (usia < 18 tahun), diskusikan dengan orang tua pasien.
2. Orang tua harus mendapat informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi dan
penyakit pasien, prosedur RJP, rekomendasi mengenai RJP dan DNR.
3. Pertimbangkanlah juga kondisi emosional dan tumbauh kembang pasien anak.
4. Instruksi DNR harus diberitahukan kepada orang tua pasien, kecuali pada kondisi
berikut ini:
Jika RJP dianggap membahayakan pasien atau bersifat non-terapeutik.
5. Di rekam medis, harus tertulis hasil diskusi dokter dengan orang tua pasien.
Keputusan harus ditandatangani oleh dokter, perawat yang terlibat, dan orang tua
pasien.
6. Pada kasus tertentu, di mana orang tua meminta dilakukan RJP meskipun tim medis
telah memberitahukan bahwa tindakan RJP ini membahayakan pasien / bersifat non
terapeutik, orang tua diperbolehkan mencari pendapat ekspertise lainnya (second
opinion) atau (jika orang tua meminta) diperbolehkan melakukan transfer pasien jika
kondisi pasien memungkinkan untuk di transfer.
7. Jika masih belum ditemukan kesepakatan antara tim medis dengan orang tua pasien,
lakukanlah proses peninjauan ulang (review) oleh tim medis untuk menentukan
apakah DNR perlu dilakukan atau tidak, seperti tercantum dibawah ini:
a. Tim medis harus mengkonfirmasi bahwa terdapat kesepakatan diantara anggota
timnya mengenai keputusan DNR pada pasien.
b. Minta pendapat dokter lain di luar tim medis pasien (second opinion) mengenai
apakah RJP pada pasien ini bersifat non-terapetik / membahayakan.
c. Jikasecong opinion ini mendukung keputusan DNR, salah seorang anggota tim
medis harus menghubungi Komisi Etik untuk menjadwalkan konsultasi etik.
d. Jika hasil dari konsultasi etik mendukung keputusan DNR, tim medis harus
memberitahukan / melaporkannya kepada Kepala Pelayanan Medis dan Lembaga
Hukum.
8. Re-assesmen wajib terhadap keputusan DNR sebelum menjalani prosedur
anestesi dan pembedahan.
a. Pasien dengan instruksi DNR biasanya sering menjalani prosedur anestesi dan
pembedahan, terutama prosedur dengan tujuan memfasilitasi perawatan atau
mengurangi nyeri.
b. Etiologi dan kejadian henti jantung selama anestesi berbeda secara signifikan
mengenai instruksi DNR.

c. Faktanya, angka keberhasilan resusitasi lebih tinggi di dalam kamar operasi / selama
anestesi berlangsung.

d. Pada beberapa kasus, pasien atau orang tua menginginkan adanya pembatasan usaha
resusitasi yang digunakan sepanjang periode peri-operatif.
e. Pemberian anestesi sendiri melibatkan beberapa prosedur yang dapat dianggap
sebagai salah satu bagian dari usaha resusitasi, pemberian cairan dan obat-obatan
intravena, dan manajemen jalan napas dan ventilasi pasien.
f. Anestesiologi harus berdiskusi dengan pasiendan atau orang tua, menilai ulang status
DNR sebelum dilakukan prosedur pembedahan, dan mengkomunikasikan hasil
diskusi ini kepada seluruh petugas rumah sakit yang terlibat dengan perawatan
pasien selama periode intra-operatif dan pasca-operatif.
g. Terdapat 3 pilihaninstruksi DNR sebelum prosedur anestesi / pembedahan:
i. pilihan pertama: instruksi DNR dibatalkan untuk sementara (jika terjadi henti
napas / jantung, dilakukan usaha resusitasi sepenuhnya)
ii. pilihan kedua: resusitasi terbatas (spesifik terhadap prosedur). Pasien dilakukan
usaha resusitasi sepenuhnya kecuali prosedur spesifik, yaitu: kompresi dada,
kardioversi.
iii. pilihan ketiga: resusitasi terbatas (spesifik terhadap tujuan). Pasien dilakukan
usaha resusitasi hanya jika efek samping yang terjadi dianggap bersifat
sementara dan reversible, berdasarkan pertimbangan dokter bedah dan
anestesiologis.
h. Harus dicatat di rekam medis pasien.
i. Saat pasien keluar / dipindahkan dari ruang pemulihan, instruksi DNR ini harus
ditinjau ulang.
j. Jika pasien / orang tua memutuskan untuk tetap memberlakukan instruksi DNR selama
menjalani prosedur anestesi / pembedahan, dokter boleh menolak untuk
berpartisipasi dalam kasus ini. Pasien / keluarga harus mencari dokter lain yang
bersedia untuk merawat pasien.
BAB IV

DOKUMENTASI

1. Keputusan untuk tidak melakukan RJP harus dicatat di rekam medis pasien dan di
formulirDo Not Resuscitate (DNR) . Formulir DNR harus diisi dengan lengkap
dan disimpan di rekam medis pasien.
2. Alasan diputuskannya tindakan DNR dan orang yang terlibat dalam pengambilan
keputusan harus dicatat di rekam medis pasien dan formulir DNR. Keputusan harus
dikomukasikan kepada semua orang yang terlibat dalam aspek perawatan pasien,
termasuk dokter gigi, pediatrist, dan sebagainya.
3. Keputusan DNR harus diberitahukan saat pergantian petugas / pengoperan pasien ke
petugas / unit lainnya.
4. Di rekam medis, harus dicatat juga mengenai hasil diskusi dengan pasien dan keluarga
mengenai keputusan untuk tidak melakukan resusitasi.
5. Dokumentasi dan komunikasi yang efektif akan memastikan bahwa petugas / unit lain
mengetahui instruksi DNR ini (jika pasien ditransfer ke unit lain).
6. Petugas ambulans yang terlibat dalam transfer juga harus mengetahui akan instruksi
DNR ini.

b. PENINJAUAN ULANG MENGENAI KEPUTUSAN DNR


1. Keputusan mengenai DNR ini harus ditinjau ulang secara teratur dan rutin, terutama
jika terjadi perubahan apapun terhadap kondisi dan keinginan pasien.
2. Frekuensi peninjauan ulang ini harus ditentukan oleh dokter senior yang saat itu
sedang bertugas atau oleh konsultan penanggungjawab pasien.
3. Biasanya peninjauan ulang ini dilakukan 7 hari sekali, tetapi dapat juga dilakukan
setiap hari pada kasus-kasus tertentu.
4. Peninjauan ulang ini dipengaruhi oleh diagnosis pasien, potensi perbaikan kondisi,
dan respons pasien terhadap terapi / pengobatan.

c. PEMBATALAN KEPUTUSAN DNR


1. Jika instruksi DNR tidak lagi berlaku, bagian pembatalan di formulir DNR harus
dilengkapi / diisi . Dituliskan tanggal dan ditandatangani oleh dokter senior yang saat
itu sedang bertugas atau oleh konsulen.
2. Pembatalan ini harus dengan jelas dicatat di dalam rekam medis pasien .

KEPUTUSAN DNR DAN TRANSFER PASIEN


1. Jika pasien di transfer ke rumah sakit lain dengan instruksi DNR, dokter senior yang
saat itu sedang bertugas atau konsulen harus bertanggungjawab untuk melakukan
asesmen ulang dan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang didapat saat itu
mengenai: Apakah instruksi DNR masih berlaku atau tidak?.Sebelum asesmen
ulang tersebut dilakukan, pasien masih dianggap sebagai DNR.
2. Jika pasien ditransfer ke pelayanan primer lain dengan instruksi DNR, dokter umum di
layanan primer tersebut bertanggungjawab melakukan asesmen ulang dan
pengambilan keputusan harus dikomunikasikan dengan semua petugas yang terlibat
dalam perawatan pasien. Sebelum asesmen ulang tersebut dilakukan, pasien masih
dianggap sebagai DNR
3. Saat melakukan transfer pasien, formulir DNR harus tetap disertakan dalam rekan
medis pasien. Formulir DNR ini tidak boleh difotokopi.

PENINJAUAN ULANG DAN AUDIT


1. Audit akan dilakukan setiap tahunnya untuk memastikan bahwa semua keputusan
DNR didokumentasikan sepenuhnya sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
2. Audit mengenai semua kejadian resusitasi harus dilakukan untuk memastikan bahwa
kejadian-kejadian tersebut telah sesuai dengan kebijakan yang berlaku.
3. Peninjauan ulang mengenai isi dari kebIjakan ini akan dilakukan 2 tahun setelah
tanggal kebijakan ini disetujui.
4. Peninjauan ulang dini dapat dilakukan jika terjadi salah satu atau lebih dari kondisi-
kondisi berikut ini:
a. Adanya perubahan atau perkembangan dalam regulasi / peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
b. Terjadinya insidens yang penting / krusial
c. Adanya alasan-alasan yang kuat / relevan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai