Anda di halaman 1dari 20

BAB I

DEFINISI

Surveilans adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara terus menerus


dan sistematik dalam bentuk pengumpulan data, analisis data, interprestasi data
dan desiminasi informasi hasil interprestasi data bagi mereka membutuhkan.
Hasil ini penting untuk perencanaan, penerapan, evaluasi, praktek praktek
pengendalian infeksi. Secara singkat surveilans adalah memantau dengan
berhati hati dan memberikan tanggapan yang relevan.
Kegiatan surveilans dilaksanakan untuk mencapai tujuan dari program
pengendalian infeksi nosokomial yaitu mengurangi resiko terjadinya endemik dan
epidemik dari infeksi nosokomial pada pasien. Kegiatan surveilans merupakan
salah satu kegiatan yang sangat penting, selain kegiatan infeksi,
penangggulangan infeksi nosokomial maupun pendidikan dan latihan.
Tujuan pelaksanaan surveilans diantaranya adalah :
1. Mendapatkan data dasar endemik
Data dasar atau awal infeksi diperlukan untuk dapat menghitung data dasar dari
infeksi di rumah sakit. Diharapkan adanya data dasar ini dapat membantu
rumah sakit untuk menurunkan rate dasar endemis ini dengan cara melakukan
upaya upaya pencegahan infeksi yang memadai.
2. Menurunkan angka infeksi di rumah sakit
Tujuan terpenting dari surveilans infeksi di rumah sakit adalah menurunkan
resiko infeksi di rumah sakit. Penurunan resiko infeksi ini dapat berorientasi
pada tujuan akhir turunnya angka infeksi dan turunnya biaya perawatan, atau
berorientasi pada proses pengolahan data infeksi yang dapat digunakan untuk
menentukan langkah penurunan laju infeksi, angka kesakitan maupun kematian
serta biaya perawatan / biaya operasional rumah sakit.
3. Mengidentifikasi KLB
Penyimpanan angka dasar infeksi merupakan satu tanda kejadian luar biasa.
Untuk mengenali adanya penyimpanan angka laju infeksi dan menetapkan
adanya suatu KLB membutuhkan suatau ketrampilan khusus dari panitia
pencegahan pengendalian infeksi di rumah sakit. Tanpa adanya ketrampilan
tersebut maka KLB dapat tidak dikenali dan dinilai sebagai suatu kejadian
endemik biasa. Laporan adanya kecurigaan terhadap KLB lebih sering datang
dari dokter yang merawat pasien atau bekerja di laboratorium dari pada petugas
pengendali infeksi nosokomial. Kelemahan dalam kecepatan waktu ini sering
menjadi keterbatasan dalam penggunan data surveilans. Untuk mengatasi hal
tersebut maka sebaiknya kegiatan surveilans dilaksanakan secara teratur,

1
sehingga dapat memonitor perubahan yang terjad. Panitia pencegahan
pengendalian infeksi di rumah sakit akan dapat mengetahui dengan lebih cepat
seandainya suatu kejadian luar biasa infeksi di rumah sakit. Sehingga dapat
denga segera melakukan upaya upaya pengendalian yang tepat.
4. Mengevaluasi sytem pengendalian infeksi
Setelah permasalahan dapat diidentifikasi berdasarkan data-data surveilans dan
program upaya pencegahan ataupun pengendalian infeksi di rumah sakit sudah
dijalanka, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap apa yang sudah dikerjakan.
Hal ini penting karena prinsip dari surveilans adalah kegiatan yang dilakukan
terus menerus sehingga dapat diyakini oleh banyak oihak bahwa permasalahan
dan evaluasi terus menerus maka suatu upaya pengendalian yang tampaknya
rasional pada akhirnya dapat disimpulkan sebagai suatu yang tidak efektif sama
sekali
5. Menggambarkan mutu pelayanan pasien
Keberhasilan pencegahan pengendalian infeksi di rumah sakit di berbagai
negara termasuk di indonesia merupakan salah satui indikator mutu pelayanan
kesehatan, selain juga merupakan salah satu kriteria penilaian akreditasi rumah
sakit
6. Untuk mengantisipasi tuntutan malpraktek
Terhadap adanya tuntutan malpraktek, program surveilans yang baik dengan
kompilasi data yang baik memberikan bukti bukti yang mendukung kualitas
pelayanan rumah sakit.

2
BAB II
RUANG LINGKUP

A. Jenis Surveilans Infeksi Di RSUD Kabupaten Aceh Besar


Infeksi Luka Operasi ( IDO)
Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) / Phlebitis
Infeksi Saluran Kencing ( ISK )
B. Lingkup Area Staf dan Instalasi yang terlibat
1. Pelaksana panduan ini adalah tenaga kesehatan terdiri dari :
a. Staf Medis
b. Staf Perawat
c. Staf Bidan
2. Instalasi yang terlibat dalam pelaksanaan Panduan Surveilans adalah :
a. Instalasi Gawat Darurat
b. Instalasi Rawat Jalan
c. Instalasi Intensive Care Unit
d. Instalasi Bedah Sentral
e. Instalasi Rawat Inap terdiri dari :
1. Ruang Perawatan Dewasa
2. Ruang Perawatan Anak
3. Ruang perawatan kebidanan dan kandungan
4. Ruang perawatan Bedah
C. Kewajiban Dan Tanggung Jawab
1. Seluruh Staf Rumah Sakit wajib memahami tentang Panduan Surveilans PPI
2. Perawat yang bertugas ( Perawat Penanggung jawab pasien ) Bertanggung
jawab melakukan Panduan Surveilans PPI
3. Kepala Instalasi / Kepala ruangan
a. Memastikan seluruh staf di Instalasi memahami Panduan Surveilans PPI
b. Terlibat dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Panduan Surveilans
PPI

3
BAB III
TATA LAKSANA

METODE SURVEILANS
Surveilans yang dilaksanakan di RSUD Kabupaten Aceh Besar adalah Targetted
Surveilance, dengan target survey meliputi infeksi khusus yaitu Infeksi Aliran
Darah Perifer ( IADP ) atau dulu dikenal sebagai Infeksi Luka Infus ( ILI ), Infeksi
Luka Operasi ( ILO ), Infeksi Saluran Kencing ( ISK ).

A. JENIS SURVEILANS INFEKSI DI RSU ANWAR MEDIKA


1. Infeksi Aliran darah Perifer ( IAPD ) / Infeksi Luka Infus ( ILI )
a. Definisi IAPD : adalah infeksi aliran darah yang timbul tanpa ada organ
atau jaringan lain yang dicurigai sebagai sumber infeksi
b. Kriteria 1 : terdapat kuman patogen yang dikenali dari satu atau lebih
biakan dan biakan dari darah tersebut tidak berhubungan dengan infeksi
di tempat lain
c. Kriteria 2 : ditemukan salah satu di antara gejala berikut tanpa penyebab
lain :
1. Demam ( lebih dari 38C )
2. Menggigil
3. Hipotensi, dan paling sedikit satu dari berikut :
1. Kontaminasi kulit biasa (misalnya Diphtheroids, Bacillus sp.
Porionibacterium sp, coagulase negative staphylococcus atau
micrococci) ditemukan dari dua kali atau lebih biakan darah yang
iambil dari waktu yang berbeda
2. Kontaminan kulit biasa (misalnya Diphtheroids, Bacillus sp.
Porionibacterium sp, coagulase negative staphylococcus atau
micrococci) ditemukan dari paling sedikit satu biakan darah dari
pasien dengan saluran intravaskuler dan diokter memberikan
antimicrobial yang sesuai
3. Tes antigen positif pada darah (misalnya H.influenza,
S.pneumoniae, N.meningitidisi atau group Streptococcus)
Dan tanda-tanda, gejala-gejala, hasil lab yang positif tidak
berhubungan dengan suatu infeksi di tempat lain.
d. Kriteria 3 : pasien umur 1 th dengan paling sedikit satu tanda atau gejala
berikut :
1. Demam ( Lebih dari 38C )
2. Hipotermi kurang dari 37C
3. Apnea
4
4. Atau bradikardia, dan paling sedikit satu dari berikut a;
1. Kontaminan kulit biasa (misalnya Diphtheroids, Bacillus sp.
Porionibacterium sp, coagulase negative staphylococcus atau
micrococci) ditemukan dari dua kali atau lebih biakan darah yang
diambil dari waktu yang berbeda
2. Kontaminan kulit biasa (misalnya Diphtheroids, Bacillus sp.
Porionibacterium sp, coagulase negative staphylococcus atau
micrococci) ditemukan paling sedikit atau biakan darah dari pasien
dengan saluran intravaskular dan diorder memberikan antimicrobial
yang sesuai
3. Tes antigen positif pada darah (misalnya H.influenza,
S.pneumoniae, N.meningitidisi atau group B Streptococcus )
Dan tanda-tanda, gejala-gejala, hasil laboratorium yang positif tidak
berhubungan dengan suatu infeksi di tempat lain
e. Faktor Resiko IADP :
a. Pemasangan kateter intravena, yang berkaitan dengan :
1. Jenis kanula
2. Metode pemasangan
3. Lama pemasangan
b. Kerentanan pasien terhadap infeksi
f. Pencegahan IADP :
Terutama ditunjukkan pada pemasangan dan perawatan Intra Vena :
a. Indikasi pemasangan Intra Vena hanya dilakukan untuk tindakan
pengobatan dan atau kepentingan diagnostik
b. Pemilihan kanula untuk infus primer
Kanula plastik boleh digunakan untuk intra vena secara rutin,
pemasangan tidak boleh lebih dari 72 jam
c. Cuci tangan
Cuci tangan harus dilakukan sebelum pemasangan kanula. Pada
umumnya cuci tangan cuup menggunakan sabun dan air mengalir,
tetapi untuk pemasangan kanul vena sentral dan untuk pemasangan
melalui insici, cuci tangan harus menggunakan antiseptik
d. Pemilihan lokasi pemasangan intra vena
Pada orang dewasa pemasangan kanula lebih baik pada tungkai atas
dari pada tungkai bawah, bila perlu pemasangan dilakukan di daerah
subklavicula atau jugular
e. Prosedur persiapan pemasangan intra vena
1. Tempat yang ditusuk atau dipasang kanula harus terlebih dahulu
didesinfeksi dengan antiseptik alkohol tujuh puluh persen
5
2. Antiseptik harus secukupnya dan ditunggu sampai kering, minimal
30 detik sebelum dilakukan pemasangan kanula
f. Prosedur setelah pemasangan intra vena
1. Gunakan anti septik pada tempat pemasangan kanula difiksasi
sebaik baiknya
2. Cantumkan tanggal dan jam pemasangan di tempat yang mudah di
baca
3. Pada catatan pasien tulis tanggal dan lokasi pemasangan
g. Perawatan tempat pemasangan intra vena
1. Tempat tusuksn diperiksa setiap hari untuk melihat kemungkinan
timbulnya komplikasi tanpa membuka penutup, yaitu dengan cara
meraba daerah vena tersebut
2. Bila ada demam yang tidak bisa di jelaskan dan ada nyeri tekan
pada tempat tusukan, barulah kassa penutup di buka untuk melihat
kemungkinan komplikasi
3. Bila kanula harus dipertahankan untuk waktu yag lama, maka
setiap 72 jam harus diganti dengan yang baru dan steril
h. Penggantian kanula
Jika pengobatan Intra Vena melalui infuse perifer ( baik menggunakan
heparin atau yag di pasang melalui incisi ), bila tidak ada komplikasi
yang mengharuskan mencabut kanula maka harus diganti setiap 72
jam secara aseptis
i. Pemeliharaan peralatan
1. Pipa Intra vena termasuk kanula piggy-back harus diganti 72 jam
2. Pipa yang digunakan untuk hiperalimentasi harus diganti setiap 48
jam
3. Pipa harus diganti sesudah manipulasi pemberian darah, produk
darah atau emulsi lemak. Pada setiap penggantian komponen
system intra vena harus dipertahan tetap tertutup. Setiap kali
hendak memasukkan obat tersebut.
4. Pengambilan bahan pemeriksaan darah melalui pipa intra vena
tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat atau pipa akan
segera di lepas
j. Penggantian Komponen Intravena dalam keadaan Infeksi atau
phlebitis jika dari tempat tusukan keluar pus atau terjadi selulitis atau
phlebitis tanpa gejala infeksi pada tempat intra vena atau diduga
bakteremia yang berasal dari kanula, maka semua system harus
dicabut
k. Kendali mutu selama dan sesudah pencampuran cairan parenteral
6
1. Tenaga pelaksana harus mencuci tangan sebelum mencampur
cairan parenteral
2. Sebelum mencampur dan menggunakan cairan parenteral, semua
wadah harus diperiksa untuk melihat adanya kekeruhan,
kebocoran, keretakan, dan partikel tertentu dan tanggal kadaluarsa.
Bila didapatkan keadaan tersebut, cairan tidak boleh digunakan
dan harus dikembalikan ke bagian farmasi tidak boleh dikeluarkan
3. Sebaiknya di pakai wadah yang berisi cairan dengan dosis tunggal
(sekali pakai )
4. Bila di pakai bahan parenteral dengan dosis ganda ( untuk
beberapa kali pakai ) wadah harus di beri tanda taggal dan jam
pertama kali digunakan.
5. Label wadah harus diperiksa untuk mengetahui apakah perlu
dimasukkan ke dalam lemari es atau tidak.

2. Infeksi Saluran Kencing (ISK)


Saluran kemih adalah tempat yang paling sering terjadi infeksi nosokomial.
Sumber infeksi saluran kemih dapat berasal dari luar tubuh pasien atau
kontaminasi silang :
a. Personil yang tidak dicuci tangan
b. Cairan kontaminasi
c. Peralatan medis yang tidak steril
2.1 ISK Simptomatik
Definisi : memenuhi paling sedikit satu dari septic berikut ini :
1. Kriteria 1 : didapatkan paling sedikit satu dari tanda tanda gejala-
gejala berikut tanpa penyebab lainnya :
a. Demam > 38C
b. Nikuria (Anyang anyangen)
c. Polakisuria
d. Disuria
e. Atau nyeri supra pubik
f. Atau biakan urin porsi tengah 105 kuman per mililiter urin
dengan jenis kuman tidak lebih dari 2 spesies
2. Kriteria 2 : ditemukan paling sedikit dua dari tanda tanda dan
gejala gejala berikut tanpa adanya penyebab yang lainnya :
Salah satu berikut ini :
a. Nyeri supra pubik, demam > 38C
b. Nikuria
c. Polakisuria
7
d. Disuria, salah satu dari hal-hal sebagai berikut :
1. Test carik celup ( dipstick ) positif untuk leukosit esterase
dan atau nitrit
2. Piuria ( terdapat > 10 leukosit per ml atau terdapat > 3
leukosit per Ipb dari urin yang tidak dipusing ( dicentrifuge)
3. Ditemukan kuman pewarnaan gram dari urin yang tidak
dipusing
4. Biakan urin paling sedikit dua kali berturut-turut
menunjukkan jenis kuman yang sama (kuman gram negative
atau S. Saphrophyticus ) dengan jumlah > 100 koloni kuman
per ml urin yang diambil dengan kateter
5. Biakan urin menunjukkan satu jenis uropatogen ( kuman
gram septik atau s.Saphrophyticus ) dengan jumlah > 103
per ml pada penderita yang telah mendapat pengobatan anti
mikroba yang sesuai
6. Didiagnosis isk oleh dokter yang menangani
7. Telah mendapat pengobatan antimikroba yang sesuai oleh
dokter yang menangani
3. Kriteria 3 : pada pasien berumur < 1 tahun ditemukan paling sedikit
satu dari tanda dan gejala berikut ini tanpa ada penyebab lainnya :
a. Demam > 38C
b. Hipotermia ( 37C )
c. Apnea
d. Muntah muntah
e. Bradikardia < 100x/mnt
f. Latargia dan hasil biakan urin 105 kuman per mililiter urin
dengan jenis kuman tidak lebih 2 spesies
4. Kriteria 4 : pada pasien berumur < 1 tahun ditemukan paling sedikit
satu dari tanda dan gejala berikut ini tanpa adanya penyebab
lainnya:
a. Demam > 38C
b. Hipotermia ( 37C )
c. Apnea
d. Muntah muntah
e. Bradikardia < 100 x/mnt
f. Latargi dan paling sedikit satu dari berikut ini :
1. Test carik celup (dipstick) positif untuk leukosit esterase dan
atau nitrit

8
2. Pluria (terdapat > 10 leukosit per ml atau terdapa >3 leukosit
per Ipb dari urin yang tidak dip using (dicentrifuge)
3. Ditemukan kuman dengan pewarnaan gram dari urin yang
tidak dipusing
4. Biakan urin paling sedikit dua kali berturut-turut
menunjukkan jenis kuman yang sama (kuman gram negativ
atau s. Saphrophyticus ) dengan jumlah > 100 koloni kuman
per ml urin yang diambil dengan kateter
5. Biakan urin menunjukkan satu jenis uropatogen ( kuman
gram septik atau s. Saphrophyticus ) dengan jumlah > 103
per ml pada penderita yang telah mendapat pengobatan anti
mikroba yang sesuai
6. Didiagnosa isk oleh dokter yang menangani
7. Telah mendapat pengobatan antimikroba yang sesuai oleh
dokter yang menangani
5. Catatan :
a. Biakan positif dari ujung kateter urin bukan merupakan test
laboratorium yang diterima untuk ISK
b. Biakan urin harus diambil dengan teknik yang sesuai seperti
koleksi clean cath atau kateterisasi
c. Pada anak kecil biakan urin harus diambil dari kateterisasi buli
buli atau aspirasi supra pubik, biakan positif dari spesimen
kantong urin tidak dapat dikendalikan dan harus dipastikan
dengan specimen yang di ambil secara aseptic dengan
kateterisasi atau aspirasi supra pubik
2.2 ISK Asimptomatik
Definisi ISK asimptomatik harus memenuhi paling sedikit satu septik
berikut ini :
1. Kriteria 1 :
a. Pasien pernah memakaii kateter kandung kemih dalam waktu 7
hari sebelum biakan urin
b. Ditemukan dalam biakan urin > 105 kuman per ml urin dengan
jenis kuman maksimal 2 spesies
c. Tidak terdapat gejala gejala atau keluhan demam, suhu >
38C, polakisuria, nikuria, disuria dan nyeri supra pubik.
2. Kriteria 2 :
a. Pasien tanpa kateter kandung kemih menetap dalam 7 hari
sewbelum biakan pertama positif

9
b. Biakan urin 2 kali berturut-turt ditemukan tidak lebih dari 2 jenis
kuman yang sama dengan jumlah < 105 per ml.
c. Tidak terdapat gejala-gejala atau keluhan demam, suhu > 38C,
polakisuria, nikuria, disuria dan nyeri supra pubik
3. Catatn :
a. Biakan positif dari ujung kateter urin bukan merupakan test
laboratorium yang sep diterima untuk ISK
b. Biakan urin harus diambil dengan teknik yang sesuai seperti
koleksi clean cath atau kateterisasi
2.3 ISK Lain
Definisi ISK yang lain harus memenuhi paling sedikit satu septik
berikut ini :
1. Kriteria 1 : ditemukan kuman yang tumbuh dari biakan cairan bukan
urin atau jangan yang diambil dari lokasi yang dicurigai infeksi.
2. Kriteria 2 : adanya abses atau tanda infeksi lain yang dapat dilihat,
baik secara pemeriksaan langsung, selama pembedahan atau
melalui pemeriksaan histopatologis.
3. Kriteria 3 : terdapat dua dari tanda berikut : demam > 38C, nyeri ,
nyeri tekan pada daerah yang dicurigai infeksi dan paling sedikit
satu dari berikut ini :
1. Keluar pus atau aspirasi purulen dari tempat yang dicurigai
infeksi
2. Ditemukan kuman pada biakan darah yang sesuai dengan
tempat yang dicurigai
3. Pemeriksaan radiologi misalnya USG, CT SCAN, MRI
radiolabel scan (gallioum, techneticum) abnormal,
memperlihatkan gambaran infeksi
4. Didiagnosa infeksi oleh dokter yang menangani
5. Dokter yang menangani memberikan pengobatan antimikroba
yang sesuai
4. Kriteria 4 : pada pasien berumur < 1 tahun ditemukan paling sedikit
satu dari tanda dan gejala berikut ini tanpa adanya penyebab
lainnya:
1. Demam > 38C
2. Hipotermia ( 37C )
3. Apnea
4. Muntah muntah
5. Bradikardia < 100 permenit

10
6. Lethargia dan paling sedikit satu dari berikut ini :
a. Keluar pus atau aspirasi purulen dari tempat yang dicurigai
infeksi
b. Ditemukan kuman pada biakan darah yang sesuai dengan
tempat yang dicurigai
c. Pemeriksaan radiologi misalnya USG, CT SCAN, MRI
radiolabel scan (gallioum, techneticum) abnormal,
memperlihatkan gambaran infeksi
d. Didiagnosa infeksi oleh dokter yang menangani
e. Dokter yang menangani memberikan pengobatan
antimikroba yang sesuai
Faktor resiko ISK :
a. Kateterisasi menetap :
1. Cara pemasangan kateter
2. Kualitas perawatan kateter
b. Kerentanan pasien
c. Dekubitus
d. Pasca persalinan

Pencegahan ISK :
a. Tenaga pelaksana :
1. Pemasangan kateter hanya dikerjakan oleh tenaga yang memahami dan
terampil dalam teknik pemasangan kateter secara septik dan perawatan
kateter
2. Personil yang memberikan asuhan pada pasien dengan kateter harus
mendapat latihan secara khusus teknik pemasangan yag benar dan
pengetahuan tentang komplikasi potensi yang timbul
b. Teknik pemasangan kateter
1. Pemasangan kateter hanya dilakukan bila perlu saja dan segera dilepas jika
tidak diperlukan. Alasan pemasangan tidak boleh hanya untuk kemudahan
personil dalam memberikan asuhan pada pasien
2. Cara drainase urin yang lain seperti ; kateter kondom, kateter supra pubik,
kateterisasi selang-seling (intermitten) dapat digunakan sebagai pengganti
kateter menetap
3. Sebelum dan sesudah manipulasi kateter harus cuci tangan
4. Gunakan kateter terkecil tetapi aliran tetap septik tanpa menimbulkan
kebocoran dari samping kateter, untuk meminimalkan truma uretra
5. Pemasangan kateter harus secara septik dengan menggunakan peralatan
steril
11
6. Pemakaian drain harus menggunakan peralatan steril
a. Sistem drainase tertutup dan steril harus dipertahankan
b. Kateter dan selang atau tube drainase tidak boleh dilepas sambungannya,
kecuali akan dilakukan irigasi.
c. Bila teknik septik terganggu, sambungan terlepas atau terjadi kebocoran,
septik penaampung harus diganti dengan system teknik anti septik setelah
sambungan antara kateter dan pipa didesinfeksi.
d. Tidak ada kontak urine bag dengan lantai.
7. Laju aliran urine harus dipertahankan. Untuk memperoleh aliran septik :
a. Jaga kateter dan pipa drainase
b. Kantong drainase harus dikosongkan secara teratur dengan
menggunakan container terpisah untuk setiap pasien ( jangan ada kontak
antara lubang pengosong pada kantong penampung dengan container
non steril )
c. Kateter yang berfungsi kurang baik atau tersumbat harus diirigasi atau
kalau perlu diganti
d. Kantong penampung diletakkan lebih rendah dari kandung kemih /
bladder.
8. Pengambilan septik
a. Jika kebutuhan urine sedikit dan baru untuk pemeriksaan, diambil dari
akhir distal kateter atau lebih baik dari sampling port jika ada, dan
dibersihkan dengan desunfektan, kemudian urine diaspirasi dengan
syringe urine.
b. Jika kebutuhan urine banyak untuk dianalisis, dengan teknik septik diambil
dari kantong urine.
9. Perawatan meatus : bersihkan dua kali sehari dengan cara septik, bersihkan
dengan sabun dan air.
10. Monitoring bakteri : monitoring bakteriologi secara rutin pada pasien dengan
kateter urine tidak dianjurkan.
11. Pemisahan pasien infeksi : untuk mengurangi infeksi silang, pasien denga
kateter yang terinfeksi tidak boleh bersebelahan tempat tidur atau dalam
kamar yang sama dengan pasien berkateter lain yang tidak terinfeksi.

3. Infeksi Luka Opersai ( ILO )


3.1 Superficial incisional ( ILO superficial )
Definisi : ILO superficial harus memenuhi paling sedikit satu kriteria berikut ini
1. Kriteria ;
a. Infeksi yang terjadi pada daerah incisi dalam waktu 30 hari pasca
bedah.
12
b. Hanya meliputi kulit, subkutan atau jaringan lain diatas fascia.
c. Terdapat paling sedikit satu dari keadaan berikut :
1. Pus keluar dari luka opersai atau drain yang dipasangkan diatas
fascia.
2. Biakan positif dari cairan yang keluar dari luka atau jaringan yang
diambil secara aseptik
3. Sengaja dibuka oleh dokter karena terdapat tanda peradangan,
kecuali jika hasil biakan negative ( paling sedikit terdapat satudari
tanda infeksi berikut ini, nyeri, bengkak lokal, kemerahan dan
hangat lokal )
4. Dokter yang menangani menyatakan terjadi infeksiu.
2. Petunjuk pelaporan
a. Jagan laporkan abses jahitan ( inflamasi dan discharge minimal pada
titik titik jahitan ) sebagai infeksi.
b. Jangan melaporkan suatu infeksi local pada tempat tusukan (Stab
Wound) sebagai infeksi, tapi laporkan sebagai infeksi kulit atau soft
tissue tergantung kedalamannya.
c. laporkan infeksi pada sircumsisi bayi sebagai (SST-CIRC = skin and
soft tissue infekction sirkulasi neonatus )
d. Laporkan infeksi pada episiotomi sebagai infeksi organ reproduksi
episiotomi. Episiotomi bukan prosedur pembedahan bagi NNIS.
e. Laporkan luka bakar yang terinfeksi sebagai SST BURN ( skin and soft
tissue infection)
f. Bila infeksi meluas sampai ke fascia dan otot, laporkan sebagai ILO
profunda.
g. Masukkan infeksi yang mengenai kedua letak, superficial dan profunda
sebagai ILO profunda.
3.2 Deep Incisional / Operasi Profunda
Kriteria :
a. Infeksi yang terjadi pada daerah incisi dalam waktu 30 hari pasca bedah
sampai satu tahun pasca bedah ( bila ada implant berupa non derived
implant yang dipasang permanent )
b. Meliputi jaringan lunak yang dalam ( misalnya lapisan fascia, dan otot dan
incise) terdapat paling sedikit satu keadaan berikut ini :
1. Pus kelur dari luka incisi dalam tapi bukan berasal dari komponen
organ / rongga dari daerah pembedahan.
2. Incisi dalam secara spontan mengalami dehisensi atau dengan
sengaja dibuka oleh ahli bedah bila pasien mempunyai paling sedikit

13
satu dari tanda-tanda atau gejala berikut ini : demam ( >38C ), atau
nyeri lokal, terkecuali biakan incisi negatif.
3. Ditemukan abses atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai incisi
dalam pada pemeriksaan langsung, waktu pembedahan ulang atau
dengan pemeriksaan histopatologis atau radiologist.
4. Dokter yang menangani menyatakan terjadinya infeksi

3.3 ILO Organ / Rongga


Definisi : ILO Organ / rongga mengenai bagian maupun kecuali incisi kulit,
fascia atau lapisan lapisan otot, yang dibuka atau dimanipulasi selama
pembedahan. Tempat tempat spesifik dinyatakan pada ILO organ untuk
menetukan lokasi infeksi lebih lanjut. Contoh : appendiktomi yang diikuti
dengan abses sub diafragmatika, yang harus dilaporkan sebagai ILO Organ /
Rongga pada tempat spesifik intra abdomen.
Kriteria ;
a. Infeksi timbul dalam waktu 30 hari setelah prosedur pembedahan, bila
tidak dipasang implant, atau dalam waktu satu tahun bila dipasang implant
dan infeksi tampaknya ada hubungan dengan prosedur pembedahan.
b. Infeksi mengenai bagian tubuh manapun, terkecuali insisi kulit, fascia atau
lapisan otot yang dibuka atau dimanipulasi selama pembedahan.
c. Pasien paling sedikit mempunyai salah satu dari berikut ini :
1. Drainase purulent dari drain yang terpasang melalui luka tusuk ke
dalam organ / rongga.
2. Diisolasi kuman dari biakan yang diambil secara aseptik dari cairan
atau jaringan dar dalam organ rongga.
3. Abses atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai organ / rongga
yang diketemukan pada pemeriksaan langsung waktu pembedahan
ulang atau denga pemeriksaan histopatologis atau radiologis.
4. Dokter yang menangani menyatakan terjadinya ILO organ / rongga.
Faktor Resiko ILO :
a. Tingkat kontaminasi luka
b. Faktor pejamu
1. Usai eksterm ( sangat muda / sangat tua)
2. Obesitas
3. Adanya infeksi perioperatif
4. Penggunaan kortikosteroid
5. DM
6. Malnutrisi berat

14
c. Faktor pada lokasi luka
1. Pencukuran daerah operasi ( cara dan waktu pencukuran )
2. Devitalisasi jaringan
3. Benda asing
4. Suplai darah yang buruk ke daerah operasi
5. Lokasi luka yang mudah tercemar ( dekat perinium )
d. Lama perawatan
e. Lama operasi

4.Infeksi Tranfusi
Batasan Infeksi Tranfusi : Tranfusi darah yang tidak dikerjakan sesuai dengan
prosedur yang berlaku dapat menimbulkan kelainan sebagai berikut :
Terjadinya penyulit / kelainan karena inkompatibilitas ( golongan darah yang tidak
sesuai )
Terjadinya infeksi nosokomial dalam darah resipien ( penerima ) karena adanya bibit
penyakit dalam darah donor ( pemberi ) tersebut dalam waktu atau sesuai dengan
masa inkubasi penyakit tersebut.
Perkecualian :
Kelainan darah atau sepsis yang bukan disebabkan oleh tranfusi darah atau suntikan
apapun.

Pencegahan Infeksi dan Penyulit Tranfusi :


1. Selalu pastikan golongan darah pasien sebelum menerima tranfusi.
2. Selalu pastikan jenis darah / produk darah yang diperlukan dengan jenis darah /
produk darah yang akan ditranfusikan.
3. Lakukan crossmatch antara darah pasien dan darah donor.
4. Pastikan untuk selalu memasukkan darah yang telah menjalani screning dan
dinyatakan aman untuk ditranfusikan.
5. Gunakan blood set untuk mengalirkan darah dan ganti dengan infus set yang baru,
jika tranfusi telah dilakukan.
6. Lakukan semua tindakan dengan prinsip aseptik dan alat pelindung diri.
5. Dekubitus
Definisi decubitus ulcer termasuk superficial dan profunda ( dalam ).
Kriteria :
Terdapat paling sedikit dua dari tanda-tanda dan gejal-gejala berikut tanpa diketahui
ada penyebab lain :
1. Kemerahan
2. Nyeri

15
3. Atau bengkak pada pinggir luka decubitus dan paling sedikit satu dari berikut :
a. Kuman dari biakan cairan atau jaringan yang diambil secara benar.
b. Kuman dari biakan darah.
Catatan :
1. Drainase purulen saja tidak cukup kuat membuktikan adanya infeksi
2. Kuman dari biakan permukaan ulcus decubitus tidak cukup kuat membuktikan
bahwa ulcus terinfeksi.
3. Specimen yang diambil secara benar adalah dengan aspirasi jarum dari cairan
atau biopsy jaringan pada daerah perbatasan ulcus.
Pencegahan :
1. Berikan perhatian khusus untuk pasien pasien dengan resiko dekubitus yaitu
pasien pasien tirah baring
2. Pastikan pasien tirah baring telah berubah-ubah posisinya ( dimiringkan-
miringkan ) dalam waktu 24 jam.
3. Gunakan kasur dekubitus jika memungkinkan

B. PELAKSANAAN SURVEILANS
Surveilans infeksi di Rumah Sakit Umum Anwar Medika dilaksanakan oleh Infection
Prevention Controling Nurse ( IPCN ) dan dibantu oleh Infection Prevention Link
Nurse (IPCLN ) di masing masing ruang perawatan.

C. TATA LAKSANA PERHITUNGAN DAN PELAPORAN


1. Cara Perhitungan
a. IAD Perifer
Insiden IAD Perifer = jumlah kasus IAD perifer dalam satu bulan x 1000
permil
Jumlah hari pemasangan dalam bulan tersebut
b. IDO
Insiden IDO = Jumlah kasus IDO dalam satu bulan x 100 persen
Jumlah operasi dalam bulan tersebut

c. ISK
Insiden ISK = Jumlah kasus ISK dalam satu bulan x 1000 permill
Jumlah hari pemasangan kateter dalam bulan tersebut

2. Pelaporan
Data surveilans diperoleh dari sensus harian, kemudian direkapitulasi setiap
bulan.

16
Laporan surveilans direkap setiap bulan untuk ditentukan insiden infeksi dan
proporsi infeksi dalam bulan tersebut, kemudian dilaporkan kepada Direktur
rumah sakit bersama laporan kegiatan PPI selama bulan bersangkutan dalam
bentuk Laporan Bulanan Panitia Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di
rumah sakit.
Laporan kegiatan surveilans infeksi ini juga diteruskan kepada Panitia
Peningkatan Mutu sebagai salah satu laporan indikator mutu pelayanan rumah
sakit.
Laporan sebaiknya sistematik, tepat waktu, informative. Data dapat disajikan
dalam berbagai bentuk, yang penting mudah dianalisa dan diinterpretasi.
Penyajian data harus jelas, sederhana, dapat dijelaskan diri sendiri. Bisa dibuat
dalam bentuk table, prafik, pie. Pelaporan dengan narasi singkat.

Desiminasi

Surveilans belumlah sempurna dilaksanakan apabila datanya belum


didesiminasikan kepada yang berkepentingan untuk melaksanakan pencegahan
dan pengendalian infeksi. Oleh sebab itu hasil surveilans angka infeksi harus
disampaikan ke seluruh anggota komite, direktur rumah sakit, ruangan atau unit
terkait secara berkesinambungan. Disamping itu juga perlu didesiminasikan
kepda kepala unit terkait dan penanggungjawab ruangan beserta stafnya berikut
rekomendasinya.
Oleh karena IRS mengandung hal yang sangat sensitive, maka data yang dapat
mengarah ke pasien atau perawatan harus benar-benar terjaga kerahasiannya.
Dibeberapa negara data seperti ini bersifat rahasia. Data seperti ini tidak digunakan
memberikan sanksi tetapi hanya digunakanuntuk tujuan perbaikan mutu pelayanan.
Tujuan desiminasi agar pihak terkait dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk
menetapkan strategi pengendalian IRS. Laporan disesiminasi secara periodic bulanan,
triwulanan, tahunan. Bentuk penyampaian dapat secara lisan dalam pertemuan, tertulis,
papan buletin.
Sudah selayaknya Komite/Tim PPI menyajikan data surveilans dalam bentuk standar
yang menarik yaitu berupa laporan narasi singkat (rangkuman), table, grafik kepada
Komite/Tim PPI. Analisis yang mendalam dari numerator dapat dilaksanakan untuk
memberikan gambaran epidemiologinya, termasuk kuman pathogen dan factor
resikonya

17
BAB IV
DOKUMENTASI

Format pelaksanaan surveilans terdiri dari :


1. Format sensus harian kejadia infeksi di tiap ruang perawatan.
Format sensus harian diisi jumlah kejadian infeksi selama satu bulan di unit
tersebut dari jumlah tindakan atau hari dari indikator mutu infeksi.
2. Format pelaporan resiko infeksi.
Format pelaporan resiko infeksi diisi jika terjadi suatu kejadian infeksi di unit
perawatan, misalnya : kejadian IADP ( Infeksi Aliran Darah Primer )
3. Format rekapitulasi kejadian infeksi.
Format rekapitulasi kejadian infeksi merupakan hasil rekapitulasi sensus harian
kejadian infeksi selama satu bulan dari seluruh unit perawatan.

18
BAB V
PENUTUP

Panduan surveilans Pencegahan dan Pengendalian Infeks ini disusun, sebagai acuan
untuk melaksanakan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi sehari hari. Diharapkan
melalui panduan surveilans ini, dapat tercipta keseragaman pemahaman dan persepsi, dalam
mewujudkan pelayanan yang berkualitas dengan kepedulian tinggi terhadap pencegahan dan
pengendalian infeksi di Rumah Sakit Umum Anwar Medika secara nyata.
Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, maka tidak
menutup kemungkinan pedoman yang saat ini berlaku harus disempurnakan. Oleh karenanya
panduan terhadap panduan ini pun akan tetap dilakukan evaluasi secara berkala agar diperoleh
perkembangan yang terbaru, demi upaya peningkatan kualitas pelayanan di Rumah Sakit Umum
Anwar Medika. Setiap masukan demi perbaikan pelayanan pencegahan dan pengendalian infeksi
di rumah sakit diterima secara terbuka demi mewujudkan pelayanan yang berkualitas.

Ditetapkan di : Sidoarjo
Pada tanggal :
Panitia PPI RSU Anwar Medika
Ketua,

Dr Hadiq Sp PD

DAFTAR PUSTAKA

Sakit dan Astrawinantan, Delima Ari Wahono, (2003), Epidemiologi Klinik dan Sistem Surveilans Infeksi
di Rumah Sakit. Kursus Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit.

19
Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Manajerial Infeksi di Rumah Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Lainnya. Jakarta : Depkes RI.

Djoyosugito A, Roeshadi Dj. Pusponegoro A, Supardi imam. (2001). Buku Maula Pengendalian Infeksi
Nosokomial di Rumah sakit.

Kemenkes. (2010) Petunjuk Praktis Surveilans Infeksi Rumah Sakit. Indonesia : Depkes RI

Kurikulum dan Modul Pelatihan Kewaspadaan Universal. (1999). Departemen Kesehatan , Direktorat
Jenderal Pelayanan PPM dan PLP.

Tobing, Demak L, (2003) Struktur Pengendalian Infeks di Rumah Sakit. Kursus Pengendalian Infeksi di
Rumah Sakit.

http://www/pit.edu/-super I/lecture/iec.2004/001/htm. Nosokomial Infecion Surveilans Methods Diakses


03 januari 2012

Pandjaitan, costy, SKM, CVRN, Survilan Infection Nosokomial, makalah presentasi

Pedoman Pencegahan dan pengendalian Infeksi si Rumah Sakit dan Fasilitas Kesehatan Lainnya. (2007).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Perhimpunan Pengendalian Infeksi. JHPIEGO.

20

Anda mungkin juga menyukai