Anda di halaman 1dari 24

KELEMBAGAAN DALAM PERTANIAN,

REVITALISASI KELEMBAGAAN PERTANIAN

Disusun oleh:

Kelompok 3

1. Ricko Rachmadillah Sirait (2006541174)


2. Ni Komang Triana Wahyu Susanti Purnama Dewi (2006541175)
3. I Nyoman Adijaya Pradhika (2006541176)
4. I Putu Junaedi (2006541177)
5. I Gede Yogi Surya Pratama (2006541178)
6. Aginta Fernando Pinem (2006541179)
7. Ida Ayu Nanda Tri Wahyuni (2006541180)

PRODI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “KELEMBAGAAN DALAM
PERTANIAN, REVITALISASI KELEMBAGAAN PEETANIAN” Yang dimana laporan ini
terdiri dari landasan teori, hipotesis, metode kajian, dan analisis hasil kajian.

Selama pembuatan kajian ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber, dan referensi
dari berbagai pihak. Kami selaku Mahasiswa Agroekoteknologi Kelas F Fakultas Pertanian
Univesitas Udayana 2020 telah berusaha menyelesaikan tugas ini dengan baik. Kami menyadari
bahwa pembuatan kajian ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami mengharapkan saran
dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca agar kedepannya dapat menjadi lebih baik lagi.

Kami ucapkan terima kasih kepada pihak yang telah mendukung serta membantu kami
selama proses penyelesaian kajian ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membaca.
DAFTAR ISI

COVER…………………………………............................ ……………………………
KATA PENGANTAR…………………. ........................... ……………………………
DAFTAR ISI……............................................................... ……………………………

BAB I PENDAHULUAN………… ........................... ……………………………


1.1 Latar Belakang……………… ........................... ……………………………
1.2 Rumusan Masalah………….. ............................ ……………………………
1.3 Tujuan Kajian………………. ........................... ……………………………
1.4 Manfaat Kajian……………… .......................... ……………………………
BAB II PEMBAHASAN……………........................... ……………………………
2.1 Metodologi Kajian............................................. ……………………………
2.2 Tinjauan Pustaka ............................................... ……………………………
2.3 Pembahasan........................................................ ……………………………
2.3.1 Pengertian Kelembagaan Pertanaian………………………………….
2.3.2 Lembaga Tradisional dan Modern Pertanian di Pedesaan……………
2.3.3 Macam-macam Kelembagaan Tingkat Desa…………………………
2.3.4 Prinsip-prinsip Kelembagaan Petani………………………………….
2.3.5 Peran Lembaga Pertanian……………………………………………..
2.3.6 Penyebab Kelembagaan Petani di Desa………………………………
2.3.7 Revitalisasi Kelembagaan Pertanian………………………………….
BAB III PENUTUP………………………..................... ……………………………
3.1 Kesimpulan……………………….................... ……………………………
3.2 Daftar Pustaka…………………….. ................ ……………………………
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelembagaan pertanian di Indonesia baik formal maupun nonformal seharusnya
memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, peningkata n
produksi dan pendapatan, serta kesejahteraan petani. Namun kinerjanya belum maksimal yang
dicirikan oleh masih sulitnya akses petani terhadap pelayanan lembaga-lembaga pertanian,
yaitu lembaga penyuluhan, lembaga penelitian, lembaga pelatihan dan lembaga pendidikan
yang ada termasuk akses pemasaran. Akibatnya produktivitas pertanian dan pendapatan petani
relatif rendah.
Keadaan ini disebabkan oleh peran antara Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Balai
Penelitian, dan Penyuluhan belum terkoordinasi dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan
kelembagaan pertanian yang mampu memberikan kekuatan bagi petani dalam posisi tawar
yang tinggi. Kelembagaan pertanian dalam hal ini mampu memberikan jawaban atas
permasalahan di atas. Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu
kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh petani, agar mereka dapat
bersaing dalam melaksanakan kegiatan usahatani dan dapat meningkatkan kesejahteraan
hidupnya, (Suhud, 2005).
Untuk mengembangkan dan mengefektifkan serta mensejahterakan petani, maka
dibentuklah kelompok-kelompok tani yang diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah yang
dapat memotifasi petani sebagai anggotanya untuk lebih aktif dan berperan dalam berbagai
kegiatan guna mengembangkan usaha taninya. Pengembangan usahatani melalui kelompok
tani adalah sebagai upaya percepatan yaitu petani yang banyak jumlahnya dan kawasan
pedesaan yang tersebar dan luas, sehingga dalam pengembangan, pembinaan kelompok
diharapkan tumbuh cakrawala dan wawasan kebersamaan memecahkan dan merubah citra
usaha tani sekarang menjadi usaha tani masa depan, (Suradisastra, 2008).
Pengembangan kelembagaan merupakan salah satu komponen pokok dalam
keseluruhan rancangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) tahun 2005-
2025. Selama ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok dalam
pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun, kelembagaan kelompok tani cenderung hanya
diposisikan sebagai alat untuk mendapatkan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk
pemberdayaan yang lebih mendasar dalam rangka peningkatan kesejatraan masyarakat. Oleh
karena itu, agar lebih berperan sebagai kelompok tani yang partisipatif, maka pengembanga n
kelembagaan harus dirancang sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan kelompok tani
itu sendiri sehingga menjadi mandiri dalam mendukung pembangunan kawasan agribis nis.
Pembentukan dan pengembangan kelompok tani disetiap desa juga harus menggunaka n
prinsip kemandirian lokal yang dicapai melalui prinsip pemberdayaan. Pendekatan yang top-
down planning menyebabkan partisipasi kelompok tani tidak tumbuh (Suradisastra, 2006).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bagian latar belakang penelitian, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Kelembagaan Pertanian?
2. Apa yang dimaksud dengan Lembaga Tradisional dan Lembaga Modern?
3. Prinsip apa saja yang harus dipenuhi oleh suatu kelembagaan petani agar tetap eksis dan
berkelanjutan?
4. Apa yang menyebabkan kelembagaan petani di desa umumnya tidak berjalan dengan
baik?
5. Apa yang dimaksud dengan revitalisasi kelembagaan pertanian?

1.3 Tujuan Kajian


Adapun tujuan dilakukannya kajian ini yakni:
1. Untuk mengidentifikasi kelembagaan pertanian tradisional dan modern di pedesaan.
2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip apa saja yang harus diimplementasikan oleh
kelembagaan pertanian agar tetap eksis dan berkelanjutan.
3. Mengetahui peranan kelembagaan pertanian.
4. Mengetahui apa yang dimaksud dengan revitalisasi kelembagaan pertanian.
1.4 Manfaat Kajian
Adapun manfaat dari kajian ini adalah:
1. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut masalah
yang erat hubunganya dengan masalah penelitian.
2. Bagi petani, yaitu sebagai masukan dan informasi sehingga dapat membantu dalam
menghadapi masalah sehubungan dengan pengembangan kelompok tani dalam
mendukung pembangunan kawasan pertanian. Sedangkan bagi pemerintah, yaitu sebagai
masukan, gambaran dan pertimbangan mengenai pengembangan kelompok tani dan
masalah yang dihadapi kelompok tani, sehingga membantu dalam perumusan kebijakan
dan perencanaan pembangunan pertanian yang lebih berpihak pada petani.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Metodologi Kajian


Dalam penulisan ini menggunakan metode diskriptif, yaitu penulisan yang
memusatkan diri pada pemecahan masalah yang aktual, data yang dikumpulkan, disusun,
dijelaskan, dan dianalisis (Suracmad, 1980). Pembahasan masalah dengan menggunakan studi
pustaka sebagai sumber informasi.

2.2 Tinjauan Pustaka


Kelembagaan merupakan terjemahan langsung dari istilah social- institution. Dimana
banyak pula yang menggunakan istilah pranata sosial untuk istilah social-institution tersebut,
yang menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat 1979, bahwa pranata sosial adalah suatu
sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi
kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Hal berbeda Sumner
dalam Soekanto 2001 melihat kelembagaan masyarakat dari sudut kebudayaan yang diartikan
sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan, bersifat kekal serta
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Istilah kelembagaan sampai
saat ini, sering digunakan tidak hanya pada sebuah kelembagaan yang memiliki arti institus i
atau sistem tata kelakuan. Namun juga diartikan sebagai suatu organisasi yaitu wadah dimana
anggotanya dapat berinteraksi, memiliki tata aturan dalam beraktifitas untuk mencapai tujuan
bersama. Hal ini menyebabkan banyak kerancuan yang terjadi dalam mengartika n
kelembagaan, yang berarti institusi maupun organisasi. Hal ini sebenarnya telah dijelaskan
oleh Uphoff dalam Nasdian 2003 yang menjelaskan secara terinci mengenai makna keduanya
sebagai berikut: “Kelembagaan dapat sekaligus berwujud organisasi dan sebaliknya. Tetapi,
jelas bahwa kelembagaan adalah seperangkat norma dan perilaku yang bertahan dari waktu
ke waktu dengan memenuhi kebutuhan kolektif, sedangkan organisasi adalah struktur dari
peran-peran yang diakui dan diterima. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat
dinyatakan bahwa ada dua persepktif tentang kelembagaan sosial. Pertama, suatu perspektif
yaitu memandang baik kelembagaan maupun asosiasi sebagai bentuk organisasi sosial, yakni
sebagai kelompok-kelompok, hanya kelembagaan bersifat lebih universal dan penting,
sedangkan asosiasi bersifat kurang penting dan bertujuan lebih spesifik Kedua, perspektif
yang memandang kelembagaan sebagai kompleks peraturan dan peranan sosial secara abstrak,
dan memandang asosiasi-asosiasi sebagai bentuk-bentuk organisasi yang konkrit.”
Kelembagaan menurut Agus Pakpahan dalam Syahyuti 2006 adalah software dan organisas i
adalah hardwarenya dalam suatu bentuk group sosial. Ia menganalisis kelembagaan sebagai
suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya. Suradisastra 2001 menyata kan
bahwa fungsi organisasi dan lembaga lokal antara lain adalah:
a) mengorganisisr dan memobilisasi sumberdaya;
b) membimbing stakeholder pembangunan dalam membuka akses ke sumberdaya
produksi;
c) membantu meningkatkan sustainability pemanfaatan sumberdaya alam;
d) menyiapkan infrastruktur sosial di tingkat lokal;
e) mempengaruhi lembaga-lembaga politis;
f) membantu menjalin hubungan antara petani, penyuluh dan peneliti lapang;
meningkatkan akses ke sumber informasi;
g) meningkatkan kohesi sosial; i membantu mengembangkan sikap dan tindakan
kooperatif.
Mubyarto 1989 menjelaskan bahwa lembaga-lembaga yang ada dalam sektor
pertanian dan pedesaan sudah mengalami berbagai jaman sehingga banyak lembaga-lemba ga
yang sudah lenyap tetapi timbul juga lembaga-lembaga baru yang sesuai dengan iklim
pembangunan pertanian dan pedesaan. Secara konseptual, Syahyuti 2006 menyebutkan bahwa
tiap kelembagaan petani yang dibentuk dapat memainkan peran tunggal atau ganda. Peran-
peran yang dapat dilakukan oleh kelembagaan petani yaitu sebagai lembaga pengelolaa n
sumberdaya alam, sebagai penggiat aktivitas kolektif, sebagai unit usaha, sebagai penyedia
kebutuhan informasi dan sebagai wadah yang merepresentatifkan kegiatan politik. Kelompok
tani adalah salah satu kelembagaan pertanian yang memiliki peranan untuk mengembangka n
unit usaha secara bersama. Menurut Mardikanto 1993 pengertian kelompok tani adalah
sekumpulan orang-orang tani atau petani yang terdiri petani dewasa pria dan wanita maupun
petani taruna yang terikat secara informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian
dan kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh dan dipimpin oleh seorang
kontak tani. Menurut Deptan 2007 kelompok tani adalah sekumpulan petani, peternak, dan
perkebunan yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkunga n
sosial ekonomi, sumber daya keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usahanya.
Kelompok tani sebagai salah satu kelembagaan pertanian di pedesaan yang
ditumbuhkembangkan dari, oleh dan untuk petani. Karakteristik dari kelompok tani yaitu
memiliki ciri sebagai berikut:
1. Saling mengenal, akrab dan saling percaya diantara sesama anggota,
2. Mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama dalam berusaha tani,
3. Memiliki kesamaan dalam tradisi dan atau pemukiman, hamparan usaha, jenis usaha,
status ekonomi maupun sosial, bahasa, pendidikan dan ekologi,
4. Ada pembagian tugas dan tanggung jawab sesama anggota berdasarkan kesepakatan
bersama.
Selain itu, kelompok tani juga memiliki beberapa unsur yang dapat mengikat antara
sesama anggotanya yaitu adanya kepentingan yang sama diantara para anggotanya, adanya
kawasan usaha tani yang menjadi tanggung jawab bersama diantara para anggotanya, adanya
kader tani yang terdedikasi untuk menggerakkan para petani dan kepemimpinannya diterima
oleh sesama petani lainnya, adanya kegiatan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh sekurang-
kurangnya sebagian besar anggotanya, dan adanya dorongan atau motivasi dari tokoh
masyarakat setempat untuk menunjang program yang telah ditentukan.
Eksistensi kelembagaan kelompok tani tersebut, menjadi gejala yang sangat penting
untuk dikaji. Hal ini dikarenakan sebagian besar kegiatan petani berlangsung dalam kehidupan
kelompok tersebut. Namun posisi dan peran kelompok tani dalam kondisi lemah powerless,
bahkan kelompok tani dengan mudah dilakukan eksploitasi oleh pihak lain. Dalam
pengembangan kelompok usaha bersama, kelembagaan kelompok tani perlu dilakukan
penguatan kelembagaan agar dapat berperan dan berfungsi menjadi kelembagaan kooperatif
dan produktif yaitu:
1. Kelompok tani dapat membantu pengadaan sumberdaya finansial modal bagi
anggota kelompok dalam mengembangkan usaha-usaha produktif.
2. Kelompok tani sebagai lembaga usaha-usaha produktif dan ekonomi yang
mampu menciptakan lapangan kerja dan usaha ditingkat kelompok.
3. Kelompok tani sebagai lembaga ekonomi di tingkat kelompok.
4. Kelompok tani sebagai unit usaha enterprise di tingkat kelompok.

2.3 Pembahasan

2.3.1 Pengertian Kelembagaan Pertanaian


(Djogo et al, 2003) kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara
anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk
hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau
jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik
aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial untuk bekerjasama dan
mencapai tujuan bersama. Kelembagaan didominasi oleh unsur-unsur aturan, tingkah laku
atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat lainnya antar anggota masyarakat yang
membuat orang saling mendukung dan bisa berproduksi atau menghasilkan sesuatu karena
ada keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumber daya alam yang didukung oleh
peraturan dan penegakan hukum untuk mentaati aturan atau menjalankan institusi.
Menurut (Sesbany, 2010) kelembagaan petani memiliki titik strategis (entry point)
dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumber daya yang ada
di pedesaan perlu diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme petani
(kelompok tani). Saat ini potret petani dan kelembagaan petani di Indonesia diakui masih
belum sebagaimana yang diharapkan. Menurutnya kelembagaan di Indonesia perlu
melakukan upaya pengembangan, pemberdayaan dan penguatan kelembagaan petani (seperti
: kelompok tani, lembaga tenaga kerja, kelembagaan penyedia input, kelembagaan output,
kelembagaan penyuluh dan kelembagaan permodalan).
Pengembangan masyarakat petani melalui kelembagaan pertanian/kelompok tani
merupakan suatu upaya pemberdayaan terencana yang dilakukan secara sadar dan sungguh-
sungguh melalui usaha bersama petani untuk memperbaiki keragaman sistem perekonomia n
masyarakat pedesaan. Arah pemberdayaan petani akan disesuaikan dengan kesepakatan yang
telah dirumuskan bersama. Dengan partisipasi yang tinggi terhadap kelembagaan petani,
diharapkan rasa ikut memiliki dari masyarakat atas semua kegiatan yang dilaksanakan akan
juga tinggi.

2.3.2 Lembaga Tradisional dan Modern Pertanian di Pedesaan


Pengertian kelembagaan menurut beberapa ahli:

 Pengertian Kelembagaan Sosial Menurut Koentjaraningrat (1994), lembaga


kemasyarakatan/lembaga sosial atau pranata sosial adalah suatu sistim norma khusus yang
menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu kebutuhan khusus
dari manusia dalam kehidupan masyarakat
 Soekanto (2003) mendefinisikan lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan dari norma -
norma segala tindakan berkisar pada suatu kebutuhan pokok manusia di dalam kehidupan
masyarakat.
 Rahardjo (1999) menyatakan bahwa kelembagaan sosial (social institution) secara ringkas
dapat diartikan sebagai kompleks norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan untuk
mempertahankan nilai- nilai yang dipandang sangat penting dalam masyarakat, merupakan
wadah dan perwujudan yang lebih konkret dari kultur dan struktur.

Berdasarkan pada beberapa pengertian tadi , dapat dipahami bahwa kelembagaan


pertanian adalah “norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta dipraktekkan terus
menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat dengan
penghidupan dari bidang.
Ciri-ciri kelembagaan social:
Adanya tujuan, memiliki tingkat kekekalan tertentu, merupakan organisasi pola
pemikiran pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya
serta alat pelengkap untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Kebutuhan dasar manusia dan kelembagaan sosial ekonomi: Lembaga
kemasyarakatan merupakan susunan tata kelakuan dan hubungan yang terpusat pada
pemenuhan kompleks kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Lembaga kemasyarakatan bertujuan memenuhi kebutuhan pokok manusia
mempunyai fungsi: Memberi pedoman pada msyarakat bagaimana harus berbuat dalam
menghadapi permasalahan di masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan pokok
manusiaMenjaga keutuhan masyarakatMemberikan pegangan pada masyarakat untuk
mengadakan sistem pengendalian sosial (sosial control) yang merupakan pengawasan
masyarakat terhadap perilaku anggotanya
Lembaga Tradisional di Pedesaan: Lembaga tradisional atau lembaga lama di desa
berkaitan dengan sistem kekerabatan serta ikatan daerah sangat dipengaruhi oleh agama atau
kepercayaan setempat. Keberadaan suatu lembaga tidak terlepas dari kebutuhan
masyarakatnya, hal ini juga terlihat pada lembaga gotong royong. Dengan semakin
merasuknya sistem ekonomi di tengah kehidupan masyarakat desa disamping perubahan
kebudayaan yang diakibatkan oleh peranan media massa maka lembaga gotong royong telah
mengalami perubahan dan pergeseran. Adapun contoh dari lembaga tradisonal meliputi:
 Sistim gotong royong dalam proses produksi pertanian
 Sistim bagi hasil
 Sistim tebasan
 Sistim borongan pengolahan tanah dan pemanenan
 Sistim buruh tani

Lembaga Modern di Pedesaan: Lembaga Modern di Desa saat ini terdiri dari
lembaga formal pemerintahan, kelompok tani, lembaga ekonomi, dll.Lembaga modern
biasanya memiliki struktur, tata nilai yang jelas serta telah diformalkan, adanya proses yang
pasti, adanya individu dan adanya kepemimpinan yang resmi. Lembaga pemerintahan seperti
BPD, Lurah atau Kepala Desa, PKK, Karang Taruna, LMD, LPMD termasuk lembaga modern
Ciri-ciri lembaga modern: Adanya pembukuan dan proses peralihan kepemimp ina n
Aturan lembaga ditulis dalam anggaran dasar dan kebutuhan rumah tangga lembagaDibe ntuk
secara sengaja karena kesadaran akan pentingnya lembaga tersebut

Tipe-tipe kelembagaan di Desa: Berdasarkan sudut pandang perkembangannya,


Crescive Institution (lembaga kepemilikan, perkawinan, pewarisan, perceraian, kelembagaa n
agama) merupakan lembaga yang memenuhi kebutuhan pokok manusia. Kegiatannya
meliputi pelayanan dan penyelesaian masalah. Lembaga ini menjadi penjaga peraturan dan
tata nilai yang berkembang dimasyarakatEnacted Institution (lembaga keuangan, hutang,
lembaga pendidikan) Lembaga yang ada disana berupa lembaga hutang piutang tradisiona l,
lembaga bank dan lembaga ekonomi. Keberadaan mereka sangat mendukung perekonomia n
namun pada saat tertentu bunga yang dikenakan cukup tinggi.

