Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia sejak tahun 1998 merupakan era transisi dengan tumbuhnya
proses demokrasi. Demokrasi juga telah memasuki dunia pendidikan nasional
antara lain dengan lahirnya Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam bidang pendidikan bukan lagi merupakan tanggung
jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah
daerah sebagaimana diatur dalam Undang Undang No 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan
pemerintah pusat. Perubahan dari sistem yang sentralisasi ke desentralisasi akan
membawa konsekuensi-konsekuensi yang jauh di dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional.
Selain perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi yang membawa banyak
perubahan juga bagaimana untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam
menghadapi persaingan bebas abad ke-21. Kebutuhan ini ditampung dalam
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya
tenaga guru dan dosen sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional.
Sistem Pendidikan Nasional Era Reformasi yang diatur dalam Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 diuraikan dalam indikator-indikator akan
keberhasilan atau kegagalannya, maka lahirlah Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dijelaskan
dalam Permendiknas RI.
Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik
dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai
pendidikan nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas. Dunia pendidikan
sekarang ini bukan merupakan pemersatu bangsa tetapi merupakan suatu ajang
pertikaian dan persemaian manusia-manusiaa yang berdiri sendiri dalam arti yang
sempit, mementingkan diri dan kelompok. Maka dari itu perlu kiranya kami bahas
tentang kualitas pendidikan dan upaya-upaya peningkatan Kualitas pendidikan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kualitas pendidikan?

2. Apa standar dan parameter pendidikan yang berkualitas?

3. Apa upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan?

BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Kualitas Pendidikan

Arti dasar dari kata kualitas menurut Dahlan Al-Barry dalam Kamus
Modern Bahasa Indonesia adalah kualitet: mutu, baik buruknya barang1[1].
Seperti halnya yang dikutip oleh Quraish Shihab yang mengartikan kualitas
sebagai tingkat baik buruk sesuatu atau mutu sesuatu.2[2]

Sedangkan kalau diperhatikan secara etimologi, mutu atau kualitas


diartikan dengan kenaikan tingkatan menuju suatu perbaikan atau kemapanan.
Sebab kualitas mengandung makna bobot atau tinggi rendahnya sesuatu. Jadi
dalam hal ini kualitas pendidikan adalah pelaksanaan pendidikan disuatu lembaga,
sampai dimana pendidikan di lembaga tersebut telah mencapai suatu
keberhasilan.3[3] Menurut Supranta kualitas adalah sebuah kata yang bagi
penyedia jasa merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik.4[4]
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Guets dan Davis dalam bukunya Tjiptono
menyatakan kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan
produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi
harapan.5[5]Kualitas pendidikan menurut Ace Suryadi dan H.A.R Tilaar
merupakan kemampuan lembaga pendidikan dalam mendayagunakan sumber-
sumber pendidikan untuk meningkatkan kemampuan belajar seoptimal
mungkin.6[6]
Di dalam konteks pendidikan, pengertian kualitas atau mutu dalam hal ini
mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dari konteks proses
pendidikan yang berkualitas terlibat berbagai input (seperti bahan ajar: kognitif,
afektif dan, psikomotorik), metodologi (yang bervariasi sesuai dengan
kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana
dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Dengan adanya
manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensingkronkan berbagai input
tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar
mengajar, baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas atau di luar
kelas, baik dalam konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam
lingkungan substansi yang akademis maupun yang non akademis dalam suasana
yang mendukung proses belajar pembelajaran.

Kualitas dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada hasil atau prestasi
yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir
cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai
atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan
akademis, misalnya ulangan umum, EBTA atau UN. Dapat pula prestasi dibidang
lain seperti di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu.
Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang
(intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan
dan sebagainya.7[7] Selain itu kualitas pendidikan merupakan kemampuan sistem
pendidikan dasar, baik dari segi pengelolaan maupun dari segi proses pendidikan,
yang diarahkan secara efektif untuk meningkatkan nilai tambah dan factor-
faktor input agar menghasilkan output yang setinggi-tingginya.

Jadi pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang dapat


menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dasar untuk belajar, sehingga
dapat mengikuti bahkan menjadi pelopor dalam pembaharuan dan perubahan
dengan cara memberdayakan sumber-sumber pendidikan secara optimal melalui
pembelajaran yang baik dan kondusif. Pendidikan atau sekolah yang berkualitas
disebut juga sekolah yang berprestasi, sekolah yang baik atau sekolah yang
sukses, sekolah yang efektif dan sekolah yang unggul. Sekolah yang unggul dan
bermutu itu adalah sekolah yang mampu bersaing dengan siswa di luar sekolah.
Juga memiliki akar budaya serta nilai-nilai etika moral (akhlak) yang baik dan
kuat.8[8]
Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang mampu menjawab
berbagai tantangan dan permasalahan yang akan dihadapi sekarang dan masa
yang akan datang. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kualitas atau mutu
pendidikan adalah kemampuan lembaga dan sistem pendidikan dalam
memberdayakan sumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan kualitas yang
sesuai dengan harapan atau tujuan pendidikan melalui proses pendidikan yang
efektif.

Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang dapat menghasilkan


lulusan yang berkualitas, yaitu lulusan yang memilki prestasi akademik dan non-
akademik yang mampu menjadi pelopor pembaruan dan perubahan sehingga
mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapinya, baik di
masa sekarang atau di masa yang akan datang (harapan bangsa).

2.2. Standar atau Parameter Pendidikan Yang Berkualitas

Standar / parameter adalah ukuran atau barometer yang digunakan untuk


menilai atau mengukur sesuatu hal. Ini menjadi penting untuk kita ketahui,
apalagi dalam rangka mewujudkan suatu pendidikan yang berkualitas. Kalau kita
mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP.) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Standar nasional pendidikan diatas, ada delapan (8) hal yang
harus diperhatikan untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, yaitu :9[9]

a) Standar isi, adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang
dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan
kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus
dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
b) Standar proses, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai
standar kompetensi lulusan.
c) Standar pendidik dan tenaga kependidikan, adalah kriteria pendidikan
prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam
jabatan.
d) Standar sarana dan prasarana, adalah standar nasional pendidikan yang
berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga,
tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat
bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang
diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi.
e) Standar pengelolaan, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan
dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional, agar
tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
f) Standar pembiayaan, adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya
biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selam satu tahun.
g) Standar penilaian pendidikan, adalah standar nasional pendidikan yang
berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar
peserta didik.
Standar nasional pendidikan ini berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan, pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan
nasional yang bermutu.10[10]Juga bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan
nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat. 11[11]Salah satu standar diatas yang
paling penting untuk diperhatikan yaitu standar pendidik dan kependidikan.
Dimana seorang pendidik harus memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini,
yaitu :12[12] kompetensi peadagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional, dan kompetensi sosial.

Ada empat (4) standar kualitas pendidikan dalam urutan prioritasnya


adalah sebagai berikut : guru (teacher), kurikulum (curriculum), atmosfer
akademik (academic atmosphere), dan sumber keilmuan (academic
resource).13[13] Berikut ini uraian dari standar kualitas diatas :14[14]
1. Guru (Teacher)

Mutu pendidikan amat ditentukan kualitas dan komitmen seorang guru.


Profesi guru menjadi tidak menarik di banyak daerah karena tidak menjanjikan
kesejahteraan finansial dan penghargaan profesional. Oleh karena itu, dengan
dirumuskannya jenjang profesionalitas yang jelas, maka kualitas guru-guru dapat
dijaga dengan baik. Tentunya hal ini juga berkaitan dengan penghargaan
profesionalitas yang didapat dalam setiap jenjang tersebut.

Guru juga harus bertanggung jawab dalam membangun atmosfer akademik


di dalam kelas. Atmosfer ini sebenarnya bertujuan untuk membentuk karakter
siswa terutama berkaitan dengan nilai-nilai akademik utama yaitu sikap ilmiah
dan kreatif. Guru perlu menekankan nilai-nilai inti yang berhubungan dengan
pengembangan sikap ilmiah dan kreatif dalam setiap tugas yang diberikan kepada
siswanya, dalam membimbing siswa memecahkan suatu persoalan atau juga dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan dari siswa. Untuk dapat mengajar secara
efektif, maka guru-guru akan ditraining secara kontinyu (bukan hanya sekali
saja) dan terutama akan dibekali pengetahuan tentang cara mengajar yang baik
dan bagaimana cara menilai yang efektif. Sehingga diharapkan guru tersebut
dapat mengembangkan cara mengajarnya sendiri, dapat meningkatkan
pengetahuan mereka sendiri dan juga dapat berkolaborasi dengan guru yang lain.

2. Kurikulum (Curriculum)

Kurikulum di sini bukan sekedar kumpulan aktivitas saja, ia harus koheren


antara aktivitas yang satu dengan yang lain. Dalam kurikulum, juga harus
diperhatikan bagaimana menjaga agar materi-materi yang diberikan dapat
menantang siswa sehingga tidak membuat mereka merasa bosan dengan
pengulangan-pengulangan materi saja. Tentu saja hal ini bukan berarti mengubah-
ubah topik yang ada tetapi lebih kepada penggunaan berbagai alternatif cara
pembelajaran untuk memperdalam suatu topik atau mengaplikasikan suatu topik
pada berbagai masalah riil yang relevan.

Kurikulum juga harus memuat secara jelas mengenai cara pembelajaran


(learning) dan cara penilaian (assesment) yang digunakan di dalam kelas. Cara
pembelajaran yang dijalankan harus membuat siswa memahami dengan benar
mengenai hal-hal yang mendasar. Pemahaman ini bukan hanya berdasarkan hasil
dari pengajaran satu arah dari guru ke siswa, tetapi lebih merupakan pemahaman
yang muncul dari keaktifan siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri
dengan merangkai pengalaman pembelajaran di kelas dan pengetahuan yang telah
dimilikinya sebelumnya.

3. Atmosfer Akademik (Academic Atmosphere)

Atmosfer akademik bertujuan untuk membentuk karakter siswa terutama


berkaitan dengan nilai-nilai akademik utama yaitu sikap ilmiah dan kreatif.
Atmosfer ini dibangun dari interaksi antar siswa, dari interaksi antara siswa
dengan guru, interaksi dengan orang tua siswa dan juga suasana lingkungan fisik
yang diciptakan. Guru memegang peran sentral dalam membangun atmosfer
akademik ini dalam kegiatan pengajarannya di kelas dan berlaku untuk semua
yang terlibat dalam sistem pendidikan.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana membangun sikap ilmiah dan


kreatif ini dalam kegiatan operasional pendidikan sehari-harinya? Untuk ini kita
perlu menyadari nilai-nilai inti yang harus ditanamkan ke semua komponen yang
terlibat dalam kegiatan pendidikan yang diselenggarakan. Sikap ilmiah yang
dimaksud adalah sikap yang menghargai hasil-hasil intelektual baik yang berasal
dari dirinya sendiri maupun orang lain, disamping kritis dalam menerima hasil-
hasil intelektual tersebut. Sedangkan sikap kreatif disini mempunyai maksud
sikap untuk terus-menerus mengembangkan kemampuan memecahkan soal dan
mengembangkan pengetahuan secara mandiri.

Untuk membangun Sikap Ilmiah perlu ditanamkan nilai kejujuran (honesty),


dan nilai kekritisan (skeptics). Sedangkan untuk membangun sikap kreatif perlu
ditanamkan nilai ketekunan (perseverence), dan nilai keingintahuan
(curiosity).15[15]

Selanjutnya nilai-nilai inti ini perlu diterjemahkan dalam berbagai kode


etik yang menjadi pedoman dalam kegiatan operasional pendidikan sehari-hari,
seperti larangan keras mencontek, dorongan untuk mengemukakan pendapat dan
bertanya, penghargaan atas perbedaan pendapat, penghargaan atas kerja keras,
dorongan untuk memecahkan soal sendiri, keterbukaan untuk dikoreksi dan
seterusnya. Aktivitas-aktivitas ini selanjutnya harus dilakukan setiap hari dan
terus dipantau perkembangan oleh mereka yang diberi kewenangan penuh.

4. Sumber Keilmuan (Academic Resource)


Sumber Keilmuan disini adalah berupa prasarana dalam kegiatan
pengajaran, yaitu buku, alat peraga dan teknologi. Semua hal ini harus dapat
dieksploitasi dengan baik untuk mendukung setiap proses pengajaran dan juga
dalam membangun atmosfer akademik yang hendak diciptakan. Apalagi
pengajaran menganut pendekatan yang kongkrit, maka guru harus dapat
menggunakan hal-hal yang umum disekitar kita seperti: mata uang dan jam,
sebagai alat peraga.

2.3 Upaya Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan

A. Peningkatan Kualitas Guru

Guru yang memiliki posisi yang sangat penting dan strategi dalam
pengembangan potensi yang dimiliki peerta didik. Pada diri gurulah kejayaan dan
keselamatan masa depan bangsa dengan penanaman nilai-nilai dasar yang luhur
sebagai cita-cita pendidikan nasional dengan membentuk kepribadian sejahtera
lahir dan bathin, yang ditempuh melalui pendidikan agama dan pendidikan umum.
Oleh karena itu harus mampu mendidik diperbagai hal, agar ia menjadi seorang
pendidik yang proposional. Sehingga mampu mendidik peserta didik dalam
kreativitas dan kehidupan sehari-harinya. Untuk meningkatkan profesionalisme
pendidik dalam pembelajaran, perlu ditingkatkan melalui cara-cara sebagai
berikut:

