Cpo
Cpo
kesehatan manusia karena mengandung kadar lemak jenuh yang tinggi - adalah fakta bahwa
bisnis minyak sawit menjadi sebab kunci dari penggundulan hutan di negara-negara seperti
Indonesia dan Malaysia. Indonesia adalah produsen dan eksportir terbesar minyak sawit di dunia.
Namun Indonesian juga merupakan penghasil gas emisi rumah kaca terbesar setelah Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS).
Produksi minyak sawit dunia didominasi oleh Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini secara
total menghasilkan sekitar 85-90% dari total produksi minyak sawit dunia. Indonesia adalah
produsen dan eksportir minyak sawit yang terbesar.
Dalam jangka panjang, permintaan dunia akan minyak sawit menunjukkan kecenderungan
meningkat sejalan dengan jumlah populasi dunia yang bertumbuh dan karenanya meningkatkan
konsumsi produk-produk dengan bahan baku minyak sawit seperti produk makanan dan
kosmetik. Sementara itu, pemerintah di berbagai negara sedang mendukung pemakaian biofuel.
Produksi
Negara
(ton metrik)
Indonesia 36,000,000
Malaysia 21,000,000
Thailand 2,200,000
Kolombia 1,320,000
Nigeria 970,000
Dunia 58,800,000
Mayoritas hasil produksi minyak kelapa sawit Indonesia diekspor. Negara-negara tujuan ekspor
yang paling penting adalah RRT, India, Pakistan, Malaysia, dan Belanda. Walaupun angkanya
sangat tidak signifikan, Indonesia juga mengimpor minyak sawit, terutama dari India.
Memang mayoritas dari minyak sawit yang diproduksi di Indonesia diekspor (lihat tabel di
bawah). Namun, karena populasi Indonesia terus bertumbuh (disertai kelas menengah yang
berkembang pesat) dan dukungan pemerintah untuk program biodiesel, permintaan minyak sawit
domestik di Indonesia juga terus berkembang. Meningkatnya permintaan minyak sawit dalam
negeri sebenarnya bisa berarti bahwa pengiriman minyak sawit mentah dari Indonesia akan
mandek di tahun-tahun mendatang jika pemerintah Indonesia tetap berkomitmen terhadap
moratorium konversi lahan gambut (baca lebih lanjut di bawah).
Tabel di atas menunjukkan bahwa produksi kelapa sawit naik drastis selama satu dekade
terakhir. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan Indonesia bisa
memproduksi paling tidak 40 juta ton kelapa sawit per tahun mulai dari tahun 2020.
Industri perkebunan dan pengolahan sawit adalah industri kunci bagi perekonomian Indonesia:
ekspor minyak kelapa sawit adalah penghasil devisa yang penting dan industri ini
memberikan kesempatan kerjabagi jutaan orang Indonesia. Dalam hal pertanian, minyak sawit
merupakan industri terpenting di Indonesia yang menyumbang di antara 1,5 - 2,5 persen terhadap
total produk domestik bruto (PDB).
Hampir 70% perkebunan kelapa sawit terletak di Sumatra, tempat industri ini dimulai sejak masa
kolonial Belanda. Sebagian besar dari sisanya - sekitar 30% - berada di pulau Kalimantan.
1. Sumatra
2. Kalimantan
Dalam hal geografi, Riau adalah produsen minyak sawit terbesar di Indonesia, disusul oleh
Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah total luas area perkebunan sawit di
Indonesia pada saat ini mencapai sekitar 11.9 juta hektar; hampir tiga kali lipat dari luas area di
tahun 2000 waktu sekitar 4 juta hektar lahan di Indonesia dipergunakan untuk perkebunan kelapa
sawit. Jumlah ini diduga akan bertambah menjadi 13 juta hektar pada tahun 2020.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memainkan peran yang sangat sederhana di sektor kelapa
sawit Indonesia karena mereka memiliki perkebunan yang relatif sedikit, sementara perusahaan-
perusahaan swasta besar (misalnya, Wilmar Group dan Sinar Mas Group) dominan karena
menghasilkan sedikit lebih dari setengah dari total produksi minyak sawit di Indonesia. Para
petani skala kecil memproduksi sekitar 40 persen dari total produksi Indonesia. Namun
kebanyakan petani kecil ini sangat rentan keadaannya apabila terjadi penurunan harga minyak
kelapa sawit dunia karena mereka tidak dapat menikmati cadangan uang tunai (atau pinjaman
bank) seperti yang dinikmati perusahaan besar.
Untuk meningkatkan perkembangan di industri hilir sektor kelapa sawit, pajak ekspor untuk
produk minyak sawit yang telah disuling telah dipotong dalam beberapa tahun belakangan ini.
Sementara itu, pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) berada di antara 0%-22,5% tergantung
pada harga minyak sawit internasional. Indonesia memiliki 'mekanisme otomatis' sehingga ketika
harga CPO acuan Pemerintah (berdasarkan harga CPO lokal dan internasional) jatuh di bawah
750 dollar Amerika Serikat (AS) per metrik ton, pajak ekspor dipotong menjadi 0%. Ini terjadi di
antara Oktober 2014 dan Mei 2016 waktu harga acuan ini jatuh di bawah 750 dollar AS per
metrik ton.
Masalahnya, bebas pajak ekspor berarti Pemerintah kehilangan sebagian besar pendapatan pajak
ekspor (yang sangat dibutuhkan) dari industri minyak sawit. Maka Pemerintah memutuskan
untuk mengintroduksi pungutan ekspor minyak sawit di pertengahan 2015. Pungutan sebesar 50
dollar Amerika Serikat (AS) per metrik ton diterapkan untuk ekspor minyak sawit mentah dan
pungutan senilai 30 dollar AS per metrik ton ditetapkan untuk ekspor produk-produk minyak
sawit olahan. Pendapatan dari pungutan baru ini digunakan (sebagian) untuk mendanai program
subsidi biodiesel Pemerintah.
-------------------------
Pada Februari 2015, Pemerintah mengumumkan kenaikan subsidi biofuel dari Rp 1.500 per liter
menjadi Rp 4.000 per liter, sebuah upaya untuk melindungi para produsen biofuel domestik.
Melalui program biodiesel ini, Pemerintah mengkompensasi para produsen karena perbedaan
harga antara diesel biasa dan biodiesel yang terjadi akibat rendahnya harga minyak mentah dunia
(sejak pertengahan 2014). Selain untuk mendanai subsidi ini, hasil dari pungutan ekspor juga
disalurkan untuk penanaman kembali, penelitian, dan pengembangan sumberdaya manusia di
industri minyak sawit Indonesia.
Pada tahun 2011, Indonesia medirikan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bertujuan
untuk meningkatkan daya saing global dari minyak sawit Indonesia dan mengaturnya dalam
aturan-aturan ramah lingkungan yang lebih ketat. Semua produsen minyak sawit di Indonesia
didorong untuk mendapatkan sertifikasi ISPO. Namun, ISPO ini tidak diakui secara
internasional.
Pemerintah Indonesia menandatangani moratorium berjangka waktu dua tahun mengenai hutan
primer yang mulai berlaku 20 Mei 2011 dan selesai masa berlakunya pada Mei 2013. Setelah
habis masa berlakunya, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memperpanjang
moratorium ke dua tahun selanjutnya. Moratorium ini mengimplikasikan pemberhentian
sementara dari pemberian izin-izin baru untuk menggunakan area hutan hujan tropis dan lahan
bakau di Indonesia. Sebagai gantinya Indonesia menerima paket 1 milyar dollar AS dari
Norwegia. Pada beberapa kesempatan, media internasional melaporkan bahwa moratorium ini
telah dilanggar oleh perusahaan-perusahaan Indonesia. Kendati begitu, moratorium ini berhasil
membatasi - untuk sementara - ekspansi perkebunan-perkebunan sawit. Pihak-pihak yang skeptis
terhadap moratorium tersebut menunjukkan bahwa sebelum penerapannya Pemerintah Indonesia
telah memberikan konsesi tanah seluas 9 juta hektar untuk lahan baru. Selain itu, perusahaan-
perusahaan besar minyak sawit masih memiliki lahan luas yang baru setengahnya ditanami,
berarti masih banyak ruang untuk ekspansi. Pada Mei 2015, Presiden Joko Widodo kembali
memperpanjang moratorium ini untuk periode 2 tahun.
Era Boom Komoditi 2000-an membawa berkat bagi Indonesia karena berlimpahnya sumberdaya
alam negara ini. Harga minyak sawit naik tajam setelah tahun 2005 namun krisis global
menyebabkan penurunan tajam harga CPO di tahun 2008. Terjadi rebound yang kuat namun
setelah tahun 2011 harga CPO telah melemah, terutama karena permintaan dari RRT telah
menurun, sementara rendahnya harga minyak mentah (sejak pertengahan 2014) mengurangi
permintaan biofuel berbahan baku minyak sawit. Karena itu, prospek industri minyak sawit
suram dalam jangka waktu pendek, terutama karena Indonesia masih terlalu bergantung pada
CPO dibandingkan produk-produk minyak sawit olahan.
Pada saat permintaan global kuat, bisnis minyak sawit di Indonesia menguntungkan karena
alasan-alasan berikut:
Kesadaran bahwa penting untuk membuat lebih banyak kebijakan ramah lingkungan
Konflik masalah tanah dengan penduduk lokal karena ketidakjelasan kepemilikan tanah
Ketidakjelasan hukum dan perundang-undangan
Biaya logistik yang tinggi karena kurangnya kualitas dan kuantitas infrastruktur
SUMBER:
https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166?