Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Fungsi seksual dan fungsi mental adalah bagian dari fungsi yang mempengaruhi

kualitas hidup manusia. Fungsi seksual dalam hubungan seksual suami istri, pada

dasarnya tidak selalu diidentikkan semata-mata untuk menghasilkan keturunan

(prokreasi), juga sangat bermakna untuk kesenangan (rekreasi) bagi pasangan

tersebut. Tidak bisa dipungkiri suasana dan hasil yang menyenangkan dari hubungan

seksual suami istri, akan menambah kasih sayang diantara keduanya, dan secara

keseluruhan berdampak positif dalam kehidupan keluarga.

Gangguan seksual tidak hanya berdampak pada laki-laki, tetapi juga pada

pasangannya. Salah satu satu gangguan fungsi seksual yang banyak ditemui di

masyarakat adalah gangguan disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi adalah

ketidakmampuan yang menetap atau terus-menerus untuk mencapai atau

mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan

seksual yang memuaskan. Individu dengan disfungsi ereksi merasa tidak puas,

kecewa, malu dan rendah diri karena tidak mampu memberikan kepuasan seksual,

hal ini dapat memperberat gangguan mental yang sudah ada atau sebagai faktor

pencetus gangguan mental (Balon R, Clayton AH, 2014, Feldman, 2007).

Gangguan mental itu adalah, anxietas yang merupakan gangguan mental

yang banyak dijumpai di masyarakat dan sering bersama-sama dengan depresi,

1
mekanisme yang memperantarainya adanya ketidakseimbangan dari beberapa

neurotransmiter dan hormonal (Anil, 2009).

Prevalensinya, banyak ditemukan pada masyarakat dengan umur 30

tahunkeatas (Papaharitou, et all.,2006). Laporan dari berbagai negara bervariasi

seperti di USA sebesar 24%, di Jerman 20,3%, dan di Italia 20% (Porst, et all.,

2006). Di Malaysia ditemukan disfungsi ereksi sekitar 22,3% dan 25% berhubungan

dengan anxietas serta 14,6% berhubungan dengan depresi (Quek, et all., 2008). Di

Indonesia belum ada data pasti tentang jumlah laki-laki yang mengalami disfungsi

ereksi. Diduga kurang dari 10% laki-laki yang menikah di Indonesia mangalami

disfungsi ereksi.

Mengingat adanya hubungan sebab akibat antara disfungsi ereksi dengan

gangguan mental, penting untuk mengetahui hubungan ini agar dapat dilakukan

manajemen penanganan yang tepat.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BATASAN

Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap atau terus-menerus untuk

mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat

mencapai hubungan seksual yang memuaskan. Hal ini menunjukkan bahwa proses

fungsi seksual laki-laki mempunyai dua komponen yaitu mencapai keadaan ereksi

dan mempertahankannya (Feldman, 2007, Balon R, Clayton AH, 2014).

2.2 ETIOLOGI

Secara garis besar disfungsi ereksi dapat dibagi menjadi 2 bagian besar sebagai

berikut:

A. Disfungsi Ereksi organik, sebagai akibat gangguan endokrin, neurogenik,

vaskuler (aterosklerosis atau fibrosis).

1) Disfungsi ereksi endokrinologik biasanya berupa sindroma ADAM (Androgen

Deficiency in the Aging Male), yang merupakan hipogonadisme pada lansia.

Disfungsi ereksi tipe ini disebabkan oleh gangguan testikular baik primer

maupun sekunder. Selain itu juga dapat disebabkan oleh penyakit yang

menyebabkan hiperprolaktinemia, hipertiroid, hipotiroid dan Cushings disease

(Papaharitou, S., Athanasiadis, L., Nakopoulou, E., et all, 2006)

3
2) Disfungsi ereksi neurogenik dapat disebabkan oleh gangguan jalur impuls

terjadinya ereksi. Lesi dilobus temporalis sebagai akibat trauma atau multiple

sclerosis, stroke, gangguan atau rusaknya jalur asupan sensorik misalnya pada

polineuropati diabetik, tabes dorsalis atau penyakit ganglia radiks dorsalis

medula spinalis, juga pada gangguan nervus erigentes akibat pasca

prostatektomi total atau operasi rektosigmoid (Papaharitou, S., Athanasiadis,

L., Nakopoulou, E., et all, 2006).

3) Disfungsi ereksi vaskuler merupakan disfungsi ereksi yang paling sering pada

lansia yang mungkin berhubungan erat dengan prevalensi penyakit

aterosklerosis yang tinggi pada lansia. Gangguan aliran darah arteri ke korpus

kavernosus akibat bekuan darah, aterosklerosis, atau hilangnya kelenturan

dinding pembuluh darah dapat menyebabkan disfungsi ereksi. Selain itu

disfungsi ereksi bisa terjadi pada penyakit Leriche, yaitu obstruksi di pangkal

bifurkasio a. iliaka di daerah a. abdominalis. Serta penyakit Peyronie

mengakibatkan pengisian darah tidak sempurna yang akan menyebabkan

disfungsi ereksi (Papaharitou, S., Athanasiadis, L., Nakopoulou, E., et all,

2006).

B. Disfungsi ereksi psikogenik, adalah disfungsi ereksi yang disebabkan faktor psikis

yang berperan penting terhadap ereksi, bahkan jika malfungsi organik terkecil pun

dapat berakibat pada konsekuensi psikologis, yang selanjutnya disebut dengan

performance related anxiety. Faktor-faktor yang berperan pada disfungsi ereksi

4
psikogenik dibagi atas 3 kelompok, yaitu faktor predisposisi (pendidikan, kultur,

pengalaman traumatik, masalah keluarga, stress ekonomi), faktor pencetus

(gangguan organik, perselingkuhan, harapan yang tidak tercapai, depresi,

anxietas, dan kehilangan pasangan hidup), maintaining factors (penampilan,

berkurangnya daya tarik terhadap pasangan, ketakutan berhubungan intim) (Maes,

M. 2007, Fauci et al., 2008).

Sebelum ini selalu dikatakan sebagai penyebab utama disfungsi ereksi,

namun menurut penelitian hal ini tidak benar. Justru penyebab utama disfungsi

ereksi pada gangguan organik, walaupun faktor psikogenik ikut memegang

peranan. Disfungsi ereksi jenis ini disebabkan faktor psikogenik biasanya

episodik, terjadi secara mendadak yang didahului oleh periode stres berat, cemas,

depresi. Disfungsi ereksi dengan penyebab psikologis dapat dikenali dengan

mencermati tanda klinisnya yaitu: usia muda dengan awitan mendadak, awitan

berkaitan dengan kejadian emosi spesifik, disfungsi pada keadaan tertentu

sementara dalam keadaan lain normal, ereksi malam hari tetap ada, riwayat

terdahulu adanya disfungsi ereksi yang dapat membaik secara spontan, terdapat

stres dalam kehidupannya, status mental terkait kelainan depresi atau cemas

(Papaharitou, S., Athanasiadis, L., Nakopoulou, E., et all, 2006).

5
2.3 FISIOLOGI EREKSI

Mekanisme fisiologis ereksi pada penis diawali dengan adanya stimulasi seksual

yang akan melibatkan pelepasan senyawa oksida nitrat (nitric oxide= NO), dari

bagian penis yang disebut corpus cavernosum. Nitric oxide akan mengaktifkan

enzim guanylate cyclase yang menyebabkan peningkatan senyawa cyclic guanosine

monophosphate (cGMP), selanjutnya menyebabkan pelebaran pembuluh darah

disekitar corpus cavernosum, darah mengalir ke penis sehingga terjadi pembesaran

penis (ereksi) (Heninger, G.R. 2005, Hull, E.M., Lorrain, D.S., Du, J.,

Matuszewich,L., et all, 2004).

Senyawa cGMP diuraikan atau didegradasi oleh enzim yang bernama

fosfodiesterase-5 (PDE5) yang menyebabkan penis kembali pada ukuran semula

(relaksasi penis) (Sweetman, 2009). Ereksi penis normal membutuhkan fungsi penuh

beberapa sistem fisiologis seperti vaskular, nervous (saraf), dan hormonal serta

secara psikologis menerima rangsangan seksual. Saat ereksi, aliran darah arteri dan

vena berjalan seimbang dari corpora, dalam keadaan ereksi aliran arteri meningkat

dan mengisi sinusoid dalam corpora yang menyebabkan penis mengalami

pembesaran. Aliran arteri ditingkatkan oleh asetilkolin yang merupakan mediator

vasodilatasi. Pada umumnya asetilkolin bekerja dengan dua jalur yang berbeda untuk

menimbulkan ereksi (Hull, E.M., Lorrain, D.S., Du, J., Matuszewich,L., et all, 2004).

Dengan adanya rangsangan seksual dari jaringan genital, asetilkolin melalui

jalur utama meningkatkan produksi NO oleh sel endotel dan non adrenergik non

6
cholinergik neuron. Nitric oxide meningkatkan aktivitas guanylate cyclase, yang

meningkatkan senyawa cGMP. Senyawa cGMP menurunkan konsentrasi kalsium

intraseluler dalam sel otot halus arteri penis dan sinus cavernosum. Akibatnya terjadi

relaksasi otot halus yang meningkatkan aliran darah arteri corpora. Sedangkan pada

jalur alternatif, asetilkolin menstimulasi otot halus pada reseptor membran sel untuk

meningkatkan aktivitas adenil cyclase. Adenil cyclase menyebabkan peningkatan

senyawa 7cyclic adenosine triphosphate (cAMP). Seperti halnya cGMP, cAMP

menurunkan konsentrasi kalsium intraselular untuk menghasilkan relaksasi otot

halus dalam sel pembuluh darah dan sinus carvernosum. Dalam keadaan sadar,

pasien mengalami ereksi setelah terjadi stimulasi sensorik seksual melalui sistem

saraf pusat. Otak akan memproses informasi dan dorongan saraf dilakukan ke

sumsum tulang belakang untuk saraf kolinergik perifer yang mengatur suplai

pembuluh darah ke corpora sehingga terjadi ereksi. Dapat dikatakan bahwa ereksi

dimulai oleh aksi saraf, dikelola oleh darah arteri untuk pengisian corpora, dan

ditopang oleh oklusi aliran vena dari corpora (Heninger, G.R. 2005).

Hormon testosteron merangsang libido atau rangsangan seksual pada pria.

Dalam kondisi fisiologis normal, pasien dengan tingkat testosteron serum yang

normal tidak mungkin memiliki disfungsi ereksi. Sedangkan dalam keadaan libido

menurun karena stres atau karena kurangnya produksi hormon testosteron dapat

menyebabkan ereksi tidak dapat terjadi. Dorongan seksual dikatakan normal apabila

7
dalam kondisi fisiologis yang normal serum testosteron berada dalam rentang

konsentrasi serum 300-1100 ng/dL (Dipiro et al , 2005)

Ereksi merupakan hasil dari suatu interaksi yang komplek dari faktor

psikologik, neuroendokrin dan mekanisme vascular yang bekerja pada jaringan

ereksi penis (Dipiro et al , 2005).

Anton, Erectile dysfunction, 2012, dari www. Klinikandrologi.com

8
Anton, Erectile dysfunction, 2012, dari www. Klinikandrologi.co

2.4 PATOFISIOLOGI

Disfungsi ereksi dapat disebabkan dari tiga mekanisme dasar yaitu: (Kim, S.W., dan

Paick,J.S. 2004)

1) Kegagalan menginiasi (psikogenik, endokrinologi, atau neurogenik)

2) Kegagalan pengisian (arteriogenik)

3) Kegagalan untuk menyimpan volume darah yang adekuat di dalam jaringan

lacunar (disfungsi venooklusif)

A. Vaskulogenik

Penyebab organik paling sering untuk disfungsi ereksi adalah gangguan aliran

darah ke penis. Atherosclerosis atau penyakit arterial traumatik dapat menurunkan

aliran ke ruang lacunar, menyebabkan menurunnya rigiditas dan memanjangnya

9
waktu untuk ereksi penuh. Aliran yang berlebihan pada vena, walaupun adekuat

jumlahnya, dapat menyebabkan disfungsi ereksi. Perubahan struktural pada

komponen fibroelastik pada corpora dapat menyebabkan berkurangnya komplian

dan ketidakmampuan untuk menyempitkan vena (Kim, S.W., dan Paick,J.S.

2004).

B. Neurogenik

Gangguan yang mengenai medulla spinalis bagian sakral atau jaras saraf otonom

menuju penis dapat mencegah terjadinya aktivitas sistem relaksasi saraf pada otot

halus penis, sehingga hal ini mengakibatkan disfungsi seksual. Pada pasien

dengan cedera medulla spinalis, derajat dari disfungsi seksual bergantung pada

tingkat kerusakan dan lokasi lesi. Pasien dengan lesi parsial atau cedera pada

bagian atas dari medulla spinalis cenderung masih memiliki kemampuan ereksi

dibandingkan seseorang yang memiliki lesi sempurna atau terdapat pada bagian

bawah medulla spinalis. Walaupun sekitar 75% pasien dengan cedera medulla

spinalis memiliki kemampuan untuk ereksi, hanya 25% dari jumlah tersebut yang

memiliki ereksi yang cukup untuk penetrasi. Gangguan neurologis lainnya yang

umumnya berkaitan dengan disfungsi seksual termasuk multiple sclerosis atau

neuropati perifer. Yang terakhir disebabkan oleh diabetes atau alkoholisme.

Operasi pelvis juga dapat menyebabkan disfungsi seksual akibat terganggunya

suplai saraf otonom (Maes, M. 2007).

10
C. Endokrinologik

Hormon androgen meningkatkan libido, namun perannya belum dapat dijelaskan

pada proses terjadinya ereksi. Seseorang dengan kadar testosteron yang rendah dapat

mencapai ereksi dari stimulus visual atau seksual. Namun, kadar testosteron normal

sepertinya penting untuk fungsi ereksi, terutama pada pria tua. Terapi alih androgen

dapat memperbaiki fungsi ereksi yang menurun jika diakibatkan hypogonadism,

namun terapi ini tidak bermanfaat pada disfungsi ereksi jika kadar testosteron masih

normal. Peningkatan hormon prolaktin dapat menurunkan libido dengan menekan

hormon gonadotropin-releasing hormone (GnRH), dan juga dapat menurunkan kadar

testosteron. Terapi untuk hiperprolaktinemia dapat menggunakan agonis dopamin

yang dapat mengembalikan libido dan testosteron (Laumann, E.O., Paik, A., dan

Rosen, R.C.2006).

D. Diabetes

Mekanisme patologis utamanya berkaitan dengan komplikasi vaskuler dan

neurologik diabetes melitus. Komplikasi makrovaskuler diabetes biasanya berkaitan

dengan umur, dimana komplikasi mikrovaskuler berhubungan dengan durasi

lamanya diabetes dan derajat pengendalian glikemia. Seseorang dengan diabetes juga

memiliki penurunan pembentukan nitric oxide pada jaringan endotel dan neural

(Laumann, E.O., Paik, A., dan Rosen, R.C.2006).

11
E. Akibat Pengobatan

Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh obat diperkirakan terjadi pada 25% pria yang

ditemukan pada klinik rawat jalan. Diantara agen antihipertensi, diuretik thiazid dan

beta blocker yang paling sering menjadi penyebab. Calcium channel blocker dan

ACE inhibitor lebih jarang dilaporkan. Obat-obat ini dapat bekerja secara langsung

pada tingkat corporal (mis: Ca channel blocker) atau secara tidak langsung dengan

menurunkan tekanan darah pada pelvis, dimana penting untuk mempertahankan

kontraksi penis. Adrenergik blocker jarang menjadi penyebab disfungsi

ereksi.Estrogen, agonis GnRH, H2 antagonis, dan spironolactone menyebabkan

disfungsi ereksi dengan menekan produksi gonadotropin atau dengan menghambat

kerja androgen. Agen antidepresi dan antipsikosis terutama neuroleptik, tricyclic,

dan SSRI berhubungan dengan kesulitan dalam ereksi, ejakulasi, orgasme, atau

kepuasan seksual lainnya(Maes, M. 2007).

Daftar obat yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi

Classification Drugs

Diuretics Thiazides, Spironolactone

Antihypertensives Calcium channel blockers, Methyldopa, Clonidine, Reserpine, Beta


Blockers, Guanethidine

Cardiac/anti-hyperlipidemics Digoxin, Gemfibrozil, Clofibrate

Antidepressants Selective serotonin reuptake inhibitors, Tricyclic antidepressants, Lithium,


Monoamine oxidase inhibitors

12
Tranquilizers Butyrophenones, Phenothiazines

H2 antagonists Ranitidine, Cimetidine

Hormones Progesterone, Estrogens, Corticosteroids, GnRH agonists, 5-Reductase


inhibitors, Cyproterone acetate

Cytotoxic agents Cyclophosphamide, Methotrexate, Roferon-A

Anticholinergics Disopyramide, Anticonvulsants

Recreational Ethanol, Cocaine,Marijuana

Dikutip dari Original articleErectile Dysfunction from Harrisons Principle of Internal Medicine 17thed.

F. Psikogenik

Dua mekanisme yang berkontribusi terhadap inhibisi ereksi pada disfungsi ereksi

psikogenik.

Pertama, stimulus psikogenik pada sacral medulla spinalis dapat menghambat respon

reflexogenik, akibatnya menghambat aktivasi aliran vasodilator menuju penis.

Kedua, stimulasi simpatis berlebihan pada pria cemas dapat meningkatkan tonus otot

halus penis.

Penyebab paling umum dari disfungsi ereksi psikogenik adalah kecemasan, depresi,

konflik suatu hubungan, kehilangan rasa memikat, hambatan seksual, konflik dengan

partner sex, pelecehan sexual pada masa kecil, dan ketakutan akan penyakit menular

sexual (Maes, M. 2007, Fauci et al., 2008).

13
Hal diatas juga terjadi karena:

A. Gangguan biokimia yaitu neurotrasmiter dopamin, serotonin, norepinefrin, GABA

yang mempunyai peranan penting dalam fungsi seksual:

Dopamin

Keempat jaras saraf pusat dopaminergik berperan pada perilaku seksual:

a. Stimulus jaras incertohypothalamic meningkatkan semua fase pada perilaku

seksual dan menginduksi ereksi penis.

b. Jaras mesolimbik terlibat dalam fase antisipatorik dari aktivitas seksual yang

berhubungan dengan motivasi.

c. Jaras nigrostriatal penting pada perilaku motorik yang dibutuhkan untuk aktivitas

seksual.

d. Jaras tuberoinfudibular berperan pada keinginan untuk melakukan seksual

(Sweetman, 2009, Anil, 2009, Balon R, Clayton AH, 2014).

Serotonin

Bekerja pada reseptor sentral dan perifer dalam memperantai fungsi seksual

a. Di sentral, menurunkan tingkat aktivitas dopaminergik mesolimbik dan

meningkatkan prolaktin yang menyebabkan penurunan libido.

b. Di perifer, pada reseptor di medulla spinalis, serotonin memiliki efek inhibitorik

pada ejakulasi dan ereksi

c. Serotonin bekerja pada saraf tepi yang mempengaruhi aliran informasi sensoris ke

genital

14
d. Serotonin bekerja pada otot polos dari genital yang menghambat kontraksi otot

dengan timbulnya orgasme dan serotonin dapat menunda orgasme melalui inhibisi

presinaptik atau transmisi adrenergik (Sweetman, 2009, Anil, 2009, Balon R,

Clayton AH, 2014).

Norepinefrin

Kadar norepinefrin pada plasma darah secara positif berhubungan dengan

rangsangan dan ereksi selama aktivitas seksual, meningkat hingga 12 kali saat

orgasme dan menurun ke kadar dasar dalam 2 menit setelah mencapai orgasme :

(Sweetman, 2009, Anil, 2009, Balon R, Clayton AH, 2014).

GABA (Gama aminobutyric acid)

Penggunaan benzodiazepine yang meningkatkan GABA telah diimplikasikan pada

laporan kasus tentang penurunan libido, disfungsi ereksi, dan anorgasmia.Meskipun

mekanismenya tidak dipahami dengan baik, telah diajukan hipotesis bahwa sedasi

yang memperantarainya (Sweetman, 2009, Anil, 2009, Balon R, Clayton AH, 2014).

B. Respon terhadap stres, dimana CRF (corticotropin releasing factor) di korteks

frontalis meningkat kemudian menuju ke aliran darah mencapai kelenjar hipofise,

merangsang pelepasan hormon adrenokortikotropin (ACTH) yang selanjutnya

melepaskan berbagai hormon glukokortikoid, yaitu kortisol dari kelenjar adrenal,

menyebabkan komponen psikis terganggu, maka perjalanan stimulus erotis

(rangsang erotis) tidak dapat diterima dengan sempurna oleh otak, kemudian

rangsangan yang kurang sempurna tersebut akan diteruskan oleh hypothalamus

15
otak yang merupakan pusat reseptor rangsang dari hypothalamus dialirkan

melalui medulla spinalis pada onuts nucleus yang merupakan pusat rangsangan

erotis dan rangsangan tersebut dialirkan ke penis, terjadi vasodilatasi yang kurang

optimal sehingga mengalami disfungsi ereksi (Maes, M. 2007).

Anton, erectile dysfunction, 2012, dari www. Klinikandrologi.com

16
2.5 Diagnosa

1 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda hipogonadisme (termasuk testis kecil,

ginekomasti dan berkurangnya pertumbuhan rambut tubuh dan janggut)

memerlukan perhatian khusus. Pemeriksaan penis dan testis dikerjakan untuk

mengetahui ada tidaknya kelainan bawaaan atau induratio penis. Bila perlu

dilakukan palpasi transrektal dan USG transrektal. Tidak jarang disfungsi ereksi

disebabkan oleh penyakit prostat jinak ataupun prostat ganas atau prostatitis

Pemeriksaan rektum dengan jari (digital rectal examination), penilaian

tonus sfingter ani, dan bulbo cavernosus reflek (kontraksi muskulus

bulbokavernous pada perineum setelah penekanan glands penis) untuk menilai

keutuhan dari sacral neural outflow. Nadi perifer dipalpasi untuk melihat adanya

tanda-tanda penyakit vaskuler. Dan untuk melihat komplikasi penyakit diabetes

(termasuk tekanan darah, ankle bracial index, dan nadi perifer) (Balon R,

Clayton AH, 2014).

2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis disfungsi ereksi

antara lain: kadar serum testosteron pagi hari (perlu diketahui, kadar ini sangat

dipengaruhi oleh kadar luteinizing hormone). Pengukuran kadar glukosa dan

lipid, hitung darah lengkap (complete blood count), dan tes fungsi ginjal.

17
Sedangkan pengukuran vaskuler berdasarkan injeksi prostaglandin E1

pada corpora penis, duplex ultrasonography, biothesiometry, atau nocturnal

penile tumescence tidak direkomendasikan pada praktek rutin/sehari-hari namun

dapat sangat bermanfaat bila informasi tentang vascular supply diperlukan,

misalnya, untuk menentukan tindakan bedah yang tepat (Moore TM, Strauss JL,

Herman S, et al, 2003).

2.6 Penanganan

Prinsip penatalaksanaan dari disfungsi ereksi pada pria adalah sebagai berikut:

1. Membuat diagnosa dari disfungsi ereksi

2. Mencari etiologi dari disfungsi ereksi tersebut

3. Pengobatan sesuai dengan etiologi disfungsi ereksi

Pengobatan untuk memulihkan fungsi seksual, yang terdiri dari

pengobatan bedah dan pengobatan non bedah (konseling seksual dan sex

theraphy, obat-obatan, alat bantu seks, serta pelatihan jasmani) (Balon R,

Clayton AH, 2014, Bergner RM, 2002)

Penanganan disfungsi ereksi dengan farmakologi dibagi menjadi 3 lini terapi,


yaitu:
1 Terapi lini pertama

Terapi lini pertama yaitu memberi obat oral pada pasien. Untuk tahap ini, Badan

Pengawasan Obat-obatan dan Makanan telah mengizinkan tiga jenis obat yang

beredar di Indonesia, masing-masing dikenal dengan jenis obat

18
a. Sildenafil (Viagra),

b. Tadalafil (Cialis)

c. Vardenafil (Levitra).

Ketiga jenis obat ini merupakan obat untuk menghambat enzim Phosphodiesterase-5

(PDE-5), suatu enzim yang terdapat di organ penis dan berfungsi untuk

menyelesaikan ereksi penis. Ketiga jenis obat ini memiliki kelebihan dan kekurangan

(Balon R, Clayton AH, 2014, Winton MA, 2001)

a. Sildenafil bukan merupakan zat perangsang dan juga tidak meningkatkan nafsu

seksual, tetapi hanya bekerja bila ada stimulus seksual atau rangsangan erotik.

Bekerja secara kompetitif menghambat enzim PDE-5, sehingga perombakan cGMP

yang terbentuk dengan terlepasnya NO akibat stimulasi seksual akan terhambat,

sehingga terjadi relaksasi otot polos penis dalam korpora kavernosa yang cukup lama

untuk suatu ereksi yang memuaskan. Sildenafil bekerja selektif terhadap PDE5

dibandingkan terhadap PDE yang lain, maka efek utamanya adalah terhadap korpus

kavernosus di penis, karena PDE5 juga terdapat pada pembuluh darah maka

pengaruh sildenafil terhadap pembuluh darah tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu

dengan menghambat PDE5, obat ini berpotensi untuk mendorong terjadinya ereksi.

Mula kerja Sildenafil antara jam 1 jam. Sedangkan masa kerjanya berkisar 5-10

jam. Efek samping Sildenafil umumnya bersifat singkat dan tidak begitu serius, yang

tersering berupa sakit kepala, muka merah, gangguan penglihatan (buram sampai

melihat segala sesuatu kebiru-biruan), dan mual, yang kesemuanya berkaitan dengan

19
blokade PDE5 inhibitor yang terdapat di seluruh tubuh. Obat ini juga tidak bisa

diminum bersamaan dengan makanan karena absorsi (penyerapannya) akan

terganggu jika lambung dalam kondisi penuh (Balon R, Clayton AH, 2014, Winton

MA, 2001).

PDE5 Inhibitor mechanism:

b. Vandenafil, lebih selektif dalam menghambat PDE-5 mengingat dosisnya

tergolong kecil yaitu antara 10mg-20mg. Mula kerjanya lebih cepat, 10 menit

1jam, dengan masa kerja 5-10 jam. Keunggulan Vandenafil adalah

absorsinya tidak dipengaruhi oleh makanan. Jadi jika ingin melakukan

20
hubungan intim dengan istri setelah candle light dinner, boleh-boleh saja.

Kelemahannya, akan terjadi vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah di

hidung sehingga menyebabkan hidung tersumbat). Biasanya minum pertama

akan menyebabkan pening (Balon R, Clayton AH, 2014, Winton MA, 2001).

c. Tadalafil, masa kerjanya jauh lebih panjang yaitu 36 jam. Mula kerjanya

sekitar 1 jam dan tidak dipengaruhi oleh makanan sehingga absorsinya tidak

terganggu. Kekurangannya, obat ini juga menghambat PDE-11 enzim yang

letaknya di pinggang sehingga jika mengkonsumsi ini, si pria akan

mengalami rasa sakit di pinggang (Balon R, Clayton AH, 2014, Winton MA,

2001).

2 Terapi lini kedua

Pada terapi lini kedua yang terdiri dari suntikan intravernosa dan pemberian

alprostadil melalui uretra. Terapi suntikan intrakarvenosa yang digunakan adalah

penghambat adrenoreseptor dan prostaglandin. Prinsip kerja obat ini adalah

dapat menyebabkan relakasasi otot polos pembuluh darah dan karvenosa yang

dapat menyebabkan ereksi. Melakukan penyuntikan secara entrakavernosa dan

pengobatan secara intraurethra yang memasukkan gel ke dalam lubang kencing.

Pasien dapat melakukan sendiri cara ini setelah dilatih oleh dokter (Balon R,

Clayton AH, 2014, Winton MA, 2001).

21
3 Terapi lini ketiga

Terapi lini ketiga yaitu implantasi prosthesis pada penis. Tindakan ini

dipertimbangkan pada kasus gagal terapi medikamentosa atau pada pasien yang

menginginkan solusi permanen untuk masalah disfungsi ereksi (Balon R,

Clayton AH, 2014, Winton MA, 2001).

22
BAB III
SIMPULAN

Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap atau terus-menerus untuk

mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat

mencapai hubungan seksual yang memuaskan. Hal ini menunjukkan bahwa proses

fungsi seksual laki-laki mempunyai dua komponen yaitu mencapai keadaan ereksi

dan mempertahankannya. Terdapat dua katagori disfungsi ereksi yang terjadi pada

laki-laki, yaitu psikogenik dan organik.

Mekanisme fisiologis ereksi pada penis diawali dengan adanya stimulasi

seksual yang akan melibatkan pelepasan suatu senyawa oksida nitrit (NO) dari

bagian penis yang disebut corpus cavernosum. Nitric oxide akan mengatifkan enzim

guanylate cyclase yang menyebabkan peningkatan senyawa cyclic guanosine

monophosphate (cGMP), selanjutnya menyebabkan pelebaran pembuluh darah

disekitar corpus cavernous, sehingga darah mengalir ke penis dan menyebabkan

pembesaran penis (ereksi).

Disfungsi ereksi dapat disebabkan dari tiga mekanisme dasar yaitu:

Kegagalan menginiasi (psikogenik, endokrinologi, atau neurogenik), Kegagalan

pengisian (arteriogenik), Kegagalan untuk menyimpan volume darah yang adekuat di

dalam jaringan lacunar (disfungsi venooklusif)

23
Pada diagnose harus diperhatikan riwayat pengobatan, pemeriksaan fisik,

laboratorium untuk mengetahui penyebab disfungsi ereksi, untuk menentukan terapi

selanjutnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Anil Kumar Mysore Nagaraj. 2009. Biology of Sexual Dysfunction. Journal of Health
and Allied Sciences.

Balon R, Clayton AH: Sexual dysfunctions, in Gabbards Treatment of Psychiatric


Disorders, 5th Edition. Edited by Gabbard GO. Washington, DC, American
Psychiatric Publishing, 2014.

Bergner RM: Sexual compulsion as an attempted recovery from degradation: theory


and therapy. J Sex Marital Ther 28:373-387, 2002.

Glennon, R.A., Dukat, M., and Westkaemper, R.B. 2000.Serotonin Receptor


Subtypes and Ligand.Neuropsychopharmacology: The Fith Generation of
Progress.

Heninger, G.R. 2005.Serotonin, Sex, and Psychiatric Illness.Proc.Natl. Acad. Sci,


USA; 94: 4823 4824.

Hull, E.M., Lorrain, D.S., Du, J., Matuszewich,L., Lumley, LA., Putnam, S.K.,
Moses, J. 2004. Hormone-Neutransmitter Interactions in the Control of
Sexual Behavior.Behav Brain Res; 105: 105-116.

Kim, S.W., dan Paick,J.S. 2004. Peripheral Effect of Serotonin on the Contractile
Responses of Rat Seminal Vesicles and Vasa Deferentia. Journal of
Andrology; 25:

Kim, Y.C .2001. Diagnosis and Treatment of Erectile Dysfunction & Treatment of
Premature Ejaculation. Journal of Asian Sexology; 2 : 89- 92.

Laumann, E.O., Paik, A., dan Rosen, R.C.2006.Sexual Dysfunction in United


States.Prevalence and Predictors. JAMA; 281: 537.

Maes, M. 2007. The Effect of Psychological Stress on Humans: Increased


Production of Pro-Inflammatory Cytokines and Th1-Like Response in Stress-
Induced Anxiety Export. Cytokine; 10: 313 318.

25
Moore TM, Strauss JL, Herman S, et al: Erectile dysfunction in early, middle, and
late adulthood: symptom patterns and psychosocial correlates. J Sex Marital
Ther 29:381-399, 2003.

Pangkahila, W. 2003, MitosdanGangguan Seksual, Kompas Cyber Media.


diambiltanggal 28 Maret 2009.

Papaharitou ,S., Athanasiadis, L., Nakopoulou, E., Kirana, P., Portseli, A., Iraklidou,
M., Hatzimouratidis, K., danHatzichristou, D. 2006. Erectile Dysfunction and
Premature Ejaculation Are he Most Frequently Self-Reported Sexual
Concern: Propilles 0f 9,536 Men Calling a Helpline. European Urology;
49(3): 557 563.

Roger S. Kirby, 2005, An Atlas of Erectile Dysfunction.

Winton MA: Gender, sexual dysfunctions, and the Journal of Sex and Marital
Therapy. J Sex Marital Ther 27:333-337, 2001.

26

Anda mungkin juga menyukai