Anda di halaman 1dari 13

Perubahan social dapat dimaknai sama dengan pembangunan / development.

Pembangunan
menjanjikan harapan baru untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan
bagi berjuta-juta rakyat di dunia ketiga. Istilah pembangunan mendominasi dan mempengaruhi
pikiran bangsa-bangsa dunia ketiga dan juga mempengaruhi dunia secara global, bahkan nyaris
menjadi agama baru.

Di Indonesia, kata pembangunan erat kaitannya dengan pemerintahan orde baru. Selain sebagai
semboyan, kata pembangunan juga menjadi nama bagi pemerintahan orde baru, sebab kabinet di
era pemerintahan orde baru selalu dikaitkan dengan kata pembangunan, meskipun kata
pembangunan sesungguhnya telah dikenal dan dipergunakan sejak orde lama.

Ada banyak kata yang mempunyai makna sama dengan kata pembangunan, disamping perubahan
social, juga pertumbuhan dan modernisasi. Namun pembangunan memberi makna perubahan
kearah lebih positif, dan pembangunan juga bergantung pada kontek siapa yang menggunakannya
dan untuk kepentingan apa.

Lahirnya Istilah Pembangunan / Developmentalisme

Pembangunan atau Developmentalisme dan juga biasa disebut dengan modernisasi dikembangkan
dalam rangka membendung pengaruh dan semangat anti Kapitalisme bagi bejuta-juta rakyat di
Dunia ketiga. Gagasan Development dimulai tahun 1940-an, tepatnya pada tanggal 20 Januari 1949
ketika Presiden Amarika Harry S. Truman mengumumkan kebijakan pemerintahnya, maka istilah
development dan underdevelopment resmi menjadi bahasa dan doktrin kebijakan luar negeri
Amerika Serikat.

Development selain untuk memberi jawaban atas penolakan Dunia ketiga yang baru merdeka atas
kapitalisme, juga sebagai jawaban ideology terhadap meningkatnya daya tarik rakyat Dunia ketiga
terhadap keberhasilan Uni Sovyet sebagai kekuatan baru. Jadi gagasan development mulanya
dilontarkan dalam kerangka perang dingin yakni suatu kebijakan untuk membendung sosialisme di
Dunia ketiga. Dengan demikian jelaslah bahwa development pada dasarnya adalah bungkus baru
dari kapitalisme.

Pemikiran Development / Kapitalisme disebarluaskan di Dunia ketiga dengan berbagai cara. Banyak
ilmuwan dan para pakar ilmu-ilmu social Amerika pada tahun 1950-an dan 1960-an memainkan
peran penting dan terlibat secara mendalam dalam mempengaruhi kebijakan Amerika untuk
globalisasi discourse tentang development dan modernisasi. Diantara ilmuwan yang sangat produktif
dalam menciptakan pengetahuan dan teori development dan modernisasi adalah ekonom Rostow,
juga McClelland dan Inkeles. Salah satu hasil penting mereka adalah bahwa gagasan development
dan modernisasi harus menjadi pilar utama bagi kebijakan program bantuan dan politik luar negeri
Amerika.

Meskipun teori modernisasi bermacam-macam, namun mereka meyakini satu hal yang sama yaitu
factor manusia menjadi focus utama perhatian mereka. Mereka melihat development sebagai
proses evolusi perjalanan dari tradisional ke modern. Pikiran ini dapat dijumpai dalam teori
pertumbuhan yang sangat terkenal yakni the five-stage scheme, yang dikembangkan oleh W.W
Rostow (1960). Asumsinya adalah bahwa semua masyarakat termasuk masyarakat Barat pernah
mengalami tradisional dan akhirnya menjadi modern. Sikap manusia tradisional disini dianggap
sebagai masalah.

Konsep development dan modernisasi ini kemudian serta-merta dianut oleh berjuta-juta rakyat
Dunia ketiga, yang sebenarnya merupakan refleksi dari paradigma Barat tentang perubahan social.
Artinya pembangunan diidentikan seperti gerakan langkah demi langkah menuju modern, yaitu
merefleksikan perkembangan dan kemajuan teknologi dan ekonomi seperti yang dialami oleh
neraga-negara industri. Konsep ini mempunyai akar sejarah dan intelektualitas perubahan social
yang diasosiasikan dengan revolusi industri di Eropa.

Gagasan development dan modernisasi ini selain menjadi doktrin politik bantuan luar negeri
Amerika melalui pemerintah Dunia ketiga maupun LSM, juga serempak hampir disetiap Universitas
di Barat membuka suatu kajian baru yang dikenal dengan Development Stadies. Melalui
development studies ini proses penyebaran kapitalisme dipenjuru dunia dipercepat, yakni melalui:
teknokrat, intelektual dan bahkan aktivis LSM dari dunia ketiga yang menjadi pasar utama program
studi tersebut. Escobar (1990) menggambarkan proses ekspansi discourse development melalui
penciptaan network kelembagaan, seperti: lembaga dana international, universitas, lembaga riset
dll. Bahkan semua hal diarahkan pada upaya mengimplementasikan gagasan developmentalisme
dan modernisasi, sehingga saat ini developmentalisme sudah diyakini oleh sebagai besar birokrat
pemerintah, akademisi dan juga aktivis LSM di Indonesia sebagai satu-satunya jalan menuju
masyarakat sejahtera.

Kemudian pertanyaan mendasar adalah: apakah gagasan development yang diciptakan sebagai
bungkus kapitalisme dalam rangka membendung sosialisme itu mampu menghancurkan struktur
ekonomi yang ekploitatif, menyingkirkan proses budaya yang dominatif, melenyapkan system politik
yang represif, dan seterusnya. Untuk menganalisis dan mengevaluasi sebuah teori diperlukan
kacamata, dan berbeda kacamata akan menghasilkan penilaian yang berbeda pula. Oleh karena itu,
untuk melihat dan menganalisis perubahan social, biasanya disebut paradigma perubahan social.
Paradigma Perubahan Sosial

Banyak teori yang dikembangkan oleh banyak ahli untuk melihat dan menganalisis perubahan social.
Dalam tulisan ini tidak akan dijelaskan secara kronologis masing-masing teori, namun hanya akan
dijelaskan tentang inti dari teori tersebut, diantaranya adalah:

a. Teori evolusi,

Teori ini awalnya dikembangkan oleh Frederick Hegel kemudian oleh Auguste Comte, yang
menjelaskan bahwa perubahan merupakan hal yang natural, kontinyu, keharusan dan berjalan
melalui sebab yang sama. Teori ini sangat berpengaruh terhadap hampir semua teori perubahan
social dan pembangunan setelahnya. Teori ini menganggap masyarakat bergerak dari masyarakat
miskin non-industri sebagai primitive dan akan berevolusi ke masyarakat industri yang lebih komplek
dan berbudaya. Teori ini melihat tradisi sebagai suatu masalah.

b. Teori structural functionalisme,

Teori ini dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Persons, terori ini memandang masyarakat
sebagai suatu system yang terdiri atas bagian yang saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur
politik, keluarga dan sebagainya). Masing-masing bagian secara terus-menerus mencari
keseimbangan dan harmoni antara mereka. Interrelasi tersebut dianggap bisa terjadi karena adanya
consensus, dan suatu pola yang non normative dianggap akan melahirkan gejolak. Jika hal ini terjadi
maka masing-masing pihak akan cepat menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan lagi. Terori
ini menganggap perubahan masyarakat tidak ditetapkan berapa lama evolusinya. Dan konflik dalam
suatu masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi social dan keseimbangan. Oleh karena
itu harmoni dan integrasi dipandang sebagai fungsional, bernilai tinggi dan harus ditegakkan,
sedangkan konflik harus dihindarkan, artinya status quo harus dipertahankan.

c. Teori Modernisasi,

Menurut Hutington (1976) proses modernisasi bersifat revolusioner (perubahan cepat dari tradisi ke
modern), komplek (melalui banyak cara), sistematik, global (akan mempengaruhi semua manusia),
bertahap (melalui langkah-langkah), homoginisasi dan progressive. Teori ini dipergunakan
dikalangan interdisiplin, seperti: sossilogi, psikologi, ilmu politik, ekonomi, antropologi dan bahkan
agama. Ukuran modernitas bagi teori ini adalah suatu masyarakat yang menurut mereka modern
adalah masyarakat barat.

d. Teori Human Capital,

Teori ini dikembangkan oleh Theodore Shultz (1961) yang menekankan pada kemampuan productive
dari sumberdaya manusia sebagai modal investasi bagi proses pembangunan. Teori ini menganggap
keterbelakangan masyarakat adalah sumber factor internal negara atau masyarakat itu sendiri.
Upaya untuk meningkatkan investasi pada human capital mereka lihat sebagai hasil dari cepatnya
pertumbuhan ekonomi.

e. Teori Marxists,

Teori evolusi dan structural fungsionalisme diatas menjelaskan bahwa perubahan terjadi secara
pelahan dan damai serta mengabaikan konflik sebagai suatu dimensi perubahan social. Sedangkan
menurut Marx, masyarakat terpolarisasi dalam dua kelas, yang selalu konflik, yakni yang
mengekploitasi dan diekploitasi. Marx melihat masyarakat berkembang dari masyarakat komunis
primitive, kemudian perbudakan, feudal, kapitalis, sosialis dan akhirnya menuju komunisme,
perubahan tersebut melalui suatu konflik. Menurut Marx, konflik terletak antara kelas berjuis dan
ploretar. Dalam system kapitalis, proses ekploitasi Kepada kelas proletar (buruh yang menghasilkan
produksi) oleh kelas berjuis (majikan tidak bekerja tetapi menguasai alat produksi) diselenggarakan
oleh kelas menengah. Hasil ekploitasi itu selanjutnya didistribusikan pada berbagai pihak dalam
bentuk pajak, bunga bank, sewa tanah, riset dll. Sebagai imbalan, lembaga-lembaga yang
didalamnya terdapat kelas menengah mendukung kelas borjuis dengan memberi legitimasi terhadap
ekploitasi tersebut dalam bentuk norma, penekanan maupun penindasan. Jika kesadaran buruh
meningkat konflik kelas tak dapat dikendalikan maka perubahanpun terjadi.

f. Teori Dependency

Teori ini berlawanan dengan teori evolusi dan modernisasi, teori dependency menekankan
hubungan baik dengan masyarakat sendiri, seperti masalah struktur social, cultural, ekonomi dan
politik. Asumsi dasar dari teori ini adalah keterbelakangan dan pembangunan adalah konsep yang
saling berkaitan dengan berkembangnya masyarakat diluarnya. Kata ketergantungan dipakai untuk
memberi tekanan bahwa hubungan kemajuan di tingkat pusat dan keterbelakangan di tingkat
daerah atau pelosok desa adalah akibat dari proses sejarah dan disengaja. Kerangka pemikiran ini
berakar pada teori Marx tentang ekploitasi, artinya keterbelakangan di negara Dunia ketiga adalah
akibat dari kapitalisme di Barat. Pemikiran Lenin tentang imperialisme juga mewarnai teori ini,
dimana transfer sumber dapat terjadi dengan berbagai cara: baik melalui hubungan kolonialisme
maupun operasi perusahaan multi nasional. Artinya menjajah negara lain tidak lagi seperti zaman
kolonialisme dulu, tetapi cukup membuat para pemimpin negara miskin / Dunia ketiga memiliki
sikap, nilai dan interest pada negara kaya.

g. Teori Liberasi,

Dekat dengan teori Marxist dan Dependency adalah teori liberasi. Teori ini menolak Marx dan
Dependency tetapi memberi alternatif focus terhadap keterbelakangan dan bagaimana
mengatasinya. Teori ini menagaskan bahwa tidak ada harapan bagi orang miskin tanpa adanya
perubahan mendasar dalam struktur masyarakat dan struktur yang lebih luas dalam sosio-ekonomi,
politik dan budaya. Teori ini lebih menekankan pada pendekatan humanitik dari pada pendekatan
structural, dengan asumsi masyarakat terbelakang ditindas oleh pemegang kekuasaan dalam
masyarakat mereka sendiri. Paulo Freire (1972) sebagai salah satu tokoh dari teori ini menfokuskan
perlunya pendidikan dalam liberalisasi dan pembangunan. Dalam pembangunan menurut Paulo
Freire lebih menekankan pada keadilan ketimbang soal harta kekayaan.

Perubahan Sosial di Indonesia

Sebagaimana dijelaskan dalam bebagai teori diatas, bahwa perubahan social terjadi karena berbagai
sebab dan bermacam-macam cara. Untuk melihat dan memetakan perubahan social yang terjadi di
Indonesia dari waktu ke waktu, bersama ini dipaparkan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia di
era Orde Baru dan era Reformasi.

Sebagaimana urian teori diatas, deskripsi ini juga tidak akan menggambarkan seluruh realitas social
yang terjadi di Indonesia. Namun hanya akan dipaparkan beberapa kasus yang diharapkan dapat
menggambarkan ciri perubahan sosial yang terjadi pada era tersebut.

1. Era Orde Baru

Indonesia sebagai Dunia ketiga / negara berkembang juga tidak terlepas dari intervensi dan dominasi
negara pertama / negara maju. Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa idiologi developmentalisme
pada era orda baru betul-betul diadopsi dan dikembangkan melalui mekanisme kontrol ideologi,
social dan politik yang canggih. Untuk melindungi ideology pembangunan tersebut Pemerintah
menegakkan berbagai pendekatan. Beberapa peraturan dan perundangan yang dihasilkan di era
orde baru yang memperkuat posisi negara sekaligus memperlemah posisi politik masyarakat,
diantaranya adalah:

Inpres Nomor 6 Tahun 1970 tentang monoloyalitas bagi pegawai negeri kepada Golkar,

Keputusan MPR Tahun 1971 tentang Konsep masa mengambang yang membatasi kegiatan partai
politik hanya sampai di aras Kabupaten,

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1973 tentang fusi Partai yang hanya memperbolehkan adanya tiga
partai politik yaitu: PPP, Golkar dan PDI,

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang meletakkan birokrasi
pemerintahan yang berada pada aras terbawah dibawah kontrol Departemen Dalam Negeri
sepenuhnya,

Instruksi Menteri Dalam Negeri No 2 Tahun 1981 yang memasukkan LMD (semula merupakan
organisasi partisipasi masyarakat) kedalam kontrol Departeman Dalam Negeri,

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila yang memberi wewenang
penuh bagi Departemen Dalam Negeri untuk mengontrol semua organisasi massa.

Masih banyak lagi upaya-upaya untuk memperlemah peran masyarakat seperti: memperkokoh
organisasi militer sampai tingkat Kecamatan dan menempatkan seorang militer untuk setiap Desa
(Babinsa), Menggeser pemilihan lurah yang dilakukan secara demokratis dan menggantikan dengan
penempatan seorang militer sebagai Kepada Desa. Dan berbagai aturan yang penyeragaman wadah
asosiasi social dengan penerapan asas tunggal Pancasila, untuk mempermudah melakukan kontrol,
seperti : satu-satunya organisasi buruh yang boleh berdiri hanya SPSI, Menciptakan KUD sebagai
satu-satunya Koperasi yang diizinkan operasi ditingkat Kecamatan, dan seterusnya. Bahkan dari
kebijakan penyederhanaan Partai berakibat pada pemusatan kekuasaan, sebab Presiden sebagai
mandatris MPR yang merupakan pimpinan birokrasi sekaligus menjadi Pimpinan tertinggi ABRI
adalah Ketua Dewan Pembina Golkar sebagai Partai Pemenang Pemilu yang penuh rekayasa dan
tentu mayoritas di parlemen.

Dengan demikian, di era orde baru ini merupakan era pemberangusan hakhak sipil dan politik
rakyat. Di Era orde baru ini dilakukan proses-proses depolitisasi dalam berbagai bidang kehidupan,
dan seluruh sumberdaya ekonomi, social, politik rakyat dirampas. Dalam melakukan perubahan
semua kekuatan social politik yang potensial seperti : Petani, Buruh, wartawan, intelektual disatukan
sedemikian rupa agar mudah dikontrol dan memiliki pandangan yang sama tentang pembangunan.

2. Era Paska Reformasi


Dalam era ini terjadi perubahan-perubahan yang luar biasa terhadap tatanan yang telah dibangun di
era orde baru. Era reformasi ini merupakan puncak dari keruntuhan era orde baru, yaitu
Pemerintahan yang sentralistik dan dominan. Dalam era ini terjadi penolakan dan perombakan-
perombakan terhadap berbagai kebijakan di era orde baru, diantaranya adalah:

Diterbitkannya undang-undang Pemilu yang memberi kebebasan untuk membentuk partai politik,
masa mengambang yang dihasilkan di era Orde Baru sudah tidak berlaku lagi, sehingga rakyat dapat
menyalurkan aspirasi politiknya secara bebas. Pada Pemilu tahun 1999 terdapat lebih dari 150 partai
dan 48 diantaranya bertarung untuk memperebutkan 462 kursi yang ada di DPR. Pada Pemilu tahun
2004 jumlah partai Politik yang telah berbadan hukum sebanyak 50 Partai Politik, sedangkan yang
memenuhi persaratan untuk menjadi peserta Pemilu sebanyak 24 partai.

