2 Draft Proposal Penelitian Kualitatif Berisi
2 Draft Proposal Penelitian Kualitatif Berisi
1. Halaman Judul
2. Halaman Kata Pengantar
3. Halaman Daftar Isi
4. Halaman Daftar Tabel
5. Halaman Daftar Gambar
6. Halaman Daftar Lampiran
1
PROPOSAL PENELITIAN
Judul Penelitian :
Analisis Kualitatif Suasana Kelas yang Diciptakan Guru Fisika SMAN 7
Denpasar: Relevansinya terhadap Pengembangan Kecerdasan Sosial dan
Emosional Siswa
Identitas Peneliti
Nama : Ni Kadek Vingki Aryanti
NIM : 1213021025
Semester : VI/A
BAB I. PENDAHULUAN
2
Potensi diri yang dimaksudkan diantaranya kecerdasan intelektual, sosial dan
emosional. Kecerdasan sosial dan emosional memainkan peranan penting pada
pengembangan pribadi siswa. Kecerdasan sosial adalah salah satu penentu
kesuksesan siswa di masa depan. Karl Albrecht (-) menuliskan pada webnya bahwa
kecerdasan sosial adalah ilmu baru tentang kesuksesan, orang yang kehilangan
pekerjaan, teman, dan sahabat disebabkan oleh ketidakmampuan dalam hal
sosial. Kecerdasan emosional adalah keterampilan dalam mengendalikan diri.
Goleman (2003) mengungkapkan bahwa kriteria sukses sudah berubah, bukan hanya
dari kepintaran atau keahlian, tetapi juga bagaimana kita mengatur diri sendiri dan
orang lain. Kecerdasan intelektual hanya menyumbangkan 20% bagi kesuksesan,
sedangkan 80% adalah sumbangan dari kecerdasan lain yaitu kecerdasan sosial dan
emosional (Goleman, 2003).
Guru sebagai pendidik, wajib membantu siswa mengembangkan
kecerdasannya, baik secara emosional maupun sosial (Demirdag, 2015).
Pengembangan kecerdasan sosial-emosional tentunya dapat dilihat dan dilakukan
dalam pembelajaran di kelas yakni bagaimana guru mengajar dan menciptakan
suasana kelas. Hal itu dilatarbelakangi karena suasana kelas mencakup lingkungan
kelas, iklim sosial-emosional dan aspek fisik kelas (Orifa et al, 2015). Suasana
setiap kelas pastinya berbeda, bergantung pada cara guru mengelola kelas dan
bagaimana interaksi yang terjadi di dalam kelas. Guru yang efektif dalam mengelola
kelas dapat meningkatkan perilaku baik siswa (Demirdag, 2015). Landau &
Meirovich (2011) menemukan bahwa suasana kelas yang suportif meningkatkan
kecerdasan emosional siswa. Suasana pembelajaran yang penuh kasih sayang,
cinta, kebebasan yang mendidik, keratif dan inovatif dapat mengantarkan siswa
belajar dengan sungguh-sungguh namun menyenangkan (Susiani, Dantes, & Tika,
2013).
Dalam hal pengembangan kecerdasan sosial dan emosional di dalam kelas,
pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan hal tersebut melalui penerapan
kurikulum 2013. Dalam implementasi kurikulum 2013, pada dasarnya siswa harus
dipersiapkan sebaik mungkin agar memiliki kemampuan intelektual, emosional,
3
spiritual dan kemampuan sosial (Sunarno, 2013). Kompetensi dasar dalam
kurikulum 2013 dirancang untuk mengembangkan kemampuan- kemampuan
tersebut. Pengembangan kemampuan spiritual terdapat dalam kompetensi dasar I.
Kemampuan sosio-emosional dikembangkan melalui KD 2 dan 4, sedangkan
kemampuan intelektual dikembangkan melalui KD 3. KD 2 mencakup
pengembangan perilaku ilmiah seperti jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli,
santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsive dan
proaktif. Selain itu, pada KD 2 juga mengembangkan sikap untuk berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial. Pengembangan kemampuan sosial terlihat pada
KD 4 yakni pengembangan keterampilan melalui pengolahan dan penyajian ranah
konkret dan abstrak. Ini berarti siswa diajarkan untuk mengembangkan sikap kreatif
dan cara berkomunikasi yang baik dengan orang lain. Semua KD tersebut terangkum
dalam pembelajaran yang dilakukan guru di kelas dan dimasukkan ke dalam ranah
KD 3.
Namun upaya yang dilakukan itu masih belum efektif sampai dua tahun
pelaksanaan kurikulum 2013. Banyak siswa yang tidak menunjukkan kecerdasan
sosio-emosional yang tinggi, seperti sikap egois, suka menang sendiri, tidak
menghargai orang lain, tidak peduli dengan kesusahan orang lain. Ketika salah
satu dari mereka merasa mampu dan menguasai materi yang diberikan oleh guru
atau dalam mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan oleh guru, mereka
cenderung tidak mau berbagi untuk berupaya agar teman yang lain juga mampu
mengerti dan menyelesaikan dengan benar soal-soal tersebut (Susiani, Dantes, &
Tika, 2013). Mereka malah bangga apabila hanya dirinya yang mampu mengerjakan.
Seperti yang diungkapkan sebelumnya, pengembangan kemampuan sosio-
emosional dapat dilakukan dalam pembelajaran di kelas. Jika faktanya seperti di
atas, maka pembelajaran di kelas ikut andil dalam memberikan dampak buruk pada
kecerdasan sosio-emosional siswa Guru yang tidak mengontrol kelas dengan baik,
tidak punya rasa hormat terhadap siswa, melihat sikap siswa sebagai kekacauan,
serta menggunaakan kekuasannya dalam kelas secara berlebihan akan berdampak
buruk pada self-esteem siswa dan membuat siswa menentang gurunya (Goerge et al
4
dalam Demirdag, 2015). Ini berarti, guru tidak memberikan timbal balik yang baik
dalam berinteraksi dengan siswa, padahal interaksi merupakan kunci dalam
pengembangan sikap sosio- emosional.
Fokus guru dalam pembelajaran di kelas masih cenderung pada peningkatan
pemahaman dalam konteks kognitif (pengetahuan) siswa, padahal peningkatan
dan pengembangan dalam ranah sosio-emosional juga perlu diprioritaskan. Guru
dengan pengelolaan kelas yang efektif akan cenderung membuat siswa lebih
bertanggung jawab, dan memiliki partisipasi yan tinggi (Smith & Strahan dalam
Demirdag, 2015). Selain itu, menurut Orifa et al (2015) kinerja akademik pada
iklim kelas yang interaktif lebih besar dibandingkan dengan iklim kelas yang
pasif, dimana kinerja akademik siswa laki-laki lebih besar dibandingkan siswa
perempuan. Hal itu perlu dilakukan, sebab outcome yang diinginkan tak hanya
pintar tapi bisa mengendalikan emosi dan bersikap sosial.
Berangkat dari hal di atas yakni gagasan mengenai suasana kelas yang
diciptakan guru untuk menumbuhkan kecerdasan social dan emosional, peneliti
ingin melakukan penelitian dengan judul Analisis Kualitatif Suasana Kelas
yang Diciptakan Guru Fisika SMAN 7 Denpasar: Relevansinya terhadap
Pengembangan Kecerdasan Sosial dan Emosional Siswa.
5
5) Apa permasalahan dan kendala yang dihadapi guru dalam menciptakan
suasana kelas yang mampu mengembangkan kecerdasan sosial-emosional
siswa?
6
1.5. Penelitian Terdahulu
1.5.1 Definisi Konseptual
1) Suasana kelas adalah tingkatan lingkungan pembelajaran yang diciptakan
guru di mana fokusnya pada hubungan siswa dengan guru (Curry,
2009). Suasana kelas sama dengan suasana fisik dan emosional di
dalam kelas (Freiberg dalam Curry, 2009). Tiga dimensi dalam
mempelajari suasana atau lingkungan menurut Moos (dalam Curry, 2009)
antara lain dimensi hubungan antar personal, dimensi perkembangan
personal yakni bagaimana orang berkembang dalam suatu
lingkungan/suasana, dan dimensi pemeliharaan dan perubahan system yakni
berhubungan dengan bagaimana respon personal terhadap suatu perubahan.
Suasana kelas berasosiasi dengan tipe kepemimpinan atau sikap guru dalam
kelas.
2) Kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur
wanita atau pria, anak laki-laki atau perempuan, dengan bertindak secara
bijak dalam hubungan antar manusia (Thorndike dalam Lievens & Chan,
2009). SI merupakan salah satu dimensi dari Multiple Intelligence (MI)
yang memuat seperangkat kemampuan praktis yang disebut dengan
S.P.A.C.E model (Brown, 2006).
3) Kecerdasan emosional atau emotional intelligence (EI/EQ) merujuk kepada
kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri serta dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2003).
Terdapat 4 domain kecerdasan emosional yakni self-awareness, social-
awareness, self-management dan relationship-management.
1.5.2 Definisi Operasional
1) Suasana kelas adalah hasil observasi dan wawancara serta kuisioner
penilaian diri guru (Teacher Self-Assasment) mengenai suasana kelas yang
diciptakan guru untuk mengembangkan kecerdasan sosial dan emosional.
Indikator suasana kelas adalah pengorganisasian, pengaturan dan prosedur;
7
hubungan yang positif; hubungan yang positif; budaya berpikir dan belajar;
keterlibatan dan kesenangan.
2) Kecerdasan sosial adalah hasil obervasi, wawancara mendalam, kuisioner
dan dokumentasi mengenai cara siswa berkomunikasi dan bekerjasama
dengan siswa lainnya yang dapat teridentifikasi dari S.P.A.C.E model
(dimensi).
3) Kecerdasan emosional adalah potret pemahaman dan pengaturan emosi diri
siswa yang teridentifikasi dari hasil observasi, wawancara mendalam,
kuisioner dan dokumentasi.
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
9
b. Kehadiran atau kemampuan membawa diri (presence). Bagaimana etika
penampilan Anda, tutur kata dan sapa yang Anda bentangkan, gerak tubuh
ketika bicara dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam
elemen ini.
c. Keaslian (authenticity). Sinyal dari perilaku kita yang akan membuat orang
lain menilai kita sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka,
dan mampu menghadirkan sejumput ketulusan.
d. Kejelasan (clarity). Aspek ini menjelaskan sejauh mana kita dibekali
kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan ide kita secara renyah nan
persuasif sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka.
e. Empati (empathy). Aspek ini merujuk pada sejauh mana kita bisa berempati
pada pandangan dan gagasan orang lain. Dan juga sejauh mana kita memiliki
keterampilan untuk bisa mendengarkan dan memahami maksud pemikiran
orang lain (Brown, 2006).
Guru yang mengajar secara efektif memberikan penguatan pada kecerdasan
sosial yakni interaksi siswa terhadap dirinya dan siswa belajar lebih baik (Goleman,
2006).
10
1.5. Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan
Pertama, Demirdag (2015) dalam penelitiannya yang berjudul Clasroom
management and students self-esteem: Creating positive classrooms menemukan
bahwa strategi pengelolaan kelas yang dilakukan guru bisa berakibat baik dan buruk
terhadap self-esteem siswa. Self-esteem merupakan perubahan emosi, sosial dan
kognisi siswa dalam kelas yakni penilaian individu terhadap harga dirinya,
yang diekspresikan melalui sikap terhadap dirinya. Jadi self-esteem adalah
perwujudan dari kecerdasan emosional dan sosial.
Kedua, Orifa et al (2015) dalam penelitiannya yang berjudul Clasroom sosial
climate: Enhancing teaching strategy in business studies mengungkapkan bahwa
kinerja akademik pada iklim kelas yang interaktif lebih besar dibandingkan
dengan iklim kelas yang pasif, dimana kinerja akademik siswa laki-laki lebih
besar dibandingkan siswa perempuan.
Ketiga, Seal et al (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Social emotional
development: a new model of student learning in higher education menyatakan
bahwa pengembangan sosio-emosional merupakan model mengenai pemahaman dan
intervensi bagi pendidik untuk meningkatkan kapasitas siswa untuk berinteraksi
dalam lingkungan sosial dan emosional.
11
Tipe kepemimpinan guru dalam kelas antara lain :
1) Otoriter yakni guru sebagai penguasa kelas dan siswa tidak banyak
memberikan pendapat sebab semua keputusan berada di tangan guru. Guru
sering disebut the directive manager.
2) Laissez-faire yakni guru tidak memberikan arahan dan control pada siswa
sehingga siswa dapat seenaknya membuat keputusan, semua tanggung jawab
sepenuhnya diserahkan kepada siswa dan hal tersebut akan berdampak pada
kekacauan hasil belajar siswa. Tingkat keberhasilan hanya ditentukan dari
kesadaran siswa dalam belajar. Guru sering disebut dengan the delegating-
manager.
3) Demokratis yakni guru menghargai potensi setiap siswa; mampu
menstimulasi kerjasama, inisiatif dan kemampuan membuat keputusan siswa;
proses belajar-mengajar aktif dan kreatif. Guru sering disebut dengan the
participative manager.
4) Psedeu-demokratis yakni siswa hanya bisa membuat keputusan dibawah
supervisi guru. Guru sering disebut dengan the persuasive manager.
Sifat guru yang demokratis akan menstimulasi kerjasama siswa. Dalam
bekerjasama diperlukan kemampuan penyesuaian diri siswa terhadap lingkungan
dan teman kerjasamanya. Jika kualitas penyesuaian diri baik, maka kecerdasan
emosional akan baik (Yuniani, 2010). Dengan pembelajaran yang melibatkan
kedua belah pihak, yakni guru dan siswa akan membangkitkan gairah siswa untuk
belajar sehingga potensi siswa bisa diketahui guru dan bisa dikembangkan.
12
Tuntutan Kurikulum
2013
Pembelajaran Fisika
Dapat ditingkatkan
Mengembangkan mengembangkan
berkaitan
Kecerdasan sosial Kecerdasan emosional
13
BAB III. METODE PENELITIAN
14
diciptakan guru 3) lokasi SMAN 7 Denpasar yang masih dalam lingkungan
kota dan dekat dengan kampus UNDIKSHA sehingga penggunaan waktu dan biaya
penelitian menjadi lebih efisien.
15
interview terhadap siswa dan guru. Wawancara guru dilakukan mengenai
suasana kelas yang telah guru ciptakan, sedangkan wawancara siswa
mengkonfirmasi suasana kelas yang telah diciptakan oleh gurunya. (3) kuisioner,
yakni teknik pengumpulan data yang dilakukan pada guru untuk menilai
kemampuan guru mengelola kelas dari awal hingga akhir sehingga didapatkan
data penguat (triangulasi) mengenai suasana kelas yang diciptakan, efektif atau
tidak. (4) dokumentasi, yakni teknik pengumpulan data dengan mengumpulkan
dokumen- dokumen guru ataupun siswa untuk memperjelas data utama yang
didapatkan seperti RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), rapor atau hasil
belajar siswa mengenai sikap sosial dan emosional, dan dokumen lain yang
sekiranya diperlukan.
3.5.2. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif instrumen kuncinya adalah diri peneliti itu
sendiri, sebab instrumen penelitian adalah keseluruhan proses penelitian dimana
ia merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analis, penafsir data dan
pelapor hasil penelitian. Selain peneliti instrumen lainnya sebagai penunjang
seperti alat tulis, kamera dan handycam. Dalam hal melakukan observasi dan
wawancara diperlukan instrumen berupa pedoman wawancara dan pedoman
observasi sesuai dengan dimensi masing-masing variable yang diteliti yakni
suasana kelas, kecerdasan sosial dan kecerdasan emosional. Selain itu instrumen
lainnya adalah lembar kuisioner penilaian diri guru (Teacher Self-Assasment)
dengan indikator yang telah ditentukan oleh peneliti.
16
tahapan analisis data dilakukan pula 3 hal yakni reduksi data, pemahamana dan
mengujinya, serta interpretasi.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, M. Y., Bakar, N. R. A., & Mahbob, N. H. 2012. The dynamics of student
participation in classroom: observation on level and forms of participation.
Procedia-Social and Behavorial Sciences 59(1): 61-70. Tersedia pada
http://www.sciencedirect.com/ science/article/pii/S1877042812036877.
Diakses pada 25 Maret 2015.
18
Depdiknas. 2003. Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Depdiknas.
Respati, W. S., Arifin, W. P., & Ernawati. 2007. Gambaran kecerdasan emosional
siswa berbakat di kelas akselerasi SMA di Jakarta. Journal Psikologi 5 (1): 30-
61. Tersedia pada
http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Psi/article/download/57/54 Diakses
pada 25 Maret 2015.
19
Seal, C. R., Nauman, S. E., Scott, A. N., & Royce-Davis, J. 2010. Social emotional
development: a new model of student learning in higher education.
Research in Higher Education Journal. Tersedia pada
http://www.co.springer.iier.aabri.com/manuscripts/10672.pdf Diakses pada 28
Juni 2015.
Susiani, K., Dantes, N., & Tika, I. N. 2013. Pengaruh model pembelajaran
quantum terhadap kecerdasan sosio-emosional dan prestasi belajar IPA siswa
kelas V SD di Banyuning. e- Journal Program Pasca Sarjana Undiksha 3 (-
): -. Tersedia pada
http://119.252.161.254/ejournal/index.php/jurnal_pendas/article/viewFile/525/
317. Diakses pada 25 Maret 2015.
20
Yuniani, A. 2010. Pengaruh kecerdasan emosional terhadap tingkat
pemahaman akuntansi Skripsi. Tersedia pada
http://core.ac.uk/download/pdf/11722265.pdf. Diakses pada 25 Maret 2015.
21