2.3.3 Macam-macam Kelembagaan Tingkat Desa

1. Kelompok Tani
Kelompok Tani merupakan kelembagaan tani yang langsung mengorganisir para
petani dalam mengembangkan usaha tani nya. kelompok tani organisasi yang dapat dikatakan
berfungsi dan ada secara nyata, disamping berfungsi sebagai wahana penyuluhan dan
penggerak kegiatan anggota nya. Beberapa kelompok tani juga mempunyai kegiatan lain,
seperti gotong royong, usaha simpan pinjam dan arisan kerja untuk kegiatan usaha tani
(Hermanto, 2007).
2. Kelompok Wanita Tani
Program pemberdayaan utama yang dilakukan adalah mengikutserakan para ibu tani
dalam penyuluhan teknologi usaha tani. Kegiatan ini dilakukan mengingat ibu tani sangat
berperan dalam usaha tani (Herawati et al., 2000).
3.Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)
Perkumpulan petani pemakai air adalah kelembagaan pengelola irigasi yang menjadi
wadah petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani
secara demokratis, termasuk kelembagaan lokal pengelola air irigasi (Peraturan Pemerinta h
Republik Indonesia, 2001).
4.Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA)
Pengembangan Kelembagaan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), merupakan
upaya koordinasi lintas stakeholders yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan petani
dan nelayan dalam menjalankan fungsinya (Dewan Ketahahan Pangan Provinsi Riau, 2008).
5.Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) kemudian dikenal sebagai wadah kerjasama
antar kelompok tani. Dalam perkembangannya, banyak program pemerintah untuk petani
disalurkan melalui wadah gapoktan dan kelompok tani, oleh karena itu pembentukan
kelompok tani diatur dengan surat edaran Menteri Pertanian, sehingga kelompok tani
cenderung menjadi organisasi formal, mengalami pergeseran dari kelompok sosial (social
group) menjadi kelompok tugas (task group) (Pelita, 2011).
6.Penyuluh Pertanian Lapang (PPL)
Penyuluhan pertanian merupakan suatu keniscayaan sekaligus merupakan
kewajiban Pemerintah untuk menyelenggarakannya. Pemberdayaan melalui penyelengga raa n
penyuluhan pertanian diperlukan untuk mengubah pola pikir, sikap dan perilaku guna
membangun kehidupan dan penghidupan petani yang lebih baik secara berkelanjuta n
(Departemen Pertanian, 2004).
7.Koperasi Tani (Koptan)
8.Koperasi Unit Desa (KUD)
9.Kelompok Arisan
10.Kelompok Simpan Pinjam
11.Kios Saprodi
12.Pedagang Pengumpul Tengkulak
13.Pasar
14.Jasa Angkutan
15.Jasa Alinstan
16.Kilang Padi
17.Lembaga Swadaya Masyarakat
Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) adalah kumpulan dari beberapa kelompok
tani yang mempunyai kepentingan yang sama dalam pengembangan komoditas usaha tani
tertentu untuk menggalang kepentingan bersama, atau merupakan suatu wadah kerjasama
antarkelompok tani dalam upaya pengembangan usaha yang lebih besar (Untajana, 2008).
Menurut Syahyuti (dalam Revikasari, 2010) Gapoktan adalah gabungan dari
beberapa kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan
kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usaha tani bagi anggota
dan petani lainnya. Penggabungan kelompok tani kedalam Gapoktan dilakukan agar
kelompok tani dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna, dalam penyediaan sarana produksi
pertanian, permodalan, peningkatan atau perluasan usaha tani ke sector hulu dan hilir,
pemasaran serta kerjasama dalam peningkatan posisi tawar (Deptan dalam Revikasari, 2010).
Menurut Deptan (dalam Revikasari, 2010) adapun fungsi dari gapokta yakni
1)merupakan satu kesatuan unit produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar (kuantitas,
kualitas, kontinuitas, dan harga), 2)Penyediaan saprotan (pupuk bersubsidi, benih
bersertifikat, pestisida dan lainnya) serta menyalurkan kepada para petani melalui
kelompoknya, 3)Penyediaan modal usaha dan menyalurkan secara kredit/pinjaman kepada
para petani yang memerlukan, 4)Melakukan proses pengolahan produk para anggota
(penggilingan, grading, pengepakan, dan lainnya) yang dapat meningkatkan nilai tambah,
5)Menyelenggarakan perdagangan, memasarkan atau menjual produk petani kepada
pedagang atau industri hilir. Menurut Syahyuti (dalam Pujiharto ,2010) terdapat tiga peran
pokok Gapoktan sebagai berikut : Gapoktan berperan sebagai lembaga sentral dalam sistem
yang terbangun, misalnya terlibat dalam penyaluran benih bersubsidi yaitu bertugas merekap
daftar permintaan benih dan nama anggota. Gapoktan berperan untuk peningkatan ketahanan
pangan di tingkat lokal. Gapoktan dianggap sebagai Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan
(LUEP) sehingga dapat menerima Dana Penguatan Modal (DPM).

2.3.4 Prinsip-prinsip Kelembagaan Petani


Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh suatu kelembagaan petani agar tetap eksis
dan berkelanjutan ada 3 yaitu :
1. Prinsip otonomi (spesifik lokal).
Pengertian prinsip otonomi disini dapat dibagi kedalam dua bentuk yaitu :
a. Otonomi individu
Pada tingkat rendah, makna dari prinsip otonomi adalah mengacu pada individ u
sebagai perwujudan dari hasrat untuk bebas yang melekat pada diri manusia sebagai salah satu
anugerah paling berharga dari sang pencipta (Basri, 2005).Kebebasan inilah yang
memungkinkan individu- individu menjadi otonom sehingga mereka dapat
mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di dalam dirinya secara optimal. Individ u-
individu yang otonom ini selanjutnya akan membentuk komunitas yuang otonom, dan
akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul (Syahyuti, 2007).
b. Otonomi desa (spesifik lokal).
Pengembangan kelembagaan di pedesaan disesuaikan dengan potensi desa itu sendiri
(spesifik lokal). Pedesaan di Indonesia, disamping bervariasi dalam kemajemukan sistem,
nilai, dan budaya; juga memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang dan beragam pula.
Kelembagaan, termasuk organisasi, dan perangkat-perangkat aturan dan hukum memerluka n
penyesuaian sehingga peluang bagi setiap warga masyarakat untuk bertindak sebagai subjek
dalam pembangunan yang berintikan gerakan dapat tumbuh di semua bidang kehidupannya.
Disamping itu, harus juga memperhatikann elemen-elemen tatanan yang hidup di desa, baik
yang berupa elemen lunak (soft element) seperti manusia dengan sistem nilai, kelembagaa n,
dan teknostrukturnya, maupun yang berupa elemen keras (hard element) seperti lingkunga n
alam dan sumberdayanya, merupakan identitas dinamis yang senantias menyesuaikan diri atau
tumbuh dan berkembang (Syahyuti, 2007).

2. Prinsip pemberdayaan.
Pemberdayaan mengupayakan bagaiamana individu, kelompok, atau komunitas
berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa
depan sesuai dengan keinginan mereka. Inti utama pemberdayaan adalah tercapa inya
kemandirian (Payne, 1997). Pada proses pemberdayaan, ada dua prinsip dasar yang harus
dipedomani yaitu :
a. Menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya secara
mandiri dan menurut cara yang dipilihnya sendiri.
b. Mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan ruang ata u
peluang yang tercipta. Misalnya di bidang ekonomi berupa peningkatan aksesibilitas
masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan pasar, sedangkan di bidang sosial politik
berupa tersedianya berbagai pilihan bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya.
Pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan di pedesaan , meliputi :
(a). Pola pengembangan pertanian berdasarkan luas dan intensifikasi lahan,
perluasan kesempatan kerja dan berusaha yang dapat memperluas
penghasilan;
(b). Perbaikan dan penyempurnaan keterbatasan pelayanan sosial (pendidikan,
gizi, kesehatan, dan lain-lain);
(c). Program memperkuat prasarana kelembagaan dan keterampilan mengelo la
kebutuhan pedesaan.
Pemberdayaan kelembagaan menuntut perubahan operasional tiga pilar kelembagaan
(Elizabeth, 2007) :
a. Kelembagaan lokal tradisional yang hidup dan eksisi dalam komunitas (voluntary sector).
b. Kelembagaan pasar (private sector) yang dijiwai ideologi ekonomi terbuka.
c. Kelembagaan sistem politik atau pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector).
Ketiga pilar yang menopang kehidupan dan kelembagaan masyarakat di pedesaan
tersebut perlu mereformasikan diri dan bersinergis agar sesuai dengan kebutuhan yang selalu
mengalami perkembangan. pemberdayaan kelembagaan pada masa depan perlu diarahkan
agar berorientasi pada:
(a). Pengusahaan komoditas (pangan/non pangan) yang paling menguntungkan,
(b). Skala usaha ekonomis dan teknologi padat karya,
(c). Win-win mutualy dengan kemitraan yang kolehial,
(d). Tercipta interdependensi hulu-hilir,
(e). Modal berkembang dan kredit melembaga (bank, koperasi, petani),
(f). Koperatif, kompetitif dan transparan melalui sistem informasi bisnis,
(g). Memanfaatkan peluang di setiap subsistem agribisnis, serta
(h). Dukungan SDM yang berpendidikan, rasional, mandiri, informatif,
komunikatif, dan partisipatif (inovatif) (Elizabeth, 2007b)
3. Prinsip kemandirian lokal.
Pendekatan pembangunan melalui cara pandang kemandirian lokal mengisyaratka n
bahwa semua tahapan dalam proses pemberdayaan harus dilakukan secara desentralisas i.
Upaya pemberdayaan yang berbasis pada pendekatan desentralisasi akan menumbuhka n
kondisi otonom, dimana setiap komponen akan tetap eksis dengan berbagai keragaman
(diversity) yang dikandungnya. Kemandirian lokal menunjukkan bahwa pembangunan lebih
tepat bila dilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai
serangkaian upaya mekanistis yang mengacu pada satu rencana yang disusun secara
sistematis. Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa organisasi seharusnya dikelola dengan
lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat pengendalian yang ketat
sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).

2.3.5 Peran Lembaga Pertanian


Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan
yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh petani, agar dapat bersaing dalam
melaksanakan kegiatan usaha tani dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani itu
sendiri. Peran kelembagaan pertanian bagi petani antara lain yakni menyediakan fasilitas yang
dibutuhkan para petani (sarana produksi), meningkatkan posisi tawar menawar para petani
dalam kegiatan ekonomi, sehingga dapat mengurangi kesenjangan dan kerugian yang dialami
para petani. Adapun peran kelembagaan pertanian secara spesifik dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Sebagai wadah petani untuk mengemukakan atau mengungkapkan pendapat,
keinginan, masalah-masalah yang dihadapi dalam mengembangkan agribisnis nya
(Rusmono, 2012).
2. Memenuhi pemasaran produk pertanian, dan termasuk penyediaan berbagai
informasi yang dibutuhkan para petani (Syahyuti, 2011).
3. Saluran pemasaran yang mempunyai kegiatan untuk menyalurkan atau
menyampaikan barang-barang atau jasa-jasa dari produsen dan konsumen
(Setyowati, 2008).
4. Menghasilkan teknologi pertanian dalam upaya memecahkan masalah-masa la h
petani dan pengguna lainnya (Adnyana, 1999).
5. Menganalisis situasi-situasi yang sedang di hadapi oleh para petani dan
melakukan perkiraan kedepan, menemukan masalah, memperoleh pengetahua n
atau informasi guna memecahkan masalah, mengambil keputusan dan petani
menghitung besarnya resiko atas keputusan yang diambilnnya (Erna, 2011).
6. Menunjang pertanian terutama yang berhubungan dengan benih, pupuk, pestisida,
dan permodalan (Sisfayuni, 2008).
7. Menghimpun dana secara langsung dari masyarakat atau petani dan fungs i
pembiayaan di Indonesia meliputi bank pemerintahan, bank swasta maupun
lembaga keuangan non bank (Batubara, 2007).
8. Membantu menekan hilangnya hasil panen, peningkatan nilai produk dan
memperlancar hasil pertanian dari petani kemudian pemasaran yaitu suatu proses
distribusi dari petani hingga produsen tingkat pasar bahkan sampai ke tangan
konsumen (Lesmana, 2009).

Perkembangan saat ini memperlihatkan banyaknya asosiasi maupun paguyuban


petani tumbuh dan berkembang secara mandiri. Meskipun pendekatan kelembagaan telah
menjadi komponen pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan, namun kelembagaa n
petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek belaka,
belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar. Kelembagaan kedepannya,
diharapkan dapat berperan sebagai asset komunitas masyarakat desa yang partisipatif.
Pengembangan kelembagaan mestilah dirancang sebagai upaya untuk peningkatan kapasitas
masyarakat itu sendiri sehingga menjadi mandiri (Syahyuti, 2011).

2.3.6 Penyebab Kelembagaan Petani di Desa

Kelembagaan petani di Tanah Air saat ini dinilai belum berfungsi optimal untuk
meningkatkan posisi tawar maupun meningkatkan daya saing petani. kelembagaan petani di
perdesaan saat ini dikembangkan secara sektoral setiap kementerian, pemerintah provins i
hingga kabupaten berdasarkan program atau proyek dari masing- masing instans i
tersebut."Kondisi tersebut menjadikan di setiap desa memiliki banyak kelembagaan petani
namun skalanya kecil-kecil, bersifat segmental-egosektoral, akibatnya kelembagaan tersebut
tak mampu memperkuat petani," katanya dalam diskusi bertajuk "Revolusi Kelembagaan
Petani". Berikut ialah alasan-alasan mengapa kelembagaan petani tidak berjalan dengan baik:

1. Kelompoktani pada umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk


memudahkan pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau program pemerinta h,
sehingga lebih bersifat orientasi program, dan kurang menjamin kemandir ia n
kelompok dan keberlanjutan kelompok.
2. Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok masih
relatif rendah, ini tercermin dari tingkat kehadiran anggota dalam pertemuan
kelompok rendah (hanya mencapai 50%)
3. Pembentukan dan pengembangan kelembagaan tidak menggunakan basis social
capital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui prinsip
keotonomian dan pemberdayaan.
4. Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat
ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas
orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya agar terjalin kerjasama
yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka meningkat. Untuk
ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerinta h
sulit menjangkaunya.
5. Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan
cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada
kontaktani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan
bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena tidak ada social
learning approach.
6. Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari
pengembangan aspek kulturalnya. Struktural organisasi dibangun lebih dahulu,
namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisas i
belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya sudah
tersedia.

2.3.7 Revitalisasi Kelembagaan Pertanian

Revitalisasi pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatka n


kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual. Dalam arti
menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja
pertanian dalam pembangunan dengan tanpa mengabaikan sektor lainnya. Secara terinci
revitalisasi kelembagaan pertanian meliputi:

1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia para pelaku kelembagaan sehubungan dengan
perkembangan teknologi, permasalahan dan kebutuhan para petani. Model pendidikan dan
pelatihan ditekankan pada pengembangan bidang-bidang produksi primer dan sekunder,
alih teknologi dan informasi, pemasaran, finansial, kelembagaan, dan infrastruktur.
2. Diperlukan restrukturisasi kelembagaan penyuluhan pertanian yang mampu menyentuh
langsung kebutuhan petani dengan melibatkan petani secara lebih aktif lagi. Model
penyuluhan mandiri dimana petani berperan sebagai pelaku aktif perlu terus ditingka tka n
peranannya. Untuk itu jumlah dan kualitas penyuluh yang memiliki kemampuan di bidang
konsultasi/analisis produksi dan pemasaran serta sebagai mediator atau jembatan/media tor
ke berbagai lembaga keuangan dan pendidikan/pelatihan perlu terus ditingkatkan.
3. Meningkatkan kualitas manajemen koperasi yang ada, khususnya dalam kualitas
sumberdaya manusia para pengurus dan manajer, dalam rangka meningkatka n
kesejahteraan petani. Para petani yang tergabung dalam kelompok bisnis perlu
dilembagakan dalam koperasi terutama untuk meningkatkan rebut tawar dalam
memperoleh pelayanan kredit dan pemasaran hasil.
4. Meningkatkan koordinasi peran lembaga-lembaga keuangan/perbankan dengan lembaga-
lembaga penyuluhan, sarana produksi, dan koperasi untuk meningkatkan pelayanan kepada
petani secara optimum. Diperlukan cara terbaik dalam rangka mengakses dan mengontro l
distribusi kredit dan penyediaan saprodi agar sampai ke tangan petani dengan tepat waktu,
tepat kualitas dan tepat harga sesuai kebutuhan petani.
5. Meningkatkan peran badan penerapan teknologi dan informasi pertanian. Penelitia n-
penelitian berbagai aspek pertanian spesifik lokal perlu didukung dengan biaya/anggara n
dan fasilitas yang memadai dan kualitas sumberdaya peneliti yang semakin tinggi
kwalifikasinya. Dengan demikian alih teknologi inovatif kepada petani akan meningkat.
Pada gilirannya para petani akan menerapkan inovasi baru pertanian dengan bersinambung.
6. Meningkatkan peran dari lembaga-lembaga tradisional seperti organisasi lumbung desa
dan pengairan. Dalam situasi produktivitas pertanian dan penyediaan pangan khususnya di
sektor tanaman pangan yang relatif rendah maka peran kedua lembaga tersebut menjadi
penting. Untuk itu di setiap daerah diperlukan adanya pembinaan manajemen kelembagaan
dari pemerintah daerah setempat.
7. Meningkatkan kemandirian organisasi petani. Intinya adalah suatu organisasi yang
dimiliki, digerakkan dan dikendalikan oleh petani sendiri. Pemerintah daerah lebih
berfungsi sebagai fasilitator saja. Untuk itu perlu peningkatan kualitas sumberdaya
manusia para pengelola dan efektivitas manajemen kelembagaan melalui pelatihan dan
pembinaan-pembinaan intensif.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kelembagaan pertanian adalah norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola
serta dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait
erat dengan penghidupan dari bidang pertanian di pedesaan. Dalam kehidupan komunitas
petani, posisi dan fungsi kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang
memfasilitasi interaksi sosial atau social interplay dalam suatu komunitas. Kelembagaan
pertani juga memiliki titik strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem agribisnis di
pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu diarahkan/diprioritaska n
dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi tawar petani (kelompok tani). Saat ini
potret petani dan kelembagaan petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang
diharapkan

Revitalisasi pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatka n


kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual. Dalam arti
menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja
pertanian dalam pembangunan dengan tanpa mengabaikan sektor lainnya.
3.2 Daftar Pustaka

https://www.google.com/search?client=firefox-b-d&q=peran+lembaga+pertanian

http://umbu-sapu.blogspot.com/2011/08/kelembagaan-pertanian.html
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:DUGNK3MvCUMJ:blog.ub.ac.id/dyka
w/files/2013/09/PENGEMBANGAN-KELEMBAGAAN-
PERTANIAN.pdf+&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id
https://dirapradja1947.blogspot.com/2017/08/makalah-revitalisasi-pertanian.html
https://ronawajah.wordpress.com/2008/04/02/sdm-dan-revitalisasi-kelembagaan-pertanian/
https://www.academia.edu/37985888/MAKALAH_KELEMBAGAAN_PERTANIAN

Anda mungkin juga menyukai