DPR, DPD dan MPR jauh representatif, pada Pemilu 1999 masih ada keterwakilan ABRI, tetapi pada
Pemilu 2004 sudah tidak ada lagi anggota Parlemen yang tidak dipilih oleh rakyat. Dalam Parlemen
dengan bebas dapat membentuk forum-forum, seperti Poros Tengah, Koalisi Kerakyatan, Koalisi
Pembangunan dll.

Diratifikasinya Konvensi HAM, Amandemen terhadap UUD 1945 dan dihapuskannya pendekatan
keamanan dalam proses pembangunan memungkinkan adanya perlindungan hukum dan
dihargainya kedaulatan rakyat.

Dari berbagai kebijakan di era reformasi ini telah memberi peluang terhadap kebebasan individu
maupun kelompok masyarakat, telah memberi peluang terhadap perubahan social yang positif dan
lebih domokratis. Pada tataran struktur pemerintahan formal nampak adanya tanda-tanda yang
mendukung terwujudnya civil society.

Namun keterbukaan dan kebebasan tersebut tidak dibarengi oleh tanggungjawab, solidaritas,
inklusivitas dan kepatuhan kepada hukum, sehingga perubahan social yang terjadi tidak didasarkan
pada mekanisme demokrasi yang benar, namun mengarah pada memunculkan suatu dominansi
masyarakat tertentu, seperti kelompok borjuis, kapitalis atau kelompok-kelompok yang
mendasarkan diri pada ikatan primordial (kedaerahan, suku dan agama), contoh kasus: Sambas,
Ambon, dan daerah-daerah lainnya. Serta berbagai gerakan yang mengatasnamakan reformasi,
namun berakhir pada tindak kekerasan, kerusuhan massal, dan penjarahan. Hal ini disebabkan oleh
melemahnya dominasi negara yang diganti oleh dominasi pasar.

Oleh karena itu, di era paska reformasi ini perlu adanya koreksi terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi dalam membangun masyarakat yang demokratis, melalui penyediaan arena publik
dalam bentuk open haouse, dan berbagai forum serta saluran lainnya sebagai tempat bertemunya
negara dengan rakyat. Forum dan saluran tersebut dapat menampung aspirasi rakyat, tempat dan
media dimana rakyat secara bebasa melakukan pengawasan, berpartisipasi politik dan meminta
pertanggungjawaban. Dengan demikian, kebebasan yang ada berdasarkan kesepakatan bersama,
bukan kebebasan yang bersifat liberal, namun mempunyai batasan yang tegas, yaitu: batas
kepatuhan Kepada hukum dan HAM serta Kepada batas inklusifitas dan solidaritas.

Adanya pemilihan umum (2004) yang jujur, adil, bebas, dan rahasia, pemilihan Presiden RI secara
langsung, merupakan saluran-saluran partisipasi rakyat secara bebas, independen, tidak eksklusif
bagi agama tertentu, daerah tertentu, suku tertentu, golongan social ekonomi tertentu atau partai
tertentu, namun untuk semua golongan. Hal ini merupakan salah satu bentuk penciptaan ruang bagi
rakyat untuk mengembangkan gagasan-gagasan dan pilihan mereka sendiri tentang perubahan
social.

Peran LSM dalam Perubahan Sosial

Pada era orde baru, strategi pembangunan LSM di Indonesia menurut David Korten (1987)
dikelompokkan menjadi 3 genarasi, yaitu: generasi bantuan dan kesejahteraan, generasi
keswadayaan dalam skala local dan generasi pembangunan yang berkelanjutan. Strategi
pembangunan yang dikembangkan oleh LSM ini tidak terlepas dari kebijakan LSM international yang
juga mendukung program yang bersifat karitatif.

Generasi pertama, bantuan yang diberikan lebih kepada penanganan kelaparan akibat banjir, akibat
perang, dipengungsian dan bencana alam lainnya, seperti: distribusi pangan, penyediaan tempat
penampungan dan pengiriman tim kesehatan. Sedangkan generasi kedua, yang muncul pada tahun
1970-an menurut Korten, merupakan reaksi atas keterbatasan pendekatan bantuan dan
kesejahteraan sebagai strategi pembangunan. Pada generasi kedua ini LSM mulai melakukan
pengembangan masyarakat dengan penekanan pada swadaya local, seperti: memperbaiki cara-cara
bertani, memperbaiki infrastruktur local, pelayanan kesehatan yang bersifat pencegahan, seperti
yang dilakukan oleh Pemerintah, namun difokuskan pada wilayah-wilayah yang tidak terjangkau
atau tidak memadainya layanan pemerintah. Pada generasi ketiga LSM sudah mengembangkan
alternatif-alternatif baru yang berbeda dengan pemerintah, namun mendukung modernisasi dan
developmentalis yang merupakan idiologi kapitalis yang selama ini dianut oleh pemerintah. Artinya
pada era orde baru LSM juga menggunakan paradigma developmentalis, walaupun LSM
mengerjakan apa yang tidak dikerjakan oleh pemerintah, tetapi berada pada pola pemerintah.

Setelah selama sekitar dua dasawarsa (1970-an 1980-an) LSM bekerja tidak terjadi perubahan yang
berarti pada masyarakat, baru menyadari bahwa pendekatan developmentalis bukan suatu solusi
melainkan bagian dari masalah itu sendiri, sebab pendekatan tersebut malah menciptakan
ketergantungan. Dan setelah dikaji lebih dalam pendekatan developmentalis dan modernisasi adalah
bungkus baru dari kue lama kapotalisme. Kemudian pada awal dasawarsa 1990-an, para aktivis LSM
mulai melakukan refleksi kritis terhadap peran, misi dan visi gerakannya. Para aktivis LSM saling
mempertanyakan kompetensi methodologis dan tehnis antar aktivis LSM dalam memfasilitasi proses
perubahan di Indonesia. Dalam berbagai pertemuan LSM, selalu dilakukan outokritik, bahkan terjadi
konflik antar aktivis LSM yang mendukung perlunya pembangunan untuk menolong rakyat miskin
dengan aktivis LSM yang mulai ingin memperjelas perspektif idiologis, paradigma dan landasan
teoritis aktivis LSM tentang perubahan social.

Kemudian dalam pertemuan LSM di Cisarua pada bulan Juli 1992, direkomendasikan perlunya studi
tentang posisi dan peran masa depan gerakan LSM di Indonesia. Pertanyaan utama dari studi
tersebut adalah Bagaimana Peran LSM dalam transformasi social di Indonensia ? Dari hasil studi
yang menggunakan pendekatan partisipatif dan dialogis, bertujuan untuk :

Penemuan masalah, dengan memahami visi, idiologi dan paradigma aktivis LSM tentang perubahan
social, dan Bagaimana menterjemahkannya dalam kegiatan lapangan,

Secara kolaboratif mengembangkan paradigma dan penerjemahannya kedalam rencana aksi.

Dengan studi reflektif tersebut diharapkan para aktivis dapat membangun paradigma dan perspektif
LSM tentang perubahan social. Dan berdasarkan paradigma tersebut, para aktivis LSM akan
menemukan suatu cara untuk mewujudkannya dalam kegiatan lapangan.

Dari proses refleksi yang terus menerus antara kelompok inti peneliti, aktivis LSM yang terlibat
secara langsung dan aktivis LSM yang tidak terlibat namun mendapatkan informamsi proses dan
hasil penelitian ini, maka secara bertahap terjadi perubahan perspektif maupun pendekatan dalam
pengorganisasian masyarakat di Indonesia.

Dari hasil penelitian diketahui posisi politis dan ideologis aktivis tentang perubahan social. Posisi
politis aktivis LSM Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga tipologi, yaitu: Konformisme, reformis
dan transformatif. Tipe konformis adalah aktivis LSM yang melakukan pekerjaan dengan didasarkan
pada paradigma karitatif, dengan motivasi menolong rakyat yang didasarkan pada niat baik untuk
membantu yang membutuhkan. Tipe reformis adalah pemikiran yang didasarkan pada ideology
developmentalisme dan modernisasi, masyarakat miskin karena mereka tidak berpendidikan dan
tidak memiliki modal. Karena itu kemudian LSM menfasilitasi melalui pelatihan-pelatihan dan
memberi bantuan modal untuk berusaha. Sedangkan tipe selanjutnya sebagai alternatif dari dua tipe
sebelumnya adalah transformatif, yaitu berusaha mengubah struktur dan superstruktur yang
menindas rakyat dan membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi
kemanusiaannya. Paradigma alternatif ini harus mendorong kearah terciptanya superstruktur dan
struktur yang memungkinkan bagi rakyat untuk mengontrol cara produksi dan mengontrol produksi
informamsi dan ideology mereka sendiri. Mereka mencari struktur dan superstruktur yang
memungkinkan bagi rakyat untuk mengontrol perubahan social dan menciptakan sejarah mereka
sendiri, struktur yang memungkinkan bagi masyarakat menuju jalan demokratis dalam perubahan
social, ekonomi dan politik.

Namun pada awal dasawarsa 1990-an sangat sedikit aktivis LSM yang benar-benar dapat
digolongkan memiliki perspektif transformatif. LPKP Jawa Timur yang dirintis pada tahun 1988 pada
awalnya juga menganut ideology modernisasi dan developmentalisme dengan paradigma reformis,
bahkan sampai sekarangpun LPKP belum bebas dari ideoligi ini. Hal ini tergambar dari program-
program yang dikembangkan, seperti: Pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak keluarga
miskin di Kecamatan Singosari Kab Malang, Program Beasiswa alternatif untuk anak-anak keluarga
miskin, Pengembangan Model Pendidikan Non Formal bagi pekerja anak di sector pertanian dan
indutri di Kabupaten Malang, Peningkatan pendapatan masyarakat melalui Pengelolaan lahan kritis
di Kecamatan Pagak Kab. Malang, Program peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
infrastruktur perkotaan di Kodya Pasuruan dll.

Pada akhir dasawarsa 1990-an, tepatnya pada tahun 1998, beberapa aktivis LPKP mengalami
perubahan paradigma setelah melaksanakan Lokalatih Analisis Sosial dan Lokakarya Pemberdayaan
Masyarakat. Dalam kegiatan tersebut peserta diajak untuk melakukan analisis kritis mengoreksi
seluruh kegiatan pendampingan yang telah dilakukan bersama masyarakat. Kemudian diajak
memahami realitas social, analisis social dan perubahan social dengan memaparkan berbagai teori
dan paradigma perubahan social. Dari proses interaksi antara fasilitator dengan peserta dan antar
peserta pada awalnya terjadi konflik-konflik karena perbedaan cara pandang tersebut. Namun
kemudian semua peserta menyadari bahwa mereka belum pernah secara formal berbicara tentang
ideology dan visi mereka dan mereka tidak memiliki alat analisis yang jelas untuk memahami
masalah.

Setelah pelaksananan lokalatih tersebut kemudian terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam


merancang program pemberdayaan masyarakat. Hal ini terjadi disamping didukung oleh adanya
kebebasan paska reformasi juga adanya perubahan pandangan beberapa donor yang mendukung
LPKP. Diantara program-program yang jelas nampak mengalami perubahan pendekatan adalah:

Dari proyek konservasi ke Gerakan Petani,

Proyek yang pada awalnya dirancang untuk meningkatkan pendapatan petani melalui pengelolaan
lahan kritis, yang kegiatannya lebih banyak tehnis konservasi dan pengembangan peternakan
melalui kelompok usaha bersama ini, selama lebih dari 5 tahun tidak merubah posisi petani. Para
petani terus bergantung dengan pupuk kimia, lahan pertanian tidak semakin subur. Setelah
dilakukan analisis lebih mendalam, ternyata persoalannya adalah pemilikan lahan. Lahan pertanian
yang menjadi sumber kehidupan petani tersebut untuk kepemilikannya dikuasai Marinir.

Oleh karena itu strategi program bergeser dari reformis ke transformatif, visi misinya mulai
difokuskan pada masalah penguatan petani, kemudian terbentuk Organisasi Petani yang diberi nama
Serikat Petani Mandiri. Kegiatan yang dilakukan selanjutnya oleh LPKP tidak lagi untuk memenuhi
kebutuhan praktis petani, tetapi melakukan transformasi social melalui pendidikan kritis dan
melakukan aliansi dengan berbagai pihak, melakukan kampanye dan advokasi untuk
memperjuangkan hak petani terhadap pemilikan tanah. Dalam program ini petani betul-betul
menjadi pelaku perubahan, LPKP hanya berperan sebagai pendorong terjadinya kesadaran kritis
pada petani.

Dari Model Pendidikan untuk Pekerja Anak ke Jaringan LSM

Perubahan lain yang terjadi dalam pendekatan program yang dilakukan oleh LPKP adalah dalam
penanganan pekerja anak. Pada awalnya LPKP mengembangkan program pendidikan non formal
untuk menanggulangi pekerja anak. Program ini memberikan perlindungan terhadap pekerja anak
dan peningkatan pendapatan pada keluarganya melalui bantuan modal, sebab LPKP memandang
anak-anak bekerja karena kemiskinan keluarganya. Setelah cukup lama mengembangkan program
tersebut, bahkan juga telah banyak LSM yang punya perhatian terhadap permasalahan pekerja anak,
namun permasalahan pekerja anak dan kemiskinan bukan berkurang. Setelah dilakukan analisis
secara lebih mendalam faktornya tidak hanya kemiskinan, namun juga kurangnya perlindungan
hukum dan tidak optimalnya penegakan hukum, disamping juga permasalahan cultural.

Oleh karena itu diperlukan adanya gerakan untuk penghapusan pekerja anak, termasuk juga
advokasi kebijakan. Perjuangan ini tidak mungkin dilakukan sendiri, namun diperlukan suatu
kekuatan besar dalam bentuk Jaringan yang terkonsulidasi, sehingga dapat melakukan perubahan
yang berdampak besar. Untuk membangun jaringan LSM sebagai gerakan yang kontra hegemoni
diperlukan perubahan yang mendasar, yakni melakukan reposisi visi dan paradigma LSM melalui
serangkaian pertemuan.

Dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan dalam rangka melakukan analisis masalah pekerja anak,
kemudian dirumuskan dan disepakati visi-misi dan nilai yan dijunjung tinggi oleh Jaringan
berdasarkan analisis masalah. Kemudian disepakati strategi dalam rangka mencapai visi yang
menjadi kerangka kerja secara bersama-sama dalam jaringan untuk isu-isu yang sifatnya nasional
maupun aktivitas masing-masing LSM untuk isu local.
________________________

* Disiapkan oleh : Anwar Sholihin, Ketua Yay. LPKP Jawa Timur dan Koord. SC JARAK (Jaringan
Lembaga Non Pemerintah untuk Program Aksi Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak di
Indonesia), untuk bahan diskusi mengenai perubahan social di Indonesia dengan Mahasiswa ISP
MCE Malang

Bahan Bacaan

Akatiga, Dekrokratisasi dan kemiskinan, kesempatan atau kesempatan, Jurnal Analisis Sosial, Vol 7,
No. 2 Juni 2002,

CPSM Jakarta, Wawasan Gerakan Ornop dalam proses Demokratisasi yang berorientasi pada rakyat,
Laporan Seminar dan Lokakarya, Bogor Agustus 1994,

CPSN Jakarta, Laporan pelatihan pemandu Latihan Manajemen Sosial Partisipatori, Yogyakarta 1994

Insist, Gelombang Perlawanan Rakyat, Kasus-kasus Gerakan Sosial di Indonesia, Seri Gerakan Sosial
Baru, Deesmber 2003

JARNOP, Membangun dan memperkuat Organisasi Rakyat, Prosiding Workshop Pengorganisasian


Petani dan Perajin Kecil, Juli 1998

LPKP Jatim, Prosiding Lokalatih Analisis Sosial, Tahap I, Malang, 1998,

LPKP Jatim, Prosiding Lokalatih Analisis Sosial, Tahap II dan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat,
Malang, 1998

LPKP Jatim, LPKP Menembus Batas, Profil Lembaga Pengkajian Masyarakat dan Pembangunan, 2003

LPKP Jatim, Draf Panduan ANSOS, belum diterbitkan,

LPKP Jatim, Dari Proyek Konservasi ke Gerakan Petani, belum diterbitkan.

Mansyur Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM Indonesia,
Pustaka Pelajar, Oktober 2004

Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, April 2003

Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada, September 2004

Roem Topatimasang, Mansour Fakih dan Toto Raharjo, Merubah Kebijakan Publik, Puskata Pelajar,
Maret 2000

Sekretariat JARAK, Upaya Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi Anak di Indonesia,
Malang, Juli 2001.
UPC, Laporan Lokakarya Gerakan Pengorganisasian Komunitas Marginal Perkotaan, Jakarta 1998

(Sumber:http://ind.lakpesdam-ponorogo.org/2009/12/27/peranan-lsm-dalam-perubahan-sosial-di-
indonesia/)

Anda mungkin juga menyukai