1. Mengikuti Penataran
Menurut para ahli bahwa penataran adalah semua usaha pendidikan dan
pengalaman untuk meningkatkan keahlian guru menyelarasikan pengetahuan dan
keterampilan mereka sesuai dengan kemajuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dalam bidang-bidang masing-masing.16[16] Sedangkan kegiatan
penataran itu sendiri di tujukan:
a. Mempertinggi mutu petugas sebagai profesinya masing-masing.
b. Meningkatkan efesiensi kerja menuju arah tercapainya hasil yang optimal.
c. Perkembangan kegairahan kerja dan peningkatan kesejahteraan.17[17]
Jadi penataran itu dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi
kerja, keahlian dan peningkatan terutama pendidikan untuk menghadapi arus
globaliasi.
2. Mengikuti Kursus-Kursus Pendidikan
Hal ini akan menambah wawasan, adapun kursus-kursus biasanya meliputi
pendidikan arab dan inggris serta computer.
3. Memperbanyak Membaca
Menjadi guru professional tidak hanya menguasai atau membaca dan hanya
berpedoman pada satu atau beberapa buku saja, guru yang berprofesional
haruslah banyak membaca berbagai macam buku untuk menambah bahan materi
yang akan disampaikan sehingga sebagai pendidik tidak akan kekurangab
pengetahuan-pengetahuan dan informasi-informasi yang muncul dan berkembang
di dalam mayarakat.
4. Mengadakan Kunjungan Kesekolah Lain (studi komperatif)
Suatu hal yang sangat penting seorang guru mengadakan kunjungan antar
sekolah sehingga akan menambah wawasan pengetahuan, bertukar pikiran dan
informasi tentang kemajuan sekolah. Ini akan menambah dan melengkapi
pengetahuan yang dimilikinya serta mengatai permasalahan-permasalahan dan
kekurangan yang terjadi sehingga peningkatan pendidikan akan bisa tercapai
dengan cepat.
5. Mengadakan Hubungan Dengan Wali Siswa
Mengadakan pertemuan dengan wali siswa sangatlah penting sekali, karena
dengan ini guru dan orang tua akan dapat saling berkomunikasi, mengetahui dan
menjaga peserta didik serta bisa mengarahkan pada perbuatan yang positif.
Karena jam pendidikan yang diberikan di sekolah lebih sedikit apabila
dibandingkan jam pendidikan di dalam keluarga.
B. Peningkatan Materi

Dalam rangka peningkatan pendidikan maka peningkatan materi perlu sekali


mendapat perhatian karena dengan lengkapnya meteri yang diberikan tentu akan
menambah lebih luas akan pengetahuan. Hal ini akan memungkinkan peserta didik
dalam menjalankan dan mengamalkan pengetahuan yang telah diperoleh dengan
baik dan benar. Materi yang disampaikan pendidik harus mampu menjabarkan
sesuai yang tercantum dalam kurikulum. Pendidik harus menguasai materi dengan
ditambah bahan atau sumber lain yang berkaitan dan lebih actual dan hangat.
Sehingga peserta didik tertarik dan termotivasi mempelajari pelajaran.
C. Peningkatan dalam Pemakaian Metode

Metode merupakan alat yang dipakai untuk mencapai tujuan, maka sebagai
salah satu indicator dalam peningkatan kualitas pendidikan perlu adanya
peningkatan dalam pemakaian metode. Yang dimakud dengan peningkatan metode
disini, bukanlah menciptakan atau membuat metode baru, akan tetapi bagaimana
caranya penerapannya atau penggunaanya yang sesuai dengan materi yang
disajikan, sehingga mmperoleh hasil yang memuaskan dalam proses belajar
mengajar. Pemakaian metode ini hendaknya bervariasi sesuai dengan materi yang
akan disampaikan sehingga peserta didik tidak akan merasa bosan dan jenuh
atau monoton. Untuk itulah dalam penyampaian metode pendidik harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Selalu berorientasi pada tujuan
2) Tidak hanya terikat pada suatu alternatif saja
3) Mempergunakan berbagai metode sebagai suatu kombinasi, misalnya: metode
ceramah dengan tanya jawab.
Jadi usaha tersebut merupakan upaya meningkatkan kualitas pendidikan
pada peserta didik diera yang emakin modern.
D. Peningkatan Sarana

Sarana adalah alat atau metode dan teknik yang dipergunakan dalam rangka
meningkatkan efektivitas komunikasi dan interaksi edukatif antara pendidik dan
peserta didik dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.18[18] Dari
segi sarana tersebut perlu diperhatikan adanya usaha meningkatkan sebagai
berikut:
1) Mengerti secara mendalam tentang fungsi atau kegunaan media pendidikan
2) Mengerti pengunaan media pendidikan secara tepat dalam interaksi belaja
mengajar
3) Pembuatan media harus sederhana dan mudah
4) Memilih media yang tepat sesuai dengan tujuan dan isi materi yang akan
diajarkan.
Semua sekolah meliputi peralatan dan perlengkapan tentang sarana dan
prasarana, ini dijelaskan dalam buku Admitrasi Pendidikan yang disusun oleh
Tim Dosen IP IKIP Malang menjelaskan: sarana sekolah meliputi semua
peralatan serta perlengkapan yang langsung digunakan dalam proses pendidikan
di sekolah, contoh: gedung sekolah (school building), ruangan meja, kursi, alat
peraga, dan lain-lainnya. Sedangkan prasarana merupakan semua komponen yang
secara tidak langung menunjang jalannya proses belajar mngajar atau pendidikan
di sekolah, sebagai contoh: jalan menuju sekolah, halaman sekolah, tata tertib
sekolah dan semuanya yang berkenaan dengan sekolah.19[19]
E. Peningkatan Kualitas Belajar

Dalam setiap proses belajar mengajar yang dialami peserta didik selamanya
lancar seperti yang diharapkan, kadang-kadang mengalami kesulitan atau
hambatan dalam belajar. Kendala tersebut perlu diatasi dengan berbagai usaha
sebagai berikut:
1) Memberi Rangsangan
Minat belajar seseorang berhubungan dengan perasaan seseorang. Pendidikan
harus menggunakan metode yang sesuai sehingga merangsang minat untuk
belajar dan mempelajari baik dari segi bahasa maupun mimic dari wajah dengan
memvariasikan setiap metode yang dipakai. Dari sini menimbulkan yang namanya
cinta terhadap bidang studi, sebab pendidik mampu memberikan ransangan
terhadap peserta didik untuk belajar, karena yang disajikan benar-benar
mengenai atau mengarah pada diri peserta didik yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Selanjutnya setelah peserta didik terangsang terhadap pendidikan
maka pendidik tinggal memberikan motivasi secara kontinew. Oleh karena itu
pendidik atau lembaga tinggal memberikan atau menyediakan sarana dan
prasarana saja, sehingga peserta didik dapat menerima pengalaman yang dapat
menyenangkan hati para peserta didik sehingga menjadikan peserta didik
belajar semangat.

2) Memberikan Motivasi Belajar


Motivasi adalah sebagai pendorong peserta didik yang berguna untuk
menumbuhkan dan menggerakkan bakat peserta didik secara integral dalam
dunia belajar, yaitu dengan diambil dari sisitem nilai hidup peserta didik dan
ditujukan kepada penjelasan tugas-tugas.

Motivasi merupakan daya penggerak yang besar dalam proses belajar


mengajar, motivasi yang diberikan kepada peserta didik dapat berupa:

a. Memberikan penghargaan.

Usaha-usaha meyenangkan yang diberikan kepada peserta didik yang


berprestasi yang bagus, baik berupa kata-kata, benda, simbul atau berupa
angka (nilai). Penghargaan ini bertujuan agar peserta didik selalu termotivasi
untuk lebih giat belajar dan mampu bersaing dengan teman-temannya secara
sehat, karena dengan itu pendidik akan mudah meningkatkan kualita
pendidikan.

b. Memberikan hukuman.

Pemberian hukuman ini bersifat mendidik artinya bentuk hukuman itu


sendiri berkaitan dengan pembelajaran. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki
kesalahan.

c. Mengadakan kompetisi dan lomba.


Pengadaan ini dipergunakan untuk meningkatkan prestasi peserta didik
untuk membantu peserta didik dalam pembentukan mental yang tangguh
selain pembentukan pengetahuan.untuk membantu proses pengajaran yang
selalu dimulai dari hal-hal yang nyata bagi siswa.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Kualitas pendidikan adalah pelaksanaan pendidikan disuatu lembaga, sampai


dimana pendidikan di lembaga tersebut telah mencapai suatu keberhasilan.
2. Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP.) No. 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Standar nasional pendidikan diatas, ada delapan
(8) hal yang harus diperhatikan untuk mewujudkan pendidikan yang
berkualitas, yaitu : standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, standar penilaian pendidikan,
3. Upaya peningkatan kualitas pendidikan dapat di tempuh dengan beberapa cara
antara lain: peningkatan kualitas guru, peningkatan materi, peningkatan dalam
pemakaian metode, peningkatan sarana, peningkatan kualitas belajar.
3.2 Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan
kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat
dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia
agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan
meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.

Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang


terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini
bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United

Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas

pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10


dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14

negara berkembang.

Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para

guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa

pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para

pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan

seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang

membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah

dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada

dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.

Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang

sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada

pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi,

pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat

di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya

pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan

pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan.

Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia

menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut

menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa

tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari

42 negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat

14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih

dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.

B. Pembatasan Masalah

Dari uraian di atas dilihat begitu kompleksnya permasalahan dalam pendidikan yang ada di

Indonesia. Oleh karena itu Penulis membatasi beberapa masalah dalam penulisan makalah

dengan Masalah-masalah mendasar pendidikan di Indonesia, Kualitas pendidikan di

Indonesia, dan Solusi Pendidikan di Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui

masalah-masalah apa saja yang terjadi pada pendidikan di Indoensia yang dillihat dari

kualitas pendidikannya semakin hari semakin menurun.

2. Manfaat

Dari penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan

pengetahuan serta wawasan penulis kepada pembaca tentang keadaan pendidikan

sekarang ini sehingga kita dapat mencari solusinya secara bersama agar pendidikan di

masa yang akan dapat meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang

diberikan.

BAB II

LANDASAN TEORI
Sebelum kita membahas mengenai permasalahanpermasalahan pendidikan di Indonesia,

sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu

memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.

Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku

seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.

Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat

pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang

merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :

Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya


budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh
anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar
supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan
penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki
Hajar Dewantara, 1977:14)

Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat

dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan

jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.

Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses

pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat

dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam

pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang

baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan

hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi
pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk ada

sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.

Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek

pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan

dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-

perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena

perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga.

Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak

terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya

mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari

kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian

dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.

BAB III

PEMABAHASAN

A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa

dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami sakit. Dunia pendidikan yang

sakit ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi

manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak

memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan

yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan manusia

robot. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah,

dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang

seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif).

Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal

belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang

belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan,

meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan

seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan

istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai pendidikan yang menciptakan

manusia siap pakai. Dan siap pakai di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang

dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.

Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia

dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga

pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau

komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru

disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.

Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau

menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah

pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta

didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi

mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang

diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang

sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan
bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya

menampung apa saja yang disampaikan guru.

Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan

ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam

pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh

mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak

mempunyai pengetahuan apa-apa.

Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan

pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis

terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi)

merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan

manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita

telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal

yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam

strategi kebudayaan Asia, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan

penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional.

Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak

mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia

pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi

kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan

masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya

dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara

menjadi sangat relevan untuk direnungkan.

B. Kualitas Pendidikan di Indonesia


Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :

Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan

Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam

hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan

senantiasa selalu terjaga dengan baik.

Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon

pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari

pendidikan.

Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk.

Faktor-faktor tersebut yaitu :

1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang

gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku

perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian

teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah

yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki

laboratorium dan sebagainya.

2. Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum

memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana

disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,


melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,

melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara

kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para

guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena

pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya

meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di

Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-

angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun

demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni

pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada

daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah

gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara

paralel dan simultan.

Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun

kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik,

ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).

Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun

mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan

disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh

guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen

guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan

mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang

berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak


dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. Sangat kurang tepat bila

sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan

penanaman budi pekerti kepada para siswanya.

Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan

pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi,

sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas

pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang

rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

3. Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas

pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru

terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,

memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang

buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.

Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS)

agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di

dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas

dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji,

tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan

dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga

berhak atas rumah dinas.

Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang

muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit


mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen

dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan

kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.

4. Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan

kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai

misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia

internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study

(TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara

dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi

sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura

sebagai negara tetangga yang terdekat.

Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development

Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia

secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human

Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki

posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja,

posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.

Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA

(Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia

Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada

peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong),

74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).


Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan

ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan

penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan

mengerjakan soal pilihan ganda.

Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-

TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta,

prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34

untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari

77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia

hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data

Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga

Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk

anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM

ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih

rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini

masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan

menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena

itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk

mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan


Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data

BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka

pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0

sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama

pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan

yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap

tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup

sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian

antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang

materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta

didik memasuki dunia kerja.

7. Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi

mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku

pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga

Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain

kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.

Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp

1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa

mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah

yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada

realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena
itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu

disyaratkan adanya unsur pengusaha.

Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah

Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, sesuai keputusan

Komite Sekolah. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena

yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat

dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator

kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan

tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan

(RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan

Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan

perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung

jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya

tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik

Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan

pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya

pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak

lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang

luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan

faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan

besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8

persen (Kompas, 10/5/2005).


Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan

dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN

(www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi

melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,

RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang

Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada

privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan,

penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah

atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan

dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice

(ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi

pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan

menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu,

nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan

pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk

meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang

mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat

semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi

pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama

oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang

Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi


pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan

(BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh

sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan

Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan

bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman,

Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan

tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada

yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus

murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?

Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya

memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan

pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari

tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi

Pemerintah untuk cuci tangan.

C. Solusi Pendidikan di Indonesia

Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya

kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua

solusi yaitu:

Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan

dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan

dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini,
diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang

berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan

publik, termasuk pendanaan pendidikan.

Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung

dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru

dan prestasi siswa.

Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk

meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping

diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru

melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan

untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi

dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat

peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat

bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang

berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya

sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan
guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan

pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia

adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek,

sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk

memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka

disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala

permasalahan pendidikan di Indonesia

Seiring perkembangan zaman yang sangat cepat dan modern membuat dunia pendidikan
semakin penuh dengan dinamika, Di Indonesia sendiri dinamika itu tampak dari tidak henti-
hentinya sejumlah masalah yang melingkupi dunia pendidikan. Permasalahan-permasalahn
yang melingkupi dunia pendidikan kita saat ini menurut Suryati Sidharto (Dirto Hadisusanto,
Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo, 1995), problem yang dihadapi bangsa Indonesia
mencakup lima pokok problem, yaitu: Pemerataan Pendidikan, Daya Tampung Pendidikan,
Relevansi Pendidikan, Kualitas/Mutu Pendidikan, dan Efisiensi & Efektifitas Pendidikan
(Memahami Pendidikan & Ilmu Pendidikan, Arif Rohman, Hal: 245) Dalam kesempatan ini
Penulis hanya akan membahas tentang masalah mutu pendidikan di Indonesia. Masalah mutu
pendidikan ini tampaknya dari sejak kita merdeka hingga kini memasuki era millennium
belum juga dapat terselesaikan dengan baik. Masalah mutu pendidikan di Indonesia memang
sangat komplek dan rumit, ini tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan kita.
Menurut penulis sendiri mutu pendidikan merupakan cerminan dari mutu sebuah bangsa.
Manakala mutu pendidikannya bagus, maka bagus pula kualitas peradaban bangsa tersebut.
Untuk itu seyogyanya masalah mutu pendidikan harus menjadi perhatian serius Pemerintah
sebagai pembuat kebijakan. Tentu dalam pengimplementasian-nya upaya peningkatan mutu
pendidikan menjadi tanggungjawab kita bersama, dan bukan hanya Pemerintah. Menurut
Achmad (1993), mutu pendidikan di sekolah dapat diartikan sebagai kemampuan sekolah
dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang
berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut
menurut norma/standar yang berlaku. Engkoswara (1986) melihat mutu/keberhasilan
pendidikan dari tiga sisi; yaitu: prestasi, suasana, dan ekonomi. Dalam hubungan dengan
mutu sekolah, Selamet (1998) berpendapat bahwa banyak masyarakat yang mengatakan
sekolah itu bermutu atau unggul dengan hanya melihat fisik sekolah, dan banyaknya
ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ada juga yang melihat banyaknya tamatan yang diterima
di jenjang sekolah yang lebih tinggi, atau yang diterima di dunia usaha. Di sisi lain
Heyneman dan Loxley dalam Boediono & Abbas Ghozali (1999) menyimpulkan bahwa
kualitas sekolah dan guru nampaknya sangat berpengaruh pada prestasi akademis di seluruh
dunia; dan semakin miskin suatu negara, semakin kuat pengaruh tersebut. Menurut Penulis,
mutu pendidikan merupakan tolok ukur keberhasilan sebuah proses pendidikan yang bisa
dirasakan oleh masyarakat mulai dari input (masukan), proses pendidikan yang terjadi,
hingga output (produk keluaran) dari sebuah proses pendidikan. Lalu apa saja permasalahan
mutu pendidikan di Indonesai? Berbicara tentang permasalahan mutu pendidikan di
Indonesia, penulis sebagai mahasiswa Filsafat dan Sosiologi Pendidikan melihatnya sebagai
permasalahan yang sangat komplek, dan tidak bisa dilepaskan antara satu poin masalah
dengan poin masalah lainnya. Misalnya saja penulis berikan sample mutu pendidikan yang
berupa hasil belajar yang selama ini kita kenal dengan Hasil Ujian Nasional. Sekarang ini
hasil ujian nasioanal dijadikan sebagai salah satu alat ukur dan pemetaan mutu pendidikan di
Indonesia. Dari evaluasi hasil ujian nasional tersebut akhirnya Pemerintah mengambil suatu
kebijakan untukl meningkatkan mutu hasil belajar peserta didik. Akhirnya diambil
kesimpulan bahwa hasil belajar yang bermutu hanya bisa dicapai melalui proses belajar yang
bermutu pula. Dan proses belajar yang bermutu membutuhkan SDM serta biaya yang relative
besar. Pemerintah pun akhirnya mengambil langkah awal mengeluarkan kebijakan sertifikasi
guru,dengan dalih peningkatan kesejahteraan guru/pendidik. Setelah para guru/pendidik
sejahtera diharapkan mampu memacu semangat keprofesionalan mereka dalam mengajar dan
mendidik para peserta didik. Benarkah demikian? Yang terjadi selama ini justru menyimpang
dari haapan kita semua, banyak permasalahan yang muncul dalam implementasi kebijakan
sertifikasi guru. Yang ingin penulis soroti di sini yaitu terkait kemerosotan hasil ujian
nasioanal pada tahun 2010 seiring makin banyak guru yang telah tersertifikasi. Di sini
ternyata kita temukan fakta baru, bahwa kebijakan/program sertifikasi guru tidak berdampak
signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan khususnya dalam hal ini mutu hasil belajar
peserta didik. Dalam hal ini bukan berarti sertifikasi guru itu tidak penting atau bahkan tidak
perlu. Kita tetap harus memberikan apresiasi positif atas upaya Pemerintah tersebut. Hanya
saja menurut Penulis kebijakan sertifikasi pendidikan yang ada saat ini baru berdampak pada
peningkatan kesejahteraan guru, walau banyak menimbulkan kecemburuan sosial dari
golongan PNS lainnya. Program sertifikasi guru yang ada saat ini belum menampakkan
dampak pada peningkatan mutu pendidikan secara umum. Ini tentu perlu menjadi perhatian
dan sebagai bahan evalusi oleh Pemerintah khususnya dalam peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia. Dan pada akhirnya perlu kita sadari bersama bahwa upaya peningkatan
mutu/kualitas pendidikan di negeri ini tidak akan pernah berhasil tanpa dukungan dari seluruh
komponen bangsa. Mari kita dukung segala upaya yang positif demi perbaikan mutu/kualitas
pendidikan kita.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/cipto-wardoyo/masalah-kualitas-mutu-
pendidikan-di-indonesia_5500054da33311d86f50f92f
Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia
secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk
dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk
dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi
formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana
hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di
jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah
yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang
mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil
pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan
dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas
pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi
yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di
Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan
rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang
lebih murah. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan
untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu
jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan
prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan,
waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang
menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh
dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah,
training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita
juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya
transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di
sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran,
nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat
tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik
yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada
peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu
pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di
Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di
sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari
pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika
kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan
banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal
lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses
pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti
pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak
pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang
bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-
tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang
sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran
dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994,
kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi
proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita
juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu
yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering
mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan
kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal
dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat
menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis
dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran
secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis
tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang
standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk
menentukan standar yang akan diambil.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal
maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas
pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula
sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi
tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di
Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi
misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang
kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya
peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang
dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain
hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa
mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami
bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal
seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan
semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan
di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan
pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia.
4. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang
gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan
tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak
memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri,
tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga
yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang
kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62%
mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat.
Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih
buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan
SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
5. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam
pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan
penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar.
Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan
pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta),
untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data
Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8%
yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru
SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat
sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di
tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas
(3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan
tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi
tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih
rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
6. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas
pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta
rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu
Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek,
pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya
(Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak
lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu
disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan
khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat
pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul.
Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal.
Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat
dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat
UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
7. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan
guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian
prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut
Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya
berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37
dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme
(UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di
seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam
laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila
dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata
mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini
mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
8. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data
Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen
Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada
tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi.
Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa).
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan
dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang
tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
9. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS
(1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar
36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi
untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data
Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak
memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan
kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika
peserta didik memasuki dunia kerja.
10. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya
biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak
boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang
menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite
Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur
pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite
Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, sesuai keputusan Komite
Sekolah. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih
menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala
Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah,
dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap
permasalahan pendidikan rakyatnya.

Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia


Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat
diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan
sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan
dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara
lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk
pendanaan pendidikan.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung
dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan
prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping
diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan
sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai