Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Memasuki abad ke-21, kawasan Asia-Pasifik menunjukkan beberapa
perkembangan signifikan yang menyebabkan berubahnya tatanan geopolitik dan
geoekonomi dunia. Pasca krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia di tahun
1998-1999, negara-negara di kawasan ini mulai membangun kembali
perekonomian mereka dan lahir kembali sebagai the new emerging power di
dalam panggung internasional. Produsen Asia telah menangkap sebagian besar
dari rantai produksi global. Pemerintah Asia dan lembaga yang dikendalikan
pemerintah menahan sekitar dua-pertiga dari $ 6 triliun-plus cadangan devisa
dunia (Cossa, et al., 2009).
Menurut sebuah data, bagian Asia Timur dalam total Pendapatan Domestik
Bruto (PDB) global telah meningkat secara tajam dari sekitar 12 persen di tahun
1970 menjadi hampir 25 persen pada tahun 2008 (MacDonald & Lemco, 2011).
Dalam sektor perdagangan global, persentase volume perdagangan Asia Timur
meningkat dari 10 persen di 1975 menjadi 30 persen di tahun 2008 (MacDonald
& Lemco, 2011). Secara gradual, negara-negara seperti Cina, India, Jepang, Korea
Selatan, Singapura, serta negara Asia lainnya berubah menjadi pusat dari tatanan
ekonomi dan politik dunia, menandai sebuah era baru yang sering kali disebut
dengan Asia-Pacific Century.
Kebangkitan Asia menjadi semakin terlihat setelah terjadinya krisis global
pada tahun 2008-2009. Krisis yang bermula dari menggelembungnya kredit
properti di Amerika Serikat ini telah menjatuhkan perekonomian Amerika Serikat
serta Uni Eropa, dua raksasa besar dalam perekonomian dunia. Kawasan Asia-
Pasifik, yang tampaknya telah belajar dari krisis ekonomi 1998, berhasil bertahan
dari dampak krisis. Pada krisis ini, Asia-Pasifik menjadi lokomotif ekonomi
penting yang menjaga Resesi Besar (Great Recession) berubah menjadi Depresi
Besar. Kawasan Asia kini menjadi pusat dari perputaran ekonomi global yang
baru. Pada saat itu, Cina, Jepang, dan negara Asia lainnya telah membantu
memberikan bailout terhadap perekonomian AS lewat pembelian hutang

1
pemerintah AS dalam skala besar yang dibutuhkan untuk membiayai defisit fiskal
pemerintah AS yang masif (Abramowitz & Bosworth, 2006).
Kawasan Asia-Pasifik kini berubah menjadi kawasan yang lebih penting
bagi Amerika Serikat dibandingkan di saat-saat sebelumnya. Sementara itu,
Amerika Serikat selama ini lebih menitik beratkan perhatiannya ke Timur Tengah,
khususnya Irak dan Afghanistan, lewat kebijakan War on Terror. Hal ini telah
menimbulkan ketidakseimbangan dalam kebijakan politik AS di luar negeri. Perlu
adanya rekalibrasi dalam strategi politik AS untuk menyesuaikannya dengan
kepentingan AS dalam jangka waktu panjang dan adanya perubahan geopolitik
dari Barat ke Timur. Oleh karena itu, pemerintah Obama kemudian mengeluarkan
strategi rebalancing terhadap Asia-Pasifik.
Strategi yang juga dikenal dengan nama Pivot to Pacific atau Asian Pivot
ini pertama kali dikenalkan pada November 2011 lewat artikel yang ditulis oleh
Hillary Clinton di Foreign Policy yang berjudul Americas Pacific Century. Di
dalam tulisannya Clinton yang pada saat itu menjabat sebagai Secretary of State
AS menyatakan bahwa AS akan berkomitmen untuk memprioritaskan Asia dalam
politik luar negerinya. Pergeseran fokus politik luar negeri Obama ini
menekankan bagaimana pentingnya Asia Pasifik untuk mencapai prioritas
tertingginya menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyat Amerika. Hal ini
dikatakan oleh Presiden Obama dalam pidatonya tentang rebalance di depan
Parlemen Australia, pada 17 November 2011,
Here, we see the future. As the worlds fastest-growing region-and home to
more than have the global economythe Asia Pacific is critical to
achieving my highest priority: creating jobs and opportunity for the
American people. With most of the worlds nuclear powers and some half of
humanity, Asia will largely define whether the century ahead will be marked
by conflict or cooperation, needless suffering or human progress. (The
White House Office of The Press Secretary, 2011)

Salah satu bagian dari strategi rebalancing ini adalah usaha AS untuk
mengembangkan kerjasama ekonominya di Asia-Pasifik lewat perjanjian Trans-
Pacific Partnership (TPP). TPP ini adalah sebuah perjanjian perdagangan yang
diproyeksikan akan menjadi perjanjian berstandar tinggi di abad ke-21 yang saat
ini sedang dinegosiasikan oleh dua belas negara di kawasan Asia-Pasifik (Office
of United State Trade Representative, 2011). Ini adalah kali kedua AS mengikuti

2
kerjasama ekonomi regional di kawasan Asia-Pasifik setelah AS bergabung
dengan APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) di tahun 1993.
Bagi Amerika Serikat, TPP merupakan cornerstone dari kebijakan ekonomi
pemerintahan Obama di Asia-Pasifik, sebuah prioritas di dalam strategi
rebalancing (Yu, 2013).
Oleh karena itu, keberhasilan TPP merupakan sine qua non dari
keberhasilan strategi rebalancing AS (Goodman, 2013).
Penelitian ini akan membahas lebih jauh peran perjanjian Trans-Pacific
Partnership sebagai bagian dari kebijakan rebalance AS di kawasan Asia-Pasifik.
Penelitian ini pertama-tama akan melihat alasan AS melakukan rebalancing di
Asia-Pasifik. Setelah itu, akan dibahas mengenai keikutsertaan AS di dalam
negosiasi Trans-Pacific Partnership. Setelah memahami dua hal tersebut,
penelitian ini akan menganalisis alasan AS menganggap TPP penting di dalam
strategi rebalancing AS.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, pertanyaan utama yang akan
dijawab dalam penelitian ini adalah : Mengapa Amerika Serikat menganggap
negosiasi Trans-Pacific Partnership penting dalam strategi rebalancing-nya?

1.3 KERANGKA KONSEPTUAL


Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis alasan AS melihat TPP sebagai
elemen yang penting dalam strategi rebalancing. Terdapat dua variabel utama
yang perlu dijelaskan dalam rumusan masalah skripsi ini yaitu (1) strategi
rebalancing Amerika Serikat, dan (2) Trans-Pacific Partnership. Dalam skripsi
ini digunakan tiga konsep utama yaitu, konsep rebalancing, regionalisme, serta
liberal internasionalisme. Konsep rebalancing di sini digunakan untuk memahami
kesuluruhan dari strategi rebalancing Amerika Serikat. Perspektif regionalisme
sendiri digunakan untuk memahami alasan AS untuk lebih memilih pendekatan
regionalisme seperti TPP di dalam strategi rebalancing-nya. Sementara, perspektif
liberal internasionalisme digunakan untuk melihat pentingnya TPP sebagai
perdagangan bebas yang mempunyai implikasi lebih di luar kepentingan ekonomi.

3
1. Rebalancing Strategy Pemerintahan Obama

Rebalancing ke Asia-Pasifik ini merupakan strategi politik luar negeri yang


diusung oleh pemerintahan Obama. Frase rebalance to Asia ini dimaksudkan
untuk menekankan meningkatnya prioritas dari kawasan ini dalam kebijakan
global AS. Strategi ini merupakan pendalaman dari upaya pemerintahan Obama,
yang dimulai pada tahun 2009, untuk meningkatkan visibilitas diplomatik AS dan
kehadiran di Asia-Pasifik. Mungkin yang paling menonjol, sejak 2009,
Administrasi Obama secara konsisten memberikan waktu dan penekanan ke Asia
Tenggara dan lembaga-lembaga multilateral regional (Manyin, et al., 2012).
Strategi ini pada awalnya lebih dikenal dengan nama Asian Pivot atau
return to Asia. Namun istilah ini seolah-olah menggambarkan Amerika Serikat
melepaskan Asia dan berusaha terlibat kembali di kawasan tersebut. Pada
kenyataannya Amerika Serikat tidak pernah meninggalkan Asia-Pasifik. Istilah
pivot lalu ditinggalkan dan diganti dengan istilah rebalancing. Istilah rebalancing
dinilai lebih cocok dan menekankan elemen kontinuitas dalam strategi
pemerintahan saat ini dengan para pendahulunya (Weitz, 2012). Strategi ini
adalah soal penekanan prioritas AS yang berusaha mengelaborasi hubungan AS-
Asia yang sudah ada sebelumnya (Sutter, Brown, Adamson, Mochizuki, &
Ollapally, 2013).
Istilah rebalance ini bukanlah turunan dari pemikiran balance of power
dan bukanlah sinyal dari AS untuk mengimbangi Cina atau negara lainnya.
Logika dari rebalancing ini sendiri datang dari istilah keuangan (Saunders, 2013).
Dalam bidang keuangan, rebalancing merupakan proses untuk menyusun kembali
pengalokasian aset dalam sebuah portofolio agar kembali sesuai dengan target
alokasi aset seseorang. Rebalancing dilakukan dengan menjual investasi yang
over-weighted untuk membeli investasi under-weighted. Pengalokasian aset di
dalam sebuah portofolio finansial perlu di-rebalancing ketika kondisi pasar
bergeser dan kesempatan yang baru muncul. Meminjam logika yang sama,
rebalancing to Asia, ini ditujukan untuk membawa komitmen dari diplomatik
global AS, serta sumber daya ekonomi dan militer ke Asia agar seimbang dengan
peningkatan kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan AS di Asia.

4
Istilah rebalancing ini juga mengacu kepada upaya AS untuk mengoreksi
dugaan pengabaian kawasan Asia-Pasifik oleh pemerintahan George W. Bush
(Saunders, 2013). Sebelum Presiden Obama menjabat, banyak pemimpin Asia
Tenggara di wilayah ini merasa mereka telah diabaikan oleh Amerika Serikat.
Adanya kebijakan War on Terror dan komitmen militer AS di Irak dan
Afghanistan telah menghasilkan jejak global yang tidak seimbang. Ungkapan
rebalancing ke Asia dimaksudkan untuk menyeimbangkan kembali perhatian AS
terhadap kawasan ini. Istilah ini juga dipilih untuk mencegah adanya anggapan
bahwa Amerika Serikat meninggalkan perhatiannya di kawasan lain dan beralih
ke Asia-Pasifik.
Rebalancing to Asia juga mencerminkan kebutuhan untuk
mengartikulasikan prioritas global AS setelah penarikan pasukan Amerika dari
Irak dan Afghanistan, yang membebaskan sumber daya diplomatik dan militer AS
ke Timur Tengah selama sepuluh tahun terakhir. Pengurangan dalam pengeluaran
dan anggaran militer federal AS juga menyerukan pernyataan yang jelas tentang
prioritas strategis AS untuk mengalokasikan sumber daya yang terbatas. Untuk
militer AS, hal ini datang dalam bentuk panduan pertahanan strategis Januari 2012
yang ditandatangani oleh Presiden Barack Obama, yang menyatakan, "Kita akan
menyeimbangkan kebutuhan menuju wilayah Asia-Pasifik. (Manyin, et al., 2012)

2. Regionalisme
Mencairnya Perang Dingin membuat regionalisme menjadi sangat penting
dalam konteks globalisasi ekonomi. Selain itu, hal ini juga memunculkan
kepentingan-kepentingan dalam regionalisme antara pembuat kebijakan,
pengusaha, dan kalangan akademisi. Menurut Ravenhill (2014), regionalisme
merupakan proses formal dari kolaborasi antar pemerintahan dua negara atau
lebih. Regionalisme dapat dikategorikan menjadi formal maupun informal.
Regionalisme informal dapat dijelaskan melalui rasa keterlibatan di dalam suatu
komunitas sosio-kultural yang disebut sebagai identitas. Sedangkan dalam hal
formal, regionalisme dibentuk untuk fungsi tertentu, misalnya dalam bidang
ekonomi, keamanan, dan lingkungan. Regionalisme dapat menjadi sebuah
kebijakan rasional yang terasosiasi dengan stabilitas dan kontrol atas pengaruh.

5
Jika dilihat dari sudut pandang idealis, kebijakan regional dibentuk untuk
menciptakan keuntungan secara regional dan para anggota mendapat keuntungan
yang setimpal (Ravenhill, 2014).
Secara hubungan kerjasama, ada tiga tipe utama regionalisme. Yang
pertama adalah regionalisme bilateral, yaitu kerja sama oleh dua negara. Lalu ada
regionalisme trilateral yang terdiri dari tiga negara yang saling bekerja sama. Dan
yang terakhir adalah regionalisme multilateral yang melibatkan banyak negara
dalam kerja samanya.
Pada masa ini tidak dipungkiri lagi bahwa regionalisme dapat menjadi
jalan keluar saat skema kerjasama internasional tidak berjalan dengan baik,
ataupun pendekatan nasional tidak memuaskan. Selain itu juga regionalisme dapat
menjadi penghubung antara masalah nasional dan global. Dari fungsi kedua ini
regionalisme dapat menjamin negara-negara memiliki peran dalam mengatasi
masalah di kawasan dengan institusi baru tersebut. Dengan cara ini sebuah negara
kawasan tidak hanya dapat mengendalikan perilaku negara di kawasan, namun
juga memperkuat posisi tawar menawar dengan negara di luar kawasan.
Setidaknya terdapat dua jenis motivasi yang membuat suatu negara
mengikuti regionalisme, yaitu motivasi politik dan motivasi ekonomi (Ravenhill,
2014). Dari segi politik, yang membuat negara memilih regionalisme antara lain,
untuk memperkuat rasa percaya diri dan sarana membentuk kerjasama ekonomi,
memperkuat keamanan mereka baik dari segi kemanan tradisional maupun non-
tradisional, serta meningkatkan bargaining position mereka di level internasional.
Selain itu, regionalisme juga dapat menjadi alat untuk memberikan sinyal kepada
para investor bahwa mereka mempunyai keinginan untuk mereformasi sistem
perekonomian khususnya untuk negara berkembang. Regionalisme juga dipilih
oleh suatu negara karena alasan untuk memenuhi konstituensi domestik.
Regionalisme dapat pula menjadi opsi bagi suatu negara karena mencapai kata
sepakat di level regional lebih mudah dari pada di level multilateral seperti WTO.
Dari segi ekonomi, negara lebih memilih regionalisme daripada
multilateralisme, bilateralisme, maupun unilateralisme karena regionalisme
memberikan akses kepada pasar domestik yang lebih besar. Selain itu,
regionalisme memberikan kesempatan untuk menarik investor asing, kesempatan

6
untuk terlibat dalam integrasi yang lebih dalam, serta regionalisme memberikan
proteksi bagi sektor yang tidak kompetitif di level global.
Menurut pandangan neoliberal institutionalism, regionalisme menjadi
penting karena (1) meningkatnya interdependensi yang meningkatkan kebutuhan
untuk membentuk sebuah institusi kerjasama regional, (2) negara merupakan
aktor rational egoist yang dapat diarahkan untuk bekerja sama, (3) regionalisme
penting karena keuntungan yang mereka berikan dan karena pengaruh dari
kalkulasi para pemainnya dan cara para negara mendefinisikan kepentingannya
(Hurrell, 1995).
Regionalisme dapat berbentuk regionalisme keamanan maupun
regionalisme ekonomi. Dalam kasus TPP, regionalisme ini berbentuk
regionalisme ekonomi. Regionalisme ekonomi adalah sebuah institutional
arrangement yang didesain untuk memfasilitasi aliran bebas dari barang dan jasa
dan untuk mengkoordinasikan kebijakan ekonomi di wilayah geografis tertentu
(Moon, t.thn.). Bentuk regionalisme ekonomi dapat dibedakan berdasarkan tingkat
integrasi, antara lain free trade area, custom union, common market, dan
economic union. Bentuk paling dasar adalah kawasan perdagangan bebas atau free
trade area yang menghilangkan atau mengurangi bea masuk antara anggotanya.
Setelah itu terdapat custom union yang menciptakan tingkat integrasi yang lebih
besar melalui tarif umum kepada negara selain anggota, dan common market
menambah pengaturan ini dengan memungkinkan pergerakan bebas modal dan
tenaga kerja. Sebuah economic union membutuhkan konsensus politik tingkat
tinggi antara negara-negara anggota, yang bertujuan membangun integrasi
ekonomi penuh melalui kebijakan umum ekonomi, mata uang bersama, dan
penghapusan semua hambatan tarif dan nontarif.

3. Liberal Internationalisme
Liberal internasionalisme mempercayai dua nilai fundamental dalam politik
luar negeri yaitu self-determination dan nonintervention (Lind, 2006). Self-
determination berarti sebuah negara mempunyai legitimasi jika mendapatkan
persetujuan dari rakyatnya. Sementara nonintervention berarti tidak ada negara
yang berhak menjajah atau menguasai negara lain. Tujuan dari liberal

7
internasionalisme sendiri adalah memperluas praktek-praktek demokrasi dan
perdagangan bebas, membela demokrasi dari para pesaingnya sekaligus
melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia (Hoffman, 1995). Pemikiran
ini seringkali dikaitkan dengan Woodrow Wilson dan 14 poinnya.
Di dalam praktik liberal internasionalisme, demokrasi dan perdagangan
bebas menjadi hal yang penting dalam menjaga sistem internasional yang damai.
Menurut para pemikir liberal, sistem demokrasi merupakan bentuk pemerintahan
terbaik. Dalam pemerintahan demokrasi, ketika rakyat yang menjadi korban
dalam peperangan itu diberi kesempatan untuk memilih pemerintahnya sendiri,
kecil kemungkinan perang akan terjadi. Sementara itu, perdagangan bebas
merupakan cara terefektif dan terdamai untuk mencapai kekayaan nasional
(Burchill, 2005). Menurut John S. Mill, seorang pemikir liberal, pasar bebas dapat
mengubah pola pikir orang-orang dari yang tadinya berorientasi perang dan
konflik menjadi berorientasi kesejahteraan ekonomi dan kerja sama. Penyebaran
pasar akan menempatkan masyarakat di sebuah landasan yang sama sekali baru.
Alih-alih berkonflik memperebutkan sumber daya yang terbatas, revolusi industri
meningkatkan prospek dari kesejahteraan yang tak terbatas dan belum pernah
terjadi sebelumnya untuk semua; produksi material, asalkan itu bebas
dipertukarkan, akan membawa kemajuan manusia. Perdagangan akan
menciptakan hubungan ketergantungan mutual yang mampu menumbuhkan
pengertian antara orang-orang dan mengurangi konflik (Burchill, 2005). Selain
itu, tiap-tiap individu harus diperbolehkan untuk saling tukar-menukar barang dan
jasa tanpa memandang batas-batas nasional.
Dari sisi ekonomi politik, para liberal internasionalis menjunjung tinggi
semangat perdagangan. Pemikir liberal seperti Adam Smith berpendapat bahwa
tujuan dari aktivitas ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan semua
pihak dan untuk mencapainya dibutuhkan division of labor dan sistem laissez
faire yang membebaskan pasar. Dalam sistem laissez faire ini negara berperan
untuk melindungi masyarakat dari ancaman luar dan membuat pengaturan
terhadap barang publik tertentu. Kaum liberal percaya bahwa perdagangan
mempunyai dampak positif terhadap ekonomi karena transaksi barang dan jasa
mendorong efisiensi, menimbulkan multiplier effect pada ekonomi dan

8
memperluas lapangan kerja. Kebijakan politik luar negeri liberal biasanya
bertujuan untuk menyebarkan pasar bebas dan praktik-praktik perdagangan bebas
melalui kerjasama bilateral maupun multilateral (Jahn, 2013). Perdagangan bebas
ini akan meningkatkan kekayaan absolut semua pihak dan membentuk ikatan
interdependensi yang damai di antara manusia (Macmillan, 2007).
Kebijakan ekonomi yang mendukung globalisasi dari liberalisme ini
memfokuskan kepada intitusionalisasi dari prinsip-prinsip ekonomi liberal dalam
ekonomi dunia secara umum. Tujuan ini sebagian besar dicapai dengan
membentuk sebuah institusi politik. Meskipun tujuan langsung dari kebijakan-
kebijakan ini bersifat ekonomi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
kebijakan-kebijakan tadi diekspektasikan untuk dapat memberikan stabilitas
politik, demokratisasi, kerja sama internasional, dan perdamaian.
Para liberal internasionalis berpendapat bahwa AS harus melindungi
keamanannya dengan mempromosikan sistem internasional yang liberal yang
menjunjung tinggi nilai demokrasi dan perdagangan bebas. Liberal
internasionalisme sejalan dengan kepentingan Amerika karena dunia yang terbagi
menjadi negara-bangsa demokratis yang berdaulat lebih tidak mengancam
keamanan AS dibandingkan dengan dunia yang terbagi menjadi beberapa
imperium yang ekspansif atau beberapa negara kecil yang terlalu lemah untuk
berdaulat. Ikatan interdependensi yang terbentuk melalui perdagangan juga
membuat negara-negara partner kerja sama AS lebih reluktan untuk menyerang
AS.

1.4 ARGUMEN UTAMA


Strategi rebalancing lahir dari sebuah pemikiran untuk menyeimbangkan
perhatian Amerika Serikat di luar negeri yang tadinya sangat terfokus di Timur
Tengah dan untuk menyesuaikan prioritas AS dengan kondisi geopolitik dan
geoekonomi dunia demi kepentingan AS di waktu mendatang. Strategi ini
menjadi penting bagi AS yang kini melihat negara-negara di kawasan Asia-Pasifik
sebagai partner yang lebih penting dari saat-saat yang sebelumnya. Lewat strategi
ini, AS berusaha meningkatkan keterlibatannya di kawasan Asia-Pasifik.

9
Sebagai bagian dari strategi rebalancing, keikutsertaan AS dalam negosiasi
Trans-Pacific Partnership merupakan manifestasi dari keseriusan AS untuk
terlibat di kawasan Asia-Pasifik. Hal ini terlihat dari perubahan pendekatan AS di
Asia-Pasifik yang kini lebih memilih menggunakan regionalisme. Regionalisme
seperti TPP ini dapat menjadi jangkar untuk mengikatkan komitmen AS terhadap
Asia-Pasifik serta menjadi pintu masuk bagi AS untuk terlibat lebih di dalam
integrasi regional Asia-Pasifik.
Berdasarkan perspektif liberalisme, perdagangan bebas tidak hanya mampu
mendatangkan keuntungan ekonomi secara maksimal namun juga mampu
meningkatkan interdependensi antar negara dan membantu menjaga stabilitas
keamanan dan perdamaian. Hal ini lah yang membuat negosiasi TPP menjadi
penting di dalam rebalancing terhadap Asia-Pasifik. Tidak hanya berimplikasi
terhadap kepentingan ekonomi AS di Asia-Pasifik, TPP juga berimplikasi secara
diplomatik dan keamanan. Secara ekonomi, keikutsertaan AS di dalam TPP
diharapkan mampu mendongkrak perekonomian AS saat ini. Hal ini penting bagi
AS yang kini berusaha melawan jumlah pengangguran yang bertambah banyak
selepas Resesi Global 2008-2009. Sementara secara diplomatik dan keamanan,
TPP menjadi alat untuk meningkatkan hubungan kerjasama AS dengan kawasan
Asia-Pasifik dan mengurangi adanya potensi konflik dengan kawasan ini.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN


Skripsi ini terdiri dari lima bab yang menjelaskan dua variabel utama dalam
penelitian ini yaitu, (1) rebalancing policy AS di Asia-Pasifik, dan (2)
kepentingan AS dalam Trans-Pacific Partnership. Bab Pertama berisikan
pendahuluan yang menjelaskan latar belakang penelitian, kerangka konseptual
yang digunakan serta argumen utama. Setelah itu, Bab Kedua akan menjelaskan
variabel pertama yaitu rebalancing policy: apa saja tujuan Amerika Serikat
mengeluarkan rebalancing policy dan elemen dari rebalancing policy di Asia-
Pasifik.
Bab Ketiga akan menjelaskan tentang Trans-Pacific Partnership.
Pertimbangan apa saja yang diambil AS untuk akhirnya bergabung dengan TPP
serta tujuan yang ingin diraih AS lewat TPP.

10
Bab Keempat akan berisi analisis yang menghubungkan variabel tadi.
Analisis ini akan mengungkapkan alasan mengapa TPP dianggap penting dalam
kebijakan rebalance AS dibantu dengan konsep regionalisme dan liberal
internationalism dalam perdagangan internasional.
Skripsi ini ditutup dengan Bab Kelima yang berisikan kesimpulan dari
penelitian ini serta saran bagi negara berkembang seperti Indonesia mengenai
Trans-Pacific Partnership.

11

Anda mungkin juga menyukai