Anda di halaman 1dari 18

CONTOH TUGAS PROPOSAL PENELITIAN

Metode Penelitian Ekonomi


Dosen : Dr. Ir. Apendi Arsyad, M. Si.

Oleh :
Hery Mulyadi (A. 0910401)

JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS AGRIBISNIS DAN TEKNOLOGI PANGAN
UNIVERSITAS DJUANDA
BOGOR
2012
Bagian Awal :
1. Halaman Judul
2. Halaman Kata Pengantar
3. Halaman Daftar Isi
4. Halaman Daftar Tabel
5. Halaman Daftar Gambar
6. Halaman Daftar Lampiran
JUDUL :
STRATEGI PENGEMBANGAN KELOMPOK TANI DALAM
MENDUKUNG PEMBANGUNAN KAWASAN AGRIBISNIS SAYURAN
ORGANIK di OISCA CIKEMBAR SUKABUMI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


Kelembagaan petani mencakup pengelolaan sumberdaya pertanian pada
kawasan agribisnis hortikultura yang berada didataran tinggi (Deptan, 2003).
Pengembangan kelembagaan merupakan salah satu komponen pokok dalam
keseluruhan rancangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK)
tahun 2005-2025. Selama ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi
komponen pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun,
kelembagaan petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk
mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan
yang lebih mendasar. Kedepan, agar dapat berperan sebagai kelompok tani yang
partisipatif, maka pengembangan kelembagaan harus dirancang sebagai upaya
untuk peningkatan kemampuan kelompok tani itu sendiri sehingga menjadi
mandiri dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis. Pembentukan dan
pengembangan kelompok tani disetiap desa juga harus menggunakan prinsip
kemandirian lokal yang dicapai melalui prinsip pemberdayaan. Pendekatan yang
top-down planning menyebabkan partisipasi kelompok tani tidak tumbuh (Kedi
Suradisastra, 2008; Syahyuti, 2007).
Pemberdayaan petani di pedesaan oleh pemerintah hampir selalu
menggunakan pendekatan kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar adalah
kegagalan pengembangan kelompok yang dimaksud, karena tidak dilakukan
melalui proses sosial yang matang. Kelompok yang dibentuk terlihat hanya
sebagai alat kelengkapan proyek, belum sebagai wadah untuk pemberdayaan
kelompok tani secara hakiki (Syahyuti, 2003; Kedi Suradisastra, 2008).
Kelompok tani merupakan lembaga yang menyatukan para petani secara
horizontal, dan dapat dibentuk beberapa unit dalam satu desa. Kelompok tani juga
dapat dibentuk berdasarkan komoditas, areal pertanian, dan gender.
Pengembangan kelompok tani dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan petani
dalam mengakses berbagai kelembagaan layanan usaha, misalnya lemah terhadap
lembaga keuangan, terhadap lembaga pemasaran, terhadap lembaga penyedia
sarana produksi pertanian serta terhadap sumber informasi (Saptana, Saktyanu,
Sri Wahyuni, Ening dan Valeriana Darwis, 2004). Sedangkan menurut di
Suradisastra, Kelompok tani merupakan lembaga yang menyatukan para petani
secara horizontal dan vertikal.
Secara konseptual tiap kelembagaan petani yang dibentuk dapat memainkan
peran tunggal ataupun ganda. Khusus untuk kegiatan ekonomi, terdapat banyak
lembaga pedesaan yang diarahkan sebagai lembaga ekonomi, diantaranya adalah
kelompok tani, koperasi dan kelompok usaha agribisnis. Secara konseptual
masing-masing dapat menjalankan peran yang sama (tumpang tindih).
Berdasarkan konsep sistem agribisnis, aktivitas pertanian pedesaan tidak akan
keluar dari upaya untuk menyediakan sarana produksi (benih, pupuk dan obat-
obatan), permodalan usahatani, pemenuhan tenaga kerja, kegiatan berusaha tani
(on farm), pemenuhan informasi dan teknologi serta pengolahan dan pemasaran
hasil pertanian (Syahyuti, 2008; F. Kasijadi,A. Suryadi dan Suwono, 2003).
Keberhasilan pengembangan agribisnis sayuran tergantung kepada
keterpaduan antara program dan kesiapan kelembagaannya. Ada tiga bentuk
kelembagaan yaitu kelembagaan yang hidup dan telah diterima oleh komunitas
lokal atau tradisional, kelembagaan pasar, kelembagaan sistem politik atau sistem
pengambilan keputusan ditingkat publik (Etzioni, 1991;Uphoff, 1992).
Kabupaten Sukabumi tepatnya di daerah Cikembar merupakan daerah yang
terletak pada dataran tinggi. Sehingga sangat cocok untuk pengembangan usaha
pertanian. Pengembangan pertanian bertujuan untuk kesejahteraan petani dan
keluarganya dalam berusaha tani dengan melakukan agribisnis pertanian sayuran
organik yang tangguh dan profesional.

1.2. Perumusan Masalah


Selama ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok
dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun, kelembagaan petani
cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek
belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar.
Pendekatan yang top-down planning menyebabkan partisipasi kelompok tani tidak
tumbuh (Kedi Suradisastra, 2008; Syahyuti, 2007; Bank Dunia, 2005)
Pemberdayaan petani di pedesaan oleh pemerintah hampir selalu
menggunakan pendekatan kelompok. Salah satu kelemahan yang mendasar adalah
kegagalan pengembangan kelompok yang dimaksud, karena tidak dilakukan
melalui proses sosial yang matang. Kelompok yang dibentuk terlihat hanya
sebagai alat kelengkapan proyek, belum sebagai wadah untuk pemberdayaan
kelompok tani secara hakiki (Syahyuti, 2003; Kedi Suradisastra, 2008).
Menurut Perhepi (1989), menyatakan salah satu hambatan dalam
pengembangan agribisnis di Indonesia yaitu sistem kelembagaan, terutama di
pedesaan terasa masih lemah sehingga kondisi ini menyebabkan kurang
mendukung kegiatan agribisnis.
Berdasarkan uraian diatas, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian
ini. Dari perumusan masalah diatas, muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa saja permasalahan kegiatan kelompok tani dalam mendukung
pembangunan kawasan agribisnis sayuran organik di OISCA Cikembar
Sukabumi.
2. Bagaimana strategi pengembangan kelompok tani dalam mendukung
pembangunan kawasan agribisnis sayuran organik.

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui permasalahan kegiatan kelompok tani yang ada di Cikembar
dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis sayuran organik di
OISCA.
2. Menganalisis strategi pengembangan kelompok tani dalam mendukung
pembangunan kawasan agribisnis sayuran organik.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, maka diharapkan hasilnya dapat berguna dan
bermanfaat untuk :
1. Bagi petani, yaitu sebagai masukan dan informasi sehingga dapat membantu
dalam menghadapi masalah sehubungan dengan pengembangan kelompok
tani dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis.
2. Bagi pemerintah, yaitu sebagai masukan, gambaran dan pertimbangan
mengenai pengembangan kelompok tani dan masalah yang dihadapi
kelompok tani, sehingga membantu dalam perumusan kebijakan dan
perencanaan pembangunan pertanian yang lebih berpihak pada petani.
3. Bagi penulis sendiri yaitu dapat meningkatkan pemahaman mengenai
pengembangan kelompok tani dalam mendukung pembangunan kawasan
agribisnis dan bagi mahasiswa lain dapat dijadikan acuan dalam melakukan
penelitian tentang kasus ini.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kelembagaan Kelompok Tani


Kelembagaan dan Organisasi adalah berbeda, kelembagaan adalah sesuatu
yang berada diatas petani, sedangkan organisasi berada dilevel petani,
sebagaimana yang dianut kalangan ahli ekonomi Kelembagaan . Menurut North
(2005) institution adalah the rule of the game, sedangkan organization adalah
their enterpreneurs are the players. Pendapat ini diperkuat oleh Robin (2005)
yang berpendapat bahwa institution determine social organization. Jadi
kelembagaan merupakan wadah tempat-tempat organisasi hidup.
Upaya meningkatkan daya saing petani salah satunya adalah pengembangan
kelembagaan pertanian, pemberdayaan, pemantapan dan peningkatan kemampuan
kelompok-kelompok petani kecil (Kartasasmita, 1997 : 31-32).
Pada dasarnya pengertian kelompok tani tidak bisa dilepaskan dari
pengertian kelompok itu sendiri. Menurut Sherif dan Sherif (Catrwright dan
Zander, 1968) kelompok adalah suatu unit sosial yang terdiri dari sejumlah
individu yang satu dengan individu lainnya, mempunyai hubungan saling
tergantung sesuai dengan status dan perannya, mempunyai norma yang mengatur
tingkah laku anggota kelompok itu.
Kelompok pada dasarnya adalah gabungan dua orang atau lebih yang
berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama, dimana interaksi yang terjadi bersifat
relatif tetap dan mempunyai struktur tertentu. Menurut Polak (1976) maksud
struktur sebuah kelompok adalah susunan dari pola antar hubungan intern yang
agak stabil, yang terdiri atas : (1) suatu rangkaian status-status atau kedudukan-
kedudukan para anggotanya yang hirarkhis, (2) peranan-peranan sosial yang
berkaitan dengan status-status itu, (3) unsur-unsur kebudayaan (nilai-nilai, norma-
norma, model) yang mempertahankan, membenarkan dan mengagungkan struktur.
Menurut Soekanto (1986) ada beberapa hal yang harus menjadi ciri
kelompok, yaitu : setiap anggota kelompok harus sadar sebagai bagian dari
kelompok, ada hubungan timbal balik antara sesama anggota dan terdapat suatu
faktor yang dimiliki mbersama oleh para anggota sehingga hubungan diantara
mereka semakin kuat.
Perry dan Perry (Rusdi, 1987) mengemukakan bahwa yang menjadi ciri-ciri
suatu kelompok adalah : (1) ada interaksi antar anggota yang berlangsung secara
kontinyu untuk waktu yang relatif lama, (2) setiap anggota menyadari bahwa ia
merupakan bagian dari kelompok, dan sebaliknya kelompoknyapun mengakuinya
sebagai anggota, (3) adanya kesepakatan bersama antar anggota mengenai norma-
norma yang berlaku, nilai-nilai yang dianut dan tujuan atau kepentingan yang
akan dicapai, (4) adanya struktur dalam kelompok, dalam arti para anggota
mengetahui adanya hubungan-hubungan antar peranan, norma tugas, hak dan
kewajiban yang semuanya tumbuh didalam kelompom itu.
Organisasi atau kelembagaan petani diakui sangat penting untuk
pembangunan pertanian, baik di negara industri maupun negara berkembang
seperti Indonesia. Namun kenyataan memperlihatkan kecenderungna masih
lemahnya organisasi petani di negara berkembang, serta besarnya hambatan dalam
menumbuhkan organisasi atau kelembagaan pada masyarakat petani. Intervensi
yang terlalu besar dari pemerintah atau politisi seringkali menyebabkan organisasi
itu bekerja bukan untuk petani tetapi melayani kepentingan pemerintah atau para
pengelolanya (Vahn den Ban dan Hawkins, 1999: 265).
Bunch (1991: 270-271) menegaskan pembangunan lembaga tidak sekadar
memindahkan kerangka organisasi tetapi juga hgarus memberikan perasaan
tertentu, ciri-ciri masyarakat, perassan, keterampilan, sikap dan sikap moral
merupakan darah dan daging suatu lembaga.

2.2. Konsep Pembangunan Pertanian


Pembangunan pertanian yang dilaksanakan adalah pembangunan pertanian
yang berkelanjutan dengan mengimplementasikan beberapa elemen-elemen
seperti peningkatan kualitas infrastruktur dan fasilitas ekonomi pedesaan,
pelaksanaan reformasi agraria, peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan
petani serta mengurangi kesenjangan pembangunan antar desa dan kota
(Yudhoyono, 2006).
Terdapat 5 (lima) syarat pokok yang diperlukan untuk menggerakkan dan
membangun pertanian yaitu (Mosher, 1987) :
1) Adanya pasar untuk hasil usaha tani
2) Teknologi yang senatiasa berkembang
3) Tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal
4) Adanya perangsang produksi bagi petani
5) Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinu.
Di samping lima syarat mutlak, ada lima syarat lagi yang adanya tidak
mutlak tetapi kalau ada (dapat diadakan) benar-benar akan sangat memperlancar
pembangunan pertanian. Yang termasuk sarana pelancar tersebut adalah
pendidikan pembangunan, kredit produksi, kegiatan gotong royong petani,
perbaikan dan perluasan tanah pertanian serta perencanaan nasional pembangunan
pertanian. Syarat-syarat tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua hal
yaitu 1) Merupakan serangkaian kegiatan untuk menciptakan iklim yang
merangsang, 2) Merupakan sarana-sarana fisik dan sosial yang merupakan alat
(means) untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian.
1) Perangsang pembangunan pertanian
Adanya rencana pembangunan yang memberi prioritas pada
pembangunan pertanian.
Adanya kebijakan-kebijakan khusus seperti kebijakan harga minimum
(floor price), subsidi harga pupuk, kegiatan penyuluhan yang intensif,
perlombaan dengan hadiah-hadiah yang menarik pada petani teladan,
pendidikan pembangunan pada petani-petani di desa baik mengenai
teknik baru dalam pertanian maupun mengenai keterampilan lainnya
yang membantu menciptakan iklim yang menggiatkan usaha
pembangunan
2) Faktor-faktor fisik dan sosial
Tersedianya secara lokal kebutuhan akan sarana pertanian seperti bibit
unggul, pupuk dan obat-obatan.
Adanya lembaga perbankan yang siap melayani dan meminjamkan kredit
dengan persyaratan yang tidak berat.
Pengembangan usaha koperasi melalui peningkatan mutu pengurus
koperasi yang ada dan pendidikan kader-kader baru, membantu dan
membina sistem pembukuan dan lain-lain.
Mubyarto (1989) mengemukakan bahwa tidak semua model pembangunan
pertanian bisa diimplementasikan oleh negara-negara yang sedang berkembang di
dalam membangun pertaniannya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kas
dari negara yang bersangkutan seperti sosial-ekonomi, politik, tehnologi dan
kebudayaan yang tidak memungkinkan penerapan model pembangunan pertanian
dari negara luar tersebut secara keseluruhan. Namun, setidaknya (seperti
Indonesia) bisa belajar dari Taiwan tentang cara-cara mengatur organisasi
pertaniannya, dari Jepang dalam merangsang kerja petani , dari Thailand
dalam pembangunan jalan-jalan oleh negara dan dari India dalam kegiatan-
kegiatan penelitiannya .

2.3 Konsep Pertanian Organik


Pertanian organik merupakan teknik pertanian yang tidak menggunakan
bahan kimia (non sintetik), tetapi memakai bahan-bahan organik (Pracaya, 2002).
Secara sederhana, pertanian organik didefinisikan sebagai sistern pertanian yang
mendorong kesehatan tanah dan tanaman melalui berbagai praktek seperti pendaur
ulangan unsur hara dan bahan-bahan organik, rotasi tanaman, pengolahan tanah
yang tepat serta menghindarkan penggunaan pupuk dan pestisida sintetik (IASA
dalam Dimyati, 2002). Sedangkan pengertian organik menurut FAOI adalah suatu
sistem manajemen yang holistik yang mempromosikan dan meningkatkan
pendekatan sistem pertanian berwawasan kesehatan lingkungan, termasuk
biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Dalam pengertian ini
ditekankan pada preferensi penerapan input of farm dalam manajemen dengan
memperhatikan kondisi regional yang sesuai.
Pertanian organik didasarkan pada prinsip-prinsip IFOAM (International
Federation of Organic Agriculture Movement) 2005 : prinsip kesehatan, ekologi,
keadilan dan pelindungan. Pertanian organik harus melestarikan dan
meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu
kesatuan dan tak terpisahkan. Pertanian organik harus membangun hubungan
yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup
bersama. Pertanian organik harus memberikan kualitas hidup yang baik bagi
setiap orang yang terlibat, menyumbang bagi kedaulatan pangan dan pengurangan
kemiskinan. Keadilan memedukan sistern produksi, dtstribusi dan perdagangan
yang terbuka, adil dan mempertimbangkan biaya sosial dan lingkungan yang
sebenamya.
Departemen Pertanian telah menyusun standar pertanian organik di
Indonesia yang tertuang dalarn SNI 01-6729-2002 (BSN, 2002). SNI sistem
pangan organik ini merupakan dasar bagi lembaga sertifikasi yang nantinya juga
harus diakreditasi oleh Deptan melalui PSA (Pusat Standarisasi dan Akreditasi).
SNI sistern pangan organik diadopsi dengan mengadopsi seluruh materi dalam
dokumen standar CAC/GL 32 - 1999, Guidelines for the production, processing,
labeling and marketing of organikally produced food dan dimodifikasi sesuai
dengan kondisi Indonesia. Bila dilihat kondisi petani di Indonesia, hampir tidak
mungkin mereka mendapatkan label sertifikasi dad suatu lembaga sertifikasi
asing maupun dalam negeri. Luasan lahan yang dimiliki serta biaya sertifikasi
yang tidak terjangkau, menyebabkan mereka tidak mampu mensertifikasi
lahannya. Satu-satunya jalan adalah membentuk suatu kelompok petani organik
dalam suatu kawasan yang luas yang memenuhi syarat sertifikasi, dengan
demikian mereka dapat membiayai sertifikasi usaha tani mereka secara gotong
royong. Namun ini pun masih sangat tergantung pada kontinuitas produksi mereka
(Husnain et al., 2005).
Pertanian ramah lingkungan salah satunya adalah dengan menerapkan
pertanian organik. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu
yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil rekayasa genetik,
menekan pencemaran udara, tanah, dan air. Di sisi lain, Pertanian organik
meningkatkan kesehatan dan produktivitas di antara flora, fauna dan manusia.
Penggunaan masukan di luar pertanian yang menyebabkan degradasi sumber daya
alam tidak dapat dikategorikan sebagai pertanian organik. Sebailknya, sistem
pertanian yang tidak menggunakan masukan dari luar, namun mengikuti aturan
pertanian organik dapat masuk dalam kelompok pertanian organik, meskipun
agro-ekosistemnya tidak mendapat sertifikasi organik.
Pengelolaan pertanian yang berwawasan lingkungan dilakukan melalui
pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, lestari dan menguntungkan,
sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan generasi
sekarang dan generasi mendatang.
Beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan adalah : 1) pemanfaatan
sumberdaya alam untuk pengembangan agribisnis hortikultura (terutama lahan
dan air) secara lestari sesuai dengan kemampuan dan daya dukung alam, 2) proses
produksi atau kegiatan usahatani itu sendiri dilakukan secara akrab lingkungan,
sehingga tidak menimbulkan dampak negatif dan eksternalitas pada masyarakat,
3) penanganan dan pengolahan hasil, distribusi dan pemasaran, serta pemanfaatan
produk tidak menimbulkan masalah pada lingkungan (limbah dan sampah), 4)
produk yang dihasilkan harus menguntungkan secara bisnis, memenuhi preferensi
konsumen dan aman konsumsi. Keadaan dan perkembangan permintaan dan pasar
merupakan acuan dalam agribisnis hortikultura ini.
Perkembangan pertanian organik di Indonesia masih sangat lambat. Namun
minat bertani dengan sistem organik akhir-akhir ini sudah mulai tumbuh. Hal ini
diharapkan akan berdampak positif terhadap pengembangan petanian organik
yang waktu-waktu yang akan datang.
Kendala-kendala dalam pengembangan pertanian organik yang bersifat
makro antara lain peluang pasar, penelitian dan pengembangan, dan kondisi iklim.
Sejak dua dasawarsa terakhir permintaan pasar dunia terhadap produk pertanian
organik mulai tumbuh. Pertumbuhan pasar ini, khususnya di Eropa, merupakan
salah satu pertimbangan utama dalam pemberlakuan Council Regulation (EEC)
No. 2092/91 (EEC, 1991).
Disamping kendala pasar, program penelitian dan pengembangan yang
mendukung ke arah pengembangan sistem pertanian organik di Indonesia pada
komoditas lain masih belum banyak dilakukan, sehingga pengembangan
agribisnis di sektor organik masih terbatas. Berdasarkan pengalaman pada
komoditas kopi tersebut di atas, dukungan penelitian sangat diperlukan agar
pengembangan agribisnis di sektor organik dapat berhasil dengan baik.
Kendala lainnya adalah Indonesia memiliki iklim tropika basah, bahkan di
beberapa tempat tidak memiliki atau sedikit sekali periode kering. Kondisi iklim
seperti ini menguntungkan untuk jasad penganggu, khususnya jamur. Intensitas
serangan jasad penggangu yang tinggi akan lebih menyulitkan dalam praktek
penerapan pertanian orgnik.
Kendala mikro yang dimaksud adalah kendala yang dijumpai di tingkat
usaha tani, khususnya petani kecil. Minat produsen, pada pelaku usaha pertanian
di Indonesia belum banyak yang beminat untuk betani organik. Minat pelaku
usaha untuk mempraktekkan pertanian petanian organik ini akan meningkat
apabila pasar domestik dapat ditumbuhkan. Pemahaman kurang, pemahaman para
petani terhadap sistem pertanian organik masih sangat kurang. Pertanian organik
sering dipahami sebatas pada praktek pertanian yang tidak menggunakan pupuk
anorganik dan pestisida.
Pengertian tentang sistem pertanian organik yang benar perlu disebarluaskan
pada masyarakat. Pengertian tersebut meliputi filosofi, tujuan, penerapan,
perdagangan, dan lain-lain. Sebagai acuan untuk penyebarluasan pengertian
pertanian organik sebaiknya menggunakan standar dasar yang dirumuskan oleh
IFOAM.
Organisasi di tingkat petani, Organisasi di tingkat petani merupakan kunci
penting dalam budidaya pertanian organik. Hal ini terkait dengan masalah
penyuluhan dan sertifikasi. Agribisnis produk organik di tingkat petani kecil akan
sulit diwujudknan tanpa dukungan kelompok tani.
Di beberapa daerah organisasi petani sudah terbentuk dengan baik, tetapi
sebaiknya di daerah-daerah lain organisasi pertani masih sulit diwujudkan.
Kemitraan petani dan pengusaha, upaya membentuk hubungan kemitraan antara
petani dan pengusaha yang pernah dilakukan beberapa waktu yang lalu yang
masih belum memberikan hasil seperti yang diharapkan petani.
BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu


Penelitian ini dilaksanakan di OISCA sebuah lembaga pelatihan penanaman
sayuran organic yang terletak di daerah Cikembar Sukabumi.
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 (dua) bulan yaitu dimulai bulan
Desember 2012 sampai bulan Januari 2012 terhitung sejak dikeluarkannya surat
turun penelitian dari Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan Universitas
Djuanda.

3.2. Metode Penelitian Dan Pengambilan Sampel


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study)
yaitu penelitian yang diadakan untuk memperhatikan faktor-faktor dan gejala
yang ada dan keterangan-keterangan serta mendapatkan kebenaran terhadap
praktek-praktek yang sedang berlangsung (Nazir, 1999).
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara sensus yaitu semua petani
yang tremasuk kedalam kelompok tani yang menjadi binaan OISCA.

3.3. Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan informan
kunci (key informan) secara mendalam dengan bantuan pengisian daftar
pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan sebelumnya yang berhubungan
dengan penelitian ini untuk kelompok tani binaan OISCA.
Sedangkan data sekunder yang dibutuhkan diperoleh dari lembaga atau
instansi yang berhubungan dengan penelitian ini seperti dinas pertanian, BPP
(Balai Penyuluh Pertanian), serta literatur-literatur yang relevan seperti buku-
buku, jurnal penelitian internet dan laporan-laporan yang berhubungan dengan
penelitian ini.
3.4. Variabel Yang Diamati
Berdasarkan tujuan pertama yaitu mendeskripsikan masalah kelompok tani
dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis sayuran organik di
kecamatan X Koto, maka variabel yang diamati :
1) Masalah Teknis meliputi sentra produksi yaitu
a. pengolahan lahan meliputi : pembersihan lahan dan pengaturan jarak
tanam.
b. penanaman meliputi : penyiapan bibit, cara tanam dan pola tanam.
c. jenis bibit yang digunakan petani.
d. pemupukan meliputi cara pemupukan dan jumlah pupuk yang digunakan.
e. pemeliharaan dan pengendalian hama penyakit.
f. penggunaan pestisida.
g. pemanenan meliputi : kriteria siap panen, waktu panen dan cara panen.
2) Masalah Sosial meliputi keterlibatan pemerintah dan msyarakat didaerah
sekitar.
3) Masalah Ekonomi meliputi pengadaan modal dan pemasaran.

3.5. Definisi Operasional


Dari kerangka teori, konsep dan kerangka yang telah disajikan pada bagian
tinjauan pustaka, maka penelitian ini menggunakan defenisi oprasional agar tidak
menimbulkan penafsiran yang berbeda. Adapun defenisi itu adalah sebagai berikut
1) Kelompok tani merupakan lembaga yang menyatukan para petani secara
horizontal dan vertikal.
2) Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi masyarakat
pertanian di kawasan agropolitan. Dimana terdapatnya kegiatan belajar
mengajar dalam perubahan sikap, keterampilan, dan perilaku masyarakat
tani di kawasan agropolitan. Dalam proses pembelajaran, dilengkapi dengan
penyuluh sebagai pengajar, materi yang disampaikan, media yang
digunakan, dan sasaran (petani) sebagai orang yang disuluh.
3) Tanaman hortikultura adalah berbagai jenis tanaman sayuran, tanaman hias,
dan tanaman obat-obatan yang diusahakan oleh petani di kawasan
agropolitan. Adapun jenis tanaman hortikultura yang banyak diusahakan
adalah sayuran dataran tinggi seperti wortel, sawi, cabe, kubis, kol, kentang,
daun bawang, seledri, dan lain sebagainya.
4) Pasar hasil pertanian adalah sarana penampungan dan pemasaran hasil
pertanian masyarakat di kawasan agropolitan Koto Baru Kecamatan X Koto
seperti Sub Terminal Agribisnis (STA) yang dilengkapi dengan pasar lelang,
gudang penyimpanan (cold storage), sarana pencucian, sortasi dan
prossesing hasil pertanian sebelum dipasarkan.
5) Partisipasi adalah peran serta / inisiatif masyarakat dalam setiap kegiatan
yang dilaksanakan, yaitu meliputi pada perencanaan kegiatan sampai pada
mengevaluasi dan menikmati hasil kerja. Partisipasi masyarakat seperti
dalam penentuan usulan kegiatan, pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan.
DAFTAR PUSTAKA

Artikel Michail Porter berjudul What is Strategy? yang dimuat dalam Harvard
Business Review November-Desember 1996.

Bappenas. 2004. Tata Cara Perencanaan Pengembangan Kawasan Untuk


Percepatan Pembangunan Daerah. Direktorat Pengembangan Kawasan
Khusus dan Tertinggal.

Dinas Pertanian. 2007. Programa Penyuluhan Pertanian Kecamatan X Koto


Kabupaten Tanah Datar.

Indraningsih, Kurnia, Suci, Ashari dan Supena Friyatno. 2005. Strategi


Pengembangan Model Kelembagaan Kemitraan Agribisnis Hortikultura di
Bali. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor.

Kedi Suradisastra. 2006. Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepetan


Pembangunan Sektor Pertanian dalam Otonomi Daerah. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi. Bogor. Jurnal Analisa Kebijakan Pertanian, Volume 4 No 4
Desember 2006.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian, Penerbit Lembaga Penelitian,


Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian . Ghalia Indonesia. Jakarta.


Sadikin,Ikin, Rita Nur Suhaeti, dan Kedi Suradisastra. 1999. Kajian Kelembagaan
Agribisnis Dalam Mendukung Pengembangan Sistem Usaha Pertanian
Berbasis Agroekosistem. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor. Jurnal
Analisa Kebijakan Pertanian.

Sapja Anantanyu. 2004. Gambaran Kemiskinan Petani dan Alternatif


Pemecahannya. MK Pengantar ke Falsafah Sains (PPS 702).
Saptana, Ariningsih E, Saktyanu KD, Sri Wahyuni, Valeriana. 2005. Kebijakan
Pengembangan Hortikultura di Kawasan Agribisnis Hortikultura Sumatera
(KAHS). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor. Jurnal Analisa Kebijakan
Pertanian, Volume 3 No1 Maret 2005.

Saptana, Saktyanu KD, Sri Wahyuni, Ening Ariningsih dan Valeriana Darwis.
2004. Integrasi Kelembagaan Forum KASS dan Program Agropolitan
Dalam Rangka Pengembangan Agribisnis Sayuran Sumatera. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor. Jurnal Analisa Kebijakan Pertanian,
Volume 2 No3 September 2004.

Saptana, Sunarsih, Kurenia Suci Indraningsih. 2005. Mewujudkan Keunggulan


Komparatif Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan
Kemitraan Usaha Hortikultura. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai